SKRIPSI
Oleh
Khumairoh Halimatus Sya’dia NIM. C51212127
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian dengan judul “Analisis Mas}lah}ah Mursalah Terhadap Praktek PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan dalam biodata akta nikah. (kajian penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang). Adapun masalah yang teliti: Bagaimana implementasi PMA No. 11 tahun 2007 terkait perubahan dan perbaikan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang?
Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik studi dokumenter yaitu mengumpulkan data dan informasi dari penetapan, buku sekunder, artikel dan Undang-Undang. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode teknis deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan atau melukiskan secara sistematis segala fakta aktual yang dihadapi, kemudian dianalisis sehingga memberikan pemahaman yang konkrit, kemudian dapat ditarik kesimpulan. Dalam hal ini dengan mengambil kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Kab. Malang dalam perkara permohonan Perubahan biodata akta nikah, kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan yaitu Implementasi PMA No. 11 tahun 2007 di Pengadilan Agama Kabupaten Malang melayani dengan baik terhadap permasalahan perbaikan dan perubahan biodata akta nikah tersebut. Hal tersebut sesuai dengan suatu sistem Lawrence M Friedman, yaitu yang membagi sistem hukum atas sub-sub sistem yang terdiri dari struktur hukum (legal struture), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Kedua Analisis mas}lah}ah mursalah terkait perubahan dan perbaikan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dalam penetapan perubahan biodata akta nikah Nomor 1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Mlg tersebut seharusnya si pemohon tidak perlu meminta penetapan dari Pengadilan Agama Kab. Malang. Karena berdasarkan PMA No. 11 tahun 2007 pasal 34 ayat 1 terkait perbaikan biodata akta nikah, itu hanya mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA. Hal tersebut jika ditinjau dari segi eksistensi maslahat dan ada tidaknya dalil yang langsung mengaturnya maka termasuk dalam teori Mas}lah}ah al-Mursalah (ةلسرملاةحلصملا).
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN... iv
ABSTRAK... ... v
KATA PENGANTAR... ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah... 9
D.Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G.Definisi Operasional ... 12
H.Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Pembahasan... ... 18
BAB II MAS{LAH{AH MURSALAH dan PENCATATAN PERKAWINAN
1. Pengertian Mas{lah{ah Mursalah ... 20
2. Macam-macam Mas{lah{ah Mursalah ... 21
3. Syarat-syarat Mas{lah{ah Mursalah ... 25
4. Kedudukan Mas{lah{ah Mursalah... ... 26
5. Kehujjahan Maslahah dalam Pandangan Ulama ... 29
B.Pencatatan Pernikahan 1. Pengertian Pencatatan pernikahan ... 31
2. Prosedur Pencatatan Pernikahan ... 35
3. Pencatatan Nikah dalam Pandangan Hukum Islam ... 40
4. Dasar hukum Aturan Pencatatan Nikah ... 42
5. Tujuan Pencatatan Nikah ... 44
6. Manfaat Pencatatan Nikah ... 46
BAB III DESKRIPSI PA Kab. Malang dan Deskripsi Penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang. A.Gambaran Umum Pengadilan Kabupaten Malang 1. Letak Geografis Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 48
2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 50
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 51
4. Fasilitas Pendukung Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 54
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan
Aagama Kabupaten Malang ... 60
BAB IV Implementasi PMA No 11 Tahun 2007 dan Analisis Mas}lah}}ah Mursalah
terkait Perubahan dan Perbaikan Biodata Akta Nikah di Pengadilan
Agama Kabupaten Malang
A.Implementasi PMA No 11 Tahun 2007 di Pengadilan
Agama Kabupaten Malang ... 63
B.Analisis Mas}lah}}ah Mursalah terkait Perubahan dan Perbaikan Biodata Akta Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 69
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ... 78
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya, suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun
sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia
lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang
pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat - syarat tertentu
disebut perkawinan.
Dalam pandangan shara’, perkawinan itu diperintahkan,
diperbolehkan, dan terkadang diharuskan dengan tujuan untuk
mendapatkan keturunan, mendirikan sebuah keluarga, dan untuk
melindungi dan menjaga kelestarian masyarakat. 1 Namun sebelum
perkawinan berlangsung, maka pasti ada prosedur-prosedur yang harus
dilalui, salah satunya yaitu mengumumkan kehendak pernikahan
kemudian mencatatkan perkawinan tersebut kepada pegawai pencatat
nikah yang berada di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi Islam, dan di
KCS (kantor catatan sipil) bagi non-Islam.
Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak
awal dibentuknya Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973.
Dalam Negara Republik Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan
agama yang berlaku di wilayah ini, perdebatan serupa telah sering terjadi
sejak pemerintahan Belanda, yaitu sejak Snouck Hurgronje menyamaikan
teori receptie di Indonesia pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, yang tujuannya untuk memperkuat penjajahan Belanda di
Indonesia.
Sebagaimana telah kita ketahui, teori receptie adalah teori yang
tujuannya menghapuskan Hukum Islam di Indonesia dengan cara
menyandarkan keberlakuan Hukum Islam kepada Hukum Adat. Menurut
Snouck Hurgronje, berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo, bahwa
di Indonesia berlaku Hukum Adat asli, tetapi memang dalam Hukum adat
itu ada pengaruh Hukum Islam. Hukum Islam itu baru mempunyai
kekuatan (hukum) jika dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat.2
Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
Departemen Agama RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam telah mengambil peranan secara langsung dan aktif
untuk melaksanakan undang-undang itu, yang melibatkan dua Direktorat
yakni Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam berdasarkan KMA nomor 18 tahun 1975. Masalah
pencatatan menjadi beban tugas Direktorat Urusan Agama Islam. Sesuai
dengan Undang-undang No. 22/1946 jo. Undang-undang Nomor 32/1954
jo. Undang-undang Nomor 1/1974. Peraturan Pemerintah Nomor 9/1995
2 Sajuti Thalib,
dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 maka Departemen
Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan
Agama Kecamatan melaksanakan tugas-tugas sebagai Pencatat
Perkawinan, atau Pencatat Nikah. Perlu juga dijelaskan di sini bahwa
Pencatatan Perkawinan/Nikah itu termasuk Pencatatan Talak, Cerai dan
Rujuk. Karena hal ini sangat erat hubungannya dengan masalah
Perkawinan itu sendiri.3
Pencatatan perkawinan yang sah menurut Hukum Islam, yaitu
perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai syari’at
Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
Adapun yang dimaksud dengan Perkawinan Tidak Tercatat adalah
perkawinan yang sah sesuai syariat (hukum) islam yang belum
didaftarkan, sehingga belum tercatat di Kantor Urusan Agama setempat,
atau disebabkan pembiayaan pendaftaran pencatatan yang tidak
terjangkau masyarakat, atau karena lokasi Kantor Urusan Agama yang
jauh dari tempat tinggal orang bersangkutan, atau karena alasan lain yang
tidak bertentangan dengan Hukum Islam.4
Sebelum perkawinan tersebut dicatatkan, maka pegawai di Kantor
Urusan Agama meneliti terlebih dahulu terhadap persyaratan perkawinan
yang akan diajukan. Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan itu
didahului kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai
3
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet.2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal 179
4 Neng Djubaidah,
maupun oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Calon mempelai atau orang
tuanya atau wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan
perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 3 dan 4 PP).
Selanjutnya Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi, dan apakah tidak terdapat halangan menurut
undang-undang. Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan (pasal 5 dan
6 PP). Karena pencatatan perkawinan tersebut sangat penting
keabsahannya untuk dituliskan ke dalam akta nikah, untuk itu diperlukan
ketelitian dalam penulisan terutama data para pihak.
Meskipun akta perkawinan ditempatkan sebagai syarat
administratif, tapi dalam perspektif kenegaraan memiliki kedudukan yang
sangat penting dan berpengaruh pada sisi lain kehidupannya, terutama
dalam konteks kehidupan bernegara. Sebagai contoh, orang yang telah
menikah harus menunjukkan aktanya jika memiliki suatu urusan
mengenai masalah KTP, Kartu Keluarga, SIM, mendaftarkan anak
sekolah, akta kelahiran anak. Maka dari itu akta perkawinan merupakan
syarat wajib yang ditetapkan oleh Negara.5
Namun terkadang masih terdapat kesalahan dalam pencatatan
perkawinan tersebut. Dan kesalahan sekecil apapun dalam akta nikah
tersebut bisa memiliki implikasi pada orang tersebut di kemudian hari.
5
Keadaan yang sering terjadi adalah kesulitan dalam pembuatan paspor,
mengurus akta kelahiran anak, mengurus kewarisan dan kesulitan
mengurus dana pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Salah satu
contoh dalam hal kewarisan, seorang istri tidak dapat mengurus dana
pensiun almarhum suaminya karena data dalam akta nikah berbeda
dengan SK PNS suaminya. Data dalam SK PNS biasanya mengacu pada
ijazah yang dimiliki, sedangkan data pada akta nikah biasanya orang
hanya mengisi blanko-blanko pendaftaran berdasarkan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau rekomendasi dari desa. Sementara data KTP
sebelum pelaksanaan e-KTP, pemeriksaan dalam penerbitannya belum
maksimal atau tidak berdasarkan data valid.
Sedangkan dalam kaitannya dengan kesulitan mengurus akta
kelahiran anak yaitu akta nikah dijadikan acuan adanya perkawinan yang
sah, sehingga dapat melindungi hak-hak anak yang dilahirkan baik secara
administrasi maupun secara hukum. Karena jika anak tidak memiliki akta
kelahiran maka akan mengalami hambatan-hambatan dalam urusan
administrasi maupun hukum dalam kaitannya anak yang sah dan berhak
memperoleh warisan.
Perubahan dan perbaikan biodata akta nikah yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama (KUA) diatur dalam Peraturan Menteri Agama
(PMA) Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah pasal 34 ayat (1)
“Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan
perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA”. Sedangkan yang ayat ke (2) yaitu “Perubahan yang menyangkut biodata
suami, istri ataupun wali harus didasarkan kepada putusan pengadilan
pada wilayah yang bersangkutan”. Dalam pasal 1 ayat (5) dijelaskan “pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah”.
Dari penjelasan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama
(PMA) tersebut, bahwasanya perubahan dan perbaikan itu berbeda. Untuk
perbaikan biodata akta nikah itu memperbaiki karena kesalahan ejaan
atau mengalami kesalahan redaksional saja. Misalnya nama asli yang
benar di dalam akta kelahiran adalah RUSTYOWATI, namun di dalam
akta nikah RUSTIOWATI. Hal tersebut cukup diselesaikan oleh pejabat
yang mengeluarkan akta tersebut (Kantor Catatan Sipil atau Kantor
Urusan Agama). Dan tidak perlu mengurus atau meminta penetapan dari
Pengadilan Agama.
Sedangkan untuk perubahan biodata akta nikah yaitu kesalahan
yang sama sekali berbeda. Misalnya SITI MUTHMAINNAH menjadi
SITI MUTHOHAROH. Permasalahan tersebut harus memerlukan
putusan pengadilan negeri atau pengadilan Agama terlebih dahulu
sebelum mengurusnya ke KUA (Kantor Urusan Agama).
Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, sering menangani kasus
perubahan maupun perbaikan biodata akta nikah. Hal tersebut tidak
dibedakan antara perbaikan maupun perubahan biodata akta nikah. Dalam
yang ditulis oleh pegawai pencatat nikah dari Kantor Urusan Agama
(KUA) terdapat kesalahan penulisan pada nama pemohon. Dengan
terjadinya kesalahan penulisan pada akta nikah tersebut pemohon
mengalami hambatan dalam proses mengurus akta kelahiran anaknya.
Menurut Agus Samthon, Kepala KUA Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang bahwa, perubahan biodata akta nikah selalu
berdasarkan putusan dari pengadilan agama, baik itu kesalahan
redaksional maupun perubahan yang sama sekali berbeda dari aslinya. Hal
tersebut memang disamakan perbaikan dengan perubahan, karena
perubahan biodata akta nikah yang salah nantinya juga pasti diperbaiki.6
Dalam penetapan perubahan biodata akta nikah Nomor
1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Mlg tersebut seharusnya si pemohon tidak perlu
meminta penetapan dari Pengadilan Agama Kab. Malang. Karena
berdasarkan PMA No 11 tahun 2007 terkait perbaikan biodata akta nikah,
itu hanya mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan
salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi
paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA.
Menurut hukum Islam, baik permohonan perubahan maupun
perbaikan biodata dalam akta nikah ini termasuk dalam mas}lah}ah
mursalah, yaitu mas}lah}ah d{oruriyat karena permasalahan permohonan
perubahan biodata ini bisa memberikan perlindungan terhadap pihak yang
dirugikan hanya dengan kesalahan penulisan tersebut jika dikaji dengan
6 Agus Samthon,
mas}lah}ah d}oruriyat tersebut, hal tersebut tujuannya untuk mencari
kemaslahatan dan menghindari kemadaratan.
Melihat banyaknya kasus perbaikan biodata akta nikah yang
memiliki dampak kesalah pahaman terhadap masyarakat, penulis tertarik
untuk membahas tentang “Analisis Mas}lah}ah Mursalah Terhadap Praktek
PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan dalam biodata
akta nikah. (kajian penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang)”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, dapat di identifikasikan
permasalahan yang mungkin timbul diantaranya adalah:
1. Peraturan tentang pencatatan peristiwa penting dalam akta nikah.
2. Peraturan Perundang-undangan tentang perbaikan dan perubahan data
akta autentik, khususnya akta nikah.
3. Sebab-sebab dalam perbaikan biodata akta nikah.
4. Implikasi dalam perbaikan biodata akta nikah.
5. Praktek PMA No. 11 tahun 2007 terkait perbaikan dan perubahan
dalam biodata akta nikah, kajian penetapan
No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang.
Dari identifikasi masalah di atas, agar penelitian ini maksimal maka
penulis akan batasi pada permasalahan sebagai berikut:
1. Implementasi PMA No. 11 tahun 2007 terkait perubahan dan
2. Analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA No. 11 tahun 2007
tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi tersebut di atas, beberapa permasalahan
pokok yang diteliti antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi PMA No. 11 tahun 2007 terkait perubahan
dan perbaikan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten
Malang?
2. Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA No. 11
tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah di
Pengadilan Agama Kabupaten Malang?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.7
Pada umumnya penelitian-penelitian sebelumnya membahas lebih
mengacu terhadap mekanisme perubahan, diantaranya adalah skripsi yang
disusun oleh Khusnia Isro’i yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Perubahan Biodata Dalam Akta Nikah (studi terhadap
7
penetapan pengadilan agama Yogyakarta nomor
:0058/Pdt.P/2011/PA.Yk)”. Skripsi ini menjelaskan bahwa permohonan
perubahan biodata dalam akta nikah ini dikabulkan oleh Majlis Hakim
berdasarkan tinjauan hukum islam dan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan dan bukti yang ada, bahwa nama pemohon dalam buku
kutipan akta nikah memang benar-benar salah dan harus dilakukan
pembenaran untuk mengurusi segala urusan-urusan pentingnya8.
Kedua, thesis yang disusun oleh Faeshol Ghozali yang berjudul
“Implikasi Hukum Kesalahan Biodata dalam Akta Nikah” (Tinjauan
Yuridis dan al-Qawaid al-Fiqhiyyah terhadap Perkara Perbaikan
Kesalahan Biodata di Pengadilan Agama Semarang). Thesis ini lebih
menjelaskan tentang sejauh mana implikasi hukum yang cukup kompleks
dari kesalahan dalam biodata akta nikah tersebut.9
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Ade Ani Satriani yang berjudul
“Penerapan Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) Online di
KUA kota Surabaya dalam perspektif PMA No. 11 tahun 2007”. Skripsi
ini menjelaskan tentang peningkatan kinerja KUA di Surabaya jika
melakukan pelatihan kepada seluruh staf khususnya bagi staf yang sudah
lanjut usia dalam memahami tatacara penggunaan SIMKAH online di
8 Khusnia Isro’I, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perubahan Biodata dalam Akta Nikah(studi
terhadap penetapan pengadilan agama Yogyakarta nomor:0058/Pdt.P/2011/PA.Yk)”(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, 2012)
KUA Kota Surabaya, serta lebih maksimal melakukan publikasi ke
masyarakat yang ada hubungannya dengan penggunaan manajemen
(SIMKAH) online di KUA Surabaya.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dibuat adalah untuk menjawab pertanyaan
sebagaimana rumusan masalah di atas sehingga nantinya dapat diketahui
secara jelas dan terperinci tujuan diadakannya penelitian ini. Adapun
tujuan tersebut adalah:
1. Untuk mengetahui praktek PMA. No 11 tahun 2007 terkait perubahan
dan perbaikan biodata akta nikah di PA Kab. Malang
2. Untuk mengetahui analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA
No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta
nikah.
F. Kegunanaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari dua aspek, yaitu:
1. Kegunaan secara teoritis, memperkaya khazanah keilmuan, dapat
dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan khususnya
dalam masalah perdata di lingkungan Pengadilan Agama serta dapat
dijadikan acuan atau pedoman dalam berbagai permasalahan
2. Kegunaan secara praktis, dapat dijadikan literatur atau referensi untuk
merumuskan dan melaksanakan penyampaian materi hukum acara
Pengadilan Agama di Fakultas Syari’ah UIN Sunan Ampel Surabaya
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
G. Definisi Operasional
Dalam rangka untuk menghindari kesalah pahaman dalam memahami
maksud dari pnelitian, maka penulis memberikan definisi operasional
sebagai berikut:
1. Analisis mas}lah}}ah mursalah: studi dokumen yaitu menggunakan
sumber-sumber data sekunder saja yang berupa analisis hukum Islam,
yaitu berupa mas}lah}ah mursalah. Mas}lah}ah adalah sesuatu yang
dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum10. Analisis ini merupakan
penyelidikan terhadap suatu keadaan yang bertujuan untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya.
2. Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat
Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai
pencatatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan
melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon
istri.11
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih(Jakarta, Kencana, 2009), 347 11 Muhammad Zein&Mukhtar Alshadiq,
3. Perbedaan antara perbaikan dan perubahan dalam PMA No. 11 tahun
2007. Jika perbaikan biodata akta nikah itu memperbaiki karena
kesalahan ejaan atau mengalami kesalahan redaksional saja. Misalnya
nama asli yang benar di dalam akta kelahiran adalah RUSTYOWATI,
namun di dalam akta nikah RUSTIOWATI. Hal tersebut cukup
diselesaikan oleh pejabat yang mengeluarkan akta tersebut (Kantor
Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Sedangkan perubahan
biodata akta nikah yaitu kesalahan yang sama sekali berbeda. Misalnya
SITI MUTHMAINNAH menjadi SITI MUTHOHAROH.
Permasalahan tersebut harus memerlukan putusan pengadilan negeri
atau pengadilan Agama terlebih dahulu sebelum mengurusnya ke KUA
(Kantor Urusan Agama).
Dari kasus perubahan data akta nikah diatas dapat
dikualifikasikan dalam tiga kategori yaitu : Kategori pertama;
kesalahan dalam penulisan tempat tanggal lahir, dalam data akta nikah
banyak ditulis umur seseorang ketika menikah misalnya, dalam kolom
tanggal lahir tertulis 18 tahun yang seharusnya tertulis tanggal bulan
dan tahun. Begitu juga dalam kolom tempat lahir, banyak terjadi
karena dulu pemerintah menggunakan kecamatan sebagai tempat
tanggal lahir, tetapi regulasi sekarang menggunakan nama
kota/Kabupaten sebagai tempat lahir, sehingga menimbulkan banyak
perbedaan pada akta yang diterbitkan dahulu dan akta-akta yang
Kategori kedua: kesalahan dalam penulisan data karena kesalahan
ejaan atau salah redaksional.
Kategori ketiga: ketidak sesuaian nama pada akta nikah dengan
data identitas yang lain, misalnya seseorang yang baru melaksanakan
ibadah haji biasanya akan mendapatkan nama baru. Nama baru ini
kemudian ditambahkan pada nama aslinya, bahkan ada yang
mengganti nama aslinya dengan nama baru tersebut. Sementara
perubahan nama tidak diikuti dengan perubahan nama akta-akta yang
lain.
Untuk kategori yang pertama dan kedua di atas merupakan
masalah perbaikan biodata akta nikah, sedangkan untuk kategori
nomor tiga merupakan masalah perubahan biodata akta nikah.12
H. Metode Penelitian
Dalam hal untuk menemukan dan mengembangkan suatu ilmu yang
bersifat objektif, maka harus menggunakan metode penelitian untuk
memperoleh dan mengumpulkan data kemudian dianalisis secara
sistematis berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada.
Adapun langkah-langkah sistematis yang diperlukan untuk
menghasilkan gambaran yang baik dalam penelitian ini yaitu:
1. Data yang Dikumpulkan
Data merupakan semua keterangan seseorang yang dijadikan
responden maupun yang berasal dari dokumen-dokumen baik dalam
bentuk statistik atau dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian
yang dimaksud.13
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam
penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:
a. Data tentang penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang
b. Data yang diperoleh dari buku dan PMA yang berkaitan dengan
perbaikan dan perubahan biodata akta nikah
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Sumber Primer
Sumber ini hanya mengacu pada Salinan penetapan perkara
permohonan perubahan biodata akta nikah putusan Pengadilan
Agama Malang Perkara No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang.
b. Sumber Sekunder
1. PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan
dalam biodata akta nikah
2. UU Nomor 23 tahun 2006 dan Perpres RI Nomor 25 tahun 2008
tentang perbaikan akta
3. Neng Djubaidah. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat. Jakarta: Sinar Grafika. 2010
4. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2009
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan
melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis”.
Adapun studi dokumenter yang penulis lakukan dengan
mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku sekunder dan UU
yang mengenai ketetapan permohonan putusan
No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang yang kemudian penulis dapat
mempelajari, menelaah dan menganalisa data-data tersebut.
b. Wawancara (Interview), adalah suatu bentuk komunikasi atau
percakapan antara dua orang atau lebih guna memperoleh informasi,
yakni dengan cara bertanya langsung kepada subjek atau informan
untuk mendapatkan informasi yang diinginkan guna mencapai
tujuannya dan memperoleh data yang akan dijadikan sebagai bahan
laporan penelitian. Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan
hakim Pengadilan Agama Kab.Malang yang menangani perkara
permohonan perubahan biodata akta nikah putusan
No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka teknik pengolahan
data yang penulis lakukan yaitu:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap data-data yang
diperoleh.14Setelah data terkumpul, maka kegiatan selanjutnya adalah
memeriksa kembali mengenai kelengkapan dan kejelasan data tentang
permohonan biodata akta Nikah pada penetapan Pengadilan Agama
penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang
b. Organizing, yaitu kegiatan mengatur dan menyusun bagian-bagian
sehingga seluruhnya menjadi satu kesatuan yang teratur. Kegiatan ini
dilakukan untuk menyusun data dengan sistematis untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang permohonan putusan perbaikan biodata
akta nikah No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang
5. Metode Analisis Data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Teknis Deskriptif Analisis
Yaitu dengan menggambarkan atau melukiskan secara
sistematis segala fakta aktual yang dihadapi, kemudian dianalisis
sehingga memberikan pemahaman yang konkrit, kemudian dapat
ditarik kesimpulan. Dalam hal ini dengan mengambil kasus yang
terjadi di Pengadilan Agama Kab. Malang dalam perkara permohonan
Perubahan biodata akta nikah, kemudian dikaitkan dengan teori dan
dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga
mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum.
b. Pola Pikir Deduktif
Yaitu metode yang diawali dengan mengemukakan teori-teori
bersifat umum yang berkenaan dengan perbaikan dan perubahan
biodata akta nikah. Selanjutnya digunakan menganalisis terhadap
No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang dengan analisis terhadap dasar
dan pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Kab.
Malang dalam menerima dan menyelesaikan perkara permohonan
perubahan biodata akta nikah No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang
I. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam Judul ini mempunyai alur pikiran yang
jelas dan terfokus pada pokok permasalahan, maka penulis menyusun
sistematika dalam lima bab dari Judul ini meliputi:
Bab I sebagai pendahuluan berisi tentang uraian latar belakang masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian serta sistematika
pembahasan.
Bab II Merupakan landasan teori yang membahas tentang mas}lah}ah
mursalah dan pencatatan perkawinan terdiri dari: pengertian mas}lah}ah
mursalah, macam-macam dan syarat maslahah mursalah. kedudukan dan
kehujjahan maslahah. Kemudian pengertian, prosedur pencatatan
perkawinan, pencatatan nikah dalam pandangan islam, dan dasar hukum
aturan pencatatan nikah.
Bab III : Merupakan Laporan hasil penelitian berisi tentang gambaran
umum Pengadilan Agama Kab. Malang, Struktur Organiasi Pengadilan
Agama Kab. Malang, keadaan geografis dan wilayah yuridis Pengadilan
perkara permohonan perbaikan perubahan biodata akta nikah
No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang
Bab IV Analisis pelaksanaan praktek PMA praktek PMA No. 11 tahun
2007 terkait perubahan dan perbaikan biodata akta nikah di PA Kab.
Malang dan analisis maslahah mursalah dalam praktek PMA No. 11
tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah.
Bab V Merupakan bagian terakhir dari skripsi atau bab penutup yang
menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang dilengakapi dengan saran-saran.
Selain itu dalam bab terakhir ini akan dilengkapi dengan daftar pustaka
BAB II
MAS{LAH{AH MURSALAH dan PENCATATAN PERKAWINAN
A. Mas{lah{ah Mursalah
1. Pengertian Mas{lah{ah Mursalah
Sebelum menjelaskan arti mas{lah{ah mursalah, terlebih
dahulu perlu dibahas tentang mas}lah}ah, karena mas}lah}ah mursalah itu
merupakan salah satu bentuk dari mashlahah.
Mas}lah}ah (ةحلصم) berasal dari kata s}alaha (حلص) dengan
penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti
kata s}alah (حاص), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya
kerusakan”.14
Pengertian mas}lah}ah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan
-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti
menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak
atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.
Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mas}lah}ah.
Dengan begitu mas}lah}ah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau
mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan
kemudaratan.15
2. Macam-macam Maslahah:
Kekuatan mas}lah}ah dapat dilihat dari segi tujuan syara’
dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak
langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu:
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat dari segi
tingkat kebutuhan manusia kepada lima hal tersebut.
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan hukum,
mas}lah}ah dharuriyah, mas}lah}ah hajiyah, dan mas}lah}ah
tahsiniyah.16
a. Almas}lah}ah d}aruriyah (ةيرورضلا ةحلصملا) adalah kemaslahatan
yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan
manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punya arti
apa-apabila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak ada. Segala
usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada
keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah
dalam tingkat d}aruri. Karena itu Allah memerintahkan manusia
melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.
Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada
atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima
unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah
melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah
tersebut adalah baik atau mas}lah}ah dalam tingkat d}aruri. Dalam
hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama;
melarang membunuh untuk memelihara jiwa; melarang minum
minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk
memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk
memelihara harta.
b. Almas}lah}ah h}ajiyah ( يجاحلا حلصملا) adalah kemaslahatan yang
tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada
tingkat d}aruri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung
bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (d}aruri), tetapi
secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal
yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup
manusia. Contoh maslahah h}ajiyah adalah: menuntut ilmu
agama untuk tegaknya agama; makan untuk kelangsungan
hidup; mengasah otak untuk sempurnanya akal; melakukan jual
beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan
baik atau maslahah dalam tingkat h}aji.
c. Almas}lah}ah altahsiniyah ( ينيسحتلا حلصملا) adalah mas}lah}ah yang
kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai d}aruri, juga
tidak sampai haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi
dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal
itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari
maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, maslahah itu
disebut juga dengan munasib atau keserasian maslahah dengan
tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib itu dari segi
pembuat hukum (Syar’i) memperhatikannya atau tidak, maslahah
terbagi kepada tiga macam, yaitu:17
a. Mas}lah}ah al-Mu’tabarah (ر تعملا حلصملا), yaitu maslahah yang
yang diperhitungkan oleh Syari’. Maksudnya, ada petunjuk dari Syari’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan
petunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam
menetapkan hukum. Sebagai contoh, di dalam QS. al-Baqarah
(2):222 terdapat norma bahwa istri yang sedang menstruasi
(haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaminya karena
faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan. Untuk
masalah istrinya yang sedang nifas, hal tersebut dapat
diaplikasikan qiyas. Konsekuensinya, si istri itu haram
disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit
yang ditimbulkan. Dengan disebut secara eksplisit oleh nash
syara’ maka al-maslahah yang dikehendaki oleh aplikasi qiyas
tersebut merupakan al-mas}lah}ah al-mu’tabarah. 18
17Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh ( Jakarta: Kencana, 2009), 351 18
b. Mas}lah}ah al-Mulghah (اغلملا حلصملا), atau mashlahah yang
ditolak, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi
tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang
menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah
sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’menetapkan
hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahah
itu.
Contoh: di masa kini masyarakat telah mengakui emansipasi
wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh
karena itu, akal menganggap baik atau maslahah untuk
menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dalam
memperoleh harta warisan. Hal inipun dianggap sejalan dengan
tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk
memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang
berlaku pada laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan
ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu,
yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak
perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nisa’
(4):11.19
c. Mas}lah}ah al-Mursalah (ةلسرملا ةحلصملا), atau yang juga biasa
disebut Istislah (حاصتساا), yaitu apa yang dipandang baik oleh
akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;
namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.20
Dengan demikian, al-Mas}lah}ah al-Mursalah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan
syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan
kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang
berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu
manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan Mas}lah}ah
al-Mursalah. Tujuan utama al-Mas}lah}ah al-Mursalah adalah
kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga
kemanfaatannya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’
memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’
yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.21
3. Syarat-Syarat Mas}lah}ah al-Mursalah
Supaya penggunaan maslahah al-mursalah dalam suatu persoalan
tetap sejalan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam hukum Islam
serta tidak menyimpang dari maqashid syariah, para pakar usul
fiqh membuat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar maslahah
al-mursalah bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penggalian
20 Ibid,. 354.
sebuah hukum. Syarat-syarat tersebut adalah sebagaimana
diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:22
1) Mas}lah}ah harus sejalan tidak boleh bertentangan (harus sejalan)
dengan tujuan syariat atau nilai-nilai yang berlaku dalam
persyariatan sehingga tidak mengeliminasi dasar-dasar syariat dan
juga tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil yang qat’i yang
terdapat dalam al-Quran maupun al-Hadis.
2) Mas}lah}ah harus berupa Mas}lah}ah yang sifatnya dapat diterima
oleh akal/rasional. Sehingga kemaslahatan yang sifatnya belum
pasti, tidak dapat dibenarkan penggunaannya. Dengan kata lain
sifat Mas}lah}ah harus hakikat dan tidak boleh diduga-duga.
3) Mas}lah}ah harus bersifat umum. Yakni kemaslahatannya
menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan Mas}lah}ah yang
hanya dapat dirasakan oleh sebagian orang atau sebagian
kelompok saja.
4. Kedudukan Mas}lah}ah Mursalah
Kalangan ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa mas}lah}ah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dalil
hukum Islam.
Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka. Diantaranya
adalah :23
22Wahbah Zuhailiy, Usul al-Fiqh al-Islamiy…,799. 23
a. Adanya perintah Alquran (QS. Al-Nisa’ (4):59) agar mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Alquran
dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa perselisihan itu terjadi
karena ia merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya
di dalam Alquran dan sunnah. Untuk memecahkan masalah
semacam itu, selain dapat ditempuh lewat metode qiyas, tentu
juga dapat ditempuh lewat metode lain seperti istislah. Sebab,
tidak semua kasus semacam itu dapat diselesaikan dengan meode
qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak langsung juga
memerintahkan mujtahid untuk mengembalikan persoalan baru
yang dihadapi kepada Alquran dan sunnah dengan mengacu
kepada prinsip maslahah yang selalu ditegakkan oleh Alquran dan
sunnah. Cara ini dapat ditempuh melalui metode istislah, yakni
menjadikan mas}lah}ah mursalah sebagai dasar pertimbangan
penetapan hukum Islam.
b. Hadis Mu’adz bin Jabal. Dalam hadis itu, Rasulullah SAW membenarkan dan memberi restu kepada Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perlu diputuskan
hukumnya tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah, dengan wajh
al-istidlal bahwa dalam berijtihad banyak metode yang bisa
dipergunakan. Diantaranya, dengan metode qiyas, apabila kasus
ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada ‘illah yang mempertemukan.
Dalam kondisi kasus itu tidak ada percontohannya yang
hukumnya sudah ditegaskan oleh Alquran atau sunnah, tentu
ijtihad tidak dapat dilakukan melalui qiyas. Dalam kondisi
demikian, metode istislah, merupakan pilihan yang paling tepat.
Dengan demikian, restu Rasulullah kepada Mu’adz untuk
melakukan ijtihad juga sebagai restu bagi kebolehan mujtahid
mempergunakan metode istislah dalam berijtihad.
c. Tujuan pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan manusia akan
selalu berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan zaman.
Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru
yang hukumnya belum ditegaskan oleh Alquran dan sunnah.
Kalaulah pemecahan masalah baru yang tidak dapat diselesaikan
oleh hukum Islam. Hal ini menjadi persoalan yang serius dan
hukum Islam akan ketinggalan zaman. Untuk mengatasi hal
tersebut, dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain,
diantaranya adalah istislah.
d. Di zaman sahabat banyak muncul masalah baru yang belum
pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Untuk mengatasi hal ini,
mursalah. Cara dan tindakan semacam ini sudah menjadi
konsensus para sahabat.
Contoh kasus ijtihad sahabat yang dilakukan berdasarkan
mas}lah}ah mursalah cukup banyak. Diantaranya ialah (1)
kodifikasi Alquran oleh Khalifah Abu Bakar, penunjukan Umar
bin al-Khaththab oleh Khalifah Abu Bakar sebagai penerus
jabatan khalifah sepeninggal beliau; (2) tindakan Umar bin
al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada muallaf;(3)
tindakan beliau tidak membagi tanah yang ditaklukkan kepada
prajurit yang menaklukkannya dan tanah itu tetap dikuasai
pemiliknya dengan kewajiban membayar pajak.
5. Kehujjahan Mas}lah}ah dalam Pandangan Ulama
Kehujjahan Mas}lah}}ah dalam pandangan ulama, maksudnya adalah
pendapat dan pandangan beberapa tokoh ulama terhadap mas}lah}ah
sebagai sumber hukum yang mengandung arti bahwa maslahah
menjadi landasan tolak ukur dalam penetapan hukum. Dalam hal ini,
al-Munawwar menyebutkan bahwa para ushuliyyin (para pakar ilmu
ushul fiqh) membahas persoalan maslahah dalam dua pokok bahasan,
yaitu:24
Pertama, ketika mereka membahas kajian seputar al-Mas}lah}ah
sebagai illat (motif yang melahirkan hukum). Pengkajian mengenai
illat ini berkaitan dengan perubahan di seputar masalah qiyas, yaitu
24
mempersamakan hukum suatu masalah yang tidak ada nash-nya
karena diantara keduanya terdapat persamaan dari segi illat. Jumhur
ulama berpendapat bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh nash
atau ijma’ (kesepakatan para ulama), semuanya didasarkan atas
hikmah, yaitu untuk meraih manfaat atau kemaslahatan dan
menghindarkan Mafsadah (kerusakan). Dalam pada itu, setiap illat
yang menjadi landasan suatu hukum bermuara pada kepentingan
kemaslahatan manusia.
Kedua, sebagai sumber hukum Islam. Dalam membicarakan
al-Mas}lah}ah sebagai sumber hukum Islam, pada umumnya ulama lebih
dahulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’
terhadapnya, baik bersifat mengakuinya sebagai al-Mas}lah}ah atau
tidak.
Selain itu, para ulama yang menjadikan mas}lah}ah mursalah
sebagai hujjah sangat berhati-hati dalam menggunakannya, sehingga
tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan nafsu. Oleh
karena itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya
sebagai hujjah:
Pertama, berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan
yang semu. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya
menarik suatu manfaat atau menolak bahaya. Jika hanya didasarkan
membandingkannya dengan yang menarik suatu bahaya, berarti
didasarkan atas kemaslahatan yang semu.
Kedua, berupa kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan
pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya
dapat menarik bagi umat manusia atau menolak bahaya dari mereka,
bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum tidak
ditetapkan demi kemaslahatan khusus para pimpinan atau pembesar
saja, dengan tidak melihat mayoritas atau kemaslahatan mereka.
Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas umat manusia.
Ketiga, penetapan hukum untuk kemaslahatan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash
atau ijma’, maka tidak sah menganggap suatu kemaslahatan yang
menuntut persamaan hak waris antara hak laki-laki dan perempuan.
Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena bertentangan dengan nash
Alquran.25
B. Pencatatan Pernikahan
1. Pengertian Pencatatan pernikahan
Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan itu didahului
kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya
atau wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan
kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 3 dan 4 PP). Selanjutnya
25
Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi, dan apakah tidak terdapat halangan menurut
undang-undang. Demikian pula meniliti surat-surat yang diperlukan (pasal 5
dan 6 PP) ini.
Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan
perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat yang diperlukan maka
keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada
orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7 ayat (2) - PP). Bila
pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi syarat-syarat
yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk kawin, maka
Pegawai Pencatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan, menurut formulir yang telah
ditetapkan, dan menempelnya di Kantor Pencatatan yang mudah
dibaca oleh umum. Pengumuman serupa itu juga dilakukan di Kantor
Pencatatan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
masing-masing calon mempelai (pasal 8 dan Penjelasan pasal 9 PP).26
Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat
Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai
pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan
melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon
istri.27
26 Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 180.
Karena pencatatan nikah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan
dengan ajaran islam sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam
surah al-Baqarah ayat 282:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
(seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendektekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendektekan sendiri, maka
hendaklah walinya mendektekannya dengan benar. Dan
lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tiadak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertaqwalah pada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah :282).
Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah pencatatan secara
tertulis dalam segala bentuk urusan mu’amalah, seperti perdagangan,
hutang piutang dan sebagainya. Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa,
alat bukti tertulis itu statusnya lebih adil dan benar disisi Allah dapat
menguatkan persaksian, sekaligus dapat menghindarkan kita dari
keraguan. Setelah mendapatkan sumber nash yang menjadi dasar
rujukan untuk memahami hukum pencatatan nikah, kemudian mencari
illat yang sama-sama terkandung dalam akad nikah dan akad
mu’amalah, yaitu adanya penyalah gunaan atau mudharat apabila tidak ada alat bukti tertulis yang menunjukkan sahnya akad tersebut.
Jadi, qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan. Untuk itulah kita dapat mengatakan bahwa pencatatan akad nikah hukumnya
wajib, sebagaimana juga diwajibkan dalam akad mu’amalah. Alat bukti tertulis dapat dipergunakan untuk hal-hal yang berkenaan
dengan kelanjutan akad perkawinan. Dengan adanya alat bukti ini,
pasangan pengantin dapat terhindar dari mudharat dikemudian hari
persoalan rumah tangga, terutama sebagai alat bukti paling sahih
dalam pengadilan agama.28
2. Prosedur Pencatatan Nikah
Yang harus dipersiapkan29:
a) Photo copy Kartu Tanda Penduduk
b) Photo copy Kartu Keluarga
c) Pas Photo ukuran 2x3: 2 lembar dan 3x4: 3 lembar atau sesuai
kebutuhan (ketentuan di masing-masing daerah berbeda)
d) Biodata calon mempelai
e) Biodata orang tua calon mempelai
f) Akta cerai bagi yang berstatus duda/janda karena perceraian
g) Surat Ijin Nikah (bagi anggota TNI/Polri)
h) Beberapa KUA di daerah tertentu ada yang menambahkan
persyaratan administrasi lainnya seperti poto copy Akta Lahir,
poto copy Ijazah terakhir dll.
Langkah-langkah yang harus ditempuh:
a) Meminta surat pengantar kepada ketua RT dan ketua RW
b) Mendatangi Kantor Kepala Desa/Kelurahan untk membuat model
N1 (Surat Keterangan untuk Nikah), N2 (Surat Keterangan
tentang Orang Tua) dan N4(Surat Keterangan Asal-usul).
28
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?,(Jakarta: Visimedia, 2007), hal. 57. 29
Wahyu dewantara, Prosedur Pen atatan Nikah di KUA
Bagi yang berstatus duda/janda karena ditinggal mati
isteri/suami ditambah dengan model N6 (Surat Keterangan
Kematian Suami/ Isteri).
Untuk daerah tertentu yang masih mempertahankan jasa
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), anda bisa meminta
bantuannya untuk mengantar dan membantu proses pendaftaran
hingga pelaksanaan pencatatan nikah.
c) Pendaftaran nikah
Setelah berkas Nikah dari kelurahan atau desa yang terdiri
atas: N 7, N 1, N 2, N 3, N 4 dan data-data pendukung lainnya
telah lengkap, kemudian didaftarkan pada Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan melalui Pembantu Penghulu (PP) pada
masing-masing kelurahan atau desa, maka petugas menerima pendaftaran
Kehendak Nikah tersebut dan mencatat pada buku pendaftaran
nikah.
Buku pendaftaran nikah dibuat dengan format yang mana
bisa digunakan sebagai buku bantu suatu saat ketika
membutuhkan mencari data nikah pada tahun-tahun tertentu
sebelum kita mencarinya pada register.
d) Buku Pemeriksaan dan formulir daftar pemeriksaan Nikah
Setelah pendaftaran nikah, dan berkas dinyatakan lengkap
dilakukan pemeriksaan Calon Pengantin (Catin) yang dicatat pada
formulir daftar pemeriksaan Nikah.
e) Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah dilakukan pemeriksaan Calon Pengantin (Catin)
secara mendalam oleh Penghulu, kemudian pihak Kantor Urusan
Agama (KUA) membuat Pengumuman Kehendak Nikah untuk
ditempelkan pada papan pengumuman yang telah tersedia di
masing-masing Kantor Urusan Agama (KUA) untuk memudahkan
bagi warga masyarakat untuk melakukan pengawasan (controlling)
terhadap Calon Pengantin, apakah ada pihak yang keberatan
terhadap rencana pernikahan tersebut, apakah ada
halangan-halangan untuk dilangsungkannya pernikahan antar Calon
Pengantin tersebut.
f) Penulisan Akta Nikah
Sebelum membahas lebih lanjut tentang penulisan akta
nikah, maka yang dimaksud dengan akta nikah adalah akta
perkawinan sebagai bukti keabsahan perkawinan. Sebagaimana
dimaksud pasal 12 dan 13 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Sedangkan Akta Nikah adalah kutipan Akta Nikah
yang ditandatangani oleh Penghulu.30
Akta sebelum dipergunakan diberi nomor urut lembar
pertama dan terakhir ditanda tangani Kepala Seksi Urusan Agama
Islam pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota dan
lembar lainnya did paraf.
Setelah dilakukannya Akad Nikah, maka langkah
selanjutnya adalah penulisan pada Akta Nikah. Penulisan tersebut
harus dilakukan secara cermat dengan menggunakan tinta
berwarna hitam. Untuk pelaksanaan Nikah di Balai Nikah, maka
Pencatatan Akta Nikah dapat langsung dilakukan oleh Penghulu
yang mengawasi dan mencatat Pernikahan tersebut.
Sedangkan untuk pelaksanaan nikah di luar Balai Nikah,
maka Pencatatan Akta Nikah dilakukan setelah selesainya Akad
Nikah tersebut dengan ketentuan Pencatatan tersebut dilaksanakan
pada hari efektif kerja. Adapun Nikah yang dilakukan pada hari
Libur, maka pencatatannya pada hari efektif kerja berikutnya.
Penulisan Akta Nikah dibuat rangkap dua (2), helai pertama
disimpan oleh Kantor Urusan Agama KUA dan helai kedua
disampaikan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
dilangsungkannya Akad Nikah.
Adapun isi Akta Nikah diatur dalam pasal 12 PP No. 9
Tahun 1975: Akta perkawinan memuat:
(1) Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,
Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu;
(2) Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
orang tua mereka;
(3) Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
Undang-undang;
(4) Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang;
(5) Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4
Undang-undang;
(6) Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang;
(7) Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;
(8) Perjanjian perkawinan apabila ada;
(9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;
(10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
g) Penulisan Buku Kutipan Akta Nikah
Penulisan Kutipan akta nikah harus segera dilakukan setelah
pelaksanaan akad nikah dan sudah dituangkan dalam buku Akta
Nikah, untuk segera disampaikan kepada pasangan Pengantin.
Buku kutipan Akta Nikah terdiri dari dua helai, satu
berwarna coklat untuk suami, sedangkan satunya berwarna hijau
tinta hitam dengan menggunakan huruf balok. Apabila terdapat
kesalahan kemudian dilakukan pencoretan, maka penghulu wajib
membubuhi tanda tangan, karena akta nikah atau kutipan akta
nikah tidak boleh di type ex.
Kutipan akta nikah tidak boleh diadakan suatu perubahan
kecuali dengan keputusan pengadilan yang berwenang.31
3. Pencatatan Nikah dalam pandangan Hukum Islam
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab
pencatatan nikah luput dari perhatian para ulama pada masa awal
Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis
sesuatu selain Alquran. Tujuannya untuk mencegah tercampurnya
Alquran dari yang lain. Akibatnya, kultur tulis tidak begitu
berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan. Kedua, sebagai
kelanjutan dari yang pertama, mereka sangat mengandalkan
ingatan (hafalan). Agaknya mengingat suatu peristiwa nikah
bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimah
al urusy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi, disamping
saksi syar’i tentang suatu pernikahan.32
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan bahwa
“perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
31 Sururudin.wordpress.com/2009/03/21/pencatatan-danpenyimpanan-arsip-nikah/, diakses pada 2 April 2016
yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhan untuk menaati
perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah”. Pasal 3
KHI merumuskan tujuan perkawinan, yaitu untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Mengenai sahnya perkawinan ditentukan dalam Pasal 4 KHI,
bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum
Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Sebagaimana telah diuraikan
bahwa, perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama. Perkawinan
yang dilakukan menurut Hukum Agama adalah suatu “peristiwa hukum” yang tidak dapat dianulir oleh Pasal 2 ayat (2) Undang
-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menentukan tentang “pencatatan perkawinan”. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa rumusan Pasal 4 KHI mempertegas
bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut Hukum
Islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 KHI, bahwa:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
(2) Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur
dalam Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.33
4. Dasar Hukum Aturan Pencatatan Nikah
Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak
dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan
terhadap istri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga
seperti hak waris dan lain-lain.
Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan
dalam administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak memiliki
kekuatan hukum dalam hak status pengasuhan anak, hak waris, dan
hak-hak lainnya sebagai istri yang pas, akhirnya sangat merugikan
pihak perempuan. Berikut ini beberapa dasar hukum mengenai
pencatatan perkawinan/pernikahan34, antara lain:
1. Undang-Undang tentang no 22 tahun 1946
Mengatakan :
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut
nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh
Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan
33 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan& Perkawinan Tidak Dicatat (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 218.
rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut
talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah,
talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar
mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala
hak-hak yang bersangkut dengan kependudukan harus dicatat,
sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada
perkawinan perlu dicatat ini untuk menjaga jangan sampai ada
kekacauan.
2. Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 2 Ayat 2 menyatakan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
3. PP nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan.
Bab II pasal 2, Ayat 1:
“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954
tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk.”
Ayat 2:
“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsunkan
agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.”
Ayat 3:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus
berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai pasal 9 Peraturan
Pemerintah”
5. Tujuan Pencatatan Nikah
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga
pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah)
untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan
pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap sah
sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada
lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah
dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di
hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa
tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar mendapat kepastian
hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal (1) UU tersebut
dijelaskan bahwa: Maksud pasal ini ialah agar nikah, talak dan rujuk
menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam
Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan
penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan
sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan
waris-mal-waris sehingga perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai
ada kekacauan.35
Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk
terjaminnya ketertiban perkawinan. Dan ditegaskan Perkawinan yang
dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.36
6. Manfaat Pencatatan Nikah
a) Mendapat perlindungan hukum
Bayangkan, misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib,
35 Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2009), 336.
pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan
tidak akan dibenarkan. Alasnnya, karena sang istri tidak mampu
menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
b) Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan
pernikahan.
Akta nikah akan membantu suami istri untuk melakukan
kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak
menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang
sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
c) Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan
yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang
ditun