TERAPI REALITAS UNTUK MENINGKATKAN KONTROL DIRI SEORANG TAHANAN ANAK DI RUTAN MEDAENG SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S. Sos)
Oleh :
Windy Lailatul Hidayah B03213031
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
ABSTRAK
Windy Lailatul Hidayah (B03213031), Terapi Realitas Untuk Meningkatkan Kontrol Diri Seorang Tahanan Anak Di Rutan Medaeng Surabaya.
Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana proses terapi realitas dengan untuk meningkatkan kontrol diri pada seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya? (2) Bagaimana hasil terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri pada seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci dan teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, dan jenis penelitian yaitu studi kasus, suatu model yang menekankan pada eksplorasi pada satu kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam.
Dalam menganalisa proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak yang digunakan adalah berupa hasil observasi dan wawancara yang disajikan dalam bab penyajian data dan analisis data. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak dilakukan melalui beberapa tahapan yang terdapat dalam terapi realitas menggunakan teknik WDEP, mulai dari menulis keinginan, melihat perilaku, mengevaluasi perilaku, dan menulis rencana tindakan. Dalam penelitian ini, proses terapi menggunakan terapi realitas dengan teknik WDEP dapat meningkatkan kontrol diri konseli. Dan hasil dari proses terapi ini cukup berhasil dengan perubahan pada skala kontrol diri konseli dari angka 81 ke angka 114 yang mana hasil tersebut menunjukkan bahwa kontrol diri konseli telah meningkat.
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A.Kajian Teoritik ... 28
1. Bimbingan Dan Konseling Islam ... 28
a. Pengertian Bimbingan Dan Konseling Islam ... 28
g. Tahapan Konseling Terapi Realitas ... 42
3. Kontrol Diri ... 47
a. Pengertian Perilaku Menyimpang ... 53
B.Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 58
BAB III : PENYAJIAN DATA A.Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 60
d. Latar Belakang Pendidikan Konseli ... 71
e. Latar Belakang Lingkungan Sosial Konseli ... 72
4. Deskripsi Masalah ... 73
B.Deskripsi Hasil Penelitian ... 76
1. Deskripsi Proses Pelaksanaan Terapi ... 76
a. Identifikasi Masalah ... 79
b. Diagnosis ... 92
c. Prognosis ... 95
d. Terapi (Treatment) ... 98
e. Evaluasi (Follow Up) ... 105
2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Terapi ... 107
xi
B.Analisis Hasil Pelaksaan Terapi ... 119 C.Kendala Selama Proses Pelaksanaan Terapi ... 121
BAB V : PENUTUP
A.Kesimpulan ... 124 B.Saran ... 125
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa
remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula
disebut anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari
anak-anak menuju dewasa. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak
dan masa dewasa yang berjalan antara umur 11 tahun sampai 21 tahun.1
Monks menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan,
terutama saat remaja awal. Karena banyak perubahan-perubahan yang akan
dirasakan saat itu.2
Perubahan yang terjadi pada masa ini menurut Hurlock antara lain
meningginya emosi yang pada masa awal remaja biasanya terjadi lebih
cepat.3
Mengingat masa remaja awal terjadi bersamaan dengan datangnya
masa pubertas, dimana remaja mengalami ketidakstabilan dalam segala hal
sebagai dampak dari perubahan-perubahan biologis yang dialaminya.
Pada usia enam belasan atau fase remaja madya, kestabilan sudah
mulai terlihat, karena para remaja sudah mampu menghadapi suatu
persoalan serta tekanan sosial yang dihadapinya. Ia sudah memasuki tahap
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Remaja
2
Monks, F.J, Knoers, A.M.P, Haditono S.R, Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001)
3
2
mampu berpikir secara matang mengenai hal-hal yang abstrak dan sudah
mampu menganalisis sesuatu lebih dalam. Sedangkan pada fase remaja
akhir, beberapa aspek pertumbuhan mengalami keadaan sempurna dan
menunjukkan kesiapan untuk memasuki fase dewasa awal. Pada masa ini
terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang
berhubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.4
Namun dalam perjalanan seorang remaja menuju dewasa awal
tidaklah mudah bagi setiap remaja. Karena dalam setiap fase perkembangan
seseorang, terdapat tugas-tugas perkembangan yang terkait didalamnya
sebagai tolak ukur keberhasilan seoseorang melewati masa-masa
pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Dalam masa remaja, beberapa
contoh tugas perkembangan yang harus dilakukan adalah mencapai
hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki
maupun perempuan, mencapai kemandirian secara emosional dan mencapai
perilaku sosial yang bertanggung jawab. Namun, tidak semua remaja
berhasil dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut, dan pada
akhirnya banyak permasalahan yang muncul dalam kehidupan para remaja
tersebut.
Oleh karena itu, Stanley Hall menyebutkan bahwa masa remaja
sering dipandang sebagai masa yang penuh dengan “badai dan tekanan”
yaitu masa di mana terjadi perubahan besar dalam meningginya ketegangan
4
3
emosi yang dikarenakan perubahan fisik dan kelenjar pada seseorang saat
mengalami masa puber yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan
(konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan
lingkungannya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya ketidaksiapan anak
laki-laki dan perempuan dalam menerima kondisi baru tersebut.5
Untuk sebagian remaja yang mengalami ketidaksiapan perubahan
itu, terutama yang sudah terbiasa akan tumbuh rasa tidak puas pada diri
sendiri akan senantiasa memunculkan sikap-sikap yang buruk yang dapat
memicu terjadinya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan mereka.
Maksud dari perilaku menyimpang diatas adalah perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut
pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya
sebagai bagian daripada makhluk sosial.6
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku menyimpang
diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang
terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum
yang ada di dalam masyarakat.7
Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan
yang diterima secara utuh oleh masyarakat guna mengatur kehidupan dan
tingkah laku sehari-hari, agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan.8
5
Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999), Hal. 20
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku menyimpang
7
Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Gita Media Press 8
4
Jadi dalam kehidupan bermasyarakat, norma digunakan untuk
mengatur kestabilan tingkah laku manusia. Jika seseorang melakukan
sesuatu diluar kaidah norma tersebut, berarti ia telah melanggar suatu
aturan, dan perilaku itu dikatakan menyimpang dari kaidah atau norma
tersebut. Dan sudah dapat disimpulkan kalau perilaku tersebut merugikan
orang lain. Contoh beberapa tingkah laku menyimpang antara lain :
kriminalitas, tindak asusila, kenakalan remaja dan lain-lain.
Lemahnya pengendalian diri atau kontrol diri juga menjadi salah
satu faktor dalam munculnya perilaku yang keliru atau menyimpang selain
pengaruh bilogis dan lingkungan. Karena pada dasarnya, kontrol diri adalah
suatu kemampuan individu dalam menyusun, membimbing, mengatur dan
mengarahkan bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga dapat
membuat keputusan yang diinginkan dan diterima oleh masyarakat. Jadi
kontrol diri atau pengendalian diri ini menjadi unsur penting dalam
kehidupan manusia dalam memulai suatu tindakan atau perilaku yang akan
dilakukan atau ditunjukkan kepada orang lain.
Sebagian remaja yang tidak bisa mengendalikan dirinya inilah yang
saat ini tengah menjalani hukuman sebagai tahanan di Rumah Tahanan Klas
I Surabaya yang biasa dikenal dengan sebutan Rutan atau Lapas Medaeng
dikarenakan perilakunya merugikan dan melanggar aturan atau menyimpang
dari norma.
Tahanan adalah seseorang yang berada dalam penahanan.
5
Pidana (KUHAP), penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan
penetapannya. Berdasarkan Pasal 19 PP No. 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tahanan yang masih
dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri,
pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung ditempatkan di dalam Rumah
Tahanan Negara (Rutan).
Di Rutan sendiri, saat ini ada satu blok yaitu blok I yang
menampung kurang lebih 40 tahanan anak dengan berbagai kasus. Mulai
kasus pencurian, pencopetan, narkoba, dan bahkan tindakan asusila. Salah
satu penghuni Rutan blok I yang sekaligus menjadi subjek penelitian adalah
GRP. Ia adalah remaja yang masih berumur 17 tahun. GRP seharusnya
masih duduk di kelas XI SMA saat ini. Namun ia harus merelakan masa
putih abu-abunya dikarenakan harus menjalani hukuman masa tahanan di
Rutan. GRP dinyatakan sebagai tahanan setelah ditangkap polisi atas kasus
penyalahgunaan narkoba jenis shabu-shabu.
GRP melanggar pasal 35 tahun 2009 tentang penyalahgunaan
narkoba dengan tuntutan masa hukuman 18 bulan. Kini ia sudah
menyelesaikan masa hukuman selama 7 bulan setelah masuk Rutan pada
bulan April 2016. GRP termasuk dalam kategori tahanan anak, karena ia
berumur dibawah 18 tahun.
Selama berada dalam Rutan, tak banyak yang dilakukan GRP.
6
Terkadang ia sering menyuruh tahanan yang baru masuk blok untuk
mengikuti perintahnya, karena ia di blok dikenal sebagai senior. Saat ia
menceritakan sedikit kronologi penangkapannya kepada peneliti, ia
mengaku ditangkap polisi setelah kepergok membeli narkoba jenis shabu
dari seorang temannya.
GRP mengaku telah mengkonsumsi narkoba selama 2 tahun ini. Ia
mengatakan bahwa ia sangat kesal karena ia tahu bahwa ada seseorang yang
sengaja melaporkan GRP saat itu, dan ia juga mengatakan bahwa selepas
bebas dari penjara ia akan membalaskan dendam kepada orang yang
diyakini melaporkan tindakan GRP ke polisi. Banyak hal yang diceritakan
oleh GRP, hingga akhirnya peneliti mengetahui bahwa kasus yang
dilakukan oleh GRP sebenarnya tidak hanya narkoba. Tapi ia juga
melakukan aksi pencurian, mabuk-mabukan dan perkelahian. Ia mengaku
mencuri saat ia tidak memiliki uang untuk membeli narkoba.
Pengendalian diri atau kontrol diri GRP yang rendah telah
membuat ia lemah dan menutup mata akan pengetahuan tentang
norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ia cenderung melakukan
perilaku menyimpang untuk mewujudkan keinginannya. Akibatnya, ia harus
menerima hukuman atas perbuatan yang telah ia lakukan. Bahkan saat sudah
berada dalam Lapas, ia masih belum bisa mengendalikan dirinya terhadap
perilaku yang keliru, karena ia masih sering merokok untuk sekedar
mengobati kerinduannya dengan narkoba. Saat peneliti bertanya apa
7
seorang bandar narkoba. Bahkan saat peneliti telah melakukan beberapa kali
pertemuan dengan GRP, baru diketahui bahwa GRP masih sering
mengkonsumsi narkoba di dalam Rutan. Dan aktivitas mengkonsumsi
narkoba itu telah dilakukannya sejak seminggu ia masuk menjadi seorang
tahanan anak di Rutan. GRP mengaku ia mengetahui adanya jual beli
narkoba dalam Rutan dari teman-temannya yang ada di blok tahanan
dewasa. Ia sering membeli narkoba jenis shabu dari tahanan dewasa karena
harganya masih terjangkau, tetapi saat ia merasa stress atau penuh dengan
tekanan, ia akan membeli narkoba yang memiliki dosis lebih tinggi.
Oleh karena itu, meningkatkan kontrol diri untuk para remaja pada
umumnya, dan tahanan anak seperti GRP pada khususnya dalam
meminimalisir perilaku menyimpang sangat diperlukan dalam era
globalisasi seperti saat ini. Dalam hal ini, peneliti akan memfokuskan untuk
meningkatkan kontrol diri GRP yang menjadi tahanan anak di Rutan dengan
terapi Realitas dari tokoh William Glasser dengan menggunakan teknik
WDEP.
Konseling realitas sendiri merupakan salah satu pendekatan
konseling yang cukup terkenal di kalangan psikiater. Realitas menekankan
pada perilaku yang sesuai dengan kenyataan saat ini yang dihadapi
individu.9
9
8
Konseling realitas tidak memandang perilaku masa lampau yang
telah terjadi, karena fokus pendekatan ini hanya membuat perilaku yang
bertanggung jawab dan benar di masa depan sesuai dengan realita yang ada.
Menurut Corey, konseling realitas difokuskan pada tingkah laku
sekarang dan merupakan bentuk modifikasi perilaku. Hal ini berfungsi agar
klien mampu membantu dirinya dalam menghadapi kenyataan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan diri sendiri ataupun
orang lain serta berani memikul tanggung jawab atas semua tingkah
lakunya.10
Berdasarkan definisi konseling realitas dari beberapa ahli tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa konseling realitas adalah suatu proses
interpersonal yang dinamis dengan memusatkan kesadaran pikiran dan
perilaku, khususnya dalam hal ini menekankan pada perilaku yang sesuai
dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi individu dengan tujuan agar
kelompok semuanya dapat lebih bertanggung jawab terhadap perilakunya.
Adapun teknik yang akan digunakan pada pendekatan konseling
realita untuk meningkatkan kontrol diri remaja tahanan anak adalah teknik
WDEP yang merupakan akronim dari wants (keinginan), doing and
direction (melakukan dan arahan), evaluation (penilaian), dan planning
(perencanaan).
10
9
Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk membantu konseli
agar memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya sendiri dan
mampu membuat pilihan yang lebih baik nantinya.11
Melalui penggunaan teknik WDEP ini, konselor mengajak konseli
untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontrol diri dengan
melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan mengeksplorasi dan
menilai perilaku-perilaku konseli khususnya perilaku yang kurang
bertanggung jawab yang mengakibatkan pengendalian dirinya rendah.
Setelah mengetahui dan menilai perilakunya, konseli bersama dengan
konselor membuat perencanaan untuk perilaku kedepannya yang lebih
bertanggung jawab, dimana didalamnya terdapat komitmen antara konselor
dengan konseli. Dengan adanya komitmen tersebut konseli dituntut untuk
bertanggung jawab terhadap rencana yang telah dibuatnya. Hal itu tentunya
akan membantu konseli dalam meningkatkan kontrol diri dengan
menekankan pada tanggung jawab konseli sebagai seorang remaja yang
ingin hidup lebih baik setelah keluar dan bebas dari hukuman di Rutan Klas
I Surabaya.
Berangkat dari pemikiran diatas tentang betapa pentingnya kontrol
diri dari perilaku yang menyimpang, maka peneliti tertarik untuk mengkaji
mengenai Terapi Realitas Untuk Meningkatkan Kontrol Diri Seorang
Tahanan Anak Di Rutan Medaeng Surabaya.
11
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri
seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya?
2. Bagaimana hasil terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri
seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol
diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.
2. Untuk mengetahui hasil terapi realitas untuk meningkatkan kontrol
diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap akan munculnya
pemanfaatan dari hasil penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis
bagi para pembacanya. Diantara manfaat penelitian ini baik secara teoritis
maupun praktis dapat peneliti uraikan sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain dalam
11
realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di
Rutan Medaeng Surabaya.
b. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi jurusan Bimbingan dan
Konseling Islam khususnya, dan bagi mahasiswa pada umumnya
dalam hal terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang
tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para tahanan dalam
mengontrol dirinya terhadap perilaku yang menyimpang.
b. Bagi konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
salah satu pendekatan yang efektif dalam menghadapai seseorang
yang mengalami kontrol diri rendah terhadap perilaku yang
menyimpang.
E. Definisi Konsep
Pada dasarnya, konsep merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian,
dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi singkat dari sejumlah fakta
atau data yang ada. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman,
penulis memberikan batasan istilah atau definisi yang digunakan dalam
penelitian ini. Dengan demikian, istilah atau definisi yang dimaksud
memiliki pengertian terbatas. Adapun batasan bagi beberapa konsep dalam
penelitian ini:
12
Terapi realitas adalah sebuah metode konseling dan psikoterapi
perilaku kognitif yang sangat berfokus dan interaktif, dan merupakan
salah satu yang telah sukses diterapkan dalam berbagai macam lingkup.12
Karena fokusnya pada kehidupan saat ini dan penggunaan teknik
mengajukan pertanyaan-pertanyaan oleh terapis terbukti sangat efektif
dalam jangka pendek, meskipun tidak terbatas pada itu saja.
Terapi realitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri
sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia
luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya (identity
image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologinya.13
Terapi realitas berlandaskan asumsi bahwa manusia adalah agen
yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa
masing-masing individu memikul tanggung jawab untuk menerima
konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri.14
Tujuan umum terapi realitas adalah untuk membantu seseorang
mencapai otonomi, yaitu kematangan yang diperlukan bagi kemampuan
seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan
internal.
Kemampuan ini menyiratkan bahwa orang-orang mampu
bertanggung jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta
12
Stephen Palmer (Ed.), Konseling dan Psikoterapi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), Hal. 525
13
Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hal. 39
14
13
mengembangkan rencana-rencana yang bertanggung jawab dan realistik
guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.15
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik WDEP yang
terdapat di dalam terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang
tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.
Teknik WDEP yang merupakan akronim dari wants (keinginan),
doing and direction (melakukan dan arahan), evaluation (penilaian),
planning (perencanaan). Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk
membantu konseli agar memiliki kontrol yang lebih besar terhadap
kehidupannya sendiri dan mampu membuat pilihan yang lebih baik
nantinya.
2. Kontrol Diri
Kontrol diri atau pengendalian diri adalah kemampuan untuk
menangguhkan kesenangan naluriah langsung dan kepuasan untuk
memperoleh tujuan masa depan, yang biasanya dinilai secara sosial.16
Rodin mengungkapkan kontrol diri adalah perasaan bahwa
seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang
efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari
14
Dalam penelitian ini, kontrol diri yang dimaksud oleh peneliti
adalah kontrol diri yang rendah oleh subjek penelitian terhadap
perilakunya yang menyimpang, dimana subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah seorang tahanan anak yang masih mengkonsumsi
narkoba di dalam Rutan.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa perilaku
meyimpang adalah perilaku yang menurut anggapan sebagian besar
masyarakat, perilaku tersebut di luar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai
atau norma sosial yang berlaku.
Perilaku merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
seseorang setiap harinya dimanapun ia berada. Sedangkan penyimpangan
adalah suatu bentuk tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum,
atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berada
di masyarakat.18
Perilaku menyimpang yang menjadi fokus dalam penelitian ini
adalah perilaku menyimpang subjek penelitian dalam hal
penyalahgunaan narkoba.
Narkoba sendiri adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan
bahan adiktif lainnya.19
Pada dasarnya, narkoba merupakan salah satu jenis obat-obatan
yang digunakan dalam dunia kedokteran, karena banyak jenis narkotika
dan psikotropika yang memberi manfaat besar bila digunakan dengan
18
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I, Hal. 9
19
15
baik di bidang kedokteran. Narkotika dan psikotropika dapat
menyembuhkan banyak penyakit dan mengakhiri penderitaan.
Penyalahgunaan obat yang benar dalam pengawasan dokter adalah
dengan menelannya atau menyuntikkannya pada otot (intramuscular).
Sedangkan pada penyalahgunaan obat, bahan itu juga dihirup, dirokok,
atau untuk mencapai efek yang lebih cepat, disuntikkan di bawah kulit
(subcutaneous) atau kedalam urat nadi (intravenous).20
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah seseorang
untuk mendapatkan suatu data tentang tujuan dan kegunaan sesuatu yang
sedang diteliti. Ada sekurangnya empat kata kunci yang perlu
diperhatikan, yaitu cara ilmiah, data, tujuan, dan manfaat atau
kegunaan.21
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan
pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci dan teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi. Analisis data bersifat
20
Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, (Jakarta: Esensi Erlangga Grup), Hal. 9
21
16
induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi.22
Penelitian kualitatif disebut juga sebagai metode artistik (karena
proses penelitiannya lebih bersifat kurang terpola) dan metode
interpretive (data hasil penelitian lebih berkenaan dengan dengan
interpretasi data yang ditemukan di lapangan).23
Penelitian ini dilakukan peneliti untuk mengetahui secara
mendalam mengenai terapi realitas dengan teknik WDEP dalam
meningkatkan kontrol diri terhadap perilaku menyimpang pada tahanan
anak kasus penyalahgunaan narkoba di Rutan.
Sedangkan jenis atau model penelitiannya, peneliti menggunakan
penelitian studi kasus. Creswell dalam buku Sugiyono menyatakan
bahwa studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan
pada eksplorasi dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded system) pada
satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan
penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber
informasi yang kaya akan konteks.24
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah “GRP” yang merupakan
tahanan anak kasus penyalahgunaan narkoba di Rutan. Dan penelitian ini
akan dilakukan di Rutan Klas I Surabaya (Rutan Medaeng).
22
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, Hal. 9
23
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, Hal. 7-8
24
17
3. Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan oleh peneliti untuk
mendukung penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh dari sumber utama atau sumber data primer.
Sumber data primer adalah subjek penelitian yang dijadikan sebagai
sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau
pengambilan data secara langsung atau yang dikenal dengan istilah
interview (wawancara).
Sumber data primer penelitian ini adalah GRP, tahanan anak kasus
narkoba yang memiliki kontrol diri rendah, dengan indikator :
a. Religiusitas rendah
b. Masih ketergantungan rokok
c. Melanggar peraturan di Rutan
d. Sering berbicara menggunakan kata-kata kasar dan kotor
e. Mudah terpengaruh
f. Mengkonsumsi narkoba
Data primer yang akan peneliti ambil antara lain tentang:
a. Identitas lengkap konseli
b. Latar belakang keluarga konseli
c. Latar belakang pendidikan konseli
18
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak
berhubungan secara langsung dengan objek penelitian, akan tetapi
memiliki informasi yang berkaitan dengan objek penelitian antara lain :
a. Teman-teman tahanan konseli
b. Tamping atau tahanan pendamping
c. Wali blok I tahanan anak
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
lain yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Untuk data sekunder
yang akan peneliti ambil antara lain tentang :
a. Sikap atau perilaku yang ditunjukkan konseli selama di Rutan
b. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan konseli selama di Rutan
c. Pergaulan konseli selama di Rutan
d. Kegiatan kereligiusitas konseli selama di Rutan
4. Tahap-Tahap Penelitian
Secara umum tahapan penelitian kualitatif dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Tahap Pra-Lapangan
1) Menyusun rencana penelitian
Pada tahap ini peneliti akan memahami terapi realitas dan
teknik WDEP dan faktor-faktor kontrol diri yang rendah terhadap
perilaku menyimpang GRP, tahanan anak kasus narkoba di Rutan.
Setelah mengetahui, maka peneliti akan membuat latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi konsep dan
19
2) Memilih lapangan penelitian
Dalam hal ini peneliti memilih lapangan penelitian di Rutan
Klas I Surabaya (Rutan Medaeng Surabaya).
3) Mengurus perizinan
Surat izin untuk penelitian dibuat secara tertulis dan
ditujukan kepada Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Depkumham) Jawa Timur dan Rumah Tahanan Klas I
Surabaya (Rutan Medaeng).
4) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan
Peneliti akan mengenali keadaan yang sesuai dengan keadaan
di lapangan serta menyiapkan perlengkapan yang diperlukan di
lapangan, kemudian peneliti mulai mengumpulkan data yang ada di
lapangan.
5) Memilih dan memanfaatkan informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi serta latar belakang kasus
tersebut. Informan dalam penelitian ini adalah GRP yang
merupakan tahanan anak kasus narkoba di blok I Rutan.
6) Menyiapkan perlengkapan penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti menyiapkan beberapa
perlengkapan yang dibutuhkan. Seperti pedoman wawancara, alat
20
semua yang berhubungan dengan penelitian dengan tujuan untuk
mendapatkan deskripsi data lapangan.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap pekerjaan lapangan, di tahap awal peneliti
memahami situasi dan kondisi lapangan penelitian. Menyesuaikan
penampilan fisik serta cara berperilaku peneliti dengan norma-norma,
nilai-nilai, kebiasaan, dan adat istiadat tempat penelitian. Saat
memasuki lapangan, peneliti menjalin hubungan baik dengan
subjek-subjek penelitian, sehingga akan memudahkan peneliti untuk
mengumpulkan data.
c. Tahap Analisis Data
Peneliti mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam
pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh
data.
5. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui 3
(tiga) cara yaitu, melalui observasi, wawancara dan studi dokumetansi
yang dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah suatu kegiatan mencari data yang dapat
digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis. Inti
21
yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa yang dapat
dilihat mata, dapat didengar dan dihitung serta diukur.25
Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
non partisipan, dimana peneliti tidak terlibat secara langsung dengan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Peneliti hanya
melakukan aktivitas observasi atau pengamatan selama berjalannya
proses pertemuan dengan subjek penelitian. Adapun data-data yang
diambil dari metode observasi adalah :
1) Usaha pengendalian diri konseli untuk menjadi orang yang lebih
baik
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kontrol diri konseli
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan pada para responden.26
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga peneliti ingin mengetahui
hal-hal dari responden yang lebih dalam.27
Wawancara secara global dibagi menjadi dua macam yaitu
wawancara berstruktur dan wawancara tidak berstruktur. Dalam
25
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), Hal. 131-132
26
Joko Subagyo, Metode Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Hal. 39
27
22
penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
tidak berstruktur, dengan tujuan agar tidak kaku dalam memperoleh
informasi dengan mempersiapkan terlebih dahulu gambaran umum
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti mengamati
kenyataan dan mengajukan pertanyaan dalam wawancara hingga
berkembang secara wajar berdasarkan ucapan dan buah pikiran yang
dicetuskan oleh orang yang diwawancarai.
Dalam metode ini penulis mengadakan wawancara langsung
baik dengan sumber data primer, yaitu GRP maupun sumber data
sekunder yaitu dengan wali blok yang bertanggung jawab atas semua
kegiatan di dalam blok tersebut dan tahanan pendamping serta
teman-teman subjek yang mengetahui kehidupan sehari-hari subjek selama
tinggal di Rutan guna mendapatkan data yang berkaitan dengan terapi
realitas dengan teknik WDEP untuk meningkatkan kontrol diri subjek.
Adapun data-data yang diambil dari metode interview atau
wawancara adalah sebagai berikut :
1) Identitas dan latar belakang konseli
2) Hasil proses konseling dengan teknik WDEP
3) Semua data yang terkait dengan subjek penelitian
c. Studi dokumen
Yaitu meneliti berbagai dokumen serta bahan-bahan yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dokumen tersebut bisa
23
seseorang. Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatan harian,
sejarah kehidupan, biografi, peraturan dan semacamnya. Dokumen
yang berbentuk gambar dapat berupa foto, gambar hidup, sketsa dan
lain-lain. Sedangkan dokumen yang berbentuk karya misalnya karya
seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain.
Studi dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap
dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian
kualitatif.28
Studi dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dokumen berupa tulisan mengenai riwayat hukum subjek penelitian
yang bersangkutan dan dokumen atau arsip objek penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber,
dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam,
dan dilakukan terus menerus sampai datanya jenuh.
Melakukan analisis adalah pekerjaan yang sulit, memerlukan kerja
keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan untuk
melakukan intelektual yang tinggi. Analisis data adalah proses mencari
dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat
mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang
lain.
28
24
Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke
dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan
membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.29
Berikut adalah tahapan-tahapan analisis data menurut Miles dan
Huberman :
a. Tahap pertama yaitu tahap pengumpulan data yang berisi tentang
serangkaian proses pengumpulan data yang sudah dimulai ketika awal
penelitian, baik melalui wawancara awal maupun studi pre-eliminary.
Dalam tahap ini, peneliti mengumpulkan semua data-data yang telah
diperoleh selama penelitian menjadi satu.
b. Tahap kedua yaitu tahap reduksi data yang berisi tentang proses
penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh
menjadi satu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis. Data yang
telah peneliti peroleh dikumpulkan untuk dikelompokkan menjadi satu
sesuai jenis atau bentuk data.
c. Tahap ketiga yaitu tahap display data yang berisi tentang pengolahan
data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan
sudah memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu matriks
kategorisasi sesuai tema yang sudah dikelompokkan, memecah tema
tersebut menjadi bentuk lebih konkrit dan sederhana yang disebut
29
25
dengan subtema yang diakhiri dengan pemberian kode sesuai dengan
verbatim wawancara yang sebelumnya telah dilakukan.
d. Tahap terakhir yaitu tahap verifikasi atau kesimpulan yang berisi
jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan dan mengungkap
“what” dan “how” dari temuan penelitian tersebut.30
7. Teknik Keabsahan Data
Menurut Moleong untuk menetapkan keabsahan data diperlukan
teknik pemeriksaan. Dalam hal ini digunakan teknik:
a. Keikutsertaan di lapangan dalam rentang waktu yang panjang, dalam
penelitian ini untuk menguji kepercayaan terhadap data yang telah
dikumpulkan dari informan utama, maka perlu mengadakan
keikutsertaan dalam rentang waktu yang panjang. Adapun maksud
utama adanya perpanjangan di lapangan ini untuk mengecek
kebenaran data yang diberikan baik dari informan utama maupun
informan penunjang.
b. Triangulasi, untuk keabsahan data yang telah dikumpulkan agar
memperoleh kepercayaan dan kepastian data, maka peneliti
melaksanakan pemeriksaan dengan teknik mencari informasi dari
sumber lain. Menurut Patton dalam Moleong triangulasi dengan
sumber lain berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
30
26
yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan
jalan:
1) Membandingkan data informasi hasil observasi dengan informasi
dari hasil wawancara kemudian menyimpulkan hasilnya.
2) Membandingkan data hasil dari informan utama (primer) dengan
informasi yang diperoleh dari informan lainnya (sekunder).
3) Membandingkan hasil wawancara dari informan dengan didukung
dokumentasi sewaktu penelitian berlangsung, sehingga informasi
yang diberikan oleh informan utama pada penelitian dapat
mewakili validitas dan mendapatkan derajat kepercayaan yang
tinggi.31
G. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan suatu penelitian diperlukan sistematika
pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan penelitian, langkah-langkah
pembahasannya adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini terdiri dari sepuluh sub-bab antara lain: Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Definisi Konsep, Metode Penelitian,
Sistematika Pembahasan, Jadwal Penelitian dan Pedoman
Wawancara.
31
27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini terdiri dari dua sub-bab, yakni Kajian Teoritik
(menjelaskan tentang teori yang digunakan untuk menganalisis
masalah penelitian), dan Penelitian Terdahulu yang Relevan
(menyajikan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian yang hendak dilakukan).
BAB III PENYAJIAN DATA
Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni Deskripsi Umum
Objek Penelitian, dan Deskripsi Hasil Penelitian.
BAB IV ANALISIS DATA
Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni Temuan Penelitian,
bagaimana data yang ada itu digali dan ditemukan beberapa hal
yang mendukung penelitian, dan Konfirmasi Temuan dengan
Teori, dimana temuan penelitian tadi dikaji dengan teori yang
ada.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini terdiri dari Simpulan dan Rekomendasi, yang
menjelaskan hasil simpulan dari data yang dipaparkan dan
rekomendasi hasil penelitian itu dapat dipraktikkan terhadap
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik
1. Bimbingan dan Konseling Islam
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzakiry, bimbingan dan
konseling islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan dan
pedoman kepada klien dengan keterampilan khusus yang dimiliki
pembimbing dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien
mengembangkan potensi akal fikirannya, jiwa, dan keimanan, serta
dapat menanggulangi masalah dengan baik dan benar secara mandiri
yang berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah.32
Menurut H. Isep Zainal Arifin, bimbingan dan konseling islam
adalah proses pemberian bantuan terhadap individu atau kelompok
agar dapat keluar dari berbagai kesulitan untuk mewujudkan
kehidupan yang senantiasa diridhoi Allah SWT di dunia dan akhirat.33
Sedangkan dalam karya Samsul Munir dijelaskan bahwa
bimbingan dan konseling islam adalah proses pemberian bantuan
terarah, kontinyu, dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat
mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya
secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang
32
M. Hamdani bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: Fajar Pus taka baru, 2001), Hal. 137
33
29
terkandung di dalam Al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW kedalam
dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntutan
Al-Qur‟an dan Hadits.34
b. Prinsip-Prinsip Dasar Pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam
Adapun prinsip-prinsip dasar pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling Islam akan dijelaskan sebagai berikut :
1) Setiap individu adalah makhluk yang dinamis dengan
kelainan-kelainan kepribadian yang bersifat individual serta
masing-masing mempunyai kemungkinan untuk berkembang dan
menyesuaikan diri dengan situasi sekitar.
2) Suatu kepribadian yang bersifat individual tersebut terbentuk dari
faktor dan pengaruh dari dalam dan luar.
3) Setiap individu adalah organisasi yang berkembang atau tumbuh
dalam keadaan selalu berubah, perkembangannya dapat
dibimbing ke arah pola hidup yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri dan masyarakat sekitar.
4) Setiap individu harus diberi hak yang sama serta kesempatan
yang sama dalam mengembangkan kepribadiannya
masing-masing tanpa mamandang perbedaan suku bangsa dan agama.
5) Setiap individu memiliki fitrah beragama yang dapat berkembang
dengan baik bila melalui bimbingan yang baik.
34
30
6) Perkembangan atau pertumbuhan setiap induvidu adalah
perkembangan atau pertumbuhan yang bersifat menyeluruh, tidak
hanya dalam hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan
keterampilan melainkan melalui kepribadian serta perkembangan
menuju masa dewasa yang penuh.
7) Bahwa nasehat adalah pilar agama, seperti yang terdapat dalam
Hadist, bahwa agama itu nasehat.
8) Bahwa konseling kejiwaan merupakan pekerjaan yang mulia,
karena bernilai membantu orang lain mengalami kesulitan.
9) Konseling agama harus dilakukan sebagai pekerjaan ibadah yang
semata-mata karena mengharapkan ridho Allah.
10) Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perbuatan baik yang akan dipilih, dan bahkan memiliki
kebebasan untuk melakukan perbuatan maksiat secara
sembunyi-sembunyi.
c. Tujuan Bimbingan Dan Konseling Islam
1) Tujuan umum : Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi
manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
2) Tujuan khusus
a) Membantu individu agar tidak menghadapi masalah
31
c) Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi
dan kondisi dengan lebih baik agar tetap baik, sehingga tidak
akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.35
d. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
1) Fungsi preventif, yaitu membantu individu mencegah timbulnya
masalah bagi dirinya.
2) Fungsi kuratif, yaitu membantu individu memecahkan masalah
yang dihadapinya atau dialaminya.
3) Fungsi preservatif, yaitu membantu individu menjaga agar situasi
dan kondisi yang semula tidak baik itu menjadi baik.
4) Fungsi developmental, yaitu membantu individu memelihara atau
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik
atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya sebab
munculnya masalah baginya.36
e. Unsur-Unsur Bimbingan dan Konseling Islam
1) Konselor
Konselor adalah orang yang bermakna bagi klien, konselor
menerima klien apa adanya dan bersedia dengan sepenuh hati
membantu klien dalam mengatasi masalahnya walau saat kritis
sekalipun. Adapun syarat menjadi konselor antara lain:
a) Kemampuan professional
b) Sifat kepribadian yang baik
35
Thohari Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UII Press), Hal. 34
36
32
c) Kemampuan bermasyarakat dengan baik
d) Takwa kepada Allah
Dari beberapa syarat diatas, pada hakikatnya seorang
konselor haruslah mempunyai kemampuan melakukan bimbingan
dan konseling, serta bisa mempertanggung jawabkan pekerjaannya
sebagai konselor.
2) Klien
Klien adalah orang yang perlu memperoleh perhatian
sehubungan dengan masalah yang dihadapinya dan membutuhkan
bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun, demikian
keberhasilan dalam mengatasi masalah itu sebenarnya sangat
ditentukan oleh pribadi klien itu sendiri. Setidaknya ada beberapa
sikap dan sifat yang mesti dimiliki klien untuk memudahkan dalam
proses konseling:
a) Terbuka
Klien yang terbuka akan sangat membantu jalannya proses
konseling
b) Bersikap jujur
Klien harus mengemukakan semua permasalahannya dengan
jujur tanpa ada yang ditutupi.
c) Sikap percaya
Klien harus percaya bahwa konselor adalah orang yang tidak
33
d) Bertanggung jawab
Tanggung jawab klien untuk mengatasi permasalahannya sendiri
sangat penting bagi kesuksesan proses konseling.
3) Masalah
Masalah adalah semua hal yang dapat menghanbat di dalam
mencapai tujuan.
2. Terapi Realitas
a. Konsep Dasar Terapi Realitas
Terapi Realitas dikembangkan pada tahun 1960-an oleh seorang
psikiater sekaligus insinyur kimia terkemuka, William Glasser. Ia
mengembangkan terapi realitas untuk membuktikan bahwa psikiatri
konvensional yang selama ini ada, sebagian besar telah berlandaskan
asumsi-asumsi yang keliru. Bahkan Glasser juga menolak pandangan
Sigmund Freud mengenai aliran psikoanalisisnya yang berdasarkan
alam bawah sadar manusia, karena teorinya diangap kurang jelas.37
Sejak kemunculannya, terapi realitas telah mengalami berbagai
perkembangan yang sangat pesat dan telah digunakan oleh banyak
konselor. Ini semua tak lepas dari konsep yang ditawarkan oleh
William Glasser yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan.
Ciri yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada
kejadian-kejadian di masa lalu, tetapi lebih mendorong konseli untuk
menghadapi realitas atau kenyataan yang ada. Pendekatan ini juga
37
34
tidak memberi perhatian-perhatian pada motif-motif bawah sadar
seperti psikoanalisis. Inti terapi realita adalah penerimaan tanggung
jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.38
Dalam pendekatan realitas, seorang konselor harus bertindak
aktif, direktif, dan didaktik. Konselor juga berperan sebagai guru dan
model bagi konseli.
Pendekatan realitas berpatokan pada ide sentral bahwa para
individu bertanggung jawab atas tingkah laku mereka masing-masing.
Ide inilah mendasari teori konseling yang ditemukan oleh William
Glasser yang dikenal dengan istilah 3-R, yaitu :
1) Responsibility
Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat
memenuhi dua kebutuhan psikologis yang mendasar yaitu
kebutuhan untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan
menghayati dirinya sebagai orang yang berharga, tetapi dengan
cara tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
2) Right
Norma dan nilai sosial yang dapat menjadi milik individu
melalui internalisasi dan transformasi.
3) Reality
Kenyataan dunia dimana individu tersebut bertingkah laku.39
38
35
b. Pandangan Tentang Manusia
Dalam terapi realitas, manusia dipandang sebagai individu yang
mampu menentukan dan memilih tingkah lakunya sendiri. Yang
berarti individu harus bertanggung jawab dan bersedia menerima
konsekuensi dari tingkah lakunya. Bertanggung jawab disini
maksudnya adalah bukan hanya pada apa yang dilakukannya,
melainkan juga pada apa yang dipikirkannya.40
Dinamika kepribadian manusia dalam terapi realitas ditentukan
oleh dua kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis.
Kebutuhan fisiologis berupa makan, minum, seks dan lainnya.
Sedangkan kebutuhan psikologis berupa kebutuhan psikis seperti
dicintai, mencintai, mendapat rasa aman, penghargaan dan lainnya.
Kedua kebutuhan dasar ini sudah terbentuk sejak masih anak-anak.41
Saat seseorang berhasil memenuhi kebutuhan psikologisnya,
maka ia akan mengembangkan identitas keberhasilan (success
identity) dalam dirinya, sebaliknya jika ia gagal dalam memenuhi
kebutuhan psikologisnya, maka ia akan mengembangkan identitas
gagal (failure identity) dalam dirinya.
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan
psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang
39
36
rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Jadi ketika seseorang
mengalami masalah, hal tersebut diyakini Glasser disebabkan oleh
satu faktor, yaitu terhambatnya seorang dalam memenuhi kebutuhan
psikologisnya.
Corey menyebutkan bahwa manusia tidaklah terlahir dengan
kertas kosong yang selalu menunggu adanya motivasi dari luar, tetapi
kita terlahir dengan lima kebutuhan secara genetis, yaitu kebutuhan
akan rasa cinta dan rasa memiliki, kebutuhan akan kekuasaan,
kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan akan kesenangan, dan
kebutuhan akan bertahan hidup.
Berikut adalah penjelasan mengenai 5 kebutuhan dasar dalam
terapi realitas :
1) Cinta (Belonging/ Love)
Sebagai manusia, kita perlu cinta dan dicintai. Kita perlu rasa
memiliki dan dimiliki. Kita harus percaya bahwa kita diterima oleh
orang lain apa adanya kita dan penerimaan ini tanpa syarat.
Kebutuhan ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk, yaitu : social
belonging, work belonging, dan family belonging.
2) Kekuasaan (Power)
Merupakan kebutuhan khusus manusia. Kebutuhan akan
kekuasaan meliputi keinginan untuk berprestasi, merasa berharga,
kesuksesan dan mendapatkan pengakuan.
37
Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia.
Kebutuhan ini muncul sejak dini kemudian terus berkembang
hingga dewasa. Kebutuhan yang diinginkan pada setiap level usia.
Misalnya bertamasya untuk sekedar menghilangkan kepenatan
hidup, bersantai dan sebagainya.
4) Kebebasan (Freedom)
Kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan
dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya dalam membuat
pilihan dan memutuskannya.
5) Kelangsungan Hidup (survival)
Kebutuhan untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Pada
hakekatnya semua individu senantiasa memandang kedepan dan
berusaha untuk selalu menjaga hidupnya dengan cara yang
menyebabkan kelanggengan (misal exercise & makan makanan
yang sehat).42
c. Ciri-Ciri Terapi Realitas
Corey menyebutkan bahwa ada 7 ciri-ciri dari terapi realitas,
yaitu sebagai berikut :
1) Menolak konsep tentang penyakit mental
2) Berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau
Karena masa lalu seseorang itu merupakan takdir yang tidak
akan bisa diubah, maka yang bisa dilakukan hanyalah mengubah
42
38
saat sekarang dan masa yang akan datang. Sehingga yang paling
dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh
kesuksesan pada masa yang akan datang.
3) Menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.
Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada
peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam
menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Jika
para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa
yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak
diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya
perubahan positif, semata-mata karena menetapkan bahwa
alternatif-alternatif bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang
yang tidak realitas.
4) Tidak menekankan transferensi.
Terapi realitas tidak memandang konsep tradisional tentang
transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi
sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai
pribadi. Terapi ini juga mengimbau agar para terapis menempuh
cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri
sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah maupun ibu klien.
5) Menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan ketidaksadaran.
Terapi ini menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien,
39
mendapatkan apa yang diinginkannya. Terapi ini memeriksa
kehidupan klien sekarang secara rinci dan berpegang pada asumsi
bahwa klien akan menemukan tingkah laku sadar.
6) Menghapus konsep pemberian hukuman
Glasser menganggap bahwa pemberian hukuman untuk
kepentingan mengubah tingkah laku yang tidak efektif dalam diri
klien hanya akan mengakibatkan menguatnya identitas kegagalan
pada klien dan merusak hubungan terapeutik.
7) Menekankan tanggung jawab
Menurut Glasser orang yang bertanggung jawab yaitu orang
yang memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan melakukannya dengan cara tidak
mengurangi atau menghalangi kemampuan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.43
d. Tujuan Terapi Realitas
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, tujuan terapi realitas
adalah membantu manusia mencapai identitas keberhasilan (success
identity) dan otonomi, yaitu merupakan kematangan emosional yang
diperlukan individu dalam mendukung diirinya sendiri dengan cara
bertanggung jawab dengan tingkah lakunya sendiri.44
Adapun tujuan-tujuan lain dari terapi realitas adalah sebagai
berikut :
43
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Hal. 265-269
44
40
1) Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata
2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul
segala resiko yang ada
3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.45
e. Peran dan Fungsi Terapis
Fungsi konselor realitas adalah sebagai guru pembimbing untuk
kliennya, dan sebagai role model yang baik. Terapis realitas harus
menekankan bahwa yang dicari dalam terapi ini bukanlah hanya
semata-mata kebahagiaan saja, tetapi juga mampu menerima tanggung
jawab. Oleh karena itu, terapis realitas diharapkan memberikan pujian
saat klien bertindak secara bertanggung jawab dan menunjukkan
ketidaksetujuannya saat klien bertindak tidak tanggung jawab.
Peran terapis realitas yang lainnya dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1) Melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya
menghadapi kenyataan.
2) Memasang batas-batas terapiutik
45
41
3) Terapis realitas harus aktif, mendidik, membimbing, mendorong
dan menantang klien untuk dapat bertanggung jawab pada tingkah
lakunya. Dan membuat klien dapat menilai tingkah lakunya secara
realistis.46
f. Teknik-Teknik Terapi Realitas
Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan dan potensi
klien yang berhubungan dengan tingkah lakunya sekarang dan
usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam
membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapi
dapat menggunakan beberapa teknik :
1) Melibatkan diri
2) Menggunakan humor
3) Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun
4) Membantu klien dalam merumuskan rencana yang spesifik bagi
tindakan
5) Bertindak sebagai model dan guru
6) Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
7) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah laku yang tidak
realistis.47
46
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Hal. 274-277
47
42
g. Tahapan-Tahapan Konseling Terapi Realitas
Proses konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada
dua unsur utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif
dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong
terjadinya perubahan pada konseli.
Secara praktis, Thompson mengemukakan tujuh tahap dalam
konseling realitas, yaitu:
1) Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (Be Friend)
Pada tahap ini konselor mengawali pertemuan dengan
bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan
yang sedang dibangun. Konselor harus dapat melibatkan diri
kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah.
Meskipun konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah, atau
bersikap yang tidak berkenan, konselor harus tetap menunjukkan
sikap ramah dan sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi
konseli.
2) Fokus pada perilaku sekarang
Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli.
Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam
menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli
mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam
menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci tahap ini meliputi :
43
b) Menanyakan keinginan-keinginan konseli
c) Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli
d) Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang yang
diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana
konseli melihat hal tersebut
3) Mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu
konselor menanyakan secara spesifik tentang apa saja yang
dilakukan konseli.
4) Konseli menilai diri sendiri atau melakukan evaluasi
Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada
konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan
bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai
benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk
menilai perilakunya saat ini.
5) Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya
tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan
dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang
lebih bertanggung jawab.
44
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana
yang telah disusunnya sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan.
7) Tindak lanjut.
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan
konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai.48
Praktik atau metode terapi realitas dilihat sebagai 2 strategi utama
(tapi saling berhubungan) : a) Membangun realsi atau lingkungan
konseling yang saling percaya, dan b) Prosedur-prosedur yang menuntun
menuju perubahan yang dirangkum oleh Dr. Robert Wubbolding sebagai
sistem WDEP. Sistem WDEP memberikan kerangka pertanyaan yang
duajukan secara luwes dan tidak dimaksudkan hanya sebagai rangkaian
langkah sederhana. Tapi huruf WDEP melambangkan sekelompok
gagasan.49
Berikut adalah penjelasan tentang teknik WDEP yang terdapat
dalam terapi realitas :
Teknik WDEP yang merupakan akronim dari W =wants or needs;
D = doing and direction; E = evaluation or self-evaluation; dan P =
planning.50
48
Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011) hal. 244-252
49
Stephen Palomer (Ed.), Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 533-534
50
45
1. Wants / keinginan
Kegiatan untuk menjelajahi keinginan dan persepsi konseli.
Menolong konseli untuk merumuskan dan menemukan apa yang
diinginkan dan diharapkan konseli, termasuk yang diinginkannya dari
bidang khusus yang relevan seperti teman, pasangan, anak, pekerjaan,
karir, kehidupan spiritual dan lain-lain.51
2. Direction / doing / arahan
“Apa yang anda lakukan?” dan “Kearah mana perilaku anda
membawa anda?”. Di awal konseling penting untuk mendiskusikan
dengan konseli secara keseluruhan arah dari kehidupan mereka.
Eksplorasi ini adalah awal untuk evaluasi berikutnya apakah itu
adalah arah yang diinginkan. Konselor menanyakan secara spesifik
apa saja yang dilakukan konseli. Cara pandang dalam konseling
realita, akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya
(doing), bukan pada perasaannya.52
3. Evaluation / penilaian
Kegiatan membantu konseli untuk mengevaluasi diri. Konselor
menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari
oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor
tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi
51
Sofwan Adiputra, Teknik WDEP System Dalam Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Undeachiever, Jurnal Fokus Konseling STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, Volume 2 No.1 (Januari, 2016), Hal. 36
52
46
membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Terapis
realitas kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti :
„Apakah yang anda lakukan membuat anda semakin dekat dengan
orang-orang yang anda butuhkan?‟
„Apakah yang anda inginkan realistis atau dapat dicapai?‟
„Apa lagi yang dapat anda lakukan?‟
„Bermanfaat ataukah menyakitikah berulang kali menyebut diri anda
“tak berguna”?‟
Pertanyaan diatas dan masih banyak pertanyaan evaluasi diri
lainnya merupakan batu pertama sistem WDEP. Semua itu perlu
ditanyakan dengan empati, kepedulian, dan perhatian positif pada
klien.53
4. Planning / perencanaan
Kegiatan menolong konseli untuk membuat rencana tindakan.
Rencana menekankan tindakan yang akan diambil, bukan tingkah
laku yang akan dihapuskan. Rencana juga dikendalikan oleh konseli
dan terkadang dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis yang
menyebutkan alternatif-alternatif yang dapat dipertanggung jawabkan.
Konseli kemudian diminta untuk berkomitmen terhadap rencana
tindakan tersebut.54
53
Stephen Palomer (Ed.), Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 536
54