MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH
PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL
MARAGHI
(TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-I) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
KHOIRO UMMAH
(E73213126)
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ii
ABSTRAK
Peneliti dengan nama Khoiro Ummah jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, dengan judul Membelanjakan Harta Di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir Dan Ahmad Musthafa Al Maraghi (Telaah Surat al-Baqarah Ayat 195).
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi memahami membelanjakan harta di jalan Allah pada surat al-Baqarah ayat 195? 2) Apa perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman membelanjakan harta di jalan Allah antara Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.
Penelitian dalam hal ini menggunakan metode komparatif yaitu antara pendapat para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan.
Penelitian ini dilakukan karena masih banyaknya manusia yang tidak memahami akan hal membelanjakan harta di jalan Allah. Dimana orang menganggap bahwa hartanya hanyalah miliknya tanpa mengetahui bahwa sebagian hartanya terdapat harta orang lain. Selanjutnya dilakukan penelitian dengan melihat persamaan dan perbedaan yang dihubungkan dengan pendekatan teori Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Manfaat Penelitian ... 7
xi
G. Metodologi Penelitian ... 10
H. Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II: MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH A. Membelanjakan dan Harta ... 17
1. Definisi membelanjakan ... 17
2. Definisi harta atau mal ... 18
3. Permasalahan-permasalahan harta ... 19
B. Bentuk-bentuk Membelanjakan Harta di Jalan Allah ... 24
1. Nafkah suami kepada istri ... 25
2. Waris atau Faraid ... 26
3. Zakat ... 29
4. Wakaf ... 30
5. Hadiah atau hibah ... 31
6. Sadaqah ... 32
7. Infak ... 34
8. Jihad ... 36
BAB III: MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL MARAGHI TELAAH SURAT AL BAQARAH AYAT 195 A. Ibnu Katsir ... 40
1. Biografi Ibnu Katsir ... 40
2. Rihlah akademik ... 41
3. Sosio kultural ... 41
4. Karya ilmiah ... 43
6. Tafsir Ibnu Katsir ... 45
7. Metode dan corak Ibnu Katsir ... 46
B. Ahmad Musthafa al-Maraghi ... 49
1. Biografi al-Maraghi ... 49
2. Rihlah akademik ... 49
3. Sosio kultural ... 50
4. Karya ilmiah ... 54
5. Latar belakang tafsir al-Maraghi ... 55
6. Tafsir al-Maraghi ... 56
7. Metode dan corak al-Maraghi ... 57
C. Membelanjakan Harta di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Surat al-Baqarah Ayat 195 1. Penafsiran Ibnu Katsir ... 58
2. Penafsiran al-Maraghi ... 61
BAB IV: ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PENAFSIRAN IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL MARAGHI TENTANG MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH SURAT AL BAQARAH AYAT 195 A. Analisis Komparatif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi .. 66
B. Perbedaan dan Persamaan Antara Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Membelanjakan Harta di Jalan Allah... 78
BAB V: PENUTUP 1. Simpulan ... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian al-Qur`an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang
cukup dinamis, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya
dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir,
mulai dari yang klasik sampai kontemporer, dengan berbagai corak, metode dan
pendekatan yang digunakan.1
Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan al-Qur`an sebagai
teks yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan sebagai
konteks yang tak terbatas, merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir
al-Qur`an. Hal ini mengingat betapapun al-Qur`an turun dimasa lalu, dengan
konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, tetapi ia mengandung nilai-nilai
universal yang s}a>lih li kulli zama>n wa maka>n. Karenanya, di era kontemporer, al-Qur`an perlu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi
umat manusia. Dengan kata lain, sebagai orang yang hidup di era kontemporer,
kita tidak perlu menggunakan kacamata orang dulu dalam menafsirkan al-Qur`an,
mengingat problem dan tantangan yang kita hadapi berbeda dengan mereka.2
1
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: CV. Idea Sejahtera, 2015), 138
2
2
Perbedaan mengenai suatu masalah merupakan hal yang biasa dan
sering terjadi disetiap perkumpulan. Perdebatan seputar duniawi sampai ukhrawi.
Mulai dari urusan ekonomi, agama, budaya, sosial politik dan masih banyak lagi.
Namun, perdebatan bisa menjadi hal yang serius ketika sampai pada ranah agama,
hal-hal yang berhubungan dengan agama kerap menjadi penyebab perseteruan
anatar agama, bahkan yang seimanpun terlibat aksi seperti ini.
Masalah dalam penelitian ini secara garis besar adalah tentang ekspresi kebahasaan dalam menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi dalam surat al-Baqarah ayat 195 yang berarti membelanjakan harta di jalan Allah. Sebelum melangkah pada permasalahan dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk melihat ruang definisi terlebih dulu tentang infak secara global. Kata membelanjakan harta di jalan Allah dengan sedekah memiliki korelasi makna yang sama yakni sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.3 Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi (infak) termasuk dalam kategori sedekah karena sama-sama melakukan pemberian/ sumbangan.4 Infak merupakan kata lain dari sadaqah, dimana keduanya sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu pahala atau ihtisab yang artinya tindakan yang disertai kesungguhan karena rid}a-Nya yakni pahala ukhrawi sebagai imbalannya.5 Akan tetapi, infak lebih dikhususkan
3
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 88 4
Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), 149 5
3
maknanya, yaitu dalam hal materi saja dan tanpa ada pembatasan siapa yang diberi.6
Semua definisi di atas, sebagai awal identifikasi masalah dalam penelitian ini. Sejauh pembacaan peneliti terhadap surat al-Baqarah ayat 195 dalam karya tafsir Ibnu Katsir, ia menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi sebagai infak. Sedangkan dalam karya tafsir Ahmad Musthafa al-Maraghi, ia menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi (infak) sebagai jihad. Dari segi bahasa kata jihad merupakan masdar dari kata jahada yang memiliki arti berusaha dengan sungguh-sungguh.7 Sedangkan dalam kamus al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-‘Alam
dijelaskan bahwa jihad adalah memerangi musuh dalam bentuk membela agama.8 Dan al-Raghib al-Asfahani menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan segala daya upaya atau kemampuan untuk menahan serangan musuh.9
Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal
Islam hingga masa kontemporer. Banyak ulama dan pemikiran muslim terlibat
dalam pembicaraan tentang jihad, baik kaitannya dengan doktrin fiqh maupun
dengan konsep politik Islam. Konsep-konsep jihad yang dikemukakan mengalami
pergeseran dan perubahan, sesuai dengan konteks dan lingkungan
masing-masing.10
6
Fatihuddin Abul Yasin, Rahasia Keajaiban Shadaqah, (Surabaya: Terbit Terang, 2008), 7
7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 217
8
Abu Luwis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Darul Masyriq, 1986), 106 9
Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfazi al-Qura’an, (Beirut: Dar Kutub
al-„Ilmiah, 2008), 114
10
4
Untuk mengungkap perbedaan antara kedua mufassir di atas dalam
surat al-Baqarah ayat 195. Penelitian ini peneliti lakukan dengan melihat dua
mufassir yang sama-sama masyhur akan tetapi beda zaman, agar bisa melihat
poin-poin yang menonjol dalam penafsiran dari kedua mufassir tentunya dengan
tujuan mengungkap persamaan dan perbedaan dari keduanya.
Peneliti menggunakan komparasi antara tafsir al-Qur`an al-Az}im yaitu kitab tafsir Ibnu Katsir dengan tafsir al-Maraghi. Kitab tafsir Ibnu katsir sendiri
diketahui muncul pada abad ke 8 H,11 jika kitab tafsir ini muncul pada periode pertengahan, seperti yang tertera pada buku Dinamika sejarah Tafsir al-Qur`an
secara historis-kronologi. Adapun periode pertengahan terjadi pada periode
sekitar abad ke 3 H sampai abad ke 7-8 H.12
Lalu penulis menggunakan tafsir Ahmad Musthafa al-Maraghi,
bahwasanya al-Maraghi dalam tafsirnya menggunakan ijmali dan tahlili. Ijmali
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur`an, sehingga pendengar
dan pembacanya masih tetap mendengar al-Qur`an padahal yang mereka dengar
adalah tafsirnya.13 Sedangkan tahlili penyajiannya sangat terperinci dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan.14
Selain itu peneliti ingin melihat bagaimana warna atau corak dari kedua
era penafsiran di atas, yang mana Ibnu Katsir pada masa pertengahan yang kental
dengan kepentingan-kepentingan polotik, madzhab atau ideologi keilmuan
11
Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah, (Yogyakarta: TH-Press, 2010), 135 12
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: LSQ ar-Rahmah, 2012), 90
13
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta; Pustaka Plajar, 2012), 13
14
5
tertentu, seolah penafsir sedah diselimuti “jaket ideologi” tertentu.15
Sedangkan
tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi yang hadir pada abad ke 20
an atau pada era kontemporer, cenderung melepaskan diri dari model-model
berfikir madzhabi, bahkan sebagian mereka juga memanfaatkan perangkat
keilmuan modern, seperti teori sastra modern, hermeneutic, semantik, semoitic,
dan teori sains modern.16
Dari kedua tokoh di atas menarik bagi peneliti untuk diteliti, karena
kedua mufassir mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda, yang
menghasilkan tafsir bercorak klasik dan modern. Dalam menafsirkan al-Qur`an
kedua tokoh tersebut juga melakukan ijtihad, ijtihad yang mereka lakukan
tentunya akan berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa latar belakang sejarah,
sosiologi, wawasan intelektual dan sudut pandang kedua tokoh dalam memahami
al-Qur`an sangat berbeda pada hasil penafsiran.17
15
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an.., 99 16
Ibid.., 150 17
6
B. Identifikasi Masalah
Penafsiran surat al-Baqarah ayat 195 yang akan menjadi kajian
penulisan ini memiliki beberapa masalah yang dapat dikaji, diantaranya:
1. Bagaimana makna membelanjakan?
2. Bagaimana Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi diartikan oleh Ibnu Katsir? 3. Apa pengertian nafkah?
4. Bagaimana Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi diartikan oleh al-Maraghi? 5. Apa pengertian jihad?
6. Bagaimana perbedaan dari kedua mufassir yakni Ibnu Katsir dan Ahmad
Musthafa al-Maraghi?
C. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat diuraikan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi memahami
membelanjakan harta di jalan Allah pada surat al-Baqarah ayat 195?
2. Apa perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa
al-Maraghi?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat ditarik tujuan
7
1. Untuk mendiskripsikan bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam menafsirkan “Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi” pada surat al-Baqarah ayat 195.
2. Untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta
di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad
Musthafa al-Maraghi.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
dalam penleitian tafsir yang terkait dengan penelitian mufassir serta menambah
pemahaman tentang metode yang diterapkan kedua mufassir antara Ibnu Katsir
dan al-Maraghi sehingga bisa menginterpretasikan penafsiran sesuai
pemaknaan yang semestinya terkait dengan membelanjakan harta di jalan
Allah.
2. Secara Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan yang
memberikan informasi yang valid sehingga kualitas mufassir tidak diragukan
dan bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan sebagainya. Serta
memberikan informasi tentang pemaknaan tafsir konsep membelanjakan harta
8
F. Telaah Pustaka
Dalam proposal penelitian ini, digunakan berbagai buku sebagai
rujukan dari pembahasan ini, antara lain:
1. Skripsi yang ditulis oleh M. Abdurrahman Wahid dengan judul “Penafsiran
Ayat Jihad [perbandingan KH Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan An Nabhani (1909-1977)]” dalam skripsi tersebut menjelaskan konsep jihad menurut KH Hasyim Asy‟ari yang lebih moderat dan toleran terhadap penjajah. Baginya
sepanjang penjajah tidak melakukan kerugian secara langsung terhadap umat
Islam maka seharusnya muslim harus tetap bersikap dan berprasangka baik
kepada mereka. Sedangkan Taqiyuddin An Nabhani cenderung lebih tegas dan
keras, tak mengenal kompromi, khususnya terhadap kolonialisme. Baginya
hanya ada satu cara untuk menegakkan Islam di dunia ini, yaitu dengan
berjihad. Menurutnya jihad adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang
berdiri menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu atau
yang tidak. Akan tetapi yang layak diketengahkan sebagai persamaan jihad
diantara keduanya ialah jihad merupakan perbuatan mulia, membutuhkan
pengorbanan yang besar, dan apabila mati dalam berjihad maka statusnya
adalah sya>hid.
2. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Kholiq dengan judul “Hadis Tentang Sadaqah (Kajian Ma‟ani al-Hadis Anjuran Sadaqah)” dalam skripsi tersebut
menjelaskan tentang makna sadaqah bersama zakat dan istilah-istilah lainnya
yang semakna, sebagai bentuk ajaran yang peduli terhadap kondisi masyarakat
9
selain sebagai ibadah, sadaqah juga memberdayakan etos kerja, mengentaskan
kemiskinan dan membangun kehidupan masyarakat, yaitu penguatan ekonomi
umat. Setiap manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, sikap ini akan
menyebabkan kefatalan baik dalam ibadah dan tentunya berpengaruh dalam
usaha. Disinilah, sadaqah sebagai media controlling guna meminimalisir sifat
negatif dalam diri manusia.
3. Skripsi yang ditulis oleh Awatif Baqis dengan judul ‚Penafsiran Al-Maraghi
Atas Ayat 26-28 Surat Ar-Rahman Tentang Wajhullah” dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang cara pemikiran kalam al-Mara>ghi> yang bercorak Muktazilah rasional. Karena setelah dikaji lebih dalam lagi ditemukan bahwa ternyata pemikiran kalam al-Mara>ghi> memiliki banyak kesamaan dengan pemikiran yang terdapat di dalam aliran Muktazilah dan Maturidiyah
Samarkand dan sedikit persamaannya dengan pemikiran kalam Asy’ariyah dan
Maturidiyah Bukhara tradisional. Konsep wajhullah menurut al-Mara>ghi dalam ayat 26-28 surat ar-Rahman, menurut al-Maraghi dipalingkan makna harfiyahnya kepada makna majazi yang berarti dzat tanpa menjelaskan apakah sifat tersebut berada di dalam ataupun di luar zat-Nya. Ia cenderung tidak mengakui bahwa Allah memiliki sifat jasmani sehingga berdampak pada panafsiran lafad wajhullah yang ditafsirkan dengan zat Allah.
4. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Hamzah Ainul Yaqin dengan judul “Aurat Dalam Al-Qur`an Prespektif M. Quraish Shihab Dan Ahmad Musthafa
Al-Maraghi: Surat Al-Arafayat 26, Al-Nur Ayat 31, Al-Ahzab Ayat 59” dalam
10
Musthafa al-Maraghi tentang aurat sebagai salah satu wacana bagi umat Islam
terkait dengan berbagai macam penafsiran yang muncul pada zaman dulu
sampai dengan sekarang.
G. Metodologi Penelitian
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara
atau jalan. Bangsa arab menerjemahkannnya dengan thariqat atau manhaj. Dalam
bahasa Indonesia kata metode mengandung arti cara yang teratur yang terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.18
Penelitian adalah terjemah dari bahasa Inggris yaitu research yang berarti usaha
untuk mencari kembali yang dilakukan dengan metode tertentu dan dengan
hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan sehingga dapat digunalkan
untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. Jadi metode penelitian adalah
carayang akan ditempuh oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian.19 1. Penelitian dalam hal ini menggunakan metode komparatif yaitu
membandingkan antara dua redaksi yang bermirip atau lebih, atau
membandingkan antara ayat dengan hadis, atau antara berbagai pendapat para
mufassir dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan.20 Dalam hal ini penulis akan mencoba membandingkan antara pendapat
mufassir Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi terkait dengan
18
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 1.
19
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Indeks, 2012), 36. 20
11
membelanjakan harta di jalan Allah. Karena kedua mufassir tersebut ada
sedikit perbedaan pendapat terkait dengan hal tersebut. Baik dari segi
penafsiran maupun metode yang diterapkan.
Sebenarnya metode riset komparatif tidak jauh beda dengan
riset-riset yang lain, hanya saja dalam riset-riset komparatif akan tampak sangat
menonjol uraian-uraian perbandingannya. Langkah-langkah metodis dalam
melakukan riset komparatif adalah sebagai berikut:21 Menentukan tema apa yang akan diriset
Mengidentifikasi aspek-aspek yang hendak diperbandingkan
Mencari keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi antar konsep
Menunjukkan kekhasan dari masing-masing pemikiran tokoh, madzab
atau kawasan yang dikaji
Melakukan analisis yang mendalam dan kritis dengan disertai
argumentasi data
Membuat kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab problem risetnya.
Selain itu penulis juga menggunakan metode analitis yaitu
membicarakan asbab al-Nuzul, munasabah, dan aspek-aspek lain yang
berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan seperti halnya kosakata, susunan
kalimat, dan lain sebagainya.22 Dari pengertian tersbut maka yang paling penting nantinya penulis akan mencari asbab an-Nuzul dari ayat yang
berkaitan dengan tema untuk mengetahui asal-usul turunnya ayat tersebut,
dan munasabah ayat yang sudah tertera pada topik pembahasan tersebut.
21
Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir.., 137 22
12
1. Jenis penelitihan
Penelitihan ini menggunakan jenis metode penelitian library
research (penelitihan perpustakaan), dengan menggunakan data dan informasi
dari data-data tertulis baik berupa literatur bahasa arab maupun literatur
berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian. Dalam hal
ini penulis akan mengumpulkan data-data yang terkait dengan
membelanjakan harta di jalan Allah baik buku tersebut berbahasa arab
maupun bahasa yang lainnya, dengan tujuan untuk menemukan berbagai
macam informasi terkait dengan tema tersebut.
Selain itu penelitian ini bersifat kualitatif dimana penelitian yang
bertujuan memahami realitas sosial, yaitu melihat dunia dari apa adanya,
bukan dunia yang seharusnya, maka seorang peneliti kualitatif haruslah orang
yang memiliki sifat open minded. Dari situ penulis nantinya akan
menyelesaikan karya tulis ilmiyah ini dengan berbagai macam cara salah
satunya mencari penafsiran dan biografi mufassir Ibnu Katsir dan Ahmad
Musthafa al-Maraghi dengan tujuan mencari kebenaran terkait dengan
membelanjakan harta di jalan Allah.
Karenanya melakukan penelitian kualitatif dengan baik dan benar
berarti telah memiliki jendela untuk memahami dunia psikologi dan realitas
13
penelitian berbeda secara kualitatif maupun material kedua penelitian itu
berbeda berdasarkan filosofis dan metodolgis.23 2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan
cara mengumpulkan berbagai data yang terkait dengan fokus permasalahan,
kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasab dan penyusunan yang
akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep kerangka penulisan
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
3. Pengelolahan Data
Data penelitian merupakan informasi tentang suatu kenyataan atau
fenomena empiris yang berupa angka atau pernyataan. Salah satu tahapan
penelitian adalah proses pengumpulan data. Data primer adalah data yang
terkait langsung dengan masalah penelitian dan dijadikan bahan analisis serta
penarikan simpulan dalam penelitian. Data sekunder adalah data yang terkait
tidak langsung dengan masalah penelitian dan tidak dijadikan acuan utama
dalam analisis dan penarikan kesimpulan.24
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pustaka yaitu dengan mengumpulkan buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian kemudian memilah-milahnya dengan mengambil data-data
yang berkaitan dengan penelitian.
23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 4
24
14
4. Teknik Analisis Data
Menganalisis semua data yang sudah terkumpul baik dari data
sekunder maupun data primer sesuai dengan sub bahasan masing-masing.
Kemudian melakukan telaah yang lebih dalam atas karya-karya yang memuat
obyek penelitian dengan menggunakan analisis ini, dimana suatu teknik
sistematik untuk menganalisis isi pesan yang tersirat dari satu atau beberapa
pernyataan. Selain itu analisis itu juga mengkaji bahan dengan tujuan spesifik
yang ada dalam benak penelitian.25
Menurut sumbernya, data penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.26 Sedangkan data sekunder adalah data tangan kedua yang diperoleh lewat pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh penelitian dari subyek penelitiannya. Data sekunder
biasanya berwujud dokumentasi atau data laporan yang tersedia.27 a. Sumber data primer pada penelitian ini meliputi:
Tafsir al-Qur`an al-Adhim: oleh Ibnu Katsir
Tafsir al-Maraghi: oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi
b. Sumber data sekunder yang meliputi:
Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an
Metodologi Penafsiran Al-Quran
25
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Yogyakarta: Rake Saransi, 1993), 76.
26
Saifuddin, Metode Penelitian, ( Yogyakarta: Kanisius, 1998), 91. 27
15
Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah
Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Sejarah Dan Ulum Al-Qu‟an
Metode penelitian al-Qur`an dan Tafsir
Jihad Dalam al-Qur`an, Telaah Normatif, Historis, Dan Prospektif
Fiqh Muamalah
Sejarah dan Metodologi Tafsir
H. Sistematika Pembahasan
Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai
berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan. Selain itu pada bab ini juga akan dijelaskan
pengertian serta dalam bab ini juga digunakan sebagai pedoman, acuan, dan
arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah
dan pembahasannya tidak melebar.
Bab kedua berisi tentang landasan teori secara umum terkait dengan
membelanjakan harta di jalan Allah. Di mana pada bab ini menjelaskan secara
umum tentang membelanjakan harta di jalan Allah.
Bab ketiga membahas tentang biografi tokoh mufassir yaitu Ibnu Katsir
16
karakteristik penafsiran dari kedua tokoh mufassir yaitu Ibnu Katsir dan Ahmad
Musthafa al-Maraghi.
Bab keempat berisi tentang analisis komparatif penafsiran Ibnu Katsir
dan Ahmad Musthafa al-Maraghi, serta perbedaan dan persamaan di antara kedua
tokoh tersebut.
Bab kelima membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil
17
BAB II
MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH
A.
MEMBELANJAKAN DAN HARTA1. Definisi Membelanjakan
Yaitu mengeluarkan uang untuk belanja. Kata dasar
membelanjakan adalah belanja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belanja
yaitu uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan sehari-hari.1 Membelanjakan atau membiayai berasal dari kata
قف ي
-
قف أ
yang berartiinfak yang dikhususkan dengan upaya realita perintah-perintah Allah.
Menurut kamus bahasa Indonesia infak adalah mengeluarkan harta yang
mencakup zakat dan non zakat. Sedang menrurut terminology syariat, infak
berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk
suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.2
Sedangkan lafad
رتشا
menunjukkan arti membeli3 seperti yang telah dijelaskan dalam QS. at-Taubah: 111 yang artinya:Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang dijalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur‟an.
1Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 164. 2Majalah OASE Desember 2012, 15.
3
18
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa infak berasal dari
kata bahas Arab, namun telah dibahasa Indonesiakan dan berarti: pemberian
(sumbangan) harta dan sebagiannya untuk kebaikan. Dalam bahasa Arab
(infak/
اف إ
) akar kata yang berarti sesuatu yang habis. Dalam al-Munjid,dikatakan bahwa Infak boleh juga berarti dua lubang atau berpura-pura.
Sedangkan
رتشا
bermakna membeli, layaknya seseorang membeli barang
dan mengharapkan apa yang telah dibeli, lain halnya dengan infak tanpa
mengharap imbalan atau pun hasil.
Seperti yang kita ketahui bahwa infak terambil dari kata bahasa
Arab yang menurut penggunaan bahasa berarti: berlalu, hilang, tidak ada lagi.
Dengan berbagai sebab: kematian, keputusan, penjualan dan sebagainya. Atas
dasar ini, al-Qur`an menggunakan kata infaq dalam berbagai bentuknya,
bukan hanya dalam harta benda, tetapi juga selainnya.4 2. Definisi Harta atau mal
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata
-
ام
ي ب
-
ايم
yang menurut bahasa berarti condong, cenderung, atau miring.Al-mal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia
dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat.
Menurut bahasa umum, arti mal ialah uang atau harta. Adapun
menurut istilah, ialah segala benda yang berharga dan bersifat materi serta
19
beredar di antara manusia.5 Menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Nasrun Haroen, al-mal adalah Segala yang diminati manusia dan dapat
dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki,
disimpan dan dimanfaatkan.6 Sedangkan pendapat jumhur ulama fiqih selain Hanafiyah yaitu segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan
menguasainya. Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh
ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat
dirabah seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat
termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut
ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah
manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih umum digunakan oleh
kebanyakan manusia.7
3. Permasalahan-permasalahan Harta
a. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang
kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh
karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak
jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara‟ dan ketetapan
yang disepakati oleh manusia. Fungsi harta yang sesuai dengan syara‟, antara
lain untuk:
5Wahbab al-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 4 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 8.
6Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al
-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), 15.
20
Kesempurnaan ibadah mahdah, seperti shalat memerlukan kain untuk
menutup aurat.
Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT, sebab kefakiran mendekatkan kekufuran
Menyelaraskan anatara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah bersabda:
سيل
ِ
ريخب
ِ
مك
ِم
ِ
رت
ِ
اي دلا
ِ
ترخآ
ِ
رخآو
ِ
اي دل
ِ
ىتح
ِ
ابيصي
ِ
ا ي ج
ِ
إف
ِ
دلا
ِ
اب
ِ
ىلا
ِ
رخآا
ِ(
اور
ِ
راخبلا
)
Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meniggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
Bekal mencari dan mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa
biaya akan terasa sulit.
Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya
pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling
membutuhkan, sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan
berkecukupan.
Untuk menumbuhkan silaturrahmi.8 b. Macam-macam Harta
Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim. Harta Mutaqawwim adalah
sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara‟. Atau semua harta
yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Harta
21
Ghair Mutaqawwim adalah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya,
baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaanya.
Mal Mitsli dan Mal Qimi. Harta Mitsli adalah benda-benda yang ada
persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri
sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.
Harta Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya
karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa
ada perbedaan.
Harta Istihlak dan harta Isti’mal. Harta Istihlak adalah sesuatu yang tidak
dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan
menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu: Istihlak
Haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata)
zatnya habis sekali digunakan. Istihlak Buquqi adalah suatu harta yang
sudah habis nilainya bila telah digunakan tetapi zatnya masih tetap ada. Harta Isti‟mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulanag kali dan
materinya tetap terpelihara. Harta Isti’mal tidaklah habis dengan satu kali
menggunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya.
Harta Manqul dan Harta Ghair Manaqula. Harta Manqul adalah segala
harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lainya
baik tetap ataupun berubah kepada bentuk yang lainnya seperti uang,
22
adalah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke
tempat lain.9
c. Memperoleh harta dan pemanfaatannya
Memperoleh harta
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian yang lalu bahwa harta
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani
kehidupan di dunia. Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan manusia
supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Usaha mencari harta dan
memilikinya itu hanya dengan cara yang halal.
Adapun bentuk usaha dalam meperoleh harta yang menjadi karunia Allah
untuk dimiliki manusia bagi menunjang kehidupannya, secara garis
besarnya ada dua bentuk:10
- Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh
siapapun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum
menjadi milik siapapun adalah menghidupkan (menggarap) tanah mati
yang belum dimiliki yang disebut ihya’ al-mawat.
- Memperoleh harta yang telah dimiliki seseorang melalui transaksi.
Bentuk ini dipisahkan dari dua cara: pertama, peralihan harta
berlangsung dengan sendirinya atau yang disebut ijbary yang siapapun
tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti warisan. Kedua,
peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya, dalam arti atas
kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiary, baik melalui
9
Ibid
23
kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui
kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak
seperti jual beli. Kedua cara memperoleh harta ini harus selalu
dilakukan dengan perinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan
diridhai Allah swt.
Pemanfaatan harta11
- Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Sebagaimana
Allah berfirman:
ا لك
ِ وٱ
ا ب رْش
ـي
ِ ٔ
ا ٔ
ا ب
ِْمت ك
ِ ل ْ ت
٣٤
Artinya:
(Katakan kepada mereka), "Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan."
Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan
minum, namun tentunya yang dimaksud disini adalah sebuah
kebutuhan hidup, seperti pakaian dan papan (perumahan). Hal ini
berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup
di dunia. Namun dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa
hal yang dilakukan oleh setiap Muslim; pertama, israf yaitu
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan
hidup sendiri. Kedua, Tabdhir (boros), dalam arti menggunakan harta
untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan
untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
24
- Digunakan untuk memenuhi kewajiban terhadap Allah. Kewajiban
kepada Allah itu ada dua macam: pertama, kewajiban materi yang
berkenan dalam kewajiban agama yang merupakan hutang kepada
Allah, seperti untuk keperluan membayar zakat atau nadzar atau
kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan
dimanfaatkan untuk manusia. Kedua, kewajiban materi yang harus
ditunaikan untuk keluarga yaitu istri, anak dan kerabat.
- Dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena
meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun
yang diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang. Ada yang
mendapat banyak sehingga melebihi keperluan kehidupannya
sekeluarga, tetapi ada pula yang mendapat sedikit dan kurang dari
keperluan hidupnya. Yang mendapat rezeki yang sedikit ini
memerlukan bantuan dari saudaranya yang mendapat rezeki yang
berlebih dalam bentuk infak.
B.
BENTUK-BENTUK MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAHIslam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk
memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di jalan
Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kabakhilan. Larangan
kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena
Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan
dipertanggungjawabkan di hari perhitungan. Bentuk-bentuk membelanjakan harta
25
1. Nafkah suami kepada istri
Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami
untuk istri dan anak-anaknya. Dalam kaitan ini QS. Al Baqarah : 233
mengajarkan bahwa ayah (suami yang telah menjadi ayah) berkewajiban
memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu) dengan
makruf. Nafkah dalam hal ini mempunyai arti tanggung jawab utama seorang
suami dan hak utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang
dada, tanpa sedikitpun unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat
mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga.12
Disebutkan dalam HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwasanya
nafkah kepada istri yaitu, memberinya makan bila kalian makan, dan
memberinya pakaian bila kalian berpakaian. Janganlah kalian memukul
wajah, menjelek-jelekkan, dan janganlah mengasingkannya kecuali di
rumah.13 Yang dimaksud jangan mengasingkannya kecuali di rumah yakni apabila suami hendak menghukumnya, cukuplah dengan memisahkan tempat
tidurnya, bukannya mengusir atau menyakitinya dengan kata-kata kasar.14 Dan jika suami ba>khil, yaitu tidak memberikan nafkah secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah
tertentu baginya untuk keperluan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.
Hakim boleh memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh
12
Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri (Solo: Era Intermedia, 2006), 71
13
Kahar Masyhur, Bulughul Maram (Jakarta:Rineka Cipta, 1992), 142 14
26
istri serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan
yang dilontarkan oleh istri ternyata benar.15 2. Waris atau Faraidh
Lafazh al-Faraidh, sebagai jamak dari lafazh faridhah, oleh para
ulama Faradhiyun diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian
yang telah dipastikan kadarnya. Diartikan demikian karena saham-saham
yang telah dipastikan kadarnya tersebut dapat mengalahkan saham-saham
yang belum dipastikan kadarnya. Faraidh dalam istilah mawaris dikhusukan
untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟.16
Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah
pembagian harta waris. Kata
ئ فلا
(al-fara>’idh atau diindonesiakan menjadi faraidh-pen) dalah bentuk jamak dariة ي فلا
(al-fari@dhah) yang bermaknaة و ف لا
(al-mafru>dhah) atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.17Menurut bahasa, lafal fari@dhah diambil dari kata
فلا
(al-fardh) atau kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secaraetimologis, kata al-fardh memiliki banyak arti, diantaranya sebagaimana
berikut:
15
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 164
16Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: ALMAARIF, 1994), 31
17Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul Mawa>ris Fil Fiqhil
27
a. Al-Qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian.
b. At-Taqdir yang berarti suatu ketentuan.
c. Al-Inzal yang berarti menurunkan.
d. At-Tabyin yang berarti penjelasan.
e. Al-Ihlal yang berarti menghalalkan.
f. Al-‘At}a’ yang berate pemberian.
Keenam arti di atas dapat di gunakan seluruhnya karena ilmu
faraidh meliputi beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara
tetap dan pasti. Di samping itu, penjelasan Allah SWT. tentang setiap ahli
waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada
sebutan atau penamaan ilmu faraidh.18
sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa
definisi, yakni sebagai berikut:
a. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara‟ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih
kepada para penerima waris-pen) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul
(pembagian harta waris, di mana jumlah bagian para ahli waris lebih besar
dari pada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar
jumlah bagian-bagian itu).
b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang
terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian
yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.
28
c. Disebut juga fiqh al-mawaris yang berarti fiqih tentang warisan dan tata
cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.
d. Kaidah-kaidah fiqh dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap
ahli waris dari harta peninggalan.
e. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris
yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui
kadar bagian setiap ahli waris.19
Pengertian waris menurut bahasa tidak terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta saja, melainkan mencakup harta benda dan non harta
benda.20 Kata و adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur`an.21 Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang
ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diteria dari
peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.22
3. Zakat
Zakat ialah pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari
sekumpulan harta tertentu, menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian,
19Ibid.., 13
20Muhammad Ali ash-Sabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyah ‘Ala Dhau’ Al-Kitab
Wa Sunnah. Ter. A.M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 33
21Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 355
29
keberkahan, pensucian. Menurut syara‟ zakat, menurut sifat-sifat dan ukuran
tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya.23 Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah: 110
او ي أو
ٱ
ول ل
ٰ
ة
اوتاءو
ٱ
وك ل
ٰ
ة
امو
اومدقت
مكسف ِ
ْ م
ْيخ
ودجت
د ع
ٱ
ّ
إ
ٱ
ّ
ا ب
ول ْعت
ي ب
Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Pengertian zakat yang berkembang dalam masyarakat adalah shadaqah wajib,
sedangkan pengertian shadaqah sendiri adalah shadaqah sunnah.
Hikmah zakat diantaranya:24
Menyucikan harta dari kemungkinan masuk harta orang lain ke dalam
harta yang dimiliki.
Menyucikan jiwa si pemberi zakat dari sifat kikir (bakhi@l) dan dosa secara umum
Membersihkan jiwa si pemberi zakat dari sifat dengki
Membangun masyarakat yang lemah menjadi kuat.
30
4. Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah
(terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u
(mencegah).25 Secara istilah berikut pendapat para ulama:
Muhammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan wakaf ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan
(memotong) tas}arruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas mushrif (pengelolah) yang dibolehkannya.
Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni berpendapat
bahwa wakaf ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk
digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk
mendekatkan diri pada Allah swt.26
Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf
ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah
seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan
untuk mendapat ridha Allah.27
Idris Ahmad berpendapat wakaf adalah menahan harta yang mungkin
dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat („ain)-nya dan
25Muhammad al-Syarbini al-Khatib, al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, t.t), 319
26Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Bandung: PT al-Ma’arif, t.t), 119
31
menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara‟, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.28
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah menahan sesuatu
benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna
diberikan di jalan kebenaran.
Wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran dan
manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus
mengalir selama masih dapat digunakan. Bukan hanya itu, wakaf sangat
bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan. Lihatlah negeri Islam di
zaman dahulu, karena wakaf, umat Islam dapat maju, bahkan sampai
sekarang telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf itu masih kekal. Kita masih
merasakan manisnya hasil wakaf mereka dahulu sampai sekarang. Jadi
hikmah wakaf dapat kita simpulkan yaitu untuk memfasilitasi secara kekal
semua jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam.29 5. Hibah atau hadiah
Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-hibah yang
berarti pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil dari
kata Hubu>bur ri@h artinya muru>ruha (perjalanan angin). Kemudian, dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta ataupun bukan. Secara terminologi (syara‟) jumhur ulama mendefinisikan
hibah ialah akad yang mengakibatkan pemilik harta tanpa ganti rugi yang
28Idris Ahmad, Fiqih al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), 156
32
dilakukan oleh seseorang dalam keadaan hidup kepada seseorang secara
sukarela.30
Dari definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa hibah
merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah di mana orang yang diberi bebas
menggunakan harta tersebut. Benda yang diberikan statusnya belum menjadi
milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak semata-mata
akad.
Allah dan Rasul-Nya memrintahkan kepada sesama manusia untuk
saling memberi. Biasanya orang yang suka memberi maka dia juga akan
diberi. Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pemberian.
Menghilangkan penyakit dengki yang dapat merusak keimanan
Mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai dan menyayangi, serta
menghilangkan sifat egois dan bakhil
Menghilangkan rasa dendam.31 6. Shadaqah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab s}adaqah yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan Islam,
sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunnahkan. Tetapi setelah
kewajiban zakat disyariatkan yang dalam al-Qur`an sering disebutkan dengan
kata s{adaqah sunah/ tat{awwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Secara syara‟ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara
33
ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala
dari Allah.
Sedekah dapat diberikan kapan dan di mana saja tanpa terikat oleh
waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih
diutamakan yaitu di bulan Ramadhan. Sedekah juga sangat dianjurkan ketika
sedang menghadapi perkara penting, sakit atau bepergian, berada di kota
Makkah atau Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama
seperti sepuluh hari di bulan Zulhijjah, dan hari raya.32
Pada dasarnya, sedekah dapat diberikan kepada siapa saja yang
membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu
kepada famili yang paling memusuhi, famili yang jauh hendaklah
didahulukan dari tetangga yang bukan famili. karena selain sedekah,
pemberian itu akan mempererat hubungan silaturrahmi.
Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk
materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik.
Berikut bentuk-bentuk sedekah:33
a. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain
b. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan
c. Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa
d. Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan
e. Membantu mengangkat barang
f. Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan
34
g. Melangkahkan kaki ke jalan Allah
h. Mengucapkan dzikir kepada Allah
i. Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran
j. Membimbing orang buta
k. Memberikan senyuman kepada orang lain.
Sedekah memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Orang yang
bersedekah dengan ikhlas ia bukan hanya mendapat pahala tetapi juga
memiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat dipetik
diantaranya:34
Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya
Mempererat hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir
miskin, menghilangkan sifat bakhil dan egois, dan dapat membersihkan
harta serta dapat meredam murka Tuhan
Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat
7. Infak
Infak berasal dari kata
ِ ق ف أ
yang berarti mengeluarkan sesuatuuntuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah infak berarti
mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu
kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.35 Ada pula pendapat yang mengatakan, secara bahasa Infak bermakna : keterputusan dan kelenyapan,
dari sisi leksikal infak bermakna : mengorbankan harta dan semacamnya
34Ibid.., 157
35
dalam hal kebaikan. Dengan demikian, kalau kedua makna ini di gabungkan
maka dapat dipahami bahwa harta yang dikorbankan atau didermakan pada
kebaikan itulah yang mengalami keterputusan atau lenyap dari kepemilikan
orang yang mengorbankannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka setiap pengorbanan
(pembelanjaan) harta dan semacamnya pada kebaikan disebut al-infak. Dalam
infak tidak di tetapkan bentuk dan waktunya, demikian pula dengan besar
atau kecil jumlahnya. Tetapi infak biasanya identik dengan harta atau sesuatu
yang memiliki nilai barang yang di korbankan. Infak adalah jenis kebaikan
yang bersifat umum, berbeda dengan zakat. Jika seseorang ber-infak, maka
kebaikan akan kembali pada dirinya, tetapi jika ia tidak melakukan hal itu,
maka tidak akan jatuh kepada dosa, sebagaimana orang yang telah memenuhi
syarat untuk berzakat, tetapi ia tidak melaksanakannya.
Allah berfirman dalam Q.S Ali Imron: 134
ٱ
ي ل
وقف ي
ىف
ٱ
ا سل
ٰ
ء
وٱ
ا ل
ٰ
ء
وٱ
كْل
ٰ
ي ظ
ٱ
ظْيغْل
وٱ
يفاعْل
ع
ٱ
ا ل
وٱ
ّ
بحي
ٱ
ي سْح ْل
٣١
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,
Berdasarkan firman Allah di atas, bahwa infak tidak mengenal
nisab seperti zakat. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik
yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia disaat lapang atau
sempit. Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu maka infak boleh
36
8. Jihad
Jihad adalah bentuk mashdar. Berasal dari kata
jahada-yujahidu-jihad-mujahadah. Artinya secara bahasa menunjukkan pada sebuah usaha
mengerahkan kemampuan, potensi dan kekuatan, atau memikul sesuatu yang
berat. kata ini dalam ragam bentuk turunannya termaktub dalam al-Qur`an s‟banyak 34 kali.36
Sedangkan menurut istilah jihad adalah mengerahkan
segala kemampuan dan kekuatan untuk berperang di jalan Allah dengan
mempertaruhkan nyawa, atau dengan memberikan bentuan harta atau materi,
atau sekedar pendapat, atau dengan ucapan, atau dengan memberikan bekal
berperang dan yang lainnya.37
Adapun menurut Ibnu Taimiyah, perintah Jihad bisa dilakukan
dengan hati: seperti berkeinginan untuk berjihad, berdakwah, dan
mengajarkan syariat-syariatnya; berhujjah dengan cara mendatangkan hujjah
di hadapan orang-orang yang membutuhkannya; memberikan penjelasan
tentang kebenaran, dan menghilangkan syubhat, serta memberikan pendapat
dan sumbangsih pemikiran yang bisa memberikan manfaat bagi kaum
Muslimin; serta jihad badan dengan cara berperang.
Tingkatan jihad madani (membangun masyarakat sipil) berikut
pembagiannya:38 a. Jihad bidang ilmu
36Yusuf al-Qardhawi, Ringkasan Fikih Jihad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), 29 37Ibid.., 39
37
Al-Qur`an mengisyaratkan bahwasanya berusaha dalam mencari
ilmu agama dikategorikan sebagai bentuk jihad. Karena itu al-Qur`an
menyebutkannya surat at-Taubah ayat 22 tersebut. Penggunaan kata
nafara (pergi) yang bisa dipakai dalam jihad menunjukkan bahwa pergi
mencari ilmu dan memperdalam ilmu agama termasuk salah satu bentuk
jihad. Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyebutkan: “Barangsiapa yang pergi dalam rangka menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali”.
b. Jihad bidang sosial
Jihad bidang sosial adalah memberikan perlindungan kepada
keluarga yang terdiri dari orang tua, anak dan saudara. At-Thabarani dan lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Seorang laki-laki
datang kepada Nabi lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku ingin sekali berjihad namun aku tidak mampu.” Rasulullah bertanya: “Apakah orang
tua mu masih hidup?” laki-laki itu menjawab, “ibu saya masih hidup.” Rasulullah bersabda: “Berbaktilah kepadanya. Apabila kamu
melakukannya, maka kamu layaknya orang yang melakukan ibadah haji,
umrah dan jihad”.
Dengan pengarahan Nabi ini, beliau mengajarkan kepada
kepada para sahabat beliau agar supaya membuka mata terhadap berbagai
macam medan dan bidang garapan. Pada medan tersebut mereka dapat
berjihad tanpa pedang, panah, dan persenjataan perang lainnya.
38
Sesungguhnya yang difokuskan oleh Rasulullah adalah niat dan
tujuan di balik jerih payah tersebut. Selama orang yang berusaha tersebut
bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang dianjurkan untuk
masyarakat atau keluarga dan bahkan diri sendiri, maka ia berada di jalan
Allah, yakni berada pada jihad yang diterima dan dipuji. Namun jika
tujuannya itu adalah kesombongan dan menumpuk harta, maka ia telah
keluar dari lingkup jihad di jalan Allah, yakni melintasi jalan lain yaitu
jalan setan.
d. Jihad bidang pendidikan (tarbawi)
Yaitu jihad yang dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah
yang mengajarkan kepada mereka sesuatu yang bisa menjaga identitas
dan melestarikan hubungan mereka serta menanamkan pada hati dan
pikiran mereka rasa cinta terhadap agama, umat dan negara sehingga
mereka tidak bertindak secara berlebihan pada semua hal tersebut.
Disamping itu juga memberikan kesempatan kepada mereka yang cerdas
agar dapat menaiki tingkat belajar yang tinggi. Jihad tarbawi ini sangat
penting untuk mencetak kader umat yang mampu memikul risalahnya
yang begitu istimewa untuk dirinya dan juga alam semesta. Sesuatu yang
mengakibatkan hal wajib menjadi tidak sempurna, maka hukumannya
adalah wajib.
39
Yaitu jihad yang dilakukan dengan membangun rumah sakit dan
pusat-pusat kesehatan yang memberikan pengobatan kepada semua orang
yang sakit dan bekerja untuk menaikkan tingkat kesehatan di masyarakat
serta menyebarkan kesadaran terhadap kesehatan dan upaya pencegahan
terhadap penyakit. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh orang bijak, “setitik pencegahan lebih baik dari segudang pengobatan.” Seperti yang dikatakan mereka pula, “akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.”
f. Jihad bidang lingkungan
Yaitu jihad yang dilakukan dengan menjaga dan melindungi
keselamatan lingkungan dari semua bentuk pencemaran atau bahaya yang
menimpanya. Karena menjaga dan melindungi lingkungan dari bahaya
BAB III
MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH
PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL
MARAGHI TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195
A. Ibnu Katsir
1. Biografi Ibnu Katsir
Nama lengkap Ibnu Katsir adalah Ismail bin „Amr al-Quraisyi bin
Katsir al-Basri ad-Imasyqi „Imadudin Abu Fida al-Hafidz al-Muhaddis asy-Syafi‟i.1 Beliau dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 700 H / 1300 M. atau lebih sedikit. Ada yang mejelaskan bahwa di penghujung usianya Ibnu Katsir
mengalami kebutaan dan ia wafat pada bulan Sya‟ban tahun 774 H / 1373 M. beliau di kebumikan di kuburan as-Suffiyyah di dekat makam gurunya (Ibnu
Taimiyah).
2. Rihlah Akademik
Dalam usia 7 tahun ayahnya meninggal, kemudian beliau
mengikuti kakaknya pergi ke Damaskus. Di sanalah ia mulai belajar. Gurunya
yang paling utama adalah Burhan al-Din al-Farizi seorang pemuka madzhab Syaf‟i. Disamping itu juga beliau belajar kepada ulama sesamanya.
Diantaranya Baha‟ al-Din al-Qasimy bin Asakir (w.727 H), Ishaq bin Yahya
1
41
al-Amidy (w. 728 H), Taqy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dari
beberapa gurunya ini Ibnu Katsir sangat terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah
yang menganut madzhab Hanbali dengan pemikiran Radikalisnya.2
3. Sosio Kultural
Damaskus atau dalam bahasa Arab disebut (Dimasyq/( قشمد adalah
kota peradaban umat Islam yang menyimpan sejarah kegemilangan. Letaknya
berada di sebelah barat daya Suriah. Damaskus termasuk kota tua yang
tercatat dalam sejarah dengan kekuasaan yang silih berganti, yaitu antara
bangsa Mongol, Romawi, dan Arab. Kota ini bagai magnet yang menarik
pesona siapa saja ingin yang bermukim di dalamnya. Ada yang mengatakan, sebutan Damaskus berasal dari seorang bernama Dimasyq bin Kan‟an.
Sejarawan mencatat bahwa kota yang kaya akan peninggalan sejarah ini
dibangun pada 3000 tahun sebelum Masehi.3 Ulama Tafsir seperti Imam Ibnu Katsir mengartikan “tanah yang tinggi” yang disebutkan oleh Al-Qur`an
sebagai kota Damaskus.Untuk menggambarkan secara detail kota peradaban
Islam itu, Ibnu Asakir bahkan menulis buku berjudul “Tarikh Dimasyq” (Sejarah Damaskus), yang menggambarkan tentang kota ini dan
wilayah-wilayah sekitarnya, serta para ulama yang hidup di wilayah-wilayah tersebut. Buku ini
menjadi rujukan bagi para sejarawan dan mereka yang ingin mengetahui
seluk beluk tentang Damaskus. Pada masa kejayaannya, buku-buku bagaikan
lautan ilmu yang membentang di perpustakaan-perpustakaan megah di kota
2
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ter. Bahrun Abu Bakar LC., juz 1, cet. II (Bandung: Sinar Baru ALgesindo, 2002), vii.
3
42
ini. Sekolah-sekolah diniyah bertebaran di seantero kota. Tak heran jika pada
masa lalu, Damaskus menjadi salah satu kiblat ilmu dan peradaban yang
banyak melahirkan para ulama, dan menjadi tempat bagi mereka yang ingin
bermukim dan menuntut ilmu. Ketika umat Islam di Andalusia mengalami
pengusiran besar-besaran, pembunuhan dan lain sebagainya pada abad ke-12
Masehi oleh kaum Nasrani, mereka berbondong-bondong datang ke
Damaskus. Begitupun pada masa ketika kaum Muslimin di Irak mengalami
penindasan yang dilakukan oleh pasukan Tartar dari bangsa Mongol, mereka
datang berlindung ke kota Damaskus. Bahkan pada abad ke-16, Damaskus
tak hanya menjadi tempat berlindung bagi umat Islam dari Andalusia, bahkan
juga menjadi tempat mencari suaka orang-orang Yahudi yang berdiaspora
dari Andalusia.
Popularitas Ibnu Katsir dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian
untuk menetapkan hukum terhadap seorang zindik yang didakwah menganut
paham hulul (inkarnasi). Penelitian itu diprakarsai oleh Gubernur Suriah
Altunbuga an-Nasiri di akhir tahun 741 H/1341 M. Pada bulan Muharram
beliau diangkat sebagai khatib masjid kota Mizza yang didirikan oleh Amir
Baha‟ al-Din al-Marjani. Pada bulan Zulkaidah tahun 748 H / Febuari 1348
M, ia mengajarkan hadis menggantikan gurunya al-Zahabi yang meninggal.4 Ibnu Katsir dikabarkan pernah menjabat sebagai pemimpin Dar
al-Hadist al-Asyrafiyyah setelah Taqy al-Din al-Subki meninggal pada tahun
756 H. pada tahun 752 H/1351 M, setelah menggagalkan pemberontakan
4
43
Amir Bibughah Urus, beliau diterima oleh khalifah al-Mu‟tadid untuk mengajar di Madrasah Dammaghiyah di Damaskus. Ia juga ikut dalam satu
dewan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang Syi‟ah yang dituduh menghina khalifah Mu‟awiyah dan Yazid.5
Pada tahun 767 H/1365 M Ibnu Katsir membela mati-matian Qadhi
Qudhah Taj al-Din yang dituduh melakukan beberapa penyelewengan.
Sehingga Gubernur Mankali Bughah membentuk sebuah komisi yudisial
penyelidik. Sehingga Ibnu Katsir dianugrahi Imam dan Guru Besar Tafsi di
Masjid Negara pada bulan Syawal 768 H/1366 M.6
Ibnu Katsir dikenal sebagai ulama fiqih serta mufassir ahli hadis
yang di akui kepopuleranya dalam dinia Islam. Banyak karyanya hingga kini
mendapat perhatian dari kalangan umat Muslim dunia dalam mencari rujukan
hadis sahih.7 Disamping itu pula, Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan mempunyai wawasan ilmiyah yang cukup luas.8
4. Karya Ilmiah
Berkat kegigihan Ibnu Katsir, akhirnya beliau menjadi ahli Tafsir
ternama, ahli Hadith, sejarawan serta ahli fiqh besar pada abad ke-8 H. Kitab
beliau dalam bidang Tafsir yaitu Tafsi>r al-Qur`an al-‘Az}i>m menjadikitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin
Jarir at-Tahabari. Berikut ini adalah sebagian karya-karya Ibn Katsir:
a. Al-Bida>yah wa al-Niha>yah Fi> al-Tarikh, dalam bidang sejarah.
5
Ibid
6
Ibid
7
Ibid
8
44
b. Al-Kawakibu al-Durari, dalam bidang sejarah, cuplikan pilihan dari
al-Bida>yah wa al-Niha>yah.
c. Tafsir al-Quran; al-Ijtihad fi Talbi al-Jihad.
d. Jami>’ al-Masanid; al-Sunnah al-Hadi li Aqwani Sunan;
e. Al-Wadihu al-Nafis fi Manaqibi al-Imam Muhammad Ibnu Idris.9
f. Tafsi@r al-Qur`an al-‘Az}i@m
g. Al-Madkhal Ila> Kitab al-Sunnah
h. Ringkasan Ulu>m al-Hadith li> Ibn al-S}alah
i. Al-Ta’mil fi> Ma’rifat al-Thi>qat wa al-Dlu’afa> wa al-Maja>hil.10
j. Al-Kutub As-Sittah