• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum

DRS. H. ISMAIL THAIB

Dari sini jadilah al-'irfaniyah dipandang bahwa dia ditegakkan di atas pluralitas bukan kesatuan, di mana di sana tidak ada satu madzhab 'irfani, tetapi berbilang/sejumlah madzhab. Dalam kenyataannya, pnomena plural dan perbedaan dalam lapangan gnosis adalah gejala lama. Para tokoh gereja yang memerangi orang-orang telah gnostic telah tersadarkan oleh para pengikut “Valentin”, tokoh dari Iskandariah, meninggal tahun 161 M. Berkenaan dengan mereka itu, Uskup Irenee, Uskup Lota Lion awal tahun 177 AD (M), telah mengatakan: “Mustahil untuk menjumpai dua atau tiga orang dari mereka yang mengatakan sesuatu yang sama sekitar topik yang sama. Mereka saling membatalkan dengan bentuk yang mutlak, baik dalam tingakatn kata-kata ataupun tingkata-katan perkara-perkara”. Lihat: Serge Hutin, Les gnosuques, Collection que-je (Paris: Presses Universitaires, [s.a.] P.5). Demikianlah, dengan mengecualikan Mandaiyah dan Manawiyah yang masing-masing dari keduanya membentuk suatu agama yang berdiri sendiri, maka gnosis-gnosis yang lain menampilkan dirinya tidak sebagai agama-agama baru, tetapi sebagai "dimensi batin bagi syari'at yang berdiri tegak" (Ibid, p. 57).

Jelaslah bahwa adanya saling interpense antara gnose dengan gnosticisme membuat perbedaan antara keduanya merupakan kepentingan metodologis. Hal itu sebagaimana yang dikukuhkan oleh muktamar yang diselenggarakan oleh para peneliti spesialis dalam lapangan ini pada bulan April/Nisan tahun 1966 di kota Missine, Itali. Pendapat dalam muktamar ini telah menetapkan pentingnya pembedaan antara gnose sebagai pengetahuan terhadap rahasia-rahasia ketuhanan, yang khusus dimiliki oleh orang-orang pilihan tertentu, dengan gnosticisme sebagai aliran keagamaan yang muncul pada abad II AD secara khusus (Christian Jamber, La Logique des orientaus, [Paris: Editions du Seuil, 1983], p. 171) dan yang disebutkan bahwasanya dia sebagai penguat terhadap macam pengetahuan di atas pengetahuan akal dan yang lebih tinggi darinya, dia merupakan pengetahuan batin yang bukan hanya berkenaan dengan perkara-perkara agama saja, tetapi juga berkenaan dengan segala yang bersifat rahasia dan tersembunyi, seperti sihir, astrologi dan kimia ...etc. Ini dari satu segi, dan dari segi lain terjadi perubahan, mulai dekade awal dari abad ini, dia merupakan metode interaksi para peneliti Eropa dengan pnomena gnosticisme. Setelah dia dipandang dari sudut pandang gereja secara khusus sepanjang abad-abad yang lalu, yang memandang bahwa dia adalah bid'ah yang berbahaya yang wajib diperangi, maka para peneliti masakini (kontemporer) berupaya menggali hakekat dari pnomena ini, dan faktor-faktor penyebab topicalnya dan hal itu dengan memfungsikan metode-metode modern, dan di baris terdepannya adalah metode pnomenologi yang menganalisis pnomena dan mendeskripsikannya serta berupaya memahaminya dari dalam; juga dengan memfungsikan metode kritik sejarah yang mengkaji pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan/teori-teori gnosticisme dan tinjauan rasional komparatif.

(2)

Yang kita perlukan dalam pengantar ini adalah mengemukakan secara garis besar (global) berkenaan dengan kedua sisi ini dengan bersumber pada referensi baru dan teks-teks lama yang asli, sambil menghindari penunjukan, baik secara dekat atau pun jauh, kapada gnose dan gnosticisme-gnosticisme yang ada dalam Islam. Jika pembaca meninjau, yakni melihat adanya kesesuaian antara segi ini atau itu dengan apa yang dikenal dan pendapat-pendapat para mutashowwif Islam, atau pandangan-pandangan Syi'ah Imamiyah dan Ismailiyah, serta para filsuf dan kalangan bathiniyah dan isyroqiyah (illuminasi), maka pengantar ini akan berarti telah mewujudkan perhatiannya dengan bentuk yang berlipatganda, yaitu: Pengantar pada gnose dalam Islam dan sekaligus menyingkap asal-usul kesejarahannya. Adapun jika pembaca tidak dapat melihat sesuatu dari hal itu, kami sungguh berharap semoga pembaca menjumpai dalam pengantar ini sesuatu yang memudahkan untuk terjun bersama kami ke dalam gelombang pemikiran gnosis ('irfani) dalam Islam dengan berbagai kecenderungan dan arus-arusnya.

Kita mulai dengan gnose sebagai sikap.

IRFAN SEBAGAI PENDIRIAN (2)

Sebagaimana telah kita katakan, ‘irfan adalah dari satu sisinya merupakan sikap terhadap alam (Dalam alinea ini kita gunakan sebagai landasan: Puech, En quite de la gnose, vol. I.), yaitu suatu sikap jiwa, pemikiran dan "eksistensi", tidak itu saja tetapi juga sikap umum terhadap alam yang mencakup kehidupan, perjalanan hidup dan tempat kembali. Sifat umum yang menjadi ciri dari sikap ini adalah berpaling dan lari dari alam dan mengadukan situasi manusia di dalamnya, serta selanjutnya diikuti oleh mempermasalahkan pengagungan individu dan subjektifitas, yaitu pengagungan “al-'arif” terhadap "ego"nya.

Sikap ini awal mulanya bertolak dari kegelisahan dan perasaan takut terhadap realitas yang sang 'arif mendapatkan jiwanya terjatuh di dalamnya, yaitu: realitas yang didalamnya dia hidup sebagai jiwa yang terbelenggu dalam badan, dan sebagai individu yang terkurung bingkai dalam masyarakat, sehingga dia tidak mendapatkan selain sesuatu yang buram dan keruh, selain sesuatu yang membuatnya merasa bahwa dirinya terkurung dan diperbudak. Maka tampaklah alam baginya seluruhnya jahat dan jadilah problema pokoknya, bahkan satu-satunya problema adalah problema kejahatan dalam alam: Kenapa alam mengandung kejahatan? Kenapa dia harus menantang kejahatan di dalamnya? Apakah gerangan sumbernya?

Dari kesadaran terhadap situasi inilah, sikap ‘irfan mulai, dan dari permakluman penentangan terhadap situasi inilah dia bertolak: Pertama dengan menampakkan keterdesakan dan keluhan terhadapnya, kemudian pada akhirnya menyatakan ketaksukaan dan permusuhan terhadapnya dengan memperlihatkan sikap respek dan penentangan terhadapnya. Orang ‘arif, ketika menolak situasi ini dalam keadaannya sebagai realitas ekstrinsik, dia juga menolaknya sebagai kesadaran instrinsik : dia menolaknya sebagai syarat kehidupan dan menolak dirinya sebagai wujud yang harus patuh kepada syarat ini. Dari sinilah merebaknya rasa keterasingan dalam bentuk yang berlipat ganda: Dia merasakan keterasingan dalam dunia yang dia lihat asing secara sempurna. Oleh karena itu dia mengarahkan perbedaan dirinya dan alam ini kepada keterpisahan dan keterputusan dari alam itu. Dari sinilah munculnya ungkapan yang diulang-ulang oleh kebanyakan dari kalangan orang-orang ‘arif terdahulu: "Jika kamu berada dalam alam, kamu bukanlah bagian dari alam itu", saya asing di dalamnya dan asing darinya.

(3)

dalamnya dan terkurung olehnya. Dia asing darinya, karena dia merasa bahwa dirinya bukan bagian dari alam itu, karena dia berbeda dari alam, baik secara essensi maupun tabiat/karakternya. Selanjutnya, pensifatan asing juga merebak pada alam dan pada kekuatan yang menciptakan dan mengaturnya, sebagaimana merebak pula pada setiap bagian dari alam itu yang diletakkan pada posisi sebagai sesuatu yang merubah "aku/ego": yaitu aku/egonya 'arif, secara sempurna seperti dari apa yang digambarkan bahwa dia terletak di luar atau di atasnya. Demikianlah, pertama dia ada di dalam alam, kemudian kedua ada pada kebalikannya, dan ketiga berada di luarnya, sang "'arif" membatasi letaknya dan memperkenalkan diri mengikuti subjektifitasnya dalam posisinya sebagai orang asing. Tingkatan-tingkatan keasingan inilah yang dialaminya sesuai dengan fase-fase yang ditempuhnya dalam perenungan 'irfaninya. Demikianlah, jika keasingan sang 'arif dibatasi dalam tingkatan pertama dan kedua sebagai hubungan negatif antara dia dengan alam (dia asing dari alam dan alam pun asing dari dia), maka pada tingkat ketiga mengambil makna mutlak, yaitu makna positif secara sempurna. Keasingan pada tingkatan ini bukanlah keasingan yang berkenaan dengan situasi, tidak pula berhubungan dengan sesuatu yang lain, tetapi dia membatasi alam dalam dan dengan subjektifitasnya yang lepas dan posisinya lebih tinggi dari alam.

Dari sinilah timbulnya kecenderungan yang liar, yang menguasai sang ‘arif, yang membangkitkan kerinduannya untuk pergi meninggalkan alam ini, untuk membebaskan diri dari cengkraman dan belenggunya, serta pergi jauh darinya, pergi ke tempat di mana dia dapat mengembalikan kesempurnaan kebebasannya/kemerdekaannya, kesempumaan kepemilikan terhadap dirinya sendiri. Demikianlah sang 'arif disertai oleh harapan yang bergelora untuk menjadi dirinya sendiri, untuk mengembalikan ketergantungan pada dirinya, untuk kemudian ikut dengan "alam yang lain", yaitu alam yang tinggi yang lepas dari ruang dan waktu, alam "kehidupan hakiki", alam tentram, sempuma dan bahagia, alam yang dia berada di dalamnya, keluar darinya dan kembali kepadanya, bahkan alam yang pada hakekatnya tidak berpisah denganya walau sejenak pun. Secara ringkas, sang 'arif bekerja sepanjang fase-fase kerja kerasnya pada sikap 'irfani, guna menyingkap keberadaannya yang hakiki di sela-sela meninggalkan bentuk yang diberikan padanya dari dirinya pada situasinya dalam alam yang menjaminnya. Dia berusaha untuk mengetahui, bahkan untuk memperbaharui pengetahuannya terhadap hakikatnya dan keakuan sesungguhnya yang asli. Kemudian dia berusaha untuk kembali menjadi apa yang pada hakekatnya harus ada padanya. Sesungguhnya sikap 'irfani tersimpul pada pencarian tentang subjektifitas, tentang hakekat dan essensinya yang asli.

(4)

dirinya masib terus merasa puas, bahwa dirinya secara alamiah bergantung pada alam yang lain yang terletak di luar kejadian dan tidak patuh pada logikanya, dan selanjutnya dzat hakikinya adalah secara sempurna dari alam lain, yaitu; alam abadi.

Inilah konsepsi yang dikukuhkan sang 'arif pada dirinya tentang dirinya yang membuatnya sadar, bahkan merasa puas bahwa dia tidak bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi dalam alam, sehingga dia melihat dirinya "terbebas" (tidak bersalah), bagai tidak bersalahnya anak kecil, atau bagai tidak bersalahnya Adam sebelum keluar dari sorga. Lalu semakin bertambah terpuaskan dengan kenyataan bahwa keberadaannya yang tergadaikan dalam alam ini adalah sesuatu yang tidak alami, sesuatu yang bertentangan dengan: hakekatnya yang abadi. Selanjutnya,

maka mesri "ketenatuhan" yang menimpanya, dan yang mengharuskan dia mcnmggalkan alam abadi dan beriindung pada alam im yang dipenuhi oleh kejahataa, pasri hal itumerupakan akibat dan dosa, akibat dan kesalahannya. Jika demikian, maka dia harus mmengetahui sikap, posisi, dia hams bekeija demi membebaskan din. Demikianlah dia semakin bertambah rindu untuk kembali kepada keadaannya yang asli. Dia sungguh menggambarkan "kebangkitan dan

perilimplinan" bahwa hal itu adalah kembali kepada keadaan terdahulu yang tinggi, keadaan kebebasan sempuma, keadaan di mana dia menanggalkan pakaiannya, melapas pakaian kulitnya, lalu dia membebaskan din dan badannya dan dan segala yang mengikatnya ke alam ini, untuk kembali kepada keadaan yang dia milild sebelum dia lahir, bahkan kembali kepada keadaan sebelum tubuhnya terbenhik. Itu adalah "regenerasi" atau kelahiran kembali, itulah tempat kembali.

Kini sang *arif telah tahu dan mana dia datang, dan dia tahu bahwa tempat kembalinya yang hakiki yang di dalamnya dia akan tertiebas dan penjara alam ini adalah kembali ke tempat dan mana dia datang. Dalam kembalinya ini dan di tempat kembalinya ituJah satu-satunya yang memungkinkan dia terbebas. Diajuga telah mengetahui akan ke mana dia, dan dia tidak akan tinggal diam melainkan hams menempuh perjalanan. Dia tahu bahwa jalan itu sulit dan rumit, dan dia hanis menenipub dan melampauinya fase demi fase. Bahwa untuk membebaskan din dan alam ini, yang pertama sekali dia dituntut untuk menghimpun

keterpecahan jiwanya, dia harus mengembalikan kepadanya kesatuannya yang telah dipecahbelah oleh match dan dipisah-pisahkan oleh badan. Dia harus bekerja untuk menyelematkannya dan alam kelengahan dan kesfa-siaan yang dia tenggelam di dalamnya. Jika demikian, maka yang pertama kali hanis

dilakukannya adalah rekoleksi dengan mengembalikan kesatuannya dan mengembalikan struktur keberadaan nihnya, dan itulah langkah pertama, langkah yang pokok utamanya: ma'rifatunnafsi (mengenal din).

Jika demikian, maka pembebasan dan penyelamatan din, keduanya dimulai dan mengenal din, dengan pengenalan bukan sebagai bagian dan alam, tetapi sebagai wujud yang lebih tinggi dan alam itu, dan dan karakteristik yang bukan karakteristiknya. DemikianlaK jika manusia telah mengenal dirinya, jika dia mampu menghimpunnya dan berbagai pecahan materi dan membebaskannya dan penjara badannya, maka dia akan mengenal asal dan mana dia memancar, asalnya yang bersifat samawi, bersifat ialahi yang abadi. Maka dia pun semakin

(5)

ItuJah dia-sikap/posisi 'irfani, sebagaimana dia itu jelas sekali, sebagai sikap/posisi individual, sikap/posisi perorangan demi pembebasannya sebagai individual, dan lebih dari itu dia merupakan sikap "aristokiasi". Demikianlah, bahwa macam pembebasan ini, atau macam jalan untuk pembebasan ini, bukan

10

dalam jangkauan pemahaman orang-orang pada urnumnya terhadap kepercayaan 'arif, tetapi dia terbatas pada pandangannya terhadap yang terbaik, terhadap yang khusus, terhadap yang pilihan, mereka orang-orang yang dipilih Alloh, Hal itu karena kerika manusia menjadi 'arif, dalam arti yang telah kita jelaskan, dia benibah menjadi ruh (nous) yang miuni, benibah menjadi yang ada yang bergantung .pada yang pilihan dan anak-cucu manusia yang membentuk kelas

Pmtematiques (para ruhaniawan) yang kemudian beibeda dan Psychiques(pan

psikiater), mereka yang memiliki jiwa yang memerlukan jiwa yang menjadi nih yang tinggi, dan secara lebih cerroat berbeda dan Hyligues (orang-orang

materialis), atau charnets (orang-orang fisikis), mereka yang hanya (mempercayai asal manusia) fisik-fisik, bahkan tanah saja. Dan sinilah penyebab adanya

peibedaan ini, dan menetapkan bahwa hal itu tidak boleh diperlihatkan dengan jelas kepada orang-orang secara umum berkenaan dengan hakikat-hakikat yang tersingkap padanya, karena mereka tidak akan memehaminya, karena mereka bukan dan maqomnya (tingkatannya~evelnya). Jika demikian, maka dia hams berhati-hati sekali, sehingga jangan sampai menyebarkan rahasia yang tersingkap padanya, kecuali pada jamaah(kelompok) pilihan dan kalangan "salUcin" (orang-orang yang menjalani laku guna mencapaima'rifat) yang membetnuk kelas "el it", mereka orang-orang yang hanya mereka sendirilah yang tahu hakekat din mereka, sebingga mereka mampu untuk mendapatkan ma'rifat(pengetahuan) berkenaan dengan batm-batin perkara : maka 'irfan berbeda dengan "ilmu", karena 'irfan adalah ma'rifat dengan "batin", sementara "ilmu" adalah semata-mata ma'rifat dengan "lahir".

(6)

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: waralaba adalah Hak khusus yang dimiliki orang perseorangan dan/atau badan Hukum terhadap

“Franchise (Waralaba) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau

Pendapat yang kuat dalam mazhab yang empat menetapkan bahwa orang yang mabuk tidak dijatuhi hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya apabila ia meminumnya dengan

serta mampu mengkomunikasikan gagasan atau ide-ide matematika. 52) menyatakan pentingnya pemecahan masalah dalam mengem- bangkan pengetahuan matematika. Pendapat

Pada kegiatan menalar, anak diberi kesempatan untuk menghubungkan pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya dengan pengetahuan yang baru diperoleh anak

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan