• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM TERHADAP AHLI WARIS NON-MUSLIM DALAM PUTUSAN HAKIM DI PERADILAN AGAMA MAKASSAR : STUDI PUTUSAN 732/PDT.G/2008/PA.MKS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM TERHADAP AHLI WARIS NON-MUSLIM DALAM PUTUSAN HAKIM DI PERADILAN AGAMA MAKASSAR : STUDI PUTUSAN 732/PDT.G/2008/PA.MKS."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan

Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010)

SKRIPSI

Oleh

Ahmad Fadli Amri NIM. C01209121

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Implementasi Hukum Islam Terhadap Ahli Waris Non-Muslim Dalam Putusan Hakim di Peradilan Agama Makassar (Studi Putusan Nomor 732 /Pdt.G/2008/PA.Mks.)” tentang kewarisan beda agama yang bertujuan untuk menjawab apa dasar pertimbangan hakim dalam pembagian waris beda agama dan apa tinjauan hukum Islam dalam waris beda agama.

Data penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola fikir deduktif yakni menjelaskan secara umum selanjutnya penulis menganalisis tentang dasar-dasar hukum dan aturan-aturan tentang pembagian harta waris dalam kawin beda agama.

Keputusan hakim dalam memberikan harta waris kepada ahli waris non muslim menggunakan dasar pertimbangan bahwa tergugat telah lama mengabdikan hidupnya bersama pewaris.

Hasil analisis menyebutkan bahwa keputusan hakim yang menggunakan pendapat Yusuf al-Qaradawi yang memperbolehkan seorang muslim mendapatkan waris dari non muslim sangatlah tidak tepat jika menggunakan pendapat tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara tersebut.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama

sebagaimana ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor

3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Namun,

pengaturan hukum material mengenai wasiat dalam peraturan

perundang-undangan belum ditemukan.

Pengaturan wasiat yang ada sementara ini hanya terdapat dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang termuat dalam instrumen hukum berupa

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Pengaturan wasiat dalam Pasal 194

sampai dengan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dipandang sebagai hukum

material dan diberlakukan di pengadilan dalam Pengadilan Agama

Makassar.1 Pengaturan wasiat dalam KHI mencakup juga wasiat wājibah yang merupakan hal baru dalam khasanah hukum Islam di Indonesia.

Pengaturan wasiat wājibah terdapat dalam Pasal 209: 2

1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;

1 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 148.

2 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia,

(8)

2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Pengaturan wasiat wājibah dalam Kompilasi Hukum Islam sangat

terbatas berkenaan dengan anak angkat. Pengaturan wasiat wājibah dalam

KHI hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang tidak menerima wasiat

dengan bagian maksimal 1/3 harta warisan orang tua angkatnya atau

sebaliknya orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wājibah maksimal 1/3 harta warisan anak angkatnya. Kompilasi Hukum

Islam tidak memberikan definisi dalam Ketentuan Umum tentang wasiat

wājibah tersebut. Wasiat wājibah secara tersirat mengandung unsur-unsur

yang dinyatakan dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 3

1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau

sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.

2. Pewaris tidak memberikan atau menyatakan kepada penerima wasiat,

akan tetapi pemberian itu dilakukan oleh Negara.

3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh

melebihi 1/3 (sepertiga) hartawarisan.

Wasiat wājibah dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul

untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya

dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di

negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,

lembaga wasiat wājibah digunakan untuk menyelesaikan permasalahan

kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak

(9)

pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga

wasiat wājibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk

mengakomodasi lembaga māwalī atau penggantian tempat4.

Konsep “wasiat wājibah” diinspirasikan dari pendapat Ibn Hazm,

yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa penguasa wajib mengeluarkan

sebagian dari peninggalan seseorang yang meninggal dunia sebagai wasiat

darinya meskipun ia tidak berwasiat sebelumnya, dilandasi dengan suatu

pemikiran bahwa penguasa punya kewajiban untuk menjamin hak-hak

rakyatnya yang belum terlaksanakan. Kiranya tidak keliru bila ada yang

menyebut bahwa Ibnu Hazm dianggap sebagai tokoh yang melahirkan

konsep wasiat wājibah.5

Dasar hukum yang disyariatkan wasiat adalah kitabullah, sunnah, dan

ijma ulama. Ayat-ayat yang menjelaskan dasar hukum wasiat adalah firman

Allah dalam Al-Quran antara lain sebagai berikut:

ا و نيدلولل ةيصولا ارخ كرت نإ توما مكدحا رضح اذا مكيلع بتك

اقح فورمماب نبرقأ

يقتما ىلع

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas

orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 108)6

Sebagaimana juga dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh

Bukhari dan Muslim yang menjelaskan tentang wasiat ini adalah:

4 Ibid., 78.

5 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam, Cet. 1,

(Jakarta: Kencana, 2008), 79.

6

(10)

نتليل تيبي يف يصوي ئيش ل ئرما قح ام ملس و يلع ها ىلص ي لا لاق لاق رمع نبا نع

د ع ةبوتكم تيصو و اإ

“Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.”7

Secara teoretis, wasiat wājibah didefiniskan sebagai tindakan yang

dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau

memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang

diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.8 Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wājibah dan berbeda

pengaturannya dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang lain.

Konsep KHI adalah memberikan wasiat wājibah terbatas pada anak angkat

dan orang tua angkat.

Jika ditelusuri latar belakang penyusunan KHI, dapat diperoleh

beberapa alasan tentang penetapan wasiat wājibah terbatas pada anak dan

orang tua angkat, yaitu pertama, para ulama Indonesia belum dapat

menerima konsep anak angkat sebagai ahli waris sebagaimana berlaku dalam

hukum adat. Kedua, pelembagaan ahli waris pengganti terhadap cucu yang

ditinggal meninggal lebih dahulu oleh orang tuanya, dipandang lebih adil dan

lebih berperikemanusiaan bagi masyarakat Indonesia.9

7 Bukhârî, Al-Bukhârî, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 149.

8 Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya Dalam

Konteks Kewenangan Peradilan Agama”, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 38,

(Tahun IX, 1998), 23.

(11)

Wasiat wājibah secara normatif diberlakukan untuk anak angkat dan

orang tua angkatnya, akan tetapi putusan hakim di Pengadilan Agama

Makassar ternyata mengimplementasikan wasiat wājibah tidak hanya

terbatas antara anak angkat dan orang tua angkatnya secara timbal balik,

melainkan juga diimplementasikan terhadap ahli waris yang terhalang

menerima warisan karena perbedaan agama atau ahli waris non-muslim.

Dalam hukum waris Islam, faktor perbedaan agama merupakan

penghalang bagi seorang ahli waris untuk menjadi ahli waris. Kompilasi

Hukum Islam memberikan batasan ahli waris dalam Pasal 171 huruf c bahwa

ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam

dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Berdasarkan

batasan tersebut dapat diketahui bahwa apabila seorang yang secara nasab

merupakan ahli waris, namun pada saat yang sama yang bersangkutan tidak

beragama Islam, maka dia tidak termasuk sebagai ahli waris dan tidak

mendapat bagian warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Demikian dalam

pandangan Hukum Islam pemberian harta warisan beda agama melalui

wasiat wājibah tidak diperbolehkan, akan tetapi dalam perkembangan

implementasi putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar tidak

berdasarkan pada ketentuan tersebut.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, putusan hakim di

Pengadilan Agama Makassar khususnya Putusan Nomor

732/Pdt.G/2008/PA.Mks akan menimbulkan problem, baik problem yuridis,

(12)

Secara yuridis, norma dalam hukum kewarisan Islam telah mengatur

bahwa ahli waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris. Hakim di

Pengadilan Agama Makassar adalah hakim yang menegakkan hukum Islam,

artinya putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar tidak boleh

bertentangan dengan hukum Islam. Putusan hakim di Pengadilan Agama

Makassar yang memberi bagian warisan melalui wasiat wājibah kepada ahli

waris non-muslim bertentangan dengan norma hukum kewarisan Islam.

Secara filosofis, ketaatan masyarakat muslim untuk menerapkan

hukum Islam dalam bidang kewarisan Islam merupakan kesadaran untuk

menjalankan perintah agama yang selama ini diyakininya. Putusan hakim di

Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian warisan melalui wasiat

wajibah kepada ahli waris non-muslim tidak mencerminkan untuk

menegakkan kesadaran dan nilai-nilai yang diyakini masyarakat muslim.

Secara sosiologis, norma dalam hukum kewarisan Islam yang

mengatur bahwa ahli waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris

sudah dipahami oleh masing-masing invidu muslim dan masyarakat muslim

umumnya. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi

bagian warisan melalui wasiat wajibah akan membuka celah timbulnya

perselisihan atau sengketa dalam keluarga dan masyarakat muslim.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, urgen dilakukan

penelitian untuk mengetahui dasar pertimbangan putusan hakim di

Pengadilan Agama Makassar yang memberikan wasiat wājibah terhadap ahli

waris non-muslim. Selanjutnya urgen pula untuk mengetahui pertimbangan

(13)

Penelitian skripsi ini diberi judul “Implementasi Hukum Islam

Terhadap Ahli Waris Non-Muslim Dalam Putusan Hakim di Peradilan

Agama Makassar (Studi Putusan Nomor 732 /Pdt.G/2008/PA.Mks.)”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berkenaan dengan identifikasi masalah, Nana Sudjana mengemukakan

bahwa identifikasi masalah menjelaskan aspek-aspek masalah yang bisa

muncul dari tema atau judul yang dipilih dan merupakan pengungkapan

berbagai masalah yang akan timbul dan diteliti lebih lanjut.10 Identifikasi masalah merupakan deskripsi mengenai ruang lingkup masalah yang

dirumuskan.

Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dari uraian latar belakang

masalah tersebut sebagai berikut:

1. Secara normatif, hukum kewarisan Islam telah mengatur bahwa ahli

waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris sehingga putusan

hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian warisan

melalui wasiat wājibah kepada ahli waris non-muslim bertentangan

dengan norma hukum kewarisan Islam.

2. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian

warisan melalui wasiat wājibah kepada ahli waris non-muslim tidak

mencerminkan nilai-nilai dan kesadaran yang diyakini masyarakat

muslim.

3. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian

warisan melalui wasiat wājibah akan memicu timbulnya perselisihan

(14)

atau sengketa dalam keluarga dan masyarakat muslim.

4. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian

warisan melalui wasiat wājibah mengabaikan ketentuan kadar pemberian

wasiat wājibah maksimal 1/3 (sepertiga) harta warisan.

Pembatasan masalah diperlukan untuk membatasi ruang lingkup

penelitian karena keterbatasan waktu, dana, dan tenaga. Agar penelitian ini

lebih fokus, maka batasan masalah penelitian ini yaitu:

1. Dasar pertimbangan putusan hakim Peradilan Agama Makassar yang

memberikan wasiat wājibah terhadap ahli waris non-muslim.

2. Tinjauan Hukum Islam dalam pertimbangan Hakim terhadap putusan

nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut dapatdirumuskan

masalah yang akan dijawab melalui penelitian skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar pertimbangan putusan hakim Peradilan Agama

Makassar yang memberikan wasiat wājibah terhadap ahli waris

non-muslim?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dalam pertimbangan Hakim terhadap

putusan nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks.?

D. Kajian Pustaka

Pembahasan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah “Implementasi

(15)

Peradilan Agama Makassar (Studi Putusan Nomor 732

/Pdt.G/2008/PA.Mks.”. Banyak peneliti yang membahas topik mengenai

wasiat wājibah, antara lain:

1. Skripsi yang berjudul “Analisis hukum Islam terhadap Putusan

Mahkamah Agung No:16K/AG/2010 tentang Pembagian Waris Beda

Agama” ini merupakan hasil penelitian pustaka yang bertujuan untuk

menjawab pertanyaan tentang apa dasar pertimbangan majlis hakim

mahkamah Agung dalam menetapkan putusan No: 16K/AG/2010 dan

bagaimana analisis hukum terhadap dasar pertimbangan majelis hakim

mahkamah agung tentang pembagian harta waris dalam perkawinan beda

agama. Hasil analisis menyebutkan bahwa majelis hakim mahkamah

agung menggunakan pendapat Yusuf al-Qarad}awi yang

memperbolehkannya seorang muslim mendapatkan waris dari non

muslim, akan tetapi majlis hakim mahkamah agung sebaliknya, memberi

waris kepada non muslim dan itu tidak sesuai dengan syariat Islam.11

2. Dalam skripsi yang berjudul‚ Analisis Yuridis Terhadap Penetapan

Pengadilan Agama Surabaya No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby. Tentang

Permohonan Penetapan Ahli Waris Beda Agama. Penelitian ini bertujuan

untuk menjawab tentang bagaimana pertimbangan hukum dan dasar

hukum hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam menetapkan ahli waris

beda agama, serta bagaimana analisisnya.Hasil penelitian menyimpulkan

bahwa pertimbangan hukum hakim pengadilan agama surabaya dalam

perkara No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby. Tentang Penetapan Ahli Waris Beda

11

(16)

Agama adalah menggunakan pendapat para Ulama klasik sebagai

legitimasi keputusannya, Selain itu juga memenuhi pertimbangan secara

yuridis historis dan sosiologis melatar belakangi putusan penetapan

pemohon I yang beragama selain Islam untuk mendapatkan harta warisan

dari pewaris yang beragama Islam dengan konsep wasiat wajibah. Dan

Dasar hukum hakim adalah Yurispudensi Mahkamah Agung Nomor:

368K/AG/1995,Nomor 51K/Ag/1995 dan Kompilasi Hukum Islam pasal

172 dan Pasal 209.Dari penelitian seharusnya hakim dalam isi penetapan

No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby. Tentang penetapan ahli waris beda agama

memperjelaskan pertimbangan hukum dan dasar hukumnya secara rinci,

agar tidak terjadi kesalah fahaman. Untuk memperjelas kepastian hukum

dalam KHI, tidak ada salahnya melakukan kajian ulang dengan tujuan

menyempurnakan isi dari KHI. Karena menurut penulis dari perkara yang

penulis angkat ini KHI tidak menjelaskan secara rinci syarat sahnya

wasiat. Seperti halnya apakah hubungan seagama merupakan syarat sah

atau bukan.12

3. Dalam skripsi yang berjudul Problematika Ahli Waris Dalam Kompilasi

Hukum Islam oleh Imas Masturoh yang diajukan kepada Fakultas

Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

menyatakan bahwa, apabila diteliti apakah KHI sudah mengakomodir

semua peraturan tentang kewarisan seperti yang diharapkan masyarakat,

maka jawabannya adalah KHI belum sepenuhnya memenuhi harapan

tersebut. Masih banyak hal yang belum dibahas dalam KHI. Kalaupun

12

(17)

sudah dibahas, hal tersebut acap kali belum tuntas, sehingga

menimbulkan berbagai penafsiran yang berakibat pada munculnya

kebingungan, padahal salah satu maksud disusunnya KHI adalah untuk

tercapainya kepastian hukum.Bahwa KHI tidak memberikan alasan

penjelas tentang jumlah ahli waris yang cenderung lebih sedikit dibanding

kitab-kitab hukum waris yang ada. Problematika ahli waris pengganti

dalam KHI, adalah berawal dari substansi ajaran fiqh yang tidak mengenal

istilah ahli waris karena penggantian. Mengenai problematika tentang

wasiat wājibah di dalam KHI kontroversi yang ditimbulkan disebabkan

oleh dua hal yaitu definisi secara konseptual wasiat wājibah itu sendiri.,

realitasnya di dalam ilmu hukum Islam dan mengenai pembahasan

landasan dasar adanya wasiat wājibah dalam KHI yaitu mengenai

eksistensi anak angkat dan orang tua angkat, yang dalam persoalan

hukum anak angkat dan orang tua angkat hal mewarisnya masih

diperdebatkan.13

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini

bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan putusan hakim di Peradilan

Agama Makassar dalam memberikan hak kepada ahli waris non muslim

untuk mendapat bagian harta warisan melalui wasiat wājibah.

13

(18)

2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dalam pemberian wasiat

wājibah terhadap ahli waris non muslim dalam putusan hakim di

Peradilan Agama Makassar.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Kegunaan teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk

menambah wawasan yang bermanfaat bagi pengembangan hukum

positif dan Hukum Islam di bidang kewarisan terutama berkenaan

dengan wasiat wājibah yang tidak terbatas pada hubungan antara anak

angkat dan orang tua angkat. Penelitian ini diharapkan pula dapat

memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum kewarisan terutama

yang diberikan melalui wasiat wājibah.

2. Kegunaan praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya mengenai

wasiat wājibah guna mewujudkan norma sebagai dasar hukum

implementasi wasiat wājibah yang berkeadilan dan berkepastian

hukum.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi legal practice

bagi hakim di Pengadilan Agama Makassar dalam memutuskan

perkara waris tertutama yang di dalamnya perlu menggunakan

(19)

c. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan masyarakat

dalam menyelesaikan kasus-kasus kewarisan yang di dalamnya perlu

diselesaikan dengan wasiat wājibah baik yang ditempuh melalui

proses litigasi maupun non litigasi.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional ini akan memberikan eksplanasi atas judul yang

dipilih dalam skripsi agar terjadi kesamaan pemahaman. Batasan atau

definisi operasional berkenaan dengan judul akan diuraikan berikut:

1. Implementasi Hukum Islam: dalam penulisan ini yang dimaksud adalah

penerapan hukum Islam dalam pemberian wasiat wajibah.

2. Wasiat wājibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa

untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan

tertentu. Wasiat wājibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada

ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari

orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.

3. Pengertian “ahli waris non-muslim” adalah ahli waris yang beragama

selain Islam. Hal berkenaan dengan hukum waris Islam bahwa faktor

perbedaan agama merupakan penghalang bagi seorang ahli waris untuk

menjadi ahli waris.

H. Metode Penelitian

(20)

penelitian hukum berpijak pada hakikat ilmu hukum yang objeknya adalah

norma.Penelitian hukum adalah meniliti norma hukum sehingga penelitian

hukum ini bersifat normatif atau disebut juga yuridis normatif. Esensi norma

adalah memberi pedoman bagi orang untuk berperilaku agar tata hidup

menjadi tertib. Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi

ini, adalah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data penetapan hakim Pengadilan

Agama Makassar dan penetapan hakim di Mahkamah Agung. Alasan majelis

hakim dalam menetapkan pembagian harta waris dalam kawin beda agama.

Dasar pertimbangan yang digunakan majelis hakim dalam menetapkan

pembagian harta waris dalam kewarisan beda agama.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dandata sekunder.

a. Sumber primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas, terdiri atas peraturan

perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan, atau putusan pengadilan.14 Wawancara dengan hakim.

b. Sumber sekunder

14

(21)

Data sekunder dalam penilitian ini adalah pustaka yang berisikan

informasi tentang bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

mencakup segala literatur, jurnal, makalah yang berkaitan dengan

hukum Islam dan hukum perdata khususnya yang berhubungan dengan

hukum wasiat wājibah dalam kewarisan, diantaranya:

1) Ketentuan-ketentuan KHI tentang waris

2) Undang-undang no 3 tahun 2006 pasal 49 tentang peradilan agama

3) M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara

Peradilan Agama, Jurnal Badilag.net‚ perlakuan waris islam non

muslim ‛ oleh: Lanka asmar,S.H.i, M.H.

4) Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat

menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan pengumpulan

data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data yang

dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap

muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau

keterangan-keterangan. Apabila wawancara bertujuan untuk mendapat

keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu yang

(22)

penulis mewawancarai beberapa hakim untuk memperoleh informasi

dan tentang pertimbangan hukum yang digunakan dalam perkara

kewarisan beda agama.

b. Studi dokumen

Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk

memperoleh data dari buku dan bahan bacaan mengenai penelitian

yang pernah dilakukan. Studi dokumen ini adalah salah satu cara

pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelusuran guna

mendapatkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah yang

akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu menelusuri bahan-bahan

hukum yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan putusan

hakim dalam perkara waris terutama berkenaan dengan wasiat wājibah.

Rumusan masalah pertama mengenai dasar pertimbangan putusan

hakim memberikan hak kepada ahli waris non-muslim untuk mendapat

bagian harta warisan melalui wasiat wājibah dalam perkara waris.

Rumusan masalah kedua mengenai kadar bagian pemberian harta

warisan kepada ahliwaris non-muslim melalui wasiat wājibah dalam

putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar.

4. Teknik Pengolahan Data

Bahan hukum yang diperoleh dicatat, diedit, dipelajari, diambil

intisarinya. Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan,

(23)

bahan hukum dilakukan dengan menyeleksi bahan-bahan hukum yang ada

dengan pemilihan dan pemilahan sesuai kebutuhan untuk menjawab

rumusan masalah dalam penelitian.15 5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang

digunakan dala penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, dimana

penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara

obyektif.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penulis dalam hal

ini ingin memberikan pemaparan, penjelasan, serta uraian dari data yang

diperoleh kemudian disusun dan dianalisis untuk diambil sebuah

kesimpulan dengan menggunakan pola pikir deduktif. Deduktif ialah pola

berfikir dengan menggunakan analisa yang berpijak dari fakta-fakta umum,

kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan masalah khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Susunan bab

berikut gambaran materi yang ditulis pada masing-masing bab tersebut

secara sistematis akan dikemukakan berikut.

Bab pertama merupakan pendahuluan yangberisi tentang latar

belakang masalah yang menguraikan adanya fakta hukum sebagai alasan

yang urgen dilakukan penelitian. Berdasarkan uraian latar belakang

dilakukan identifikasi dan batasan masalah serta masalah yang akan

15

(24)

diteliti dan dibahas, berikut kajian pustaka, tujuan penelitian,kegunaan

hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian. Uraian bab ini

dilanjutkan dengan menjelaskan sitematika penulisan.

Pada bab kedua, Tinjauan Wasiat Wājibah dan Kewarisan Islam.

Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang diharapkan dapat mendukung

upaya untuk melakukan analisis guna menjawab masalah yang telah

dirumuskan. Subbahasan dalam bab ini meliputi wasiat wājibah dan

Kewarisan Islam. Subbahasan wasiat wājibah meliputi pengertian, dasar

hukum, rukun dan syarat, dan batas maksimal pemberian. Subbahasan

kewarisan Islam meliputi pengertian waris, asas-asas kewarisan Islam,

rukun dan syarat, dan orang yang terhalang menjadi ahli waris.

Pada bab ketiga, Deskripsi putusan nomor

732/Pdt.G/2008/PA.Mks. Bab ini merupakan hasil penelitian terhadap

putusan-putusan hakim di Peradilan Agama. Untuk membahas hasil

penelitian terlebih dahulu perlu dijelaskan mengenai peradilan agama yaitu

pengertian, dasar hukum, dan kompetensi.

Pada bab keempat, Pertimbangan Hakim dalam putusan nomor

732/Pdt.G/2008/PA.Mks dalam perspektif Hukum Islam. Bab ini

merupakan analisis hasil penelitian untuk menjawab rumusan masalah

penelitian ini.

Pada bab kelima, Penutup. Bab terakhir ini berisi simpulan dan

saran. Simpulan adalah jawaban ringkas atas rumusan masalah yang

diajukan dan telah dianalisis pada Bab IV. Berdasarkan simpulan hasil

(25)

penelitian skripsi ini berkenaan dengan implementasi wasiat wajibag

terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan

(26)

BAB II

TINJAUAN WASIAT W JIBAH DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM,

A. Wasiat Wājibah

1. Pengertian

Kata wasiat diambil dari kata (ةّيصو– يّصوي–ىّصو) yang berarti

menyampaikan kepada atau berwasiat. Secara terminologis, wasiat

adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang,

piutang mapun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat

setelah orang yang berwasiat wafat. Sebagian ahli fiqih mendefinisikan

wasiat sebagai pemberian hak kepemilikan secara sukarela yang

dilakukan setelah ia wafat.1

Wasiat wājibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat

memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam

keadaan tertentu. Wasiat wājibah adalah suatu wasiat yang

diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh

bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu

halangan syarak.2 Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris, mendefenisikan wasiat wājibah adalah wasiat yang pelaksanaannya

tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau

kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik

1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) 46.

2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,

(27)

diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak

dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat

tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau

ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada

alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus

dilaksanakan.3

Wasiat wājibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian

yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang

terhalang dari menerima harta warsian karena ibu atau ayah mereka

meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal

bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari

mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli

waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.4

Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah

pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat

meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau

tabarruk. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan

dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam

dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan

seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki

sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela

tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi

3 Suparman Usman, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 163.

4 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafii, Hazairin dan KHI, (Pontianak:

(28)

kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut5.

Dalam Undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wājibah

diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah

meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian

harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau

terhijab oleh ahli waris lain.6 Pengertian wasiat dalam Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian

suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan

berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Akan tetapi, pengertian

wasiat wājibah tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam

tersebut.

Keberadaan wasiat dalam sistem hukum keluarga Islam,

terutama dihubungkan dengan hukum kewarisan tentu memiliki

kedudukan yang sangat penting. Urgensi wasiat semakin terasa

keberadaannya dalam rangka mengawal dan menjamin kesejahteraan

keluarga atau bahkan masyarakat.

Dengan hukum waris, ahli waris terutama dzawil furûdl

terlindungi bagian warisnya, sementara dengan wasiat, ahli waris di

luar dzawil furûdl, khususnya dzawil arhâm dan bahkan di luar itu

sangat dimungkinkan mendapatkan bagian dari harta si mayit. Kecuali

itu, melalui wasiat, hak pribadi (perdata) seseorang untuk menyalurkan

sebagian hartanya kepada orang (pihak) lain yang dia inginkan, tidak

5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), 523.

(29)

menjadi terhalang meskipun berbarengan dengan itu dia harus

merelakan bagian harta yang lainnya untuk diberikan kepada ahli waris

yang telah ditentukan Allah SWT.

Wasiat wājibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada

para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta

warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syarak.

Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-Islam,

karena perbedaan agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk

menerima warisan; atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan

disebabkan terhalang oleh keberadaan paman mereka, anak angkat

yang tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan keberadaannya sangat

berarti bagi si mayit. Konsep “wasiat wājibah” diinspirasikan dari

pendapat Ibn Hazm, yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa

penguasa wajib mengeluarkan sebagian dari peninggalan seseorang

yang meninggal dunia sebagai wasiat darinya meskipun ia tidak

berwasiat sebelumnya, dilandasi dengan suatu pemikiran bahwa

penguasa punya kewajiban untuk menjamin hak-hak rakyatnya yang

belum terlaksanakan. Kiranya tidak keliru bila ada yang menyebut

bahwa Ibnu Hazm dianggap sebagai tokoh yang melahirkan konsep

wasiat wājibah.7

7Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam, (Jakarta:

(30)

2. Dasar Hukum

Dasar hukum disyariatkan wasiat adalah kitabullah, sunnah, dan

ijma ulama. Ayat-ayat yang menjelaskan dasar hukum wasiat adalah

firman Allah dalam Al-Quran antara lain sebagai berikut:

حا رضح اذا مكيلع بتك

فورمماب نبرقأا و نيدلولل ةيصولا ارخ كرت نإ توما مكد

نقتما ىلع اقح

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Baqarah 180)8

لدع اوذ نا ثا ةيصولا نح توما مكدحأ رضح اذا مك يب ةدهش او مآ نيذلا اهيأ اي

مكرغ نم نارخآ وا مك م

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu....” (QS: Al-Maidah 106)

Sebagaimana juga dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan

oleh Bukhari dan Muslim yang menjelaskan tentang wasiat ini adalah:

يف يصوي ئيش ل ئرما قح ام ملس و يلع ها ىلص ي لا لاق لاق رمع نبا نع

د ع ةبوتكم تيصو و اإ نتليل تيبي

“Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.”9

Hadis ini menjelaskan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu

8

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya...,27.

(31)

berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu bentuk

kehati-hatian, sebab kemungkinan orang yang berwasiat wafat secara

mendadak.

Sehubungan dengan arti penting dari kedudukan wasiat dalam

hukum keluarga Islam di tengah-tengah keluarga muslim, ini mudah

dimengerti jika beberapa Negara Islam yang memasukkan diktum

“wasiat wājibah” dalam undang-undang kewarisannya, salah satunya

Republik Arab Mesir dengan Undang-Undang No. 71 tahun 1946.10 Wasiat wājibah untuk umat Islam di Indonesia belum diatur

dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan yang ada berada

dalam Kompilasi Hukum Islam yang terbentuk dalam instrumen hukum

berupa Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum

Islam yang mengatur wasiat dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 209,

sedangkan wasiat wājibah berkenaan dengan anak angkat disebutkan

dalam Pasal 209.

Teoretisi hukum Islam (klasik dan kontemporer) -termasuk Ibn

Hazm yang mengatakan wajib- berbeda pendapat dalam menetapkan

hukum wasiat wajib. Jumhur ulama berbendapat bahwa sifatnya hanya

dianjurkan, bukan wajib, dengan tujuan untuk membantu meringankan

orang yang bersangkutan dalam meringankan kesulitan hidup.

Ketentuan wasiat wājibah merupakan hasil ijtihad para ulama

dalam menafsirkan Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 180. Sebagian

10Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo

(32)

ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah tersebut

berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya

wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan

diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wājibah kepada walidain dan

aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan

dilaksanakan.

Menurut pendapat yang berasal dari empat Imam dan para ulama

zaidiyah, hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan

kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makruh, dan

kadang mubah sebagaimana akan dijelaskan berikut:

a. Wasiat hukumnya wajib, jika seseorang menanggung kewajiban

syar’i yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak

diwasiatkannya, seperti zakat.

b. Wasiat hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah atau

diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin

yang salih.

c. Wasiat hukumnya haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.

d. Wasiat hukumnya makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit,

sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli

(33)

e. Wasiat hukumnya mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada

kerabat-kerabat atau tetangga–tetangga yang penghidupan mereka sudah

tidak kekurangan.11

Awalnya wasiat wājibah dilakukan karena terdapat

cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu

daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany

berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang

tidak mendapatkan harta pusaka. Demikian pula pendapat yang

disampaikan oleh Ibnu Hazmin.12

Wasiat wājibah ini harus memenuhi dua syarat. Pertama, yang

wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima

pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.

Kedua, orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum

memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang

diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.

3. Rukun dan Syarat

Rukun wasiat meliputi orang yang berwasiat, orang yang

menerima wasiat (mushalahu), dan sesuatu yang diwasiatkan

(mushabihi).

Syarat orang yang berwasiat adalah berakal sehat, balig, atas

kehendak sendiri, dan harta yang sah/miliknya. Syarat orang yang

11 Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka Hikamah

Perdana, 2005), 227.

(34)

menerima wasiat (mushalahu) adalah jelas identitasnya, harus ada

ketika pembuatan pernyataan wasiat, bukan bertujuan untuk maksiat,

dan bukan pewaris, kecuali diizini keluarga. Syarat sesuatu yang

diwasiatkan (mushabihi) adalah milik pemberi wasiat, sudah berwujud,

dapat dimiliki/pemberi manfaat, dan tidak melebihi 1/3 (sepertiga).

Selanjutnya mengenai rukun dan syarat akan diuraikan berikut:

a. Orang yang Berwasiat

Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah setiap

orang yang memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada

paksaan. Namun mereka berbeda dalam menentukan batas usia,

karena ini erat kaitannya dengan kepemilikannya. Imam Malik

mengatakan wasiat orang bodoh (safih) dan anak- anak yang belum

baligh hukumnya sah. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat

Umar ibn Khattab yang membolehkan wasiat anak yang baru

berumur 9 atau 10 tahun kepada seorang putri pamannya senilai 30

dirham. Imam Hanafi berpendapat bahwa wasiat anak yang belum

baligh hukumnya tidak sah. Imam Syafii mempunyai dua pendapat.

Kaitannya dengan orang kafir, wasiat mereka sah hukumnya,

sepanjang barang yang diwasiatkan tidak diharamkan. Undang-

undang Wasiat Mesir mensyaratkan si pewasiat harus sudah baligh,

berakal sehat dan cerdas.

KHI dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafii

(35)

(1) Orang yang telah berumur sekurang- kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. (2) Harta benda yang di wasiatkan harus merupakan hak dari

pewasiat.

Berdasarkan Pasal tersebut, batasan minimal orang yang boleh

berwasiat adalah orang yang benar-benar telah dewasa secara

undang-undang. Batasan ini berbeda dengan batasan baligh dalam

fikih.

b. Orang yang Menerima Wasiat

Para ulama sepakat bahwa orang- orang atau badan yang

menerima wasiat adalah bukan ahli waris, dan secara hukum dapat

di pandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.

Hal ini sejalan dengan Pasal 171 huruf f dan Pasal 194 ayat (1)

Kompliasi Hukum Islam.

Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwa ia mendengar

Rasulullah SAW, bersabda yang artinya “sesungguhnya Allah telah

memberikan kepada orang yang mempunyai hak akan hak- haknya,

maka tidak sah wasiat kepada ahli waris”. Sebagian ulama menilai

hadis tersebut bertentangan dengan ayat yang menjelaskan bahwa

wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat. Mayoritas ulama

berpendapat bahwa wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris

boleh dilaksanakan tetapi makruh.

Fuqaha Syiah Jakfariyah menyatakan bahwa wasiat kepada

ahli waris yang menerima warisan adalah boleh, kendatipun ahli

(36)

umum (dalalah al-‘am) Al-Quran Surah Al- baqarah: 180. Pendapat

yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila

ahli waris lain menyetujui adalah madzhab syafiiyah, hanafiyah dan

malikiyah.

Masalah ini juga terdapat dalam Pasal 195 KHI yang di

dalamnya juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat. Sayid Sabiq

mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga.

Pertama, tidak ahli waris si pewasiat, kedua, si penerima wasiat

hadir pada waktu wasiat dilaksanakan, dan ketiga, si penerima

tidak melakukan pembunuhan yang diharamkan kepada si

pewasiat.13 Kompilasi Hukum Islam kemudian menegaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya orang yang menerima ditunjuk secara

tegas sebagaimana dalam Pasal 196 Kompilasi Hukum Islam.

Ahli waris yang telah menerima bagian warisan tidak berhak

menerima wasiat, karena telah menerima bagian warisan. Meskipun

demikian, jika ahli waris lainnya menyetujui dapat dilaksanakan.

Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan

dalam Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam:

“Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan

pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa”.

(37)

Pasal 208 KHI lebih lanjut menyebutkan: “Wasiat tidak

berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut”.

Pengaturan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan

dalam pelaksanaan wasiat mengingat orang-orang yang disebut

dalam Pasal 207 sampai dengan Pasal 208 tersebut terlibat

langsung dalam wasiat tersebut. Selain itu, orang yang tidak boleh

menerima wasiat adalah orang atau badan yang telah

mempraktikkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk

kepentingan maksiat.

c. Benda yang Diwasiatkan

Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah

benda-benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan

manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut.

Namun, mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu

benda, sementara bendanya itu sendiri tetap menjadi milik

pemiliknya atau keluarganya.

Sayyid sabiq menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda

atau manfaat, seperti buah dari satu pohon, atau anak dari satu

hewan adalah sah. Ini sejalan dengan pendapat jumhur, menurut

mereka, manfaat dapat dikategorikan sebagai benda, karena itu

wasiat berupa manfaat saja, hukumnya boleh. Kompilasi Hukum

Islam juga menyebutkan pada Pasal 198.

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan

(38)

dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samar. Wasiat bisa

dilakukan dengan tertulis, dan tidak memerlukan jawaban

penerimaan secara langsung.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah penerimaan

orang yang menerima wasiat merupakan syarat syahnya atau tidak.

Imam Malik mengatakan bahwa penerimaan wasiat (qabul)

merupakan syarat sah.

Berbeda dengan Imam Syafii yang berpendapat bahwa qabul

yang menerima wasiat tidak merupakan syarat sah. Abu Hanifah

dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Hasan Al-Syaibani

memandang bahwa qabul dalam wasiat harus ada. Alasannya,

karena wasiat adalah tindakan ikhtiariah dan karena pernyataan

menerima penting adanya. Sebagaimana dimaksud Pasal 195 ayat

(1) KHI bahwa wasiat perlu dibuktikan secara autentik.

4. Batas Maksimal Pemberian

Jika wasiat itu telah cukup rukun dan syarat-syaratnya, maka

wasiat tersebut dilaksanakan setelah meninggal si pewasiat. Sejak itu si

penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat

memanfaatkan dan melakukan transaksi atas harta tersebut menurut

kehendaknya.

Wasiat wājibah dibatasi sepertiga harta dengan syarat bagian

tersebut sama dengan yang seharusnya diterima oleh ashabul furûdl

(39)

berdasarkan penafsiran terhadap kata “al-khair” yang terdapat dalam hartaku ini selain anak perempuanku satu-satunya. Adakah boleh aku

sedekahkan 2/3 dari hartaku itu?” Rasul menjawab: “tidak (jangan) !”,

aku bertanya lagi: “ataukah aku sedekahkan separuhnya?” Rasul

menjawab: “Jangan ! aku bertanya lagi: “adakah aku sedekahkan

sepertiganya?” Rasul menjawab: “sepertiga (saja), dan sepertiga itu sudah cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu itu dalam keadaan kaya, jauh lebih baik daripada engkau tinggalkan ahli warismu itu dalam keadaan fakir yang akan menjadi beban orang lain (apalagi sampah masyarakat)”. (Hadis Riwayat Muttafaq Alaih).14

Asas pembatasan maksimal dalam wasiat yang ditetapkan

hukum Islam bermaksud untuk melindungi ahli waris dari

kemungkinan tidak memperoleh harta warisan karena diwasiatkan si

mati kepada orang lain. Batas maksimal wasiat yang dimaksudkan

adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkan.

Berkenaan dengan wasiat wjibah, Kompilasi Hukum Islam

(KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat

terbina hubungan saling berwasiat sebagaimana disebutkan dalam Pasal

(40)

209:

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wājibah diberi wasiat wājibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.15

Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak

akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam

Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta merta dianggap

telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wājibah)

maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak

angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya,

dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum

dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka

wasiat wājibah harus ditunaikan terlebih dahulu.

Ketentuan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di

dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku di

berbagai dunia Islam kontemporer. Al-Quran menolak penyamaan

hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam

adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena ada hubungan pertalian

darah. Sementara dalam masyarakat muslim Indonesia sering terjadi

adanya pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam

perkawinannya tidak dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang

15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 1992),

(41)

biasanya dikukuhkan dengan aturan adat ini, sering menimbulkan

kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak jarang adanya tuduhan

tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia. Dalam hubungan

pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh

harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat

atau tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh

warisan (menurut fiqh) namun sebaliknya sebagian orang tua angkat

menempuh dengan cara hibah, yang kadang-kadang juga tidak mulus

karena sesudah hibah dilakukan terjadi pertengkaran dan ketidakakuran

antara anak dengan orang tua angkat tersebut.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan

tersendiri mengenai konsep wasiat wājibah ini hanya kepada anak

angkat dan orang tua angkat saja. Dalam Pasal 209 KHI disebutkan

bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176

sampai dengan Pasal 193 KHI, terhadap orang tua angkat yang tidak

menerima wasiat diberikan wasiat wājibah sebanyak sepertiga dari

harta warisan anak angkatnya. Bagi anak angkat yang tidak menerima

wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta

warisan orang tua angkatnya. Berbeda dengan konsep wasiat wājibah

yang diatur dalam fiqih yang memberlakukan wasiat wājibah hanya

bagi orang yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris.

Berdasarkan uraian tersebut, wasiat wājibah adalah suatu wasiat

yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak

(42)

suatu halangan syarak. Wasiat wājibah juga dapat diartikan sebagai

suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga

terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warisan karena ibu

atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka

meninggal atau meninggal bersamaan. Hal ini disebabkan berdasarkan

hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan

kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu

tersebut.

Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang

terjadi di tengah masyarakat, maka diberlakukan peraturan mengenai

hukum wasiat wājibah karena hubungan pengangkatan anak

dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar

hukum bagi umat Islam di Indonesia.

B. Kewarisan Islam

1. Pengertian

Kata “waris” berasal dari bahasa Arab al-irts (ثرإا) atau

al-mirats (ثاريملا), secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta

orang yang sudah meninggal (mayit). Secara etomoligis (lughawi),

waris mengandung arti berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang

meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang

(43)

milik legal secara syar’i.16

Pengertian hukum kewarisan dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi

Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing.

Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk

menamakan hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fiqih mawaris, dan

hukum al-mawaris. Menurut Mahally, lafaz faraid merupakan jamak

(bentuk umum) dari lafaz faridah yang mengandung arti mafrudah, yang

sama artinya dengan muqadarah yaitu sesuatu yang ditetapkan

bagiananya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang

terdapat dalam al-Quran, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan

dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu hukum ini

dinamakan dengan faraid. Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid

berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur

dalam al-Quran dan al-Hadits. Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak

dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia

terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang

telah ditetapkan.17

16 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2011), 17.

(44)

2. Asas-asas Kewarisan Islam

Dalam kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang

dianut dalam pelaksanaan kewarisan, antara lain yaitu18:

a. Asas ijbari, yang menyatakan bahwa peralihan harta dari pewaris

kepada ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan

yang dibuat Allah tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau

ahli waris. Oleh karena asas ini maka secara langsung tiap ahli

waris diwajibkan menerima peralihan harta peninggalan pewaris

sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditetapkan.

b. Asas bilateral, yang menyatakan bahwa ahli waris yang menerima

harta peninggalan pewaris adalah keturunan laki-laki maupun

perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki bagian

masing-masing dari harta peninggalan pewaris.

c. Asas individual, yaitu harta peninggalan pewaris dibagikan kepada

ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing bagian

ahli waris adalah kepunyaannya secara perorangan.

d. Asas keadilan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban

antarahli waris serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan

yang diperoleh dari harta peninggalan pewaris.

Dalam Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Peradilan untuk lingkungan Peradilan Agama ditambahkan

asas kewarisan Islam yaitu asas egaliter, maksudnya kerabat karena

18 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: t.t.p., 1998), 281 – 289.

(45)

hubungan darah yang memeluk agama selain Islam mendapat wasiat

wājibah maksimal 1/3 bagian, dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris

yang sederajat dengannya.19

3. Rukun dan Syarat

Rukun kewarisan ada tiga, yaitu pewaris, ahli waris, dan

warisan. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, yang hartanya

diwarisi oleh ahli warisnya.20 Pengertian pewaris dalam Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada saat meninggalnya

atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan,

beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Ahli waris adalah orang yang mendapatkan warisan dari

pewaris, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena

perkawinan21. Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang

meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian warisan

dibedakan menjadi harta peninggalan dan harta warisan. Harta

19 Mahkamah Agung RI, Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi

Peradilan, (Jakarta: t.t.p., 2014), 161.

20 Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 1999), 9.

(46)

Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang

berupa harta benda miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan harta

warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama

setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang

dan pemberian untuk kerabat.

Syarat yang harus dipenuhi dalam waris adalah meninggalnya

pewaris baik secara hakiki maupun secara hukum, adanya ahli waris

yang hidup, dan seluruh ahli waris diketahui secara past termasuk

jumlah bagian masing-masing.

4. Penghalang Mewarisi

Dalam Pasal 171 huruf c KHI disebutkan bahwa ahli waris

adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Halangan untuk mendapatkan kewarisan disebut juga dengan

mawani’al-Irs yaitu hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak waris

untuk menerima harta warisan dari harta peninggalan muwarri>s. Para

ulama’ sepakat hal-hal yang dapat menjadi penghalang seseorang untuk

mendapatkan warisan itu ada tiga, yaitu:22

22 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia , (Jakarta: Kencana, 2006),

(47)

a. Pembunuhan, para ulama’ bersepakat bahwa suatu pembunuhan

yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada

prinsipnya menjadi penghalang untuk mewarisi harta warisan

pewaris yang dibunuhnya. Hanya ulama’ dari golongan khawarij

saja yang membolehkannya. Dasar hukum terhalangnya mewarisi

karena pembunuhan adalah hadist Rasulullah SAW yang artinya

sebagai berikut : “Tidak ada hak sedikitpun bagi pembunuh untuk

mewarisi”. Sedangkan ijma’ para sahabat adalah ketika Umar

r.a.pernah memutuskan untuk tidak memberikan Diyah Ibnu

Qatadah kepada saudaranya, bukan kepada bapaknya yang telah

dia bunuh. Sebab, kalau diberikan kepada ayahnya tentu ia

menuntut sebagian ahli waris. Meskipun begitu, para ulama’

masih berselisih faham tentang jenis pembunuhan yang menjadi

penghalang untuk menerima waris.

b. Perbudakan, perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi

berdasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki

kecakapan untuk bertindak. Para fuqaha telah sepakat

menetapkan perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi

penghalang waris-mewaris. Hal ini berdasarkan adanya petunjuk

dari firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 75 yang artinya

sebagai berikut:“Allah membuat perumpamaan dengan seorang

hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat berbuat terhadap

sesuatupun. mafhum ayat itu menjelaskan bahwa budak itu tidak

(48)

Dalam soal waris-mewarisi terjadi di satu pihak yang lain

menerima hak milik kebendaan.

c. Berbeda agama, perbedaan agama antara pewaris dengan ahli

waris merupakan salah satu penghalang kewarisan. Orang muslim

tidak mengambil pusaka dari orang kafir, begitu pula

sebaliknya.23 Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah SAW

yang artinya: ”orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir,

dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”.

Oleh karena perbedaan agama menjadi penghalang untuk

mendapatkan warisan, maka apabila terjadi pemurtadan (keluar

dari agama Islam) dalam sebuah keluarga, misalnya anak

memeluk agama lain, ia tidak berhak menerima pusaka dari

ayahnya yang muslim, karena keyakinan yang berbeda tersebut

sekalipun sebelum pembagian harta warisan dibagikan ia (anak

itu) kembali kepada agama Islam. Tetapi seorang ulama’

kontemporer yang bernama Yusuf al-Qardawi menjelaskan dalam

bukunya Hadyu al - Islam fatawi Mu’a’sirah bahwa orang Islam

dapat mewarisi orang kafir sedangkan orang kafir itu sendiri tidak

dapat mewarisi orang muslim, menurutnya Islam tidak

menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat

bagi kepentingan umat. Terlebih lagi dengan harta warisan yang

23

(49)

dapat membantu mentauhidkan Allah dan menegakkan

agama-Nya.24

24 al-Qard}awi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terj, Hadyu al - Islam fatawi Mu’a’sirah, Jilid ke-3,

(50)

AGAMA MAKASSAR

Kedudukan Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara

sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat

Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 dan merupakan lembaga

peradilantertinggi dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan

tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

Sejak Amandemen Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi

menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya

Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2

(dua) yaitu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan

peradilan. Implementasi wasiat wājibah terhadap ahli waris non-muslim dalam

putusan hakim di lingkungan peradilan agama ini memaparkan implementasi

wasiat wājibah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/AG/2010

dengan memaparkan pula hasil penelurusan perkara dalam proses peradilan di

pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pengadilan tingkat

pertama dalam perkara ini adalah Pengadilan Agama Makassar dan pengadilan

tingkat bandingya adalah Pengadilan Tinggi Agama Makassar.1

Pemaparan implementasi ini diawali dengan kasus posisi meliputi kasus

posisi gugatan waris, putusan pengadilan tingkat pertama, putusan pengadilan

tingkat banding.

1

(51)

A. Kasus Posisi

1. Kasus Posisi Gugatan Waris

Gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama Makasar yang terdaftar

pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Makasar dalam register perkara

Nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks. Gugatan waris diajukan oleh Ibu kandung

dan para saudara kandung pewaris dengan mendudukkan istri pewaris

sebagai Tergugat. Kasus posisi gugatan waris tersebut pada pokoknya

sebagai berikut:

a. Pewaris beragama Islam bernama Muhammad Armaya bin Renreng,

meninggal dunia pada 22 Mei 2008, meninggalkan seorang istri bernama

Evie Lany Mosinta, beragama Kristen, dan tidak dikaruniai anak.

b. Karena istri beragam Kristen, maka para Penggugat mendalilkan bahwa

ahli waris Muhammad Armaya bin Renreng adalah para Penggugat, yaitu

ibu kandung (Halimah Daeng Baji) dan 4 saudara kandung (Murnihati

binti Renreng, Muliyahati binti Renreng, Djelitahati binti Renreng, dan

Arsal bin Renreng).

c. Pewaris meninggalkan harta yang diperoleh dalam perkawinan dengan

Evie Lany Mosinta, berupa harta tidak bergerak maupun harta bergerak.

Hara tidak bergerak berupa 2 (dua) unit bangunan rumah beserta

tanahnya, sedangkan harta bergerak berupa 1 (satu) unit sepeda motor

dan uang asuransi sejumlah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang

telah diterima oleh Evie Lany Mosinta (Tergugat).

d. Para Penggugat mendalilkan bahwa separuh harta tersebut merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu faktor kondisi geografis yang kurang menguntungkan tersebut pada gilirannya merupakan faktor yang dapat mendorong peningkatan mutu sarana transportasi,

Pada bagian bab ini Membahas mengenai Gambaran secara umum perpustakaan SDIT LHI Yogyakarta, Sejarah Singkat, Visi dan Misi Perpustakaan, Fungsi Perpustakaan,

Bila DPJP yang !e!eriksa pasien !ene!ukan kasus di luar keahliannya !aka yang  bersangkutan !e!buat surat konsul alih rawat (!enuliskan kelengkapan data  pasien$ hasil

Hubungan kolerasi antara kegiatan empat atribut green city yang terdiri atas kegiatan penanaman pohon, luas RTH, jumlah pengguna sepeda, panjang jalur sepeda,

While holistic evaluation is based on rating the overall performance in learners’ speech or writing, analytic evaluation is done by scoring the language productions in terms of

Penetapan capaian standar kompetensi keperawatan di RS Aisyiyyah Muntilan berdasarkan Area pelayanan keperawatan dari berbagai level jenjang perawat klinik terendah sampai ke

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian estrogen peroral, berenang, dan kombinasi keduanya terhadap peningkatan osteoblast pada epiphysis tulang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir