• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL

MARAGHI

(TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-I) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

KHOIRO UMMAH

(E73213126)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ii

ABSTRAK

Peneliti dengan nama Khoiro Ummah jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, dengan judul Membelanjakan Harta Di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir Dan Ahmad Musthafa Al Maraghi (Telaah Surat al-Baqarah Ayat 195).

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi memahami membelanjakan harta di jalan Allah pada surat al-Baqarah ayat 195? 2) Apa perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi?

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman membelanjakan harta di jalan Allah antara Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.

Penelitian dalam hal ini menggunakan metode komparatif yaitu antara pendapat para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan.

Penelitian ini dilakukan karena masih banyaknya manusia yang tidak memahami akan hal membelanjakan harta di jalan Allah. Dimana orang menganggap bahwa hartanya hanyalah miliknya tanpa mengetahui bahwa sebagian hartanya terdapat harta orang lain. Selanjutnya dilakukan penelitian dengan melihat persamaan dan perbedaan yang dihubungkan dengan pendekatan teori Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

(8)

xi

G. Metodologi Penelitian ... 10

H. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II: MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH A. Membelanjakan dan Harta ... 17

1. Definisi membelanjakan ... 17

2. Definisi harta atau mal ... 18

3. Permasalahan-permasalahan harta ... 19

B. Bentuk-bentuk Membelanjakan Harta di Jalan Allah ... 24

1. Nafkah suami kepada istri ... 25

2. Waris atau Faraid ... 26

3. Zakat ... 29

4. Wakaf ... 30

5. Hadiah atau hibah ... 31

6. Sadaqah ... 32

7. Infak ... 34

8. Jihad ... 36

BAB III: MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL MARAGHI TELAAH SURAT AL BAQARAH AYAT 195 A. Ibnu Katsir ... 40

1. Biografi Ibnu Katsir ... 40

2. Rihlah akademik ... 41

3. Sosio kultural ... 41

4. Karya ilmiah ... 43

(9)

6. Tafsir Ibnu Katsir ... 45

7. Metode dan corak Ibnu Katsir ... 46

B. Ahmad Musthafa al-Maraghi ... 49

1. Biografi al-Maraghi ... 49

2. Rihlah akademik ... 49

3. Sosio kultural ... 50

4. Karya ilmiah ... 54

5. Latar belakang tafsir al-Maraghi ... 55

6. Tafsir al-Maraghi ... 56

7. Metode dan corak al-Maraghi ... 57

C. Membelanjakan Harta di Jalan Allah Perspektif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Surat al-Baqarah Ayat 195 1. Penafsiran Ibnu Katsir ... 58

2. Penafsiran al-Maraghi ... 61

BAB IV: ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PENAFSIRAN IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL MARAGHI TENTANG MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH SURAT AL BAQARAH AYAT 195 A. Analisis Komparatif Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi .. 66

B. Perbedaan dan Persamaan Antara Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Membelanjakan Harta di Jalan Allah... 78

BAB V: PENUTUP 1. Simpulan ... 82

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian al-Qur`an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang

cukup dinamis, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya

dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir,

mulai dari yang klasik sampai kontemporer, dengan berbagai corak, metode dan

pendekatan yang digunakan.1

Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan al-Qur`an sebagai

teks yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan sebagai

konteks yang tak terbatas, merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir

al-Qur`an. Hal ini mengingat betapapun al-Qur`an turun dimasa lalu, dengan

konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, tetapi ia mengandung nilai-nilai

universal yang s}a>lih li kulli zama>n wa maka>n. Karenanya, di era kontemporer, al-Qur`an perlu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi

umat manusia. Dengan kata lain, sebagai orang yang hidup di era kontemporer,

kita tidak perlu menggunakan kacamata orang dulu dalam menafsirkan al-Qur`an,

mengingat problem dan tantangan yang kita hadapi berbeda dengan mereka.2

1

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: CV. Idea Sejahtera, 2015), 138

2

(11)

2

Perbedaan mengenai suatu masalah merupakan hal yang biasa dan

sering terjadi disetiap perkumpulan. Perdebatan seputar duniawi sampai ukhrawi.

Mulai dari urusan ekonomi, agama, budaya, sosial politik dan masih banyak lagi.

Namun, perdebatan bisa menjadi hal yang serius ketika sampai pada ranah agama,

hal-hal yang berhubungan dengan agama kerap menjadi penyebab perseteruan

anatar agama, bahkan yang seimanpun terlibat aksi seperti ini.

Masalah dalam penelitian ini secara garis besar adalah tentang ekspresi kebahasaan dalam menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi dalam surat al-Baqarah ayat 195 yang berarti membelanjakan harta di jalan Allah. Sebelum melangkah pada permasalahan dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk melihat ruang definisi terlebih dulu tentang infak secara global. Kata membelanjakan harta di jalan Allah dengan sedekah memiliki korelasi makna yang sama yakni sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.3 Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi (infak) termasuk dalam kategori sedekah karena sama-sama melakukan pemberian/ sumbangan.4 Infak merupakan kata lain dari sadaqah, dimana keduanya sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu pahala atau ihtisab yang artinya tindakan yang disertai kesungguhan karena rid}a-Nya yakni pahala ukhrawi sebagai imbalannya.5 Akan tetapi, infak lebih dikhususkan

3

Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 88 4

Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), 149 5

(12)

3

maknanya, yaitu dalam hal materi saja dan tanpa ada pembatasan siapa yang diberi.6

Semua definisi di atas, sebagai awal identifikasi masalah dalam penelitian ini. Sejauh pembacaan peneliti terhadap surat al-Baqarah ayat 195 dalam karya tafsir Ibnu Katsir, ia menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi sebagai infak. Sedangkan dalam karya tafsir Ahmad Musthafa al-Maraghi, ia menafsirkan Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi (infak) sebagai jihad. Dari segi bahasa kata jihad merupakan masdar dari kata jahada yang memiliki arti berusaha dengan sungguh-sungguh.7 Sedangkan dalam kamus al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-‘Alam

dijelaskan bahwa jihad adalah memerangi musuh dalam bentuk membela agama.8 Dan al-Raghib al-Asfahani menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan segala daya upaya atau kemampuan untuk menahan serangan musuh.9

Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal

Islam hingga masa kontemporer. Banyak ulama dan pemikiran muslim terlibat

dalam pembicaraan tentang jihad, baik kaitannya dengan doktrin fiqh maupun

dengan konsep politik Islam. Konsep-konsep jihad yang dikemukakan mengalami

pergeseran dan perubahan, sesuai dengan konteks dan lingkungan

masing-masing.10

6

Fatihuddin Abul Yasin, Rahasia Keajaiban Shadaqah, (Surabaya: Terbit Terang, 2008), 7

7

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 217

8

Abu Luwis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Darul Masyriq, 1986), 106 9

Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfazi al-Qura’an, (Beirut: Dar Kutub

al-„Ilmiah, 2008), 114

10

(13)

4

Untuk mengungkap perbedaan antara kedua mufassir di atas dalam

surat al-Baqarah ayat 195. Penelitian ini peneliti lakukan dengan melihat dua

mufassir yang sama-sama masyhur akan tetapi beda zaman, agar bisa melihat

poin-poin yang menonjol dalam penafsiran dari kedua mufassir tentunya dengan

tujuan mengungkap persamaan dan perbedaan dari keduanya.

Peneliti menggunakan komparasi antara tafsir al-Qur`an al-Az}im yaitu kitab tafsir Ibnu Katsir dengan tafsir al-Maraghi. Kitab tafsir Ibnu katsir sendiri

diketahui muncul pada abad ke 8 H,11 jika kitab tafsir ini muncul pada periode pertengahan, seperti yang tertera pada buku Dinamika sejarah Tafsir al-Qur`an

secara historis-kronologi. Adapun periode pertengahan terjadi pada periode

sekitar abad ke 3 H sampai abad ke 7-8 H.12

Lalu penulis menggunakan tafsir Ahmad Musthafa al-Maraghi,

bahwasanya al-Maraghi dalam tafsirnya menggunakan ijmali dan tahlili. Ijmali

penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur`an, sehingga pendengar

dan pembacanya masih tetap mendengar al-Qur`an padahal yang mereka dengar

adalah tafsirnya.13 Sedangkan tahlili penyajiannya sangat terperinci dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan.14

Selain itu peneliti ingin melihat bagaimana warna atau corak dari kedua

era penafsiran di atas, yang mana Ibnu Katsir pada masa pertengahan yang kental

dengan kepentingan-kepentingan polotik, madzhab atau ideologi keilmuan

11

Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah, (Yogyakarta: TH-Press, 2010), 135 12

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: LSQ ar-Rahmah, 2012), 90

13

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta; Pustaka Plajar, 2012), 13

14

(14)

5

tertentu, seolah penafsir sedah diselimuti “jaket ideologi” tertentu.15

Sedangkan

tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi yang hadir pada abad ke 20

an atau pada era kontemporer, cenderung melepaskan diri dari model-model

berfikir madzhabi, bahkan sebagian mereka juga memanfaatkan perangkat

keilmuan modern, seperti teori sastra modern, hermeneutic, semantik, semoitic,

dan teori sains modern.16

Dari kedua tokoh di atas menarik bagi peneliti untuk diteliti, karena

kedua mufassir mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda, yang

menghasilkan tafsir bercorak klasik dan modern. Dalam menafsirkan al-Qur`an

kedua tokoh tersebut juga melakukan ijtihad, ijtihad yang mereka lakukan

tentunya akan berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa latar belakang sejarah,

sosiologi, wawasan intelektual dan sudut pandang kedua tokoh dalam memahami

al-Qur`an sangat berbeda pada hasil penafsiran.17

15

Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an.., 99 16

Ibid.., 150 17

(15)

6

B. Identifikasi Masalah

Penafsiran surat al-Baqarah ayat 195 yang akan menjadi kajian

penulisan ini memiliki beberapa masalah yang dapat dikaji, diantaranya:

1. Bagaimana makna membelanjakan?

2. Bagaimana Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi diartikan oleh Ibnu Katsir? 3. Apa pengertian nafkah?

4. Bagaimana Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi diartikan oleh al-Maraghi? 5. Apa pengertian jihad?

6. Bagaimana perbedaan dari kedua mufassir yakni Ibnu Katsir dan Ahmad

Musthafa al-Maraghi?

C. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat diuraikan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi memahami

membelanjakan harta di jalan Allah pada surat al-Baqarah ayat 195?

2. Apa perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta di jalan Allah

dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa

al-Maraghi?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat ditarik tujuan

(16)

7

1. Untuk mendiskripsikan bagaimana Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam menafsirkan “Wa anfiqu> fi> sabi>lillahi” pada surat al-Baqarah ayat 195.

2. Untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan penafsiran membelanjakan harta

di jalan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menurut Ibnu Katsir dan Ahmad

Musthafa al-Maraghi.

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

dalam penleitian tafsir yang terkait dengan penelitian mufassir serta menambah

pemahaman tentang metode yang diterapkan kedua mufassir antara Ibnu Katsir

dan al-Maraghi sehingga bisa menginterpretasikan penafsiran sesuai

pemaknaan yang semestinya terkait dengan membelanjakan harta di jalan

Allah.

2. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan yang

memberikan informasi yang valid sehingga kualitas mufassir tidak diragukan

dan bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan sebagainya. Serta

memberikan informasi tentang pemaknaan tafsir konsep membelanjakan harta

(17)

8

F. Telaah Pustaka

Dalam proposal penelitian ini, digunakan berbagai buku sebagai

rujukan dari pembahasan ini, antara lain:

1. Skripsi yang ditulis oleh M. Abdurrahman Wahid dengan judul “Penafsiran

Ayat Jihad [perbandingan KH Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan An Nabhani (1909-1977)]” dalam skripsi tersebut menjelaskan konsep jihad menurut KH Hasyim Asy‟ari yang lebih moderat dan toleran terhadap penjajah. Baginya

sepanjang penjajah tidak melakukan kerugian secara langsung terhadap umat

Islam maka seharusnya muslim harus tetap bersikap dan berprasangka baik

kepada mereka. Sedangkan Taqiyuddin An Nabhani cenderung lebih tegas dan

keras, tak mengenal kompromi, khususnya terhadap kolonialisme. Baginya

hanya ada satu cara untuk menegakkan Islam di dunia ini, yaitu dengan

berjihad. Menurutnya jihad adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang

berdiri menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu atau

yang tidak. Akan tetapi yang layak diketengahkan sebagai persamaan jihad

diantara keduanya ialah jihad merupakan perbuatan mulia, membutuhkan

pengorbanan yang besar, dan apabila mati dalam berjihad maka statusnya

adalah sya>hid.

2. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Kholiq dengan judul “Hadis Tentang Sadaqah (Kajian Ma‟ani al-Hadis Anjuran Sadaqah)” dalam skripsi tersebut

menjelaskan tentang makna sadaqah bersama zakat dan istilah-istilah lainnya

yang semakna, sebagai bentuk ajaran yang peduli terhadap kondisi masyarakat

(18)

9

selain sebagai ibadah, sadaqah juga memberdayakan etos kerja, mengentaskan

kemiskinan dan membangun kehidupan masyarakat, yaitu penguatan ekonomi

umat. Setiap manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, sikap ini akan

menyebabkan kefatalan baik dalam ibadah dan tentunya berpengaruh dalam

usaha. Disinilah, sadaqah sebagai media controlling guna meminimalisir sifat

negatif dalam diri manusia.

3. Skripsi yang ditulis oleh Awatif Baqis dengan judul ‚Penafsiran Al-Maraghi

Atas Ayat 26-28 Surat Ar-Rahman Tentang Wajhullah” dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang cara pemikiran kalam al-Mara>ghi> yang bercorak Muktazilah rasional. Karena setelah dikaji lebih dalam lagi ditemukan bahwa ternyata pemikiran kalam al-Mara>ghi> memiliki banyak kesamaan dengan pemikiran yang terdapat di dalam aliran Muktazilah dan Maturidiyah

Samarkand dan sedikit persamaannya dengan pemikiran kalam Asy’ariyah dan

Maturidiyah Bukhara tradisional. Konsep wajhullah menurut al-Mara>ghi dalam ayat 26-28 surat ar-Rahman, menurut al-Maraghi dipalingkan makna harfiyahnya kepada makna majazi yang berarti dzat tanpa menjelaskan apakah sifat tersebut berada di dalam ataupun di luar zat-Nya. Ia cenderung tidak mengakui bahwa Allah memiliki sifat jasmani sehingga berdampak pada panafsiran lafad wajhullah yang ditafsirkan dengan zat Allah.

4. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Hamzah Ainul Yaqin dengan judul “Aurat Dalam Al-Qur`an Prespektif M. Quraish Shihab Dan Ahmad Musthafa

Al-Maraghi: Surat Al-Arafayat 26, Al-Nur Ayat 31, Al-Ahzab Ayat 59” dalam

(19)

10

Musthafa al-Maraghi tentang aurat sebagai salah satu wacana bagi umat Islam

terkait dengan berbagai macam penafsiran yang muncul pada zaman dulu

sampai dengan sekarang.

G. Metodologi Penelitian

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara

atau jalan. Bangsa arab menerjemahkannnya dengan thariqat atau manhaj. Dalam

bahasa Indonesia kata metode mengandung arti cara yang teratur yang terpikir

baik-baik untuk mencapai maksud, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.18

Penelitian adalah terjemah dari bahasa Inggris yaitu research yang berarti usaha

untuk mencari kembali yang dilakukan dengan metode tertentu dan dengan

hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan sehingga dapat digunalkan

untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. Jadi metode penelitian adalah

carayang akan ditempuh oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian.19 1. Penelitian dalam hal ini menggunakan metode komparatif yaitu

membandingkan antara dua redaksi yang bermirip atau lebih, atau

membandingkan antara ayat dengan hadis, atau antara berbagai pendapat para

mufassir dalam menafsirkan suatu ayat sebagaimana yang telah disebutkan.20 Dalam hal ini penulis akan mencoba membandingkan antara pendapat

mufassir Ibnu Katsir dan Ahmad Musthafa al-Maraghi terkait dengan

18

Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 1.

19

Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Indeks, 2012), 36. 20

(20)

11

membelanjakan harta di jalan Allah. Karena kedua mufassir tersebut ada

sedikit perbedaan pendapat terkait dengan hal tersebut. Baik dari segi

penafsiran maupun metode yang diterapkan.

Sebenarnya metode riset komparatif tidak jauh beda dengan

riset-riset yang lain, hanya saja dalam riset-riset komparatif akan tampak sangat

menonjol uraian-uraian perbandingannya. Langkah-langkah metodis dalam

melakukan riset komparatif adalah sebagai berikut:21  Menentukan tema apa yang akan diriset

 Mengidentifikasi aspek-aspek yang hendak diperbandingkan

 Mencari keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi antar konsep

 Menunjukkan kekhasan dari masing-masing pemikiran tokoh, madzab

atau kawasan yang dikaji

 Melakukan analisis yang mendalam dan kritis dengan disertai

argumentasi data

 Membuat kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab problem risetnya.

Selain itu penulis juga menggunakan metode analitis yaitu

membicarakan asbab al-Nuzul, munasabah, dan aspek-aspek lain yang

berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan seperti halnya kosakata, susunan

kalimat, dan lain sebagainya.22 Dari pengertian tersbut maka yang paling penting nantinya penulis akan mencari asbab an-Nuzul dari ayat yang

berkaitan dengan tema untuk mengetahui asal-usul turunnya ayat tersebut,

dan munasabah ayat yang sudah tertera pada topik pembahasan tersebut.

21

Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir.., 137 22

(21)

12

1. Jenis penelitihan

Penelitihan ini menggunakan jenis metode penelitian library

research (penelitihan perpustakaan), dengan menggunakan data dan informasi

dari data-data tertulis baik berupa literatur bahasa arab maupun literatur

berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian. Dalam hal

ini penulis akan mengumpulkan data-data yang terkait dengan

membelanjakan harta di jalan Allah baik buku tersebut berbahasa arab

maupun bahasa yang lainnya, dengan tujuan untuk menemukan berbagai

macam informasi terkait dengan tema tersebut.

Selain itu penelitian ini bersifat kualitatif dimana penelitian yang

bertujuan memahami realitas sosial, yaitu melihat dunia dari apa adanya,

bukan dunia yang seharusnya, maka seorang peneliti kualitatif haruslah orang

yang memiliki sifat open minded. Dari situ penulis nantinya akan

menyelesaikan karya tulis ilmiyah ini dengan berbagai macam cara salah

satunya mencari penafsiran dan biografi mufassir Ibnu Katsir dan Ahmad

Musthafa al-Maraghi dengan tujuan mencari kebenaran terkait dengan

membelanjakan harta di jalan Allah.

Karenanya melakukan penelitian kualitatif dengan baik dan benar

berarti telah memiliki jendela untuk memahami dunia psikologi dan realitas

(22)

13

penelitian berbeda secara kualitatif maupun material kedua penelitian itu

berbeda berdasarkan filosofis dan metodolgis.23 2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau cara yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan

cara mengumpulkan berbagai data yang terkait dengan fokus permasalahan,

kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasab dan penyusunan yang

akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep kerangka penulisan

yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3. Pengelolahan Data

Data penelitian merupakan informasi tentang suatu kenyataan atau

fenomena empiris yang berupa angka atau pernyataan. Salah satu tahapan

penelitian adalah proses pengumpulan data. Data primer adalah data yang

terkait langsung dengan masalah penelitian dan dijadikan bahan analisis serta

penarikan simpulan dalam penelitian. Data sekunder adalah data yang terkait

tidak langsung dengan masalah penelitian dan tidak dijadikan acuan utama

dalam analisis dan penarikan kesimpulan.24

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pustaka yaitu dengan mengumpulkan buku-buku yang berkaitan

dengan penelitian kemudian memilah-milahnya dengan mengambil data-data

yang berkaitan dengan penelitian.

23

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 4

24

(23)

14

4. Teknik Analisis Data

Menganalisis semua data yang sudah terkumpul baik dari data

sekunder maupun data primer sesuai dengan sub bahasan masing-masing.

Kemudian melakukan telaah yang lebih dalam atas karya-karya yang memuat

obyek penelitian dengan menggunakan analisis ini, dimana suatu teknik

sistematik untuk menganalisis isi pesan yang tersirat dari satu atau beberapa

pernyataan. Selain itu analisis itu juga mengkaji bahan dengan tujuan spesifik

yang ada dalam benak penelitian.25

Menurut sumbernya, data penelitian ini meliputi data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data

langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.26 Sedangkan data sekunder adalah data tangan kedua yang diperoleh lewat pihak lain, tidak

langsung diperoleh oleh penelitian dari subyek penelitiannya. Data sekunder

biasanya berwujud dokumentasi atau data laporan yang tersedia.27 a. Sumber data primer pada penelitian ini meliputi:

 Tafsir al-Qur`an al-Adhim: oleh Ibnu Katsir

 Tafsir al-Maraghi: oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi

b. Sumber data sekunder yang meliputi:

 Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an

 Metodologi Penafsiran Al-Quran

25

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Yogyakarta: Rake Saransi, 1993), 76.

26

Saifuddin, Metode Penelitian, ( Yogyakarta: Kanisius, 1998), 91. 27

(24)

15

 Studi Kitab Tafsir Klasik Tengah

 Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia

 Sejarah Dan Ulum Al-Qu‟an

 Metode penelitian al-Qur`an dan Tafsir

 Jihad Dalam al-Qur`an, Telaah Normatif, Historis, Dan Prospektif

 Fiqh Muamalah

 Sejarah dan Metodologi Tafsir

H. Sistematika Pembahasan

Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai

berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan. Selain itu pada bab ini juga akan dijelaskan

pengertian serta dalam bab ini juga digunakan sebagai pedoman, acuan, dan

arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah

dan pembahasannya tidak melebar.

Bab kedua berisi tentang landasan teori secara umum terkait dengan

membelanjakan harta di jalan Allah. Di mana pada bab ini menjelaskan secara

umum tentang membelanjakan harta di jalan Allah.

Bab ketiga membahas tentang biografi tokoh mufassir yaitu Ibnu Katsir

(25)

16

karakteristik penafsiran dari kedua tokoh mufassir yaitu Ibnu Katsir dan Ahmad

Musthafa al-Maraghi.

Bab keempat berisi tentang analisis komparatif penafsiran Ibnu Katsir

dan Ahmad Musthafa al-Maraghi, serta perbedaan dan persamaan di antara kedua

tokoh tersebut.

Bab kelima membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil

(26)

17

BAB II

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

A.

MEMBELANJAKAN DAN HARTA

1. Definisi Membelanjakan

Yaitu mengeluarkan uang untuk belanja. Kata dasar

membelanjakan adalah belanja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belanja

yaitu uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan sehari-hari.1 Membelanjakan atau membiayai berasal dari kata

قف ي

-

قف أ

yang berarti

infak yang dikhususkan dengan upaya realita perintah-perintah Allah.

Menurut kamus bahasa Indonesia infak adalah mengeluarkan harta yang

mencakup zakat dan non zakat. Sedang menrurut terminology syariat, infak

berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk

suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.2

Sedangkan lafad

رتشا

menunjukkan arti membeli3 seperti yang telah dijelaskan dalam QS. at-Taubah: 111 yang artinya:

Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang dijalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur‟an.

1Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 164. 2Majalah OASE Desember 2012, 15.

3

(27)

18

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa infak berasal dari

kata bahas Arab, namun telah dibahasa Indonesiakan dan berarti: pemberian

(sumbangan) harta dan sebagiannya untuk kebaikan. Dalam bahasa Arab

(infak/

اف إ

) akar kata yang berarti sesuatu yang habis. Dalam al-Munjid,

dikatakan bahwa Infak boleh juga berarti dua lubang atau berpura-pura.

Sedangkan

رتشا

bermakna membeli, layaknya seseorang membeli barang

dan mengharapkan apa yang telah dibeli, lain halnya dengan infak tanpa

mengharap imbalan atau pun hasil.

Seperti yang kita ketahui bahwa infak terambil dari kata bahasa

Arab yang menurut penggunaan bahasa berarti: berlalu, hilang, tidak ada lagi.

Dengan berbagai sebab: kematian, keputusan, penjualan dan sebagainya. Atas

dasar ini, al-Qur`an menggunakan kata infaq dalam berbagai bentuknya,

bukan hanya dalam harta benda, tetapi juga selainnya.4 2. Definisi Harta atau mal

Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata

-

ام

ي ب

-

ايم

yang menurut bahasa berarti condong, cenderung, atau miring.

Al-mal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia

dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat.

Menurut bahasa umum, arti mal ialah uang atau harta. Adapun

menurut istilah, ialah segala benda yang berharga dan bersifat materi serta

(28)

19

beredar di antara manusia.5 Menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Nasrun Haroen, al-mal adalah Segala yang diminati manusia dan dapat

dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki,

disimpan dan dimanfaatkan.6 Sedangkan pendapat jumhur ulama fiqih selain Hanafiyah yaitu segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan

menguasainya. Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh

ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat

dirabah seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat

termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut

ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah

manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih umum digunakan oleh

kebanyakan manusia.7

3. Permasalahan-permasalahan Harta

a. Fungsi Harta

Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang

kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh

karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak

jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara‟ dan ketetapan

yang disepakati oleh manusia. Fungsi harta yang sesuai dengan syara‟, antara

lain untuk:

5Wahbab al-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 4 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 8.

6Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al

-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), 15.

(29)

20

 Kesempurnaan ibadah mahdah, seperti shalat memerlukan kain untuk

menutup aurat.

 Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah

SWT, sebab kefakiran mendekatkan kekufuran

 Menyelaraskan anatara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah bersabda:

سيل

ِ

ريخب

ِ

مك

ِم

ِ

رت

ِ

اي دلا

ِ

ترخآ

ِ

رخآو

ِ

اي دل

ِ

ىتح

ِ

ابيصي

ِ

ا ي ج

ِ

إف

ِ

دلا

ِ

اب

ِ

ىلا

ِ

رخآا

ِ(

اور

ِ

راخبلا

)

Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meniggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.

 Bekal mencari dan mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa

biaya akan terasa sulit.

 Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya

pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling

membutuhkan, sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan

berkecukupan.

 Untuk menumbuhkan silaturrahmi.8 b. Macam-macam Harta

Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim. Harta Mutaqawwim adalah

sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara‟. Atau semua harta

yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Harta

(30)

21

Ghair Mutaqawwim adalah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya,

baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaanya.

 Mal Mitsli dan Mal Qimi. Harta Mitsli adalah benda-benda yang ada

persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri

sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.

Harta Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya

karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa

ada perbedaan.

 Harta Istihlak dan harta Isti’mal. Harta Istihlak adalah sesuatu yang tidak

dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan

menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu: Istihlak

Haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata)

zatnya habis sekali digunakan. Istihlak Buquqi adalah suatu harta yang

sudah habis nilainya bila telah digunakan tetapi zatnya masih tetap ada. Harta Isti‟mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulanag kali dan

materinya tetap terpelihara. Harta Isti’mal tidaklah habis dengan satu kali

menggunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya.

 Harta Manqul dan Harta Ghair Manaqula. Harta Manqul adalah segala

harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lainya

baik tetap ataupun berubah kepada bentuk yang lainnya seperti uang,

(31)

22

adalah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke

tempat lain.9

c. Memperoleh harta dan pemanfaatannya

 Memperoleh harta

Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian yang lalu bahwa harta

merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani

kehidupan di dunia. Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan manusia

supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Usaha mencari harta dan

memilikinya itu hanya dengan cara yang halal.

Adapun bentuk usaha dalam meperoleh harta yang menjadi karunia Allah

untuk dimiliki manusia bagi menunjang kehidupannya, secara garis

besarnya ada dua bentuk:10

- Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh

siapapun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum

menjadi milik siapapun adalah menghidupkan (menggarap) tanah mati

yang belum dimiliki yang disebut ihya’ al-mawat.

- Memperoleh harta yang telah dimiliki seseorang melalui transaksi.

Bentuk ini dipisahkan dari dua cara: pertama, peralihan harta

berlangsung dengan sendirinya atau yang disebut ijbary yang siapapun

tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti warisan. Kedua,

peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya, dalam arti atas

kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiary, baik melalui

9

Ibid

(32)

23

kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui

kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak

seperti jual beli. Kedua cara memperoleh harta ini harus selalu

dilakukan dengan perinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan

diridhai Allah swt.

 Pemanfaatan harta11

- Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Sebagaimana

Allah berfirman:

ا لك

ِ وٱ

ا ب رْش

ـي

ِ ٔ

ا ٔ

ا ب

ِْمت ك

ِ ل ْ ت

٣٤

Artinya:

(Katakan kepada mereka), "Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan."

Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan

minum, namun tentunya yang dimaksud disini adalah sebuah

kebutuhan hidup, seperti pakaian dan papan (perumahan). Hal ini

berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup

di dunia. Namun dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa

hal yang dilakukan oleh setiap Muslim; pertama, israf yaitu

berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan

hidup sendiri. Kedua, Tabdhir (boros), dalam arti menggunakan harta

untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan

untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

(33)

24

- Digunakan untuk memenuhi kewajiban terhadap Allah. Kewajiban

kepada Allah itu ada dua macam: pertama, kewajiban materi yang

berkenan dalam kewajiban agama yang merupakan hutang kepada

Allah, seperti untuk keperluan membayar zakat atau nadzar atau

kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan

dimanfaatkan untuk manusia. Kedua, kewajiban materi yang harus

ditunaikan untuk keluarga yaitu istri, anak dan kerabat.

- Dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena

meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun

yang diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang. Ada yang

mendapat banyak sehingga melebihi keperluan kehidupannya

sekeluarga, tetapi ada pula yang mendapat sedikit dan kurang dari

keperluan hidupnya. Yang mendapat rezeki yang sedikit ini

memerlukan bantuan dari saudaranya yang mendapat rezeki yang

berlebih dalam bentuk infak.

B.

BENTUK-BENTUK MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk

memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di jalan

Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kabakhilan. Larangan

kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena

Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan

dipertanggungjawabkan di hari perhitungan. Bentuk-bentuk membelanjakan harta

(34)

25

1. Nafkah suami kepada istri

Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami

untuk istri dan anak-anaknya. Dalam kaitan ini QS. Al Baqarah : 233

mengajarkan bahwa ayah (suami yang telah menjadi ayah) berkewajiban

memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu) dengan

makruf. Nafkah dalam hal ini mempunyai arti tanggung jawab utama seorang

suami dan hak utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang

dada, tanpa sedikitpun unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat

mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga.12

Disebutkan dalam HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwasanya

nafkah kepada istri yaitu, memberinya makan bila kalian makan, dan

memberinya pakaian bila kalian berpakaian. Janganlah kalian memukul

wajah, menjelek-jelekkan, dan janganlah mengasingkannya kecuali di

rumah.13 Yang dimaksud jangan mengasingkannya kecuali di rumah yakni apabila suami hendak menghukumnya, cukuplah dengan memisahkan tempat

tidurnya, bukannya mengusir atau menyakitinya dengan kata-kata kasar.14 Dan jika suami ba>khil, yaitu tidak memberikan nafkah secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah

tertentu baginya untuk keperluan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.

Hakim boleh memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh

12

Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri (Solo: Era Intermedia, 2006), 71

13

Kahar Masyhur, Bulughul Maram (Jakarta:Rineka Cipta, 1992), 142 14

(35)

26

istri serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan

yang dilontarkan oleh istri ternyata benar.15 2. Waris atau Faraidh

Lafazh al-Faraidh, sebagai jamak dari lafazh faridhah, oleh para

ulama Faradhiyun diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian

yang telah dipastikan kadarnya. Diartikan demikian karena saham-saham

yang telah dipastikan kadarnya tersebut dapat mengalahkan saham-saham

yang belum dipastikan kadarnya. Faraidh dalam istilah mawaris dikhusukan

untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟.16

Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah

pembagian harta waris. Kata

ئ فلا

(al-fara>’idh atau diindonesiakan menjadi faraidh-pen) dalah bentuk jamak dari

ة ي فلا

(al-fari@dhah) yang bermakna

ة و ف لا

(al-mafru>dhah) atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.17

Menurut bahasa, lafal fari@dhah diambil dari kata

فلا

(al-fardh) atau kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara

etimologis, kata al-fardh memiliki banyak arti, diantaranya sebagaimana

berikut:

15

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 164

16Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: ALMAARIF, 1994), 31

17Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul Mawa>ris Fil Fiqhil

(36)

27

a. Al-Qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian.

b. At-Taqdir yang berarti suatu ketentuan.

c. Al-Inzal yang berarti menurunkan.

d. At-Tabyin yang berarti penjelasan.

e. Al-Ihlal yang berarti menghalalkan.

f. Al-‘At}a’ yang berate pemberian.

Keenam arti di atas dapat di gunakan seluruhnya karena ilmu

faraidh meliputi beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara

tetap dan pasti. Di samping itu, penjelasan Allah SWT. tentang setiap ahli

waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada

sebutan atau penamaan ilmu faraidh.18

sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa

definisi, yakni sebagai berikut:

a. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara‟ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih

kepada para penerima waris-pen) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul

(pembagian harta waris, di mana jumlah bagian para ahli waris lebih besar

dari pada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar

jumlah bagian-bagian itu).

b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang

terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian

yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.

(37)

28

c. Disebut juga fiqh al-mawaris yang berarti fiqih tentang warisan dan tata

cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

d. Kaidah-kaidah fiqh dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap

ahli waris dari harta peninggalan.

e. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris

yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui

kadar bagian setiap ahli waris.19

Pengertian waris menurut bahasa tidak terbatas pada hal-hal yang

berkaitan dengan harta saja, melainkan mencakup harta benda dan non harta

benda.20 Kata و adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur`an.21 Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang

ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diteria dari

peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.22

3. Zakat

Zakat ialah pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari

sekumpulan harta tertentu, menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian,

19Ibid.., 13

20Muhammad Ali ash-Sabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyah ‘Ala Dhau’ Al-Kitab

Wa Sunnah. Ter. A.M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 33

21Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 355

(38)

29

keberkahan, pensucian. Menurut syara‟ zakat, menurut sifat-sifat dan ukuran

tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya.23 Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah: 110

او ي أو

ٱ

ول ل

ٰ

ة

اوتاءو

ٱ

وك ل

ٰ

ة

امو

اومدقت

مكسف ِ

ْ م

ْيخ

ودجت

د ع

ٱ

ّ

إ

ٱ

ّ

ا ب

ول ْعت

ي ب

Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Pengertian zakat yang berkembang dalam masyarakat adalah shadaqah wajib,

sedangkan pengertian shadaqah sendiri adalah shadaqah sunnah.

Hikmah zakat diantaranya:24

 Menyucikan harta dari kemungkinan masuk harta orang lain ke dalam

harta yang dimiliki.

 Menyucikan jiwa si pemberi zakat dari sifat kikir (bakhi@l) dan dosa secara umum

 Membersihkan jiwa si pemberi zakat dari sifat dengki

 Membangun masyarakat yang lemah menjadi kuat.

(39)

30

4. Wakaf

Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah

(terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u

(mencegah).25 Secara istilah berikut pendapat para ulama:

 Muhammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan wakaf ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk

dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan

(memotong) tas}arruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas mushrif (pengelolah) yang dibolehkannya.

 Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni berpendapat

bahwa wakaf ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk

dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk

digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk

mendekatkan diri pada Allah swt.26

 Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf

ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah

seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan

untuk mendapat ridha Allah.27

 Idris Ahmad berpendapat wakaf adalah menahan harta yang mungkin

dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat („ain)-nya dan

25Muhammad al-Syarbini al-Khatib, al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, t.t), 319

26Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Bandung: PT al-Ma’arif, t.t), 119

(40)

31

menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara‟, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.28

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah menahan sesuatu

benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna

diberikan di jalan kebenaran.

Wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran dan

manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus

mengalir selama masih dapat digunakan. Bukan hanya itu, wakaf sangat

bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan. Lihatlah negeri Islam di

zaman dahulu, karena wakaf, umat Islam dapat maju, bahkan sampai

sekarang telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf itu masih kekal. Kita masih

merasakan manisnya hasil wakaf mereka dahulu sampai sekarang. Jadi

hikmah wakaf dapat kita simpulkan yaitu untuk memfasilitasi secara kekal

semua jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam.29 5. Hibah atau hadiah

Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-hibah yang

berarti pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil dari

kata Hubu>bur ri@h artinya muru>ruha (perjalanan angin). Kemudian, dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta ataupun bukan. Secara terminologi (syara‟) jumhur ulama mendefinisikan

hibah ialah akad yang mengakibatkan pemilik harta tanpa ganti rugi yang

28Idris Ahmad, Fiqih al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), 156

(41)

32

dilakukan oleh seseorang dalam keadaan hidup kepada seseorang secara

sukarela.30

Dari definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa hibah

merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan untuk

mendekatkan diri kepada Allah di mana orang yang diberi bebas

menggunakan harta tersebut. Benda yang diberikan statusnya belum menjadi

milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak semata-mata

akad.

Allah dan Rasul-Nya memrintahkan kepada sesama manusia untuk

saling memberi. Biasanya orang yang suka memberi maka dia juga akan

diberi. Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pemberian.

 Menghilangkan penyakit dengki yang dapat merusak keimanan

 Mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai dan menyayangi, serta

menghilangkan sifat egois dan bakhil

 Menghilangkan rasa dendam.31 6. Shadaqah

Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab s}adaqah yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan Islam,

sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunnahkan. Tetapi setelah

kewajiban zakat disyariatkan yang dalam al-Qur`an sering disebutkan dengan

kata s{adaqah sunah/ tat{awwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Secara syara‟ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara

(42)

33

ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala

dari Allah.

Sedekah dapat diberikan kapan dan di mana saja tanpa terikat oleh

waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih

diutamakan yaitu di bulan Ramadhan. Sedekah juga sangat dianjurkan ketika

sedang menghadapi perkara penting, sakit atau bepergian, berada di kota

Makkah atau Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama

seperti sepuluh hari di bulan Zulhijjah, dan hari raya.32

Pada dasarnya, sedekah dapat diberikan kepada siapa saja yang

membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu

kepada famili yang paling memusuhi, famili yang jauh hendaklah

didahulukan dari tetangga yang bukan famili. karena selain sedekah,

pemberian itu akan mempererat hubungan silaturrahmi.

Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk

materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik.

Berikut bentuk-bentuk sedekah:33

a. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain

b. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan

c. Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa

d. Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan

e. Membantu mengangkat barang

f. Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan

(43)

34

g. Melangkahkan kaki ke jalan Allah

h. Mengucapkan dzikir kepada Allah

i. Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran

j. Membimbing orang buta

k. Memberikan senyuman kepada orang lain.

Sedekah memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Orang yang

bersedekah dengan ikhlas ia bukan hanya mendapat pahala tetapi juga

memiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat dipetik

diantaranya:34

 Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya

 Mempererat hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir

miskin, menghilangkan sifat bakhil dan egois, dan dapat membersihkan

harta serta dapat meredam murka Tuhan

 Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat

7. Infak

Infak berasal dari kata

ِ ق ف أ

yang berarti mengeluarkan sesuatu

untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah infak berarti

mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu

kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.35 Ada pula pendapat yang mengatakan, secara bahasa Infak bermakna : keterputusan dan kelenyapan,

dari sisi leksikal infak bermakna : mengorbankan harta dan semacamnya

34Ibid.., 157

(44)

35

dalam hal kebaikan. Dengan demikian, kalau kedua makna ini di gabungkan

maka dapat dipahami bahwa harta yang dikorbankan atau didermakan pada

kebaikan itulah yang mengalami keterputusan atau lenyap dari kepemilikan

orang yang mengorbankannya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka setiap pengorbanan

(pembelanjaan) harta dan semacamnya pada kebaikan disebut al-infak. Dalam

infak tidak di tetapkan bentuk dan waktunya, demikian pula dengan besar

atau kecil jumlahnya. Tetapi infak biasanya identik dengan harta atau sesuatu

yang memiliki nilai barang yang di korbankan. Infak adalah jenis kebaikan

yang bersifat umum, berbeda dengan zakat. Jika seseorang ber-infak, maka

kebaikan akan kembali pada dirinya, tetapi jika ia tidak melakukan hal itu,

maka tidak akan jatuh kepada dosa, sebagaimana orang yang telah memenuhi

syarat untuk berzakat, tetapi ia tidak melaksanakannya.

Allah berfirman dalam Q.S Ali Imron: 134

ٱ

ي ل

وقف ي

ىف

ٱ

ا سل

ٰ

ء

وٱ

ا ل

ٰ

ء

وٱ

كْل

ٰ

ي ظ

ٱ

ظْيغْل

وٱ

يفاعْل

ع

ٱ

ا ل

وٱ

ّ

بحي

ٱ

ي سْح ْل

٣١

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,

Berdasarkan firman Allah di atas, bahwa infak tidak mengenal

nisab seperti zakat. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik

yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia disaat lapang atau

sempit. Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu maka infak boleh

(45)

36

8. Jihad

Jihad adalah bentuk mashdar. Berasal dari kata

jahada-yujahidu-jihad-mujahadah. Artinya secara bahasa menunjukkan pada sebuah usaha

mengerahkan kemampuan, potensi dan kekuatan, atau memikul sesuatu yang

berat. kata ini dalam ragam bentuk turunannya termaktub dalam al-Qur`an s‟banyak 34 kali.36

Sedangkan menurut istilah jihad adalah mengerahkan

segala kemampuan dan kekuatan untuk berperang di jalan Allah dengan

mempertaruhkan nyawa, atau dengan memberikan bentuan harta atau materi,

atau sekedar pendapat, atau dengan ucapan, atau dengan memberikan bekal

berperang dan yang lainnya.37

Adapun menurut Ibnu Taimiyah, perintah Jihad bisa dilakukan

dengan hati: seperti berkeinginan untuk berjihad, berdakwah, dan

mengajarkan syariat-syariatnya; berhujjah dengan cara mendatangkan hujjah

di hadapan orang-orang yang membutuhkannya; memberikan penjelasan

tentang kebenaran, dan menghilangkan syubhat, serta memberikan pendapat

dan sumbangsih pemikiran yang bisa memberikan manfaat bagi kaum

Muslimin; serta jihad badan dengan cara berperang.

Tingkatan jihad madani (membangun masyarakat sipil) berikut

pembagiannya:38 a. Jihad bidang ilmu

36Yusuf al-Qardhawi, Ringkasan Fikih Jihad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), 29 37Ibid.., 39

(46)

37

Al-Qur`an mengisyaratkan bahwasanya berusaha dalam mencari

ilmu agama dikategorikan sebagai bentuk jihad. Karena itu al-Qur`an

menyebutkannya surat at-Taubah ayat 22 tersebut. Penggunaan kata

nafara (pergi) yang bisa dipakai dalam jihad menunjukkan bahwa pergi

mencari ilmu dan memperdalam ilmu agama termasuk salah satu bentuk

jihad. Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyebutkan: “Barangsiapa yang pergi dalam rangka menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali”.

b. Jihad bidang sosial

Jihad bidang sosial adalah memberikan perlindungan kepada

keluarga yang terdiri dari orang tua, anak dan saudara. At-Thabarani dan lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Seorang laki-laki

datang kepada Nabi lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku ingin sekali berjihad namun aku tidak mampu.” Rasulullah bertanya: “Apakah orang

tua mu masih hidup?” laki-laki itu menjawab, “ibu saya masih hidup.” Rasulullah bersabda: “Berbaktilah kepadanya. Apabila kamu

melakukannya, maka kamu layaknya orang yang melakukan ibadah haji,

umrah dan jihad”.

Dengan pengarahan Nabi ini, beliau mengajarkan kepada

kepada para sahabat beliau agar supaya membuka mata terhadap berbagai

macam medan dan bidang garapan. Pada medan tersebut mereka dapat

berjihad tanpa pedang, panah, dan persenjataan perang lainnya.

(47)

38

Sesungguhnya yang difokuskan oleh Rasulullah adalah niat dan

tujuan di balik jerih payah tersebut. Selama orang yang berusaha tersebut

bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang dianjurkan untuk

masyarakat atau keluarga dan bahkan diri sendiri, maka ia berada di jalan

Allah, yakni berada pada jihad yang diterima dan dipuji. Namun jika

tujuannya itu adalah kesombongan dan menumpuk harta, maka ia telah

keluar dari lingkup jihad di jalan Allah, yakni melintasi jalan lain yaitu

jalan setan.

d. Jihad bidang pendidikan (tarbawi)

Yaitu jihad yang dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah

yang mengajarkan kepada mereka sesuatu yang bisa menjaga identitas

dan melestarikan hubungan mereka serta menanamkan pada hati dan

pikiran mereka rasa cinta terhadap agama, umat dan negara sehingga

mereka tidak bertindak secara berlebihan pada semua hal tersebut.

Disamping itu juga memberikan kesempatan kepada mereka yang cerdas

agar dapat menaiki tingkat belajar yang tinggi. Jihad tarbawi ini sangat

penting untuk mencetak kader umat yang mampu memikul risalahnya

yang begitu istimewa untuk dirinya dan juga alam semesta. Sesuatu yang

mengakibatkan hal wajib menjadi tidak sempurna, maka hukumannya

adalah wajib.

(48)

39

Yaitu jihad yang dilakukan dengan membangun rumah sakit dan

pusat-pusat kesehatan yang memberikan pengobatan kepada semua orang

yang sakit dan bekerja untuk menaikkan tingkat kesehatan di masyarakat

serta menyebarkan kesadaran terhadap kesehatan dan upaya pencegahan

terhadap penyakit. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh orang bijak, “setitik pencegahan lebih baik dari segudang pengobatan.” Seperti yang dikatakan mereka pula, “akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.”

f. Jihad bidang lingkungan

Yaitu jihad yang dilakukan dengan menjaga dan melindungi

keselamatan lingkungan dari semua bentuk pencemaran atau bahaya yang

menimpanya. Karena menjaga dan melindungi lingkungan dari bahaya

(49)

BAB III

MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

PERSPEKTIF IBNU KATSIR DAN AHMAD MUSTHAFA AL

MARAGHI TELAAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 195

A. Ibnu Katsir

1. Biografi Ibnu Katsir

Nama lengkap Ibnu Katsir adalah Ismail bin „Amr al-Quraisyi bin

Katsir al-Basri ad-Imasyqi „Imadudin Abu Fida al-Hafidz al-Muhaddis asy-Syafi‟i.1 Beliau dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 700 H / 1300 M. atau lebih sedikit. Ada yang mejelaskan bahwa di penghujung usianya Ibnu Katsir

mengalami kebutaan dan ia wafat pada bulan Sya‟ban tahun 774 H / 1373 M. beliau di kebumikan di kuburan as-Suffiyyah di dekat makam gurunya (Ibnu

Taimiyah).

2. Rihlah Akademik

Dalam usia 7 tahun ayahnya meninggal, kemudian beliau

mengikuti kakaknya pergi ke Damaskus. Di sanalah ia mulai belajar. Gurunya

yang paling utama adalah Burhan al-Din al-Farizi seorang pemuka madzhab Syaf‟i. Disamping itu juga beliau belajar kepada ulama sesamanya.

Diantaranya Baha‟ al-Din al-Qasimy bin Asakir (w.727 H), Ishaq bin Yahya

1

(50)

41

al-Amidy (w. 728 H), Taqy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dari

beberapa gurunya ini Ibnu Katsir sangat terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah

yang menganut madzhab Hanbali dengan pemikiran Radikalisnya.2

3. Sosio Kultural

Damaskus atau dalam bahasa Arab disebut (Dimasyq/( قشمد adalah

kota peradaban umat Islam yang menyimpan sejarah kegemilangan. Letaknya

berada di sebelah barat daya Suriah. Damaskus termasuk kota tua yang

tercatat dalam sejarah dengan kekuasaan yang silih berganti, yaitu antara

bangsa Mongol, Romawi, dan Arab. Kota ini bagai magnet yang menarik

pesona siapa saja ingin yang bermukim di dalamnya. Ada yang mengatakan, sebutan Damaskus berasal dari seorang bernama Dimasyq bin Kan‟an.

Sejarawan mencatat bahwa kota yang kaya akan peninggalan sejarah ini

dibangun pada 3000 tahun sebelum Masehi.3 Ulama Tafsir seperti Imam Ibnu Katsir mengartikan “tanah yang tinggi” yang disebutkan oleh Al-Qur`an

sebagai kota Damaskus.Untuk menggambarkan secara detail kota peradaban

Islam itu, Ibnu Asakir bahkan menulis buku berjudul “Tarikh Dimasyq” (Sejarah Damaskus), yang menggambarkan tentang kota ini dan

wilayah-wilayah sekitarnya, serta para ulama yang hidup di wilayah-wilayah tersebut. Buku ini

menjadi rujukan bagi para sejarawan dan mereka yang ingin mengetahui

seluk beluk tentang Damaskus. Pada masa kejayaannya, buku-buku bagaikan

lautan ilmu yang membentang di perpustakaan-perpustakaan megah di kota

2

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ter. Bahrun Abu Bakar LC., juz 1, cet. II (Bandung: Sinar Baru ALgesindo, 2002), vii.

3

(51)

42

ini. Sekolah-sekolah diniyah bertebaran di seantero kota. Tak heran jika pada

masa lalu, Damaskus menjadi salah satu kiblat ilmu dan peradaban yang

banyak melahirkan para ulama, dan menjadi tempat bagi mereka yang ingin

bermukim dan menuntut ilmu. Ketika umat Islam di Andalusia mengalami

pengusiran besar-besaran, pembunuhan dan lain sebagainya pada abad ke-12

Masehi oleh kaum Nasrani, mereka berbondong-bondong datang ke

Damaskus. Begitupun pada masa ketika kaum Muslimin di Irak mengalami

penindasan yang dilakukan oleh pasukan Tartar dari bangsa Mongol, mereka

datang berlindung ke kota Damaskus. Bahkan pada abad ke-16, Damaskus

tak hanya menjadi tempat berlindung bagi umat Islam dari Andalusia, bahkan

juga menjadi tempat mencari suaka orang-orang Yahudi yang berdiaspora

dari Andalusia.

Popularitas Ibnu Katsir dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian

untuk menetapkan hukum terhadap seorang zindik yang didakwah menganut

paham hulul (inkarnasi). Penelitian itu diprakarsai oleh Gubernur Suriah

Altunbuga an-Nasiri di akhir tahun 741 H/1341 M. Pada bulan Muharram

beliau diangkat sebagai khatib masjid kota Mizza yang didirikan oleh Amir

Baha‟ al-Din al-Marjani. Pada bulan Zulkaidah tahun 748 H / Febuari 1348

M, ia mengajarkan hadis menggantikan gurunya al-Zahabi yang meninggal.4 Ibnu Katsir dikabarkan pernah menjabat sebagai pemimpin Dar

al-Hadist al-Asyrafiyyah setelah Taqy al-Din al-Subki meninggal pada tahun

756 H. pada tahun 752 H/1351 M, setelah menggagalkan pemberontakan

4

(52)

43

Amir Bibughah Urus, beliau diterima oleh khalifah al-Mu‟tadid untuk mengajar di Madrasah Dammaghiyah di Damaskus. Ia juga ikut dalam satu

dewan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang Syi‟ah yang dituduh menghina khalifah Mu‟awiyah dan Yazid.5

Pada tahun 767 H/1365 M Ibnu Katsir membela mati-matian Qadhi

Qudhah Taj al-Din yang dituduh melakukan beberapa penyelewengan.

Sehingga Gubernur Mankali Bughah membentuk sebuah komisi yudisial

penyelidik. Sehingga Ibnu Katsir dianugrahi Imam dan Guru Besar Tafsi di

Masjid Negara pada bulan Syawal 768 H/1366 M.6

Ibnu Katsir dikenal sebagai ulama fiqih serta mufassir ahli hadis

yang di akui kepopuleranya dalam dinia Islam. Banyak karyanya hingga kini

mendapat perhatian dari kalangan umat Muslim dunia dalam mencari rujukan

hadis sahih.7 Disamping itu pula, Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan mempunyai wawasan ilmiyah yang cukup luas.8

4. Karya Ilmiah

Berkat kegigihan Ibnu Katsir, akhirnya beliau menjadi ahli Tafsir

ternama, ahli Hadith, sejarawan serta ahli fiqh besar pada abad ke-8 H. Kitab

beliau dalam bidang Tafsir yaitu Tafsi>r al-Qur`an al-‘Az}i>m menjadikitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin

Jarir at-Tahabari. Berikut ini adalah sebagian karya-karya Ibn Katsir:

a. Al-Bida>yah wa al-Niha>yah Fi> al-Tarikh, dalam bidang sejarah.

5

Ibid

6

Ibid

7

Ibid

8

(53)

44

b. Al-Kawakibu al-Durari, dalam bidang sejarah, cuplikan pilihan dari

al-Bida>yah wa al-Niha>yah.

c. Tafsir al-Quran; al-Ijtihad fi Talbi al-Jihad.

d. Jami>’ al-Masanid; al-Sunnah al-Hadi li Aqwani Sunan;

e. Al-Wadihu al-Nafis fi Manaqibi al-Imam Muhammad Ibnu Idris.9

f. Tafsi@r al-Qur`an al-‘Az}i@m

g. Al-Madkhal Ila> Kitab al-Sunnah

h. Ringkasan Ulu>m al-Hadith li> Ibn al-S}alah

i. Al-Ta’mil fi> Ma’rifat al-Thi>qat wa al-Dlu’afa> wa al-Maja>hil.10

j. Al-Kutub As-Sittah

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu Kemudian peneliti mengambil konseling kelompok sebagai alternatif untuk membantun memperbaiki sikap dan kebiasaan siswa pecandu blackberry,karena menurut

hal yang sama dilakukan oleh (Sharek, Swofford and Wogalter, 2008), mereka membuat simulai Pop-Up pesan error asli dan palsu kemudian melakukan evaluasi dari segi

Berdasarkan pengembangan media pembelajaran dengan menggunakan software macromedia flash 8 yang telah melalui proses validasi, respon guru biologi, ujicoba kelompok

Orang yang kita katakan 'penagih dadah' itu sebenarnya bukan penagih yang hak tetapi orang yang 'ketagih' iaitu orang yang telah kehantuan oleh ketagihannya yang

Sanggahan disampaikan secara tertulis dan ditujukan kepada Kepala Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Perpustakaan Nasional RI dengan alamat Jalan Salemba Raya No.. Jakarta, 26

Berdasarkan Penetapan Pemenang oleh Pokja Pengadaan Barang pada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Ogan Ilir Nomor : 027/09/XIII.DIKNAS/PS/I.ULP OI/2014

Cara pemupukan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan cara ditugal atau membuat pocket sebanyak 8 titik disekeliling tanaman kelapa sawit, cara ini diterapkan oleh

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem