• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENYUSUNAN HIPOTESIS. A. Tinjauan Pustaka. 1. Perilaku Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENYUSUNAN HIPOTESIS. A. Tinjauan Pustaka. 1. Perilaku Konsumen"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENYUSUNAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka 1. Perilaku Konsumen

Konsumen saat ini memiliki pemahaman yang lebih besar dan berkelanjutan untuk pengembangan dan konsumsi produk ramah lingkungan. Pemilihan konsumen dalam mengkonsumsi produk ramah lingkungan mempunyai konsekuensi tersendiri, baik secara positif maupun negatif. Oleh karena itu, mengarah ke pilihan konsumen masing - masing ke keputusan pembelian (Chen dan Chang, 2013). Hal yang harus dipahami tentang bagaimana dan kapan perilaku konsumen bisa berubah adalah tergantung dari produk dan jasa yang diberikan (Wells et al., 2011). Sementara mendefinisikan dan mengelompokkan konsumen yang peduli akan lingkungan (the green consumer) sulit untuk memberikan gambaran terminologinya. Konsumen tidak selalu memiliki pola pikir yang jelas tentang cara berpikir akan ramah lingkungan, yang menyebabkan kebingungan mengenai mentalitas tentang ramah lingkungan (Rettie et al., 2012).

Konsumsi memiliki berbagai dampak sosial-ekonomi, sehingga terjadi pergeseran paradigma, kekhawatiran konsumen baru muncul untuk konsumsi berkelanjutan. Untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan antisipasi generasi mendatang, konsumsi berkelanjutan mengacu pada pola mengurangi konsumsi sumber daya alam, perubahan gaya hidup dan konsumsi produk ramah lingkungan. Konsumsi dan gaya hidup disesuaikan dengan kebiasaan dan konteks

(2)

yang rawan berubah berdasarkan nilai-nilai pribadi, persepsi tertentu dan informasi (lingkungan dan nilai pengetahuan), pengaruh konteks sosial seperti penerimaan, identitas kelompok sebaya (nilai sosial) dan kesempatan seperti ketersediaan alternatif pada harga yang kompetitif (nilai kondisional). Penelitian tentang usaha untuk memahami perilaku konsumsi berkelanjutan telah banyak diteliti oleh kelompok – kelompok akademisi. Beberapa penelitian tersebut antara lain tentang perilaku konsumsi berkelanjutan dan perilaku konsumsi yang ramah lingkungan (Wang et al., 2013;.. Zsoka et al., 2013); produk daur ulang, perilaku pengelolaan sampah (Barr et al., 2005); dan perilaku hemat energy (Gadene et al., 2011).

2. Produk Ramah Lingkungan

Produk ramah lingkungan telah berevolusi sebagai akibat dari keprihatinan tentang tingkat polusi global, pemanasan global,yang mengurangi cadangan alam, dan meluapnya limbah-limbah (Srivastava, 2007). Konsep ini ditemukan awalnya di bidang manufaktur ramah lingkungan dan pengadaan lingkungan, tetapi sekarang berada di semua rantai pasokan (Srivastava, 2007). Dalam rantai pasokan modern, konsumen dianggap sebagai bagian integral dari rantai dan karenanya konsep konsumerisme ramah lingkungan telah berkembang sebagai hasil dari arus informasi hilir melalui saluran pemasaran (Srivastava, 2007). Konsumen telah banyak diuntungkan berkat standar ramah lingkungan, teknologi, dan praktik di rantai pasokan (Azevedo et al., 2011).

Beberapa peneliti memberikan definisi produk ramah lingkungan yang berbeda beda. Menurut Shamdashami et al. (1993), produk ramah lingkungan

(3)

berarti produk yang tidak menyebabkan polusi pada bumi atau tidak merusak sumber daya alam, dan dapat didaur ulang atau dilestarikan. Produk ramah lingkungan juga dapat diartikan sebagai produk yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan karena tidak / sedikit mengandung bahan yang berbahaya bagi lingkungan, hemat energi dalam proses produksi dan konsumsinya, serta tidak mencemari udara, air, dan tanah. Produk ramah lingkungan biasanya dibuat oleh perusahaan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan membayar pekerja dan pemasoknya dengan layak. (http://extension.unh.edu, 2008). Dengan kata lain, produk ramah lingkungan adalah produk yang menggabungkan strategi daur ulang atau mengandung bahan daur ulang, mengurangi bahan beracun yang dapat merusak lingkungan (Chen dan Chai, 2010).

Produk ramah lingkungan telah terbukti mengurangi bahaya efek samping, mengurangi zat-zat beracun, mengurangi masalah kesehatan, peningkatan daur ulang, dan perbaikan ramah lingkungan (Azevedo et al., 2011). Selama periode keuntungan ekonomi juga bisa direalisasikan karena manfaat kepada konsumen. Misalnya, peningkatan daur ulang, membantu dalam mengurangi biaya pembuangan limbah (Azevedo et al., 2011). Keuntungan dari produk ramah lingkungan berasal dari siklus hidup manfaat (Kaiser et al., 2001). Banyak dampak lingkungan rusak yang disebabkan oleh penggunaan sumber daya alam dalam jumlah yang besar, metode manufaktur yang berbahaya, cara penggunaan produk yang berbahaya, pola generasi limbah yang berbahaya, dan pola pembuangan yang berbahaya (Kaiser et al., 2001). Sebuah produk yang ramah lingkungan mungkin lebih mahal daripada produk yang lain tetapi juga

(4)

berdampak memiliki biaya siklus hidup yang lebih rendah (Steen, 2005). Misalnya, produk yang dapat didaur ulang dengan mudah menyebabkan dampak negatif yang relatif kecil pada lingkungan (Kaiser et al., 2001).

Konsumsi ramah lingkungan yang berkelanjutan membantu dalam meningkatkan kualitas hidup dari perspektif mengurangi masalah lingkungan, pertumbuhan ekonomi yang membaik, peningkatan keamanan, pengembangan kerja masyarakat ditingkatkan, pemerataan sumber daya alam, peningkatan kesejahteraan, gaya hidup sehat, dan tanggung jawab sosial (Kilbourne et al., 1997 dalam Paraschos, 2014). Konteks konsumsi ramah lingkungan dapat dilihat baik dari sisi sosiologis dan pribadi mengingat bahwa konsumen perlu mempertimbangkan tambahan pada gaya hidup dan gaya hidup dari orang lain dalam komunitas (Spaargaren, 2003). Oleh karena itu, produk hijau harus menawarkan manfaat ekonomi yang baik, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan mengurangi kesehatan dan dampak negatif dari gaya hidup (Ottman, 2008). CFL bohlam adalah contoh yang baik dari produk yang ramah lingkungan yang dapat memotong tagihan listrik secara signifikan, beroperasi dengan cara yang signifikan dan tidak berbahaya, serta menghasilkan pencahayaan yang baik (Ottman, 2008).

(5)

Tabel 2

Penelitian Terdahulu No Nama

Peneliti Produk Independent Variabel Dependen Variabel Penemuan 1 Nozarah dan Norbayah (2015, Malaysia) Produk ramah lingkungan pada umumnya Nilai fungsional, Nilai sosial, Nilai emosional, Nilai kondisional, Nilai epistemic Kepedulian konsumen tentang lingkungan melalui produk ramah lingkungan Memberikan informasi kepada perusahaan untuk lebih menekankan tentang nilai konsumsi untuk memproduksi produk ramah lingkungan yang akan mudah disukai oleh konsumen. 2 Andrilia Biswas dan Mousumi Roy (2014, India) Produk ramah lingkungan pada umumnya Nilai fungsional, Nilai sosial, Nilai kodisional, Nilai lingkungan, Nilai Pengetahuan Perilaku konsumsi

berkelanjutan Harga yang tinggi mempengaruhi keputusan konsumen, nilai sosial menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku konsumsi berkelanjutan. 3 Pei-chun Lin, Yi-Hsuan Huang (2011, Taiwan) Sabun cuci ramah lingkungan dan AC ramah lingkungan Nilai fungsional, Nilai sosial, Nilai emosional, Nilai kondisional, Nilai epistemic Pemilihan perilaku konsumen ttg produk ramah lingkungan

Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan konsumen ttg produk ramah lingkungan adalah nilai sosial, nilai emosional, nilai kondisional, nilai epistemik. 4 T. Ramayah, Jason Wai Chow Lee, Osman Mohamad (2010, Malaysia) Produk ramah lingkungan pada umumnya Sikap terhadap dampak lingkungan, Sikap terhadap konsekuensi individu, Nilai transendensi diri, Niat membeli, Sikap terhadap dampak lingkungan, Sikap terhadap konsekuensi individu Sikap terhadap konsekuensi individu berdampak negatif terhadap niat membeli, sikap terhadap dampak lingkungan tidak berpengaruh terhadap niat beli,

5 Selim Aren et al (2013, Turki)

Produk di

Toko online Persepsi Kemudahan penggunaan, persepsi manfaat yang dirasakan, kepercayaan Kenikmatan, Niat Pembelian Kembali Persepsi Kemudahan penggunaan, persepsi manfaat yang dirasakan, kepercayaan berdampak positif terhadap Niat Pembelian Kembali

(6)

Peattie dan Derek (2005: P 364-365) menyimpulkan bahwa pengembangan produk dan pemasaran ramah lingkungan harus dimulai dengan pengetahuan, kepercayaan, sikap, kebutuhan, dan keinginan konsumen, harus dilakukan dengan perspektif jangka panjang, harus dilakukan dengan komitmen penuh dari manajemen sumber daya perusahaan, dan harus inovatif. Produk ramah lingkungan serta strategi pemasaran harus dirancang berdasarkan pola konsumsi konsumen yang sebenarnya dan dilakukan segmentasi konsumen (Ginsberg, 2004). Ini melibatkan pengembangan 4P pemasaran secara terpisah untuk produk ramah lingkungan mengingat pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang manfaat ramah lingkungan, dan kebutuhan serta keinginan konsumen (Banyte et al., 2010; Prakash, 2002). Hal ini jelas bahwa konsumerisme yang ramah lingkungan adalah subjek utama untuk meneliti untuk mendukung perumusan strategi untuk pengembangan produk dan pemasaran yang ramah lingkungan. Ringkasan penelitian terdahulu tentang produk ramah lingkungan disajikan pada Tabel 2.

3. Niat Pembelian Kembali

Niat pembelian kembali menunjukkan kesediaan individu untuk melakukan pembelian lain dari perusahaan yang sama, berdasarkan pengalaman sebelumnya (Hellier et al., 2003 dalam Cangsu et al., 2012). Dengan demikian, identifikasi faktor-faktor penentu niat pembelian kembali adalah sangat penting untuk peneliti dan praktisi. Namun, menurut Hellier et al. (2003), penelitian sebelumnya pada niat pembelian kembali pada konsumen sebagian besar telah terfragmentasi, dan beberapa studi telah menguji struktur berdasarkan kerangka diverifikasi model.

(7)

Penelitian ini mencoba menjelaskan hubungan antara efek nilai-nilai konsumsi terhadap niat pembelian kembali pada produk yang ramah lingkungan.

Menurut Chiu et al. (2014), konsumen yang sudah tetap lebih menguntungkan, karena dari waktu ke waktu konsumen yang sudah tetap menghabiskan sedikit waktu dan usaha untuk mengevaluasi suatu produk karena telah loyal terhada suatu produk, dan menurut Zhou (2012), konsumen tetap membuat penjual menghemat waktu dan usaha tentang penyediaan produk dan informasi harga dibandingkan dengan konsumen yang baru. Penggunaan Ulang (Repeat Usage) Terciptanya kepuasan pelanggan juga dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: (a) hubungan antara pelanggan dan perusahaan menjadi harmonis; (b) memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang; (c) terciptanya loyalitas dan; (d) membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut (Tjiptono, 2007:24). Assael (2004) menyatakan bahwa loyalitas merek adalah sikap positif atau menyenangkan yang ditunjukkan oleh seorang pelanggan terhadap suatu merek, sehingga secara konsisten membeli merek tersebut secara terus-menerus.

Menurut Hicks et al. (2005), dengan terjadinya konsumen yang benar-benar merasa puas (delighted consumer) akan berdampak positif terhadap tingkat konsumsi, yang berdasar pada pengalaman dalam mengkonsumsi produk atau jasa tersebut. Jika konsumen benar-benar merasa puas, maka konsumen akan menjadi lebih suka untuk membeli ulang produk tersebut. Dalam penelitiannya, Hicks et al. (2005) menyatakan bahwa kepuasan (satisfaction) dan benar-benar puas (delight), keduanya berdampak positif pada intensitas pembelian ulang, di mana

(8)

benar-benar puas mempunyai dampak yang lebih besar daripada kepuasan sebab sudah merupakan emosi, yang mana lebih tertanam dalam diri konsumen dibanding hanya sekedar rasa puas (feeling of satisfaction). Suatu produk dikatakan telah dikonsumsi oleh konsumen apabila produk tersebut telah diputuskan oleh konsumen untuk dibeli. Keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh nilai produk yang dievaluasi. Bila manfaat yang dirasakan lebih besar dibanding pengorbanan untuk mendapatkannya, maka dorongan untuk membelinya semakin tinggi. Sebaliknya bila manfaatnya lebih kecil dibanding pengorbanannya maka biasanya pembeli akan menolak untuk membeli dan umumnya beralih mengevaluasi produk lain yang sejenis. Duck (2005) menjelaskan tindakan pascapembelian atau penggunaan yang disebabkan oleh adanya kepuasan yang dirasakan pelanggan atas produk yang telah dibeli atau dikonsumsi sebelumnya. Apabila poduk (barang atau jasa) tersebut telah memenuhi harapan pelanggan, maka pelanggan akan membeli atau menggunakan kembali produk tersebut, namun apabila tidak sesuai dengan harapan pelanggan, maka pelanggan akan bereaksi sebaliknya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa niat pemakaian ulang didefinisikan sebagai seberapa jauh keinginan pelanggan untuk kembali menggunakan produk terkait dengan tingkat konsumsi yang sama atau lebih dari sebelumnya.

B. Pengembangan Hipotesis

Tiga proposisi mendasar dari teori nilai konsumsi adalah: (1) pilihan konsumen adalah fungsi dari beberapa nilai konsumsi, (2) nilai-nilai konsumsi

(9)

membuat kontribusi yang berbeda dalam pada setiap situasi yang berbeda, dan (3) nilai-nilai konsumsi independen atau tidak terikat. Teori ini telah digunakan dan diuji di lebih dari 200 aplikasi, dan telah menunjukkan secara konsisten menghasilkan validitas prediktif yang baik (Sheth et al., 1991). Sheth et al. (1991) mengaplikasikan untuk keputusan membeli (perokok atau bukan perokok), produk keputusan (disaring atau non-disaring rokok), dan keputusan merek (Marlboro atau Virginia Slim). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa nilai emosional yang paling berpengaruh dalam membedakan antara perokok dan non-perokok, nilai fungsional yang paling berpengaruh dalam membedakan perokok pada saat memilih filter rokok, dan nilai sosial yang paling berpengaruh pada perokok diskriminatif yang memilih Marlboro. Sweeney dan Soutar (2001) mengadopsi nilai fungsional, nilai sosial, dan nilai emosional untuk mengembangkan skala nilai yang dirasakan untuk menilai persepsi pelanggan pada nilai komoditas merek. Sweeney dan Soutar (2001) tidak mengadopsi nilai epistemik dan nilai kondisional karena ini berpotensi kurang penting ketika mempertimbangkan pembelian tahan lama, dan tujuannya adalah untuk mengembangkan dan mengukur. Penelitian ini, setelah mempertimbangkan karakteristik produk ramah lingkungan, mengadopsi nilai-nilai konsumsi.

1. Pengaruh Nilai Fungsional terhadap Niat Membeli Kembali Nilai fungsional diukur dengan persepsi konsumen tentang kinerja fisik ditentukan oleh faktor-faktor seperti keandalan, daya tahan, dan harga, yang menggabungkan untuk menghasilkan manfaat fungsional bagi konsumen. Hal ini

(10)

dinilai sebagai pendorong utama perilaku pilihan konsumen dalam keputusan pembelian produk ramah lingkungan (Sheth et al., 1991;. Bei dan Simpson, 1995). Nilai fungsional dari produk ramah lingkungan dipengaruhi oleh kinerja fisik ditentukan oleh faktor-faktor seperti keandalan, daya tahan, dan harga, yang menggabungkan untuk menghasilkan manfaat fungsional bagi konsumen. Konsumen yang ramah lingkungan sadar lebih memilih untuk membeli produk ekologi yang menggunakan bahan alam untuk kosmetik, produk kayu dari hutan lestari, sayuran organik, aerosol ramah ozon, dan tidak diuji pada hewan (Norazah, 2015). Konsumen minuman di Jerman menunjukkan perilaku ramah lingkungan meskipun tidak siap untuk berkompromi dengan harga dan rasa untuk kemasan yang ramah lingkungan. Pada konsumen Taiwan yang mempunyai pendapatan yang lebih tinggi akan membayar harga premiun, untuk produk ramah lingkungan yang memiliki kualitas unggul (Tsay, 2010). Pada tahun 1989, 67% orang Amerika menyatakan bahwa mereka bersedia untuk membayar 10% lebih tinggi untuk produk ramah lingkungan. Laroche et al. (2001) melakukan berbagai survei di lapangan pada beberapa periode. Pada 1991, konsumen yang sadar lingkungan bersedia membayar antara 15% sampai 20% lebih mahal untuk produk yang ramah lingkungan. Pada 1993, dalam survei di Inggris, 79% dari responden perempuan menyatakan kesediaan untuk membayar sampai 40% lebih tinggi untuk produk yang terbukti ramah terhadap lingkungan.

Hal ini jelas bahwa beberapa konsumen cukup peduli tentang kerugian ekologi untuk memilih membayar lebih tinggi untuk produk ramah lingkungan. Akhirnya telah ada kenaikan jumlah konsumen di negara-negara maju yang

(11)

mengambil langkah-langkah substantif untuk mengurangi degradasi lingkungan dan setuju untuk membayar harga premium untuk produk ramah lingkungan (Laroche et al., 2001). Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsumen mempertimbangkan harga dan kualitas untuk mempengaruhi keputusan untuk membeli dan membeli kembali pada produk yang ramah lingkungan. Berdasarkan diskusi diatas, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut:

H1a: Pengaruh nilai fungsional kualitas mempunyai efek positif terhadap niat konsumen untuk membeli kembali produk yang ramah lingkungan.

H1b: Pengaruh nilai fungsional harga mempunyai efek positif terhadap niat konsumen untuk membeli kembali produk yang ramah lingkungan.

2. Pengaruh Nilai Sosial terhadap Niat Membeli Kembali

Nilai sosial adalah utilitas yang dirasakan dan diperoleh dari asosiasi alternatif dengan satu atau kelompok sosial yang lebih spesifik yang didefinisikan sebagai nilai dan diukur melalui asosiasi produk dengan berbagai kelompok referensi pelanggan (Sheth et al., 1991, hal. 162). Oleh karena itu, konsumen yang memilih untuk membeli produk ramah lingkungan tidak hanya membantu untuk melestarikan lingkungan, tetapi mereka juga memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama (Perrin dan Barton, 2001). Disarankan bahwa upaya pemasaran berbasis lingkungan harus dikaitkan secara eksplisit untuk menguntungkan hasil. Oleh karena itu, pemasar harus menunjukkan bagaimana konsumen yang memilih produk ramah lingkungan membantu dalam perjuangan untuk melestarikan lingkungan hidup (Norazah dan Norbayah, 2015).

(12)

Kepentingan relatif menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya harus eksplisit dalam menghubungkan strategi dengan hasil yang menguntungkan, tetapi mereka juga harus menunjukkan bagaimana orang lain selain perusahaan mengetahui hasil yang baik (Straughan dan Roberts, 1999). Selain itu, telah ditemukan bahwa ada hubungan tidak signifikan antara pengaruh sosial dan perilaku adopsi produk ramah lingkungan (Biswas dan Roy, 2015), dan perilaku pilihan konsumen (Kalafatis et al., 1999;. Lin dan Huang, 2012; Shamdasani et al., 1993), tetapi terdapat hubungan yang signifikan dengan konsumsi yang berkelanjutan melalui pembelian produk ramah lingkungan (Biswas dan Roy, 2015). Namun, konsumen sangat bergantung pada pendapat ahli sebagai sarana mengurangi persepsi mereka terhadap risiko (Aqueveque, 2006).

Berdasarkan diskusi diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial memegang peranan penting dalam konsumsi berkelanjutan yang nantinya mengarah kepada niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan, dimana pendapat ahli maupun orang lain memberikan kontribusi yang besar juga terhadap produk ramah lingkungan. Maka dari itu dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut: H2: Pengaruh nilai sosial mempunyai efek positif terhadap niat konsumen untuk membeli kembali produk yang ramah lingkungan.

3. Pengaruh Nilai Emosional terhadap Niat Membeli Kembali

Nilai emosional mengacu pada utilitas yang dirasakan berasal dari kapasitas alternatif untuk menggugah perasaan atau pernyataan afektif (Sheth et al., 1991, hal. 162). Nilai-nilai emosional konsumen berbeda antar individu sesuai dengan

(13)

pengalaman pribadi dan emosional mereka, yaitu baik positif, negatif atau campuran dari keduanya, yang mempengaruhi keputusan pembelian (MacKay, 1999; Sheth et al., 1991). Memang, perilaku pilihan mereka menyimpang sesuai dengan situasi (Sheth et al., 1991). Konsumen dengan nilai-nilai emosional yang positif melakukan pembelian ramah lingkungan dirasa menyenangkan dan membuat keyakinan mereka berperilaku secara bertanggung jawab dengan melindungi lingkungan (Lin dan Huang, 2012; Rex dan Baumann, 2007). Bei dan Simpson (1995) menemukan bahwa sebagian besar responden (89,1%) merasa bahwa mereka menyelamatkan lingkungan ketika mereka membeli produk daur ulang.

Oleh karena itu, nilai emosional yang dirasakan dan didapatkan konsumen dalam mengkonsumsi produk ramah lingkungan sangat berpengaruh pada niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan. Sehingga penelitian ini mengusulkan hipotesa sebagai berikut:

H3: Pengaruh nilai emosional mempunyai efek positif terhadap niat konsumen untuk membeli kembali produk yang ramah lingkungan.

4. Pengaruh Nilai Kondisional terhadap Niat Membeli Kembali Nilai kondisional adalah utilitas yang dirasakan yang berasal dari alternatif sebagai hasil dari situasi tertentu atau mengatur keadaan dalam menghadapi pembuatan keputusan (Sheth et al., 1991). Belk (1974) mendefinisikan situasi sebagai salah satu di mana semua faktor berhubungan dengan waktu tertentu dan tempat-tempat dan tidak bergantung pada pengetahuan pribadi (intra-individu)

(14)

dan stimulus (pilihan alternatif) atribut, yang memiliki efek pada perilaku saat ini. Variabel situasional mengacu pada keadaan sekitar individu karena mereka menanggapi rangsangan berkaitan dengan kebutuhan dan keinginan mereka (Nicholls et al., 1996). Ketika situasi pribadi, yaitu, variabel situasional konsumen, mengalami perubahan, perilaku pembelian konsumen dapat dipengaruhi (Laaksonen, 1993). Lin dan Huang (2012) menemukan bahwa nilai kondisional mempengaruhi perilaku konsumen dalam memilih dan konsumen mencatat tentang konsekuensi lingkungan selama pengambilan keputusan dalam membeli. Namun, nilai kondisional juga merupakan prediktor signifikan dari perilaku konsumsi ramah lingkungan yang berkelanjutan (Biswas dan Roy, 2015). Riset konsumen menemukan bahwa perubahan variabel situasional konsumen dapat mempengaruhi adopsi produk ramah lingkungan (Saxena dan Khandelwal, 2010; Niemeyer, 2010; Gadenne et al., 2011).

Berdasarkan diskusi diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai kondisonal mempunyai pengaruh terhadap adopsi produk ramah lingkungan dan konsumsi berkelanjutan, sehingga nilai kondisional memberikan pengaruh positif terhadap niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini mengusulkan hipotesis sebagai berikut:

H4: Pengaruh nilai kondisional mempunyai efek positif terhadap niat konsumen untuk membeli kembali produk yang ramah lingkungan.

(15)

Nilai epistemik mengacu pada utilitas yang dirasakan dan diperoleh dari kapasitas alternatif untuk membangkitkan rasa ingin tahu, memberikan kebaruan, atau memuaskan keinginan untuk pengetahuan (Sheth et al., 1991 p. 162). Dalam hal produk yang ramah lingkungan, nilai epistemik seperti karakteristik produk dan desain produk, secara signifikan mempengaruhi perilaku konsumen (Lin dan Huang, 2012), terlihat pada konsumen yang membeli produk disebabkan keakraban mereka dengan suatu merek tertentu atau perhatian mereka untuk produk baru, atau memang antusiasme untuk belajar tentang produk baru. Faktanya, penelitian telah menunjukkan bahwa konsumen dapat mengakses informasi terkait produk-dan pengetahuan tentang bagaimana sebuah produk yang dihasilkan, bagaimana ini mempengaruhi lingkungan, dan tanggung jawab kolektif yang harus dicapai untuk pembangunan berkelanjutan (Kaufmann et al., 2012). Secara khusus, dalam hal daur ulang, perilaku konsumen dipengaruhi oleh pengetahuan mereka tentang proses daur ulang seperti sistem pengumpulan sampah, dan sistem pembayaran (Hanyu et al., 2000). Nilai epistemik pada penelitian sebelumnya telah menegaskan adalah prediktor utama perilaku konsumsi yang ramah lingkungan (Biswas dan Roy, 2015).

Pengetahuan lingkungan ini secara signifikan memberi kecenderungan akan perilaku yang ramah lingkungan dan mempromosikan sikap yang menguntungkan terhadap konsumsi produk ramah lingkungan. Jika konsumen ingin terus mengkonsumsi produk ramah lingkungan, maka niat untuk membeli kembali produk hijau juga sangat besar. Oleh karena itu, penelitian ini mengusulkan hipotesis sebagai berikut:

(16)

H5: Pengaruh nilai epistemik mempunyai efek positif terhadap niat konsumen untuk membeli kembali produk yang ramah lingkungan.

C. Kerangka pemikiran

Berdasarkan literatur yang disebutkan di atas, model yang diusulkan diilustrasikan pada Gambar 1 dimana hipotesis diformulasikan dalam kaitannya dengan proposal oleh Sheth et al. (1991). Model yang diusulkan mendalilkan bahwa nilai fungsional langsung mempengaruhi konsumen dalam niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan. Berikutnya, model ini juga menunjukkan bahwa kedua nilai emosional dan nilai kondisional memiliki efek langsung pada konsumen tentang niat membeli kembali produk yang ramah lingkungan. Demikian juga, faktor akhir dikenal sebagai nilai kondisional dan nilai epistemik, seperti yang digambarkan dalam model, dampak langsung pada konsumen tentang pengetahuan akan produk yang ramah lingkungan akan berpengaruh pada niat pembelian kembali.

(17)

NILAI KONSUMSI

Sumber: Aindrila dan Mousumi (2014); Norazah dan Norbayah (2015); Selim et al. (2013)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Dari gambar 1 dapat dijelaskan bahwa variabel nilai fungsional, nilai sosial, nilai emosional, nilai kondisional, dan nilai epistemik dapat mempengaruhi niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan.

1. Variabel bebas (Independent Variable) adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Adalah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen, variabel bebas penelitian ini adalah nilai konsumsi yang terdiri dari nilai fungsional, nilai sosial, nilai emosional, nilai kondisional, dan nilai epistemik yang

Nilai Fungsional Nilai Sosial Nilai Emosional Nilai Kondisional Nilai Epistemik Niat Pembelian Kembali pada produk yang Ramah

(18)

mempengaruhi niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan di kota Surakarta.

2. Variabel terikat (Dependent Variable) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, yang termasuk variabel terikat adalah niat pembelian kembali pada produk ramah lingkungan di kota Surakarta.

(19)

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan karena unsur N yang terkandung dalam pupuk bokashi kotoran sapi yang mengandung hara makro maupun mikro berguna dalam pembelahan dan pembesaran

Prosedur pengajuan permohonan surat izin kerja diajukan kepada walikota dengan dilampiri persyaratan yang telah ditentukan dan mengisi formulir yang telah disediakan..

Kali ini, kami meminta kesediaan bapak/ibu/saudara untuk membantu penelitian ini dengan mengisi kuesioner ini merupakan hal yang sangat berharga bagi kami, oleh karena

Aspek yang dievaluasi terkait implementasi program tridarma perguruan tinggi yaitu ketepatan waktu seperti proses belajar men- gajar, evaluasi belajar dan penyelesaian studi

Geosintetik berkekuatan tarik tinggi merupakan solusi dengan biaya efektif untuk meningkatkan dan mempercepat stabilitas timbunan yang dibangun di atas pondasi tanah

Dari hasil penelitian yang merupakan faktor pendorong pengembangan kampung Saribu Rumah Gonjong adalah kesadaran masyarakat yang cukup tinggi, atraksi alam dan budaya yang

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel pemediasi pada karyawan bagian produksi PT

Perancangan perangkat lunak APILL adaptif dengan menyesuaikan panjang antrian dapat diterapkan pada ruas jalan yang memiliki separator yang digunakan untuk