• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional secara menyeluruh. Masalah kesehatan ibu dan anak merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian yang lebih karena mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Makin tinggi angka kematian ibu dan bayi di suatu negara maka dapat dipastikan bahwa derajat kesehatan negara tersebut buruk. Hal ini disebabkan karena ibu hamil dan bayi merupakan kelompok rentan yang memerlukan pelayanan maksimal dari petugas kesehatan, salah satu bentuk pelayanan yang harus diberikan kepada ibu melahirkan adalah penolong oleh tenaga kesehatan (nakes) (Azwar, 2009).

Kesehatan ibu dan anak merupakan dasar yang penting dalam perkembangan kesehatan masyarakat, dimana perempuan yang hamil dan melahirkan anak, namun fakta menunjukkan bahwa ratusan ribu perempuan di seluruh dunia terus-menerus meninggal oleh sebab-sebab yang berkaitan dengan kehamilan, yang seharusnya dapat cegah. Salah satu penyebab terbesar adalah ketidakadilan sosial di masa kini. Beberapa tahun terakhir ini diakui dan diterima secara luas bahwa kematian maternal yang seharusnya dapat dicegah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi

(2)

perempuan. Di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 529.000 perempuan meninggal tiap tahunnya oleh sebab-sebab yang berkaitan dengan kehamilan/persalinan, dan 99% dari kematian ini terjadi di negara-negara yang sedang berkembang (Depkes RI, 2009).

Negara-negara di dunia memberi perhatian yang cukup besar terhadap AKI dan AKB, sehingga menempatkannya di antara delapan tujuan yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDGs), yang harus dicapai sebelum tahun 2015 yaitu 1) menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai pendidikan dasar secara universal, 3) mendorong kesejahteraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) mengurangi tingkat kematian anak, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, 7) menjamin keberkelanjutan lingkungan, dan 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Tiga diantaranya berkaitan langsung dengan kesehatan perempuan yaitu peningkatan kesehatan maternal (kesehatan ibu), pencapaian pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Secara tidak langsung juga berkaitan dengan kesehatan perempuan (Depkes RI, 2008).

Indonesia menargetkan penurunan angka kematian ibu menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menjadi 23/1000 kelahiran hidup, serta cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menjadi 90% pada tahun 2015. Secara nasional persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7 persen pada tahun 2002 menjadi 77,34 persen pada tahun 2009, angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010).

(3)

Berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2010, penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab obstetri langsung kematian ibu yang terjadi 90% pada saat persalinan dan segera setelah persalinan yaitu perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (8%), abortus (5%), trauma obstetrik (5%), emboli (3%), partus lama/ macet (5%), dan lain-lain (11%). Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor risiko keterlambatan (tiga terlambat), diantaranya terlambat dalam pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Berdasarkan hasil Survei Demokrafi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 menyebutkan AKB yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, angka-angka tersebut menunjukan adanya perbaikan. Namun, bila dibandingkan dengan perbandingn kondisi antar daerah, terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara daerah maju dan terpencil, serta antara daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk AKB, misalnya, di Sulawesi Barat mencapai 74 (per 1.000 kelahiran hidup), di Nusa Tenggara Barat (NTB) 72, dan Sulawesi Tengah 60. Angka-angka tersebut empat kali lipat lebih tinggi dari pada AKB di daerah Yogyakarta yang memiliki AKB sebesar 19. Demikian pula untuk AKI, disparitas antara kota dan desa masih meningkat. Hal ini dapat dilihat dari besarnya resiko yang dihadapi ibu melahirkan di desa (Depkes RI, 2009).

Tingginya AKI dan juga AKB di Indonesia terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan, maupun sistem pengolahan

(4)

kesehatan bersama. Jika kinerja ketiga indikator diperbaiki, pelayanan kesehatan bisa ditingkatkan. Meski masalah ini juga dipengaruhi kondisi sosial budaya seperti sisi kesehatan reproduksi, persoalannya mencakup tingkat kesuburan, pengendalian kesuburan, serta pengolahan dan penanganan ibu hamil dan melahirkan, kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan ibu. Di samping itu juga dilakukan pendekatan dukun bayi yang pernah dibantu Organisasi Kesehatan Dunia atau World

Health Organization (Prasetyawati, 2012).

Petugas kesehatan (bidan) merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan sebagai provider dan lini terdepan pelayan kesehatan yang dituntut memiliki kompetensi profesional dalam menyikapi tuntutan masyarakat di dalam pelayanan kebidanan Bidan harus menguasai standar kompetensi yang telah diatur dalam peraturan Kepmenkes RI No.369/Menkes/SK/III/2007 yang merupakan landasan hukum dari pelaksanaan praktik kebidanan. Namun demikian keterbatasan jumlah petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan juga merupakan faktor memengaruhi kesehatan ibu dan bayi.

Hasil evaluasi Jampersal yang dilakukan terhadap ibu hamil 7 provinsi yaitu Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tengga Barat, Jawa Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Riau (tidak menggunakan Jampersal), ditemukan dua provinsi mempunyai cakupan pelayanan kesehatan (linakes) di atas rata-rata nasional (90%), yaitu Jawa Timur (95,28%) dan Kepulauan Riau (97,84%), dan lima provinsi yang mempunyai cakupan linakes di bawah nasional, yaitu Jawa Barat (81,49%), Nusa Tenggara Barat (82,02%), Maluku (77,39%), Sulawesi Tenggara (85,44%), dan Kalimantan Timur (85,35%). Kecenderungan tempat persalinan non fasilitas

(5)

kesehatan terjadi di kabupaten yang tergolong daerah sulit secara akses, dan juga ketersediaan tenaga kesehatannya terbatas. Kecenderungan tempat persalinan non fasilitas kesehatan terjadi di Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Paser (Rachmawati, 2013).

Fenomena AKI yang terjadi di Provinsi Aceh, data tahun 2010 menunjukkan sebanyak 193/100.000 kelahiran hidup yang disebabkan oleh faktor komplikasi persalinan, pendarahan, dan infeksi. Fenomena AKI tersebut juga dipengaruhi oleh faktor keterlambatan mencapai akses pelayanan kesehatan, apalagi ibu yang berdomisili di daerah pegunungan (Profil Provinsi Aceh, 2011).

Dari data yang didapatkan di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2011 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah 59,5%. Puskesmas Kluet Selatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah 61,9% sedangkan cakupan nasional 90% (Profil Dinkes Aceh Selatan, 2012).

Menurut Depkes RI (2009), ada empat strategi utama bagi upaya penurunan kesakitan dan kematian ibu. Pertama, meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas dan cost effective. Kedua, membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas sektor, dan mitra lainnya. Ketiga, mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan dan perilaku sehat. Keempat, mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan ibu dan bayi baru lahir. Ada tiga pesan kunci Making Pregnancy Safer (MPS), yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapatkan pelayanan yang memadai; dan setiap wanita usia subur

(6)

mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

Realisasi dari MPS tersebut di tingkat puskesmas yang mempunyai dokter umum dan bidan, khususnya puskesmas dengan rawat inap dikembangkan menjadi Puskesmas mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Puskesmas mampu PONED menjadi tempat rujukan terdekat dari desa sebagai pembina bidan dan mendekatkan akses pelayanan kegawatdaruratan pada ibu hamil dan bersalin karena komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak dapat diduga atau diramalkan sebelumnya (Profil Dinas Kesehatan Aceh Selatan, 2012). Upaya pemerintah lainnya yang dapat menekan AKB dan AKI adalah program Gerakan Sayang Ibu (GSI), Safe Motherhood, dan penempatan bidan di desa-desa. Dengan usaha-usaha ini diharapkan angka penolong persalinan oleh tenaga medis dapat ditingkatkan (Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Peraturan Menteri Kesehatan No. 2562/Menkes/Per/XII/2011, disebutkan sasaran Jampersal adalah seluruh ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas yang tidak memiliki jaminan persalinan beserta bayi yang baru dilahirkan hingga berusia 28 hari.

Kegiatan pokok pelayanan kesehatan dasar di puskesmas yang dilaksanakan oleh bidan dalam menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi adalah pelayanan antenatal care, pertolongan persalinan, deteksi dini faktor resiko kehamilan dan peningkatan pelayanan pada neonatal, kehamilan merupakan suatu proses reproduksi yang memerlukan perawatan khusus (pemantauan selama kehamilan) agar dapat berlangsung dengan baik karena erat kaitannya dengan kehidupan ibu maupun janin. Resiko kehamilan bersifat dinamis karena ibu hamil

(7)

yang pada mulanya normal secara tiba-tiba dapat menjadi risiko yang dapat menyebabkan kematian (Depkes RI, 2009).

Selama kehamilan pelayanan antenatal bagi ibu penting untuk menjamin proses kehamilan/persalinan berjalan normal. Pemeriksaan kehamilan yang dianjurkan nakes bertujuan untuk mendeteksi dini faktor risiko yang mungkin ada pada ibu hamil/bersalin (Syafrudin, 2009). Menurut Depkes RI (2006) faktor lainnya seperti ibu hamil dan melahirkan pada usia rawan (20 tahun atau 35 tahun), terlalu banyak melahirkan anak, terlalu dini atau rapat jarak kelahiran, terbatasnya frekuensi penyuluhan dan pendidikan kesehatan reproduksi juga memengaruhi kejadian komplikasi persalinan.

Rendahnya angka cakupan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku ibu dalam memanfaatkan tenaga penolong persalinan. Menurut Manalu (2007) terdapat beberapa faktor yang memengaruhi seorang ibu/keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan, khususnya penolong persalinan. Faktor tersebut adalah pendidikan dan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan keluarga maka semakin tinggi pula kesadaran untuk mencari pelayanan kesehatan. Demikian pula halnya dengan tingkat pendapatan. Pola pencarian pelayanan kesehatan lebih tinggi pada keluarga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Menurut Sarwono (2008) mengutip pendapat Anderson (1968) bahwa keputusan untuk mencari alternatif penolong persalinan ada tiga komponen yaitu: predispososi, enabling (pendukung), dan need (kebutuhan).

Dukun bayi telah berperan dalam memberikan pelayanan persalinan sejak dahulu. Dukun bayi merupakan tenaga yang dipercaya oleh masyarakat di

(8)

lingkungannya untuk menolong persalinan (Hemiati, 2007). Alasan ibu memilih dukun bayi dalam persalinan karena pelayanan yang diberikan lebih sesuai dengan sistem sosial budaya yang ada, mereka sudah dikenal lama karena berasal dari daerah sekitarnya dan pembayaran biaya persalinan dapat diberikan dalam bentuk barang (Zalbawi, 2006).

Faktor sosio-kultural masyarakat khususnya ibu hamil tentang penolong persalinan oleh dukun antara lain disebabkan oleh tradisi masyarakat yang masih percaya pada dukun dan keterjangkauan yang dipengaruhi juga oleh faktor geografis. Adanya hubungan antara rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan rendahnya tingkat pendidikan ibu hamil (Prabowo, 2001).

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Balitbang Kesehatan (2006) yang menyatakan bahwa kemampuan tenaga non profesional/dukun bersalin masih kurang, khususnya yang berkaitan dengan tanda-tanda bahaya, resiko kehamilan dan persalinan serta rujukannya (Depkes RI, 2006). Pengetahuan yang kurang dari dukun bayi dalam mengenal komplikasi yang mungkin timbul dalam persalinan dan penanganan komplikasi yang tidak tepat akan meningkatkan resiko kematian pada ibu bersalin (Suprapto, 2007).

Penelitian Siregar (2011) di wilayah kerja Puskesmas Gunung Tua Kecamatan Padang Bolak Julu Kabupaten Padang Lawas Utara bahwa 88,0% ibu bersalin memilih penolong persalinan tidak memanfaatkan tenaga kesehatan dan hanya 12,0% yang memanfaatkan tenaga kesehatan. Ada hubungan secara signifikan umur, pendidikan, penghasilan, persepsi dan dukungan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan pada ibu bersalin.

(9)

Menurut Abdi (2009) dalam penelitiannya terhadap determinan pemanfaatan penolong persalinan di Desa Anak Talang Kecamatan Batang Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya menjadi determinan utama dalam pilihan penolong persalinan karena adanya aturan adat istiadat yang mengharuskan masyarakat di Desa Anak Talang untuk melakukan persalinan pada dukun bayi dan adanya hukuman bagi masyarakat yang melakukan persalinan pada tenaga kesehatan.

Ibu hamil yang memanfaatkan petugas kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat dalam pertolongan persalinan akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prinsip bebas kuman dan prosedur standar pelayanan. Jika ditemui adanya komplikasi dalam persalinan, ibu akan mendapatkan pertolongan yang tepat (Supartini, 2004).

Puskesmas Kluet Selatan adalah salah satu Puskesmas di Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh memiliki 9 orang bidan desa. Bidan memberikan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan kehamilan pertama (K1) yaitu 202 orang 72,8% (target 95%), pemeriksaan kehamilan keempat (K4) yaitu 211 orang (69,9%) (target 90%) tahun 2011, ibu bersalin 189 orang dan bersalin di sarana kesehatan 117 orang yaitu 61,9% (target 90%) dan kunjungan ibu nipas 158 orang yaitu 83,6% (target 85%). Keadaan ini mengkondisikan bahwa standar pelayanan kesehatan di Puskesmas Kluet Selatan belum mencapai target nasional. Sedangkan jumlah kematian bayi dan pada tahun 2011 di Puskesmas Kluet Selatan yang ditangani bidan sebanyak 3 orang. Upaya pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan memberikan asuransi kesehatan kepada seluruh masyarakat (JKA: 5827 orang,

(10)

Askes: 1990 orang, Jamkesmas: 5820 orang), dan khusus ibu hamil/bersalin yang memiliki salah satu jaminan kesehatan akan berlaku untuk klaim Jampersal. Namun pada kenyataannya masih ada masyarakat yang mencari pertolongan ke dukun bayi sebanyak 38,1% (Profil Dinkes Aceh Selatan, 2012).

Hasil wawancara peneliti didapatkan bahwa ibu yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kluet Selatan bulan Maret 2013 dengan 10 orang ibu bersalin, bahwa 8 orang (80%) memanfaatkan tenaga kesehatan dan 2 orang (20%) memanfaatkan dukun bayi dalam bersalin. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang determinan pemanfaatan penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh.

1.2 Permasalahan

Kesehatan ibu dan anak masih merupakan masalah kesehatan di Kabupaten Aceh Selatan yang harus segera ditangani. Berdasarkan Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan tahun 2012, masih rendahnya jumlah bidan yaitu sebanyak 9 orang (65,9/100.000 penduduk) dari 17 desa yang ada di Kecamatan Kluet selatan, sedangkan minimal standar kebutuhan petugas bidan (100/100.000) dan persalinan yang ditolong oleh nakes (61,9%), sedangkan non kesehatan (dukun bayi) di wilayah kerja Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh (38,1%). Oleh karena itu peneliti dapat merumuskan permasalah penelitian adalah apa sajakah determinan pemanfaatan penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan.

(11)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan pemanfaatan penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh faktor predisposisi (umur, pendidikan, pengetahuan, sikap dan budaya), faktor pendukung (penghasilan keluarga dan jarak sarana kesehatan), serta faktor kebutuhan (kebutuhan berdasarkan gangguan kehamilan dan diagnosa tenaga kesehatan) terhadap pemanfaatan penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pihak Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh untuk meningkatkan pelayanan bagi pasien ibu hamil sehingga determinan pemanfaatan penolong persalinan adalah Puskesmas.

2. Memberikan masukan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan pemanfaatan penolong persalinan di Puskesmas Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa minyak dedak padi yang memiliki nilai viskositas yang tinggi bisa diturunkan dengan dicampurkan

[r]

Ketiga faktor ini mempunyai hubungan yang sangat erat dimana biaya menentukan harga jual untuk mencapai tingkat laba yang diharapkan, harga jual mempengaruhi volume penjualan

Menurut pihak Owner (pemilik gedung), mendefinisikan bahwa material konstruksi berkelanjutan adalah material yang dapat membantu meningkatkan tingkat efisiensi

Penerapan Desain Arsitektur Tropis dalam Komplek Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan..

Pada proyek Kawasan Wisata Tepian Sungai Bengawan Solo di Surakarta ini menggunakan pendekatan arsitektur ekologis yang menekankan pada prinsip tata kelola lingkungan yang ramah

Sifat-sifat dasar operator akan disajikan sebagai dasar untuk pengembangan lanjutan, yang sebelumnya sebagian sudah disajikan di dalam beberapa tulisan antara

4.14 Menyusun teks recount lisan dan tulis sederhana tentang pengalaman, acara, peristiwa atau kejadian, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan