• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN. Menurut Wilopo (2006) kasus fraud (kecurangan) di Indonesia terjadi secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN. Menurut Wilopo (2006) kasus fraud (kecurangan) di Indonesia terjadi secara"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Menurut Wilopo (2006) kasus fraud (kecurangan) di Indonesia terjadi secara berulang-ulang, media massa banyak memberitakan hal tersebut sehingga bagi masyarakat kasus fraud sepertinya bukan rahasia lagi. Wilopo juga menyatakan bahwa pada sektor publik fraud dilakukan dalam bentuk kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan di sektor swasta bentuk fraud juga terjadi dalam bentuk yang sama yaitu ketidaktepatan dalam membelanjakan sumber dana (Wilopo, 2006).

Thoyibatun (2012) menyatakan bahwa terjadinya fraud membuat organisasi atau lembaga yang dikelola menjadi rugi, sebagai contoh, volume produktivitas organisasi melemah, belanja sosial organisasi semakin sedikit, kepercayaan masyarakat yang dilayani beralih ke organisasi lain, dan mitra kerja tidak selera lagi untuk tetap bekerja sama. Thoyibatun menambahkan, di sisi lain kasus fraud tidak terlepas dari pemberitaan media massa, jika demikian yang terjadi, reputasi dan citra organisasi yang terbangun selama ini menjadi sulit untuk dijadikan daya saing dalam meraih persaingan pasar yang semakin tajam.

Soepardi (2007) mengungkapkan bahwa untuk menghadapi bahaya tersebut, banyak pihak setuju agar tidak memberikan peluang bagi terjadinya fraud melalui berbagai kebijakan. Untuk itulah fraud perlu ditanggulangi. Antara lain, TAP MPR XVI Tahun 1998, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

(2)

yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan ini menandakan bahwa semua pihak berkeinginan menangani fraud secara serius dan untuk itu diperlukan lingkungan yang kondusif (Soepardi, 2007).

Menurut Razaee dalam Faizal (2013), fraud adalah tindakan melawan hukum, penipuan berencana, dan bermakna ketidakjujuran. Fraud dapat terdiri dari berbagai bentuk kejahatan atau tindak pidana kerak putih (white collar crime), antara lain pencurian, penggelapan asset, penggelapan informasi, penggelapan kewajiban, penghilangan atau penyembunyian fakta, rekayasa fakta termasuk korupsi. Sedangkan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam SPAP No. 70 (2011:316.2) mendefinisikan kecurangan (fraud) sebagai salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan yaitu salah saji atau pengilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam pelaporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.

Menurut Examination Manual (2006) dari Association of Certified Fraud Examiner yang dikutip oleh Karyono (2013:17), fraud terdiri atas empat kelompok besar yaitu kecurangan laporan (fraudulent statement), penyalahgunaan aset (asset misappropriation), korupsi (corruption), dan kecurangan yang berkaitan dengan komputer.

Tiga kondisi kecurangan yang berasal dari pelaporan keuangan yang curang dan penyalahgunaan aktiva diuraikan dalam SAS 99 (AU 316), kondisi ini disebut segitiga kecurangan (fraud triangle), diantaranya: (1) insentif atau

(3)

tekanan, yaitu manajemen atau pegawai lain merasakan insentif atau tekanan untuk melakukan kecurangan, (2) kesempatan, yaitu situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen atau pegawai untuk melakukan kecurangan (3) sikap/rasionalisasi, yaitu ada sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk melakukan tindakan yang tidak jujur, atau mereka berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan yang tidak jujur.

Kasus fraud di Indonesia terjadi baik pada sektor publik maupun sektor swasta. Pada sektor publik, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang tahun 2014 terdapat 47 kepala daerah dan 81 orang pejabat legislatif yang tersangkut korupsi. Temuan ICW tersebut menunjukkan fakta bahwa terdapat peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Potensi kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi diperkirakan sebesar Rp 3,7 triliun (Tama S. Langkun, 2015).

Kategori fraud yang berupa pelaporan keuangan yang curang (fraudulent financial reporting) pernah menimpa Mantan Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Belaluan Kabupaten Gianyar. Tersangka dituduh melakukan manipulasi laporan keuangan LPD sehingga terdapat selisih pada saldo. Ia terbukti melakukan tindakan memperkaya diri sendiri, merugikan keuangan Negara, perekonomian Negara, daerah Kabupaten Gianyar/Keuangan LPD Kabupatan Gianayar senilai Rp 1,16 miliar (Herdian Rahardi, 2015).

Fraud dalam bentuk misapropriasi aktiva (misappropriation of assets), terjadi di sektor BUMN, contohnya yang dilakukan oleh Mantan Kepala Divisi

(4)

VII PT Adhi Karya Bali. Ia adalah tersangka dalam kasus korupsi penyalahgunaan keuangan milik perseroan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan nilai sebesar lebih dari Rp 15 Miliar. Tersangka menggunakan uang milik PT Adhi Karya untuk kepentingan pribadi. Dugaan tindak korupsi dilakukan dengan modus hasil korupsi dibelikan beberapa aset tanah dan dimasukan kedalam rekening dengan beberapa nama kerabatnya (Sarjono Turin, 2015).

Disamping itu, perbankan menjadi salah satu sektor yang rawan akan fraud, kasus-kasus yang pernah terjadi yaitu fraud pada PT Bank Syariah Mandiri (BSM), yang dilakukan oleh tiga pejabat Kantor Cabang Utama Bogor. Terjadi pelanggaran berupa mark-up plafon pembiayaan terhadap para debitor pembiayaan perumahan di Kantor Cabang Utama (KCU) Bogor. Kasus ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp 59 miliar. Fraud juga pernah terjadi pada Bank Mega yang melibatkan PT Elnusa, kasus ini melibatkan orang dalam yaitu mantan Direktur Keuangan Elnusa dan Kepala Cabang Bank Mega Jababeka (Ronny Franky Sompie, 2013).

Wilopo (2006) dalam Thoyibatun (2012) menyarankan bahwa mengurangi perilaku fraud dapat dilakukan usaha meningkatkan efektifitas pengendalian internal, termasuk perbaikan hukum, perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian, serta pelaksanaan good governance. Menurut Karyono (2013:96), pengendalian internal yang efektif dapat melindungi dari pencurian, penggelapan, penyalahgunaan aktiva pada lokasi yang tidak tepat. Selain itu, pengendalian internal juga memberikan jaminan yang wajar terhadap informasi bisnis yang

(5)

akurat demi keberhasilan perusahaan. Penjagaan aktiva dan informasi yang akurat sering berjalan seiring, karena karyawan yang ingin menggelapkan aktiva atau berniat melakukan kecurangan juga perlu menutupi kecurangan tersebut dengan menyesuaikan catatan akuntansi. Hal serupa dikemukakan oleh Karyono (2013:60) yang menyebutkan bahwa pengendalian internal antara lain dirancang untuk dapat mengamankan harta milik organisasi, bila pengendalian internal tidak dapat berfungsi efektif sebagai sarana kendali, kemungkinan besar terjadi fraud.

IAPI (2011: 319.2) dalam Sukrisno Agoes (2012:100) mendefinisikan pengendalian intern sebagai suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas-yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.

Herda Helmijaya (2014), penyelidik KPK mengungkapkan, lemahnya pengendalian internal dalam sebuah organisasi membuka peluang melakukan fraud. Sistem pengendalian yang buruk akan memicu seseorang melakukan perbuatan fraud dan melawan hukum. Fraud menyebabkan negara mengalami kerugian. Koordinator Investigasi dan Advokasi Seknas FITRA menyatakan, potensi kerugian negara terjadi akibat lemahnya sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, lemahnya sistem pengendalian pelaksanaan anggaran, dan lemahnya pengendalian internal. Kerugian negara itu, terjadi karena beberapa faktor. Utamanya, kelemahan sistem pengendalian intern. Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan membuat pencatatan tidak/belum

(6)

dilakukan atau tidak akurat. Selain itu, proses penyusunan laporan juga tidak sesuai dengan ketentuan (Uchok Sky Khadafi, 2012).

Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commision (COSO) dalam Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley (2008:375) menyatakan bahwa Komponen Pengendalian Internal meliputi: (1) Lingkungan pengendalian, (2) Penilaian risiko, (3) Aktivitas pengendalian, (4) Informasi dan komunikasi, dan (5) Pemantauan.

Penelitian mengenai pengendalian internal terhadap pencegahan fraud telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Nisak, Prasetyono, dan Kurniawan (2013) menyebutkan bahwa pengendalian internal berpengaruh terhadap pencegahan fraud. Penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnain (2013) menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif antara efektifitas sistem pengendalian intern dengan fraud. Penelitian yang dilakukan oleh Thoyibatun (2012) menyatakan bahwa kesesuaian sistem pengendalian intern berpengaruh terhadap kecurangan (fraud). Sedangkan penelitian oleh Faisal (2013) menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif antara kepatuhan sistem pengendalian intern terhadap fraud.

Mengacu pada fenomena dan penelitian sebelumnya di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Efektifitas Pengendalian Internal Terhadap Pencegahan Fraud pada Telkom Foundation”.

(7)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana efektifitas pengendalian internal pada Telkom Foundation. 2. Bagaimana pencegahan fraud pada Telkom Foundation.

3. Seberapa besar pengaruh efektifitas pengendalian internal terhadap pencegahan fraud pada Telkom Foundation.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian adalah untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi yang relevan guna mendapatkan pembuktian ilmiah terkait pengaruh efektifitas pengendalian internal terhadap pencegahan fraud pada Telkom Foundation.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah maka penelitian ini bertujuan untuk.

1. Mengetahui, mengkaji, dan mendeskripsikan efektifitas pengendalian internal pada Telkom Foundation.

2. Mengetahui, mengkaji, dan mendeskripsikan pencegahan fraud pada Telkom Foundation.

(8)

3. Mengetahui dan menganalisis seberapa besar pengaruh efektifitas pengendalian internal terhadap pencegahan fraud pada Telkom Foundation.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut. 1. Pengembangan ilmu akuntansi

Hasil penelitian untuk pengembangan ilmu Akuntansi dengan melakukan penelitian secara empirik tentang “Pengaruh Efektifitas Pengendalian Internal Terhadap Pencegahan Fraud pada Telkom Foundation”.

2. Pemecahan Masalah

Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi yaitu adanya fraud yang terjadi di dalam perusahaan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil rapat gabungan wajib dituangkan dalam risalah yang ditandatangani oleh seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang hadir dan disampaikan kepada seluruh

Adanya kesenjangan antara peraturan yang berlaku mengenai pendaftaran harta tanah wakaf di Indonesia dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka penulis

Proses pengecekan atau penginputan data penduduk adalah proses untuk mengecek data penduduk yang sudah ada dalam data base data penduduk di Dinas Pencatatan

- Pada tab Rombongan Belajar, klik kelulusan bersama untuk kelas XII, (kelulusan bersama dilakukan disemester ganjil tahun 2014/2015 ini dilakukan krn di versi 8.02 jika

Brumfit dan Finocchiaro (dalam Richards dan Rogers, 186:87) mengungkapkan ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah (1) makna merupakan hal yang terpenting, (2) percakapan

Sedangkan yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur baik berupa buku atau tulisan-tulisan tokoh lain yang didalamnya terdapat uraian tentang pemikiran HAMKA

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, semua tahap tugas transaksi dapat menyebabkan kesalahan namun yang paling kerap terjadi dengan tingkat kekritisan masalah yang tinggi

Dengan demikian bahwa model Pembelajaran Kooperatif Numbered Head Together baik untuk kelas eksperimen maupun kelas kelas kontrol mempunyai korelasi yang signifikan