LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010)
SKRIPSI
Oleh
Ahmad Fadli Amri NIM. C01209121
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Implementasi Hukum Islam Terhadap Ahli Waris Non-Muslim Dalam Putusan Hakim di Peradilan Agama Makassar (Studi Putusan Nomor 732 /Pdt.G/2008/PA.Mks.)” tentang kewarisan beda agama yang bertujuan untuk menjawab apa dasar pertimbangan hakim dalam pembagian waris beda agama dan apa tinjauan hukum Islam dalam waris beda agama.
Data penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pola fikir deduktif yakni menjelaskan secara umum selanjutnya penulis menganalisis tentang dasar-dasar hukum dan aturan-aturan tentang pembagian harta waris dalam kawin beda agama.
Keputusan hakim dalam memberikan harta waris kepada ahli waris non muslim menggunakan dasar pertimbangan bahwa tergugat telah lama mengabdikan hidupnya bersama pewaris.
Hasil analisis menyebutkan bahwa keputusan hakim yang menggunakan pendapat Yusuf al-Qaradawi yang memperbolehkan seorang muslim mendapatkan waris dari non muslim sangatlah tidak tepat jika menggunakan pendapat tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara tersebut.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama
sebagaimana ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Namun,
pengaturan hukum material mengenai wasiat dalam peraturan
perundang-undangan belum ditemukan.
Pengaturan wasiat yang ada sementara ini hanya terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang termuat dalam instrumen hukum berupa
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Pengaturan wasiat dalam Pasal 194
sampai dengan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dipandang sebagai hukum
material dan diberlakukan di pengadilan dalam Pengadilan Agama
Makassar.1 Pengaturan wasiat dalam KHI mencakup juga wasiat wājibah yang merupakan hal baru dalam khasanah hukum Islam di Indonesia.
Pengaturan wasiat wājibah terdapat dalam Pasal 209: 2
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;
1 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 148.
2 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia,
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Pengaturan wasiat wājibah dalam Kompilasi Hukum Islam sangat
terbatas berkenaan dengan anak angkat. Pengaturan wasiat wājibah dalam
KHI hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang tidak menerima wasiat
dengan bagian maksimal 1/3 harta warisan orang tua angkatnya atau
sebaliknya orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wājibah maksimal 1/3 harta warisan anak angkatnya. Kompilasi Hukum
Islam tidak memberikan definisi dalam Ketentuan Umum tentang wasiat
wājibah tersebut. Wasiat wājibah secara tersirat mengandung unsur-unsur
yang dinyatakan dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 3
1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau
sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
2. Pewaris tidak memberikan atau menyatakan kepada penerima wasiat,
akan tetapi pemberian itu dilakukan oleh Negara.
3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh
melebihi 1/3 (sepertiga) hartawarisan.
Wasiat wājibah dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul
untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya
dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di
negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah,
lembaga wasiat wājibah digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari anak/anak-anak
pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga
wasiat wājibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk
mengakomodasi lembaga māwalī atau penggantian tempat4.
Konsep “wasiat wājibah” diinspirasikan dari pendapat Ibn Hazm,
yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa penguasa wajib mengeluarkan
sebagian dari peninggalan seseorang yang meninggal dunia sebagai wasiat
darinya meskipun ia tidak berwasiat sebelumnya, dilandasi dengan suatu
pemikiran bahwa penguasa punya kewajiban untuk menjamin hak-hak
rakyatnya yang belum terlaksanakan. Kiranya tidak keliru bila ada yang
menyebut bahwa Ibnu Hazm dianggap sebagai tokoh yang melahirkan
konsep wasiat wājibah.5
Dasar hukum yang disyariatkan wasiat adalah kitabullah, sunnah, dan
ijma ulama. Ayat-ayat yang menjelaskan dasar hukum wasiat adalah firman
Allah dalam Al-Quran antara lain sebagai berikut:
ا و نيدلولل ةيصولا ارخ كرت نإ توما مكدحا رضح اذا مكيلع بتك
اقح فورمماب نبرقأ
يقتما ىلع
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 108)6
Sebagaimana juga dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim yang menjelaskan tentang wasiat ini adalah:
4 Ibid., 78.
5 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam, Cet. 1,
(Jakarta: Kencana, 2008), 79.
6
نتليل تيبي يف يصوي ئيش ل ئرما قح ام ملس و يلع ها ىلص ي لا لاق لاق رمع نبا نع
د ع ةبوتكم تيصو و اإ
“Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.”7
Secara teoretis, wasiat wājibah didefiniskan sebagai tindakan yang
dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.8 Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wājibah dan berbeda
pengaturannya dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang lain.
Konsep KHI adalah memberikan wasiat wājibah terbatas pada anak angkat
dan orang tua angkat.
Jika ditelusuri latar belakang penyusunan KHI, dapat diperoleh
beberapa alasan tentang penetapan wasiat wājibah terbatas pada anak dan
orang tua angkat, yaitu pertama, para ulama Indonesia belum dapat
menerima konsep anak angkat sebagai ahli waris sebagaimana berlaku dalam
hukum adat. Kedua, pelembagaan ahli waris pengganti terhadap cucu yang
ditinggal meninggal lebih dahulu oleh orang tuanya, dipandang lebih adil dan
lebih berperikemanusiaan bagi masyarakat Indonesia.9
7 Bukhârî, Al-Bukhârî, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 149.
8 Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya Dalam
Konteks Kewenangan Peradilan Agama”, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 38,
(Tahun IX, 1998), 23.
Wasiat wājibah secara normatif diberlakukan untuk anak angkat dan
orang tua angkatnya, akan tetapi putusan hakim di Pengadilan Agama
Makassar ternyata mengimplementasikan wasiat wājibah tidak hanya
terbatas antara anak angkat dan orang tua angkatnya secara timbal balik,
melainkan juga diimplementasikan terhadap ahli waris yang terhalang
menerima warisan karena perbedaan agama atau ahli waris non-muslim.
Dalam hukum waris Islam, faktor perbedaan agama merupakan
penghalang bagi seorang ahli waris untuk menjadi ahli waris. Kompilasi
Hukum Islam memberikan batasan ahli waris dalam Pasal 171 huruf c bahwa
ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Berdasarkan
batasan tersebut dapat diketahui bahwa apabila seorang yang secara nasab
merupakan ahli waris, namun pada saat yang sama yang bersangkutan tidak
beragama Islam, maka dia tidak termasuk sebagai ahli waris dan tidak
mendapat bagian warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Demikian dalam
pandangan Hukum Islam pemberian harta warisan beda agama melalui
wasiat wājibah tidak diperbolehkan, akan tetapi dalam perkembangan
implementasi putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar tidak
berdasarkan pada ketentuan tersebut.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, putusan hakim di
Pengadilan Agama Makassar khususnya Putusan Nomor
732/Pdt.G/2008/PA.Mks akan menimbulkan problem, baik problem yuridis,
Secara yuridis, norma dalam hukum kewarisan Islam telah mengatur
bahwa ahli waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris. Hakim di
Pengadilan Agama Makassar adalah hakim yang menegakkan hukum Islam,
artinya putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam. Putusan hakim di Pengadilan Agama
Makassar yang memberi bagian warisan melalui wasiat wājibah kepada ahli
waris non-muslim bertentangan dengan norma hukum kewarisan Islam.
Secara filosofis, ketaatan masyarakat muslim untuk menerapkan
hukum Islam dalam bidang kewarisan Islam merupakan kesadaran untuk
menjalankan perintah agama yang selama ini diyakininya. Putusan hakim di
Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian warisan melalui wasiat
wajibah kepada ahli waris non-muslim tidak mencerminkan untuk
menegakkan kesadaran dan nilai-nilai yang diyakini masyarakat muslim.
Secara sosiologis, norma dalam hukum kewarisan Islam yang
mengatur bahwa ahli waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris
sudah dipahami oleh masing-masing invidu muslim dan masyarakat muslim
umumnya. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi
bagian warisan melalui wasiat wajibah akan membuka celah timbulnya
perselisihan atau sengketa dalam keluarga dan masyarakat muslim.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, urgen dilakukan
penelitian untuk mengetahui dasar pertimbangan putusan hakim di
Pengadilan Agama Makassar yang memberikan wasiat wājibah terhadap ahli
waris non-muslim. Selanjutnya urgen pula untuk mengetahui pertimbangan
Penelitian skripsi ini diberi judul “Implementasi Hukum Islam
Terhadap Ahli Waris Non-Muslim Dalam Putusan Hakim di Peradilan
Agama Makassar (Studi Putusan Nomor 732 /Pdt.G/2008/PA.Mks.)”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berkenaan dengan identifikasi masalah, Nana Sudjana mengemukakan
bahwa identifikasi masalah menjelaskan aspek-aspek masalah yang bisa
muncul dari tema atau judul yang dipilih dan merupakan pengungkapan
berbagai masalah yang akan timbul dan diteliti lebih lanjut.10 Identifikasi masalah merupakan deskripsi mengenai ruang lingkup masalah yang
dirumuskan.
Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dari uraian latar belakang
masalah tersebut sebagai berikut:
1. Secara normatif, hukum kewarisan Islam telah mengatur bahwa ahli
waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris sehingga putusan
hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian warisan
melalui wasiat wājibah kepada ahli waris non-muslim bertentangan
dengan norma hukum kewarisan Islam.
2. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian
warisan melalui wasiat wājibah kepada ahli waris non-muslim tidak
mencerminkan nilai-nilai dan kesadaran yang diyakini masyarakat
muslim.
3. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian
warisan melalui wasiat wājibah akan memicu timbulnya perselisihan
atau sengketa dalam keluarga dan masyarakat muslim.
4. Putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar yang memberi bagian
warisan melalui wasiat wājibah mengabaikan ketentuan kadar pemberian
wasiat wājibah maksimal 1/3 (sepertiga) harta warisan.
Pembatasan masalah diperlukan untuk membatasi ruang lingkup
penelitian karena keterbatasan waktu, dana, dan tenaga. Agar penelitian ini
lebih fokus, maka batasan masalah penelitian ini yaitu:
1. Dasar pertimbangan putusan hakim Peradilan Agama Makassar yang
memberikan wasiat wājibah terhadap ahli waris non-muslim.
2. Tinjauan Hukum Islam dalam pertimbangan Hakim terhadap putusan
nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut dapatdirumuskan
masalah yang akan dijawab melalui penelitian skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar pertimbangan putusan hakim Peradilan Agama
Makassar yang memberikan wasiat wājibah terhadap ahli waris
non-muslim?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dalam pertimbangan Hakim terhadap
putusan nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks.?
D. Kajian Pustaka
Pembahasan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah “Implementasi
Peradilan Agama Makassar (Studi Putusan Nomor 732
/Pdt.G/2008/PA.Mks.”. Banyak peneliti yang membahas topik mengenai
wasiat wājibah, antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Analisis hukum Islam terhadap Putusan
Mahkamah Agung No:16K/AG/2010 tentang Pembagian Waris Beda
Agama” ini merupakan hasil penelitian pustaka yang bertujuan untuk
menjawab pertanyaan tentang apa dasar pertimbangan majlis hakim
mahkamah Agung dalam menetapkan putusan No: 16K/AG/2010 dan
bagaimana analisis hukum terhadap dasar pertimbangan majelis hakim
mahkamah agung tentang pembagian harta waris dalam perkawinan beda
agama. Hasil analisis menyebutkan bahwa majelis hakim mahkamah
agung menggunakan pendapat Yusuf al-Qarad}awi yang
memperbolehkannya seorang muslim mendapatkan waris dari non
muslim, akan tetapi majlis hakim mahkamah agung sebaliknya, memberi
waris kepada non muslim dan itu tidak sesuai dengan syariat Islam.11
2. Dalam skripsi yang berjudul‚ Analisis Yuridis Terhadap Penetapan
Pengadilan Agama Surabaya No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby. Tentang
Permohonan Penetapan Ahli Waris Beda Agama. Penelitian ini bertujuan
untuk menjawab tentang bagaimana pertimbangan hukum dan dasar
hukum hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam menetapkan ahli waris
beda agama, serta bagaimana analisisnya.Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa pertimbangan hukum hakim pengadilan agama surabaya dalam
perkara No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby. Tentang Penetapan Ahli Waris Beda
11
Agama adalah menggunakan pendapat para Ulama klasik sebagai
legitimasi keputusannya, Selain itu juga memenuhi pertimbangan secara
yuridis historis dan sosiologis melatar belakangi putusan penetapan
pemohon I yang beragama selain Islam untuk mendapatkan harta warisan
dari pewaris yang beragama Islam dengan konsep wasiat wajibah. Dan
Dasar hukum hakim adalah Yurispudensi Mahkamah Agung Nomor:
368K/AG/1995,Nomor 51K/Ag/1995 dan Kompilasi Hukum Islam pasal
172 dan Pasal 209.Dari penelitian seharusnya hakim dalam isi penetapan
No: 262/Pdt.P/2010/PA.Sby. Tentang penetapan ahli waris beda agama
memperjelaskan pertimbangan hukum dan dasar hukumnya secara rinci,
agar tidak terjadi kesalah fahaman. Untuk memperjelas kepastian hukum
dalam KHI, tidak ada salahnya melakukan kajian ulang dengan tujuan
menyempurnakan isi dari KHI. Karena menurut penulis dari perkara yang
penulis angkat ini KHI tidak menjelaskan secara rinci syarat sahnya
wasiat. Seperti halnya apakah hubungan seagama merupakan syarat sah
atau bukan.12
3. Dalam skripsi yang berjudul Problematika Ahli Waris Dalam Kompilasi
Hukum Islam oleh Imas Masturoh yang diajukan kepada Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
menyatakan bahwa, apabila diteliti apakah KHI sudah mengakomodir
semua peraturan tentang kewarisan seperti yang diharapkan masyarakat,
maka jawabannya adalah KHI belum sepenuhnya memenuhi harapan
tersebut. Masih banyak hal yang belum dibahas dalam KHI. Kalaupun
12
sudah dibahas, hal tersebut acap kali belum tuntas, sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran yang berakibat pada munculnya
kebingungan, padahal salah satu maksud disusunnya KHI adalah untuk
tercapainya kepastian hukum.Bahwa KHI tidak memberikan alasan
penjelas tentang jumlah ahli waris yang cenderung lebih sedikit dibanding
kitab-kitab hukum waris yang ada. Problematika ahli waris pengganti
dalam KHI, adalah berawal dari substansi ajaran fiqh yang tidak mengenal
istilah ahli waris karena penggantian. Mengenai problematika tentang
wasiat wājibah di dalam KHI kontroversi yang ditimbulkan disebabkan
oleh dua hal yaitu definisi secara konseptual wasiat wājibah itu sendiri.,
realitasnya di dalam ilmu hukum Islam dan mengenai pembahasan
landasan dasar adanya wasiat wājibah dalam KHI yaitu mengenai
eksistensi anak angkat dan orang tua angkat, yang dalam persoalan
hukum anak angkat dan orang tua angkat hal mewarisnya masih
diperdebatkan.13
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini
bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan putusan hakim di Peradilan
Agama Makassar dalam memberikan hak kepada ahli waris non muslim
untuk mendapat bagian harta warisan melalui wasiat wājibah.
13
2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dalam pemberian wasiat
wājibah terhadap ahli waris non muslim dalam putusan hakim di
Peradilan Agama Makassar.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Kegunaan teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
menambah wawasan yang bermanfaat bagi pengembangan hukum
positif dan Hukum Islam di bidang kewarisan terutama berkenaan
dengan wasiat wājibah yang tidak terbatas pada hubungan antara anak
angkat dan orang tua angkat. Penelitian ini diharapkan pula dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum kewarisan terutama
yang diberikan melalui wasiat wājibah.
2. Kegunaan praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya mengenai
wasiat wājibah guna mewujudkan norma sebagai dasar hukum
implementasi wasiat wājibah yang berkeadilan dan berkepastian
hukum.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi legal practice
bagi hakim di Pengadilan Agama Makassar dalam memutuskan
perkara waris tertutama yang di dalamnya perlu menggunakan
c. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan masyarakat
dalam menyelesaikan kasus-kasus kewarisan yang di dalamnya perlu
diselesaikan dengan wasiat wājibah baik yang ditempuh melalui
proses litigasi maupun non litigasi.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional ini akan memberikan eksplanasi atas judul yang
dipilih dalam skripsi agar terjadi kesamaan pemahaman. Batasan atau
definisi operasional berkenaan dengan judul akan diuraikan berikut:
1. Implementasi Hukum Islam: dalam penulisan ini yang dimaksud adalah
penerapan hukum Islam dalam pemberian wasiat wajibah.
2. Wasiat wājibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa
untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu. Wasiat wājibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari
orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.
3. Pengertian “ahli waris non-muslim” adalah ahli waris yang beragama
selain Islam. Hal berkenaan dengan hukum waris Islam bahwa faktor
perbedaan agama merupakan penghalang bagi seorang ahli waris untuk
menjadi ahli waris.
H. Metode Penelitian
penelitian hukum berpijak pada hakikat ilmu hukum yang objeknya adalah
norma.Penelitian hukum adalah meniliti norma hukum sehingga penelitian
hukum ini bersifat normatif atau disebut juga yuridis normatif. Esensi norma
adalah memberi pedoman bagi orang untuk berperilaku agar tata hidup
menjadi tertib. Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini, adalah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data penetapan hakim Pengadilan
Agama Makassar dan penetapan hakim di Mahkamah Agung. Alasan majelis
hakim dalam menetapkan pembagian harta waris dalam kawin beda agama.
Dasar pertimbangan yang digunakan majelis hakim dalam menetapkan
pembagian harta waris dalam kewarisan beda agama.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dandata sekunder.
a. Sumber primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas, terdiri atas peraturan
perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, atau putusan pengadilan.14 Wawancara dengan hakim.
b. Sumber sekunder
14
Data sekunder dalam penilitian ini adalah pustaka yang berisikan
informasi tentang bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
mencakup segala literatur, jurnal, makalah yang berkaitan dengan
hukum Islam dan hukum perdata khususnya yang berhubungan dengan
hukum wasiat wājibah dalam kewarisan, diantaranya:
1) Ketentuan-ketentuan KHI tentang waris
2) Undang-undang no 3 tahun 2006 pasal 49 tentang peradilan agama
3) M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara
Peradilan Agama, Jurnal Badilag.net‚ perlakuan waris islam non
muslim ‛ oleh: Lanka asmar,S.H.i, M.H.
4) Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat
menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan pengumpulan
data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data yang
dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap
muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan. Apabila wawancara bertujuan untuk mendapat
keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu yang
penulis mewawancarai beberapa hakim untuk memperoleh informasi
dan tentang pertimbangan hukum yang digunakan dalam perkara
kewarisan beda agama.
b. Studi dokumen
Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk
memperoleh data dari buku dan bahan bacaan mengenai penelitian
yang pernah dilakukan. Studi dokumen ini adalah salah satu cara
pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelusuran guna
mendapatkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah yang
akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu menelusuri bahan-bahan
hukum yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan putusan
hakim dalam perkara waris terutama berkenaan dengan wasiat wājibah.
Rumusan masalah pertama mengenai dasar pertimbangan putusan
hakim memberikan hak kepada ahli waris non-muslim untuk mendapat
bagian harta warisan melalui wasiat wājibah dalam perkara waris.
Rumusan masalah kedua mengenai kadar bagian pemberian harta
warisan kepada ahliwaris non-muslim melalui wasiat wājibah dalam
putusan hakim di Pengadilan Agama Makassar.
4. Teknik Pengolahan Data
Bahan hukum yang diperoleh dicatat, diedit, dipelajari, diambil
intisarinya. Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan,
bahan hukum dilakukan dengan menyeleksi bahan-bahan hukum yang ada
dengan pemilihan dan pemilahan sesuai kebutuhan untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian.15 5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang
digunakan dala penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, dimana
penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara
obyektif.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penulis dalam hal
ini ingin memberikan pemaparan, penjelasan, serta uraian dari data yang
diperoleh kemudian disusun dan dianalisis untuk diambil sebuah
kesimpulan dengan menggunakan pola pikir deduktif. Deduktif ialah pola
berfikir dengan menggunakan analisa yang berpijak dari fakta-fakta umum,
kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan masalah khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Susunan bab
berikut gambaran materi yang ditulis pada masing-masing bab tersebut
secara sistematis akan dikemukakan berikut.
Bab pertama merupakan pendahuluan yangberisi tentang latar
belakang masalah yang menguraikan adanya fakta hukum sebagai alasan
yang urgen dilakukan penelitian. Berdasarkan uraian latar belakang
dilakukan identifikasi dan batasan masalah serta masalah yang akan
15
diteliti dan dibahas, berikut kajian pustaka, tujuan penelitian,kegunaan
hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian. Uraian bab ini
dilanjutkan dengan menjelaskan sitematika penulisan.
Pada bab kedua, Tinjauan Wasiat Wājibah dan Kewarisan Islam.
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang diharapkan dapat mendukung
upaya untuk melakukan analisis guna menjawab masalah yang telah
dirumuskan. Subbahasan dalam bab ini meliputi wasiat wājibah dan
Kewarisan Islam. Subbahasan wasiat wājibah meliputi pengertian, dasar
hukum, rukun dan syarat, dan batas maksimal pemberian. Subbahasan
kewarisan Islam meliputi pengertian waris, asas-asas kewarisan Islam,
rukun dan syarat, dan orang yang terhalang menjadi ahli waris.
Pada bab ketiga, Deskripsi putusan nomor
732/Pdt.G/2008/PA.Mks. Bab ini merupakan hasil penelitian terhadap
putusan-putusan hakim di Peradilan Agama. Untuk membahas hasil
penelitian terlebih dahulu perlu dijelaskan mengenai peradilan agama yaitu
pengertian, dasar hukum, dan kompetensi.
Pada bab keempat, Pertimbangan Hakim dalam putusan nomor
732/Pdt.G/2008/PA.Mks dalam perspektif Hukum Islam. Bab ini
merupakan analisis hasil penelitian untuk menjawab rumusan masalah
penelitian ini.
Pada bab kelima, Penutup. Bab terakhir ini berisi simpulan dan
saran. Simpulan adalah jawaban ringkas atas rumusan masalah yang
diajukan dan telah dianalisis pada Bab IV. Berdasarkan simpulan hasil
penelitian skripsi ini berkenaan dengan implementasi wasiat wajibag
terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan
BAB II
TINJAUAN WASIAT W JIBAH DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM,
A. Wasiat Wājibah
1. Pengertian
Kata wasiat diambil dari kata (ةّيصو– يّصوي–ىّصو) yang berarti
menyampaikan kepada atau berwasiat. Secara terminologis, wasiat
adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang,
piutang mapun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
setelah orang yang berwasiat wafat. Sebagian ahli fiqih mendefinisikan
wasiat sebagai pemberian hak kepemilikan secara sukarela yang
dilakukan setelah ia wafat.1
Wasiat wājibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat
memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam
keadaan tertentu. Wasiat wājibah adalah suatu wasiat yang
diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh
bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syarak.2 Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris, mendefenisikan wasiat wājibah adalah wasiat yang pelaksanaannya
tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau
kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) 46.
2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,
diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak
dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat
tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau
ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada
alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus
dilaksanakan.3
Wasiat wājibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian
yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang
terhalang dari menerima harta warsian karena ibu atau ayah mereka
meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal
bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari
mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli
waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.4
Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah
pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat
meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau
tabarruk. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan
dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam
dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan
seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki
sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela
tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi
3 Suparman Usman, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 163.
4 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafii, Hazairin dan KHI, (Pontianak:
kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut5.
Dalam Undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wājibah
diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah
meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian
harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau
terhijab oleh ahli waris lain.6 Pengertian wasiat dalam Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Akan tetapi, pengertian
wasiat wājibah tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam
tersebut.
Keberadaan wasiat dalam sistem hukum keluarga Islam,
terutama dihubungkan dengan hukum kewarisan tentu memiliki
kedudukan yang sangat penting. Urgensi wasiat semakin terasa
keberadaannya dalam rangka mengawal dan menjamin kesejahteraan
keluarga atau bahkan masyarakat.
Dengan hukum waris, ahli waris terutama dzawil furûdl
terlindungi bagian warisnya, sementara dengan wasiat, ahli waris di
luar dzawil furûdl, khususnya dzawil arhâm dan bahkan di luar itu
sangat dimungkinkan mendapatkan bagian dari harta si mayit. Kecuali
itu, melalui wasiat, hak pribadi (perdata) seseorang untuk menyalurkan
sebagian hartanya kepada orang (pihak) lain yang dia inginkan, tidak
5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), 523.
menjadi terhalang meskipun berbarengan dengan itu dia harus
merelakan bagian harta yang lainnya untuk diberikan kepada ahli waris
yang telah ditentukan Allah SWT.
Wasiat wājibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada
para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta
warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syarak.
Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-Islam,
karena perbedaan agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk
menerima warisan; atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan
disebabkan terhalang oleh keberadaan paman mereka, anak angkat
yang tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan keberadaannya sangat
berarti bagi si mayit. Konsep “wasiat wājibah” diinspirasikan dari
pendapat Ibn Hazm, yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa
penguasa wajib mengeluarkan sebagian dari peninggalan seseorang
yang meninggal dunia sebagai wasiat darinya meskipun ia tidak
berwasiat sebelumnya, dilandasi dengan suatu pemikiran bahwa
penguasa punya kewajiban untuk menjamin hak-hak rakyatnya yang
belum terlaksanakan. Kiranya tidak keliru bila ada yang menyebut
bahwa Ibnu Hazm dianggap sebagai tokoh yang melahirkan konsep
wasiat wājibah.7
7Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam, (Jakarta:
2. Dasar Hukum
Dasar hukum disyariatkan wasiat adalah kitabullah, sunnah, dan
ijma ulama. Ayat-ayat yang menjelaskan dasar hukum wasiat adalah
firman Allah dalam Al-Quran antara lain sebagai berikut:
حا رضح اذا مكيلع بتك
فورمماب نبرقأا و نيدلولل ةيصولا ارخ كرت نإ توما مكد
نقتما ىلع اقح
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Baqarah 180)8
لدع اوذ نا ثا ةيصولا نح توما مكدحأ رضح اذا مك يب ةدهش او مآ نيذلا اهيأ اي
مكرغ نم نارخآ وا مك م
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu....” (QS: Al-Maidah 106)
Sebagaimana juga dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim yang menjelaskan tentang wasiat ini adalah:
يف يصوي ئيش ل ئرما قح ام ملس و يلع ها ىلص ي لا لاق لاق رمع نبا نع
د ع ةبوتكم تيصو و اإ نتليل تيبي
“Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.”9
Hadis ini menjelaskan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu
8
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya...,27.
berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu bentuk
kehati-hatian, sebab kemungkinan orang yang berwasiat wafat secara
mendadak.
Sehubungan dengan arti penting dari kedudukan wasiat dalam
hukum keluarga Islam di tengah-tengah keluarga muslim, ini mudah
dimengerti jika beberapa Negara Islam yang memasukkan diktum
“wasiat wājibah” dalam undang-undang kewarisannya, salah satunya
Republik Arab Mesir dengan Undang-Undang No. 71 tahun 1946.10 Wasiat wājibah untuk umat Islam di Indonesia belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan yang ada berada
dalam Kompilasi Hukum Islam yang terbentuk dalam instrumen hukum
berupa Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum
Islam yang mengatur wasiat dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 209,
sedangkan wasiat wājibah berkenaan dengan anak angkat disebutkan
dalam Pasal 209.
Teoretisi hukum Islam (klasik dan kontemporer) -termasuk Ibn
Hazm yang mengatakan wajib- berbeda pendapat dalam menetapkan
hukum wasiat wajib. Jumhur ulama berbendapat bahwa sifatnya hanya
dianjurkan, bukan wajib, dengan tujuan untuk membantu meringankan
orang yang bersangkutan dalam meringankan kesulitan hidup.
Ketentuan wasiat wājibah merupakan hasil ijtihad para ulama
dalam menafsirkan Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 180. Sebagian
10Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah tersebut
berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya
wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan
diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wājibah kepada walidain dan
aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan
dilaksanakan.
Menurut pendapat yang berasal dari empat Imam dan para ulama
zaidiyah, hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan
kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makruh, dan
kadang mubah sebagaimana akan dijelaskan berikut:
a. Wasiat hukumnya wajib, jika seseorang menanggung kewajiban
syar’i yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak
diwasiatkannya, seperti zakat.
b. Wasiat hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah atau
diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin
yang salih.
c. Wasiat hukumnya haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.
d. Wasiat hukumnya makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit,
sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli
e. Wasiat hukumnya mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada
kerabat-kerabat atau tetangga–tetangga yang penghidupan mereka sudah
tidak kekurangan.11
Awalnya wasiat wājibah dilakukan karena terdapat
cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu
daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany
berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang
tidak mendapatkan harta pusaka. Demikian pula pendapat yang
disampaikan oleh Ibnu Hazmin.12
Wasiat wājibah ini harus memenuhi dua syarat. Pertama, yang
wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima
pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua, orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang
diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
3. Rukun dan Syarat
Rukun wasiat meliputi orang yang berwasiat, orang yang
menerima wasiat (mushalahu), dan sesuatu yang diwasiatkan
(mushabihi).
Syarat orang yang berwasiat adalah berakal sehat, balig, atas
kehendak sendiri, dan harta yang sah/miliknya. Syarat orang yang
11 Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka Hikamah
Perdana, 2005), 227.
menerima wasiat (mushalahu) adalah jelas identitasnya, harus ada
ketika pembuatan pernyataan wasiat, bukan bertujuan untuk maksiat,
dan bukan pewaris, kecuali diizini keluarga. Syarat sesuatu yang
diwasiatkan (mushabihi) adalah milik pemberi wasiat, sudah berwujud,
dapat dimiliki/pemberi manfaat, dan tidak melebihi 1/3 (sepertiga).
Selanjutnya mengenai rukun dan syarat akan diuraikan berikut:
a. Orang yang Berwasiat
Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah setiap
orang yang memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada
paksaan. Namun mereka berbeda dalam menentukan batas usia,
karena ini erat kaitannya dengan kepemilikannya. Imam Malik
mengatakan wasiat orang bodoh (safih) dan anak- anak yang belum
baligh hukumnya sah. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat
Umar ibn Khattab yang membolehkan wasiat anak yang baru
berumur 9 atau 10 tahun kepada seorang putri pamannya senilai 30
dirham. Imam Hanafi berpendapat bahwa wasiat anak yang belum
baligh hukumnya tidak sah. Imam Syafii mempunyai dua pendapat.
Kaitannya dengan orang kafir, wasiat mereka sah hukumnya,
sepanjang barang yang diwasiatkan tidak diharamkan. Undang-
undang Wasiat Mesir mensyaratkan si pewasiat harus sudah baligh,
berakal sehat dan cerdas.
KHI dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafii
(1) Orang yang telah berumur sekurang- kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. (2) Harta benda yang di wasiatkan harus merupakan hak dari
pewasiat.
Berdasarkan Pasal tersebut, batasan minimal orang yang boleh
berwasiat adalah orang yang benar-benar telah dewasa secara
undang-undang. Batasan ini berbeda dengan batasan baligh dalam
fikih.
b. Orang yang Menerima Wasiat
Para ulama sepakat bahwa orang- orang atau badan yang
menerima wasiat adalah bukan ahli waris, dan secara hukum dapat
di pandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.
Hal ini sejalan dengan Pasal 171 huruf f dan Pasal 194 ayat (1)
Kompliasi Hukum Islam.
Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah SAW, bersabda yang artinya “sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada orang yang mempunyai hak akan hak- haknya,
maka tidak sah wasiat kepada ahli waris”. Sebagian ulama menilai
hadis tersebut bertentangan dengan ayat yang menjelaskan bahwa
wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris
boleh dilaksanakan tetapi makruh.
Fuqaha Syiah Jakfariyah menyatakan bahwa wasiat kepada
ahli waris yang menerima warisan adalah boleh, kendatipun ahli
umum (dalalah al-‘am) Al-Quran Surah Al- baqarah: 180. Pendapat
yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila
ahli waris lain menyetujui adalah madzhab syafiiyah, hanafiyah dan
malikiyah.
Masalah ini juga terdapat dalam Pasal 195 KHI yang di
dalamnya juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat. Sayid Sabiq
mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga.
Pertama, tidak ahli waris si pewasiat, kedua, si penerima wasiat
hadir pada waktu wasiat dilaksanakan, dan ketiga, si penerima
tidak melakukan pembunuhan yang diharamkan kepada si
pewasiat.13 Kompilasi Hukum Islam kemudian menegaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya orang yang menerima ditunjuk secara
tegas sebagaimana dalam Pasal 196 Kompilasi Hukum Islam.
Ahli waris yang telah menerima bagian warisan tidak berhak
menerima wasiat, karena telah menerima bagian warisan. Meskipun
demikian, jika ahli waris lainnya menyetujui dapat dilaksanakan.
Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan
dalam Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam:
“Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa”.
Pasal 208 KHI lebih lanjut menyebutkan: “Wasiat tidak
berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut”.
Pengaturan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan
dalam pelaksanaan wasiat mengingat orang-orang yang disebut
dalam Pasal 207 sampai dengan Pasal 208 tersebut terlibat
langsung dalam wasiat tersebut. Selain itu, orang yang tidak boleh
menerima wasiat adalah orang atau badan yang telah
mempraktikkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk
kepentingan maksiat.
c. Benda yang Diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah
benda-benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan
manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut.
Namun, mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu
benda, sementara bendanya itu sendiri tetap menjadi milik
pemiliknya atau keluarganya.
Sayyid sabiq menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda
atau manfaat, seperti buah dari satu pohon, atau anak dari satu
hewan adalah sah. Ini sejalan dengan pendapat jumhur, menurut
mereka, manfaat dapat dikategorikan sebagai benda, karena itu
wasiat berupa manfaat saja, hukumnya boleh. Kompilasi Hukum
Islam juga menyebutkan pada Pasal 198.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan
dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samar. Wasiat bisa
dilakukan dengan tertulis, dan tidak memerlukan jawaban
penerimaan secara langsung.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah penerimaan
orang yang menerima wasiat merupakan syarat syahnya atau tidak.
Imam Malik mengatakan bahwa penerimaan wasiat (qabul)
merupakan syarat sah.
Berbeda dengan Imam Syafii yang berpendapat bahwa qabul
yang menerima wasiat tidak merupakan syarat sah. Abu Hanifah
dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Hasan Al-Syaibani
memandang bahwa qabul dalam wasiat harus ada. Alasannya,
karena wasiat adalah tindakan ikhtiariah dan karena pernyataan
menerima penting adanya. Sebagaimana dimaksud Pasal 195 ayat
(1) KHI bahwa wasiat perlu dibuktikan secara autentik.
4. Batas Maksimal Pemberian
Jika wasiat itu telah cukup rukun dan syarat-syaratnya, maka
wasiat tersebut dilaksanakan setelah meninggal si pewasiat. Sejak itu si
penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat
memanfaatkan dan melakukan transaksi atas harta tersebut menurut
kehendaknya.
Wasiat wājibah dibatasi sepertiga harta dengan syarat bagian
tersebut sama dengan yang seharusnya diterima oleh ashabul furûdl
berdasarkan penafsiran terhadap kata “al-khair” yang terdapat dalam hartaku ini selain anak perempuanku satu-satunya. Adakah boleh aku
sedekahkan 2/3 dari hartaku itu?” Rasul menjawab: “tidak (jangan) !”,
aku bertanya lagi: “ataukah aku sedekahkan separuhnya?” Rasul
menjawab: “Jangan ! aku bertanya lagi: “adakah aku sedekahkan
sepertiganya?” Rasul menjawab: “sepertiga (saja), dan sepertiga itu sudah cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu itu dalam keadaan kaya, jauh lebih baik daripada engkau tinggalkan ahli warismu itu dalam keadaan fakir yang akan menjadi beban orang lain (apalagi sampah masyarakat)”. (Hadis Riwayat Muttafaq Alaih).14
Asas pembatasan maksimal dalam wasiat yang ditetapkan
hukum Islam bermaksud untuk melindungi ahli waris dari
kemungkinan tidak memperoleh harta warisan karena diwasiatkan si
mati kepada orang lain. Batas maksimal wasiat yang dimaksudkan
adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkan.
Berkenaan dengan wasiat wjibah, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat
terbina hubungan saling berwasiat sebagaimana disebutkan dalam Pasal
209:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wājibah diberi wasiat wājibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.15
Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak
akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam
Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta merta dianggap
telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wājibah)
maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak
angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya,
dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum
dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka
wasiat wājibah harus ditunaikan terlebih dahulu.
Ketentuan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di
dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku di
berbagai dunia Islam kontemporer. Al-Quran menolak penyamaan
hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam
adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena ada hubungan pertalian
darah. Sementara dalam masyarakat muslim Indonesia sering terjadi
adanya pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam
perkawinannya tidak dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang
15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 1992),
biasanya dikukuhkan dengan aturan adat ini, sering menimbulkan
kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak jarang adanya tuduhan
tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia. Dalam hubungan
pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh
harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat
atau tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh
warisan (menurut fiqh) namun sebaliknya sebagian orang tua angkat
menempuh dengan cara hibah, yang kadang-kadang juga tidak mulus
karena sesudah hibah dilakukan terjadi pertengkaran dan ketidakakuran
antara anak dengan orang tua angkat tersebut.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan
tersendiri mengenai konsep wasiat wājibah ini hanya kepada anak
angkat dan orang tua angkat saja. Dalam Pasal 209 KHI disebutkan
bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176
sampai dengan Pasal 193 KHI, terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberikan wasiat wājibah sebanyak sepertiga dari
harta warisan anak angkatnya. Bagi anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta
warisan orang tua angkatnya. Berbeda dengan konsep wasiat wājibah
yang diatur dalam fiqih yang memberlakukan wasiat wājibah hanya
bagi orang yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris.
Berdasarkan uraian tersebut, wasiat wājibah adalah suatu wasiat
yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
suatu halangan syarak. Wasiat wājibah juga dapat diartikan sebagai
suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga
terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warisan karena ibu
atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka
meninggal atau meninggal bersamaan. Hal ini disebabkan berdasarkan
hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan
kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu
tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang
terjadi di tengah masyarakat, maka diberlakukan peraturan mengenai
hukum wasiat wājibah karena hubungan pengangkatan anak
dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar
hukum bagi umat Islam di Indonesia.
B. Kewarisan Islam
1. Pengertian
Kata “waris” berasal dari bahasa Arab al-irts (ثرإا) atau
al-mirats (ثاريملا), secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta
orang yang sudah meninggal (mayit). Secara etomoligis (lughawi),
waris mengandung arti berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang
milik legal secara syar’i.16
Pengertian hukum kewarisan dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi
Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fiqih mawaris, dan
hukum al-mawaris. Menurut Mahally, lafaz faraid merupakan jamak
(bentuk umum) dari lafaz faridah yang mengandung arti mafrudah, yang
sama artinya dengan muqadarah yaitu sesuatu yang ditetapkan
bagiananya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang
terdapat dalam al-Quran, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan
dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu hukum ini
dinamakan dengan faraid. Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid
berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur
dalam al-Quran dan al-Hadits. Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak
dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia
terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang
telah ditetapkan.17
16 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011), 17.
2. Asas-asas Kewarisan Islam
Dalam kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas-asas yang
dianut dalam pelaksanaan kewarisan, antara lain yaitu18:
a. Asas ijbari, yang menyatakan bahwa peralihan harta dari pewaris
kepada ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan
yang dibuat Allah tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau
ahli waris. Oleh karena asas ini maka secara langsung tiap ahli
waris diwajibkan menerima peralihan harta peninggalan pewaris
sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditetapkan.
b. Asas bilateral, yang menyatakan bahwa ahli waris yang menerima
harta peninggalan pewaris adalah keturunan laki-laki maupun
perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki bagian
masing-masing dari harta peninggalan pewaris.
c. Asas individual, yaitu harta peninggalan pewaris dibagikan kepada
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing bagian
ahli waris adalah kepunyaannya secara perorangan.
d. Asas keadilan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban
antarahli waris serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan
yang diperoleh dari harta peninggalan pewaris.
Dalam Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan untuk lingkungan Peradilan Agama ditambahkan
asas kewarisan Islam yaitu asas egaliter, maksudnya kerabat karena
18 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: t.t.p., 1998), 281 – 289.
hubungan darah yang memeluk agama selain Islam mendapat wasiat
wājibah maksimal 1/3 bagian, dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris
yang sederajat dengannya.19
3. Rukun dan Syarat
Rukun kewarisan ada tiga, yaitu pewaris, ahli waris, dan
warisan. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, yang hartanya
diwarisi oleh ahli warisnya.20 Pengertian pewaris dalam Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada saat meninggalnya
atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Ahli waris adalah orang yang mendapatkan warisan dari
pewaris, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena
perkawinan21. Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian warisan
dibedakan menjadi harta peninggalan dan harta warisan. Harta
19 Mahkamah Agung RI, Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan, (Jakarta: t.t.p., 2014), 161.
20 Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1999), 9.
Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang
berupa harta benda miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan harta
warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang
dan pemberian untuk kerabat.
Syarat yang harus dipenuhi dalam waris adalah meninggalnya
pewaris baik secara hakiki maupun secara hukum, adanya ahli waris
yang hidup, dan seluruh ahli waris diketahui secara past termasuk
jumlah bagian masing-masing.
4. Penghalang Mewarisi
Dalam Pasal 171 huruf c KHI disebutkan bahwa ahli waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Halangan untuk mendapatkan kewarisan disebut juga dengan
mawani’al-Irs yaitu hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak waris
untuk menerima harta warisan dari harta peninggalan muwarri>s. Para
ulama’ sepakat hal-hal yang dapat menjadi penghalang seseorang untuk
mendapatkan warisan itu ada tiga, yaitu:22
22 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia , (Jakarta: Kencana, 2006),
a. Pembunuhan, para ulama’ bersepakat bahwa suatu pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada
prinsipnya menjadi penghalang untuk mewarisi harta warisan
pewaris yang dibunuhnya. Hanya ulama’ dari golongan khawarij
saja yang membolehkannya. Dasar hukum terhalangnya mewarisi
karena pembunuhan adalah hadist Rasulullah SAW yang artinya
sebagai berikut : “Tidak ada hak sedikitpun bagi pembunuh untuk
mewarisi”. Sedangkan ijma’ para sahabat adalah ketika Umar
r.a.pernah memutuskan untuk tidak memberikan Diyah Ibnu
Qatadah kepada saudaranya, bukan kepada bapaknya yang telah
dia bunuh. Sebab, kalau diberikan kepada ayahnya tentu ia
menuntut sebagian ahli waris. Meskipun begitu, para ulama’
masih berselisih faham tentang jenis pembunuhan yang menjadi
penghalang untuk menerima waris.
b. Perbudakan, perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi
berdasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki
kecakapan untuk bertindak. Para fuqaha telah sepakat
menetapkan perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi
penghalang waris-mewaris. Hal ini berdasarkan adanya petunjuk
dari firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 75 yang artinya
sebagai berikut:“Allah membuat perumpamaan dengan seorang
hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat berbuat terhadap
sesuatupun. mafhum ayat itu menjelaskan bahwa budak itu tidak
Dalam soal waris-mewarisi terjadi di satu pihak yang lain
menerima hak milik kebendaan.
c. Berbeda agama, perbedaan agama antara pewaris dengan ahli
waris merupakan salah satu penghalang kewarisan. Orang muslim
tidak mengambil pusaka dari orang kafir, begitu pula
sebaliknya.23 Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah SAW
yang artinya: ”orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir,
dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”.
Oleh karena perbedaan agama menjadi penghalang untuk
mendapatkan warisan, maka apabila terjadi pemurtadan (keluar
dari agama Islam) dalam sebuah keluarga, misalnya anak
memeluk agama lain, ia tidak berhak menerima pusaka dari
ayahnya yang muslim, karena keyakinan yang berbeda tersebut
sekalipun sebelum pembagian harta warisan dibagikan ia (anak
itu) kembali kepada agama Islam. Tetapi seorang ulama’
kontemporer yang bernama Yusuf al-Qardawi menjelaskan dalam
bukunya Hadyu al - Islam fatawi Mu’a’sirah bahwa orang Islam
dapat mewarisi orang kafir sedangkan orang kafir itu sendiri tidak
dapat mewarisi orang muslim, menurutnya Islam tidak
menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat
bagi kepentingan umat. Terlebih lagi dengan harta warisan yang
23
dapat membantu mentauhidkan Allah dan menegakkan
agama-Nya.24
24 al-Qard}awi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terj, Hadyu al - Islam fatawi Mu’a’sirah, Jilid ke-3,
AGAMA MAKASSAR
Kedudukan Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara
sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat
Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 dan merupakan lembaga
peradilantertinggi dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
Sejak Amandemen Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi
menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2
(dua) yaitu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan
peradilan. Implementasi wasiat wājibah terhadap ahli waris non-muslim dalam
putusan hakim di lingkungan peradilan agama ini memaparkan implementasi
wasiat wājibah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/AG/2010
dengan memaparkan pula hasil penelurusan perkara dalam proses peradilan di
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pengadilan tingkat
pertama dalam perkara ini adalah Pengadilan Agama Makassar dan pengadilan
tingkat bandingya adalah Pengadilan Tinggi Agama Makassar.1
Pemaparan implementasi ini diawali dengan kasus posisi meliputi kasus
posisi gugatan waris, putusan pengadilan tingkat pertama, putusan pengadilan
tingkat banding.
1
A. Kasus Posisi
1. Kasus Posisi Gugatan Waris
Gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama Makasar yang terdaftar
pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Makasar dalam register perkara
Nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks. Gugatan waris diajukan oleh Ibu kandung
dan para saudara kandung pewaris dengan mendudukkan istri pewaris
sebagai Tergugat. Kasus posisi gugatan waris tersebut pada pokoknya
sebagai berikut:
a. Pewaris beragama Islam bernama Muhammad Armaya bin Renreng,
meninggal dunia pada 22 Mei 2008, meninggalkan seorang istri bernama
Evie Lany Mosinta, beragama Kristen, dan tidak dikaruniai anak.
b. Karena istri beragam Kristen, maka para Penggugat mendalilkan bahwa
ahli waris Muhammad Armaya bin Renreng adalah para Penggugat, yaitu
ibu kandung (Halimah Daeng Baji) dan 4 saudara kandung (Murnihati
binti Renreng, Muliyahati binti Renreng, Djelitahati binti Renreng, dan
Arsal bin Renreng).
c. Pewaris meninggalkan harta yang diperoleh dalam perkawinan dengan
Evie Lany Mosinta, berupa harta tidak bergerak maupun harta bergerak.
Hara tidak bergerak berupa 2 (dua) unit bangunan rumah beserta
tanahnya, sedangkan harta bergerak berupa 1 (satu) unit sepeda motor
dan uang asuransi sejumlah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang
telah diterima oleh Evie Lany Mosinta (Tergugat).
d. Para Penggugat mendalilkan bahwa separuh harta tersebut merupakan