• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia. lautan. Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia. lautan. Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI

SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia 1. KUHP

Berbicara mengenai korupsi, sama saja kita membicarakan semut ditengah lautan. Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah pelanggaran dan kejahatan jabatan, latar belakangnya, faktor-faktor penyebabnya sampai pada penanggulangannya.

Hal-hal yang dikategorikan sebagai perbuatan korupsi pada umumnya meliputi penggelapan uang, menerima atau meminta upeti, menerima hadiah atau janji, ikut serta urusan pemborongan, dan sebagainya.

Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping) yang ada didalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap, yakni tindak pidana menerima suap dan tindak pidana memberi suap. Kelompok pertama disebut suap aktif (actieve omkoping), subyek hukumnya adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan

terhadap penguasa umum (Bab VIII Buku II), yakni Pasal 209 dan Pasal 210.22

1. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya duapuluh tahun dan/atau denda setingi-tingginya tiga puluh juta rupiah.

Pasal 209 KUHP

1e. Barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri, dengan maksud hendak membujuk dia, supaya dalam pekerjaannya

22

Adami Chazawi, SH, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni Bandung, 2008), hlm. 169.

(2)

ia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya.

2e. Barang siapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang

bertentangan dengan kewajibannya.23

1. Dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun dan/atau denda setingi-tingginya tiga puluh juta rupiah.

Pasal 210 KUHP

1e. Barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada hakim, dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan hakim itu tentang perkara yang diserahkan kepada pertimbangannya.

2e. Barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seseorang, yang menurut peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi penasehat untuk menghadiri pengaduan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan dimajukannya tentang perkara yang diserahkan kepada pertimbangan pengadilan itu.

2. Jika hadiah atau perjanjian itu diberikan dengan maksud supaya hakim menjatuhkan pidana dalam sesuatu perkara pidana, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda

setinggi-tingginya satu juta rupiah.24

Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passieve omkoping), subyek hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan jabatan (Bab XVIII Buku II), yakni Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420. Jadi tindak pidana suap didalam KUHP semuanya ada 5

(lima pasal).25

Pasal 418 KUHP

Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri yang berupa menerima hadiah atau janji (suap).

Perumusannya terdapat dalam Pasal 418 KUHP.

23

R. Wiyono, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 19

24

Ibid, hlm. 20.

25

(3)

Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara

selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-26

a. Yang menerima hadiah atau janji adalah pegawai negeri atau pejabat. Unsur-unsurnya sebagai berikut:

b. Yang diketahui atau patut diduga itu diberikan karena kekuasaannya atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya.

c. Menurut orang yang memberi ada hubungannya dengan jabatannya.27

Orang yang member hadiah atau janji itu hanya mempunyai maksud untuk memperoleh sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri, hingga para pemberi hadiah atau janji cukup terdapat dugaan bahwa yang dikehendaki adalah bertentangan dengan kewajibannya, tetapi pegawai negeri itu harus mengetahui, bahwa perbuatan itu dilakukan agar ia tidak akan melakukan sesuatu atau ia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Sipenyuap memberikan hadiah atau janji itu karena mengetahui atau menurut pikirannya bahwa pegawai negeri itu mempunyai kekuasaan ataupun mempunyai

hak sehubungan dengan jabatan yang sedanga diduduki pegawai negeri tersebut.28

26

R. wiyono, op.cit, hlm. 22.

27

Victor M Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 5-6.

28

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap & Money Politics, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hlm. 55-56.

Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri berupa menerima atau janji. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 419 KUHP.

(4)

Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun dihukum pegawai negeri:

1e. yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang berlawanan dengan kewajibannya;

2e.yang menerima pemberian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan

kewajibannya.29

1. a. Yang menerima hadiah/janji adalah pegawai negeri atau pejabat Unsur-unsurnya adalah:

b. Itu diberikan untuk menggerakkan dia untuk melakukan atau tidak

melakukan dalam jabatannya.

2. a. Yang menerima hadiah/janji adalah pegawai negeri

b. Bahwa itu diberikan sebagai akibat atau karena ia telah

melakukan/tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.

Penyuapan yang diatur dalam Pasal 418 tersebut ada hubungannya dengan kekuasaan atau wewenang yang dimiliki oleh pegawai negeri. Penyuapan yang diatur dalam Pasal 419 yaitu penyuapan mengenai hal untuk menggerakkan sipegawai negeri tersebut supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau sebagai akibat oleh karena pegawai negeri tersebut telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam perbuatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

29

(5)

Sedangkan bagi orang yang menyuap juga dikenakan pidana sebagaimana tertera

dalam Pasal 209 jo Pasal 1c UU No. 3 Tahun 1971.30

1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun dihukum:

Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh Hakim, Penasehat Hukum, yang berupa menerima hadiah atau janji. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 420.

Pasal 420 KUHP

1e. hakim yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi keputusan suatu perkara yang diserahkan kepada pertimbangannya;

2e. barangsiapa yang menurut peraturan undang-undang ditunjuk sebagai pembicara atau penasehat untuk menghadiri sidang pengadilan yang menerima atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi pertimbangan atau pendapatnya tentang perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan itu.

2. Jika pemberian atau perjanjian itu diterima dengan keinsyafan, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya supaya mendapatkan suatu penghukuman dalam perkara pidana maka sitersalah dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Adapun unsurnya terdiri dari: 1. a. Hakim

b. Menerima hadiah atau janji

Yang dimaksud dengan hadiah atau janji adalah telah dirumuskan dalam yurisprudensi, bahwa hadiah itu segala sesuatu yang mempunyai nilai.

30

(6)

Noyon berpendapat “hadiah adalah segala sesuatu yang dapat dipindah tangankan dan juga mempunyai nilai, yang absolut tidak bernilai tidak dapat dikatakan pemberian atau janji”.

c. Padahal diketahui bahwa itu diberikan, dan d. Untuk mempengaruhi putusan perkara 2. a. Penasehat hukum

b. Menerima hadiah atau janji

c. Padahal diketahui bahwa itu diberikan, dan

d. Untuk mempengaruhi nasihat terhadap perkara yang harus diputus oleh

pengadilan itu.31

a. Ada pihak-pihak yang memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau badan.

Jadi sebenarnya tindak pidana korupsi baru dapat terjadi apabila dua belah pihak, yaitu pihak orang luar yang menyuap atau menjanjikan sesuatu dengan mempengaruhinya demi untuk mendapatkan keuntungan disatu segi dan disegi lain adalah pegawai pegawai negeri atau pejabat yang mempunyai jabatan atau kedudukan yang juga ingin atau terangsang untuk hidup mewah, dan tindakan dari perbuatan kedua belah pihak tersebut menimbulkan:

b. Menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian Negara atau keuangan suatu badan yang menerima bantuan Dari Negara atau badan hukum lain yang menggunakan modal/kelonggaran dari Negara atau

masyarakat.32

31

Victor M Situmorang, op. cit, hlm. 60-61.

32

(7)

2. UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu perlu secara terus -menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pada umumnya dan tindak pidana korupsi pada khususnya.33

Oleh sebab itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kepentingan masyarakat.

UU No. 31 tahun 1999 dimaksudkan untuk mengganti UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi, sebab perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang.

34

Tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas di dalam UU No. 31 tahun 1999 sebagai tindak pidana formil, walaupun hasil tindak pidana korupsi

dikembalikan kepada negara, pelaku tetap dipidana sesuai proses hukum.35

Sudah diterangkan bahwa pengertian suap gratifikasi Pasal 12 B sangat luas. Dengan luasnya pengertian suap menerima gratifikasi tersebut, maka korupsi suap-suap pasif dapat pula masuk dalam isi pengertian suap menerima gratifikasi.

33

Andi Hamzah, Badan pembinaan Hukum nasional Departemen Hukum Dan HAM,

Pengkajian Masalah Hukum penanggulangan Tindak pidana Korupsi, (Jakarta:2002), hlm.13.

34

Ibid, hlm. 13.

35

(8)

Untuk menentukan apakah korupsi suap-suap pasif masing-masing yang dirumuskan dalam pasal-pasal: 5 ayat (2), 6 ayat (2), 11, 12 huruf a, b, dan c masuk pula unsur-unsur suap gratifikasi, ukuran yang digunakan adalah:

1. Dari ketentuan Pasal 12B ayat (1) tentang pengertian gratifikasi yang merumuskan, ialah gratifikasi (pemberian) pada pegawai negeri dianggap suap (suap pasif) adalah “apabila berhubungan dengan jabatannya dan

yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya”.36

2. Dari ketentuan Pasal 12B tentang pengertian dan macam-macamnya yang menyatakan bahwa: yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas lainnya.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tidak ada diatur secara jelas, sudah ada tapi masih terselip dalam pasal-pasal yang masih dimasukkan dalam tindak pidana korupsi suap, yaitu:

Pasal 5 ayat (2)

Pegawai negeri menerima suap menurut Pasal 5 ayat (2) ialah bila pegawai negeri menerima sesuatu pemberian atau sesuatu janji dari orang yang menyuap menurut ayat 1 huruf a atau b. Menurut suap pada pegawai negeri huruf a pemberian itu mengandung maksud supaya pegawai negeri yang menerima pemberian berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Dengan demikian, pemberian pada pegawai negeri tersebut dipastikan ada kaitannya atau hubungannya dengan jabatan yang dimilikinya sebagai pegawai negeri, dan dipastikan pula penerimaan itu

36

(9)

bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa perbuatan yang seperti itu sudah memenuhi unsur dari peneriamaan gratifikasi Pasal 12B ayat 1. Karena itu, dapat didakwakan pula Pasal 12 B ayat (1) kepada pegawai negeri yang menerima pemberian seperti yang dimaksud Pasal 5 ayat (1)

huruf a.37

Dalam Pasal 6 ayat (2) bentuk korupsi menerima suap, yang satu dilakukan oleh hakim dan yang lain dilakukan oleh advokat. Karena advokat tidak termasuk pada pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka jelas tidak mungkin dapat didakwakan dan dipidana menerima gratifikasi dalam hal menerima suap dari penyuap Pasal 6 ayat (1). Berbeda dengan hakim, karena hakim menurut hukum pidana korupsi, adalah seorang pegawai negeri yang sekaligus sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 angka (1) jo Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999). Maka hakim dapat melakukan korupsi menerima gratifikasi Pasal 12B dalam hal menerima sesuatu dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Menurut suap pegawai negeri pada Pasal 5 ayat (2) yang menerima pemberian menurut ayat 1 huruf b, ialah pegawai negeri yang menerima pemberian (dari seseorang) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Sudah tentu pegawai negeri yang menerima pemberian ini telah masuk cakupan dari ketentuan Pasal 12B ayat (1).

Pasal 6 ayat (2)

38

Hakim yang menerima suap dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a dipastikan bahwa sesuatu yang diterimanya itu adalah untuk mempengaruhi

37

Ibid, hlm. 279-280.

38

(10)

putusan yang hendak dijatuhkan sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat 1 huruf a. Hakim yang menerima sesuatu, misalnya uang Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dipastikan uang itu ada hubungannya dengan mempengaruhi putusan yang hendak dijatuhkannya. Hubungan dengan putusan yang hendak dijatuhkan adalah merupakan bagian dari unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” dalam Pasal 12B ayat (1).

Pasal 11

Pegawai negeri yang menerima suap menurut Pasal 11 ini dipersalahkan atau dipidana apabila penerimaan itu diketahui atau didiganya karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Tidak mungkin ada suap menurut Pasal 11 ini, andaikata ternyata kemudian uang yang diterima pegawai negeri tersebut ternyata secara objektif adalah berupa honorarium dari menulis karangan hukum disebuah majalah hukum. Walaupun semula ketika hendak menerima ada anggapan sipegawai, bahwa uang itu diberikan dalam rangka ia telah memberikan keputusan yang berlawanan dengan kewajiban jabatannya.

Oleh sebab itu, tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa pegawai negeri yang menerima sesuatu menurut Pasal 11 adalah sekaligus telah melanggar Pasal 12B ayat (1). “Unsur Hadiah diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya” dalam Pasal 11, telah masuk pula dalam unsur Pasal 12B ayat (1) berupa “berhubungan dengan jabatabnnya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasa jabatannya”, tidak akan menghalangi pegawai negeri yang menerima suap menurut Pasal 11 didakwa dan dipidana berdasarkan

Pasal 12B ayat (1).39

39

(11)

Alasannya, ialah walaupun unsur semacam itu tidak tertulis dalam Pasal 11, bukan berarti sipenerima suap menurut Pasal 11 apa yang diterimanya itu sesuai dengan jabatan atau tidak bertentangan dengan jabatannya. Sebab apabila penerimaan itu sesuai dengan jabatan dan tidak bertentangan dengan kewajiban dan tugas jabatan yang dipangkunya, secara logika tentulah Pasal 11 tidak dapat diterapkan. Perlu diketahui inti sifat melawan hukumnya pada kejahatan suap, adalah terletak pada pegawai negeri tidak berhak untuk menerima pemberian. Pasal 11 maupun Pasal 12 B juga demikian.

Pasal 12 huruf a, b, dan c

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

1. Unsur-unsur objektif:

a. Pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara negara; b. Perbuatannya adalah: menerima hadiah atau menerima janji; c. Objeknya adalah: hadiah atau janji;

2. Unsur subjektifnya adalah: diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau

(12)

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

jabatannya.40

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

1. Unsur-unsur objektif:

a. Pembuatnya adalah: pegawai negeri atau penyelenggara negara; b. Perbuatannya adalah: menerima hadiah;

c. Objeknya adalah: hadiah

2. Unsur subjektifnya adalah: diketahui dan patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya.41

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

1. Unsur-unsur objektif:

a. Pembuatnya adalah: hakim;

b. Perbuatannya adalah: menerima hadiah dan menerima janji; c. Objeknya adalah: hadiah dan janji;

40

Adami Chazawi, op. cit, hlm. 233.

41

(13)

2. Unsur subjektifnya adalah: diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara

yang diserahkan kepadanya untuk diadili.42

3. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usaha pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi adalah dengan memperbaharui peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Tidaklah cukup lengkap kiranya UU No. 31 Tahun 1999 yang memberantas tindak pidana korupsi, hal itu secara konkrit ditunjukkan dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No. 31 tahun 1999.

Salah satu hal pokok yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 adalah bahwa diantara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan Pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B dan Pasal 12 C.

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 untuk pertama kali diperkenalkan satu tindak pidana korupsi yang baru yang sebelumnya sudah ada terselip dalam pasal-pasal tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tapi tidak ada disebutkan dengan

rinci dan jelas.43

1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

42

Adami Chazawi, , op. cit, hlm. 248-249.

43

(14)

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembukiaannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum:

2. Pidana bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).44

Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana

elektronik.45

4. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Bahwa penyelenggara negara mempunyai peranan yang sangat menetukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mewujudkan penyelenggara

44

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005) , hlm. 259-260.

45

Darwan Prinst, pemberntasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 57.

(15)

negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara.

Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.46

a. Asas kepastian hukum

Penyelenggara Negara yang bersih adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan cela lainnya. Dalam hal ini termasuk juga bahwa penyelenggara negara tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi gratifikasi karena kewenangan yang ada padanya.

Asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:

b. Asas tertib penyelenggaraan negara c. Asas kepentingan umum

d. Asas keterbukaan e. Asas proporsionalitas f. Asas profesionalitas g. Asas akuntabilitas.47 46

Tim Redaksi Fokus Media, himpunan peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan

Tindak pidana Korupsi, (Bandung : Fokusmedia, 2008), hlm.121.

47

(16)

B. Landasan Pengaturan Gratifikasi Dalam UU No. 20 Tahun 2001

Adapun landasan pengaturan mengenai gratifikasi ini dalam UU No. 12 Tahun 2001 adalah:

1. Landasan Filosofis

Didalam penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa maksud diadakannya penyisipan pasal 12 B dalam UU No. 31 Tahun 1999 adalah untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi

dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.48

Tetangga kita misalnya, suatu hari memberikan semangkuk sup kambing lengkap dengan nasi dan es doger kepada kita. Pemberian tersebut dimaksudkan dalam rangka silaturahim dan menjalin keakraban dengan lingkungan sekitar. Ini adalah model gratifikasi yang diperbolehkan, karena sama sekali tidak ada pamrih dari pemberian tersebut.

Dalam Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

Ditilik secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun, seiring perkembangan waktu, budaya, dan pola hidup, pemberian yang acap disebut gratifikasi mulai mengalami dualisme makna.

48

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm. 107.

(17)

Coba bandingkan dengan model gratifikasi berikut: seorang direktur perusahaan mengirimkan parcel, voucher belanja, hadiah wisata, diskon spesial, atau uang komisi kepada seorang pejabat pemerintahan yang memiliki wewenang atas kebijakan pengadaan barang dan jasa. Tidak ada hubungan darah antara keduanya. Pun pula, mereka berdua tidak memiliki hubungan pertemanan kecuali berdasarkan kapasitas jabatan masing-masing. Lalu, betulkah pemberian tersebut dapat dikatakan tanpa pamrih?

Gratifikasi pada cerita model kedua diakomodasi oleh undang-undang sebagai salah satu modus korupsi. Pemberian kepada pejabat pemerintah atau penyelenggara negara selalu disertai dengan pengharapan untuk memperoleh kemudahan mencapai kesepakatan dengan pemerintah umumnya dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Di sini, pihak yang diuntungkan di kemudian hari adalah pemberi hadiah. Pada saat tender, misalnya, peserta tender yang pernah memberikan gratifikasi tentu memiliki poin lebih atau bahkan tertinggi dibanding

peserta tender yang lain.49

2. Landasan Sosiologis

Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Tapi bagaimana jika pemberian itu berasal dari seseorang yang memiliki kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat

49

http://rektivoices.wordpress.com/2009/05/25/memperlus-makna-gratifikasi, Widya Ayu Rekti, 12 November 2009, pkl. 13.30.

(18)

tersebut? Dan bagaimana jika nilai dari pemberian hadiah tersebut diatas nilai kewajaran? Apakah pemberian hadiah tersebut tidak akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitas dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga dapat menguntungkan pihak lain atau diri sendiri?

Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi.

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian

yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.50

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek,

(19)

namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih.

Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik, bahkan di kalangan privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi yang melanggar dan harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi dan penerima).

Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.

(20)

Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain :

a. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu;

b. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan anaknya;

c. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;

d. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan;

e. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat/pegawai negeri;

f. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;

g. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat kunjungan kerja;

h. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.

Berdasarkan contoh diatas, maka pemberian yang dapat dikategorikan

sebagai gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan sipemberi.

Melihat kondisi tersebut yang nyata dalam masyarakat, dan telah menjadi masalah sosial, maka dalam UU No. 20 Tahun 2001 ini, dipandang perlu diatur mengenai gratifikasi tersebut. Dimana dalam UU No. 31 Tahun 1999 pengaturan mengenai gratifikasi belum ada.

(21)

3. Landasan Yuridis

Pada waktu seluruh Negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar UU No. 74 Tahun 1957 jo UU No. 79 Tahun 1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan Peraturan Penguasa perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No prt/peperpu/013/1958 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang pusat /Kepala Staf Angkatan laut tanggal 17 April 1958 Nomor

prt/Z/I/7.51

Dengan adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur dengan segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditatapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yaitu dengan Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian atas dasar UU No. 1 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karena peraturan penguasa perang pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, maka pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa peraturan penguasa perang pusat yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang.

52

51

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,Praktik dan

Masalahnya, (Bandung: PT. Alumni,2007), hlm.11.

52

R. Wiyono, pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm. 3

(22)

Didalam penerapannya ternyata UU No. 24 Prp Tahun 1960 masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku, ternyata UU No. 7 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara Negara dengan para pengusaha.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu menetapkan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Atas dasar TAP MPR No XI /MPR/1998 ini, kemudian ditetapkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 No. 140.53

53

Ibid , hlm 4

Adapun UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, kemudian diadakan perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tersebut dengan ditetapkannya UU No. 12 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia ahun 2001 Nomor 134 yang mulai berlaku tanggal 21 November 2001.

(23)

Alasan diadakannya perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dapat diketahui dari konsideran butir b UU No. 20 Tahun 2001, yaitu:

1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum 2. Menghindari keragaman penafsiran hukum

3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat, serta

4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi

Secara khusus yang akan dibahas disini adalah perubahan pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi penyuapan , yaitu

Pasal 1 angka (2) UU No. 20 tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal

KUHP yang diacu.54

54

Ibid, hlm. 4.

Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, semula-sebelum UU No. 20 Tahun 2001 adalah ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 KUHP . Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal KUHP, karena dalam Pasal 43 B UU No. 20 Tahun 2001 sendiri telah ditentukan bahwa Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 KUHP dinyatakan sudah tidak berlaku lagi.

(24)

Pasal 1 angka (3) UU No. 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara pasal 12 dan pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 disisipkan pasal baru yaitu Pasal

12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C.55

Ketiga, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga

Pasal 12 B dan Pasal 12 C adalah mengatur tentang Gratifikasi.

Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan. Gratifikasi ini baru dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perubahan terhadap Undang No. 31 Tahun 1999 dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 terdiri atas:

Pertama, pada rumusan penjelasan Pasal 2 dan Pasal 5 sampai Pasal 12 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi langsung menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP.

Kedua, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mencantumkan ketentuan mengenai Gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian) yang terdapat dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C.

55

(25)

berasal dari salah satu tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1). Perampasan harta benda terdakwa ini dapat dilakukan meskipun terdakwa telah meninggal dunia.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tersebut sesuatu pemberian yang illegal langsung masuk ke dalam kategori suap. Pemberian yang ilegal tersebut sangat menarik dan memiliki banyak nama. Suatu hari biasa disebut tanda terima kasih, kali lain dinamakan “uang lelah” kapan-kapan dinamakan “uang kopi” atau biasa dengan istilah yang paling popular bernama “uang rokok” sekarang dengan kemajuan teknologi komunikasi popular dengan nama “uang pulsa”. Dan yang menimpa ketua KPK disebut dengan virus “R4NI”.

Saat diberikan ketika mengurus kartu tanda penduduk atau pembuatan suatu dokumen atau surat menyurat di kantor pemerintah, lazim dikenal sebagai “biaya administrasi”. Bila dimasukkan ke dalam sebuah bungkusan, ia berganti nama menjadi “amplop”. Karena diserahkan sembunyi-sembunyi dan untuk maksud tertentu maka ia disebut sebagai “sogokan”.

Hukum mengidentifikasikannya sebagai suap bisa juga korupsi. Belakangan muncul istilah Gratifikasi . Meskipun mempunyai daya pikat yang sangat luar biasa, menurut hukum, ini tidak boleh dilakukan atau sangat dilarang. Pada hakekatnya gratifikasi merupakan bagian dari apa yang dinamakan suap. Secara sederhana istilah itu biasa dipahami sebagai pemberian dalam arti luas.

Definisi sederhana, gratifikasi adalah pemberian hadiah. Dalam hukum pidana korupsi, gratifikasi termasuk tindak pidana korupsi. Menurut UU Korupsi

(26)

No. 31 Tuhun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ada 30 jenis tindakan korupsi yang dapat dikategorikan dalam 7 kelompok :

1. Kerugian keuntungan negara

2. Suap-menyuap (istilah lain: sogokan atau pelicin) 3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan 5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi.56

56

Referensi

Dokumen terkait

Informasi dan opini yang tercantum dalam Press Release ini tidak diverifikasi secara independen dan tidak ada satupun yang mewakili atau menjamin, baik dinyatakan secara jelas

(1) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama di daerahnya sama atau lebih ketat dari ambang batas kendaraan bermotor lama sebagaimana

This problem isn’t simple, but on the Internet, it’s a problem we’ve largely solved —you don’t need different browsers for CNN and Facebook.. This kind of standardization is

Orang Dengan Hiv/ Aids (Odha) Menjadi Aktivis Hiv/ Aids (Studi kualitatif tentang makna stigma... ADLN Perpustakaan

Tanpa ada tujuan terhadap akhirat, maka kebaikan dan kebahagiaan hanya berupa harta wanita dan tahta, maka ia akan melakukan apa saja untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan menurut

Pada metode ini bersamaan dengan cuplikan dipersiapkan unsur standar dengan jenis sama dengan unsur yang terkandung dalam cuplikan yang akan dianalisis dan

Terima kasih tak terhingga juga peneliti ucapkan kepada Allah SWyT dan Rasul-Nya karena telah karena telah memberikan kesempatan belajar dan terus belajar, hingga akhirnya

Berdasarkan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kegiatan praktik unit produksi pada aspek perencanaan praktik unit produksi di SMK kelompok Bisnis dan