TINJAUAN FIQH JINA<YAH TERHADAP KEPRES RI NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI
SKRIPSI
OLEH
:
UTHA WAHYU SUGIHARTI NIM: C03210049
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Program studi Siyasah Jina>yah
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai Bagaimana pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi? Dan bagaimana tinjauan fiqh Jinayah terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ?.
Data penelitian diperoleh dari kajian pustaka yaitu berupa literatur buku fiqh junayah dan KUHP berupa undang-undang tentang tinjauan fiqh jinayah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. yaitu memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan pola pikir deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik kepada hal-hal kepada data, serta ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa Remisi merupakan pengampunan yang berupa pengurangan masa tahanan yang diberikan kepada terpidana yang telah dianggap memenuhi ketentuan syarat-syarat menurut Keppres RI No 174 tahun 1999, yaitu terpidana harus berkelakuan baik selama menjalani hukuman, berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan, melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan dan syarat ini berlaku untuk semua tindak pidana umum termasuk kepada pelaku tindak pidana pembunuhan. Sedangkan ditinjau dari hukum pidana Islam pemberian remisi kepada pelaku tindak penulis kategorikan kepada mashlalah mursalah karena remisi ini dipandang baik oleh akal, sejalan
dengan tujuan syara’ meski tidak ada nash yang secara tekstual membicarakan remisi sehingga penulis mengkategorikan remisi ini ke dalam mashlahah mursalah. Syarat untuk mendapatkan remisi tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok hukum pidana dalam Islam. Hal ini dapat dicermati dari kriteria atau syarat yang harus di penuhi oleh narapidana yakni, berbuat baik selama di dalam tahanan, menyesalinya dan berniat untuk tidak mengulanginya lagi.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSRAKSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
BIODATA PENULIS ... vii
MOTTO ... viii
PERSEMBAHAN ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasidan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistimatika Pembahasan ... 18
BAB II: QISHAS DAN TAKZIR DALAM HUKUM ISLAM ... 21
A. Hukuman Qishas ... 21
2. Macam-Macam Pembunuhan ... 23
3. Hukuman Pembunuhan ... 26
B. Hukuman Takzir ... 39
1. Pengertian Takzir ... 39
2. Dasar Hukum Takzir ... 43
3. Macam-Macam Takzir ... 48
4. Sanksi Perbuatan Takzir ... 53
BAB III: REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999 ... 55
A. Pengertian Remisi ... 55
B. Dasar Hukum Remisi ... 56
C. Pengertian Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif ... 59
1. Pengertian Pembunuhan ... 59
2. Macam-Macam Pembunuhan ... 60
3. Hukuman Pelaku Jarimah ... 72
4. Hak Pemberian Remisi Terhadap Pembunuhan ... 81
BAB IV: TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAP PERTIMBANGAN KEPRES RI NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI ... 89
A. Pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ………... 89
BAB V: PENUTUP ... 111
A. Kesimpulan ... 111
B. Saran ... 112
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak prerogatif Presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain. 1 Hal ini bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat. Tugas pokok pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan undang-undang. Untuk itulah dalam konsep negara hukum modern sekarang ini terdapat suatu lembaga kewenangan yang disebut Freises Ermessen, yaitu suatu kewenangan bagi pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat tersebut. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah dalam bidang pemerintahan implikasi Freises Ermessen ini ditandai dengan adanya Hak Prerogatif.
Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun menjadi sangat penting, karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa
1
2
tujuan hukum adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.2 Untuk menciptakan perubahan kehidupan yang lebih baik tersebut, pemerintah beusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan
berbagai alat yanga ada padanya. Salah satu alat itu adalah “hukum
pidana”. Dengan hukum pidana, pemerintahan menetapkan perbuatan
-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana baru. 3
Hukum pidana tidak akan lepas dari permasalahan-permasalahan pokok yang merupakan salah satu bagian penting dalam proses berjalannya hukum pidana, adapun permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu:4
1. Perbuatan yang dilarang;
2. Orang (korporasi) yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;
3. Pidana yang diancamkan dan dikenakan kepada orang (koerporasi) yang melanggar larangan itu.5
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terbukti telah melanggar hukum yakni terdapat dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda sedangkan pidana
2
Peter Mahmud Narzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), 108.
3
Sudaryono & Natangsa Subakti, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), 2.
4
Ibid.,
5
3
tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Salah satu bentuk pidana yang lazim dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan adalah pidana penjara. Pidana penjara di dalam sejarah dikenal sebagai reaksi masyarakat terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, pidana penjara juga disebut sebagai “pidana hilang
kemerdekaan” dimana seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan
secara sosial dari lingkungannya. 6
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, seorang Narapidana mempunyai hak sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikatakan bahwa Narapidana berhak untuk:7
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepecayaan; 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. Mendapat pendidikan dan penjagaan;
4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5. Menyampaikan keluhan;
6. Mendapatkan bahan bacaa dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.8
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
6
Panjaitan, Petus Iwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Prespektif Sisstem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 14.
7
Ibid.,
8
4
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;9
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat; 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas;
13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10
Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa salah satu hak Narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Dengan pemberian remisi Narapidana tidak sepenuhnya menjalani masa hukuman pidananya. Hal tersebut merupakan sebuah hadiah yang diberikan pemerintah kepada para Narapidana.11
Dalam memeperoleh remisi Narapidana harus memenuhi beberapa persyaratan, yang intinya menaati peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan adanya pemberian remisi menjadikan Narapidana berusaha tetap menjaga kelakuannya agar kembali memperoleh remisi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian remisi bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain. Undang-Undang
9
Ibid.,
10
Ibid.,
11
5
No, 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakan, Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09HN.02-01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Keputusan Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi tambahan bagi Narapidana dan Anak didik, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi bagi Narapidana yang menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Sementara.12
Dengan Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan pemerintah selalu memperhatikan hak para Narapidana untuk mendapatkan remisi yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dalam pemberian remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku atau perbuatan para Narapidana selama menjalani pidana sebagai acuan pemberian remisi yang sesuai dengan perilaku dan tindakan selama Lembaga Pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan itu sendiri.
Sistem dalam pemerintahan Islam Khalifah adalah pemegang kendali umat, segala jenis kekuasaan berpuncak padanya dan segaka garis politik agama dan dunia bercabang dari jabatannya, karena itulah khalifah merupakan kepala pemerintahan yang bertugas
12
6
menyelengarakan undang-undang untuk menegakkan Islam dan mengurus Negara dalam bingkai Islam. Sebagaimana firman Allah:13
ْمُكْنِم ِرْمأا ِِوُأَو َلوُسّرلا اوُعيِطَأَو َهّللا اوُعيِطَأ اوُنَمآ َنيِذّلا اَهّ يَأ اَي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. Al-
Nisaa‟: 59).
Pemahaman ayat di atas, pada ayat pertama, bahwasannya seorang pemimpin agar senantiasa mereka menunaikan amanat kepada yang berhak, dan bila mereka menjatuhkan suatu hukum agar berlaku adil, dan selanjutnya pada ayat kedua, bagi rakyat diwajibkan untuk mentaati pemimpin yang bertindak adil, kecuali pemimpin itu memerintahkan kemaksiatan, oleh karena itu menurut pendapat Ibnu Taimiyah tugas pemerintah adalah menjamin tegaknya hukum Allah dan mengamankannya dari ketimpangan yang mungkin terjadi. 14
Hukum Pidana Islam dalam tindak pidana terbagi menjadi tiga macam, yaitu pidana hud{ud}, pidana qis{as}-diyat dan pidana ta’z}ir, kaitannya dengan pengurangan hukuman (pemberian remisi), pembagian ini berfungsi untuk memisahkan pidana yang tidak mengenal pengurangan dan pidana yang bisa dikurangi. Islam mengajarkan bahwa
13
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran al-Qur‟an, 1971), 378
14
7
perkara hud}ud} yang telah sampai kepada yang berwenang tidak boleh lagi dikurangi. Dalam hal ini, Allah telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi untuk menuntu qis}as}. Dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan yang mana pelaku pembalas bukanlah negara melainkan ahli waris dari orang yang terbunuh, oleh karena itu negara sendiri tidak berhak untuk memberikan pengurangan. Akan tetapi jika korban tidak cakap masih di bawah umur atau gila sedang ia tidak punya wali maka kepala negara bisa menjadi walinya dan bisa memberikan pengurangan. Jadi kedudukannaya sebagai wali Allah yang memungkinkan dia mengurangi, bukan kedudukannya sebagai penguasa Negara. Dari penjelasan di atas dapat ditelusuri padanan arti kata remisi di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, definisi remisi adalah pengurangan masa pidana kepada Narapidana yang diberikan oleh Presiden atau Kepala Negara.15
Dengan demikian, untuk pidana hud}ud}, hukum Islam telah menentukan salah satu kewajiban penguasa negara atau khususnya kepala negara menerut Imam Ibnu Taimiyah, adalah menegakkan hukum-hukum Allah agar orang tidak berani melanggar hukum-hukum-hukum-hukum Allah yang
15
8
batas-batasnya telah Allah tetapkan, dan menjaga hak-hak hamba-Nya dari kebinasaan dan kerusakan. Oleh karena itu hukuman ini tidak bisa dikurangi oleh pengasa negara, disamping karena hukuman had ini adalah murni hak Allah. Telah tegaskan bahwa pidana hudud tidak mengenal pengurangan oleh korban atau penguasa Negara.
Melalui latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut dengan judul: “Tinjauan Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis mengindetifikasi permasalah yang muncul didalamnya, yaitu : 1. Perkembangan hukum tentang Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999
Tentang Remisi
2. Pandangan hukum Islam terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor 174
Tahun 1999 Tentang Remisi
3. Syarat-syarat pemberian Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Pemberian Remisi Dasar hukum Islam yang terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
4. Faktor-faktor yang melatar belakangi Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
5. Tinjauan Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Adapun batasan masalah yang menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini, yaitu peneliti akan mengkaji tentang:
1. PertimbanganKepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
10
C. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah tersebut di
atas. Maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi?
2. Bagaimana tinjauan fiqh Jina<yah terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor
174 Tahun 1999 Tentang Remisi ?
D. Kajian Pustaka
Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, peneliti menjumpai hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang mempunyai sedikit relevansi dengan penelian yang sedang peneliti lakukan, yaitu sebagai berikut:
Penelitian yang berjudul: “Pemberian Remisi Bagi Narapidana (Studi
Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta).”.16 Oleh Muhamad Hasan Tahun 2013. Penelitian ini mengakaji tentang: Berdasarkan hasil analisis
penyusun, bahwa dalam peenlitian ini terdapat kendala kurang tertibnya
administrasi keterlambatan peralihan berkas dan masih maualnya input data yang
digunakan sehingga bisa menunda proses pengusulan pemberian remisi bagi
narapidana.
16
11
Penelitian yang berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana”. Oleh Zaenal Arifin Tahun 2010. Penelitian ini mengkaji tentang tujuan pemidaan dalam hokum Islam yaitu bertujuan untuk
memberikan efek jera bagi narapida untuk kemudian tidak mengulangi
perbuatannya lagi diamana dalam hukum Islam pemberian remisi dapat diberikan
kepada narapida yang memenuhi sayarat-sayarat menuju kebaikan
(sungguh-sungguh bertaubat), jika narapidana tidak bertaubat dengan (sungguh-sungguh-(sungguh-sungguh
maka remisi tidak dapat diberikan. Dalam penelitian ini peneliti lebih focus
kepada pemberian remisi dalam hokum Islam saja.17
Penelitian yang berjudul: “Pemberian Remisi Dalam Perspektif Hukum
Positif Dan Hukum Islam”. Oleh Hakim Zainal Tahun 2015. Penelitian ini
mengkaji tentang tujuan dari pemberian remisi menurut perspektif hokum Islam
dan hokum positif yaitu untuk merealisasikan dalam keadilan bermasyarakat.
Dimana dalam suatu negara harus diterapkan suatu atauran agar terciptanya
keadilan abgi penghuni dan lingkungan yang madani diman manusia dalam diri
manusia ada dua sisi baik dan sisi buruk, sisi baik ini berupa imbalan berupa
remisi, sedangklan dari sisi buruk diberikan punishment supaya narapidana tidak
mengulangi perbuatan lagi.18
17
Zaenal Arifin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana” (Thesis, UIN Sunan Ampel Kalijaga, 2010). 15
18
12
Antara penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang peneliti
lakukan, mempunyai sedikit kesemaan, yaitu sama-sama mengkaji tentang tindak
pidana pemberian remisi bagi narapidana. sedangkan yang membedakan
penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu dalam
pembahasan penelitian ini peneliti lebih fokus pada tindak pidana pemberian
remisi bagi pembunuhan berencana narapidana dengan hukuman seumur hidup
menurut perspektif fiqh Jinay<ah dan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Pemberian Remisi.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian ini,
maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi.
2. Untuk memahami dan menganalisis tinjauan fiqh jina<yah terhadap
pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai
13
1. Teoritis
Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam fiqh siyasah terhadap
Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. Penelitian ini dapat
dijadikan sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya
maupun bagi pemerhati hukum Islam dalam memahami fiqh jina<yah
terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
2. Praktis
Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat dan berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang terlibat
dalam kasus penelitian ini terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999
Tentang Remisi
G. Definisi Oprasional
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian
ini, dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka
peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini,
sebagai berikut:
1. Fiqh Jinay<ah: Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. atau fiqh adalah himpunan
14
terperinci. Sedangkan jina<yah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang
dilarang syara, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainya.
Dalam hal ini Jina<yah merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat
mengakibatkan hukuman had, qisash atau ta’zir.19
2. Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi (studi kasus
pembunuhan berencana narapidana dengan hukuman seumur hidup): Remisi di Indonesia telah diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, remisi yang terjadi di Indonesia adalah
pembunuhan berencana narapidana dengan hukuman seumur hidup
mendapatkan hak prerogatif dari Kepala Negara yaitu berupa pengurangan masa pidana kepada Narapidana yang diberikan oleh Presiden atau Kepala Negara. Sedangkan dalam fiqh jina>yah
hukuman ini tidak bisa dikurangi oleh penguasa negara, karena hukuman had ini adalah murni hak Allah. dimana pidana hudud tidak mengenal pengurangan oleh korban atau penguasa Negara.
H. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
19
15
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini,
maka data-data yang akan dimpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1) Perkembangan hukum tentang Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi.
2) Syarat-syarat pemberian Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi.
3) Faktor-faktor yang melatar belakangi Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999
Tentang Remisi.
2. Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti dalam
penulisan penelitian ini secara tepat dan menyeluruh, maka peneliti
menggunakan dua bentuk sumber data sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer yaitu merupakan sumber data utama dalam penelitian ini
yang diperoleh oleh peneliti dari sumbernya secara langsung. Adapun
yang dimaksud dengan data primer yaitu:
1) Pengertian remisi menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999
2) Dasar hokum remisi dalam Kepres RI No 174 Tahun 1999
16
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah data yang dibutuhkan sebagai pendukung
data primer. Data ini bersumber dari referensi dan literatur yang
mempunyai korelasi dengan judul dan pembahasan penelitian ini seperti
buku, catatan, dan dokumen. Adapun sumber data sekunder yang
dijadikan rujukan dalam penelitian ini, ialah sebagaimana berikut :
1) Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1981
2) Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyah,
(Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabi, 1380 H)
3) Ali Al-Shobuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut: Dar Kutub
Al-Ilmiyah, 2004.
4) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
(Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, Cet-I, 2004
5) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
Cet-2, 2005.
6) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam,Hudud dan Kewarisan. (Radja Grafindo: Jakarta, 1404 H)
7) Djazuli,Fiqh Jinayat (Menanggulangi Kejahatan dalam
17
8) Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)
9) Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Offset. 2005, Cet.II.
10)Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam,Pustaka Setia Bandung,
(Bandung: 2010)
11)Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006)
12)Suharto. R.M, Hukum Pidana Materiil, Ed-2, Jakarta: Sinar Grafika,
Cet-2, 2002.
13)Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang peneliti butuhkan dalam
penulisan penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data melalui buku dan jurnal yang ada di perpustakaan. Agar dapat
memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan kajian penelitian ini, yaitu.
Kepustakaan adalah menggali data tentang pemberian remisi
menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999 dimana data yang dikumpulkan
terdapat dalam literatur buku, Untuk melakukan studi kepustakaan,
18
bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji,
dicatat dan dimanfaatkan.20
5. Teknik Pengolahan Data
Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisa data-data yang telah
dikumpulkan, maka peneliti menganggap perlu melakukan pengolahan data
melalui beberapa tekhnik sebagai berikut:
a. Pengeditan : yaitu memeriksa kelengkapan data-data yang sudah
diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit apabila
tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian penelitian.
b. Pemberian kode : yaitu memberikan kode terhadap data-data yang
diperoleh dan sudah dieedit, kemudian dikumpulkan sesui dengan
relevansi masing-masing data tersebut.
c. Pengorganisasian: yaitu mengkategorisasikan atau mensistematiskan data
yang telah terkumpul. Data-data yang sudah diedit dan diberi kode
kemudian diorganisasikan sesuai dengan pendekatan dan bahasan yang
telah dipersiapkan.
6. Teknik analisa data
Setelah seluruh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkumpul
semua dan sudah diolah melalui teknik pengolahan data yang digunakan oleh
peneliti, kemudian data-data tersebut dianalisis. Adapun data yang dianalisis
20
19
dalam penelitian ini yaitu berupa analisis pemberian remisi menurut Kepres
RI No 174 Tahun 1999 .21
Untuk menganalisa data yang sudah dikumpulkan dan diolah
melalui teknik pengolahan data, penulis menggunakan metode deskripif
analisis. Metode deskriptif yaitu merupakan salah satu metode analisa data
dengan mendeskripsikan fakta-fakta secara nyata dan apa adanya sesuai
dengan objek kajian dalam penelitian ini.22 yaitu KUHP dan fiqh jina>yah.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode landasan teori
deduktif untuk menganalisa data-data yang sudah dikumpulkan dan diolah
oleh peneliti dalam penelitian ini. Pola pikir deduktif yaitu metode analisa
data dengan memaparkan data yang telah diperoleh secara umum untuk
ditarik kesimpulan kepada data-data. Peneliti menggunakan metode ini untuk
memaparkan secara umum mengenai tinjauan fiqh jina>yah terhadap
pemberian remisi menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999. dan kemudian
ditarik kesimpulan secara khusus sesuai dengan analisis fiqh jina>yah dan
KUHP.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah peneleliti dalam menyusun penulisan penelitian ini
secara sistematis, dan mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian
21
Sugiyono, Metode Penelitian., hal. 224.
22
20
ini, maka peneliti mensistematisasikan penulisan penelitian ini menjadi beberap
bab, sebagai berikut:
Bab pertama ini berisi tentang pendahuluan. Dalam bab ini, peneliti
mengkaji secara umum mengenai seluruh isi penelitian, yang terdiri dari: Latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua ini adalah Remisi Dalam Hukum Islam . Dalam landasan bab
kedua ini, peneliti akan mengkaji tentang 1. Pengertian Remisi, 2. Dasar hukum
Remisi 3. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Hukum Pidana Islam.
Pada bab ketiga ini dijelaskan tentang Remisi Dalam Kepres RI Nomor
174 Tahun 1999, peneliti mengkaji tentang A. Pengertian Remisi Menurut Kepres
RI Nomor 174 Tahun 1999, B. Dasar Hukum Remisi Remisi Dalam Kepres RI
Nomor 174 Tahun 1999, C. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Positif.
Pada bab keempat ini akan di Jelaskan hasil analisis tentang Analisis
Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi. Yaitu tentang pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi dan tinjauan fiqh Jina<yah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999
21
Bab kelima menyajikan penutup. Dalam bab ini, peneliti akan
21
BAB II
QISHAS DAN TAKZIR DALAM HUKUM ISLAM
A. Qishas
1. Pengertian Qishas (Pembunuhan)
Di dalam hukum pidana Islam perbuatan yang dilarang oleh
syara‟ biasa disebut dengan jarimah , sedangkan hukumannya disebut
dengan uqubah . Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qisas dan diyat serta jarimah
ta’zir.1 Jarimah hudud merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman had, sedangkan jarimah qisas dan diyat merupakan jarimah yang diancam
dengan hukuman qisas atau diyat, dan jarimah ta’zir merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir . Perbedaan dari ketiga jarimah itu adalah jika hukuman had merupakan hak Allah sepenuhnya sedangkan
qisas dan diyat serta ta’zir merupakan hak individu ( hak manusia ). Jarimah pembunuhan termasuk kedalam jarimah qisas dan diyat karena
terdapat hak individu disamping hak Allah SWT. Setiap jarimah harus
mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu;2
1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya,
dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Formil
1
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), IX
2
22
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa
perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini
biasa disebut dengan Unsur Materiil .
3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggunganjawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur
ini biasa disebut dengan Unsur Moriil
Tindak pidana pembunuhan termasuk kedalam ketegori jarimah
qisas dan diyat. Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut (qotl) yang
sinonimya (amat) artinya mematikan. Para ulama mempunyai definisi yang
berbeda-beda walaupun kesimpulannya sama yaitu tentang menghilangkan
nyawa orang lain. Berbagai ulama‟ yang mendefinisikan pembunuhan
dengan suatu perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa
orang lain. Yang pertama adalah didefiniskan oleh Wahbah Al-Zuhayliy
yang mengutip pendapat Khatib Syarbini sebagai berikut ”Pembunuhan
adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”,
Selain itu Abdul Qadir Al-Audah menerangkan bahwa pembunuhan adalah
perbuatan seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti
menghilangkan jiwa anak adam oleh perbuatan anak adam yang lain.3
Sedangkan menurut Ahmad Wardi Muslich definisi
pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
3
23
mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja maupun tidak sengaja.4 Pengertian jarimah pembunuhan menurut
Zainudin Ali dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam adalah
suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dan atau beberapa orang yang
mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.5 Jadi,
banyak sekali pengertian-pengertian yang dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembunuhan itu merupakan aktifitas menghilangkan nyawa orang lain yang
dapat dilihat dari berbagai aspek tinjauan hukum.
2. Macam-Macam Pembunuhan
Tidak semua tindakan kejam terhadap jiwa membawa
konsekuensi untuk hukum Qisas. Sebab, diantara tindakan kejam itu ada
yang disengaja, ada yang menyerupai kesengajaan, ada kalanya kesalahan,
dan ada kalanya diluar itu semua. Jarimah Qisas dan Diyat sebenarnya
dibagi menjadi dua, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Para fuqahapun
membagi pembunuhan dengan pembagian yang berbeda-beda sesuai
dengan cara pandang masing-masing. Tetapi apabila dilihat dari segi sifat
perbuatannya pembunuhan dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:6
a. Pembunuhan Disengaja („amd}),
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan
tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang
4
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 137
5
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 24
6
24
dipandang layak untuk membunuh. Sedangkan unsur-unsur dari
pembunuhan sengaja yaitu korban yang dibunuh adalah manusia yang
hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku, pelaku tersebut
menghendaki terjadinya kematian.7
Dalam hukum Islam pembunuhan disengaja termasuk dosa
paling besar dan tindak pidana paling jahat. Terhadap pelaku
pembunuhan yang disengaja pihak keluarga korban dapat memutuskan
salah satu dari tiga pilihan hukuman yaitu qisas, diyat, atau pihak
keluarga memaafkannya apakah dengan syarat atau tanpa syarat.8 Selain
itu pembunuhan sengaja akan membawa akibat selain dari tiga hukuman
tersebut yaitu dosa dan terhalang dari hak waris dan menerima wasiat.
b. Pembunuhan semi sengaja (shibul „amd} )
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan
sengaja tetapi tidak ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban.
Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam pembunuhan semi sengaja
adalah adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian,
adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan, kematian adalah akibat
perbuatan pelaku.9 Dalam hal ini hukumannya tidak seperti pembunuhan
sengaja karena pelaku tidak berniat membunuh. Hukuman pokok dari
7
Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 141
8
Ali, Zainudin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 127
9
25
pembunuhan semi sengaja selain dosa karena ia telah membunuh
seseorang yang darahnya diharamkan Allah dialirkan, kecuali karena haq
( Alasan syari‟ ) adalah diyat dan kafarat, dan hukuman penggantinya
adalah ta’z}ir dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.10
c. Pembunuhan tidak disengaja (khata)
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak
ada unsure kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal
dunia. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan karena kesalahan yaitu
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Al Audah ada tiga
bagian, yaitu adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban,
perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan pelaku, antara perbuatan
kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat.
Hukuman bagi pembunuhan tersalah hampir sama dengan pembunuhan
menyerupai sengaja yaitu hukuman pokok diyat dan kafarat, dan
hukuman penggantinya adalah ta’zir }dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima
wasiat.
10
26
3. Hukuman Pembunuhan
Pembunuhan dalam syariat Islam diancam dengan beberapa
macam hukuman, sebagian hukuman pokok dan dan pengganti. Berikut ini
akan dijelaskan macam-macam hukuman bagi tindak pidana pembunuhan
menurut hukum pidana Islam.
a. Hukuman Qishas
1) Pengertian Qishas
Qisas dalam arti bahasa adalah menyelusuri jejak. Selain itu
qisas dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan menurut
istilah syara, Qisash adalah memberikan balasan yang kepada pelaku sesuai
dengan perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah
menghilangkan nyawa orang lain ( membunuh ), maka hukuman yang
setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.
2) Dasar Hukum Qishas
Dasar dari hukuman qisas dalam jarimah pembunuhan yaitu
Al-Qur‟an surat Al Baqaarah ayat 178 dan al maaidah ayat 45 yang telah
tercantum dalam halaman diatas. Selain dari dua ayat tersebut dasar hukum
dari hukum qisash juga terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al Baqaarah ayat
179 yang berbunyi:11
11
27
قتت ْم عل ْل ْل يل أ ي يح ص صقْل يف ْم ل
Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang -orang y ang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al Baqaarah 179).
Selain itu hukuman Qisash ini dijelaskan dalam hadits An-Nas’i
yang berbunyi : Al Harits bin Miskin berkata dengan membacakan riwayat
dan saya mendengar dari Sufyan dari 'Amru dari Mujahid dari Ibnu Abbas,
dia berkata; dahulu pada Bani Israil terdapat hukum qisas namun tidak ada
diyat pada mereka, lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: (Hai orang
-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan dengan -orang
-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik
(pula)).
Pemberian maaf itu adalah menerima diyat pada pembunuhan
dengan sengaja, dan hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)), serta melaksanakan ini
dengan kebaikan. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat dari apa yang diwajibkan atas kaum sebelum kalian,
28
3) Syarat-syarat Qishas
Untuk melaksanakan hukuman qisas perlu adanya syarat-syarat
yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk
pelaku ( pembunuh), korban ( yang dibunuh ), perbuatan pembunuhannya
dan wali dari korban.12 Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a) Syarat-Syarat Pelaku (Pembunuh)
Menurut Ahmad Wardi Muslich yang mengutip dari Wahbah
Zuhaily mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku (
pembunuh ) untuk diterapkannya hukuman Qis}as}, syarat tersebut adalah
pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan
pembunuhan dengan sengaja, pelaku (pembunuh ) harus orang yang
mempunyai kebebasan.13
b) Korban (yang dibunuh),
Untuk dapat diterapkannya hukuman qishas kepada pelaku harus
memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat
tersebut adalah korban harus orang orang yang ma’shum ad-dam artinya
korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara Islam,
korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa keduanya tidak ada
hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan antara pelaku dengan
12
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 151
13
29
korban ( tetapi para jumhur ulama saling berbeda pendapat dalam
keseimbangan ini).
c) Perbuatan Pembunuhannya
Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan
harus perbuatan langsung ( mubasyaroh), bukan perbuatan tidak langsung
(tasabbub). Apabila tassabub maka hukumannya bukan qisas melainkan
diyat. Akan tetapi, ulama-ulama selain hanafiyah tidak mensyaratkan hal
ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat
dikenakan hukuman Qishas.
d) Wali (Keluarga) dari Korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban
tidak diketahui keberadaanya maka Qisash tidak bisa dilaksankan. Akan
tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
4) Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Qishas
Ada beberapa sebab yang dapat menjadikan hukuman itu gugur,
tetapi sebab ini tidaklah dapat dijadikan sebab yang bersifat umum yang
dapat membatalkan seluruh hukuman, tetapi sebab-sebab tersebut memiliki
pengaruh yang berbeda-beda terhadap hukuman. Adapun sebab-sebab yang
dapat menggugurkan hukuman adalah:14
a) Meninggalnya pelaku tindak pidana,
b) Hilangnya tempat melakukan qisas
14
30
c) Tobatnya pelaku tindak pidana,
d) Perdamaian,
e) Pengampunan,
f) Diwarisnya qisas,
g) Kadaluarsa (al-taqadum)
Dari beberapa sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman
yang paling mendekati dengan Remisi adalah sebab yang ke lima yaitu
pengampunan.
b. Hukuman Diyat
1) Pengertian Diyat
Pengertian diyat yang sebagaimana dikutip dari sayid sabiq
adalah harta benda yang wajib ditunaikan karena tindakan kejahatan yang
diberikan kepada korban kajahatan atau walinya.15 Diyat diwajibkan dalam
kasus pembunuhan sengaja dimana kehormatan orang yang terbunuh lebih
rendah dari pada kehormatan pembunuh, seperti seorang laki-laki merdeka
membunuh hamba sahaya. Selain itu diyat diwajibkan atas pembunuh yang
dibantu oleh para Aqilahnya ( saudara-saudara laki-laki dari pihak ayah ),
hal ini bilamana pembunh mempunyai saudara. Ini diwajibkan atas kasus
15
31
pembunuhan serupa kesengajaan dan pembunuhan karena suatu
kesalahan.16
2) Jenis Diyat Dan Kadarnya
Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, dan
Imam Ahmad Ibn Hanbal, jenis diat itu ada 6 macam, yaitu:17
1. Unta,
2. Emas
3. Perak,
4. Sapi,
5. Kambing, atau
6. Pakaian.
Diyat itu ada kalanya berat dan adakalanya ringan. Diyat yang
ringan dibebankan atas pembunhan yang tidak disengaja, dan diyat yang
berat dibebankan atas pembunhan yang serupa kesengajaan.
3) Sebab-Sebab Yang Menimbulkan Diyat
Menurut H. Moh Anwar, sebab-sebab yang dapat menimbulkan
diyat ialah:18 a) Karena adanya pengampunan dari qisha s oleh ahli waris
korban, maka dapat diganti dengan diyat. b) Pembunuhan dimana
pelakunya lari akan tetapi sudah dapat diketahuai orangnya, maka diyatnya
dibebankan kepada ahli waris pembunuh.28 Ini dikarenakan untuk
16
Ibid., 456
17
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 168
18
32
memperbaiki adat kaun jahiliyah dahulu yang di mana jika terjadi
pembunuhan yang disebabkan oleh kesalahan mere ka suka membela
pembunuhagar dibebaskan dari diyat dan secara logika untuk menjamin
keamanan yang menyeluruh, sehingga para setiap anggaota keluarga saling
menjaga dari kekejaman yang dapat menimbulkan penderitaan orang lain.
c) Karena sukar atau susah melakasanakan Qisas. Bila wali memberi maaf
atau ampunan terhadap pembunhan yang disengaja maka menurut imam
syafi’i dan hanbali berpendapat harus diyat yang diperberat. Tetapi menurut
Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus pembunuhan sengaja tidak
ada diyat , tetapi yang wajib adalah berdasarkan persetujuan dari kedua
belah pihak ( wali korban dengan pelaku pembunuh) dan wajib dibayar
seketika dengan tidak boleh ditangguhkan.19
c. Hukuman Ta’zir
Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah
yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’.20 Dengan kata lain ta’zir
adalah hukuman yang bersaifat edukatifyang ditenukan oleh hakim.21
Adapun jenis dari hukuman ta’zir bermacam-macam, menurut H. Zainudin
Ali jenis hukuamn yang termasuk ta’zir antara lain hukuman penjara, skors
atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan
19
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus Sunah”, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 454
20
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 249
21
33
jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari
pelakunya. Bahkan menurut abu hanifah , pelanggaran ringan yang
dilakukan oleh seseorang berulang kali, hakim dapat menjatuhkan hukuman
mati, seperti seorang pencuri yang dipenjara tetapi masih tetap mengulangi
perbuatan tercela itu ketika ia dipenjara, maka hakim berwenang menjatuhi
hukuman mati kepadanya.
Hukuman pengganti yang ke dua setelah diyat yaitu ta’zir.
Apabila hukuman diyat gugur karena sebab pengampunan atau lainnya,
hukuman tersebut diganti dengan hukuman ta’zir. Seperti halnya dalam
pembunhan sengaja, dalam pembunuhan yang menyerupai sengaja ini,
hakim diberi kebebasan untuk memilih jenis hukuman ta’zir yang sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
d. Pidana Penjara Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara
pertama Al -Habsu; kedua As -sijnu. Pengertian Al -Habsu menurut bahasa
adalah Al -Man’u yang artinya mencegah atau menahan. Menurut imam ibn
al qayyim al jauziyah yang dimaksud dengan al-habsu menurut syara’
bukanlah menahan pelaku ditempat yang sempit, melainkan menahan
seseorang dan mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum,
baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun tempat
34
Bakar. Pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus
disediakan untuk menahan seaorang pelaku tindak pidana. Dan barulah
pada masa Pemerintahan Khalifah Umar menyediakan penjara dengan cara
membeli rumah Shafwan Ibn Umayah sebagai penjaranya. Hukuman
penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu:22
a) Hukuman Penjara Terbatas
Hukuman penjara terbatas adalah hpukuman penjara yang lama
waktunya dibatasi secara tegas. Tentang batas tertinggi dan terendah dari
hukuman penjara dikalangan ulama’pun tidak ada yang bersepakat. Dengan
tidak adanya ketentuan yang pasti ini maka para ulama hanya menyerahkan
kepada ijtihat Imam ( Ulil Amri ) tentang batas terendah dan tertinggi untuk
hukuman penjara.23 Sebagai akibat dari perbedaan pendapat tersebut
banyak orang yang mendapatkan hukuman kawalan pada negara-negara
yang memakai hokum positif, sedang pada Negara yang memakai hukum
Islam akan lebih sedikit jumlahnya.24
b) Hukuman Penjara Tidak Terbatas
Yaitu hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya,
melainkan berlangsung terus menerus sampai orang yang terhukum mati
atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain dapat disebut dengan hukuman
seumur hidup.
22
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 261
23
Ibid., 263
24
35
e. Pengampunan Dalam Jarimah Pembunuhan.
Pengampunan bagi tindak pelaku pembunuhan merupakan hak
dari wali korban. Wali diberi wewenang untuk mengampuni hukuman
qisas. Apabila ia memaafkan maka gugurlah hukuman qisas tersebut.
Dalam hal pemberian ampunan bisa saja dari ahli waris korban memberikan
dengan Cuma-Cuma atau dengan meminta diyat. Tetapi meskipun demikian
tidaklah menjadi penghalang bagi penguasa untuk menjatuhkan hukuman
takzir yang sesuai terhadap pelaku. Wali korban boleh memaafkan secara
cuma-cuma dan inilah yang lebih utama, oleh karena Allah SWT. telah
berfirman dalam surat Al Baqarah 237:
م فْص ف ي ف ل ْمتْض ف ْ ق ه س ت ْ أ ْ ق ْ م ه تْق ْ إ
ۚ ْقت ل ْقأ ْعت ْ أ ۚ
ل ْقع ي ل ْعي ْ أ ْعي ْ أ َإ ْمتْض ف
ْ ْل سْ ت َ
يص
ْعت َ إ ۚ ْم ْي
Artinya: “Dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu
kerjakan.”
Menurut madzab syafi’i dan madzab hambali, pengampunan
dari qisas mempunyai pengertian ganda, yaitu pengampunan dari qisas saja
atau pengampunan dari qisas dan diganti dengan diyat. Kedua pengertian
36
menunggu persetujuan dari pihak pelaku.25 Sedangkan menurut imam malik
dan abu hanifah, pengampunan itu hanya pembebasan dari hukuman qisas
saja sedangkan diyat menurut keduanya hanya bersifat perdamaian ( Sulh ).
Memang pada dasarnya di dalam perkara pidana umum korban dan walinya
tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pengampunan tetapi
lainnya halnya dalam pidana qisas dan diyat, korban dan walinya diberi
wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagai
pengecualian karena tindak pidana ini sangat erat hubungannya dengan
pribadi korban, selain itu tindak pidana ini lebih banyak menyentuh pribadi
korban dari pada keamanan masyarakat, sehingga pihak korban atau
walinya diberikan hak tersebut.
Selain itu dalam jarimah hudud pengampunan tidak memiliki
pengaruh apapun bagi tindak piadana yang dijatuhi hukuamna hudud, baik
itu diberikan oleh wali korbannya maupun penguasa. Karena hukuman
dalam hudud bersifat wajib dan harus dilaksanakan. Para ulama menyebut
tindak pidana hudud sebagai hak Allah sehingga tidak boleh diampuni atau
dibatalkan.26Begitu juga dalam tindak pidana ta’zir sudah disepakati bahwa
penguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna pada tindak pidana
25
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 195
26
37
ta’zir. Karena itu penguasa boleh memberi ampunan dan hukumannya baik
sebagian maupun keseluruhannya.27
Adapun yang berhak memberikan pengampunan adalah korban
itu sendiri apabila ia telah baligh dan berakal. Apabila dia belum baligh dan
akalnya tidak sehat menurut madzab Syafi’i dan madzab Hambali, hak itu
dimiliki oleh walinya. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah, wali dan washi (pemegang wasiat ) tidak memiliki hak maaf,
melainkan hanya hak untuk mengadakan perdamaian ( shulh) saja.28
Pengampunan terhadap qisas dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha,
bahkan lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaannya. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 178.\
ْ عْل ْ عْل حْل حْل ْتقْل يف ص صقْل م ْي ع تك مآ ي ل يأ ي
ْ ف ۚ ْ ْل ْ ْل
هْيلإ ء أ ف ْع ْل ت ف ءْيش هيخأ ْ م هل ي ع
ميلأ ع ه ف كل ْع تْع ف ْح ْم ْ م في ْ ت كل سْحإ
Artinya: …Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma' af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)....( QS. Al Baqarah : 178).29
27
Ibid., 171
28
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 195
29
38
Selain itu dalam surat AL Maidah ayat 45 tentang pelukaan
disebutkan:
ْل فْ ْل فْ ْل ْيعْل ْيعْل سْ ل سْ ل أ يف ْم ْي ع ْ تك
ْمل ْ م ۚ هل ك ف ه صت ْ ف ۚ ص صق
ْل سل سل ْل
زْ أ ْم ْحي
ل ل مه ك ل أف َ
Artinya: Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. ..( QS Al maaidah : 45 ).30
Dalam hadits Nabi melalui Anas ibn Malik, ia berkata;31
Artinya: ( HR.Ahmad Abu Daud : 4497 ) Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya ada Qisas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan."
Pernyataan untuk memberikan pengampunan tersebut dapat
dilakukan secar lisan maupun tertulis. Redaksinya bisa dengan lafaz ( kata)
memaafkan, membebaskan, menggugurkan, melepaskan, memberikan dan
sebagainya.
30
Ibid., 92
31
39
B. Hukuman Ta’zir 1. Pengertian Ta’zir
Hukuman ta’zir merupakan salah satu dari pidana Islam yaitu berupa tindak pidana islam yang meliputi fiqh jinayah. Maka dari itu pengertian fiqh
jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil pemahaman atas
dalil yang terperinci. Fiqh jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah.
Pengertian fiqh secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu,
fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara
istilah (terminologi) fiqh adalah ilmu tentang hukum- hukum syara’ praktis
yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci.32
Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqh
jinayah itu adalah ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’
yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan
hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Pengertian fiqh jinayah
(hukum pidana Islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana
menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata lain
hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak
pidana dan hukumannya.33
32
Abdul wahab kallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968), 12.
33
40
Menurut bahasa lafaz ta’zir berasal dari kata A’zzara yang sinonimnya
yang artinya mencegah dan menolak. yang artinya mendidik. Pengertian tersebut di
atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah
Azzuhaily, bahwa ta’zir diartikan mencegah dan menolak karena ia dapat
mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan ta’zir
diartikan mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar Ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan
menghentikannya.34
Istilah jarimah ta’zirmenurut hukum pidana Islam adalah tindakan yang
berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi
had dan kifaratnya, atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman terhadap
perbuatan pidana/delik yang tidak ada ketetapan dalam nash tentang hukumannya.
Hukuman hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena
syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang
seringan-ringannya sampai hukuman yang seberat beratnya. Dengan kata lain, hakimlah
yang berhak menentukan macam tindak pidana beserta hukumannya, karena
kepastian hukumnya belum ditentukan oleh syara’.35
Di samping itu juga, hukuman ta’zir merupakan hukuman atas tindakan
pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had.
34
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2005), 248-249.
35
Rokhmadi, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam (Kajian Tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana
41
Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tindak pidana dan pelakunya.
Dalam bukunya Mahmoud Syaltut ( al-Islam Aqidah wa Syari’ah) sebagaimana
yang dikutip oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im dikatakan bahwa, yurisprudensi
Islam historis memberikan penguasa negara Islam atau hakimhakimnya kekuasaan
dan kebijaksanaan yang tersisa, apakah mempidanakan dan bagaimana
menghukum apa yang mereka anggap sebagai perilaku tercela yang belum tercakup
dalam kategori-kategori khusus hudud dan jinayat.36
Tujuan hak penentuan jarimah ta’zir dan hukumannya diberikan kepada
penguasa atau ulil amri adalah, supaya mereka dapat mengatur masyarakat dan
memelihara kepentingankepentingannya, serta bisa menghadapi dengan
sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak. Penulis menyimpulkan perbedaan
hukuman antara tiga jenis jarimah di atas adalah jarimah hudud dan qishas,
hukuman tidak bisa terpengaruh oleh keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan
dengan pelaksanaan jarimah, kecuali apabila pelaku tidak memenuhi syarat-syarat
taklif, seperti gila, atau dibawah umur. Akan tetapi hal ini berbeda dalam jarimah
ta’zir, keadaan korban atau suasana ketika jarimah itu dilakukan dapat mempengaruhi
berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada si pelaku.37
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
36
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Jakarta: LKIS, Cet-4, 2004), 194.
37
42
د أت ريزعتّلاو
دودحا اهيف عرشت م بونذ ىلع ب
Artinya: “Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’”.38
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).39
Ta’zi<r sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman
dalam jarimah ta’zi<r tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim
(penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk
menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
2. Dasar Hukum Ta’zir
Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada
nash al-Quran dan hadis antara lain adalah dapat dipaparkan dibawah ini :
1. Firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
38
Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Dar Al-Fikr, Beirut, 1996), 236.
39
43
اوقدصي نا هل ا ىا ةملسم ةيدو ة مؤم ةبقر ريرحتف أطخ ا مؤم لتق نمو
.
Artinya: "Dan barangsiapa membunuh seorang Mu'min karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah". (QS. Al-Nisa: 92).
Selain itu tentang hudud perbuatan pencurian dilarang dengan tegas
oleh Allah melalui al-Qur’an surat al-Maidah: 38:
سل
ُةَقِراَسلاَو
ي ْيأ عطْق ف
َ َ م َ سك ء زج
مي ح زيزع
.
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
44
: لوقي ملس و هيلع ها ىلص ها لوسر عم هنا يراصناا ةدرب يا نع
دحا دلج ا
) ملسم اور( .ها دودح نم دح ى اا طاوسا ةرشع قوف
.
Artinya: “Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah
saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali,
melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti
hukuman bagi orang berzina dan sebagainya”. (Riwayat Muslim).40 Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan
100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zi<r). Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan
hakim. Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali
cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan
yang disebut dengan hukum ta’zi<r. Hukuman ta’zi<r ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain,
menghina orang, menipu dan sebagainya.
Dengan demikian hukuman ta’zi<r ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang
minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai
hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan
peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas
40
45
hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100
kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk
melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudu<d (Hukum Allah).
Adapun yang lebih ringan disebut ta’zi<r yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.41
Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan
hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini
adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah
haram, maka pelakunya harus dita’zi<r sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.42
Penegasan larangan mencuri juga didasarkan pada hadis Nabi yang
berbunyi:
ك ْتي يض ْل ع حْل
يقي ك ْم أ ْم ْ ق ك ْ م ك ه إ
) . ه ي تْعطقل كل ْت عف
ف أ ْ ل ي يسْ ل في ل
(م سم
ل
Artinya: “Sesungguhnya telah binasa umat sebelum kamu, dimana apabila orang bangsawannya mencuri mereka biarkan begitu saja, dan apabila dilakukan oleh orang biasa diantara mereka, mereka kenakan hukuman had (potong tangan). Demi Allah andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya”43
41
Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), 241-242
42
Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 847.
43
46
3. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh „Aisyah :
وبا دما اور( .دودحا اا مهارسع ت ائي ىوذ اوليقا لاق ي لا نا ةشع اع نع
)يق اهيبلا و يئاس لا و دوواد
Artinya: “Dari „Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah
gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had”. (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki).44
Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang
ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya
mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti
didera maka janganlah di ampunkan mereka. Mengatur tentang teknis
pelaksanaan hukuman ta’zi<r yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainya.
Perintah “Aqi<lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zi<r, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang
terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zi<r itu sesuai dengan
44
47
perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh
pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada
selainnya.45
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
jarimah dan hukuman ta’zi<r antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk
disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul
orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”.46
4. Hadits Nabi yang dir