• Tidak ada hasil yang ditemukan

Luluk Puji Riwayanti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Luluk Puji Riwayanti"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR JEPANG DI OKAYAMA INTERNATIONAL CENTER, PREFEKTUR OKAYAMA,

JEPANG

Luluk Puji Riwayanti

Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

Abstrak: Jepang merupakan salah satu negara yang banyak menyelengarakan pengajaran bahasa Indonesia (BI). BI diajarkan di universitas dan lembaga-lembaga kebudayaan, salah satunya di Okayama International Center (OIC). Adanya perbedaan antara bahasa Jepang dengan BI membuat Penutur Bahasa Jepang (PBJ) pada kelas menengah di OIC terkadang masih mengalami kesulitan dengan pembentukan kata dan pilihan kata yang digunakan. Proses pengimbuhan, pengulangan terkadang sudah dilakukan secara gramatikal namun tidak lazim/tidak ditemui dalam BI. Begitu pula pilihan kata yang digunakan masih belum memenuhi syarat kelaziman gramtikal. Penghilangan imbuhan, ketidaksesuaian bentuk, ketidaklaziman kolokasi sering dilakukan oleh PBJ. Agar kesuliatan yang dihadapi PBJ dapat berkurang, pembentukan kata dan pilihan kata BI harus diajarkan dengan porsi yang lebih dengan memanfaatkan segala fasilitas.

Kata-kata kunci : penutur bahasa Jepang, pilihan kata, pembentukan kata

PENDAHULUAN

BIPA (bahasa Indonesia bagi penutur asing) merupakan sebuah program yang secara khusus memfokuskan layananya pada pembelajaran dan atau pengkajian bahasa dan budaya Indonesia bagi orang asing, yang dilaksankan di dalam negeri dan luar negeri. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Tinggi tahun 2013, BIPA diajarkan di 45 negara yang tersebar di lima benua. Di Indonesia sendiri, BIPA telah diselenggarakan di 51 Perguruan Tinggi, baik di Jawa maupun di luar Jawa (Susanto, 2015). Sedangkan menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan, data terakhir menunjukkan bahwa setikdaknya di luar negeri terdapat 52 negara asing telah membuka program bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies), dengan 130 lembaga terdiri dari perguruan tinggi, pusat kebudayaan, KBRI, dan lembaga kursus (Muslich, 2010:IX).

(2)

menjadi Universitas Bahasa Asing Tokyo (Tokyo University of Foreign Studies) dan Universitas Takushoku (Takushoku University). Dari 730 perguruan tinggi di Jepang 75 perguruan tinggi telah mengajarkan BI, yang diakomodasikan sebagai jurusan atau program studi ataupun sebagai matakuliah pilihan. Enam universitas di antaranya mengajarkan BI sebagai matakuliah wajib, antara lain 1) Tokyo University of Foreign Studies, 2) Osaka University of Foreign Studies, 3) Kyoto Sangyo University, 4) Tenri University, 5)

Kanda University Of International Studies, 6) Kyoto Collage of Foreign Languages.

Selain di perguruan tinggi, BI juga diajarkan di Sekolah Menengah Atas, seperti Kanto International Senior High School, lembaga-lembaga kursus dan pusat kebudayaan, misalnya INJ Culture Center, Mainichi Culture Center, NHK Culture Center, B&B Languege Training School, Japan Asia Culture Center, Asia Bunka Kaikan, dan IC Nagoya (Rivai, 2016). Selain tempat tersebut, ada juga Okayama International Center (OIC) yang menyelenggarakan pengajaran BI. OIC berada di Prefektur Okayama, kota Okayama.

OIC beralamat di Blok Hokan no 2-2-1, Distrik Kita, Kota Okayama, Prefektur Okayama, Jepang. Pembelajaran BI di OIC Okayama dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas tingkat pemula dan kelas tingkat menengah. Dalam kelas tingkat pemula, biasanya terdiri dari 5 sampai 15 penutur bahasa Jepang (PBJ) yang belajar BI, sedangkan dalam kelas tingkat menengah jumlah PBJ yang belajar BI lebih sedikit,

sekitar 5 sampai 7 orang saja. Pengajar di kelas pemula adalah PBJ yang sudah mahir menggunakan BI dibantu oleh mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Okayama. Sedangkan pengajar di kelas tingkat menengah adalah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Okayama. Di kelas ini BI digunakan sebagai bahasa pengantar dan penggunaan bahasa Jepang juga dibatasi.

Berikut adalah komponen pembelajaran bahasa Jepang di OIC Okatama, Jepang.

Tabel Komponen Pembelajaran BIPA di OIC

KOMPONEN PEMBELAJARAN

BIPA TINGKAT MENENGAH

Kurikulum Tidak ada

Siswa/pebelajar warga Jepang, usia pebelajar bervariasi, antara 25-60 tahun ke atas, berjumlah sekitar 7 orang Guru/pebelajar Mahasiswa

Indonesia, jurusan

matematika, di univ. Okayama

Bahan ajar Buku teks

Dasar Bahasa Indonesia, karya Takadomo Yoshihiro, buku anak-anak, artikel internet Media belajar Radio bahasa

Indonesia, film bahasa

(3)

Metode dan teknik pembelajaran

Ceramah, menceritakan kembali

Evaluasi Tidak ada

Berdasarkan angket dan wawancara sederhana, kesulitan yang dihadapi oleh PBJ di OIC antara lain. 1) PBJ dapat membaca dan mengerti sebuah bacaan, namun masih kesulitan untuk menangkap makna bahasa percakapan, terlebih bahasa percakapan yang dipengaruhi bahasa daerah, 2) Dalam bahasa tulis PBJ kesulitan dengan banyaknya singkatan dan adanya kata yang memiliki banyak makna, 3) Kurangnya kesempatan bagi PBJ untuk bercakap-cakap dalam BI serta kesulitan memahami percakapan yang lebih kompleks, 4) Jumlah buku BIPA yang terbatas, selama ini di kelas tingkat pemula biasanya digunakan buku Yasashi Shoho no Indonesia go karangan Funada Kyoko, sedangkan di kelas tingkat menengah digunakan buku Dasar Bahasa Indonesia karangan Takadomo Yoshihiro dan buku penunjang yang lain seperti buku dongeng anak, 5) Kesulitan dengan pengimbuhan dalam BI. Kesulitan kian bertambah ketika PBJ tidak dapat membuka kamus BI yang di dalamnya adalah kata dasar. Seperti diketahui dalam BI imbuhan digunakan sangat produktif, sedangkan dalam bahasa Jepang tidak demikian. Selain itu, dalam bahasa Jepang tidak terdapat sisipan, yang ada hanya awalan dan akhiran saja (Sutedi, 2008:209).

Kesulitan-kesulitan PBJ dalam berbahasa Indonesia mempengaruhi penggunaan BI mereka. Misalnya, kesulitan penggunaan awalan dan

akhiran dalam pembentukan kata dalam BI akan mempengaruhi kelayakan/kelaziman pilihan kata BI mereka. Perhatikan kalimat yang dituturkan oleh PBJ di OIC berikut ini.

(ka13) Kami dilupa waktu oleh obrolan

Kalimat (ka13) terdiri dari lima kata,

yaitu kami, dilupa, waktu, oleh, dan

obrolan. Kelima kata tersebut terdiri atas tiga kata dasar, dan dua kata berimbuhan.

Kami (kata dasar)

Dilupa(kata berimbuhan)

Waktu(kata dasar)

Oleh(kata dasar)

Obrolan(kata berimuhan)

Kata kami, waktu, dan oleh

merupakan kata dasar karena belum mengalami perubahan bentuk, baik pengulangan, penggabungan, pengimbuhan, pemajemukan, dan pengakroniman. Dengan demikian struktur bentukan kata pada kalimat (ka13) adalah pengimbuhan.

Pengimbuhan (1) di + lupa = dilupa

Pengimbuhan (2) obrol + an = obrolan

Pada pengimbuhan (1) afiks di-melekat pada pokok kata kerja lupa dan mempunyai makna “tindakan

pasif lupa yang dilakukan dengan

sengaja”. Secara gramatikal proses

pengimbuhan sudah benar, namun yang dimaksud PBJ pada kalimat (ka13) adalah tidak sengaja melupakan

waktu karena mengobrol. Hal ini berlwanan dengan makna kata dilupa

itu sendiri. Dengan demikian kata

(4)

mempunyai makna “sesuatu yang

diobrolkan”.

Pada kalimat (ka13) juga

terdapat penggunaan pilihan kata yang tidak layak. Kata oleh

merupakan kata depan yang dipergunakan untuk menandai pelaku, pelaku biasanya merujuk pada orang, sedangkan dalam kalimat (ka13)

tersebut pelaku bukan orang melainkan kata benda, obrolan. Agar kalimat (ka13) memiliki pilihan kata

yang layak, kata oleh dapat diganti dengan kata karena. Sehingga kalimatnya menjadi seperti di bawah ini.

(ka13) Kami lupa waktu karena mengobrol.

Struktur bentukan kata dan kelayakan dalam pemilihan kata oleh PBJ perlu dikaji agar diketahui kesulitan dan kesalahan yang dialami PBJ saat mempelajari BI. Kesalahan berbahasa Indonesia, seperti penggunaan imbuhan dan pemilihan kata merupakan peristiwa alamiah, yang mencerminkan tahapan perkembangan proses pemerolehan BI mereka. Susanto (2007) menyatakan bahwa bentuk kesalahan BI yang dilkukan oleh pebelajar asing dalam belajar BI sebagai bahasa asing sangat penting untuk dicermati, diinventarisasi, dicatat, dan dianalisis. Hasil catatan dan analisis kesalahan tersebut ditindaklanjuti dalam proses pembelajaran BI mereka dan dapat didayagunakan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan BIPA, seperti peningkatan mutu bahan ajar BIPA.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Ricard dan Coder dalam Said (2010), keduanya menyatakan bahwa menganalisis secara sistematis kesalahan yang dibuat oleh pebelajar bahasa kedua

atau bahasa asing memungkinkan guru memperoleh informasi mengenai kesulitan dalam belajar bahasa, membantu guru menyiapkan materi, dan menentukan bidang mana yang memerlukan penekanan dalam pengajaran. Berdasarkan pendapat itulah maka penelitian tentang struktur bentukan kata dan pilihan kata yang digunakan oleh PBJ perlu dilakukan.

MANFAAT PENELITIAN

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memperkaya teori-teori tentang pembentukan kata BI dan teori pilihan kata. selain itu penelitian ini dapat dijadikan acuan dasar pengembangan pembelajan BIPA, pengembangan buku ajar BIPA, khususnya BIPA bagi penutur bahasa Jepang. Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber belajar bag PBJ yang sedang belajar BI ataupun bagi pengajar BIPA yang sedang mengajar PBJ. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai rujukan awal bagi peneliti lain yang akan meneliti lebih jauh tentang penggunaan BI oleh PBJ.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, mempunyai ciri antara lain menggunakan setting

alamiah, menggunakan data lunak (soft data), data tidak dianalisis dengan statistik, bersifat deskriptif, dan menganalisis data secara induktif. Data penelitian ini diambil dari

(5)

dilakukan dengan menggunakan statistik. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu mendeskripsikan bentukan kata dan kelaziman pilihan kata BI yang digunakan oleh PBJ di OIC Okayama, Jepang. Analisis data penelitian ini dilakukan secara induktif. Maka, penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena peneliti hanya bertindak sebagai pengamat untuk merekam tuturan yang dilakukan oleh PBJ selama pembelajaran BI.

Data dalam penelitian ini adalah data verbal data kebahasan, yaitu data berupa kalimat (bahasa lisan) yang dituturkan oleh PBJ pada saat kegiatan proses pembelajaran di kelas BI tingkat menengah. Jenis sumber data pada penelitian ini adalah sumber data subjek, yaitu informan. Sumber data penelitian ini adalah PBJ di kelas tingkat menengah, yang sedang belajar bahasa Indonesia di OIC. Adapun karakteristik informan adalah 1) sudah menguasai BI pada tingkat menengah, sehingga dapat diasumsikan mereka dapat menggunakan BI baik lisan dan tulis dengan benar, 2) warga asli jepang yang bertempat tinggal di Jepang, 3) berbahasa ibu bahasa Jepang, 4) dewasa, 5) memiliki kualitas budaya dan kejiwaan yang baik.

Sesuai dengan data utama penelitian ini yang berupa struktur bentukan kata dan kelaziman pilihan kata BI oleh PBJ, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, wawancara, dan angket. Observasi adalah teknik pengumpulan data melalui pengamatan. Teknik observasi digunakan pada saat peneliti

melakukan observasi kelas untuk melihat secara langsung proses belajar PBJ di IOC. Sekaligus mendapatkan data tuturan dengan bantuan recorder/alat perekam. Dengan demikian pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan (1) mengobservasi penggunaan BI yang digunakan PBJ, (2) merekam tuturan PBJ selama proses belajar di kelas, (3) mentranskripsikan rekaman. Proses ini merupakan proses pengubahan dari bahasa lisan yang direkam menjadi bahasa lisan yang bisa dibaca. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mensegmentasi data dan mengklasifikasi data.

Wawancara adalah

percakapan dengan maksud tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengaju/pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai (interviwee) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan itu (Basrowi dan Suwandi, 2002:127). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara pembicaraan informal/atau wawancara tak berstruktur. Wawancana tak berstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Untuk menjaring data yang diperlukan, beberapa pertanyaan diajukan secara spontan kepada PBJ dalam suasana biasa, wajar di luar kelas. Pedoman wawancara berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.

(6)

kesulitan belajar BI dan sebagainya. Angket yang diberikan kepada pebelajar Jepang merupakan angket terbuka, sehingga PBJ dapat memiliki ruang terbuka untuk menuliskan jawaban mereka sendiri. Angket dapat dilihat pada lampiran.

Analisis data dilakukan berdasarkan model Alir yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Huberman (2009:16-20) proses analisis data penelitian dilakukan melalui tiga tahap yang terjadi secara bersamaan, yaitu tahap reduksi data, penyajian data, serta penarikan simpulan.

PEMBENTUKAN KATA

Pembentukan kata dalam BI meliputi, pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan menambahkan imbuhan pada bentuk dasar. Ciri-ciri kata berimbuhan adalah (1) merupakan polimorfemis, yaitu terdiri dari dua atau lebih morfem dan salah satu morfemnya adalah morfem imbuhan, (2) memiliki makna gramatikal, makna gramatikal adalah makna kata yang timbul akibat proses gramatikal, (3) mengalami perubahan kelas kata dari bentuk dasarnya. Berbeda dengan bahasa Jepang, kata berimbuhan dalam BI digunakan lebih produktif. Hal ini menjadi salah satu penyebab kesulitan PBJ dalam menggunakan imbuhan. Berikut beberapa contoh kesalahan penggunaan imbuhan oleh PBJ.

(1) Kamidilupawaktu oleh orbrolan (2) Haraunowa ryoukin membayar

uangnamanya itu ryoukin, janaino. (3) Kami ga bisadipasang.

Dalam bahasa Jepang dikenal penggunaan imbuhan, baik awalan maupun akhiran, namun tidak dikenal adanya sisipan. Pada kalimat (1), (2), (3) di atas pembentukan kata berimbuhan secara gramatikal sudah benar namun digunakan secara tidak lazim dalam suatu kalimat.

PBJ dalam berbahasa Jepang jarang menggunakan kalimat pasif, dan lebih sering menggunakan kalimat aktif. Dari kalimat (1), (2), (3) di atas terdapat dua kalimat pasif yang penggunaannya tidak tepat. Selain itu dari hasil analisis data diperoleh hasil penelitian bahwa imbuhan meN- paling banyak digunakan oleh PBJ. Selain imbuhan

meN- ada juga imbuhan ter-, ber-, meN-kan, meN-I, se-, di-, di-kan, -an, -wan, pe-, per-an, peN-an,danke-an.

PBJ juga sudah mengenal adanya penggunaan imbuhan yang biasanya digunakan dalam situasi nonformal. Misalnya.

(4) Ya, kenapaketawa?

(5) Ya lalu bawa pulang ke rumah dulu dan masukin cucian ke mesin cuci dan baru berangkat ke sini.

Kata berimbuhan pada kalimat (4) dan (5) di atas tidak akan menjadi masalah bila digunakan dalam situasi nonformal. Karena pembelajaran seharusnya memakai ragam baku BI, maka penggunaan kata berimbuhan (4) dan (5) sebaiknya tidak digunakan dan pengajar mengingatkan siswanya. Pengulangan adalah proses pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, baik secara utuh maupun sebagian. Ciri kata ulang adalah sebagai berikut. (1) Mempunyai bentuk dasar dan bentuk dasar itu ada dalam kenyataan BI.

(7)

Pada kalimat tersebut kata kuda-kuda

bukanlah kata ulang karena tidak memiliki bentuk dasar kuda. (2) Ada hubungan semantis atau hubungan makna antara kata ulang dengan bentuk dasarnya. Kataalun-aluntidak termasuk kata ulang, karena meskipun ada alun dan alun itu ada dalam kenyataan berahasa, tetapi alun

bukanlah bentuk dasar untuk alun-alun karena tidak ada hubungan semantis antara alun dengan alun-alun. (3) Kelas kata ulang sama dengan kelas kata bentuk dasarnya. Jika kata ulang itu berkelas kata nomima, maka bentuk dasar kata ulang itu juga berkelas kata nomina. Misalnya, kata ulang merah-merah (berkelas kata adjektif) dengan bentuk dasar merah (berkelas kata adjektif). Ketiga ciri kata ulang di atas juga dapat digunakan sebagai prinsip dalam menentukan bentuk dasar dari kata ulang (Yulianto, 2008:70).

Dalam bahasa Jepang juga ditemui kata ulang, namun biasanya hanya menyatakan jumlah atau sesuatu yang jamak. Misalnya kata

hito yang berarti orang, akan berubah menjadihitobitodalam bahasa Jepang untuk menyatakan jumlah orang yang banyak.

Adanya overgeneralisasi PBJ yang menganggap bahwa kata ulang adalah kata yang diulang, membuat mereka membentuk kata ulang secara kreatif yang tidak ada dalam BI sehari-hari. Misalnya,

(6) Kebiasaannya berulangi-berulangilagi cerita yang sama. Kata berulangi-berulangi bukanlah kata ulang, karena bentuk dasar berulangi tidak ada dalam BI. PBJ mungkin bermaksud menggunakan

kata ulang ‘berulang-ulang’.

Pemajemukan adalah proses pembentukan kata dengan cara mengabungkan dua bentuk dasar atau lebih menjadi satu kata baru. Dalam bahasa Jepang juga dikenal istilah kata majemuk, yang disebut

fukugougo 複 合 語. Beberapa kata majemuk yang digunakan PBJ antara lain.

(7) Tapi sekarang, tidak dipakai

payung kelelawar, hanya payung saja.

(8) ... dan saya tidak begitu sukaolah raga,capek.

(9) Jembatan layang tapi khusus untuk orang yang berjalan.

Yulianto (2008:73-75), Soedjito&Saryono (2014, 160-166) membagi kata ulang berdasarkan bentuknya menjadi empat, yaitu: (1) Kata ulang utuh/kata ulang

seluruh, yaitu kata ulang yang dibentuk dengan mengulang bentuk dasar secara utuh. Contoh: jalan (bentuk dasar) jalan-jalan

petani (bentuk dasar)  petani-petani

(2) Kata ulang sebagian, yaitu kata ulang yang dibentuk dengan mengulang bentuk dasar secara sebagian. Contoh:

• membaca (bentuk dasar)

membaca-baca

• menolong (bentuk dasar)

tolong-menolong

• luhur (bentuk dasar)  leluhur

• jaka (bentuk dasar)jejaka

contoh kata ulang leluhur dan

(8)

Menurut Rani (2015), kata ulang

jejaka digunakan dengan pertimbangan keindahan, karena memiliki bentuk dasar jaka dan bentuk pengulanganjaka-jaka.

(3) Kata ulang salin suara/kata ulang dengan perubahan bunyi, yaitu kata ulang dari bentuk dasar yang di seluruh bagiannya, namun disertai perubaha bunyi yang mungkin pada konsonan atau vokalnya. Contoh:

•coret (bentuk dasar)  corat-coret

•gerak (bentuk dasar) gerak-gerik

•warna (bentuk dasar) 

warna-warni

•sayur (bentu

dasar)+mayur(unsur ulang) sayur-mayur

•compang-camping

Kata ulang yang digunakan oleh PBJ meliputi kata ulang utuh, kata ulang sebagian dan kata ulang sebagian

Kata majemuk pada kalimat (7) merupakan kata majemuk yang dibuat oleh PBJ dengan menterjemahkan kata koumori kasa

yang berarti payung kelelawar. Dahulu dalam bahasa Jepang payung dibedakan menjadi dua, payung yang terbuat dari kertas dan payung yang terbuat dari kain dengan kerangka besi. Payung kain itulah yang disebut payung kelelawar. Selebihnya kata majemuk pada kalimat (8) dan (9) merupakan kata majemuk bahasa Indonesia yang sudah digunakan dengan baik oleh PBJ. Menurut Yulianto (2008:80), berdasarkan hubungan unsur pembentuknya, kata majemuk dibedakan menjadi dua, yaitu (1) kata majemuk setara, ialah kata majemuk yang kedudukan

unsur-unsur pembentuknya sederajat. Misalnya, kata majemuk ibu bapak

memiliki kategori kata pembentuk sama, yaitu kata benda. Kata majemuk setara dibagi lagi menjadi menjadi (a) kata majemuk setara sederajat misalnya kata suami istri, sawah ladang(b)kata majemuk setara searti, misalnya kata hancur lebur, cantik molek, sunyi senyap, (c) kata majemuk setara berlawanan, misalnya

suka duka, pulang pergi, tua muda. (2) Kata majemuk bertingkat, adalah kata majemuk yang kedudukan unsur pembentuknya tidak sederajat karena salah satu unsurnya lebih dominan. Kata majemuk bertingkat ini dibagi lagi menjadi (a) kata majemuk bertingkat berstruktur DM (orang tua, mata air, hari raya) dan (b) kata majemuk bertingkat berstruktur MD (perdana menteri, bumiputera, purba kala).

Dari hasil analisis PBJ menggunakan kata majemuk serata sederajat (olah raga), searti (pintu gerbang), berlwanan (terima kasih), dan kata majemuk bertingkat denan struktur DM (mesin cuci, makan siang, makan malam, hari libur, jembatan layang, kulkas listrik, kolam renang, payung kelelawar, dan air putih).

PIILIHAN KATA

(9)

pendengar. Semakin luas kosakata seseorang, semakin baik pilihan kata yang digunakan.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar tercipta pilihan kata yang baik. Keraf (2010:88) menyebutkan bahwa ketepatan dan kesesuaian merupakan syarat pilihan kata. Menambahkan pendapat di atas, Yulianto (2008:88) dan Setiyanto, dkk (2008:13) menyatakan syarat pilihan kata adalah syarat ketepata, kebenaran, dan kelaziman. Sedangkan menurut Saryono&Soedjito (2006:125) syarat pemilihan kata meliputi, asas kecermatan, asas ketepatan, dan asas kesesuaian. Setelah teori di atas dibaca dengan teliti, beberapa persyaratan memiliki kesamaan isi namun penyebutannya berbeda. Seperti syarat kebenaran yang disampaikan Yulianto (2008) dan Setiyanto (2008) memiliki isi syarat yang sama dengan syarat kecermatan yang disampaikan Saryono&Soedjito (2006), kemudian syarat kelaziman yang disampaikan Setiyanto (2008) memiliki isi yang sama dengan syarat kelayakan yang disampaikan oleh Moeliono (2001:35). Selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan istilah kebenaran dan kelaziman. Jadi, dari pendapat di atas disimpulkan bahwa syarat pilihan kata yang baik meliputi, ketepatan, kebenaran, kesesuaian, dan kelaziman.

Pemilihan kata secara tepat adalah memilih kata dari sekelompok kata yang memperlihatkan kemiripan, baik karena sifat kohiponim maupun sinonimi (Setiyanto, 2008:13). Misalnya, pebelajar dapat secara tepat memilih kata melihat, memandang, menatap, melirik, meonton, melotot.

Sedangkan, ketepatan pilihan kata

adalah kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara (keraf, 2010:87).

Yulianto (2008:88)

menyatakan syarat kebenaran dalam pilihan kata mengacu kepada penggunaan kata yang sesuai dengan kaidah kebahasaan berupa kaidah pembentukan kata (morfologi). Kemudian, Saryono&Soedjito (2006:125) menambahkan bahwa kaidah sintaksis juga termasuk syarat kebenaran pilihan kata. Misalnya, pemilihan kata merubah yang salah karena tidak sesuai dengan kaidah morfologi. Berdasarkan kaidah morfologi harusnya adalah

mengubah, karena morfem ubah

mendapat imbuhan meng-, bukan

mer-.

Syarat kesesuaian pilihan kata mengacu pada kaidah pragmatik (Saryono&Soedjito, 2006:157). Pemilihan kata harus memperhatikan faktor-faktor pragmatic, seperti (1) pemeran serta, (2) situasi resmi/tidak resmi, (3) sarana/media, (4) tempat, (5) topik pembicaraan, (6) peristiwa berbahasa, (7) tujuan, (8) jalur bahasa (lisan/tulis).

(10)

dibiasakan, diterima oleh umum, dan bukan bentuk yang dibuat-buat digunakan demi kecepatan dan ketepatan makna.

Prinsip kelaziman harus mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain, faktor geografis, temporal, laras, dan strata sosial (Setiyanto, 2008:14). Tidak hanya itu kelaziman pilihan kata juga harus memperhatikan kelayakan gramatikal (Moeliono, 2001:34). Berikut adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan oleh setiap orang agar dapat mencapai kelaziman pilihan katanya.

(1) Kelayakan gramatikal

Kata yang layak secara gramatikal adalah kata yang dibentuk dan digunakan seturut kaidah tata bahasa. Perlu diketahui tuntutan gramatikal pada bahasa tulis berbeda dengan tuntutan pada bahasa lisan. Apa yang layak atau pantas dalam bahasa lisan tidak selalu layak dalam bahasa tulis. Bahasa tulis mensyaratkan kelengkapan bentuk, kesejajaran, keteraturan, arutan kata.

Layak tidaknya suatu pilihan kata dapat dilihat dari.

a) Verba yang tak berimbuhan Penghilangan imbuhan pada kata kerja dapat menimbulkan ketaklayakan, terlebih pada bahasa tulis. Misalnya, penghilangan awalan

ber-pada kata kerja yang terdapat pada kalimat berikut.

(1.1) Beda dengan Negara-negara maju, Negara

berkembang pada

umumnya belum mampu untuk menciptakan teknologi baru.

Kata kerja beda pada kalimat (1.1) tidak layak digunakan karena seharusnya kata kerja itu erawalan ber-, sehingga kalimat yang benar adalah. (1.2) Berbeda dengan

Negara-negara maju, Negara

berkembang pada

umumnya belum mampu untuk menciptakan teknologi baru.

b) Ketidakserasian bentuk

Keserasian bentuk

berhubungan dengan

kesejajaran unsur pembentuk kalimat, seperti sebujek dan predikat. Misalnya,

(2.1) Lembah itu amat dalam, luas, dan dengan keindahan luar biasa.

Kalimat (2.1) terdiri atas subjek dan predikat. Kalimat (2.1) mempunyai predikat dengan beberapa kata yang tidak sejajar atau tidak sekelas, yaitu dalam

(adjektiva), luas (adjektiva), keindahan (nomina). Pemakaian bentuk yang tidak sejajar seperti itu dapat mengaburkan arti dan tidak mengefektifkan kalimat. Sehingga kalimat yang benar adalah.

(2.2) Lembah itu amat dalam, luasdanindahluar biasa. c) Urutan kata

(11)

Harmoni Mall, Kartika Hotel,

Lippo Mall, lain kesempatan,

yang seharusnya ditulis menjadi Mall Harmoni, Hotel Kartika, Grup Lippo, kesempatan lain.

(2) Faktor geografis

Perkembangan BI dipengaruhi bahasa daerah penuturnya. Karena dalam suatu komunikaso melibatkan berbagai latar

beakang bahasa, maka

penggunaan kata yang lebih luas penggunaanya sangat dianjurkan. Misalnya, penggunaan kata

sungai, kali, cai, atau wai.

Karena kata sungai memiliki pengguna yang lebih luas, maka sebaiknya menggunakan kata

sungai. Contoh yang lain misalnya penggunaan kata perlu

dan butuh. Dalam bahasa Banjar kata butuh memiliki makna kemaluan laki-laki, maka sebaiknya digunakan kata perlu

saja.

(3) Faktor temporal

Ada beberapa kata yang sering digunakan pada waktu tertentu, pada tahun 60-an kata antek dan

ganyang sering digunakan, namun akhir-akhir ini sudah jarang digunakan. Menurut Moeliono (2001:41) ada tiga hal yang patut diperhatikan berkenaan dengan pemakaian kata yang layak temporal, yaitu. a) Kata kuna, adalah kata yang

tidak dipakai lagi karena acuannya sudah tidak dapat ditemukan lagi. Contohnya,

lemena ‘baju besi’, lacing ‘perahu’, kalar ‘leher baju’, lenggama ‘enggan’, canang ‘gong kecil yang biasa dibunyikan petugas kerajaan

yang akan mengumumkan titah raja’.

b) Kata usang, kata yang tidak dipakai lagi karena acuannya dianggap sudah tidak pantas lagi dinamai dengan kata lain. Misalnya, orang yang membantu pekerjaan rumah tangga dulu disebut babu, pramuwisma, pembantu rumah tangga, sekarang lebih lazim disebut asisten rumah tangga.

c) Kata anakronistis, adalah kata yang digunakan tidak sesuai dengan zamannya. Misalnya, kata televisi, handphone

digunakan dalam cerita tokoh yang hidup beberapa abad yang silam.

(3.1) Gajah Mada mendapati beberapa prajurit Majapahit

yang sedang sibuk

menggunakanhandphone.

(4) Laras

Laras bahasa adalah kesesuaian di antara bahasa dan pemakaiannya. Di dalam aktivitas berbahasa, penggunaan istilah-istilah tertentu yang bersifat teknis haruslah sesuai dengan tempatnya atau dengan kata lain istilah tertentu harus dihindari penggunaannya di dalam bahasa percakapan. Misalnya, saat berbincang-bincang dengan anak tidak mungkin digunakan istilah

frakturdandiabetes mellitus.

(5) Strata sosial

(12)

kekayan, kekuasaan atau profesi. Misalnya, kata hamil dan

bunting. Seseorang dengan strata sosial tinggi akan lebih memilih katahamildari padabunting.

Pilihan kata yang digunakan oleh PBJ masih belum memenuhi syarat lazim. Antaralain karena

penghilangan imbuhan,

ketidaksesuaian bentuk, ketidak tepatan pilihan kata, dan kolokasi yang salah. Berikut adalah kalimat PBJ yang tidak memenuhi syarat lazim.

(10) Tapi bajunya basah banget, lalu kalau bawa ke sini, nanti saya takut menjadi bau.

(11) Saya menikmati berpariwisata, makanan, danobrolan.

(12) Temannya bekas karyawan JR, perusahaan kereta.

(13) Itsuka saya akan membawa di

sini wortem jam sandoicchi.

Pada kalimat (10) terdapat penghilangan imbuhan pada kata

bawa, yang seharusnya adalah

dibawa. Pada kalimat (11) terdapat ketidaksesuaian bentuk objek, kata

berpariwisata adalah kata kerja sedangkan kata makanandan obrolan

adalah kata benda. Agar kalimat (11) memiliki kelayakan gramatikal maka kata berpariwisata harus diubah menjadi pariwisata. Pada kalimat (12) terdapat ketidaktepatan pilihan kata. Kata bekas bersinonim dengan kata mantan namun penggunaannya berbeda. Kata bekas adalah tanda yang tertinggal atau tersisa, kesan, atau sesuatu yang tertinggal sebagai sisa. Yang tepat digunakan pada kalimat (12) adalah kata mantan, karena mantan artinya bekas pemangku jabatan tertentu. Pada kalimat (13) penggunaan preposisi

di-tidak tepat karena, biasanya preposisi

di- menerangkan verba beraspek

‘diam/berhenti’. Sedangkan, verba membawa adalah verba beraspek

‘gerak/bergerak’. Preposisi yang

menjelaskan verba beraspek

‘gerak/bergerak’ adalah ke. Sehingga kata depan di harus diganti dengan kata depanke.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis data tentang struktur bentukan kata dan kelaziman pilihan kata yang digunakan oleh PBJ di OIC prefektur Okayama, Jepang, diperoleh hasil sebagai berikut. (1) Bentukan kata yang dihasilkan oleh PBJ bervariasi. Proses pembentukan kata meliputi pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Pengimbuhan paling banyak dilakukan oleh PBJ dari pada pengulangan maupun pemajemukan. Kata berimbuhan yang digunakan PBJ meliputi imbuhan meN, imbuhan

di-, imbuhan ber-, imbuhan ter-, imbuhan meN-kan, imbuhan –an, imbuhan ke-an, imbuhan meN-I,

imbuhan se-, imbuhan di-kan,

imbuhan per-an, imbuhan –wan,

imbuhan pe-, dan imbuhan peN-an.

(13)

Kata ulang yang digunakan PBJ, meliputi kata ulang utuh kata ulang sebagian, dan kata ulang berimbuhan. Pengulangan merupakan pembentukan kata dengan mengulang seluruh ataupun sebagian bentuk dasar. Adanya overgeneralisasi bahwa kata ulang adalah bentuk dasar yang diulang, membuat PBJ membuat kata ulang sendiri yang tidak lazim dalam BI.

Kata majemuk yang

digunakan oleh PBJ, meliputi kalimat majemuk setara sederajat, kata majemuk setara searti, dan kata majemuk setara belawanan. Kata majemuk bertingkat yang digunakan PBJ keseluruhannya adalah kata majemuk bertingkat dengan struktur DM. Pembentukan kata melalui pemajemukan oleh PBJ juga dilakukan dengan penerjemahan kata dari bahasa Jepang. (2) Pilihan kata yang digunakan PBJ belum sepenuhnya memenuhi syarat kelaziman. Penghilangan imbuhan,

ketidaksesuaian bentuk,

ketidaktepatan dan ketidakbenaran pemilihan kata (secara gramatikal) membuat pilihan kata yang digunakan PBJ menjadi tidak lazim.

SARAN

Saran yang dapat dikemukan sehubungan dengan penelitian ini, yaitu. (1) Penelitian ini merupakan penelitian awal yang membahas pembentukan kata dan pilihan kata oleh penutur bahasa Jepang. Untuk lebih memahami penggunaan bahasa Indonesia bagi penutur asing, khususnya penutur bahasa Jepang perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan tema yang berbeda, misalnya pelafalan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Jepang. (2)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sering ditemukan penutur bahasa Jepang menggunakan bahasa pertama (Jepang) untuk memperjelas maksudnya. Sehingga untuk penelitian selanjutnya, penelitian mengenai campur kode penutur bahasa Jepang dalam berbahasa Indonesia dapat dijadikan salah satu tema dalam penelitian selanjutnya. (3) Bagi pengajar BIPA dengan mengetahui kesalahan pembentukan kata dan pilihan kata oleh PBJ, pengajar hendaknya lebih memperhatikan pembentukan kata dan pilihan kata yang digunakan oleh penutur asing.

DAFTAR RUJUKAN

Basrowi dan Suwandi. 2002.

Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Funada, Kyoko. 2015. “Upaya

Memperkokoh Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional: Tinjauan dari perspektif Pendidikan

Bahasa Indonesia di Jepang”. Prosiding Seminar Internasional Memperkokoh Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional Melalui Diplomasi Bahasa, Sastra, dan Budaya pada 28-29 September 2015 di Malang, Universitas Islam Malang. Miles, Matthew B dan Huberman A.

Michael. 1992.Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

(14)

Muslich, Masnur. 2010. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Rani, Abdul. 2015. “Melongok

Kembali Reduplikasi Pada

Bahasa Indonesia”. Prosiding Seminar Internasional Memperkokoh Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional Melalui Diplomasi Bahasa, Sastra, dan Budaya pada 28-29 September 2015 di Malang, Universitas Islam Malang. Rivai, Ovi Soviaty, dkk. 2010.

Pemetaan Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Asia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Said, Mashadi. 2010. Ketidaklaziman Kolokasi Pembelajaran BIPA dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa. Jurnal Cakrawala Pendidikan Juni 2010, Thn XXIX. No. 2

Saryono, Djoko dan Soedjito. 2006.

Terampil Menggunakan Kosakata Bahasa Indonesia.

Sidoarjo: Al Fath Putra. Setiyanto, edi dkk. 2008. Pedoman

Penyuluhan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Soedjito dan Saryono, Djoko. 2014.

Morfologi Bahasa Indonesia. Malang: Aditya Media Publishing.

Susanto, Gatut. 2007. Pengembangan

Bahan Ajar BIPA

Berdasarkan Kesalahan Bahasa Indonesia Pebelajar Bahasa Asing. Jurnal

Bahasa, sastra, dan pengajarannya, tahun 35, Nomor 2 Agustus 2007.

Susanto, Gatut. 2015. “Pembelajaran

BIPA dalam Prespektif

Politik Membangun

Indonesia.” Prosiding

Seminar Internasional Memperkokoh Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional Melalui Diplomasi Bahasa, Sastra, dan Budaya pada 28-29 September 2015 di Malang, Universitas Islam Malang. Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar

Gambar

Tabel Komponen

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Operasi hitung pada volume kubus dan balok yaitu dengan mengalikan, maka ketika dibalikan pun antara panjang (p). Selain itu, terdapat soal yang akan menguji kemampuan

Variabel SHARIAH SHARE merupakan sebuah variabel yang bergerak di dekat garis x , hal ini menunjukkan bahwa goncangan dari tingkat bunga PUAB mempunyai pengaruh yang relatif

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

Dalam menggali kebutuhan akan pengetahuan, literasi, keterampilan kewirausahaan bagi nelayan maka di himpun data lewat angket survey, FGD dan wawancara mendalam dengan

Kepala Bidang Pembudayaan Olahraga, Kasi Pembinaan Sentra, PPLP dan PPLM PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017. DINAS PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN

bahwa dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler

Sebagai perbandingan bangunan fasilitas cottage, ada beberapa kawasan wisata dengan fasilitas akomodasinya yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sehingga fasilitas wisata

Seperti halnya dalam larangan perkawinan adat geyeng yang terjadi pada masyarakat Ngadi adalah kategori larangan yang muncul akibat adanya budaya masyarakat