• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK

(KIMBIS) DI LAMONGAN

Oleh : Budi wardono

Istiana Achmad nurul hadi

Arfah elly

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014

(2)

RINGKASAN

Pemberdayaan petani selama ini terperangkap secara teori dan praktek karena menggunakan paradigma yang sempit, dimana organisasi formal merupakan satu-satunya strategi. Pandangan ini lahir dari bangun Teori Organisasi (Organization Theory) yang ilmunya diturunkan dengan mempelajari organisasi bisnis modern industrial, dari organisasi-oranisasi petani yang berhasil di negara maju, serta organisasi petani di negara berkembang yang dibatasinya hanya pada yang kondisinya tergolong bagus (success story).

Dengan basis pendekatan ini, maka pendirian kelompok-kelompok petani yang telah mulai dijalankan semenjak tahun 1970-an sampai sekarang di Indonesia, sangat sedikit yang berjalan sesuai harapan. Demikian pula, analisis yang dilakukan kalangan akademisi tidak mampu menemukan akar permasalahannya, karena membatasi hanya pada kerangka fikir teori organisasi.

Berbeda dengan ini, penelitian berikut menggunakan konsep dan teori kelembagaan terutama pemahaman Kelembagaan Baru (New Institutionalism), dengan menjadikan relasi sosial (social relation) sebagai pokok perhatian. Dengan pendekatan ini, berhasil ditemukan berbagai pola “pengorganisasian diri” petani yang lebih elementer dibandingkan sekedar konsep organsiasi formal. Selain itu, juga mampu dilakukan analisis yang lebih mendasar, dan akhirnya cukup mampu memberikan solusi pengorganisasian petani ke depan yang lebih sesuai dengan kebutuhan petani sebagai aktor yang rasional dan aktif.

Pertanyaan pokok penelitian ini adalah bagaimana petani mengorganisasikan dirinya dalam menjalankan usaha pertaniannnya? Dengan demikian, tujuan penelitian ini secara lebih detail adalah: (1) Mempelajari bentuk dan karakter pengorganisasian (dalam arti luas) diri petani, (2) Mempelajari lingkungan kelembagaan (institutional setting) yang menjadi latarnya, (3) Mempelajari proses pembentukan pengorganisasian yang terbangun, dan (4) Merumuskan bentuk dan pendekatan pengorganisasian petani yang lebih sesuai ke depan.

Dalam studi ini dilakukan pengkonsepan baru (rekonseptulasisasi) berkenaan dengan konsep “lembaga” dan “organisasi”, mengikuti pemikiran sosiologi kelembagaan baru. Langkah ini penting dilakukan, karena selama ini ditemui ketidaksepakatan dan tumpang tindih dalam penggunaan kedua konsep tersebut, baik dalam literatur keilmuan maupun dokumen kebijakan pemerintah. Apa yang dimaksud dengan “pengorganisasian diri” petani dalam kajian ini adalah bagaimana petani membangun dan menjaga relasi-relasi di seputar dirinya dalam upaya menjalankan usaha pertaniannya sendiri. Relasi ini dapat berupa relasi individual di luar organisasi, dan dapat pula berupa relasi dalam organisasi.

Dalam studi ini “lembaga” dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor. Selanjutnya,”organisasi” merupakan aktor dalam lembaga.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnografi, dan menerapkan beberapa metode pengumpulan data secara sekaligus, baik wawancara, observasi visual, maupun studi dokumen

(3)

dan artefak. Peneliti terlibat dan berpartisipasi dalam topik yang dipelajari, memperhatikan konteks sosial dari data, dan sensitif pada bagaimana subjek direpresentasikan dalam laporan (research text). Pada hakekatnya, peneliti mempelajari bagaimana subjek – yakni petani - melihat dunia mereka, dan lalu mengkonstruksi dunianya tersebut. Dari pengumpulan data di lapang, peneliti menemukan bahwa meskipun tercatat ada belasan organisasi petani, namun sangat sedikit petani yang secara resmi namanya masuk dalam anggota organisasi. Selain itu, hampir tidak ada kebutuhan usaha pertanian petani yang mengandalkan pada aksi kolektif dalam organisasi dimana mereka menjadi anggotanya. Sehingga, secara umum petani hanya mengandalkan relasi-relasi individual berbasis non organisasi. Pengorganisasian diri ini mengandalkan pada basis komunitas dan mekanisme pasar, bukan organisasi formal seagaimana diinginkan pemerintah dan kalangan ahli pemberdayaan.

Berdasarkan analisis kelembagaan, petani menjalankan usaha pertaniannya melalui pedoman norma dan regulasi, dengan melakukan pemaknaan aktif terhadapnya. Petani menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak dengan berpedoman kepada panduan normatif komunitas, norma ekonomi dalam pasar, dan relasi dengan petugas pemerintah. Dalam kondisi ini, organisasi formal (kelompok tani, koperasi, Gapoktan, dan lain-lain) hanyalah salah satu sumber daya bagi petani yang bersama-sama unsur-unsur dalam lembaga dijadikan sebagai peluang, pedoman, serta batasan untuk berperilaku sehari-hari.

Jika dalam berbagai teori pemberdayaan diyakini bahwa berorganisasi (secara formal) merupakan pilihan terbaik untuk petani kecil (small farmers), dari lapangan ditemukan bahwa untuk kondisi dan pemaknaan mereka terhadap kondisi yang dihadapi, lembaga “cukup” bagi petani untuk mengorganisasikan diri. Lembaga menjadi pedoman dan basis dalam membangun sejumlah relasi sosial bagi petani untuk menjalankan usahanya. Meskipun ada belasan organisasi dalam satu desa, tapi hampir semua relasi yang dijalankan petani, merupakan relasi individual, bukan suatu tindakan kolektif yang diwakilkan kepada organisasi.

Ditemukan pula adanya kekaburan batas-batas klasifikasi antara lembaga dan organisasi, Jika dalam teori keduanya merupakan hal yang berbeda, namun unsur-unsur di dalamnya memiliki kesejajaran. Aspek regulatif, normatif, dan kultural-kognitif yang ada di lembaga juga hidup dalam organisasi. Aspek norma dan regulasi diformalkan menjadi peraturan-peraturan atau kesepakatan-kesepakatan yang lalu mengikat seluruh anggota organisasi. Demikian pula dengan aspek kultural-kognitif, dimana setiap anggota dalam organisasi adalah juga aktor-aktor aktif yang tidak otomatis mematuhi semua aturan dan kesepakatan yang ia telah ikrarkan untuk diikuti.

Dari temuan di lapangan, fenomena yang terjadi cenderung menembus batas-batas teoritis ini. Dalam organisasi milik petani, keberadaan lembaga juga hidup. Batas kultural antara petani yang ada dalam organisasi tidak berbeda dengan petani di luar. Hal ini sejajar dengan kondisi dimana organisasi-organisasi milik petani memiliki batas yang lemah dengan lingkungannya (=borderless). Selain bercirikan batas organisasi (organization bordering) yang kabur, organisasi petani juga terbuka dan terpengaruh oleh kultur lingkungan secara kuat, ranah organisasinya (organization field) sempit, berkembang kultur pragmatis dalam organisasi, serta menerapkan manajemen non formal.

(4)

Petani melekatkan diri pada masyarakat sebagai sebuah relasi yang mengandung prinsip-prinsip organisasi, dengan mempedomani dan dikontrol oleh lembaga. Demikianlah cara petani mengorganisasikan dirinya. Berlangsung proses yang saling mencampurkan (interplay) antara aspek regulatif, normatif dan kultural kognitif dengan organisasi formal.

Lebih jauh, petani telah memberikan makna yang sama sekali baru terhadap organisasi, yang sungguh berbeda sebagaimana diinginkan oleh pemerintah. Bagi petani, organisasi dijadikan modal dalam membentuk dan menjaga relasi dengan aparat pemerintah. Petani tidak memberikan sikap resistensi, namun tetap mampu menarik manfaat dari relasi kuasa tersebut.

Salah satu bentuk respon kreatif petani adalah dimana organisasi petani hanya dijalankan sejumlah kecil pengurus, sehingga muncul gejala “individualisasi organisasi”. Pola manajemen organisasi seperti ini meniru bentuk pengorganisasian masa lalu yang memberikan kewenangan dan peran pada seseorang saja (= pengorganisasian secara personal). Fenomena ini biasa ditemukan pada pengelolaan irigasi skala kecil yang disebut dengan Ulu-Ulu di Jawa Barat, Kapalo Banda di Sumatera Barat, dan Klian Subak di Bali, yang merupakan sebuah “individual autonomous”. Seseorang yang ditunjuk diberi wewenang penuh untuk mengelola irigasi, dan berhak merencanakan dan mengoperasionalkannya sehari-hari. Dapat dikatakan, temuan ini merupakan sesuatu yang baru yang selama ini tidak pernah diungkap oleh penelitian lain.

Informasi dan hasil analisis dari lapangan menunjukkan bahwa organisasi formal tidak diterima petani sebagai pilihan dalam menjalankan usahanya. Dengan segala permasalahan dan pilihan yang mereka hadapi, relasi individual yang berbasiskan komunitas dan pasar terbukti lebih banyak dipilih petani. Temuan ini sedikit banyak dapat menjadi catatan, bahwa selain relasi individual ini perlu diperhatikan, petani dengan ciri seperti ini membutuhkan bangun organisasi yang berbeda. Bagi yang menerima kehadiran organisasi, organisasi dijalankan dengan menerapkan kultur yang pragmatis dengan mengkombinasikan antara prosedur formal dengan non formal secara kreatif.

Jika dalam paham kelembagaan baru organisasi menjadi aktor pokok, dimana ketiga pilar lembaga lebih efektif bila dijalankan dalam organisasi, dan aktor dipersepsikan akan tunduk kepada aturan dalam organisasi dimana ia menjadi anggotanya; namun dari fakta di lapangan, kehadiran unsur-unsur lembaga jauh lebih kuat dibandingkan aturan-aturan dalam organisasi. Artinya, batasan organisasi (organization’s boundary) sangat lemah, bahkan cenderung menyatu dengan unsur-unsur di lingkungannya.

Tampaknya sikap yang mendikotomikan antara pendekatan negara dan pendekatan pasar perlu direvisi lebih jauh. Prinsip-prinsip pengorganisasian pasar dapat diadopsi oleh pelaku pemberdayaan, agar usaha pemberdayaan lebih efektif. Basis dari relasi yang digunakan petani merupakan kombinasi dari relasi-relasi yang berbasis sentimen primordial, relasi berbasis norma ekonomi pasar, serta relasi yang berbasis keorganisasian. Perlu ditekankan bahwa relasi-relasi berbasis pasar pada hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas.

(5)

Dari sisi teori, relasi dalam organisasi merupakan bentuk ideal. Namun, dari kondisi lapangan, relasi individual di luar organisasi formal menjadi inti pengorganisasian diri petani. Temuan ini membutuhkan pendalaman lebih jauh dari kalangan akademisi, yang pada gilirannya akan dapat menjadi paradigma baru dalam pemberdayaan petani, terutama petani kecil dengan karakter khas Indonesia. Hal ini dapat dipandang sebagai sumbangan penting dalam teori lembaga dan organisasi, serta pemilahan yang paling banyak diacu dalam kegiatan pemberdayaan yakni konsep besar yang mengkategorikan antara tiga pelaku utama yakni masyarakat, pemerintah, dan pasar.

Ke depan, sikap pemerintah selama ini yang menjadikan organisasi formal sebagai satu-satunya jalan dalam pemberdayaan, merupakan pendapat yang sudah waktunya direvisi. Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjalankan tindakan kolektif, dengan keyakinan bahwa tindakan kolekif lebih murah dan efektif. Namun, dalam kondisi pelayanan pasar yang baik, tanpa tindakan kolekif telah dicapai kemudahan.

Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru (New Institutionalism) perilaku petani dipersepsikan sebagai sebuah tindakan yang sadar dan rasional sesuai dengan konteks sosial politik yang mereka miliki dan berbagai kekuatan yang melingkupi mereka. Pengembangan keorganisasian usaha petani dimasa mendatang setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip: bahwa organisasi formal untuk petani hanyalah sebuah opsi belaka bukan keharusan, pengembangan organisasi memperhatikan prinsip multipurpose sehingga tidak lagi terikat pada egosubsektor dan keproyekan, organisasi hanyalah alat bukan tujuan, petani dihargai sebagai individu yang rasional dan pandai memahami kondisinya sendiri, dan bentuk keorganisasi yang ditawarkan ke petani adalah yang mampu memperkuat relasi-relasi horizontal sekaligus vertikal.

Format pengorganisasian petani ke depan mencakup baik petani dalam organisasi maupun tidak. Untuk organisasi, mencakup organisasi dalam bentuk individual (individual organization) namun juga mencakup bagaimana rancangan antar organisasi petani, yang mencakup satu area tertentu secara horizontal dan vertikal. Secara umum, ada tiga level organisasi petani yang perlu dibangun, yakni level organisasi individual (individual organization), organisasi koordinasi (inter-group organization), dan organisasi pendukung (supporting group). Secara beriringan, lingkungan kelembagaan yang dibutuhkan untuk berkembangnya relasi-relasi individual tanpa organisasi formal, adalah agar aspek regulasi (yang dikeluarkan pemerintah) memberi ruang agar petani bisa tidak harus berorganisasi, serta dengan mendayagunakan sedemikian rupa elemen normatif dan kultural kognitif petani. Pada hakekatnya, penyusunan teori dan praktek pemberdayaan ke depan perlu berbasiskan cara berfikir petani yang merupakan aktor sesungguhnya dalam persoalan ini.

Referensi

Dokumen terkait

The Department of Education expects over 13.1 million elementary students to be enrolled in public elementary schools for school year

Bentuk pengiklanan yang dilakukan pelaku usahapun berbagai macam, mulai dari media elektronik, media massa, radio hingga sekarang yang sering di temui yaitu penggunaan

Hasil penelitian sesuai dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rita dan Lilis (2016), hasil penelitian menunjukkan pengguna individu akan menggunakan teknologi

Dari beberapa uraian penelitian yang telah dilakukan tersebut, penulis ingin melakukan pengembangan aplikasi untuk mendeteksi pergerakan sendi pada pasien

Tujuannya adalah untuk mengetahui perkembangan penelitian studi ini, yaitu politik aliran pasca Orde Baru dengan mendiskusikan beberapa teori politik aliran dan ideologi

Penelitian ini bertujuan Mengetahui pengaruh dosis pupuk organik yang didekomposisi Biofilm biofertilezer terhadap peningkatan hasil sawi dan sifat fisika

Dari diagram Alur di atas, terlihat bahwa dana untuk membantu kaum dhuafa merupakan bantuan dari donatur, para donatur sangat berperan dalam hal pendanaan bagi kaum

Surface Plasmon dapat dihasilkan dalam lapisan tipis (30-50 nm) secara terus menerus dengan menggunakan konfigurasi saat cahaya masuk pada lapisan suatu medium dengan indek