• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01167

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01167"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

FORGIVENESS

DAN KESEHATAN:

FORGIVENESS

SEBAGAI

STRATEGI KOPING UNTUK PROMOSI KESEHATAN DAN

REDUKSI RESIKO-RESIKO KESEHATAN

ALOYSIUS SOESILO

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

Dipresentasikan dalam Seminar/Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan

“SPIRITUALITAS (DAN) PSIKOLOGI KESEHATAN”

Fakultas Psikologi – Universitas Katolik Soegijapranata Juni 2013

(2)

ABSTRAK

Forgiveness is a multidimensional construct that is important not only in a religious or spiritual context, but also in the human everyday life experience. Forgiveness involves prosocial motivation and change in an interpersonal relationship in which a transgression or offense by one person against the other has occurred.

Psychological study of forgiveness and its role and function in human

relationships has been given increasingly significant amount of empirical attention in the past two decades. This article presents a selective sample of research findings concerning the link between forgiveness and psychology. These findings are important to establish the beneficial relationship between forgiveness and mental health as well as physiological variables and physical health. Physiological mechanisms whereby forgiveness might affect health are also discussed. The flourishing of theoretical and empirical evidence of the benefial connection between forgiveness and health has expanded the opportunity for promoting healthcare and for reducing health risks through forgiveness. Study of this kind is one model that integrates health psychology and religiosity or spirituality

Keywords: forgiveness, unforgiveness, spirituality/religiosity, coping strategy,

(3)

PENDAHULUAN

Di dalam relasi interpersonal dan sosial senantiasa terjadi kemungkinan bahwa satu orang menjadi korban pelanggaran, apapun itu bentuknya, oleh pihak yang lain. Berbagai strategi terhadap transgresi semacam ini telah dikembangkan sepanjang sejarah manusia dalam budaya apapun. Dua strategi klasik yang

umumnya digunakan adalah menghindari (avoidance) atau mengambil jarak terhadap transgesor, dan membalas dendam (revenge) atau mencari peluang untuk menimbulkan kerugian pada transgresor. Namun, kedua cara ini

mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang negatif bagi individu individu yang telibat, bagi relasi mereka, serta bahkan pada kelompok yang lebih luas

(McCullough, 2001).

Lalu apa alternatif lain kecuali menghindar dan membalas dendam? Dalam kurun waktu lebih kurang dua puluh tahun terakhir ini, studi spikologis tentang forgiveness telah memperhatian yang serius dan telah mengalami peningkatan yang amat mencolok. Forgiveness sendiri merupakan konsep religius yang

bermuara dari kebanyakan agama atau keyakinan dan budaya, dan oleh karenya merupakan topik yang penting dalam studi tentang psikologi agama atau

spiritualitas. Namun karena isu-isu seperti rasa bersalah, rekonsiliasi,

keselamatan, dan penebusan merupakan hal-hal yang umumnya didapati dalam banyak agama dan budaya, maka isu-isu ini mempunyai sangkut-pautnya dengan forgiveness dan perannya dalam kehidupan manusia.

Perkembangan riset tentang forgiveness menunjukkan bahwa forgiveness memiliki fungsi-fungsi yang jauh lebih adaptif dalam relasi interpersonal dan sosial daripada menghindar dan membalas dendam. Forgiveness paling tidak mereduksi respons-respons negatif terhadap suatu pelanggaran; atau sebaliknya,

(4)

komponen-komponen afektif, kognitif dan keperilakuan (behavioral) dan merupakan mekanisme atau strategi koping yang tidak lepas dari motivasi dan volisi.

Artikel ini merupakan reviu literatur dari sejumlah penelitian tentang hubungan antara forgiveness dan kesehatan. Apa yang dipresentasikan di sini tidak dimaksudkan sebagai reviu yang komprehensif dan intensif. Keterbatasan ini bisa dimengerti oleh karena tersedianya begitu banyak hasil penelitian yang

berkembang selama lebih satu dekade ini. Apa yang dipresentasikan dalam artikel ini hanyalah representasi selektif yang berguna untuk memberikan gambaran mengenai hasil-hasil riset tentang hubungan forgiveness dan

kesehatan. Artikel ini dibagi dalam tiga bagian pokok. Bagian pertama membahas lebih jauh pengertian forgiveness serta berbagai aspek dan determinannya. Bagian kedua memuat sejumlah hasil riset mengenai forgiveness dan berbagai faktor atau resiko kesehatan. Kalau riset telah menunjukkan relasi yang kuat antara forgiveness dan kesehatan, pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya

forgiveness berpengaruh atas kesehatan? Bahasan mengenai mekanisme ini adalah bagian ketiga.

FORGIVENESS: DEFINISI, ASPEK, DAN DETERMINAN

Definisi Forgiveness

Forgiveness merupakan suatu konstruk multidimensional yang dibangun oleh kontribusi dari berbagai disiplin, termasuk psikologi, teologi, filosofi, sosiologi dan antropologi. Dalam psikologi sendiri, berbagai cabangnya (klinis,

perkembangan, sosial, dan kepribadian) juga ikut mengembangkan studi tentang

forgiveness (McCullough, Pargament, & Thorensen, 2000). Oleh karena itu wajar bila tidak ada definisi tunggal tentang forgiveness. Keragaman pengertian tentang

forgiveness tidak mengenyampingkan konsensus di kalangan para peneliti dan teorisi, yakni bahwa forgivenss harus dibedakan dari pardoning (yang merupakan istilah hukum), condoning (mengandung unsur justifikasi bagi pelanggaran),

excusing (pelanggar dianggap memiliki alasan yang bisa diterima dalam

(5)

ditanggung oleh orang lain sebagai akibat perbuatan pelaku) (Lihat Enright & Coyle, 1998).

Enright dan Coyle sendiri medefinisikan forgiveness sebagai kesediaan untuk melepaskan hak sendiri untuk menunjukkan kebencian, penghakiman negatif, dan perilaku tidak peduli terhadap seseorang yang tidak seharusnya merugikan kita, dan bersamaan dengan ini mengembangkan kualitas belarasa, kedermawanan, dan bahkan kasih terhadap pelaku kendati dia sebenarnya tidak berhak menerima kualitas.

Sedangkan bagi Wade, Worthington dan Meyer (2005), forgiveness yang sejati dan tepat mencakup kesanggupan untuk memandang transgresor secara realistik dan inklusif dengan mengakui sisi-sisi baik dan buruk orang tersebut. Perasaan-perasaan positf seperti belarasa dan empati dipercaya sebagai kritikal dalam

forgiveness. Selain itu, kemampuan untuk mengampuni mempersyaratkan ego strength dan sense of self yang cukup kokoh.

Sebuah model yang membedakan forgiveness dan unforgiveness dikemukakan oleh Worhtington dan Wade (1999). Forgiveness merupakan sebuah proses yang diyakini difasilitasi oleh empati yang membawa pada pilihan untuk menanggalkan unforgiveness dan mengupayakan rekonsiliasi dengan

pelanggar. Sedangkan unforgiveness dipandang sebagai emosi “dingin” (cold) yang dicirikan oleh rasa tidak senang (resentment), kepahitan, dan barangkali juga kebencian, disertaikan dengan motivasi untuk menghindar atau membalas dendam terhadap transgresor. Jadi, unforgiveness sebenarnya merupakan kombinasi yang cukup kompleks dari emosi-emosi negatif yang tertahan/tertunda terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau transgresi. Bila diungkapkan secara segera, emosi-emosi negatif ini berupa kemarahan,

ketakutan, atau keduanya (Worthington & Scherer, 2004). Worhtington dan kawan kawan berpendapat bahwa bila seseorang mengampuni, maka emosi-emosi positif yang berdasar pada kasih (misalnya empati, belarasa, simpati, afeksi, cinta altruistik) menggantikan emosi-emosi negatif yang sebelumnya dialami dalam kaitannya dengan transgesor dan perbuatannya.

(6)

untuk berperilaku terhadap transgressor seperti dia berperilaku sebelum

transgresi terjadi. Dengan kata lain, inidividu ini bermaksud untuk membebaskan hutang si transgressor, yakni balasan/hukuman yang seharusnya dia terima sebagai konsekuensi dari pelanggarannya. Walaupun individu mampu melakukan tindakan pengampunan jenis ini, namun secara emosional dia masih merasa sakit, dan secara kognitif terlibat dalam bersungut-sungut dan gerutuan

(ruminasi), ataupun tergerak (motivasional) untuk menghindar atau melakukan pembalasan. Ruminasi sendiri telah ditunjukkan dalam riset dan kajian klinis berhubungan dengan rasa marah, cemas dan depresif. Individu yang melakukan ruminasi akan berpeluang besar terlibat dalam unforgiveness. Dengan demikian,

decisional forgiveness yang lebih bersifat behavioral, dibedakan dari emotional forgiveness yang berakar pada emosi. Dalam kontekks ini, forgiveness dapat dipahami sebagai jukstaposisi emosi positif yang berkiblat pada orang lain (positive other-oriented) terhadap unforgiveness yang negatif, yang pada gilirannya akan menetralkan atau menggantikan semua atau sebagian emosi-emosi negatif dengan emosi-emosi-emosi-emosi positif.

Dalam literatur tentang koping, pada umumnya dikenal dua jenis strategi yakni problem-focused dan emotion-focused. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa satu strategi lebih unggul daripada yang lain, lepas dari konteksnya. Dalam situasi di mana tindakan langsung dimungkinkan, maka problem-focused coping sering dinilai lebih unggul. Namun, apabila tindakan langsung ini amat sulit terjadi, emotion-focused lebih efektif. Forgiveness sebagai strategi koping dapat membantu individu untuk memodifikasi appraisal-nya tentang makna suatu

kondisi atau situasi. Tanpa mengingkari aspek ini, Worthington dan kawan-kawan berpendapat bahwa forgiveness lebih merupakan upaya koping yang berfokus pada emosi.

Kendati terdapat banyak variasi dalam mengartikan forgiveness, banyak peneliti dan teorisi yang sepakat mengenai fitur inti dalam forgiveness: apabila seseorang memaafkan , respons-responsnya (dalam pikiran, perasaan, kehendak untuk berbuat, dan tindakan nyata) terhadap pihak yang melanggar atau

(7)

ini, McCullough dkk (2000) mendefinisikan forgiveness sebagai intraindividual, prosocial change toward a perceived transgressor that is situated within a specific

interpersonal context (hal. 9).

Aspek-Aspek dan Determinan Forgiveness

Disposisi untuk memaafkan berkorelasi dengan sejumlah variabel, seperti personality traits, emosi, self-esteem, simptom-simptom psikologis,

agreeableness dan stabilitas emosional (dalam teori Big Five personality

taxonomy). Studi lainya juga menunjukkan relasi yang positif dengan religiositas dan spiritualitas, empati, atribusi dan appraisal, serta ruminasi tentang transgresi (McCullough, 2001). Beberapa variabel akan dibahas secara singkat .

Empati sering diartikan sebagai pengalaman vacarious mengenai kondisi emosional orang lain. Empati bersama perspective-taking memfasilitasi banyak kualitas prososial seperti kesediaan untuk menolong dan memaafkan. Empati membantu menjelaskan mengapa berbagai variabel sosial-psikologis

berpengaruh atas forgiveness. Misalnya, efek permohonan maaf oleh transgresor atas kesediaan korban untuk memaafkan hampir sepenuhnya dimediasi oleh efek maaf tadi atas empati dari korban terhadap transgresor (McCullough, 200, 2001). Bahkan McCullough berani menyatakan bahwa empati sebagai variabel

psikologis satu-satunya yang terbukti membantu orang melakukan forgiveness terhadap transgresi dalam kondisi eksperimental.

Agreeableness adalah dimensi personalitas yang mencakup altruisme, empati, care, dan generositas. Dimensi ini secara tipikal dinilai tinggi pada

deskriptor seperti “memaafkan” dan rendah pada deskriptor seperti “membalas dendam.” Di samping itu, orang yang menunjukkan disposisi memaafkan

cenderung kurang eksploitatif dan lebih berempati terhadap orang lain.

Tanggungjawab moral yang tinggi dan tendensi yang besar untuk berbagi dengan oran glain juga menjadi karakteristik yang sering dilaporkan.

(8)

disposisi forgiveness dibandingkan dengan subyek yang secara emosional kurang stabil (McCullough, 2001).

Dimensi kepribadian lainnya yang berhubungan dengan disposisi memaafkan adalah religiositas atau spiritualitas. Hasil sejumlah studi menunjukkan bajwa orang yang memandand diri mereka sangat religius cenderung menilai tinggi forgiveness dan melihat diri mereka sebagai lebih memaafkankan dibandingkan dengan mereka yang memandang diri kuranng religius/spiritual (McCullough & Worthington, 1999; McCullough, Bono, & Root, 2005)

Seberapa jauh seseorang memaafkan berkaita dengan seberapa jauh korban melakukan atribusi dan appraisal mengenai transgresi dan transgresor. Dalam konteks ini, seorang transgresor bisa dinilai sebagai orang yang bisa disukai dan penjelasan mengenai transgresinya bisa diterima sebagai penjelasan yang cukup memadai dan cukup jujur.

Faktor lainnya yang berkaitan dengan sebeberapa orang mau memaafkan adalah seberapa jauh korban melakukan ruminasi dan supresi. Ruminasi sebagai tendensi untuk mengalami pikiran, afek dan image intrusif mengenai kejadian masa lampau nampaknya menjadi perintang untuk forgiveness. Ruminasi intrusif dan upaya untuk melakukan supresi atas ruminasi ini berkorelasi dengan motivasi menghindar dan membalas dendam. Studi longitudiianl mengindikasikan bahwa seberapa jauh orang mampu mereduksi ruminasi merupakan prediktor yang baik untuk seberapa besar kemajuan dalam memaafkan transgresor (McCullough, 2001).

DUKUNGAN EMPIRIK UNTUK HUBUNGAN ANTARA FORGIVENESS DAN KESEHATAN

Dalam dua dekade terakhir ini perhatian telah banyak diberikan pada forgiveness dan potensinya untuk meningkatkan relasi interpersonal dan personal dan spiritual wellbeing (Enright & North, 1998; McCullough, Pargament, &

(9)

substance abuse, dan konflik dan kekerasan dalam perkawinan, dan korban agresi atau transgresi, dan kesehatan mental dan fisik pada umumnya (Cosgrove & Konstam, 2008; Lyons, Deane & Kelley, 2010; Reed & Enright, 2006; Webb, Tousaint, & Conway-Williams, 2012). Referensi yang diberikan dalam reviu ini hanya sekedar menunjukkan sampel kecil dan dengan demikian tidak

menggambarkan begitu banyak publikasi hasil-hasil riset yang telah beredar sejauh ini. Selanjutnya beberapa temuan riset akan dibahas secara singkat untuk memberi sedikit terang mengenai evidensi empirik yang menyangkut hubungan antara forgiveness dan kesehatan.

Forgiveness sebagai tujuan intervensi terapeutik dilakukan oleh Helb dan Enright (1993) untuk sejumlah wnaita usia lanjut. Klien dibantu untuk mampu memaafkan orang lain yang pernah menimbulkan luka perasaan yang cukup brearti bagi klien. Partisipan riset lalu secara acam dibagi dalam kelompok

forgiveness (eksperimental) dan kelompok kontrol. Variabel-variabel bergantung dalam studi ini adalah forgiveness, harga-diri (self-esteem), harapan, depresi, dan anxietas. Setelah intervensi selama delapan minggu kelompok forgiveness

memperlihatkan secara signifikan profile forgiveness yang lebih tinggi pada posttest, level self-esteem yang lebih tinggi, dan level anxietas dan depresi yang lebih rendah ketimbang kelompok kontrol.

Variabel-variabel yang sama dengan studi di atas dilakukan oleh Freedman dan Enright (1996) dengan incest survivors wanita. Partisipan berjumlah 12 orang secara acak dibagi dalam kelompok eksperimental (menerima intervensi

forgiveness segera) dan kelompok kontrol yang menunggu giliran untuk intervensi (waiting-list). Setiap partisipan bertemu dengan terapis seminggu sekali, untuk periode rata-rate 14 bulan. Sesudah intervensi, kelompok eksperimental

menunjukkan perolehan forgiveness dan harapan yang lebih tinggi serta tingkat anxietas dan depressi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pola perubahan yang mirip juga terjadi pada kelompok kontrol setelah mereka mereka menyelesaikan program intervensi.

Hubungan lintas-seksional antara forgiveness, depressi, dan perilaku suisidal dilakukan oleh Hirsch, Webb, dan Jeglic (2011) terhadap 158 mahasiswa dengan keragaman lartarbelakang etnik yang mengalami simptom-simtom

(10)

depresi terhadap forgiveness dan perilaku suisidal. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa level tinggi forgiveness terhadap diri sendiri berasosiasi dengan level lebih rendah perilaku suisidal. Namun efek ini dijelaskkan dengan adanya simptom-simptom depresif, dengan demikian self-forgiveness yang lebih tinggi berasosiasi dengan simptom-simptom depressif yang lebih sedikit, yang pada gilirannya berasosiasi dengan berkurangnya prilaku suisidal. Dengan kata lain, hubungan antar forgiveness terhadap orang lain dan perilaku suisidal diperkuatkan bila efek depresi diperhitungkan. Sal;ah satu implikasi dari temuan ini adalah bahwa efek tak langsung dari forgiveness terhadap simtptomsimptom depresif dapat menjadi target yang tepat dalam upaya-upaya intervensi untuk prevensi bunuh diri.

Implikasi forgiveness untuk resolusi konflik dalam perkawinan diteliti olehFincham, Beach dan Davila (2004). Dalam studi pertama, dari 53 pasangan dalam usia perkawinan tiga tahun diidentifikasi dua dimensi forgiveness, yaitu retaliasi dan benevolence. Motivasi balas dendam suami merupakan prediktor yang signifikan untuk resolusi konflik yang buruk sebagaimana dilaporkan oleh istri. Sedangkan motivasi benevolence pada istri memprediksikan resolusi konflik yang lebih baik sebagaimana dilaporkan oleh suami. Studi kedua melibatkan lebih banyak pasangan (96) dengan usia perkawinan yang lebih lama. Kali kedua ini, ada dimensi lain ditambahkan, yaitu avoidance, selain retaliasi dan benevolence. Benevolence pada pihak istri memprediksikan resolusi konflik yang lebih baik, sedangkan avoidance oleh suami memprediksi resolusi konflik yang buruk. Dengan demikian, forgiveness terbukti merupakan elemen signifikan dalam trransaksi marital justru karena satu pasangan sering menyakiti yang lain ketika forgiveness tidak dipraktikkan. Apabila retaliasi dan avoidance terjadi, hal ini mudah merongrong upaya menuju pemecahan masalah yang konstruktif. Apabila pasangan merasa dibenarkan untuk bertindak destruktif oleh karena kesalahan partner yang dirasakan tak terampuni, hal ini akan berpegnaruhi negatif pada upaya resolusi konflik.

(11)

emosi-emosi negatif, maka kita bisa mengatakan bahwa forgiveness berhubungan dengan kesehatan yang lebih baik.

MEKANISME HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP KESEHATAN

Kalau forgiveness berpengaruh atas kesehatan, bagaimana sesungguhnya hubungan ini dijelaskan dalam mekanisme fisiologis? Worthington dan Scherer (2004) membedakan dua mekanisme, yaitu langsung dan tidak langsung.

Pembahasan mengenai kedua mekanisme ini didasarkan pada pandangan kedua peneliti tersebut. Ada lima mekanisme langsung dengan mana forgiveness dapat berfungsi sebagai strategi koping yang bisa memperbaiki kesehatan serta

bagaimana unforgiveness berpengaruh sebaliknya.

1. Forgiveness mereduksi hostilitas.

Hostilitas ditumbuhkan oleh unforgiveness yang kemudian memperbesar terjadinya gangguan kardiovaskular serta resikp-resiko kesehatan lainnya. Hostilitas sering disertai dengan kemarahan yang memperbesar stres. Stres pada gilirannya mampu merusak dinding dalam arteri yang kemudian menjadi tempat berkembangnya plak arterial dan bahkan mungkin

arterisklerosis. Kekakuan arterial yang terjadi dapat memperbesar resiko bagi infark kardiak, hipertensi dan stroke. Forgiveness telah ditunjukkan sebagai salah satu cara untuk memodulasi atau mereduksi rasa marah dan hostilitas.

2. Forgiveness dapat mempengaruhi sistem imun pada level selular.

(12)

justru menggangu sistem imun interselular.

3. Forgiveness dapat mempengaruhi sistem imun pada level endokrin. pengaruh positif dari forgiveness atas kesehatan adalah kemampuannya untuk memperkokoh sistem imun. Forgiveness dapat mereduksi reaktivitas HPA dan dengan begitu mereduksi sekresi kortisol. Produksi berlebihan kortisol terbukti berpengaruh buruk atas sistem imun dan kardiovaskular serta pada fungsi kognitif dan otak. Jadi, sistem neuroendokrin dipengaruhi oleh stress, yang juga berparuh atas sistem imun.

4. Forgiveness dapat mempengaruhi sistem imun melalui pelepasan antibodi. Selama stress kronik, antibodi mengalami supresi. Ada hubungan antara emosi negatif dengan supresi inhibisi secretory Immunoglobulin-A (sIg-A). Kadar sIg-A berpengaruh atas fungsi sistem imun. Penggunaan

forgiveness sebagai strategi koping mampu mengembalikan level sIg-A pada level awal (baseline).

5. Forgiveness dapat mempengaruhi proses sistem saraf pusat. Pada level sistem syaraf pusat, ada tiga proses yang terpengaruh. Pertama, dua sistem motivasional yang disebut Behavioral Inhibition System (BIS) dan Behavioral Activation System (BAS). BIS bereaksi terhadap stimuli yang berasosiasi dengan kejadian yang baru dan aversif, dan mempersiapkan orgnaisme untuk memfokuskan atensi pada stimuli ini. BIS melibatkan sistem septohipokampal, korteks prefrontal, dan jalur

monoaminergik yang menggerakkan hippokampus. Sedangkan BAS berhubungan dengan emosi baik positif dan negatif. Kedua jenis emosi ini dapat menstimulasi BAS karena kedua emosi ini merangsang dan

(13)

Proses kedua berkaitan dengan struktur dan fungsi hipotalamus dan amigdala yang tersangkut dengan forgiveness dan unforgiveness. Di dalam hipotalamus terdapat banyak reseptor untuk testosteron dan seratonin, dan hipothalamus sendiri terlibat dalam proses proses motivasional.

Testosteron cenderung tinggi dalam perilaku agresif, sedangkan seratonin menurunkan agresi. Forgiveness sebagai strategi koping yang berfokus pada emosi bisa menghambat testosteron dengan menstimulasi pelepasan seratonin.

Proses yang terakhir adalah proses yang berhubungan dengan tonalitas vagal sebagai mekanisme yang menghubungkan forgiveness dan kesehatan. Syaraf vagus bertindak seperti pusat jaringan koneksi dalam sistem saraf parasimpatetik. Tatkala suatu stressor dihadapi, tonalitas vagal menurun dan penurunan ini memungkinkan terjadinya arousal secara cepat. Tonalitas vagal ditunjukkan berhubungan dengan gangguan

kardiovaskular, expresi emosional dan regulasi emosi. Forgiveness dapat meninggikan kembali tonalitas vagal.

Kelima mekanisme yang disjukan oleh Worthington dan Scherer di atas paralel dengan model teoretikal yang sebeleumnya telah diajukan oleh peneliti lain

(McCullough, 2000; Thoressen, Harris, & Luskin, 2000; Seybold, Hill, Newmann, & Chi, 2001). Bertolak dari premis bahwa forgiveness mereduksi hostilitas, para peneliti ini mengajukan enam alur penghubung antara forgiveness dan kesehatan: (a) menurunnya reaktivitas psikofisiologis, (b) berkurangnya stress interpersonal, (c) berkurangnya frekuensi stress, (d) kelemahan konstitusional yang bertautan dengan hostilitas dan kesehatan, (e) lebih banyak perilaku sehat, dan (f) faktor-faktor transenden atau religius.

Forgiveness juga mempengaruhi kesehatan dengan berbagai mekanisme yang tidak langsung. Beberapa mekanisme tidak langsung dikemukan oleh Worthington dan Scherer sebagai berikut:

(14)

forgiveness dapat mempromosikan rekonsili menunjukkan bahwa orang yang memaafkan dapat memperbaiki relasi lebih daripada bukan pemaaf. Kuantitas dan kualitas jaringan dukungan sosial mempunyai hubungan dengan kesehatan. Neuropeptida seperti oxytocin dan prolactin dipandang sebagai neuropeptida yang berhubungan dengan relasi sosial. Kontak dan kehangatan relasi menstimulasi oxytocin, sedangkkan prolactin

menghasilkan efek fisiologis karena interaksi positif.

2. Orang yang memaafkan mengalami hidup perkawinan yang ditandai dengan stress yang kurang. Orang yang pemaaf cenderung mengalami konflik perkawinan lebih sedikit dan lebih mempu menyelesaikan konflik lebih baik daripada pasangan yang bukan pemaaf. Dengan begitu,

forgiveness bisa menjadi kekuatan yang menyetabilkan perkawinan.

3. Forgiveness barangkali berkaitan dengan personality traits yang pada gilirannya berkaitan dengan kesehatan. Forgiveness, khususnya sebagai suatu disposisi personalitas, cenderung cenderung bekerja bersama dengan variabel-varieabel disposisional lainnya yang telah oleh hasil riset ditunjukkan berhubungan dengan kesehatan. Variabel-variabel

disposisional ini mencakup agama, empati, ruminasi yang rendah, tingkat neurotisisme yang rendah, dan agreeableness yang tinggi.

(15)

Pengungkapan lain mengneai pertalian antara forgiveness dan kesehatan diajukan oleh Torenssen, Harris dan Luskin (2000), yakni: (a)

Menurunnya hostilitas, rasa marah dan menyalahkan (blaming) yang kronis, (b) berkurangnya hyperarousal dan atau allostatic load yang berkepanjangan atau kronis, (c) berpikiran optimistik, (d) efikasi-diri untuk mengambil tindakan yang memperhitungkan kesehatan, (e) dukungan sosial, dan (f) kesadaran transenden. Sedangkan lintasan penghubung tak langsung dari efek forgiveness atas

kesehatan juga dikemukakan oleh Lawler dkk.(2005), sebagai berikut: (a) spiritualitas, (b) reduksi afekf negatif, (c) ketrampilan sosial, dan (d) reduksi stress.

Kestabilan emosional pada umumnya merupakan karakteristik dalam relasi. Dalam masing-masing mekanisme di atas, relasi orang yang memaafkan cenderung lebih baik oleh karena adanya kestabilan emosional ini. Rangsangan emosi negatif juga tidak dibiarkan lama berlarut-larut. Di samping itu, forgiveness dapat menjadi semacam penanda (marker) bagi cara seseorang mengada di dunia yang bisa mencerminkan religius/spritual well-being.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa forgiveness sebagai suatu strategi koping memang

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Cosgrove, L., & Konstam, V. (2008). Forgiveness and forgetting: Clinical

implications for mental health counselors. Journal of Mental Health Counseling, 30, 1-13.

Enright, R.D. & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of forgiveness within psychological interventions. Dalam Worthington (Ed.), Dimensions of forgiveness (hal. 139-161). Radnor, PA: Templeton Foundation Press.

Enright, R.D. & North, J. (1998). Exploring forgiveness. Madison, WI: University of Wisconsin Press.

Fincham, F.D., Beach, S.R.H. & Davila, J. (2004). Forgiveness and conflict resolution in marriage. Journal of Family Psychology, 18, 72-81.

Koenig, H.G., McCullough, M.E., & Larson, D.B. (2001). Handbook of religion and health. New York, NY: Oxford University Press.

Lawler, K.A., Younger, J.W., Piferi, R.L., Jobe, R.L., Edmondson, K.A., & Jones, W.H. (2005). The unique effects of forgiveness on health: An exploration of pathways. Journal of Behavioral Medicine, 28, 157-167. Macaskill, A. (2005). The treatment of forgiveness in counselling and therapy. Counselling Psychology Review, 20, 26-33.

McCullough, M.E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory,

measurement, and links to well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, 19, 43-55.

McCullough, M.E., & Worthington, E.L. (1999). Religion and forgiving personality. Journal of Personality, 67, 1141-1164.

McCullough, M.E., Pargament, K.I., & Thorensen, C.E. (2000). The

psychology of forgiveness: History, conceptual issues, and overview. Dalam McCullough, Pargament, & Thorensen (Eds.), Forgiveness: Theory, research, and practice (hal. 1-14). New York: Guilford Press. McCullough, M.E. (2001). Forgiveness: Who does it and how do they do it.

Current Directions in Psychological Science, 10, 194-197.

McCullough, M.E., Bono, G., & Root, L.M. (2005). Religion and forgiveness. Dalam Paloutzian & Park (Eds.), Handbook of the psychology of religion and spirituality (hal. 394-411). New York: Guilford Press. Ransley, C., & Spy, T. (Eds.)(2004). Forgiveness and the healing process – A central therapeutic concern. New York: Brunner-Routledge.

Reed, G.L. & Enright, R.D. Enright. The effects of forgiveness therapy on depression, anxiety, and posttraumatic stress for women after spousal emotional abuse. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74, 920-929.

(17)

Thoressen, C.E., Harris, A.H.S., & Luskin, F. (2000). Forgiveness and health: An unanswered question. Dalam McCullough, Pargament, &Thorensen (Eds.), Forgiveness:Theory, research, and practice (hal. 254-280). New York: Guilford Press.

Waltman, M.A., Russell, D.C., Coyle, C.T., Enright, R.D., Holter, A.C., & Swoboda, C.M. (2009). The effects of a forgiveness intervention on patients with coronary artery disease. Psychology and Health, 24, 11- 27.

Van Lange, P.A.M., Rusbult, C.E., Drigotas, S.M., Arriage, V+X.B., Witcher, B.S., & Cox, C.L. (1997). Willingness to sacrifice in close relationship.

Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1373-1395. Wade, N.G., Worthington, E.L., & Meyer, J.E. (2005). But do they work? A

meta-analysis of interventions to promote forgiveness.Dalam Worthington (Ed.), Handbook of forgiveness (hal. 423-440). New York: Brunner-Routledge.

Webb, J.R., Toussaint, L., & Conway-Williams, E. (2012). Forgiveness and health: Psycho-spiritual integration and the promotion of better healthcare.

Journal of Health Care Chaplaincy, 18, 57-73.

Worthington, E.L. (2003). Forgiving dan reconciling: Bridges to wholeness and hope. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.

Worthington, EL. (2005).Handbook of forgiveness. New York: Brunner- Routledge.

Worthington, E.L., & Wade, N.G. (1999). The psychology of unforgiveness and forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social and Clinical Psychology, 18, 385-418.

Worthington, E.L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience: Theory, review, and hypotheses. Psychology and Health, 19, 385-405. Worthington, E.L., Witvliet, C.V.O., Pietrini, P., & Miller, A.J. (2007).

Forgiveness,health, and well-being: A review of evidence for emotional versus decisional forgiveness, dispositional forgiveness,

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

b. Tunjangan transportasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) diberikan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Honorarium masing-masing anggota Dewan Komisaris/Dewan

[r]

Oleh karena itu informasi tentang kesehatan gigi merupakan bagian dari kesehatan secara keseluruhan yang tidak bisa dipisahkan dan penting dalam menunjang kualitas

Dengan Huruf Empat ratus tiga puluh sembilan juta lima ratus enam puluh ribu rupiah Keterangan Perincian sbb :. Qty

[r]

Pengetahuan mengenai teknik pertolongan pertama pada kondisi demam karena demam tinggi merupakan hal lain yang juga tidak kalah penting untuk dimiliki orang tua agar dapat