• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Liberalisasi politik yang hadir bersamaan dengan liberalisasi ekonomi dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam pemilihan umum (pemilu). Karakteristik tersebut adalah munculnya lembaga-lembaga profesional (electioneer) yang menyediakan jasa kampanye, seperti lembaga survey dan konsulan politik, agen periklanan dan kehumasan (public

relations), serta adanya kampanye politik yang mengandalkan iklan politik di

televisi.

Hadirnya lembaga-lembaga profesional di atas, lebih jauh memberi corak baru terhadap gaya kampanye politik, yang menonjolkan pada pencitraan, pentingnya manajemen kesan, dan perlunya logika pemasaran. Corak baru itu kemudian memperkaya gaya kampanye yang sebelumnya telah ada, yang menonjolkan pawai massa, apel akbar, dan bentuk-bentuk pengerahan massa lainnya.

Di tanah air, corak baru di atas juga menunjukkan hal yang sama, yang ditandai dengan semakin banyaknya penggunaan strategi dan taktik berkampanye, yang notabene merupakan lingkup kerja lembaga-lembaga profesional. Sebagaimana disebutkan Hidayat (dalam Danial, 2009) bahwa, setiap ada kompetisi politik (pemilihan presiden atau pemilihan kepala darah), kerja-kerja seperti, menentukan isu yang dianggap penting, membuat analisis penentuan isu yang menguntungkan bagi kontestan, merekayasa citra kontestan sesuai dengan

(2)

isu persoalan yang dipilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan pemanfaatan media, mulai banyak dilakukan untuk kepentingan pemenangan pemilihan.

Lebih jauh lagi, prinsip-prinsip ekonomi juga mulai banyak dipraktekkan dalam ranah politik, terutama metode marketing yang selama ini dikembangkan di dunia bisnis. Misalnya, para kandidat mulai banyak yang memformulasikan produk politiknya melalui pembangunan simbol dan image, merancang promosi politik, membuat segmentasi pemilih, dan merancang strategi pendekatan pasar.

Menurut Hidayat, femomena di atas merupakan hal yang baru dalam politik kita, meski sesungguhnya fenomena tersebut adalah bagian dari kecenderungan global dalam kampanye pemilihan. Kecenderungan global tersebut bisa dilihat dari beberapa hal sebagai berikut; Pertama, semakin meningkatnya peran televisi dalam kampanye politik yang terdiri dari dua hal; (1) aktivitas kampanye yang kian banyak direkayasa dan dikemas agar sesuai dengan format televisi, (2) dana kampanye untuk iklan politik di televisi yang kian meningkat.

Kedua, semakin meningkatnya keterlibatan para electioneer dari luar partai yang

semakin menggeser peran para “amatir” dari kalangan partai sendiri. dan Ketiga, semakin terfokusnya kampanye pada kandidat individu atau tokoh wakil partai yang membuat pemilu menjadi semacam kontes antarkandidat dari pada kontes antarpartai1

Hal yang sama menurut Surbakti, fenomena di atas juga merupakan apa yang disebut dengan bentuk “Amerikanisasi Politik” yang memiliki ciri-ciri tertentu antara lain; penggunaan teknologi komunikasi, khususnya televisi sebagai

.

1

Lebih jauh bisa dilihat dalam kolom opininya di Kompas, 11 Februari 2004. Amerikanisasi

(3)

sarana utama kampanye yang cenderung berupa sound bite dan kampanye negatif karena harus menyampaikan pesan yang efektif, tetapi dengan biaya yang murah, kapitalisasi politik atau penggunaan uang dalam jumlah besar untuk kampanye politik, baik untuk kampanye di televisi maupun kampanye ke dan di berbagai daerah, dan yang terakhir adalah reduksi kompetisi politik yang menjadi kompetisi citra para kandidat2

Pada kenyataanya, fenomena politik di atas memang tidak bisa dinafikkan dan telah menjadi ciri khas yang meronai dalam politik kita. Setiap ada proses

.

Maskipun demikian, Hidayat (dalam Danial, 2009; xxviii) menjelaskan bahwa, munculnya fenomena politik di atas, secara tidak langsung bisa menguatkan apa yang disebut dengan mode of power production yang kian mengandalkan “gelembung politik” (bubble politics). Melalui kampanye dan manajemen kesan, realitas sosok kandidat selalu berusaha untuk “digelembungkan” sebagai citra unggulan, yang dipertarungkan untuk merebut “investasi” suara masyarakat dalam pemilihan. Sehingga efeknya kemudian proses-proses rasional dalam pemilihan bisa diredukasi menjadi sekedar masalah periklanan dan kehumasan. Dana kampanye yang sangat banyak, juga hanya untuk merekayasa realitas kandidat menjadi citra-citra unggulan. Bahkan, rekayasa citra kontestan individu yang dihasilkan oleh para konsultan politik di atas juga mulai menjadi lebih penting daripada platforn atau isu yang diperjuangkan oleh partai. Karena itu, pot ensi ini memungkinkan dalam pemilihan akan memunculkan diskrepansi atau gap antara citra kandidat yang tertanam dalam persepsi pemilih dengan realitas kinerja yang dimilikinya.

2

(4)

politik misalnya, gaya kampanye yang ditunjukkan oleh masing-masing kandidat juga menandakan bahwa mereka melibatkan konsultan politik dan memanfaatkan media sebagai instrumen untuk mengkonstruksi realitas dirinya. Karena itu, Ibrahim (2004) mengatakan bahwa, proses politik dewasa ini tidak lebih menjadi semacam panggung, dimana para kandidat mulai lebih mementingkan tampilan luar dari pada mementingkan kualitas diri dari dalam.

Persoalannya, fenomena di atas tidak hanya terjadi dalam pemilihan presiden (pilpres), melainkan juga terjadi dalam pemilihan kepada daerah (pilkada). Sebagaimana diketahui, hampir semua pemilihan kepada daerah telah mengalamai gejala tersebut, sehingga menimbulkan kesan bahwa proses pemilihan menjadi semacam pertarungan citra antarcalon daripada pertarungan gagasan yang dibingkai oleh ideologi tertentu guna mengantarkan masyarakat ke “pintu” masa depan yang lebih baik. Bahkan, muncul penilaian bahwa ritus pemilihan hanyalah drama politik yang menyajikan tontonan mengenai citra (imaji) sang calon, yang dipesonakan dengan ilusi-ilusi spektakuler (janji-janji politik) yang sebenarnya tidak pernah memuaskan. Masyarakat dianggap tidak mendapatkan apa-apa dari tontonan itu, misalnya, pendidikan politik, penyadaran masyarakat, dan pemahaman terhadap demokrasi, kecuali hanya mendapatkan “hiburan politik” yang segera sirna ketika pemilihan telah usai.

Demikian juga penilaian terhadap perilaku kandidat. Apa yang dilakukan para kandidat dalam kampanye pemilihan dianggap hanyalah basa-basi politik yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi apapun terhadap kualitas kehidupan politik masyarakat. Lebih jauh lagi sebuah penilaian yang mengatkan bahwa, apa yang dihadirkan para kandidat dalam proses pemilihan tidak lebih

(5)

hanyalah panggung teater untuk merebut investasi suara masyarakat, dengan memanfaatkan segala persoalan yang dilingkupi masyarakat, mulai dengan masalah kemiskinan, masalah pengangguran, hingga masalah kesehatan. Para kanddiat dianggap hanya memanfaatkan semua persoalan itu menjadi komoditas yang bisa “dijual” demi mendapatkan suara masyarakat dalam pemilihan.

Dari konteks inilah, maka pemilihan walikota Surabaya tahun 2010 sangat penting dikaji untuk menunjukkan sebuah gambaran bagaimana sesungguhnya anggapan yang mengatakan bahwa peristiwa politik hanyalah panggung drama yang dimainkan oleh para kandidat untuk memenangkan pemilihan. Apalagi dalam pemilihan walikota Surabaya tersebut banyak elemen yang terlibat di dalamnya, mulai lembaga survey, konsultan politik, media massa, hingga pakar periklanan, yang dianggap berpengaruh tehadap “penampilan luar” sang aktor dalam pemilihan.

Selain itu, pemilihan walikota Surabaya di atas juga penting dikaji untuk menjelaskan bagaimana penilaian yang mengatakan bahwa momen pemilihan tidak lebih hanyalah dramaturgi politik yang menampilkan sosok kandidat dengan karakter-karakter tertentu, yang diskenario sebelumnya untuk menghadirkan kekaguman-kekaguman sesaat di dalam masyarakat, namun semua itu dianggap tidak memberikan manfaat apa-apa terhadap masyarakat dalam kehidupan politik sehari-hari.

Oleh sebab itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pemilihan walikota Surabaya, yang disatu sisi menggambarkan adanya harapan yang ditunjukkan dengan adanya misi-misi dan janji-janji dari para kandidat untuk memperbaiki kehidupan politik sehari-hari. Namun di sisi lain,

(6)

semua hal tersebut bisa jadi bertolak belakang dengan realitas politik yang sesungguhnya. Untuk itu, maka penelitian ini dirumuskan dengan judul sebagai berikut: Dramaturgi Politik Kandidat Pilkada, Kasus Pilkada Kota Surabaya

Tahun 2010.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka penelitian ini ingin menjawab beberapa masalah (problem question) sebagai berikut:

1. Bagaimana panggung depan dan panggung belakang politik kandidat dalam dramaturgi politik pilkada, kasus pilkada kota Surabaya tahun 2010?

2. Bagaimana para kandidat mengatur kesannya (impression management) dalam dramaturgi politik pilkada, kasus pilkada kota Surabaya tahun 2010?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana panggung depan dan panggung belakang politik kandidat dalam dramaturgi politik pilkada, kasus pilkada kota Surabaya tahun 2010, yang meliputi beberapa hal; bagaimana para kandidat mempengaruhi calon pemilihan, atribut apa saja yang digunakan, media apa saja yang dimanfaatkan, elemen atau jaringan apa saja yang dilibatkan, serta untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi tim kampanye dalam proses pemilihan.

(7)

2. Untuk mengetahui bagaimana para kandidat mengatur kesannya (impression

management) dalam dramaturgi politik kandidat pilkada, kasus pilkada kota

Surabaya tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi akademik mengenai proposisi atau konsep-konsep tentang panggung depan dan panggung belakang politik kandidat dalam dramaturgi politik pilkada, kasus pilkada kota Surabaya tahun 2010. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritik baru bagi partai politik beserta elitnya, khususnya bagi aktor politik di Kota Surabaya. Apalagi penelitian ini tergolong baru, sebab dari penelusuran kepustakaan, belum ada satu penelitianpun tentang dramaturgi politik kandidat pilkada, kasus pilkada kota Surabaya.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi partai politik dan aktornya untuk meningkatkan kualitas partai dan elitnya di masa mendatang. Sehingga diharapkan bisa meminimalisir pemahaman bahwa kampanye politik tidak sekedar basa-basi politik, atau tidak sekedar panggung politik yang menyajikan tontonan citra sang calon, dan tidak memberikan manfaat apa-apa terhadap masyarakat dalam kehidupan politik sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

Jika

Sebagai tujuan akhir dari penulisan skripsi ini, maka yang merupakan final goal atau tujuan akhirnya adalah bahwa kejahatan carding atau kejahatan kartu kredit merupakan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini peneliti ingin meneliti lebih lanjut dengan membuat sebuah penelitian dengan judul “Pengaruh Kampanye Pada YouTube Web

Sebagai suatu unit dan bagian dari Instalasi Rehabilitasi Medis Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, Unit Layanan Paliatif memiliki tujuan untuk mewujudkan pelayanan dan

32 Maluku Kota Ambon INTI KARYA UTAMA Komplex Ruko Bt. Farm, Apt

Entitas mengelompokkan tujuan dari derivatif sebagai (1) suatu lindung nilai terhadap eksposur perubahan nilai wajar atas aset atau liabilitas yang telah diakui atau komitmen

Berdasarkan gambar 4.39 diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai kualitas suatu sistem (quality) maka kinerja sistem tersebut semakin baik, semakin tinggi