112s1
RILIS SIKAP
Sejarah Berulang (Lagi): Tindakan Represif Aparat terhadap Massa Aksi May Day
Tanggal 1 Mei atau biasa disebut May Day menjadi tonggak bagi para buruh untuk menyuarakan aspirasinya. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menuturkan bahwa setidaknya akan ada 50 ribu buruh yang mengikuti aksi May Day di berbagai provinsi.1 Mahasiswa memiliki beban moral untuk turut serta memperingati dan meramaikan aksi May Day 2021 sebagai bentuk perhatian terhadap permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia, serta menunjukan dukungan dan solidaritas terhadap kaum buruh/pekerja. Dalam hal ini, sikap tersebut ditunjukkan dengan terjunnya mahasiswa dalam aksi solidaritas. Aksi yang dilakukan di DKI Jakarta menarik perhatian mata publik karena diwarnai tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Sebagaimana cuplikan video yang dirilis pada platform Instagram BEM UI, nampak para mahasiswa diangkut ke kendaraan polisi dengan tindakan yang kurang “manusiawi”. Tidak hanya itu, banyak tindakan represif aparat yang dilakukan pada saat aksi tersebut, seperti pemukulan beberapa massa aksi, “pengikatan secara paksa”, dan tindakan-tindakan berbau kekerasan yang lain. Beberapa anggota DEMA Justicia turut berpartisipasi dan menjadi korban kekerasan aparat dalam aksi solidaritas tersebut.
Kronologi
Pemaparan kronologi berikut merupakan kesaksian beberapa korban represifitas aparat, yakni mahasiswa yang turut terjun dalam aksi solidaritas di DKI Jakarta.
- Massa aksi dari DEMA Justicia tiba di titik kumpul long march pada pukul 13:25 WIB. Berselang sepuluh menit, DEMA Justicia masuk ke dalam massa aksi bersama rekan-rekan mahasiswa dari berbagai universitas lainnya.
- Massa aksi mahasiswa terpisah dari massa aksi unsur buruh karena terdapat blokade. Berdasar “Kronologis Aksi Solidaritas Hari Buruh 2021” yang dilansir oleh BEM UI, pukul 15:00 massa aksi unsur mahasiswa, pelajar, dan pemuda dipisahkan dengan alasan hari buruh hanya diperingati oleh buruh saja.2
- Dalam kondisi tersebut massa menunjukkan tanda terima surat pemberitahuan Polda Metro Jaya.3 Aparat membantah dengan alasan surat tersebut dianggap tidak mewakili aliansi mahasiswa tetapi hanya aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) saja.4 Padahal GEBRAK sendiri merupakan aliansi yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI).
1 Andrian Pratama Taher, “Demo Buruh 1 Mei 2021, Satgas COVID-19 Ingatkan Tetap Patuhi Prokes",
https://tirto.id/geml, diakses pada 1 Mei 2021.
2 Dilansir dari Instagram Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, instagram.com/bemui_official. 3 Ibid.
112s2 - Pukul 15:30 situasi mulai memanas ketika aparat kepolisian yang mengelilingi massa mahasiswa terus mendesak dan berusaha menarik satu per satu mahasiswa yang menjadi border di sekeliling massa unsur mahasiswa.
- Kemudian, sebagian besar massa mahasiswa diangkut secara paksa ke dalam kendaraan polisi. Pengangkutan dilakukan dengan dua atau tiga kendaraan untuk diproses lebih lanjut di Polda Metro Jaya. Dalam kendaraan tersebut para mahasiswa berada dalam posisi yang berdesak-desakan.
- Selama pengangkutan tersebut kericuhan terjadi secara bertahap. Dimulai dengan pembubaran border secara paksa. Kemudian didapati tindakan pemukulan massa aksi. Dan yang terakhir adalah “pengikatan” secara paksa oleh aparat.
- Sesampainya Polda Metro Jaya, mahasiswa diperintahkan untuk jalan dengan posisi jongkok, kemudian diminta untuk menulis data diri masing-masing dibawah tekanan. - Menjelang petang, para mahasiswa dibebaskan dan diperbolehkan untuk kembali ke rumah
masing-masing.
Penyampaian Pendapat di Muka Umum
Kebebasan bersuara telah diakomodir oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.5 Indonesia sebagai negara demokrasi mengakui hak
warga negara untuk berpendapat.6 Lebih jauh, UU tersebut mengatur bahwa setiap warga negara bebas mengeluarkan pikirannya7 dengan memperoleh perlindungan hukum.8 Pasal
tersebut diperkuat dengan penjelasan bahwa kebebasan berpendapat dilakukan dengan mengeluarkan perasaan tanpa adanya tekanan fisik dan psikis.9 Adanya peraturan tersebut
justru mengharuskan negara untuk memberikan jaminan keamanan bagi rakyat yang sedang menyerukan kritiknya pada pemerintah.10 Kebebasan berpendapat juga diakomodir oleh Pasal
7 dimana aparat pemerintah wajib menjaga HAM, mengimplementasikan asas praduga tak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan bagi warga negara yang melakukan penyampaian pendapat.11 Dengan adanya pasal tersebut, tentu aparat harus beritikad baik dan tidak melakukan kekerasan terhadap massa aksi, dengan pandangan bahwa massa aksi
5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3789).
6 Lihat Pasal 2 ayat 1 UU 9/1998. 7 Lihat Pasal 5 huruf a UU 9/1998. 8 Lihat Pasal 5 huruf b UU 9/1998.
9 Lihat Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 9/1998. 10 Lihat Penjelasan Pasal 5 huruf b UU 9/1998. 11 Lihat Pasal 7 UU 9/1998.
112s3 melakukan tindakannya dengan maksud yang positif untuk mengeluarkan aspirasinya agar dapat membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.
Peninjauan atas Tindakan Represif
Pemukulan, kekerasan, serta tindakan sewenang-wenang aparat tersebut sangat tidak mencerminkan suatu hal yang patut. Tindakan yang dilakukan POLRI tersebut juga dirasa menyimpang dari Pasal 4 UU 2/2002 yang menyebutkan sebagai berikut:12
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” (penekanan ditambahkan)
Tindakan untuk mengatur penyelenggaraan pendapat di muka umum juga sudah diatur dalam Perkapolri No. 7 Tahun 2012.13 Peraturan tersebut memiliki prinsip untuk menjunjung tinggi HAM.14 Maka, hal ini menjadi dasar bahwa tindakan aparat pada aksi peringatan Hari Buruh merupakan tindakan yang melanggar HAM karena menggunakan kekerasan tanpa menghormati HAM yang dimiliki setiap orang.
Dari aksi 1 Mei 2021 di DKI Jakarta, dapat diketahui bahwa aparat melakukan tindakan seperti merobek baju, merobek jas almamater, serta melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Tentu hal ini tidak mencerminkan tindakan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat yang sedang melakukan demonstrasi secara damai. Hal tersebut dapat dikonklusikan bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan represif yang berwujud penyiksaan. Melihat bahwa aparat polisi sudah seharusnya mengayomi rakyat sesuai dengan
12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 258).
14 Lihat Pasal 3 huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum
112s4 pasal yang tertera di atas, maka tentunya tindakan represif ini justru menimbulkan suatu masalah baru.15
Ketidakpuasan rakyat seharusnya didengarkan, sebagai bukti bahwa Indonesia masih merupakan negara demokrasi. Konstitusi memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat, sehingga secara implikatif seluruh kebijakan harus sesuai dengan keinginan rakyat dalam jumlah yang banyak agar tercipta suatu konsensus. Dengan adanya sistem demokrasi di Indonesia, jelas bahwa keterlibatan rakyat sangat dibutuhkan dalam pembentukan keputusan politik.16 Pemerintah harus melihat bahwa unjuk rasa ini dilakukan untuk membangun negeri ke arah yang lebih positif dengan dilakukan tanpa maksud negatif maupun menciptakan huru-hara.
Massa pada aksi 1 Mei 2021 sebagian merupakan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia yang sudah menghasilkan banyak lulusan untuk membangun negeri ke arah yang lebih baik. Mahasiswa sebagai insan terpelajar tentu sudah bersusah payah untuk menuntut ilmu dan mengembangkan pikirannya untuk membawa pribadi dan lingkungan sekitarnya ke arah yang lebih baik. Tentu, saat melihat polemik, mahasiswa dengan pemikiran kritisnya akan memanifestasikan hal tersebut dengan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Pemerintah sudah seharusnya menekan tindakan aparat yang represif dan justru menyiksa niat baik dari mahasiswa. Aparat polisi sudah seharusnya melindungi unjuk rasa tersebut dan bukan menebar teror dengan cara yang menurunkan derajat mahasiswa sebagai insan yang terpelajar. Sudah seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat ke depannya, demi menciptakan ekosistem publik yang lebih baik dan dapat mengembangkan setiap komponen masyarakatnya.
15 Alwin Widyanto Hartanto, Ellyzabeth Tanaya, Hansel Ng, “Urgensi Pembatasan Penanganan Represif Aparat Kepolisian dalam Menanggulangi Radikalisme”, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 1, No. 2, Oktober 2017, hlm. 63.
16 Jailani, “Sistem Demokrasi di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum Ketatanegaraan”, Jurnal Ilmu Hukum
112s5 Berdasarkan Kajian di atas, DEMA Justicia mengambil sikap sebagai berikut:
1. Mengecam segala bentuk tindakan aparat kepolisian yang represif dan bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku pada aksi May Day;
2. Mendesak aparat untuk bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dalam pengendalian massa aksi;
3. Mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas para oknum kepolisian yang bertindak melanggar hukum dalam aksi May Day; dan
4. Menuntut aparat kepolisian untuk berhenti melakukan tindakan represif dan tindakan yang bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku dalam pengendalian massa aksi kedepannya;