• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPOR BIOMASSA UB UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN ENERGI. M. Nurhuda. Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Brawijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPOR BIOMASSA UB UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN ENERGI. M. Nurhuda. Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Brawijaya"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

29

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

KOMPOR BIOMASSA UB UNTUK MENDUKUNG

KEMANDIRIAN ENERGI

M. Nurhuda

Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Brawijaya

mnurhuda@gmail.com

S A R I

Kompor biomassa UB merupakan kompor dengan konsep aliran udara alami yang menggunakan biomassa padat sebagai bahan bakar. Terdapat dua jenis kompor biomassa UB, yakni kompor UB untuk bahan bakar bongkahan seperti potongan kayu, briket biomassa dan kompor UB untuk bahan bakar granular, seperti cangkang sawit kasar, kulit kemiri dan pellet biomassa. Kedua jenis kompor UB tersebut hanya berbeda tabung pembakarannya, tetapi dapat dipertukarkan satu sama lain. Dibandingkan dengan tungku tiga batu, kompor biomassa UB mampu menghemat pemakaian bahan bakar hingga sedikitnya 60% dan mengurangi emisi karbon monoksida dan polutan padat secara signifikan. Untuk bahan bakar pelet biomassa, kompor biomassa UB mampu menampilkan kinerja pembakaran bebas asap, sehingga layak digunakan untuk memasak dalam ruangan (indoor cooking). Ke depan, perlu dirancang kebijakan untuk memanfaatkan limbah biomassa sebagai pellet bahan bakar dalam rangka mewujudkan kemandirian energi bagi bangsa.

Kata kunci : hemat energi, inkubasi, kompor biomassa

1. PENDAHULUAN

Lebih dari separuh penduduk dunia saat ini masih menggunakan biomassa padat seperti kayu bakar, limbah pertanian, kotoran sapi atau kerbau, dan juga batubara sebagai sumber bahan bakar utama untuk memasak di rumah tangga dan menghangatkan ruangan (Bruce dkk., 2000). Di Indonesia, lebih dari 24.5 juta keluarga masih bergantung pada biomassa padat untuk memasak (World Bank, 2014). Dengan semakin terbatas dan tidak stabilnya harga bahan bakar fosil, maka masyarakat akan cenderung kembali ke kayu bakar merupakan pilihan paling rasional dan murah untuk masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, sulitnya akses mendapatkan bahan bakar bersih seperti liquified petrolium gas (LPG) serta kekhawatiran terhadap faktor keamanan dalam

penggunaan LPG, menjadikan sebagian masyarakat masih enggan beralih ke LPG dan tetap bertahan menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya menggunakan tungku tradisional (pawon) dengan sanitasi yang buruk. Kemiskinan dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya polusi udara di ruangan dapur membuat mereka masih bersikukuh dengan dapur tradisional (Gambar 1). Pembakaran biomassa padat menggunakan tungku tradisional dapat menghasilkan emisi gas karbon monoksida (CO), partikel halus (PM) dan gas-gas polutan lainnya dalam jumlah besar. Berdasarkan kajian, tingkat emisi polusi udara dalam ruang yang diakibatkan oleh penggunaan biomassa padat bisa mencapai 20-100 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat polusi maksimum

(2)

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

dengan bahan bakar yang bersih seperti LPG

atau gas alam, dan seringkali 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat polusi maksimum yang diperbolehkan sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh WHO (YDD, 2014). Paparan gas-gas tersebut menyebabkan masalah kesehatan yang serius pada pengguna baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Paparan karbon monoksida (CO) dalam dosis tinggi akan menimbulkan gejala-gejala seperti pusing, hilangnya kesadaran hingga kematian mendadak. Kontak berjam-jam pengguna tungku biomassa tradisional dengan tingkat emisi tinggi setiap harinya berpotensi menimbulkan penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA). Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok paling beresiko ISPA. Beberapa kajian menunjukkan bahwa ISPA meningkat seiring dengan peningkatan jangka waktu berada di dekat tungku biomassa (Fuller-ton dkk., 2008).

Gambar 1. Tipikal dapur tradisional yang ada di Indonesia

Dilain pihak, efisiensi pembakaran dan penggunaan panas pada tungku biomassa tradisional umumnya sangat rendah, yakni pada kisaran 5-15% (ARC, 2010). Ini berarti, kita menggunakan biomassa (bahan bakar) yang banyak, namun energi yang dihasilkan untuk

memasak hanya sedikit. Jika kebutuhan kayu bakar yang banyak tersebut sulit dipenuhi dengan ranting dan dahan di sekitar tempat tinggal mereka, maka masyarakat akhirnya mencari kayu hingga ke hutan-hutan dan menebang pohon. Jika kecenderungan di atas dibiarkan, akan berpotensi menimbulkan kemarau berkepanjangan dan banjir besar akibat hilangnya media penahan air.

Dengan demikian, penggunaan biomassa sebagai bahan bakar dengan peralatan tungku tradisional memunculkan dua masalah mendasar, yakni: (i) masalah kesehatan akibat paparan udara terpolusi di ruangan dapur, dan (ii) deforestisasi akibat kebutuhan biomassa dalam jumlah besar yang tidak dapat dipenuhi oleh kayu dan ranting di kebun-kebun mereka. Karenanya, penting dicarikan jalan keluar agar mereka tetap dapat menggunakan kayu bakar, tetapi dengan cara yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.

Dalam konteks ini, penggunaan kompor biomassa hemat energi merupakan sebuah keniscayaan. Kehadiran kompor biomassa UB diharapkan mampu memberikan jawaban, terutama bagi masyarakat miskin, agar mereka tetap dapat memperoleh akses energi secara murah dari biomassa di lingkungan sekitar mereka, tanpa mengorbankan lingkungan dan kesehatan mereka. Untuk masyarakat miskin perkotaan, tersedia alternatif mengolah sampah organik menjadi briket atau pelet sampah. Bila hal ini dilakukan, bukan saja masyarakat miskin mendapatkan akses energi murah dan membuka peluang usaha baru, tetapi juga akan menyelesaikan problem lingkungan terkait sampah organik.

Tulisan ini membahas kompor biomassa UB, dari aspek teknis hingga ke bisnisnya, serta kendala-kendala yang dihadapi sejak awal diluncurkan hingga saat ini. Pada bagian akhir akan diberikan beberapa rekomendasi terkait kebijakan dalam bidang energi, terutama sekali energi untuk kebutuhan rumah tangga.

(3)

31

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

2. KOMPOR BIOMASSA UB

Suatu senyawa karbon dapat dibakar secara sempurna apabila material tersebut hadir dalam wujud gas. Bila materi bahan bakar tersebut berwujud padatan atau cairan, diperlukan proses pendahuluan yang mengubah padatan atau cairan menjadi gas. Proses pengubahan bahan bakar padat menjadi gas yang siap dibakar dikenal sebagai proses gasifikasi (Rajvanshi, 1986). Secara teknis, gasifikasi bahan bakar padat, terutama biomassa dan batubara dilakukan dengan cara membakar bahan bakar secara tak sempurna dengan mengendalikan pasokan udara. Hasil pembakaran tak sempurna tersebut adalah asap yang merupakan campuran gas-gas yang mengandung H2, CO, CH4, CO2, SOx, NOx, dan uap air. Sebagian dari gas-gas tersebut, yaitu hidrogen (H2), karbonmonoksida (CO), dan metana (CH4) adalah gas-gas yang dapat terbakar, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Kompor gasifikasi adalah kompor yang bekerja dengan prinsip pembakaran 2 tingkat (Roth, 2014). Tingkat pertama adalah gasifikasi bahan bakar, sedangkan tingkat kedua adalah pembakaran asap. Skema dasar kompor gasifikasi ditunjukkan pada Gambar 2. Bahan bakar yang berada di bagian bawah tabung bakar pada awalnya dibakar secara tak sempurna, melalui pasokan udara primer yang dikontrol sehingga menghasilkan asap yang jumlahnya memenuhi critical mass untuk menghasilkan api. Selanjutnya asap tersebut kemudian dibakar dengan pasokan udara sekunder berlebih. Dengan cara di atas dapat diperoleh api yang relatif lebih bersih ketimbang api dari pembakaran langsung.

Meski secara teori kompor gasifikasi mampu menghasilkan api lebih bersih, implementasi langsung prinsip pembakaran 2 tingkat tersebut menimbulkan banyak masalah, di antaranya adalah keluarnya asap yang membubung ketika produksi asap bahan bakar di bawah critical mass untuk menghasilkan api. Umumnya, fase ini terjadi ketika peralihan dari fase gasifikasi ke fase pembakaran arang. Di samping itu, panas

tak terpakai yang mengarah ke badan luar kompor cukup tinggi, menyebabkan badan kompor terlalu panas untuk disentuh. Kendala yang lain adalah laju produksi tar relatif tinggi dibandingkan dengan pembakaran langsung.

Udara sekunder

Udara primer

Gambar 2. Skema dasar kompor gasifikasi

Kompor biomassa UB merupakan kompor gasifikasi biomassa yang memadukan prinsip-prinsip termodinamika untuk mengoptimalkan pembakaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah pemanasan awal udara primer dengan menggunakan residu panas menyamping tabung pembakaran, pembakaran awal asap dengan menggunakan residu udara primer, manipulasi arah gerak udara sekunder agar menentang arah gerak asap sehingga percampuran asap dan udara sekunder menjadi lebih bagus. Invensi tersebut telah mendapatkan sertifikat Ditjen HAKI dengan nomor paten ID P0032290 dan ID P000034916.

Dalam perkembangan lebih lanjut, ditemukan metode pembakaran untuk bahan bakar granu-lar, seperti cangkang sawit kasar, kulit kemiri, dan pellet biomassa (Gambar 3). Berbeda dengan kompor berbahan bakar bongkahan, pasokan udara primer untuk gasifikasi dan pembakaran awal dibuat secara difused tetapi terdistribusi merata ke seluruh bahan bakar. Temuan kompor biomassa dengan bahan bakar granular ini juga telah didaftarkan di Ditjen HAKI dengan nomor pendaftaran P00201100604.

(4)
(5)

33

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Tampak bahwa kompor biomassa UB03 unggul pada hampir semua indikator kinerja, yang mengindikasikan bahwa kompor biomassa UB memenuhi kriteria efisien dan bersih.

3. INKUBASI BISNIS KOMPOR BIOMASSA UB

Pengembangan kompor biomassa UB bermula tahun 2008, ketika minyak tanah langka di pasaran, sementara LPG sulit diperoleh. Jenis kompor yang pertama kali dikembangkan adalah tipe force draft yang menggunakan blower kecil untuk mengoptimalkan pembakaran. Meski sudah berwujud prototipe yang berfungsi baik, kompor biomassa tersebut urung diproduksi masal, karena minat masyarakat yang rendah disebabkan peralatan masih menggunakan listrik.

Versi kedua adalah kompor biomassa UB-02. Kompor biomassa ini merupakan kompor biomassa dengan konsep aliran udara alami, pre-heating dan self regulation untuk menstabilkan nyala api. Inkubasi bisnis dilakukan dengan bantuan program Recognition and Mentoring Program (RAMP) Indonesia, yakni sebuah program dari Lemelson Foundation yang disalurkan melalui Yayasan Inovasi Teknologi Indonesia (INOTEK). Lebih dari 1300 kompor biomassa UB-02 disalurkan ke masyarakat di Kabupaten Magelang dan beberapa wilayah di Jawa Timur pada akhir 2009 hingga awal 2010.

Namun penjualan kompor biomassa terhenti to-tal sejak masyarakat penerima konversi minyak tanah ke LPG mulai dapat menerima dan menggunakan LPG.

Meski penjualan kompor UB-02 tidak berlanjut, diperoleh learned lesson bahwa nyala api kompor biomassa UB-02 terlalu pendek untuk dapat digunakan memasak sehari-hari. Idealnya, sebuah kompor mampu menyala setidaknya 1,5 jam, agar dapat digunakan secara memadai. Berdasarkan masukan tersebut, dikembangkan jenis kompor biomassa yang mempunyai kapasitas isian bahan bakar 2 kali lipat dari versi UB-02, tetapi volume kompor secara keseluruhan tetap sama dengan versi sebelumnya. Versi kompor biomassa dengan kapasitas bahan bakar 2 kali tersebut diberi nama kompor biomassa UB-03. Bahan bakar untuk kompor biomassa UB-02 adalah potongan kayu, sedangkan untuk UB-03 dapat berupa bongkahan atau butiran, masing-masing dengan tabung bakar seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 5.

Aktifitas diseminasi kompor biomassa UB mendapatkan bantuan yang sangat berarti dari Yayasan Kopernik (www.kopernik.info) baik dalam penjualan maupun perluasan jaringan. Yayasan Kopernik melakukan serangkaian pro-gram pengenalan dan pendampingan, dimulai di sebuah desa di Kabupaten Semarang, Bojonegoro, NTB, NTT, Palu, dan daerah-daerah terpencil lain di Indonesia. Melalui pemantauan

Kompor Biomassa UB Untuk Mendukung Kemandirian Energi ; M. Nurhuda

IWA PERFORMANCE TIERS Units UB-03 G3300 M5000 Ezystove (2.5L)

High Power Thermal Efficiency % 4 2 2 2

Low Power Specific Fuel Consumption

MJ/(min·L) 3 1 1 0

High Power CO g/MJ 4 4 4 4

Low Power CO g/(min·L) 4 4 4 1

High Power PM mg/MJ 2 1 1 1

Low Power PM mg/(min·L) 4 1 1 0

Indoor CO Emissions g/min 3 4 4 4

(6)

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

yang teliti, diketahui animo masyarakat terhadap

kompor biomassa UB.

Berbeda dengan nyala api kompor LPG atau minyak tanah yang relatif kering, flue gas kompor biomassa mengandung gas-gas basah yang korosif terhadap logam. Uji coba di lapangan oleh Yayasan Kopernik tahun 2011 di Lombok menunjukkan bahwa tabung bakar dan meja kompor menjadi keropos sebelum waktunya. Kejadian di Lombok tahun 2011 tersebut menjadi catatan penting bagi perkembangan kompor biomassa UB ke depan, bahwa kompor biomassa tidak dapat dibuat dari bahan plat logam biasa, melainkan dari plat tahan panas dan tahan korosi. Namun, penggunaaan mate-rial tahan panas dan tahan korosi menyebabkan harga kompor melambung jauh di atas daya beli masyarakat. Karenanya perlu dibuat strategi, hanya tabung bakar dan meja kompor saja yang dibuat dari bahan stainless steel, sedangkan komponen lain tetap menggunakan plat logam biasa. Melalui strategi di atas, harga keekonomian kompor biomassa UB tetap terjangkau, dilain pihak usia pakai kompor juga menjadi lebih lama.

Gambar 5. Kompor biomassa UB-03 versi paling baru untuk ukuran standar (kiri) dan jumbo (kanan)

4. MENGGAGAS PROGRAM NASIONAL KEMANDIRIAN ENERGI

Naik-turunnya harga minyak saat ini menyisakan masalah yang sangat pelik bagi perekonomian

dunia. Di satu sisi negara-negara dengan produksi minyak mentah yang besar merasakan dampak positif apabila harga minyak dunia tinggi dengan keuntungan yang berlipat. Namun di sisi lain, banyak negara mengalami dampak negatif. Indonesia adalah negara yang terkena imbas langsung apabila harga minyak mentah dunia tinggi, disebabkan kebutuhan minyak yang sangat tinggi, sementara produksi minyak mentah saat ini menurun drastis kurang dari separuh yang dibutuhkan.

LPG adalah campuran antara propana (C3H8) dan butana (C4H10), yang berwujud gas pada suhu kamar. Sebagian besar LPG diperoleh dari destilat minyak bumi. Hanya sebagian kecil saja yang diperoleh dari lapangan gas. Kebutuhan LPG bersubsidi di Indonesia tahun 2014 diperkirakan mencapai 6,0 juta ton dari total kebutuhan nasional 6,6 juta ton. Sebesar 60% dari kebutuhan tersebut diperoleh melalui impor langsung, sedangkan sisanya berasal dari kilang-kilang minyak dalam negeri dan produksi dari lapangan-lapangan gas. Besaran subsidi LPG tahun 2014 mencapai sekitar 60 triliun Rupiah. Angka subsidi tersebut ditambah dengan subsidi untuk bensin dan minyak diesel lebih dari 300 triliun Rupiah. Besarnya subsidi ini sangat memberatkan keuangan negara (Kementerian ESDM, 2014).

Untuk mengurangi beban subsidi energi, diperlukan terobosan-terobosan baru dalam pencarian sumber energi. Biomassa sebagai sumber energi merupakan alternatif yang sangat baik karena disamping sifatnya yang renewable serta carbon neutral, keberadaannya dapat diperoleh di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak menimbulkan masalah transport handling yang berarti. Namun biomassa sebagai bahan bakar dalam bentuk raw material tidak praktis dan menimbulkan banyak permasalahan dalam penggunaannya. Selain itu, bahan baku biomassa yang sangat variatif memicu masalah serius bila digunakan sebagai bahan bakar kompor. Konversi biomassa menjadi pellet agar memenuhi syarat bahan bakar yang praktis dan bersih merupakan solusi atas berbagai permasalahan tersebut.

(7)

35

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Kelebihan pellet untuk bahan bakar kompor

biomassa UB, disamping mampu menghasilkan nyala tanpa asap yang setara dengan minyak tanah, adalah ketersedian bahan baku yang melimpah. Limbah biomassa seperti sekam dan jerami padi, bagasse (ampas) tebu, pohon jagung kering, dan limbah tanaman industri merupakan bahan baku pelet yang sangat baik. Sebagai contoh, produksi padi per tahun mencapai 70.4 juta ton. Dengan produksi tersebut akan menghasilkan jerami padi sedikitnya 100 juta ton (Makarim dkk, 2007). Jumlah tersebut mencukupi untuk digunakan 109 juta keluarga. Dengan tambahan sekam padi yang mencapai 15% dari berat gabah, maka kebutuhan memasak seluruh rakyat Indonesia sesungguhnya dapat dipenuhi dari jerami dan sekam padi saja. Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan baku pellet memungkinkan masyarakat dapat memperoleh energi secara murah tanpa mengorbankan pohon-pohon di hutan.

Nilai keekonomian pelet biomassa sebagai bahan bakar dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Harga bahan baku dengan total moisture content sebesar 20% pada mulut pabrik berkisar antara Rp 300-400/kg. Biaya produksi diluar bahan baku, termasuk memperhitungkan faktor penyusutan akibat pengeringan bahan baku, umumnya berkisar pada angka Rp. 400-500/kg. Bila margin perusahaan diasumsikan Rp. 400,-/kg, maka harga pellet out of factory akan ada pada rentang Rp. 1.100-1.300/kg. Harga di end users, dengan mempertimbangkan keuntungan wajar distribu-tor, diharapkan pada rentang Rp. 1500-2000/kg. Kesetaraan kandungan energi antara pelet biomassa dan LPG adalah sebagai berikut. Umumnya nilai kalori pelet biomassa pada rentang 16-19 MJ/kg, sedangkan kandungan kalori LPG sebesar 44 MJ/kg. Dengan demikian, dibutuhkan sedikitnya 3 kg pelet biomassa untuk mendapatkan nilai kalor ekivalen dengan yang dihasilkan LPG, mengingat bahwa efisiensi produksi panas kompor biomassa relatif rendah dibandingkan dengan kompor LPG. Dengan demikian, untuk mendapatkan kalori setara

dengan yang dihasilkan LPG, pengguna memerlukan biaya pada kisaran sebesar Rp. 4.500-6.000.

Harga energi pelet biomassa yang diuraikan di atas merupakan harga non-subsidi. Jika dibandingkan dengan LPG non-subsidi, maka energi pelet biomassa cukup kompetitif mengingat harga keekonomian LPG di atas Rp. 10.000,-/kg. Harga energi pelet bimassa jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga energi minyak tanah. Dengan keunggulan-keunggulan yang diuraikan di atas, ke depan perlu dipikirkan upaya mengalihkan subsidi LPG ke bahan bakar pel et biomassa.

Dari sisi keadilan, kiranya tidak fair bila LPG yang menawarkan kenyamanan dalam penggunaan mendapatkan subsidi, sedangkan pelet biomassa yang lebih ramah lingkungan dan merupakan energi terbarukan tidak mendapatkan subsidi. Sudah selayaknya pengguna harus membayar lebih untuk sebuah kenyamanan seperti LPG. Jika setiap konten energi yang sama, pengguna biomassa mendapatkan besaran subsidi 50% dari subsidi yang diperoleh pengguna LPG, maka harga pelet akan berada pada rentang antara Rp. 500,-hingga Rp. 1000,- per kilogram. Dengan harga yang murah tersebut, diharapkan masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah, akan beralih menggunakan pelet biomassa sebagai bahan bakar untuk memasak.

5. KESIMPULAN

Walaupun kompor biomassa hemat dalam penggunaan bahan bakar, namun implementasinya masih menemui banyak kendala. Kendala utama adalah harga LPG bersubsidi sangat murah. Harga LPG yang under priced tersebut telah mematikan berbagai upaya terobosan pengembangan sumber energi alternatif, termasuk biomassa.

Mengingat bahwa sasaran utama kompor biomassa adalah keluarga miskin, yang secara finansial merupakan kelompok dengan daya beli

(8)

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

Topik Utama

paling lemah, maka implementasi kompor

biomassa UB tidak mungkin dilakukan berdasarkan logika pasar bebas. Perlu diupayakan dukungan konkret dari stakeholders, baik pemerintah, swasta melalui program-pro-gram corporate social responsibility (CSR), lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap program-program pengentasan kemiskinan dan atau kemandirian energi.

DAFTAR PUSTAKA

ARC, 2010, Aprovecho Research Centre, Test Result of Cook Stove Performance, Partnetship for Clean Indoor Air, Aprovecho Research Centre, Shell Foundation, United States Enviromental Protection Agency, http://my.ewb-usa.org/theme/library/ myewb-usa/project-resources/technical/ TestResultsCookstovePerformance.pdf Beritault, D., dan V. Lim, 2010, Testing Report:

Stove Performance Report, UB03, Envirofit G3300, Envirofit M5000 and Ezystove, Geres, Cambodia.

Bruce, N., R.C Padilla dan R. Albalak, 2000, Indoor Air Pollution in Developing Countries: A Major Environmental and Public Health Challenge, Bulletin of World Health Organization (WHO).

Fullerton,D.G., N. Bruce dan S. B. Gordon, 2008, Indoor Air Pollution from Biomass Fuel Smoke is a Major Health Concern in the Developing World, Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, Volome 102, Issue 9, Pp. 843-851.

Kementerian ESDM, 2014, http://www.esdm. go.id/berita/migas/40-migas/6954-yang- kurang-ter-ekspose-subsidi-lpg-sebesar-rp-60-triliun.html, diakses pada tanggal 10 Nov. 2014.

Makarim, A.K., Sumarno dan Suyanto, 2017, Jerami Padi, Pengelolaan dan Pemanfaatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Nurhuda, M., 2009, Kompor Biomassa Dengan Mekanise Gasifikasi Terpanaskan dan Pengaturan Nyala Api Secara Sendiri, Paten No. ID P0032290.

Nurhuda,M., 2010, Kompor Biomassa Dengan Mekanise Gasifikasi Terpanaskan dan Pembakaran Secara Turbulen, Paten No. ID P000034916.

Nurhuda, M., 2011, Kompor Berbahan Bakar Padat Dengan Sistem Pre-Heating, Counter Flow dan Pembakaran Terdifusi, nomor pendaftaran P00201100604.

Rajvanshi,A.K., 1986, Biomass Gasification, (Published as a Chapter (No. 4) in book "Alternative Energy in Agriculture", Vol. II, Ed. D. Yogi Goswami, CRC Press, 1986, pgs. 83-102.

Roth, C., 2011, Micro Gasification: Cooking with Gas from Biomas, GIZ HERA, Federal Minisitry of Economic Cooperation and Development, Germany.

Santosa, H.B., dkk, 2010, Laporan Survey Studi Penyusunan dan Benchmark Kompor Biomassa, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan PT Puser Bumi, Jogjakarta. The World Bank, 2014, Berita: Tungku Bersih

Untuk Indonesia yang Lebih Sehat, http:// www.worldbank.org/in/news/feature/2014/11/ 03/cleaner-cook-stoves-for-a-healthier-indonesia, diakses 8 Nov. 2014.

Yayasan Dian Desa (YDD), 2014, Aliansi Tungku Indonesia, http://www.tungkuindonesia.org/ id/articles/2013/05/20/DampakPolusiU d a r a D a l a m R u a n g P a d a -Kesehatan.html#.VGFh0WfdOqg, diakses tanggal 11 Nov. 2014.

Gambar

Gambar 1. Tipikal dapur tradisional yang ada di Indonesia
Gambar 5. Kompor biomassa UB-03 versi paling baru untuk ukuran standar (kiri) dan jumbo (kanan)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian tentang “Studi Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 18 Tahun 2012 Tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dalam Upaya

Demikian pula laporan yang diperoleh dari survailans terpadu penyakit (STP) Puskesmas di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mendeskripsikan bahwa penyakit

Hasil sidik ragam menunjukan tidak ada interaksi antara ketebalan media tanam dan dosis dolomite terjadi variabel pengamatan bobot segar tubuh buah, tinggi tubuh buah,

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil jamur tiram putih ( Pleurotus ostreatus ) pada komposisi media tanam serbuk gergaji, ampas tebu dan

Lirik solawatan dua baris yang dibaca oleh Hadi sebagai pimpinan Hadrah dengan diiringi pukulan rebana Hadi sebagai tanda tempo sampai selesai dua baris

Koko Adya Winata a , I. Pembelajaran PAI merupakan kegiatan terencana yang mengkondisikan dan merangsang peserta didik agar bisa belajar dengan baik sesuai dengan

Pengamatan hasil penelitian dilakukan setelah ekstraksi secara fermentasi dengan menggunakan khamir roti (Saccharomyces cervisiae) sesuai prosedur ekstraksi minyak kelapa

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan pora-pora dengan level yang sama memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum