• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG DAN SIKAPNYA TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG DAN SIKAPNYA TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG DAN SIKAPNYA TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh :

Ari Nurhidayaty Ningtyas NIM : A0.22.12.041

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Muhammad Faqih Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab”. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: 1) bagaimana biografi Muhammad Faqih Maskumambang? 2) bagaimana biografi dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab? 3) bagaimana sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab?

Penulisan skripsi ini disusun dengan menggunakan metode sejarah. Adapun metode penulisan sejarah yang digunakan penulis dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan pembahasan yang ditujukan), verifikasi (kritik terhadap data), interpretasi (penafsiran) serta historiografi (penulisan sejarah). Sedangkan pendekatan dan kerangka teori yang digunakan adalah pendekatan historis (mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau) dan teori continuity and change (kesinambungan dan perubahan) yang dinyatakan oleh Zamakhsayari Dhofier.

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut, (1)

Muhammad Faqih Maskumambang adalah pemangku Pondok Pesantren

(7)

ABSTRACT

This thesis is entitled "Muhammad Faqih Maskumambang and his Attitude toward Muhammad bin Abdul Wahhab's Ideas". The research problems in this thesis are: 1) what is the biography of Muhammad Faqih Maskumambang? 2) what are the biography and ideas of Muhammad bin Abdul Wahhab? 3) what is the attitude of Muhammad Faqih Maskumambang against thought of Muhammad bin Abdul Wahhab?

This Thesis used historical method with several steps. They are heuristics (collect archives related to the topic), verification (data criticized), interpretation and historiography (historical writing). While the theoretical framework approached to the historical approach (to describe the events that occurred in the past) and the theory of continuity and change (continuity and change) expressed by Zamakhsari Dhofier.

The results of this study are obtained, (1) Muhammad Faqih Maskumambang is a leadher of Islamic boarding house of Makumambang on 1907-1937 M. He is the forth children from Abdul Jabbar and Nyai Nursimah. He was born on 1857 M and pass away on 1937 in 80 years old (2) Muhammad bin Abdul Wahhab is one of Islam reformer. He was born in Nejed on 1703 M an pass away on 1793 M. His father, Abdul Wahhab is a great Islamic theologian. He is noted for motto „back to Alquran and Hadis‟. (3) The initial attitude of Muhammad Faqih Maskumambang toward

Muhammad bin Abdul Wahhab‟s ideas is refusing. This is because he read a book

Fajrul Sodiq. Finally his ideas were changed so. Another changed was to appoint Ammar Faqih as successor to the next leader of Islamic boarding house of Maskumambang due to he understand about Wahabi‟s idea.

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

KATA PENGANTAR ... xiii

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 8

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Bahasan ... 14

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG A.Sekilas Tentang Pondok Pesantren Maskumambang ... 16

B.Riwayat Hidup ... 18

1. Genealogis ... 18

2. Pendidikan ... 20

C.Perjalanan Hidup ... 21

1. Penerus dan Pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang Gresik (1907-1937 M) ... 21

(9)

BAB III MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB DAN PEMIKIRANNYA

A. Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahhab... 32 B. Latar belakang Pemikiran dan Karya Tulis Muhammad bin Abdul

Wahhab ... 35 C. Pemikiran Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab ... 41

BAB IV SIKAP MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

A. Penolakan Muhammad Faqih Maskumambang Terhadap Pemikiran

Muhammad bin Abdul Wahhab ... 47 1. Menerbitkan Kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi ‘ala

Madhahib al-Wahābiyah ... 51 2. Mendirikan Organisasi Masyarakat NU ... 62

B. Perubahan Sikap Muhammad Faqih Maskumambang Terhadap

Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ... 66

C. Fase Perubahan Sikap Muhammad Faqih Maskumambang dari NU ke

pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa memang selalu terjadi perubahan dalam

setiap kehidupan manusia. Manusia akan terus melakukan perubahan demi

masa depan yang lebih baik. Perubahan ini terjadi dalam segala aspek

misalnya pendidikan, politik, sosial, ekonomi hingga aspek keagamaan.

Perubahan ini disebabkan munculnya persoalan-persoalan baru dari kehidupan

manusia yang pada akhirnya akan menciptakan pemikiran-pemikiran baru dari

manusia.

Dalam hal keagamaan misalnya, manusia pun melakukan

perubahan-perubahan dari masa ke masa. Perubahan-perubahan-perubahan ini biasa disebut dengan

istilah pembaharuan. Mulai dari jaman sepeninggal Rasulullah hingga

pembaharuan yang terjadi pada saat ini. Banyak dari mereka melakukan

pembaharuan dalam bidang teologis dan tidak sedikit dari pemikiran mereka

yang pada akhirnya menimbulkan pro-kontra atau bahkan menimbulkan

perpecahan dalam tubuh Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah pernah

bersabda, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR

Muslim).

Dalam hal teologis, banyak pembaharuan yang terjadi. Sebut saja

pembaharuan pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah,

(11)

2

Rasyid Ridha, Syukri Afandi al-Alusi al-Baghdadi, dan Abdul Qadir

at-talmisani. Di Indonesia pun muncul beberapa tokoh pembaharu, misalnya KH.

Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ash-Asyari, Muhammad Faqih Maskumambang,

Ammar Faqih Maskumambang hingga Nurcholis Majid. Ada beberapa dari

mereka yang memiliki pemikiran hampir sama dan ada pula yang

berseberangan antara satu sama lain.

Salah satu contoh tokoh pemikiran pembaharu adalah Muhammad bin

Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di kota Uyainah, Nejed,

pada tahun 1115 H. Beliau telah mampu menghafal Alquran saat usianya

genap 10 tahun. Dari ayahnya, beliau belajar tentang fiqih madzhab Hambali.

Beliau juga belajar tentang hadis dan tafsir kepada beberapa guru diberbagai

negeri, terutama Madinah Munawarah. Dalam buku karangan Muhammad bin

Jamil Zainu ditulis bahwa, Muhammad bin Abdul Wahhab memahami tauhid

dari Alquran dan hadis, sehingga beliaupun khawatir terhadap fenomena di

negerinya (Nejed) dan negeri lainnya yang telah beliau kunjungi, berupa

berbagai kesyirikan, khurafat, dan kebid‟ahan serta pengagungan pada

kuburan, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sahih.1

Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi terkenal dengan semboyannya

yaitu „kembali ke ajaran pokok Alquran dan Assunnah‟. Pemikiran

Muhammad bin Abdul Wahhab ini kemudian biasa dikenal dengan gerakan

wahabi dan pengikutnya disebut wahabiyyah. Sebutan wahabi sendiri

sebenarnya pada awal mulanya bukanlah sebutan yang dimunculkan oleh

1

Muhammad bin Jamil Zainu, Ada Apa dengan Wahabi, terj. Agus Ma‟mun (Jakarta: Pustaka

(12)

3

kelompok ini sendiri melainkan ia berasal dari para pengkaji dan sejarawan

yang memang sengaja melebelkan istilah ini kepada kelompok ini.2

Orang-orang biasa menyebut istilah Wahabi secara mutlak kepada setiap yang

menyelisihi adat dan kebiasaan mereka, atau menyelisihi keyakinan

kebid‟ahan mereka, meskipun keyakinan-keyakinan tersebut salah,

menyelisihi Alquran dan hadis hadis sahih.3 Sebagaimana diketahui bahwa

wahabiyah adalah suatu gerakan pembaharuan yang berorientasi kepada

pemurnian ajaran Islam terutama dibidang akidah, banyak mengilhami para

pembaharu pemikiran Islam dalam upaya memajukan kehidupan umat Islam.

Penegasan Muhammad bin Abdul Wahab akan hak untuk melakukan ijtihad,

secara langsung atau tidak dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebas yang

besar. Dalam kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad „ala Madhahib al

-Wahābiyah karangan Muhammad Faqih Maskumambang yang kemudian

diterjemahkan menjadi menolak wahabi mengatakan bahwa,

„dalam pandangan mereka (pengikut Muhammad bin abdul Wahhab), umat Islam saat ini tengah berada dalam kesesatan akidah yang amat parah, lantaran selalu mengagungkan para auliya, menziarahi kuburan mereka, dan meminta syafaat dari mereka, serta melakukan hal-hal yang tidak preferensinya dalam kitab suci, maupun ajaran Nabi (melakukan bid‟ah dalam agama).‟4

Sebagaimana dengan pemikiran pembaharu lain, pemikiran

Muhammad bin Abdul Wahhab pun memiliki pro-kontra. Tidak sedikit dari

masyarakat yang menentang pemikiran beliau, terlebih lagi para ahli bid‟ah.

Dari sini maka mulailah mereka memeranginya, menyebarkan berbagai

2

Muhammad Faqih, Menolak Wahabi, terj. Abdul Aziz Masyhuri (Depok: Sahifa, 2015), 2.

3

Zainu, Ada Apa dengan Wahabi, 4.

4

(13)

4

kedustaan, bahkan bersepakat untuk membunuh beliau agar pemikiran beliau

tidak semakin menyebar luas. Akan tetapi hingga akhirnya dakwah tauhid

menuai kemenangan yang gemilang di negeri Hijaz dan negeri-negeri Islam

lainnya.

Dalam hal ini, Muhammad Faqih Maskumambang memiliki

pemahaman yang berbeda dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sikap Muhammad Faqih bisa dilihat dari kitab karangannya yang berjudul

Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad „ala Madhahib al-Wahābiyah. Dalam kitab ini

Muhammad Faqih Maskumambang memberikan alasan-alasan sikapnya

terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Salah satu pemikiran dari Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditolak

oleh Muhammad Faqih Maskumambang adalah istighatsah.5 Muhammad bin

Abdul Wahhab menjelaskan pendapatnya tentang istighatsah dalam kitab tauhid yang dikarangnya bahwa memohon kepada selain Allah adalah syirik

akbar,6hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahqaf ayat 5-6:

ْمَُو ِةَمَيِقْلا ِموَي َِإ ,ُهَل ُ يِجَتْسَي َ نَم ِها ِنوُد ْنِم اْوُعْدَي ن ِ لَضَأ ْنَمَو

َنوُلِفَغ ْمِهِئ اآَعُد نَع

{

5

}

ْمِِ َداَبِعِب اوُناَكَو ًءاآَدْعَأ ْمََُ اوُناَك ُسانلاَرِ ُح اَذِإَو

َنيِرِفَك

{

6

}

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai Hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa

5

Istighatsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.

6

Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun (Jakarta: Darul Haq, 2013),

(14)

5

mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada Hari Kiamat) niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.”

Dalam hal ini Muhammad Faqih menolak pemikiran Muhammad bin

Abdul Wahhab karena baginya menghukumi syirik akbar kepada pengamal

istighatsah adalah berlebihan. Muhammad Faqih Maskumambang mengutip

pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa pengamal istighatsah hanya sebagai orang yang mengamalkan bid‟ah yang sangat ia larang tetapi tidak

sampai mengkafirkan pelakunya. Sekalipun Ibnu Taimiyah juga menyebut

pengamal istighatsah dengan sebutan musyrikin, tetapi istilah musyrikin yang dipakai oleh Ibnu Taimiyah tidak sama dengan istilah musyrikin yang dipakai

oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena yang terakhir ini, ia menganggap

darah dan harta mereka halal.7

Selain itu wujud dari sikap penolakan Muhammad Faqih

Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab

ditunjukan dengan keikutsertaannya dalam mendirikan organisasi masyarakat

Nahdlatul Ulama (NU) yang dimana tujuannya untuk membebaskan

masyarakat dari pemahaman yang disebarkan Muhammad bin Abdul Wahhab

beserta pengikutnya. Bahkan diorganisasi tersebut beliau menjabat sebagai

wakil rais akbar.

Akan tetapi pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang sangat

bertolak belakang dengan pemikiran anaknya yang bernama Ammar Faqih

Maskumambang. Pemikiran Ammar Faqih banyak dipengaruhi oleh

7

(15)

6

Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini terjadi setelah Ammar Faqih pulang

dari Mekkah. Di sana Ammar Faqih banyak menuntut ilmu dari ulama yang

sepaham dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Pada awal

kepulangan Ammar Faqih ke Pondok Pesantren Maskumambang, beliau

sering berdikusi dengan ayahnya, Muhammad Faqih Maskumambang.

Muhammad Faqih Maskumambang menolak dengan tegas pemikiran Ammar

Faqih. Tetapi Ammar Faqih tetap sabar menghadapi sikap ayahnya. Pada

akhirnya Muhammad Faqih Maskumambang terketuk hatinya untuk menerima

pemikiran Ammar Faqih. Hal ini kemudian dibuktikan dengan menunjuk

Ammar Faqih sebagai penerus dan pengasuh Pondok Pesantren

Maskumambang.

Untuk lebih jelasnya maka dalam penelitian ini akan dibahas secara

mendalam tentang Muhammad Faqih Maskumambang serta sikapnya

terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul mengenai “Muhammad Faqih Maskumambang

dan Sikapnya Terhadap Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab”, maka

penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi Muhammad Faqih Maskumambang?

2. Bagaimana biografi dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab?

3. Bagaimana sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap ajaran

(16)

7

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin

penulis sampaikan, antara lain:

1. Mengetahui biografi Muhammad Faqih Maskumambang.

2. Mengetahui biografi dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

3. Mengetahui sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap ajaran

Muhammad bin Abdul Wahhab.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat yang positif

pada masyarakat baik dari sisi keilmuan akademik maupun dari sisi praktis:

1. Secara Akademik (Praktis)

a. Hasil dari pada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi

bagi penelitian dibidang kesejarahan.

b. Memberikan sumbangan wacana bagi perkembangan perbendaharaan

ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sejarah.

2. Secara Ilmiah (Teoritis)

a. Bagi penulis, penyusunan penelitian ini digunakan untuk memenuhi

syarat mendapatkan gelar S-1 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel Surabaya.

b. Untuk memperkaya kajian sejarah di Indonesia terutama untuk

mengetahui pandangan ulama tentang pergerakan keagamaan yang

(17)

8

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Untuk mempermudah ilmuan sejarah dalam memecahkan masalah,

maka dibutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya. Sebagaimana menurut

Sartono Kartodirjo, penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat

tergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya,

dimensi mana yang diperhatikan, dan unsur-unsur mana yang diungkapkan,

dan lain sebagainya.8

Dalam penulisan skripsi ini pendekatan yang dipakai oleh penulis

adalah pendekatan historis, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk

merekonstruksikan kejadian masa lalu secara sistematis dan obyektif, dengan

cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan

bukti-bukti untuk menegakkan dan memperoleh kesimpulan.9 Dengan

pendekatan historis maka penulis dapat menjelaskan latar belakang sejarah

kehidupan Muhammad Faqih Maskumambang, sejarah munculnya pemikiran

Muhammad bin abdul Wahhab, beberapa pemikiran Muhammad bin Abdul

Wahhab yang ditolak oleh Muhammad Faqih Maskumambang, serta sikap dan

usaha yang dilakukan oleh Muhammad Faqih Maskumambang terhadap

pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Menurut para ahli untuk mempermudah seorang sejarawan dalam

melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau maka

dibutuhkan teori dan konsep dimana keduanya berfungsi sebagai alat analisis

serta sintesis sejarah. Kerangka teoritis maupun konseptual itu sendiri berarti

8

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1992), 4. 9

(18)

9

metodologi di dalam pengkajian sejarah, dan pokok pangkal metodologi

sejarah adalah pendekatan yang dipergunakan.10 Teori adalah kreasi

intelektual, penjelasan beberapa fakta yang telah diteliti dan diambil prinsip

umumnya.11 Banyak pemikir pembaharuan dalam Islam yang pada akhirnya

menjadi pelaku dalam sejarah karena berani menorehkan sesuatu yang

dianggap baru meski menimbulkan pro-kontra. Oleh karena itu, maka penulis

memilih menganalisis penelitian dengan judul “Muhammad Faqih

Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul

Wahhab”.

Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori

continuity and change. Menurut Zamaksyari Dhofier continuity and change

adalah kesinambungan dan perubahan.12 Dengan teori tersebut penulis akan

meneliti tentang hubungan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab sebagai

penggagas pemikiran „kembali kepada Alquran dan hadis‟ dengan pemikiran

tokoh pembaharu yang ada di Indonesia. Perubahan akan terjadi ketika ada

tokoh pembaharu yang datang membawa pemikiran yang dianggap melenceng

dari ajaran yang telah dipercaya sebelumnya. Perubahan yang ada tidak akan

serta merta terputus begitu saja dengan pemikiran sebelumnya. Masih ada

kesinambungan yang berkelanjutan. Dengan demikian proses kesinambungan

dan perubahan (continuity and change) masih tetap terlihat.

10

Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999),

25. 11

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia

(Bandung: Mizan, 1996), 63.

12

Syamsul Arifin, Pesantren Sebagai Saluran Mobilitas Sosial Suatu Pengantar Penelitian

(19)

10

F. Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran penulis terhadap skripsi, tesis, maupun buku yang

membahas tentang pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang memang

sudah ada. Namun pembahasan mengenai “Muhammad Faqih

Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul

Wahhab” masih belum ada.

Dalam bentuk skripsi misalkan, skripsi yang ditulis oleh Salimin

dengan judul “Pengaruh Unsur-Unsur Wahabi di Pondok Pesantren

Karangasem Paciran Lamongan” pada tahun 1986.13 Hanya saja dari

judulnya sudah tampak begitu berbeda dengan apa yang hendak peneliti tulis.

Dalam hal ini peneliti lebih memfokuskan pengaruh unsur-unsur pemikiran

Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Pondok Karangasem Paciran

Lamongan.

Ada pula tesis yang ditulis A.Z. Fanani pada tahun 1996 dengan judul

Ajaran-Ajaran Wahabiyah dalam Pemikiran Ammar Faqih

al-Maskumambangi”.14 Tesis ini lebih membahas tentang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab menurut Ammar Faqih yaitu putra dari Muhammad Faqih

Maskumambang sendiri.

Dari beberapa karya ilmiah yang telah diteliti, tidak ada yang

membahas tentang sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap

pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Sehingga peneliti dalam skripsi

13

Salimin, “Pengaruh Unsur-Unsur Wahabi di Pondok Pesantren Karangasem Paciran

Lamongan”, (Skripsi, Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1986)

14

(20)

11

ini membahas bagaimana sikap Muhammad Faqih tentang ajaran Muhammad

bin Abdul Wahhab.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis

mengunakan metode penulisan sejarah dengan langkah-langkah sebagai

berikut:15

1. Heuristik (pengumpulan sumber) adalah proses yang dilakukan oleh

peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data, atau jejak

sejarah.16 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh

peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data

sumber sejarah dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan sumber

data tertulis baik berupa sumber primer maupun sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber yang dihasilkan atau ditulis

pihak-pihak yang secara langsung terlibat dan atau menjadi saksi mata

dalam peristiwa sejarah.17 Sumber primer yang digunakan penulis

adalah:

1) Arsip tentang data Muhammad Faqih Maskumambang sebagai

utusan dari Sidayu Gresik untuk Muktamar NU I, II, III.

2) Arsip tentang data Muhammad Faqih Maskumambang sebagai

ketua umum PBNU bagian hukum.

15

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu,

1978), 38. 16

Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah I (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2005),

16.

17

(21)

12

3) Kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi „ala Madhahib al

-Wahābiyah karangan Muhammad Faqih Maskumambang.

4) Kitab Tufat al-Umah fī al-„aqāʼid wa Rad al-Mafāsid karangan

Ammar Faqih Maskumambang, anak dari Muhammad Faqih

Maskumambang.

5) Wawancara kepada Bapak Marzuki selaku cucu dari Muhammad

Faqih Maskumambang.

6) Wawancara kepada Bapak Abdur Rahman sebagai pengajar dan

tokoh masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren

Maskumambang.

7) Wawancara kepada Bapak Abdul Aziz Masyhuri selaku

penerjemah dari kitab al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi „ala

Madhahib al-Wahābiyah.

8) Kitab Tauhid karangan Muhammad bin Abdul Wahhab.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang digunakan sebagai

pendukung dalam penelitian. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari

beberapa buku maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang

penulis bahas, dalam hal ini yang berkaitan dengan sikap Muhammad

Faqih Maskumambang terhadap ajaran Muhammad bin Abdul

Wahhab.

1) Buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi” dan “Mendamaikan Ahlus

(22)

13

2) Buku “Ulasan Tuntas Tentang 3 Prinsip Pokok”, karya Syaikh

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

3) Buku “KH Ammar Faqih Maskumambang Sang Pencerah dari

Kota Santri”, karya Nuruddin.

2. Verifikasi (kritik) adalah proses seleksi pada sumber-sumber yang telah

berhasil dikumpulkan oleh peneliti dengan cara melakukan kritik terhadap

sumber tersebut. Kritik sumber dimaksudkan sebagai penggunaan dan

penerapan dari sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji

kebenaran nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan

pengertian sebenarnya. Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik

intern dan kritik ekstern. Kritik intern yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat isi sumber tersebut cukup kredibel atau

tidak, sedangkan kritik ekstern yaitu kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.18

3. Interpretasi (penafsiran) adalah menetapkan makna yang saling

berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh.

Hal ini dilakukan dengan tujuan agar fakta yang ada mampu untuk

mengungkapkan permasalahan yang ada, sehingga diperoleh

pemecahannya. Dalam skripsi ini, setelah penulis menemukan beberapa

sumber yang valid, maka selanjutnya penulis melakukan kritik terhadap

sumber-sumber tersebut sehingga akhirnya penulis mampu melakukan

18

(23)

14

interpretasi (penafsiran) terhadap alasan sikap Muhammad Faqih

Maskumambang menolak pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

4. Historiografi (penulisan sejarah) adalah tahap akhir langkah-langkah

penulis sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.

Selain itu penelitian ini juga menggunakan metode analisis dan sintetis,19

yaitu suatu penelitian sejarah yang menguraikan faktor-faktor sebab akibat

dan segala hal yang menyangkut peristiwa yang terjadi, kemudian

mengelompokkan menjadi satu. Selain itu penelitian ini juga menggunakan

metode komparatif, yaitu metode yang berusaha untuk menemukan persamaan

dan perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, peristiwa atau terhadap

ide-ide.20

H. Sistematika Pembahasan

Secara umum sistematika pembahasan disusun untuk mempermudah

pemahaman terhadap penulisan ini, dimana akan dipaparkan tentang

hubungan antara bab demi bab. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan

dijelaskan beberapa bab yang akan dibahas:

Bab pertama menjelaskan pendahuluan yang berisi tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

19

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Benteng Bidaya, 1995), 100-102.

20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara,

(24)

15

Bab kedua menjelaskan tentang riwayat hidup Muhammad Faqih

Maskumambang, genealogis, pendidikan, perjalanan hidup beliau sebagai

penerus dan pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang Gresik, ikut serta

sebagai pendiri NU, dan wakil rais akbar NU.

Bab ketiga menjelaskan tentang riwayat hidup Muhammad bin Abdul

Wahhab, latar belakang pemikiran dan beberapa karyanya, serta pemikiran

pembaharuannya.

Bab keempat menjelaskan sikap penolakan Muhammad Faqih

Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, serta

usahanya seperti menerbitkan kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad „ala

Madhahib al-Wahābiyah dan ikut serta dalam mendirikan organisasi

masyarakat NU. Selain itu, akan dibahas juga perubahan sikap Muhammad

Faqih Maskumambang sebelum akhir hayatnya hingga beliau memilih Ammar

Faqih, anaknya yang memiliki paham sama dengan Muhammad bin Abdul

Wahhab sebagai pengganti beliau dalam meneruskan dan menjadi pengasuh di

Pondok Pesantren Maskumambang.

Bab kelima berisi tentang kesimpulan-kesimpulan pembahasan dari

(25)

16

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG

A. Sekilas Tentang Pondok Pesantren Maskumambang

Pondok Pesantren Maskumambang terletak di desa Sembungan Kidul,

Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pondok ini didirikan oleh

Abdul Djabbar pada tahun 1859 M. Abdul Djabbar adalah putra pertama dari 3

bersaudara. Adiknya bernama Muniban dan Ngapiani. Ayah beliau bernama

Wirosari yang masih memiliki garis keturunan hingga ke Pangeran Pajang atau

biasa dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir.

Pada tahun 1855 M, Abdul Djabbar bersama dengan istrinya, Nursimah,

seorang putri dari Kiai Idris Kebondalem Boureno Bojonegoro, mengembara ke

beberapa tempat yang masih berupa hutan rimba, dan pada akhirnya menemukan

tempat di daerah Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun. Di tempat ini keduanya

membuka sebidang tanah lalu mendirikan tempat tinggal yang sederhana untuk

ditinggali keluarga.

Setelah berjalan beberapa tahun, akhirnya Abdul Djabbar dan istrinya

pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Perjalanan yang mereka

tempuh kurang lebih selama 2 tahun. Sepulangnya dari Mekkah, mereka

mendirikan sebuah langgar (mushola) di sebelah rumahnya dengan tujuan untuk

(26)

17

Setelah beberapa lama, minat belajar warga sekitar semakin bertambah.

Jumlah santri semakin banyak, mereka datang dari luar Desa Sem bungan Kidul.

Pada tahun 1859 M, Abdul Djabbar mendirikan sebuah sekolah berbasis pondok

pesantren. Pada awalnya pondok ini terdiri dari 3 buah kamar berukuran kecil.

Pondok pesantren inilah yang akhirnya diberi nama Pondok Pesantren

Maskumambang.

Pada saat awal berdirinya Pondok Pesantren Maskumambang, jumlah

santrinya masih sangat sedikit. Mereka terdiri dari anak-anak Abdul Djabbar

sendiri dan anak-anak di Kampung Maskumambang. Metode pembelajaran yang

digunakan masih sederhana, yaitu metode halaqah dan sorogan. Yang dimaksud

dengan metode halaqah ialah penyampaian ajaran Islam melalui kitab kuning yang diajarkan di musola atau masjid.1 Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada saat

itu memang belum dikenal cara belajar dengan metode madrasah. Saat menuntut

ilmu mereka lebih sering dengan metode pengajian dengan duduk melingkar

(halaqah). Demikian pula dengan pelajaran yang diajarkan di Pondok Pesantren

Maskumambang, awalnya hanya sebatas Alquran dan beberapa dasar ilmu agama

Islam.

Jika dilihat dari sisi paham keagamaannya, Pondok Pesantren

Maskumambang mengikuti madzab Syafi‟iyah. Hal ini memang sudah menjadi

ciri khas dari pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur. Amaliyah

1

Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan

(27)

18

keagamaan dan tradisi pesantren pada umumnya dipertahankan dan dipraktikkan

di Pesantren Maskumambang. Tradisi ziarah kubur, tahlilan dan haul diterapkan.

Amaliyah peribadatan Syafi‟iyah seperti doa qunut subuh, 2 adzan pada solat

jumat dan shalawat Nabi menjadi kebiasaan sehari-hari di Pesantren

Maskumambang. 2

B. Riwayat Hidup

1. Genealogis

Muhammad Faqih Maskumambang adalah anak ke 4 dari pasangan

Abdul Jabbar dan Nyai Nursimah. Beliau lahir sekitar tahun 1857 M di

komplek Pesantren Maskumambang di desa Sembungan Kidul, Kecamatan

Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dilihat dari garis keturunannya,

Muhammad Faqih Maskumambang masih tergolong darah biru, baik dari

ayah ataupun ibunya. Ayahnya, yaitu Abdul Jabbar masih keturunan Sultan

Hadiwijaya –atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir– yang

nasabnya bersambung hingga ke salah satu walisongo, yaitu Sunan Giri.3

Ibunya, Nyai Nursimah adalah seorang putri dari Kiai Idris, Kebondalem,

Bojonegoro. Berikut adalah bagan silsilah garis keturunan Muhammad Faqih

Maskumambang yang dikutip dari buku karangan Nuruddin,4

2

Ibid., 123. 3

Muhammad Faqih, Menolak Wahabi, terj. Abdul Aziz Masyhuri (Depok: Sahifa, 2015), xxxiv.

4

Nuruddin, KH. Ammar Faqih Maskumambang Sang Pencerah dari Kota Santri, (Yogyakarta:

(28)

19

Raja Brawijaya

Pangeran Pajang (alias Jaka Tingirr)

Abdul Djabbar I (alias Pangeran Selarong)

Abdullah

Ongkoyudan

Sarimah

Siman

Wirosari ( alias Kudo Lesono)

Kadiyun Kasli Nasik

Abdul Djabbar Muniban Ngapiani

1. Rois

2. Nyai Alimah

3. Abu Dzarrin 4. M. Faqih

5. Atqon

6. Syahid

7. Muhsinah

8. Harun

9. Ahmad Muhtadi

10.Abdullah

1. Ismail

2. Mutmainah

3. Abdul

Qohhar

1. A. Ghofar

2. Masyhadi

(29)

20

Semasa hidupnya, Muhammad Faqih Maskumambang pernah

menikah sebanyak 3 kali. Pernikahan beliau yang pertama dengan Nur

Khodijah, putri dari Kiai Muhammad Achyat Kebondalem Surabaya. Dari

pernikahannya yang pertama, beliau memiliki 9 anak yaitu Abdullah, Abdul

Hamid, Moh Hasan, Ammar, Atqon, Mochtar, Nyai Solichah, Yahya, Ahmad

Zayadi dan Jabal Rahmat. Pernikahan kedua beliau dengan putri bernama

Fatimah. Bersama Fatimah, beliau tidak memiliki keturunan. Sedangkan

pernikahan ketiga beliau adalah dengan seseorang bernama Sribanun. Dalam

pernikahan ini beliau dikaruniai 5 orang anak. Mereka yaitu Djamilah, Abdul

Mughni, Ghonimah, Muwaffaq, dan Husnul Aqib Suminto.

2. Pendidikan

Sejak kecil Muhammad Faqih Maskumambang sudah terbiasa belajar

sendiri dengan ayahnya, Abdul Djabbar. Beliau banyak mempelajari ilmu

agama kepada ayahnya. Ayah beliau terkenal sebagai pendiri sekaligus

pengasuh pesantren Maskumambang. Dijelaskan dalam buku karya Nuruddin

bahwa,5

„Sebelum meninggal dunia, sang ayah telah mewasiatkan kepada putra-putrinya agar kelak yang menjadi pemangku dan penerus perjuangannya adalah Muhammad Faqih Maskumambang. Oleh

karena itu setelah menginjak remaja, Muhammad Faqih

Maskumambang kemudian dipersilahkan oleh ayahnya untuk mendalami ilmu agama pada Kiai Ahmad Soleh, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan di Tuban, Jawa Timur, yang saat itu terkenal dengan ilmu fiqhnya. Pada saat nyantri ke Kiai ahmad Soleh,

5

(30)

21

Muhammad Faqih Maskumambang dibekali Alquran tulisan tangan ayahnya.‟

Setelah 3 tahun menimba ilmu di Pondok Pesantren Langitan,

Muhammad Faqih Maskumambang melanjutkan belajarnya ke Pondok

Pesantren Kebondalem Surabaya. Sepulang dari Surabaya beliau kembali

menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Ngelom Sepanjang di Sidoarjo. Lalu

berlanjut ke pondok pesantren yang diasuh oleh Kiai Sholeh Tsani yaitu

Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik.

Selesai mendalami ilmu di daerah Jawa, Muhammad Faqih

Maskumambang menunaikan ibadah haji sambil belajar di Makkah selama 3

tahun. Kemudian kembali pulang ke Maskumambang dan membantu ayahnya

untuk mengajar di Pondok Pesantren Maskumambang Dukun Gresik.

C. Perjalanan Hidup

1. Penerus dan Pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang Gresik

Pada tahun 1900 M, diusianya yang ke 43 tahun, Muhammad Faqih

Maskumambang mulai memfokuskan dirinya untuk mengajar di Pondok

Pesantren Maskumambang milik ayahnya. Sejak tahun 1907 M, Muhammad

Faqih Maskumambang mulai memusatkan perhatiannya untuk mengasuh

Pesantren Maskumambang dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan

didukung oleh masyarakat sekitar.6

6

(31)

22

Letak Pondok Pesantren Maskumambang yang berdekatan dengan

pusat perdagangan, Sidayu, membuat banyak santri yang pada akhirnya

mondok di Pondok Pesantren Maskumambang. Sidayu saat itu menjadi pusat

perdagangan yang kebanyakan para pedagangnya datang dari pulau Madura,

Kalimantan, Sumatra, Surabaya, Tuban, Lamongan, dan daerah lainnya.

Selain itu Sidayu juga menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Gresik. Selain

itu pada masa kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang, Pondok

Pesantren Maskumambang mengalami banyak perkembangan, baik dari segi

fisik maupun sistem belajar mengajarnya.

Bentuk fisik Pondok Pesantren Maskumambang mengalami banyak

perubahan, terutama jumlah bangunan yang digunakan sebagai asrama para

santri. Hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak.

Perubahan juga terjadi dalam sistem pengajarannya. Sitem pengejarannya

tidak hanya menggunakan sistem halaqah, tapi sudah menggunakan sistem

bandongan, wetonan dan sorogan.7

Pada saat kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang, Pondok

Pesantren Maskumambang mengalami masa puncak kejayaannya. Pada saat

itu Pondok Pesantren Maskumambang mengalami kemajuan yang sangat

pesat. Dennis Lombard menyebutkan bahwa pesantren ini pada abad ke-19

hingga awal abad ke-20 sangat terkenal di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.8

7

Ibid., 128.

8

(32)

23

Hal ini dikarenakan kharisma kepemimpinan Muhammad Faqih

Maskumambang dan juga letak pondok yang tidak jauh dari pusat

pemerintahan di Sidayu. Ketenaran Pondok Makumambang disebabkan antara

lain oleh kealiman dan pemikiran-pemikiran brilian beliau yang dituangkan

dalam buku-buku yang dipelajari di pesantren-pesantren.9

Dari beberapa pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang yang

dituangkan kedalam buku adalah Al-Manẓūmāt al-Daliyah fī ʼawāʼil al

-ʼashhur al-qamarīyah. Buku ini berisi tentang pemikiran Muhammad Faqih

Maskumambang dalam ilmu falak (astronomi), terlebih dalam mengetahui permulaan tanggal disetiap nulan Qomariyyah. Karya ini adalah sebuah karya

yang menjadi pegangan kaum Ahlus Sunnah wal Jama‟ah yang bermadzab

Syafi‟i yang ada dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU).10

Selain kitab tersebut, ada satu kitab yang beredar dimasyarakat yang

mencantumkan nama Muhammad Faqih Maskumambang sebagai

pengarangnya. Kitab tersebut berjudulAl-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi „ala

Madhahib al-Wahābiyah yang kemudian diterjemahkan oleh Abdul Aziz

menjadi Menolak Wahabi. Dalam buku ini menjelaskan tentang apa itu

wahabi, penyimpangan sekte wahabi mulai dari Ibnu Taimiyah sampai Abdul

Qadir at-Tilmisani termasuk di dalamnya membahas pula bagaimana

pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

9

Suparta, Perubahan Orientasi, 125.

10

(33)

24

Pada masa kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang banyak

santri yang pada akhirnya menjadi orang-orang besar, sebagaimana dijelaskan

dalam buku karangan Mundzier Suparta, mereka diantaranya adalah:

a. Kiai Faqih Usman yang pernah menjadi ketua Muhammadiyah Surabaya

pada tahun 1938, ketua PP Muhammadiyah pada tahun 1948-1942, dan

menjadi Menteri Agama RI ke-5 pada Kabinet Abdul Halim/Kabinet RI di

Yogyakarta. Beliau belajar di pondok Pesantren Maskumambang pada

tahun 1918-1922.

b. Kiai Abdul Hadi, yang menjadi pemangku Pondok Pesantren Langitan

tuban yang ke-4. Saat di Pondok Pesantren Maskumambang beliau secara

khusus mempelajari Ilmu Falak. Beliau menjadi santri di Pondok

Pesantren Maskumambang pada tahun 1930.11

c. Kiai Wahid Hasyim, beliau menjadi santri pada tahun 1914-1935. Pada

tahun 1945 beliau menjabat sebagai Menteri Negara pada Kabinet

Soekarno, Kabinet Syahrir 3 pada tahun 1946-1947, Menteri Agama

Pertama RIS pada tahun 1949, Menteri Agama Kabinet Natsir pada tahun

1950-1951, Menteri Agama Kabinet Sukiman pada tahun 1951-1952, dan

menjadi pemangku Pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 1947.

d. Kiai Ma‟sum bin Ali, beliau menjadi seorang ahli hisab yang terkenal di

Indonesia sekaligus menjadi pendiri Pesantren Seblak di kota Jombang

11

Masyudi, „Kyai Haji Muhammad Faqih Maskumambang Sebagai Guru Kyai Haji Abdul Hadi

Langitan Dalam Ilmu Astronomi‟ dalam Dukut Imam Widodo dkk, Grissee Tempo Doeloe (Gresik:

(34)

25

setelah beliau menikah dengan putri Kiai Hasyim Asy‟ari yang bernama

Nyai Khoiriyah.

e. Kiai Fattah Yasin, beliau pernah menjadi Menteri Penghubung Alim

Ulama Indonesia.

Dalam hal ibadah keseharian, Pondok Pesantren Maskumambang tetap

menggunakan pemahaman fiqih dan syariat Islam yang tidak berbeda dengan

masa kepemimpinan Kiai Abdul Jabbar. Mereka tetap mengikuti mazhab

Syafi‟iyah. Tradisi peribadatanpun tetap dilestarikan seperti tradisi ziarah ke

makam wali dan orang-orang keramat, tahlilan dihari pertama hingga hari

ketujuh, hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000 kematian seseorang,

mengadakan perayaan meninggalnya ulama (haul), doa qunut, penggunaan bedug sebagai tanda masuknya waktu shalat, jumlah shalat terawih sebanyak

23 rakaat, menentukan awal bulan dengan rukyat, seruan (bacaan solawat)

sebelum adzan subuh, solawat diantara 2 khutbah jumat, dan masih banyak

tradisi yang dikerjakan pada masa kepemimpinan Muhammad Faqih

Maskumambang.

2. Ketua Taswirul Afkar dan Pendiri NU

Pada masa Muhammad Faqih Maskumambang menjadi pemangku

Pondok Pesantren Maskumambang, saat itu mulai banyak bermunculan

(35)

26

beliaupun ikut memiliki peran dalam beberapa organisasi yang ada di

masyarakat. Salah satunya adalah Taswirul Afkar dan Nahdlatul Ulama (NU).

Pada bulan Oktober 1918 M, berdirilah sebuah organisasi masyarakat

bernama Taswirul Afkar atas gagasan Wahhab Hasbullah. Tujuan

didirikannya organisasi ini adalah untuk menjadi petunjuk perihal keislaman

yang sejati dan senantiasa memantapkan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah

pada umat Islam yang masih dalam kegelapan dan terbebas dari pengaruh

golongan yang sesat. Selain itu sebab lain didirikannya Taswirul Afkar adalah

adanya kondisi masyarakat pribumi yang mengalami keterpurukan terutama

kaum santri yang direndahkan oleh penjajah dan dari kalangan priyayi dari

bangsa sendiri.12

Pada tahun 1924 M, saat diadakannya kongres tahunan, 6 tahun

berdirinya Taswirul Afkar, Muhammad Faqih Maskumambang terpilih

sebagai ketua I dan merangkap jabatan sebagai Dewan Penasehat Taswirul

Afkar bersama Hasyim Asy‟ari dari Jombang.13

Pada tahun 1935 M,

Muhammad Faqih Maskumambang meninggalkan jabatannya di Taswirul

Afkar dan kemudian kedudukannya digantikan oleh Chamim Syahid.

Pada tahun 1926, lahirlah organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama di

kota Surabaya. Organisasi ini dibentuk oleh beberapa ulama/Kiai yang

memiliki pengaruh di wilayah Jawa Timur pada saat itu. Para Kiai yang hadir

12

Arina Wulandari, “K.H. Abdul Wahhab Hasbullah; Pemikiran dan Peranannya dalam Taswirul

Afkar (1914-1926 M)”, (Skripsi, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, 2016), 42.

13

(36)

27

dalam di sana secara aklamasi memilih Hasyim Asy‟ari sebagai Rais Akbar

Nahdlatul Ulama dan Muhammad Faqih Maskumambang sebagai wakilnya.14

Setelah keduanya mendapat jabatan tersebut, beliau berdua semakin terlihat

akrab karena memang pernah bersama dalam perjuangan mencari ilmu di

Makkah bahkan beliau berdua memiliki guru yang sama. Selain itu keakraban

ini juga semakin bertambah karena didukung oleh pertalian keluarga. Ma‟sum

bin Ali yang masih memiliki hubungan kerabat keluarga dengan Pesantren

Maskumambang menikah dengan putri Hasyim asy‟ari yang bernama

Khairiyah.

Saat usia Muhammad Faqih Maskumambang mencapai 69 tahun,

beliau tetap menjadi salah satu rujukan Kiai-Kiai di Jawa Timur sebelum dan

sesudah didirikannya NU.15 Beliau sering sekali berdiskusi dengan Kiai-Kiai

Jawa Timur tentang hukum Islam, salah satunya adalah diskusi beliau dengan

Hasyim Asy‟ari menyangkut hukum penggunaan kentongan dan beduk dalam

menentukan masuknya waktu shalat. Dalam masalah ini keduanya memiliki

pendapat yang berbeda. Pada awalnya Hasyim Asy‟ari menulis artikel yang

kemudian dimuat dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama. Hasyim Asy‟ari

beragumen bahwa kentongan tidak disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad

SAW, sehingga penggunaanya diharamkan dan tidak boleh menggunakannya

sebagai penanda masuknya waktu solat wajib.

14

Faqih, Menolak Wahabi, xi.

15

(37)

28

Sebulan setelah itu, Muhammad Faqih Maskumambang membalas

artikel Hasyim Asy‟ari dengan penjelasan bahwa dalam masalah tersebut

adalah masalah qiyas atau kesimpulan yang didasarkan atas prinsip yang sudah ada. Menurut Muhammad Faqih Maskumambang, kentongan yang ada

di Asia Tenggara sudah memenuhi syarat untuk digunakan penanda masuknya

waktu solat wajib.

Dengan adanya kejadian ini tak lantas membuat keduanya berseteru.

Kedua pemimpin pondok pesantren ini saling menghargai pendapat

masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan saling toleransi diantara mereka sehingga

saat Hasyim Asy‟ari mengunjungi Pondok Pesantren Maskumambang maka

Muhammad Faqih Maskumambang memerintahkan kepada seluruh santrinya

untuk menyembunyikan kentongan yang ada diseluruh masjid. Begitu pula

saat Muhammad Faqih Maskumambang berkunjung ke Pondok Pesantren

Tebuireng Jombang, maka Hasyim Asy‟ari memerintahkan santrinya untuk

menggunakan kentongan sebagai pertanda masuknya waktu sholat.

Bukti lain yang menunjukkan peran Muhammad Faqih

Maskumambnag dalam organisasi NU termuat dalam arsip dengan judul

Catatan Singkat Muktamar I, II, dan III yang tersimpan di Museum NU

Surabaya. Arsip ini menjelaskan bahwa pada tanggal17-19 September 1926

terjadi Muktamar NU yang pertama di Hotel Muslimin. Muktamar ini

(38)

29

Setahun setelahnya terjadilah Muktamar NU yang kedua bertempat di

Hotel Muslimin Surabaya. Muktamar ini berlangsung selama 3 hari, pada

malam ke-4 kembali mengadakan rapat umum guna menyampaikan hasil

keputusan muktamar di Masjid Agung Ampel Surabaya. Rapat ini dihadiri

18.000 orang yang terdiri dari utusan ulama, pengusaha, wakil-wakil buruh

dan tani, tamu undangan, penghulu, wakil pemerintah setempat dan tidak

ketinggalan pula hadir wakil-wakil perhimpunan. Dari 146 orang utusan

ulama yang datang dari 36 daerah, salah satunya adalah Muhammad Faqih

Maskumambang. Beliau saat itu menjadi pemimpin utusan dari Sidayu

(Gresik) bersama dengan Abdul Hamid.

Pada September 1928 terjadi muktamar NU yang ketiga bertempat di

Hotel Muslimin Surabaya. Muktamar ini dihadiri oleh 260 utusan ulama dari

35 daerah. Jumlah ini tidak termasuk daerah-daerah kecil di sekitar Jawa

Timur. Disini Muhammad Faqih Maskumambang kembali menjadi pemimpin

utusan dari Sidayu Gresik bersama Abdul Hamid.

Dalam arsip yang lain masih dalam koleksi Museum NU juga

disebutkan dengan judul Introeksi Pertama Pengoeroes Besar Nahdlatoel

Oelama. Dalam arsip ini menjelaskan tentang isi beberapa surat dari pengurus

besar NU yang diperuntukkan pengurus cabang NU. Di dalamnya di jelaskan

tugas ketua dan anggota, kwajiban anggota, pemberhentian anggota, tabligh

(39)

30

dengan memakai amplop terbuka, dan seruan untuk membaca Qunut nazilah. Di lampiran terakhir tertulis susunan pengurus besar NU, salah satunya

dijelaskan posisi Muhammad Faqih Maskumambang sebagai ketua muda

PBNU bagian hukum.

Menurut penuturan cucu Muhammad Faqih Maskumambang,

Marzuki, Muhammad Faqih Maskumambang tidak pernah ingin disebut

sebagai NU karena arti dari NU sendiri merupakan kebangkitan ulama. Bagi

Muhammad Faqih Maskumambang ulama adalah orang yang benar-benar

memiliki tanggung jawab yang tinggi dimasyarakat. Akan tetapi Muhammad

Faqih Maskumambang lebih senang disebut sebagai Ahlus Sunnah Wal

Jamaah.16 Sedangkan menurut Abdur Rahman, Muhammad Faqih Maskumambang memang pernah menjadi salah satu pengurus di NU, akan

tetapi tidak diketahui pasti beliau menduduki jabatan apa diorganisasi

tersebut.17

Pada tahun 1937 M, Muhammad Faqih Maskumambang meninggal

dunia dalam usia 80 tahun. Beliau meninggalkan Pondok Pesantren

Maskumambang dengan tetap mempertahankan metode belajar secara

tradisional dan berfaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pada periode selanjutnya Pondok Pesantren Maskumambang diasuh oleh putra yang ke 5

yaitu Ammar Faqih Maskumambang.

16

Marzuki, Wawancara, Pondok Maskumambang Gresik, 21 Mei 2016.

17

(40)

31

Menurut penuturan cucu beliau yang bernama Marzuki, Muhammad

Faqih Maskumambang meninggal dunia dalam keadaan tangan telunjuk

kanannya lurus, seperti orang sholat yang sedang tasyahud.18

18

(41)

32

BAB III

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB DAN PEMIKIRANNYA

A. Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahhab

Al-Imam asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin

Ali bin Muhammad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Musrif bin

Ummar bin Mu’dhad bin Rais bin Zakhir bin Muhammad bin Alwi bin

Wuhaib bin Qosim bin Musa bin Mas’ud bin Uqbah bin Sani’ bin Nahsyal bin

Syaddad bin Zuhair bin Syihab bin Rabi’ah bin Abu Suud bin Malik bin

Hanzhalah bin Malik bin Zaid bin Manah Ibni Tamim bin Mur bin Ad bin

Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Ad’nan1 atau yang

biasa kita kenal dengan sebutan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah salah

seorang dari keterunan Bani Tamim. Beliau juga memiliki nama lain yaitu

Syaikh Muhammad at-Tamimi. Beliau merupakan pembaharu di Arabia,

pengikut paham Taimiyah dan bermazhab Hambali.2

Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di negeri al-‘Uyainah, Nejed,

pada tahun 1115 H / 1703 M. Ayah beliau adalah seorang ulama besar dan

kakeknya, Sulaiman adalah alim negeri Nejed pada zamannya.3 Adapun ibu

beliau adalah Bintu Muhammad bin Azaz al-Musyarrofi al-Wuhaibi

at-Tamimi. Nasab Muhammad bin Abdul Wahhab bertemu dengan nasab

1

Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan (Bandung: Toobagus

Publishing, 2012), 29. 2

M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 58. 3

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin

(42)

33

Rasulullah pada Ilyas bin Mudhar, terus sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi

Ibrahim.4

Saat menginjak usia 10 tahun, Muhammad bin Abdul Wahhab telah

mampu menghafal Alquran, selain itu beliau juga mempelajari ilmu fiqih

sampai mendalam kepada ayah dan paman beliau sampai beliau menjadi

sangat matang dan menguasainya. Kedua orang tua beliau sangat mengagumi

kekuatan hafalannya. Beliau adalah salah seorang yang gemar menuntut ilmu.

Membaca kitab-kitab tafsir, hadis dan ushul adalah salah satu kebiasaan yang beliau lakukan baik disiang maupun malam hari. Tidak berhenti sampai disitu,

beliau juga mampu menghafal berbagai macam matan (semacam rumusan)

ilmiah dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu matan yang beliau hafal dalam

bahasa Arab adalah Matan Alfiyyah Ibni Malik. Saat belajar dengan ayah dan

pamannya, beliau telah membaca kitab-kitab besar dalam mazhab Hambali

seperti Asy-Syarhul Kabir, Al-Mughni dan Al-Inshof. Pada masa itu pula beliau banyak membaca kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan

muridnya al-Allahmah Ibnu Qoyyim rahimahumallah.5

Kegemaran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap aktifitas

menuntut ilmu, mengharuskan beliau untuk mengembara ke berbagai daerah,

diantaranya Nejed, Makkah, Madinah, Basrah hingga ke Baghdad. Perjalanan

pertama beliau dimulai dari wilayah Najed dan Makkah. Beliau berguru pada

para ulamanya secara langsung. Diantara mereka adalah al-Allamah

asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim asy-Syammari. Beliau juga berguru kepada putra

4

Ruray, Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan, 29.

5

(43)

34

Syaikh Abdullah bin Ibrahim yang terkenal sebagai ahli ilmu Faraidh fi Syarh Alfiyah al-Fara’idh.6Dari kedua ulama inilah Muhammad bin abdul Wahhab

kemudian diperkenalkan kepada seorang ulama ahli hadis yang terkenal yaitu

asy-Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Kepadanya, Muhammad bin Abdul

Wahhab belajar mengenai hadis dan rijal (periwayat hadis) hingga beliau di

beri ijazah (semacam rekomendasi) karena telah selesai mempelajari kitab-kitab induk hadis.

Dalam buku Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan dijelaskan bahwa

Muhammad bin Abdul Wahhab mendapat ijazah dari asy-Syaikh Abdullah bin

Ibrahim asy-Syaikh Syammari,

‘Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim asy-Syaikh Syammari juga memberikan ijazah periwayatan Shahih Bukhari dan syarahnya,

Shahih Muslim dan syarahnya, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, beberapa karya ad-Darimi,

Musnad asy-Syafi’i, Muwattha’ Malik dan Musnad Ahmad, dengan sanad bersambung sampai kepada penulisnya.’7

Asy-Syaikh Ali Afandi ad-Dagistani dan asy-Syaikh Abdul Latif

al-Ahsai juga pernah memberikan ijazah yang sama dalam periwayatan hadis

kepada Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini menunjukkan

kesungguh-sungguhan beliau dalam menuntut ilmu, bahkan beliau meninggalkan tanah

kelahirannya demi untuk belajar dari para ulama kaum muslimin.

Perjalanan Muhammad bin Abdul Wahhab terus berlangsung. Setelah

belajar dengan asy-Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, beliau meneruskan ke

Basrah selama 4 tahun, kemudian ke Baghdad 5 tahun dan di sinilah beliau

6

Al-Utsaimin, Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok, 1.

7

(44)

35

memperoleh seorang istri yang kaya raya.8 Sesaat setelah istrinya meninggal,

beliau kembali melanjutkan perjalanan untuk menuntut ilmunya ke wilayah

Kurdisan. Beliau hanya menetap selama satu tahun di wilayah tersebut.

Setelah itu beliau kembali melakukan perjalanan di Hamadan dan menetap

disana selama 2 tahun dan pernah pula berkunjung ke Isfahan, Qum (Iran).

Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal pada 29 Syawal 1206 H

(1793M). Beliau meninggal dalam usia 91 tahun. Makam beliau terdapat di

Dar’iyah (Najed).

B. Latar Belakang Pemikiran dan Karya Tulis Muhammad bin Abdul Wahhab

Jika melihat dari perjalanan hidup Muhammad bin Abdul Wahhab saat

menuntut ilmu ke berbagai negeri, tentulah kita tahu bahwa beliau termasuk

orang dengan aktifitas-aktifitas yang luar biasa. Dari perjalanan beliau dalam

menuntut ilmu, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh. Selain

memperoleh khazanah ilmu yang begitu luas, beliau juga memperoleh

pengalaman yang luar biasa disetiap wilayah yang pernah disinggahi. Beliau

dapat menyaksikan secara langsung gejala-gejala sosial keagamaan yang

berkembang di daerah tersebut. Gejala-gejala sosial keagamaan tersebut

diantaranya adalah kesyirikan, khurafat, kebid’ahan, hingga pengagungan kepada kuburan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau pernah

mendengar para wanita di negerinya menjadikan pohon kurma sebagai

wasilah (perantara), seraya berkata, “Wahai pohon kurma, saya ingin menikah

8

(45)

36

sebelum tahun ini sirna!”9

Pengagungan terhadap kuburan tidak hanya sebatas

kuburan para ulama atau guru tarekat, melainkan juga pengagungan kepada

kuburan para sahabat, ahlul bait dan juga kuburan Nabi Muhammad SAW.

Mereka memiliki alasan bahwa pengagungan terhadap kuburan termasuk dari

rasa cinta mereka kepada orang-orang soleh. Padahal seharusnya wujud cinta

ditunjukan dengan cara mengikuti jejak mereka, bukan menjadikan mereka

sebagai wasilah antara mereka dengan Allah. Pengaruh tarekat yang

berkembang pada saat itu menjadikan permohonan dan doa tidak lagi

langsung dimintakan dan dipanjatkan kepada Allah, tetapi melalui syafa’at

syaikh atau guru tarekat yang dipandang dekat dengan Allah.10

Fenomena lain yang terjadi di lingkungan masyarakat pada saat itu

adalah masalah taqlid. Hal ini juga menjadi perhatian Muhammad bin Abdul

Wahhab karena taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam sendiri.

Banyak dari kalangan masyarakat yang tidak berijtihad menggali hukum dari

permasalahan yang ada. Masyarakat lebih suka bertaqlid. Padahal untuk

memahai ajaran yang terkandung dalam Alquran dan hadis, maka setiap orang

harus melakukan ijtihad.

Berangkat dari fenomena-fenomena inilah Muhammad bin Abdul

Wahhab memulai dakwahnya, menyeru kepada kaum muslimin mengenai

perkara tauhid dan berdoa hanya kepada Allah semata. Dari sinilah kemudian

beliau terkenal dengan semboyannya yaitu ‘kembali ke ajaran pokok Alquran

dan Assunnah’.

9

Muhammad bin Jamil Zainu, Ada Apa dengan Wahabi, terj. Agus Ma’mun (Jakarta: Pustaka

at-Tazkia, 2011), 10. 10

(46)

37

Pada tahun 1740 M, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai

menyebarkan idenya, menyeru kepada masyarakat untuk kembali kepada

Alquran dan hadis, memurnikan ajaran agama Islam dan membersihkan

paham yang menyesatkan. Sebagaimana dakwah yang telah terjadi pada

masa-masa sebelumnya, setiap ada seseorang yang membawa perubahan, tentunya

akan ada pula beberapa orang yang tidak menyukainya, memusuhi, bahkan

menindas. Begitu pula yang dialami oleh Muhammad bin Abdul Wahhab,

sehingga membuatnya harus pindah kepemukiman Amir Saudi, di sebelah

Utara Riyadh di desa ad-Dariyah.

Dalam buku Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

dalam Islam yang ditulis oleh Yusran Asmuni dijelaskan bahwa,

‘Muhammad bin Abdul Wahhab yang dibantu oleh Amir Dar’iyah

pada tahun 1802 M, menyerang Karbala, karena di kota ini terdapat kuburan al-Husain, yang merupakan kiblat bagi golongan Syi’ah dan menjadi pujaannya, kemudian menyerang Madinah untuk menguasai kota itu dan menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan-kuburan, terus ke Mekkah untuk menghancurkan Kiswah sutera yang menutupi

Ka’bah.’11

Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab semakin berkembang pesat di

wilayah kekuasaan Turki Ustmani pada saat itu, hal ini tentunya membuat

cemas pemerintah kerajaan Ustmani. Salah usaha pemerintah kerajaan

Ustmani untuk menghadang dakwah beliau adalah dengan cara mengerahkan

ulama-ulamanya untuk menulis buku-buku sebagai propaganda untuk

menjelek-jelekkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka

memberikan julukan Wahabi kepada semua pengikut ajaran beliau. Sehingga

11

(47)

38

ketika mendengar kata wahabi maka akan timbul kebencian dan ketakutan

terhadap ajaran beliau. Hal ini membuat salah satu pengikut ajaran

Muhammad bin Abdul Wahhab yaitu Ibnu Sa’ud menjadi tawanan dan

menerima hukuman mati, secara otomatis gerakan wahabisme untuk

sementara dihapus.

Pada awal abad 20 di bawah pimpinan Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, ajaran

Muhammad bin Abdul Wahhab kembali bangkit. Pada bulan September 1932

M, Abdul Aziz ibnu Sa’ud memproklamasikan dirinya sebagai raja kerajaan

Saudi Arabia. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang cerdas, pandangannya

luas tentang pemerintahan, sehingga pemerintahannya berjalan dengan baik

dan mencapai kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan ajaran Muhammad

bin Abdul Wahhab yang pada mulanya hanya pemurnian ajaran Islam,

akhirnya menjadi gerakan pembaharuan dalam Islam.

Dalam menjalankan misi dakwahnya, Muhammad bin Abdul Wahhab

juga mengarang beberapa buku diantaranya yang paling terkenal adalahKitāb

al-Tauḥid Aladhī ḥaqāllah ‘ala al-‘abīd, Masāʼil al-Jāhiliyyah al-Latī Khālafa

Fīhā Rasūlallah Mā ‘alaihi ʼahlu al-Jāhiliyyah, Al-uṣūl al-Thalathah, Kashif

al-shubhāt, dan Kitāb Al-Kabāʼir. Dari buku-buku yang beliau karang, sudah

banyak yang disarah dan di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Pertama adalah Kitāb al-Tauḥid Aladhī ḥaqāllah ‘ala al-‘abīd yang

dalam terjemahannya menjadi Kitab Tauhid; Pemurnian Ibadah Kepada Allah

menjelaskan tentang hakikat tauhid dan penerapannya dalam kehidupan

(48)

39

‘Dalam Bab 1, penulis menjelaskan hakikat tauhid dan kedudukannya;

dalam Bab 2 dan 3 menerangkan keistimewaan tauhid dan pahala yang diperoleh darinya; dalam Bab 4 mengingatkan agar takut terhadap perbuatan yang bertentangan dengan tauhid serta membatalkannya (syirik akbar) atau perbuatan yang mengurangi kesempurnaan tauhid (syirik ashghar); dalam Bab 5 menjelaskan kewajiban berdakwah

kepada tauhid dan syahadat “La ilaha Illallah”.’12

Dalam buku ini, disetiap babnya, penulis menyebutkan ayat-ayat

dalam Alquran dan hadis-hadis serta pendapat ulama salaf; dan setelah itu

dijabarkan dengan menyebutkan permasalahan-permasalahan penting yang

terkandung dan tersirat dari dalil-dalil tersebut.

Kedua adalah Masāʼil al-Jāhiliyyah al-Latī Khālafa Fīhā Rasūlallah

Mā ‘alaihi ʼahlu al-Jāhiliyyah yang dalam terjemahannya berarti Seratus

Keyakinan Jahiliyah yang Ditentang Nabi Muhammad SAW. Dalam buku ini dijelaskan tentang seratus macam kebiasaan yang dianggap biasa dalam

masyarakat akan tetapi sangat dibenci oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satu diantaranya adalah kebiasaan berdoa (tawasul) kepada orang-orang soleh yang telah meninggal dunia, menjalankan adat kebiasaan dari nenek moyang tanpa

dalil yang shohih, dan masih banyak lagi. Dalam buku ini penulis menuliskan dalil-dalil shohih dari Alquran dan hadis yang banyak tidak diketahui oleh

masyarakat untuk meluruskan pemahaman yang telah berkembang di

tengah-tengah masyarakat.

Ketiga adalah Al-uṣūl al-Thalathah. Kitab ini telah disarah oleh

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan diberi judul Ulasan Tuntas tentang 3

Prinsip Pokok. Buku ini menjelaskan tentang 3 landasan utama manusia dalam

12

Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun (Jakarta: Darul Haq,

(49)

40

beragama yaitu mengenal siapa Rabb (Tuhannya), apa agamanya dan siapa Nabinya. Disini disertakan pula ayat-ayat yang memperkuat dalil tentang

penjelasan tersebut. Bahkan beliau juga memberikan contoh aplikasinya

dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Keempat adalah Kitāb Kashif al-Shubhāt. Dalam sarah Muhammad

bin Shalih al-Utsaimin buku ini berjudul Tauhid vs Syirik Terjemah Kitab

Syarah Kashif al-Shubhāt, Menyingkap Kerancuan dalam Memahami Tauhid

dan Syirik. Secara umum buku kecil ini didiktekan kepada para pengikutnya

agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan sifat-sifat kaum

muslimin menurut versinya sendiri.13 Beliau juga menjelaskan bahwa pada era

saat ini kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul, dan sejenisnya maka dianggap sama dengan kaum musyrikin pada era Nabi Muhammad

SAW.

Kelima adalahKitāb Al-Kabāʼir. Dalam sarah Adz-Dzahabi yang telah diterjemahkan, buku ini berjudul Dosa-Dosa Besar. Buku ini membahas

tentang 70 dosa besar yang biasa dilakukan diantaranya seperti syirik, sihir,

membunuh orang tanpa alasan yang dibenarkan syara’, memakan harta anak

yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran, dan menuduh berzina

pada perempuan-perempuan mu’min.

Tentunya selain buku yang disebutkan di atas, masih banyak

buku-buku karangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan artikel-artikel yang telah

beliau tulis.

13

Pejuang Ahlussunnah, “Biografi Lengkap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (dari

Lahir - Wafat)”, dalam

(50)

41

C. Pemikiran Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab

Awal munculnya pemikiran pembaharuan Muhammad bin Abdul

Wahhab adalah ketika beliau mulai cemas melihat fenomena keagamaan yang

terjadi di masyarakat yang banyak melenceng dari ajaran Alquran dan Hadis

terlebih di wilayah yang telah disinggahi beliau selama beliau menuntut ilmu

di berbagai negeri. Beberapa fenomena keagamaan yang terjadi adalah

kesyirikan, khurafat dan bid’ah. Begitu pula tentang sikap mereka dalam

mengkultuskan kubur, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan ajaran

agama Islam. Di Madinah, beliau mendengar permohonan tolong (istighosah) kepada Rasulullah, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, yang

sesungguhnya bertentangan dengan Alquran dan sabda Rasulullah.14

Pemikiran yang dikemukakan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah

upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang

terdapat dikalangan umat Islam saat itu.15 Karena pada saat itu paham tauhid

masyarakat sudah banyak tercampuri dengan paham ajaran-ajaran tarekat yang

mulai tersebar di dunia Islam sejak abad ke-13.

Mengutip dari buku Bersikap Adil Kepada Wahabi yang menjelaskan

beberapa prinsip dasar yang digunakan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam

menjalankan misi dakwahnya. Pertama, al-Ilmu (menghidupkan ilmu-ilmu keislaman). Seperti telah diketahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab

menggunakan metode dakwah sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad

14

Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat, terj. Ainul Haris Umar Arifin

(Jakarta: Darul Haq, 2014), 63. 15

(51)

42

SAW. Sebagaimana Nabi Muhammad dan para ulama selalu meletakkan asas

ilmu sebagai pondasi dakwahnya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitab

karangan beliau yang berjudul Al-uṣūl al-Thalathah. Di halaman 13 beliau menuliskan, ilmu adalah mengetahui secara pasti terhadap sesuatu sesuai

hakikatnya.16 Aplikasi dari pemikiran ini adalah dengan menyelenggarakan

Referensi

Dokumen terkait

Mata pelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah terdiri atas bahan yang berupa wacana lisan dan tulisan berbentuk paparan atau dialog tentang perkenalan, kehidupan keluarga,

Sebuah website seharusnya dikelola oleh seorang atau beberapa web administrator, pengelolaanini tidak bisa diserahkan pada sembarang orang yang tidak memiliki

Chapter 4 analyses and discusses the abundance, nesting distributions, nest site-selection of Brahminy Kite in less disturbed area of Matang Mangrove Forest Reserve, Kuala

Kenyataan yang ada dalam proses pembelajaran permainan bola basket, di Sekolah Menengah Pertama seperti halnya di SMP Negeri 1 Pujut belum efektif karena terbentur waktu dan

Ayam pedaging yang dipelihara pada ketinggian tempat 300 m diatas permukaan laut (A2) menghasilk- an prosentase lemak sebesar 36,44% (tabel 3), sedang- kan pada ayam pedaging

itu terungkap setelah polisi mendapatkan bukti pesan singkat yang dikirim tersangka Ruslan ke salah satu temannya yang tidak terlibat kasus tersebut.. “maunya Ruslan mengirim

Komponen proses dalam komputer itu adalah satu unit komponen yang berada di motherboard yang berfungsi memproses setiap perintah atau data dari input device dan

Jika memang faktor produksi pada usahatani kopi seperti ketinggian tempat, kemiringan lereng, curah hujan, usia tanaman kopi, modal, dan curahan tenaga kerja yang