• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PRAKTEK PERATURAN MENTERI AGAMA NO. 11 TAHUN 2007 TENTANG PERBAIKAN DAN PERUBAHAN DALAM BIODATA AKTA NIKAH. : KAJIAN PENETAPAN NO.1035/PDT.P/2015/PA.KAB.MALANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PRAKTEK PERATURAN MENTERI AGAMA NO. 11 TAHUN 2007 TENTANG PERBAIKAN DAN PERUBAHAN DALAM BIODATA AKTA NIKAH. : KAJIAN PENETAPAN NO.1035/PDT.P/2015/PA.KAB.MALANG."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

Khumairoh Halimatus Sya’dia NIM. C51212127

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian dengan judul “Analisis Mas}lah}ah Mursalah Terhadap Praktek PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan dalam biodata akta nikah. (kajian penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang). Adapun masalah yang teliti: Bagaimana implementasi PMA No. 11 tahun 2007 terkait perubahan dan perbaikan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang?

Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik studi dokumenter yaitu mengumpulkan data dan informasi dari penetapan, buku sekunder, artikel dan Undang-Undang. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode teknis deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan atau melukiskan secara sistematis segala fakta aktual yang dihadapi, kemudian dianalisis sehingga memberikan pemahaman yang konkrit, kemudian dapat ditarik kesimpulan. Dalam hal ini dengan mengambil kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Kab. Malang dalam perkara permohonan Perubahan biodata akta nikah, kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan yaitu Implementasi PMA No. 11 tahun 2007 di Pengadilan Agama Kabupaten Malang melayani dengan baik terhadap permasalahan perbaikan dan perubahan biodata akta nikah tersebut. Hal tersebut sesuai dengan suatu sistem Lawrence M Friedman, yaitu yang membagi sistem hukum atas sub-sub sistem yang terdiri dari struktur hukum (legal struture), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Kedua Analisis mas}lah}ah mursalah terkait perubahan dan perbaikan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dalam penetapan perubahan biodata akta nikah Nomor 1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Mlg tersebut seharusnya si pemohon tidak perlu meminta penetapan dari Pengadilan Agama Kab. Malang. Karena berdasarkan PMA No. 11 tahun 2007 pasal 34 ayat 1 terkait perbaikan biodata akta nikah, itu hanya mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA. Hal tersebut jika ditinjau dari segi eksistensi maslahat dan ada tidaknya dalil yang langsung mengaturnya maka termasuk dalam teori Mas}lah}ah al-Mursalah (ةلسرملاةحلصملا).

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK... ... v

KATA PENGANTAR... ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah... 9

D.Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G.Definisi Operasional ... 12

H.Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan... ... 18

BAB II MAS{LAH{AH MURSALAH dan PENCATATAN PERKAWINAN

(8)

1. Pengertian Mas{lah{ah Mursalah ... 20

2. Macam-macam Mas{lah{ah Mursalah ... 21

3. Syarat-syarat Mas{lah{ah Mursalah ... 25

4. Kedudukan Mas{lah{ah Mursalah... ... 26

5. Kehujjahan Maslahah dalam Pandangan Ulama ... 29

B.Pencatatan Pernikahan 1. Pengertian Pencatatan pernikahan ... 31

2. Prosedur Pencatatan Pernikahan ... 35

3. Pencatatan Nikah dalam Pandangan Hukum Islam ... 40

4. Dasar hukum Aturan Pencatatan Nikah ... 42

5. Tujuan Pencatatan Nikah ... 44

6. Manfaat Pencatatan Nikah ... 46

BAB III DESKRIPSI PA Kab. Malang dan Deskripsi Penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang. A.Gambaran Umum Pengadilan Kabupaten Malang 1. Letak Geografis Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 48

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 50

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 51

4. Fasilitas Pendukung Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 54

(9)

2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan

Aagama Kabupaten Malang ... 60

BAB IV Implementasi PMA No 11 Tahun 2007 dan Analisis Mas}lah}}ah Mursalah

terkait Perubahan dan Perbaikan Biodata Akta Nikah di Pengadilan

Agama Kabupaten Malang

A.Implementasi PMA No 11 Tahun 2007 di Pengadilan

Agama Kabupaten Malang ... 63

B.Analisis Mas}lah}}ah Mursalah terkait Perubahan dan Perbaikan Biodata Akta Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Malang ... 69

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 78

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya, suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun

sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia

lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang

pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat - syarat tertentu

disebut perkawinan.

Dalam pandangan shara’, perkawinan itu diperintahkan,

diperbolehkan, dan terkadang diharuskan dengan tujuan untuk

mendapatkan keturunan, mendirikan sebuah keluarga, dan untuk

melindungi dan menjaga kelestarian masyarakat. 1 Namun sebelum

perkawinan berlangsung, maka pasti ada prosedur-prosedur yang harus

dilalui, salah satunya yaitu mengumumkan kehendak pernikahan

kemudian mencatatkan perkawinan tersebut kepada pegawai pencatat

nikah yang berada di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi Islam, dan di

KCS (kantor catatan sipil) bagi non-Islam.

Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak

awal dibentuknya Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973.

(11)

Dalam Negara Republik Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan

agama yang berlaku di wilayah ini, perdebatan serupa telah sering terjadi

sejak pemerintahan Belanda, yaitu sejak Snouck Hurgronje menyamaikan

teori receptie di Indonesia pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad

ke-20, yang tujuannya untuk memperkuat penjajahan Belanda di

Indonesia.

Sebagaimana telah kita ketahui, teori receptie adalah teori yang

tujuannya menghapuskan Hukum Islam di Indonesia dengan cara

menyandarkan keberlakuan Hukum Islam kepada Hukum Adat. Menurut

Snouck Hurgronje, berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo, bahwa

di Indonesia berlaku Hukum Adat asli, tetapi memang dalam Hukum adat

itu ada pengaruh Hukum Islam. Hukum Islam itu baru mempunyai

kekuatan (hukum) jika dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat.2

Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,

Departemen Agama RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam telah mengambil peranan secara langsung dan aktif

untuk melaksanakan undang-undang itu, yang melibatkan dua Direktorat

yakni Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan

Peradilan Agama Islam berdasarkan KMA nomor 18 tahun 1975. Masalah

pencatatan menjadi beban tugas Direktorat Urusan Agama Islam. Sesuai

dengan Undang-undang No. 22/1946 jo. Undang-undang Nomor 32/1954

jo. Undang-undang Nomor 1/1974. Peraturan Pemerintah Nomor 9/1995

2 Sajuti Thalib,

(12)

dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 maka Departemen

Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan

Agama Kecamatan melaksanakan tugas-tugas sebagai Pencatat

Perkawinan, atau Pencatat Nikah. Perlu juga dijelaskan di sini bahwa

Pencatatan Perkawinan/Nikah itu termasuk Pencatatan Talak, Cerai dan

Rujuk. Karena hal ini sangat erat hubungannya dengan masalah

Perkawinan itu sendiri.3

Pencatatan perkawinan yang sah menurut Hukum Islam, yaitu

perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai syari’at

Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

Adapun yang dimaksud dengan Perkawinan Tidak Tercatat adalah

perkawinan yang sah sesuai syariat (hukum) islam yang belum

didaftarkan, sehingga belum tercatat di Kantor Urusan Agama setempat,

atau disebabkan pembiayaan pendaftaran pencatatan yang tidak

terjangkau masyarakat, atau karena lokasi Kantor Urusan Agama yang

jauh dari tempat tinggal orang bersangkutan, atau karena alasan lain yang

tidak bertentangan dengan Hukum Islam.4

Sebelum perkawinan tersebut dicatatkan, maka pegawai di Kantor

Urusan Agama meneliti terlebih dahulu terhadap persyaratan perkawinan

yang akan diajukan. Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan itu

didahului kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai

3

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet.2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal 179

4 Neng Djubaidah,

(13)

maupun oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Calon mempelai atau orang

tuanya atau wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan

perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 3 dan 4 PP).

Selanjutnya Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan

telah dipenuhi, dan apakah tidak terdapat halangan menurut

undang-undang. Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan (pasal 5 dan

6 PP). Karena pencatatan perkawinan tersebut sangat penting

keabsahannya untuk dituliskan ke dalam akta nikah, untuk itu diperlukan

ketelitian dalam penulisan terutama data para pihak.

Meskipun akta perkawinan ditempatkan sebagai syarat

administratif, tapi dalam perspektif kenegaraan memiliki kedudukan yang

sangat penting dan berpengaruh pada sisi lain kehidupannya, terutama

dalam konteks kehidupan bernegara. Sebagai contoh, orang yang telah

menikah harus menunjukkan aktanya jika memiliki suatu urusan

mengenai masalah KTP, Kartu Keluarga, SIM, mendaftarkan anak

sekolah, akta kelahiran anak. Maka dari itu akta perkawinan merupakan

syarat wajib yang ditetapkan oleh Negara.5

Namun terkadang masih terdapat kesalahan dalam pencatatan

perkawinan tersebut. Dan kesalahan sekecil apapun dalam akta nikah

tersebut bisa memiliki implikasi pada orang tersebut di kemudian hari.

5

(14)

Keadaan yang sering terjadi adalah kesulitan dalam pembuatan paspor,

mengurus akta kelahiran anak, mengurus kewarisan dan kesulitan

mengurus dana pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Salah satu

contoh dalam hal kewarisan, seorang istri tidak dapat mengurus dana

pensiun almarhum suaminya karena data dalam akta nikah berbeda

dengan SK PNS suaminya. Data dalam SK PNS biasanya mengacu pada

ijazah yang dimiliki, sedangkan data pada akta nikah biasanya orang

hanya mengisi blanko-blanko pendaftaran berdasarkan Kartu Tanda

Penduduk (KTP) atau rekomendasi dari desa. Sementara data KTP

sebelum pelaksanaan e-KTP, pemeriksaan dalam penerbitannya belum

maksimal atau tidak berdasarkan data valid.

Sedangkan dalam kaitannya dengan kesulitan mengurus akta

kelahiran anak yaitu akta nikah dijadikan acuan adanya perkawinan yang

sah, sehingga dapat melindungi hak-hak anak yang dilahirkan baik secara

administrasi maupun secara hukum. Karena jika anak tidak memiliki akta

kelahiran maka akan mengalami hambatan-hambatan dalam urusan

administrasi maupun hukum dalam kaitannya anak yang sah dan berhak

memperoleh warisan.

Perubahan dan perbaikan biodata akta nikah yang dikeluarkan oleh

Kantor Urusan Agama (KUA) diatur dalam Peraturan Menteri Agama

(PMA) Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah pasal 34 ayat (1)

“Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan

(15)

perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA”. Sedangkan yang ayat ke (2) yaitu “Perubahan yang menyangkut biodata

suami, istri ataupun wali harus didasarkan kepada putusan pengadilan

pada wilayah yang bersangkutan”. Dalam pasal 1 ayat (5) dijelaskan “pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah”.

Dari penjelasan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama

(PMA) tersebut, bahwasanya perubahan dan perbaikan itu berbeda. Untuk

perbaikan biodata akta nikah itu memperbaiki karena kesalahan ejaan

atau mengalami kesalahan redaksional saja. Misalnya nama asli yang

benar di dalam akta kelahiran adalah RUSTYOWATI, namun di dalam

akta nikah RUSTIOWATI. Hal tersebut cukup diselesaikan oleh pejabat

yang mengeluarkan akta tersebut (Kantor Catatan Sipil atau Kantor

Urusan Agama). Dan tidak perlu mengurus atau meminta penetapan dari

Pengadilan Agama.

Sedangkan untuk perubahan biodata akta nikah yaitu kesalahan

yang sama sekali berbeda. Misalnya SITI MUTHMAINNAH menjadi

SITI MUTHOHAROH. Permasalahan tersebut harus memerlukan

putusan pengadilan negeri atau pengadilan Agama terlebih dahulu

sebelum mengurusnya ke KUA (Kantor Urusan Agama).

Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, sering menangani kasus

perubahan maupun perbaikan biodata akta nikah. Hal tersebut tidak

dibedakan antara perbaikan maupun perubahan biodata akta nikah. Dalam

(16)

yang ditulis oleh pegawai pencatat nikah dari Kantor Urusan Agama

(KUA) terdapat kesalahan penulisan pada nama pemohon. Dengan

terjadinya kesalahan penulisan pada akta nikah tersebut pemohon

mengalami hambatan dalam proses mengurus akta kelahiran anaknya.

Menurut Agus Samthon, Kepala KUA Kecamatan Wagir

Kabupaten Malang bahwa, perubahan biodata akta nikah selalu

berdasarkan putusan dari pengadilan agama, baik itu kesalahan

redaksional maupun perubahan yang sama sekali berbeda dari aslinya. Hal

tersebut memang disamakan perbaikan dengan perubahan, karena

perubahan biodata akta nikah yang salah nantinya juga pasti diperbaiki.6

Dalam penetapan perubahan biodata akta nikah Nomor

1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Mlg tersebut seharusnya si pemohon tidak perlu

meminta penetapan dari Pengadilan Agama Kab. Malang. Karena

berdasarkan PMA No 11 tahun 2007 terkait perbaikan biodata akta nikah,

itu hanya mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan

salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi

paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA.

Menurut hukum Islam, baik permohonan perubahan maupun

perbaikan biodata dalam akta nikah ini termasuk dalam mas}lah}ah

mursalah, yaitu mas}lah}ah d{oruriyat karena permasalahan permohonan

perubahan biodata ini bisa memberikan perlindungan terhadap pihak yang

dirugikan hanya dengan kesalahan penulisan tersebut jika dikaji dengan

6 Agus Samthon,

(17)

mas}lah}ah d}oruriyat tersebut, hal tersebut tujuannya untuk mencari

kemaslahatan dan menghindari kemadaratan.

Melihat banyaknya kasus perbaikan biodata akta nikah yang

memiliki dampak kesalah pahaman terhadap masyarakat, penulis tertarik

untuk membahas tentang “Analisis Mas}lah}ah Mursalah Terhadap Praktek

PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan dalam biodata

akta nikah. (kajian penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang)”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang diatas, dapat di identifikasikan

permasalahan yang mungkin timbul diantaranya adalah:

1. Peraturan tentang pencatatan peristiwa penting dalam akta nikah.

2. Peraturan Perundang-undangan tentang perbaikan dan perubahan data

akta autentik, khususnya akta nikah.

3. Sebab-sebab dalam perbaikan biodata akta nikah.

4. Implikasi dalam perbaikan biodata akta nikah.

5. Praktek PMA No. 11 tahun 2007 terkait perbaikan dan perubahan

dalam biodata akta nikah, kajian penetapan

No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang.

Dari identifikasi masalah di atas, agar penelitian ini maksimal maka

penulis akan batasi pada permasalahan sebagai berikut:

1. Implementasi PMA No. 11 tahun 2007 terkait perubahan dan

(18)

2. Analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA No. 11 tahun 2007

tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi tersebut di atas, beberapa permasalahan

pokok yang diteliti antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi PMA No. 11 tahun 2007 terkait perubahan

dan perbaikan biodata akta nikah di Pengadilan Agama Kabupaten

Malang?

2. Bagaimana analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA No. 11

tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah di

Pengadilan Agama Kabupaten Malang?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.7

Pada umumnya penelitian-penelitian sebelumnya membahas lebih

mengacu terhadap mekanisme perubahan, diantaranya adalah skripsi yang

disusun oleh Khusnia Isro’i yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Perubahan Biodata Dalam Akta Nikah (studi terhadap

7

(19)

penetapan pengadilan agama Yogyakarta nomor

:0058/Pdt.P/2011/PA.Yk)”. Skripsi ini menjelaskan bahwa permohonan

perubahan biodata dalam akta nikah ini dikabulkan oleh Majlis Hakim

berdasarkan tinjauan hukum islam dan berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan dan bukti yang ada, bahwa nama pemohon dalam buku

kutipan akta nikah memang benar-benar salah dan harus dilakukan

pembenaran untuk mengurusi segala urusan-urusan pentingnya8.

Kedua, thesis yang disusun oleh Faeshol Ghozali yang berjudul

“Implikasi Hukum Kesalahan Biodata dalam Akta Nikah” (Tinjauan

Yuridis dan al-Qawaid al-Fiqhiyyah terhadap Perkara Perbaikan

Kesalahan Biodata di Pengadilan Agama Semarang). Thesis ini lebih

menjelaskan tentang sejauh mana implikasi hukum yang cukup kompleks

dari kesalahan dalam biodata akta nikah tersebut.9

Ketiga, skripsi yang disusun oleh Ade Ani Satriani yang berjudul

“Penerapan Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) Online di

KUA kota Surabaya dalam perspektif PMA No. 11 tahun 2007”. Skripsi

ini menjelaskan tentang peningkatan kinerja KUA di Surabaya jika

melakukan pelatihan kepada seluruh staf khususnya bagi staf yang sudah

lanjut usia dalam memahami tatacara penggunaan SIMKAH online di

8 Khusnia Isro’I, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perubahan Biodata dalam Akta Nikah(studi

terhadap penetapan pengadilan agama Yogyakarta nomor:0058/Pdt.P/2011/PA.Yk)”(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, 2012)

(20)

KUA Kota Surabaya, serta lebih maksimal melakukan publikasi ke

masyarakat yang ada hubungannya dengan penggunaan manajemen

(SIMKAH) online di KUA Surabaya.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibuat adalah untuk menjawab pertanyaan

sebagaimana rumusan masalah di atas sehingga nantinya dapat diketahui

secara jelas dan terperinci tujuan diadakannya penelitian ini. Adapun

tujuan tersebut adalah:

1. Untuk mengetahui praktek PMA. No 11 tahun 2007 terkait perubahan

dan perbaikan biodata akta nikah di PA Kab. Malang

2. Untuk mengetahui analisis mas}lah}ah mursalah dalam praktek PMA

No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta

nikah.

F. Kegunanaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari dua aspek, yaitu:

1. Kegunaan secara teoritis, memperkaya khazanah keilmuan, dapat

dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan khususnya

dalam masalah perdata di lingkungan Pengadilan Agama serta dapat

dijadikan acuan atau pedoman dalam berbagai permasalahan

(21)

2. Kegunaan secara praktis, dapat dijadikan literatur atau referensi untuk

merumuskan dan melaksanakan penyampaian materi hukum acara

Pengadilan Agama di Fakultas Syari’ah UIN Sunan Ampel Surabaya

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

G. Definisi Operasional

Dalam rangka untuk menghindari kesalah pahaman dalam memahami

maksud dari pnelitian, maka penulis memberikan definisi operasional

sebagai berikut:

1. Analisis mas}lah}}ah mursalah: studi dokumen yaitu menggunakan

sumber-sumber data sekunder saja yang berupa analisis hukum Islam,

yaitu berupa mas}lah}ah mursalah. Mas}lah}ah adalah sesuatu yang

dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan

menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan

tujuan syara’ dalam menetapkan hukum10. Analisis ini merupakan

penyelidikan terhadap suatu keadaan yang bertujuan untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya.

2. Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat

Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai

pencatatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan

melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon

istri.11

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih(Jakarta, Kencana, 2009), 347 11 Muhammad Zein&Mukhtar Alshadiq,

(22)

3. Perbedaan antara perbaikan dan perubahan dalam PMA No. 11 tahun

2007. Jika perbaikan biodata akta nikah itu memperbaiki karena

kesalahan ejaan atau mengalami kesalahan redaksional saja. Misalnya

nama asli yang benar di dalam akta kelahiran adalah RUSTYOWATI,

namun di dalam akta nikah RUSTIOWATI. Hal tersebut cukup

diselesaikan oleh pejabat yang mengeluarkan akta tersebut (Kantor

Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Sedangkan perubahan

biodata akta nikah yaitu kesalahan yang sama sekali berbeda. Misalnya

SITI MUTHMAINNAH menjadi SITI MUTHOHAROH.

Permasalahan tersebut harus memerlukan putusan pengadilan negeri

atau pengadilan Agama terlebih dahulu sebelum mengurusnya ke KUA

(Kantor Urusan Agama).

Dari kasus perubahan data akta nikah diatas dapat

dikualifikasikan dalam tiga kategori yaitu : Kategori pertama;

kesalahan dalam penulisan tempat tanggal lahir, dalam data akta nikah

banyak ditulis umur seseorang ketika menikah misalnya, dalam kolom

tanggal lahir tertulis 18 tahun yang seharusnya tertulis tanggal bulan

dan tahun. Begitu juga dalam kolom tempat lahir, banyak terjadi

karena dulu pemerintah menggunakan kecamatan sebagai tempat

tanggal lahir, tetapi regulasi sekarang menggunakan nama

kota/Kabupaten sebagai tempat lahir, sehingga menimbulkan banyak

perbedaan pada akta yang diterbitkan dahulu dan akta-akta yang

(23)

Kategori kedua: kesalahan dalam penulisan data karena kesalahan

ejaan atau salah redaksional.

Kategori ketiga: ketidak sesuaian nama pada akta nikah dengan

data identitas yang lain, misalnya seseorang yang baru melaksanakan

ibadah haji biasanya akan mendapatkan nama baru. Nama baru ini

kemudian ditambahkan pada nama aslinya, bahkan ada yang

mengganti nama aslinya dengan nama baru tersebut. Sementara

perubahan nama tidak diikuti dengan perubahan nama akta-akta yang

lain.

Untuk kategori yang pertama dan kedua di atas merupakan

masalah perbaikan biodata akta nikah, sedangkan untuk kategori

nomor tiga merupakan masalah perubahan biodata akta nikah.12

H. Metode Penelitian

Dalam hal untuk menemukan dan mengembangkan suatu ilmu yang

bersifat objektif, maka harus menggunakan metode penelitian untuk

memperoleh dan mengumpulkan data kemudian dianalisis secara

sistematis berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada.

Adapun langkah-langkah sistematis yang diperlukan untuk

menghasilkan gambaran yang baik dalam penelitian ini yaitu:

1. Data yang Dikumpulkan

Data merupakan semua keterangan seseorang yang dijadikan

responden maupun yang berasal dari dokumen-dokumen baik dalam

(24)

bentuk statistik atau dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian

yang dimaksud.13

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam

penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:

a. Data tentang penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang

b. Data yang diperoleh dari buku dan PMA yang berkaitan dengan

perbaikan dan perubahan biodata akta nikah

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Sumber Primer

Sumber ini hanya mengacu pada Salinan penetapan perkara

permohonan perubahan biodata akta nikah putusan Pengadilan

Agama Malang Perkara No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang.

b. Sumber Sekunder

1. PMA No. 11 tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan

dalam biodata akta nikah

2. UU Nomor 23 tahun 2006 dan Perpres RI Nomor 25 tahun 2008

tentang perbaikan akta

3. Neng Djubaidah. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak

Dicatat. Jakarta: Sinar Grafika. 2010

4. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2009

3. Teknik Pengumpulan Data

(25)

a. Dokumentasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan

melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis”.

Adapun studi dokumenter yang penulis lakukan dengan

mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku sekunder dan UU

yang mengenai ketetapan permohonan putusan

No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang yang kemudian penulis dapat

mempelajari, menelaah dan menganalisa data-data tersebut.

b. Wawancara (Interview), adalah suatu bentuk komunikasi atau

percakapan antara dua orang atau lebih guna memperoleh informasi,

yakni dengan cara bertanya langsung kepada subjek atau informan

untuk mendapatkan informasi yang diinginkan guna mencapai

tujuannya dan memperoleh data yang akan dijadikan sebagai bahan

laporan penelitian. Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan

hakim Pengadilan Agama Kab.Malang yang menangani perkara

permohonan perubahan biodata akta nikah putusan

No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka teknik pengolahan

data yang penulis lakukan yaitu:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap data-data yang

diperoleh.14Setelah data terkumpul, maka kegiatan selanjutnya adalah

memeriksa kembali mengenai kelengkapan dan kejelasan data tentang

(26)

permohonan biodata akta Nikah pada penetapan Pengadilan Agama

penetapan No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang

b. Organizing, yaitu kegiatan mengatur dan menyusun bagian-bagian

sehingga seluruhnya menjadi satu kesatuan yang teratur. Kegiatan ini

dilakukan untuk menyusun data dengan sistematis untuk memperoleh

gambaran yang jelas tentang permohonan putusan perbaikan biodata

akta nikah No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang

5. Metode Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Teknis Deskriptif Analisis

Yaitu dengan menggambarkan atau melukiskan secara

sistematis segala fakta aktual yang dihadapi, kemudian dianalisis

sehingga memberikan pemahaman yang konkrit, kemudian dapat

ditarik kesimpulan. Dalam hal ini dengan mengambil kasus yang

terjadi di Pengadilan Agama Kab. Malang dalam perkara permohonan

Perubahan biodata akta nikah, kemudian dikaitkan dengan teori dan

dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga

mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum.

b. Pola Pikir Deduktif

Yaitu metode yang diawali dengan mengemukakan teori-teori

bersifat umum yang berkenaan dengan perbaikan dan perubahan

biodata akta nikah. Selanjutnya digunakan menganalisis terhadap

(27)

No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang dengan analisis terhadap dasar

dan pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Kab.

Malang dalam menerima dan menyelesaikan perkara permohonan

perubahan biodata akta nikah No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang

I. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan dalam Judul ini mempunyai alur pikiran yang

jelas dan terfokus pada pokok permasalahan, maka penulis menyusun

sistematika dalam lima bab dari Judul ini meliputi:

Bab I sebagai pendahuluan berisi tentang uraian latar belakang masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional, metode penelitian serta sistematika

pembahasan.

Bab II Merupakan landasan teori yang membahas tentang mas}lah}ah

mursalah dan pencatatan perkawinan terdiri dari: pengertian mas}lah}ah

mursalah, macam-macam dan syarat maslahah mursalah. kedudukan dan

kehujjahan maslahah. Kemudian pengertian, prosedur pencatatan

perkawinan, pencatatan nikah dalam pandangan islam, dan dasar hukum

aturan pencatatan nikah.

Bab III : Merupakan Laporan hasil penelitian berisi tentang gambaran

umum Pengadilan Agama Kab. Malang, Struktur Organiasi Pengadilan

Agama Kab. Malang, keadaan geografis dan wilayah yuridis Pengadilan

(28)

perkara permohonan perbaikan perubahan biodata akta nikah

No.1035/Pdt.P/2015/PA.Kab.Malang

Bab IV Analisis pelaksanaan praktek PMA praktek PMA No. 11 tahun

2007 terkait perubahan dan perbaikan biodata akta nikah di PA Kab.

Malang dan analisis maslahah mursalah dalam praktek PMA No. 11

tahun 2007 tentang perbaikan dan perubahan biodata akta nikah.

Bab V Merupakan bagian terakhir dari skripsi atau bab penutup yang

menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang dilengakapi dengan saran-saran.

Selain itu dalam bab terakhir ini akan dilengkapi dengan daftar pustaka

(29)

BAB II

MAS{LAH{AH MURSALAH dan PENCATATAN PERKAWINAN

A. Mas{lah{ah Mursalah

1. Pengertian Mas{lah{ah Mursalah

Sebelum menjelaskan arti mas{lah{ah mursalah, terlebih

dahulu perlu dibahas tentang mas}lah}ah, karena mas}lah}ah mursalah itu

merupakan salah satu bentuk dari mashlahah.

Mas}lah}ah (ةحلصم) berasal dari kata s}alaha (حلص) dengan

penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti

kata s}alah (حاص), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya

kerusakan”.14

Pengertian mas}lah}ah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan

-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi

manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti

menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak

atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.

Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mas}lah}ah.

Dengan begitu mas}lah}ah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau

(30)

mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan

kemudaratan.15

2. Macam-macam Maslahah:

Kekuatan mas}lah}ah dapat dilihat dari segi tujuan syara’

dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak

langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu:

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat dari segi

tingkat kebutuhan manusia kepada lima hal tersebut.

1. Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan hukum,

mas}lah}ah dharuriyah, mas}lah}ah hajiyah, dan mas}lah}ah

tahsiniyah.16

a. Almas}lah}ah d}aruriyah (ةيرورضلا ةحلصملا) adalah kemaslahatan

yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan

manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punya arti

apa-apabila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak ada. Segala

usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada

keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah

dalam tingkat d}aruri. Karena itu Allah memerintahkan manusia

melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.

Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada

atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima

unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah

(31)

melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah

tersebut adalah baik atau mas}lah}ah dalam tingkat d}aruri. Dalam

hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama;

melarang membunuh untuk memelihara jiwa; melarang minum

minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk

memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk

memelihara harta.

b. Almas}lah}ah h}ajiyah ( يجاحلا حلصملا) adalah kemaslahatan yang

tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada

tingkat d}aruri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung

bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (d}aruri), tetapi

secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal

yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup

manusia. Contoh maslahah h}ajiyah adalah: menuntut ilmu

agama untuk tegaknya agama; makan untuk kelangsungan

hidup; mengasah otak untuk sempurnanya akal; melakukan jual

beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan

baik atau maslahah dalam tingkat h}aji.

c. Almas}lah}ah altahsiniyah ( ينيسحتلا حلصملا) adalah mas}lah}ah yang

kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai d}aruri, juga

tidak sampai haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi

dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup

(32)

2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal

itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari

maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, maslahah itu

disebut juga dengan munasib atau keserasian maslahah dengan

tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib itu dari segi

pembuat hukum (Syar’i) memperhatikannya atau tidak, maslahah

terbagi kepada tiga macam, yaitu:17

a. Mas}lah}ah al-Mu’tabarah (ر تعملا حلصملا), yaitu maslahah yang

yang diperhitungkan oleh Syari’. Maksudnya, ada petunjuk dari Syari’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan

petunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam

menetapkan hukum. Sebagai contoh, di dalam QS. al-Baqarah

(2):222 terdapat norma bahwa istri yang sedang menstruasi

(haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaminya karena

faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan. Untuk

masalah istrinya yang sedang nifas, hal tersebut dapat

diaplikasikan qiyas. Konsekuensinya, si istri itu haram

disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit

yang ditimbulkan. Dengan disebut secara eksplisit oleh nash

syara’ maka al-maslahah yang dikehendaki oleh aplikasi qiyas

tersebut merupakan al-mas}lah}ah al-mu’tabarah. 18

17Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh ( Jakarta: Kencana, 2009), 351 18

(33)

b. Mas}lah}ah al-Mulghah (اغلملا حلصملا), atau mashlahah yang

ditolak, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi

tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang

menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah

sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’menetapkan

hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahah

itu.

Contoh: di masa kini masyarakat telah mengakui emansipasi

wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh

karena itu, akal menganggap baik atau maslahah untuk

menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dalam

memperoleh harta warisan. Hal inipun dianggap sejalan dengan

tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk

memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang

berlaku pada laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan

ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu,

yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak

perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nisa’

(4):11.19

c. Mas}lah}ah al-Mursalah (ةلسرملا ةحلصملا), atau yang juga biasa

disebut Istislah (حاصتساا), yaitu apa yang dipandang baik oleh

akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;

(34)

namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.20

Dengan demikian, al-Mas}lah}ah al-Mursalah adalah suatu

kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada

pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan

syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan

kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu

yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang

berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu

manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan Mas}lah}ah

al-Mursalah. Tujuan utama al-Mas}lah}ah al-Mursalah adalah

kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga

kemanfaatannya.

Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’

memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’

yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.21

3. Syarat-Syarat Mas}lah}ah al-Mursalah

Supaya penggunaan maslahah al-mursalah dalam suatu persoalan

tetap sejalan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam hukum Islam

serta tidak menyimpang dari maqashid syariah, para pakar usul

fiqh membuat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar maslahah

al-mursalah bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam penggalian

20 Ibid,. 354.

(35)

sebuah hukum. Syarat-syarat tersebut adalah sebagaimana

diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:22

1) Mas}lah}ah harus sejalan tidak boleh bertentangan (harus sejalan)

dengan tujuan syariat atau nilai-nilai yang berlaku dalam

persyariatan sehingga tidak mengeliminasi dasar-dasar syariat dan

juga tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil yang qat’i yang

terdapat dalam al-Quran maupun al-Hadis.

2) Mas}lah}ah harus berupa Mas}lah}ah yang sifatnya dapat diterima

oleh akal/rasional. Sehingga kemaslahatan yang sifatnya belum

pasti, tidak dapat dibenarkan penggunaannya. Dengan kata lain

sifat Mas}lah}ah harus hakikat dan tidak boleh diduga-duga.

3) Mas}lah}ah harus bersifat umum. Yakni kemaslahatannya

menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan Mas}lah}ah yang

hanya dapat dirasakan oleh sebagian orang atau sebagian

kelompok saja.

4. Kedudukan Mas}lah}ah Mursalah

Kalangan ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyah berpendapat

bahwa mas}lah}ah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dalil

hukum Islam.

Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka. Diantaranya

adalah :23

22Wahbah Zuhailiy, Usul al-Fiqh al-Islamiy…,799. 23

(36)

a. Adanya perintah Alquran (QS. Al-Nisa’ (4):59) agar mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Alquran

dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa perselisihan itu terjadi

karena ia merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya

di dalam Alquran dan sunnah. Untuk memecahkan masalah

semacam itu, selain dapat ditempuh lewat metode qiyas, tentu

juga dapat ditempuh lewat metode lain seperti istislah. Sebab,

tidak semua kasus semacam itu dapat diselesaikan dengan meode

qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak langsung juga

memerintahkan mujtahid untuk mengembalikan persoalan baru

yang dihadapi kepada Alquran dan sunnah dengan mengacu

kepada prinsip maslahah yang selalu ditegakkan oleh Alquran dan

sunnah. Cara ini dapat ditempuh melalui metode istislah, yakni

menjadikan mas}lah}ah mursalah sebagai dasar pertimbangan

penetapan hukum Islam.

b. Hadis Mu’adz bin Jabal. Dalam hadis itu, Rasulullah SAW membenarkan dan memberi restu kepada Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perlu diputuskan

hukumnya tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah, dengan wajh

al-istidlal bahwa dalam berijtihad banyak metode yang bisa

dipergunakan. Diantaranya, dengan metode qiyas, apabila kasus

(37)

ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada ‘illah yang mempertemukan.

Dalam kondisi kasus itu tidak ada percontohannya yang

hukumnya sudah ditegaskan oleh Alquran atau sunnah, tentu

ijtihad tidak dapat dilakukan melalui qiyas. Dalam kondisi

demikian, metode istislah, merupakan pilihan yang paling tepat.

Dengan demikian, restu Rasulullah kepada Mu’adz untuk

melakukan ijtihad juga sebagai restu bagi kebolehan mujtahid

mempergunakan metode istislah dalam berijtihad.

c. Tujuan pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan manusia akan

selalu berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan zaman.

Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru

yang hukumnya belum ditegaskan oleh Alquran dan sunnah.

Kalaulah pemecahan masalah baru yang tidak dapat diselesaikan

oleh hukum Islam. Hal ini menjadi persoalan yang serius dan

hukum Islam akan ketinggalan zaman. Untuk mengatasi hal

tersebut, dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain,

diantaranya adalah istislah.

d. Di zaman sahabat banyak muncul masalah baru yang belum

pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Untuk mengatasi hal ini,

(38)

mursalah. Cara dan tindakan semacam ini sudah menjadi

konsensus para sahabat.

Contoh kasus ijtihad sahabat yang dilakukan berdasarkan

mas}lah}ah mursalah cukup banyak. Diantaranya ialah (1)

kodifikasi Alquran oleh Khalifah Abu Bakar, penunjukan Umar

bin al-Khaththab oleh Khalifah Abu Bakar sebagai penerus

jabatan khalifah sepeninggal beliau; (2) tindakan Umar bin

al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada muallaf;(3)

tindakan beliau tidak membagi tanah yang ditaklukkan kepada

prajurit yang menaklukkannya dan tanah itu tetap dikuasai

pemiliknya dengan kewajiban membayar pajak.

5. Kehujjahan Mas}lah}ah dalam Pandangan Ulama

Kehujjahan Mas}lah}}ah dalam pandangan ulama, maksudnya adalah

pendapat dan pandangan beberapa tokoh ulama terhadap mas}lah}ah

sebagai sumber hukum yang mengandung arti bahwa maslahah

menjadi landasan tolak ukur dalam penetapan hukum. Dalam hal ini,

al-Munawwar menyebutkan bahwa para ushuliyyin (para pakar ilmu

ushul fiqh) membahas persoalan maslahah dalam dua pokok bahasan,

yaitu:24

Pertama, ketika mereka membahas kajian seputar al-Mas}lah}ah

sebagai illat (motif yang melahirkan hukum). Pengkajian mengenai

illat ini berkaitan dengan perubahan di seputar masalah qiyas, yaitu

24

(39)

mempersamakan hukum suatu masalah yang tidak ada nash-nya

karena diantara keduanya terdapat persamaan dari segi illat. Jumhur

ulama berpendapat bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh nash

atau ijma’ (kesepakatan para ulama), semuanya didasarkan atas

hikmah, yaitu untuk meraih manfaat atau kemaslahatan dan

menghindarkan Mafsadah (kerusakan). Dalam pada itu, setiap illat

yang menjadi landasan suatu hukum bermuara pada kepentingan

kemaslahatan manusia.

Kedua, sebagai sumber hukum Islam. Dalam membicarakan

al-Mas}lah}ah sebagai sumber hukum Islam, pada umumnya ulama lebih

dahulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’

terhadapnya, baik bersifat mengakuinya sebagai al-Mas}lah}ah atau

tidak.

Selain itu, para ulama yang menjadikan mas}lah}ah mursalah

sebagai hujjah sangat berhati-hati dalam menggunakannya, sehingga

tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan nafsu. Oleh

karena itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya

sebagai hujjah:

Pertama, berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan

yang semu. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya

menarik suatu manfaat atau menolak bahaya. Jika hanya didasarkan

(40)

membandingkannya dengan yang menarik suatu bahaya, berarti

didasarkan atas kemaslahatan yang semu.

Kedua, berupa kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan

pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya

dapat menarik bagi umat manusia atau menolak bahaya dari mereka,

bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum tidak

ditetapkan demi kemaslahatan khusus para pimpinan atau pembesar

saja, dengan tidak melihat mayoritas atau kemaslahatan mereka.

Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas umat manusia.

Ketiga, penetapan hukum untuk kemaslahatan itu tidak boleh

bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash

atau ijma’, maka tidak sah menganggap suatu kemaslahatan yang

menuntut persamaan hak waris antara hak laki-laki dan perempuan.

Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena bertentangan dengan nash

Alquran.25

B. Pencatatan Pernikahan

1. Pengertian Pencatatan pernikahan

Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan itu didahului

kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya

atau wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan

kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 3 dan 4 PP). Selanjutnya

25

(41)

Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah

dipenuhi, dan apakah tidak terdapat halangan menurut

undang-undang. Demikian pula meniliti surat-surat yang diperlukan (pasal 5

dan 6 PP) ini.

Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan

perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat yang diperlukan maka

keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada

orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7 ayat (2) - PP). Bila

pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi syarat-syarat

yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk kawin, maka

Pegawai Pencatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan

kehendak melangsungkan perkawinan, menurut formulir yang telah

ditetapkan, dan menempelnya di Kantor Pencatatan yang mudah

dibaca oleh umum. Pengumuman serupa itu juga dilakukan di Kantor

Pencatatan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

masing-masing calon mempelai (pasal 8 dan Penjelasan pasal 9 PP).26

Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat

Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai

pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan

melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon

istri.27

26 Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 180.

(42)

Karena pencatatan nikah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang

otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan

dengan ajaran islam sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam

surah al-Baqarah ayat 282:

(43)







































































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah

(seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendektekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendektekan sendiri, maka

hendaklah walinya mendektekannya dengan benar. Dan

(44)

lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tiadak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertaqwalah pada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah maha

mengetahui segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah :282).

Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah pencatatan secara

tertulis dalam segala bentuk urusan mu’amalah, seperti perdagangan,

hutang piutang dan sebagainya. Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa,

alat bukti tertulis itu statusnya lebih adil dan benar disisi Allah dapat

menguatkan persaksian, sekaligus dapat menghindarkan kita dari

keraguan. Setelah mendapatkan sumber nash yang menjadi dasar

rujukan untuk memahami hukum pencatatan nikah, kemudian mencari

illat yang sama-sama terkandung dalam akad nikah dan akad

mu’amalah, yaitu adanya penyalah gunaan atau mudharat apabila tidak ada alat bukti tertulis yang menunjukkan sahnya akad tersebut.

Jadi, qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan. Untuk itulah kita dapat mengatakan bahwa pencatatan akad nikah hukumnya

wajib, sebagaimana juga diwajibkan dalam akad mu’amalah. Alat bukti tertulis dapat dipergunakan untuk hal-hal yang berkenaan

dengan kelanjutan akad perkawinan. Dengan adanya alat bukti ini,

pasangan pengantin dapat terhindar dari mudharat dikemudian hari

(45)

persoalan rumah tangga, terutama sebagai alat bukti paling sahih

dalam pengadilan agama.28

2. Prosedur Pencatatan Nikah

Yang harus dipersiapkan29:

a) Photo copy Kartu Tanda Penduduk

b) Photo copy Kartu Keluarga

c) Pas Photo ukuran 2x3: 2 lembar dan 3x4: 3 lembar atau sesuai

kebutuhan (ketentuan di masing-masing daerah berbeda)

d) Biodata calon mempelai

e) Biodata orang tua calon mempelai

f) Akta cerai bagi yang berstatus duda/janda karena perceraian

g) Surat Ijin Nikah (bagi anggota TNI/Polri)

h) Beberapa KUA di daerah tertentu ada yang menambahkan

persyaratan administrasi lainnya seperti poto copy Akta Lahir,

poto copy Ijazah terakhir dll.

Langkah-langkah yang harus ditempuh:

a) Meminta surat pengantar kepada ketua RT dan ketua RW

b) Mendatangi Kantor Kepala Desa/Kelurahan untk membuat model

N1 (Surat Keterangan untuk Nikah), N2 (Surat Keterangan

tentang Orang Tua) dan N4(Surat Keterangan Asal-usul).

28

Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?,(Jakarta: Visimedia, 2007), hal. 57. 29

Wahyu dewantara, Prosedur Pen atatan Nikah di KUA

(46)

Bagi yang berstatus duda/janda karena ditinggal mati

isteri/suami ditambah dengan model N6 (Surat Keterangan

Kematian Suami/ Isteri).

Untuk daerah tertentu yang masih mempertahankan jasa

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), anda bisa meminta

bantuannya untuk mengantar dan membantu proses pendaftaran

hingga pelaksanaan pencatatan nikah.

c) Pendaftaran nikah

Setelah berkas Nikah dari kelurahan atau desa yang terdiri

atas: N 7, N 1, N 2, N 3, N 4 dan data-data pendukung lainnya

telah lengkap, kemudian didaftarkan pada Kantor Urusan Agama

(KUA) Kecamatan melalui Pembantu Penghulu (PP) pada

masing-masing kelurahan atau desa, maka petugas menerima pendaftaran

Kehendak Nikah tersebut dan mencatat pada buku pendaftaran

nikah.

Buku pendaftaran nikah dibuat dengan format yang mana

bisa digunakan sebagai buku bantu suatu saat ketika

membutuhkan mencari data nikah pada tahun-tahun tertentu

sebelum kita mencarinya pada register.

d) Buku Pemeriksaan dan formulir daftar pemeriksaan Nikah

Setelah pendaftaran nikah, dan berkas dinyatakan lengkap

(47)

dilakukan pemeriksaan Calon Pengantin (Catin) yang dicatat pada

formulir daftar pemeriksaan Nikah.

e) Pengumuman Kehendak Nikah

Setelah dilakukan pemeriksaan Calon Pengantin (Catin)

secara mendalam oleh Penghulu, kemudian pihak Kantor Urusan

Agama (KUA) membuat Pengumuman Kehendak Nikah untuk

ditempelkan pada papan pengumuman yang telah tersedia di

masing-masing Kantor Urusan Agama (KUA) untuk memudahkan

bagi warga masyarakat untuk melakukan pengawasan (controlling)

terhadap Calon Pengantin, apakah ada pihak yang keberatan

terhadap rencana pernikahan tersebut, apakah ada

halangan-halangan untuk dilangsungkannya pernikahan antar Calon

Pengantin tersebut.

f) Penulisan Akta Nikah

Sebelum membahas lebih lanjut tentang penulisan akta

nikah, maka yang dimaksud dengan akta nikah adalah akta

perkawinan sebagai bukti keabsahan perkawinan. Sebagaimana

dimaksud pasal 12 dan 13 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975

tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan. Sedangkan Akta Nikah adalah kutipan Akta Nikah

yang ditandatangani oleh Penghulu.30

(48)

Akta sebelum dipergunakan diberi nomor urut lembar

pertama dan terakhir ditanda tangani Kepala Seksi Urusan Agama

Islam pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota dan

lembar lainnya did paraf.

Setelah dilakukannya Akad Nikah, maka langkah

selanjutnya adalah penulisan pada Akta Nikah. Penulisan tersebut

harus dilakukan secara cermat dengan menggunakan tinta

berwarna hitam. Untuk pelaksanaan Nikah di Balai Nikah, maka

Pencatatan Akta Nikah dapat langsung dilakukan oleh Penghulu

yang mengawasi dan mencatat Pernikahan tersebut.

Sedangkan untuk pelaksanaan nikah di luar Balai Nikah,

maka Pencatatan Akta Nikah dilakukan setelah selesainya Akad

Nikah tersebut dengan ketentuan Pencatatan tersebut dilaksanakan

pada hari efektif kerja. Adapun Nikah yang dilakukan pada hari

Libur, maka pencatatannya pada hari efektif kerja berikutnya.

Penulisan Akta Nikah dibuat rangkap dua (2), helai pertama

disimpan oleh Kantor Urusan Agama KUA dan helai kedua

disampaikan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

dilangsungkannya Akad Nikah.

Adapun isi Akta Nikah diatur dalam pasal 12 PP No. 9

Tahun 1975: Akta perkawinan memuat:

(1) Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,

(49)

Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu;

(2) Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman

orang tua mereka;

(3) Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)

Undang-undang;

(4) Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)

Undang-undang;

(5) Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4

Undang-undang;

(6) Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)

Undang-undang;

(7) Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri

HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;

(8) Perjanjian perkawinan apabila ada;

(9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

(10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

g) Penulisan Buku Kutipan Akta Nikah

Penulisan Kutipan akta nikah harus segera dilakukan setelah

pelaksanaan akad nikah dan sudah dituangkan dalam buku Akta

Nikah, untuk segera disampaikan kepada pasangan Pengantin.

Buku kutipan Akta Nikah terdiri dari dua helai, satu

berwarna coklat untuk suami, sedangkan satunya berwarna hijau

(50)

tinta hitam dengan menggunakan huruf balok. Apabila terdapat

kesalahan kemudian dilakukan pencoretan, maka penghulu wajib

membubuhi tanda tangan, karena akta nikah atau kutipan akta

nikah tidak boleh di type ex.

Kutipan akta nikah tidak boleh diadakan suatu perubahan

kecuali dengan keputusan pengadilan yang berwenang.31

3. Pencatatan Nikah dalam pandangan Hukum Islam

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab

pencatatan nikah luput dari perhatian para ulama pada masa awal

Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis

sesuatu selain Alquran. Tujuannya untuk mencegah tercampurnya

Alquran dari yang lain. Akibatnya, kultur tulis tidak begitu

berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan. Kedua, sebagai

kelanjutan dari yang pertama, mereka sangat mengandalkan

ingatan (hafalan). Agaknya mengingat suatu peristiwa nikah

bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimah

al urusy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi, disamping

saksi syar’i tentang suatu pernikahan.32

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan bahwa

“perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

31 Sururudin.wordpress.com/2009/03/21/pencatatan-danpenyimpanan-arsip-nikah/, diakses pada 2 April 2016

(51)

yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhan untuk menaati

perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah”. Pasal 3

KHI merumuskan tujuan perkawinan, yaitu untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Mengenai sahnya perkawinan ditentukan dalam Pasal 4 KHI,

bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum

Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Sebagaimana telah diuraikan

bahwa, perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah

perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama. Perkawinan

yang dilakukan menurut Hukum Agama adalah suatu “peristiwa hukum” yang tidak dapat dianulir oleh Pasal 2 ayat (2) Undang

-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

menentukan tentang “pencatatan perkawinan”. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa rumusan Pasal 4 KHI mempertegas

bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut Hukum

Islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 KHI, bahwa:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam

(52)

(2) Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat (1)

dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur

dalam Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.33

4. Dasar Hukum Aturan Pencatatan Nikah

Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak

dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan

terhadap istri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga

seperti hak waris dan lain-lain.

Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan

dalam administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak memiliki

kekuatan hukum dalam hak status pengasuhan anak, hak waris, dan

hak-hak lainnya sebagai istri yang pas, akhirnya sangat merugikan

pihak perempuan. Berikut ini beberapa dasar hukum mengenai

pencatatan perkawinan/pernikahan34, antara lain:

1. Undang-Undang tentang no 22 tahun 1946

Mengatakan :

Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut

nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh

Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan

33 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan& Perkawinan Tidak Dicatat (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 218.

(53)

rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut

talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah,

talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar

mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala

hak-hak yang bersangkut dengan kependudukan harus dicatat,

sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada

perkawinan perlu dicatat ini untuk menjaga jangan sampai ada

kekacauan.

2. Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Pasal 2 Ayat 2 menyatakan:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

3. PP nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan.

Bab II pasal 2, Ayat 1:

“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai

Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954

tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk.”

Ayat 2:

“Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsunkan

(54)

agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada

Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.”

Ayat 3:

“Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus

berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai

peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai pasal 9 Peraturan

Pemerintah”

5. Tujuan Pencatatan Nikah

Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga

pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah)

untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan

pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap sah

sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi

yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada

lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah

dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di

hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan

dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,

(55)

Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa

tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar mendapat kepastian

hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal (1) UU tersebut

dijelaskan bahwa: Maksud pasal ini ialah agar nikah, talak dan rujuk

menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam

Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan

penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan

sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan

waris-mal-waris sehingga perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai

ada kekacauan.35

Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Islam

disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di

bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk

terjaminnya ketertiban perkawinan. Dan ditegaskan Perkawinan yang

dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan

hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah

yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.36

6. Manfaat Pencatatan Nikah

a) Mendapat perlindungan hukum

Bayangkan, misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib,

35 Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2009), 336.

(56)

pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan

tidak akan dibenarkan. Alasnnya, karena sang istri tidak mampu

menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.

b) Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan

pernikahan.

Akta nikah akan membantu suami istri untuk melakukan

kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak

menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang

sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.

c) Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum

Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan

yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang

ditun

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan meminjam pakaian dengan kejadian ska- bies dengan signifikansi sebesar 0,000.Hasil ini sesuai den- gan

Berkaitan dengan hipotesis 2 a dalam penelitian ini, hasil pengujian wilcoxon rank sign test menunjukkan tidak terdapat signifikansi perbedaan pola manajemen laba pada

Metode pendekatan bagi mitra antara lain 1).Melakukan penjajagan terlebih dahulu dengan membawa surat pengantar dari STIKES Widya Husada, Kesbanlinmas Kota

sedangkan uji korelasi antar variabel terikat dilakukan untuk mengetahui korelasi antar variabel terikat tersebut tinggi atau rendah. Hipotesis dalam penelitian ini adalah

(3) Apakah guru pernah memamfaatkan tutor teman sebaya. 2) Mengkaji kurikulum, konsep matematika yang penting dan strategis. Dalam tahap kegiatan yang dilakukan

Hasil dari tahap pengembangan yaitu di hasilkan media pembelajaran berbasis Autoplay Media Studio 8 pada pokok bahasan struktur atom yang layak melalui proses

Tari keraton itu pada hakikatnya meru- pakan suatu pernyataan budaya dalam bentuk tari yang memiliki sifat, gaya, dan peranan yang tidak dapat dipisahkan dari adanya kebudayaan