• Tidak ada hasil yang ditemukan

this file 839 1577 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " this file 839 1577 1 SM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Endang Rumaningsih

1

Abstract

The integration between zakat with a tax is an idea that never disappears from the discourse of Islamic legal thought in Indonesia. The idea never appeared in the 1990s era was always warm when discussing efforts to the benefit and welfare of the community. Zakat and taxes have similar agenda so that efforts to unify both is very possible. In general, understanding of charity as God command and taxation as the state’s is still very strong orders. Merging these two elements for some people viewed as a strong relation (the relation between religion and state), even though Indonesia is not a nation built on the basis of religion. The imposition of taxes for Muslims is seen as an additional burden of ‘burdensome’. Taxes are regulated by the state and have the force of law. Its sanctions are always carried out by residents. While the charity which is commanded by God, the sanctions will be conducted later. So some Muslims bring to notice taxes rather than zakat, and sometimes zakat is not considered important. The dialogue to integrate zakat with the tax still requires a long process, because this issue is not only on philosophical terrain but also on the technical level. This study examines some possible merging of zakat and taxation as an instru-ment to build a prosperous and equitable society.

Keywords: charity, taxes, integration, welfare

PENDAHULUAN

Persoalan pajak dan zakat menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Ada wacana agar zakat dan pajak diintegrasikan sehingga pembayaran zakat dapat mengurangi kewajiban pajak. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi beban pembayar pajak umat Islam karena mereka selain dikenai pajak juga diwajibkan membayar zakat. Tanggungan dua kewajiban itu dipandang sebagai beban ganda bagi umat Islam dan sekaligus bentuk pemisahan antara wilayah publik keagamaan dengan wilayah publik kenegaraan.

Petani, misalnya, secara kumulatif terkena kewajiban membayar zakat minimal 5% dari hasil pertaniannya. Selain itu ia harus membayar pajak tanah dan pajak penghasilan, padahal petani juga dibebani dengan biaya produksi pertanian yang cukup tinggi. Konsekuensinya, petani menderita penurunan selisih harta yang bisa digunakan memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat akibat meningkatnya tuntutan biaya pendidikan anak yang termasuk kebutuhan primer saat ini.

Di samping itu, pemisahan antara zakat dan pajak bisa dipandang sebagai bentuk pemisahan antara agama dan negara secara tegas seolah negara tidak berhak untuk mencampuri urusan agama. Tulisan ini tidak bermaksud terlibat dalam pembicaraan relasi antara negara dengan agama,

(2)

melainkan lebih menyoroti adanya realitas ambigu dalam persoalan zakat dan pajak. Saat ini, zakat sudah diatur oleh UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat lembaga Badan Amil Zakat (BAZ). Undang-undang tersebut telah mengatur tentang susunan organisasi, fungsi, dan tugas pokok

pengurus BAZ.2 Hanya saja pengelolaannya ternyata tidak diintegrasikan dengan

program-pro-gram pembangunan pemerintah, melainkan hanya dilakukan sebagai bentuk dana sosial. Akibatnya, pengolaan zakat mengalami sendiri dikritik kurang optimal. Zakat masih secara sporadis ditangani oleh pemerintah dan oleh lembaga-lembaga pengelola zakat non pemerintah (LAZ).

Persoalannya kemudian adalah bahwa gagasan menyatukan antara zakat dan pajak itu terbentuk oleh pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri. Sebagian setuju untuk menyatukan zakat dengan pajak sehingga zakat bisa mengurangi jumlah kewajiban pajak yang dibayarkan oleh umat Islam kepada negara. Masdar Farid Mas’udi (ketua Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/ P3M) misalnya, sejak tanhun 1991 telah menggagas bahwa zakat yang dibayarkan oleh seorang muslim dapat mengurangi beban pajaknya, karena esensi zakat adalah pajak untuk kemaslahatan

umat.3 Sebagian kalangan umat Islam berkeberatan apabila zakat dan pajak diintegrasikan karena

keduanya adalah dua hal yang berbeda. Zakat diwajibkan menurut landasan agama, sedangkan pajak diwajibkan oleh negara dengan landasan non syar’i. Ada kekhawatiran kalau zakat dimasukkan kedalam pajak, kewajiban shar’i yang melekat dalam zakat tidak tertunaikan. Pandangan ini secara implisit mengisyaratkan bahwa negara tidak cukup memiliki kewenangan shar’i untuk memainkan peran keagamaan secara penuh.

Secara normatif, sebenarnya ada indikasi bahwa negara dituntut untuk terlibat aktif dalam mengelola zakat. Dalam al-Qur’an misalnya Q.S. al-Taubah ayat 103 menjelaskan urgensi zakat untuk diambil oleh para petugas (amil) zakat. Sementara dalam hadis disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah beliau berpesan bahwa jika masyarakat di sana telah menyatakan masuk Islam ada kewajiban yang harus dilaksanakan yakni salat dan zakat yang akan diambil dari orang kaya mereka dan akan diberikan kepada orang-orang fakir.4

Posisi Rasulullah sebagai kepala negara membuat penarikan zakat memiliki dua dimensi, yaitu dimensi syar’i dan dimensi politis. Dimensi politis tersebut ditunjukkan oleh tindakan Abu Bakar dengan menyerang orang-orang yang menolak membayar zakat setelah meninggalnya

Rasulullah SAW.5 Tindakan itu bisa dipahami dengan baik kalau zakat dianggap sebagai kewajiban

kepada negara juga sehingga penolakan untuk membayar zakat akan dilihat sebagai bentuk makar.6

Negara Republik Indonesia sejak semula ditetapkan bukan sebagai negara yang berlandaskan salah satu agama. Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan beragama warga negara. Posisi negara Republik Indonesia tersebut menyediakan peluang dan sekaligus tantangan tentang bagaimana prinsip ekonomi Islam dapat diterjemahkan sesuai dengan sistem kenegaraan tersebut. Prinsip persamaan hak seluruh rakyat bisa menjadi tantang ketika

2Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskirpsi dan Iluastrasi, Yogyakarta: Ekonisia, Cet. II.

2004, hal. 240-242

3Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat,Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung : Mizan, 2010. Buku ini

merupakan edisi baru dari karya Masdar yang diterbitkan pada tahun 1991 dengan judul Agama Keadilan, Risalah Zakat/ Pajak dalam Islam.

4Lihat Rahman Ritonga dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet. II. 202. hal. 174-175. 5Ibid. hal. 173.

6Alquran banyak mengecam orang-orang yang menolak untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka, seperti dalam

(3)

diterjemahkan bahwa tidak ada pembedaan seluruh rakyat dalam kewajiban membayar pajak

sehingga tidak ada pembedaan antara mustahiq (penerima zakat) dan muzakki (pembayar zakat)

dalam kewajiban membayar zakat. Karena itulah, ada kemudian sedikit perbedaan antara zakat dengan pajak.

Namun demikian, Jika dikaji lebih jauh, zakat sesungguhnya dapat digunakan sebagai sarana bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis ketika kemampuan konsumsi mengalami stagnasi. Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum. Akibat penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh negara melalui akumulasi dana zakat, perekonomian akan cenderung menjadi lebih tahan terhadap badai krisis. Makalah ini membahas prospek integrasi zakat dengan pajak dengan sub bahasan zakat dalam sejarah Islam, relasi zakat dan pajak, dan prospek integrasi zakat dan pajak.

TELAAH TEORITIS

Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan bentuk kata dasar (masdar) dari zaka yang

berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Dari segi istilah fiqh, zakat berarti sejumlah harta tertentu

yang diwajibkan Allah yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak.7Pajak menurut defenisi

para ahli keuangan, ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, serta merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan

lain yang ingin dicapai oleh negara.8

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan zakat, termasuk diantaranya ayat yang menyandingkan kewajiban zakat dengan kewajiban shalat secara bersamaan. Salah satu diantaranya yang menyebutkan tentang kewajiban zakat adalah surat At-Taubah ayat 103 yang artnya:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Adapun Persamaan Dan Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama.Persamaan Zakat Dengan Pajak9 adalah (1) Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk

suatu negeri, apabila melalaikannya akan terkena sanksi, (2) Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya, (3) Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara, (4) Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu di dunia dan (4) dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi yang terdapat di masyarakat.

Kedua. Perbedaan Zakat Dengan Pajak10, dengan adanya semua kesamaan di atas, bukan berarti

pajak bisa disamakan begitu saja dengan zakat. Karena di antara keduanya terdapat perbedaan mendasar dan essensial.

Adapun Asas Teori Wajib Pajak Dan Zakat dapat dujelaskan sebagai berikut: Pertama. Asas

Hukum Mengenai Wajib Pajak 11, Para ahli berbeda pendapat mengenai asas hukum terhadap

kewajiban masyarakat untuk membayar pajak antara lain : (1) Teori Perjanjian, Para filosof abad

7 Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, 2006),

hal 6

8 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2007), hal 999

9 Zensudarno, Beda Pajak Dan Zakat, http://zensudarno.wordpress.com/2007/07/03/beda-pajak-dan-zakat/,

down-load tanggal 12 Juni 2010

10 Zensudarno, Loc.Cit

(4)

ke-19 berpendapat, bahwa pajak diwajibkan atas dasar hubungan timbal balik negara dengan masyarakat. Menurut para pendukung teori timbal balik, perjanjian ilmiah yang kokoh antara negara

dengan pembayar pajak mengemukakan berbagai aliran. Mirabau: “pajak adalah pembayaran di

muka yang dilakukan oleh seseorang terhadap perlindungan sekelompok manusia“. Adam Smith:

“perjanjian ini berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan”. Montesque dan Hobes: “ perjanjian ini

berbentuk jaminan keamanan”. dan (2) Teori Kedaulatan Negara, Teori ini mempunyai pandangan, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Untuk melaksanakan fungsinya negara memerlukan pembiayaan, oleh karena itu negara punya hak untuk mewajibkan penduduknya atas dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing warganya.

Untuk azas wajib zakat12 dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Teori beban umum, Teori ini

didasarkan bahwa merupakan hak Allah – sebagai pemberi nikmat – untuk membebankan kepada

hamba-Nya apa yang dikehendakinya, baik kewajiban badani maupun harta, untuk melaksanakan

kewajibannya dan tanda syukur atas nikmatnya ; (2) Teori Khilafah, Harta adalah amanah Allah. Dan manusia sebagai pemegang amanah atas harta itu. Harta kekayaan adalah rizki dari Allah untuk manusia sebagai anugerah dan nikmat darinya. Dan setelah memperoleh nikmat itu, ia harus mengeluarkan sebagian rizkinya itu dengan tujuan meninggikan rahmat Allah, dan menolong saudara-saudaranya sesama hamba Allah, sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan kepadanya; (3) Teori pembelaan antara pribadi dan masyarakat, Islam mewajibkan setiap orang yang punya kekayaan banyak untuk menunaikan hak-hak tertentu bagi kepentingan umum dan (4) Teori persaudaraan, Masyarakat Islam ibarat satu bangunan yang kokoh dan kuat, yang satu menunjang yang lainnya, saling tolong menolong dan saling menjaga satu sama lainnya.

Dengan memakai paradigma bahwa zakat tidak sama dengan pajak, para ulama kemudian

membolehkan umat Islam untuk membayarkan pajak di samping kewajiban untuk membayar zakat.13

Ada 3 persoalan yang berkaitan dengan pembayaran zakat dan pajak yang harus di laksanakan

kaum muslim:14 (1) dalil-dalil yang membolehkan adanya kewajiban pajak di luar zakat, (2) syarat

yang harus di perhatikan dalam kewajiban pajak dan (3) kritik terhadap tidak adanya ketentuan pajak di luar zakat.

Dalil-dalil yang membolehkan adanya kewajiban pajak di samping zakat ada 5 alasan yang membolehkan kewajiban pajak di samping pembayaran zakat yang harus di laksanakan kaum muslim, yaitu: (1) Jaminan/ solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Pajak merupakan sumber pembiayaan bagi kebutuhan social oleh karena itu, apabila dana zakat tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan social tersebut, maka dibolehkan adanya pungutan-pungutan di luar zakat seperti pajak, (2) Sasaran zakat itu terbatas, sedangkan pembiayaan banyak sekali. Zakat harus di gunakan pada sasaran yang di tentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas social. atas dasar itu ulama berpendapat bahwa zakat tidak boleh di pergunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan dan yang lainnya. Maka untuk membiayai kepentingan umum dibolehkan adanya ketentuan pajak bagi kaum muslim, (3) Kaidah-kaidah hukum

syara’. Dengan menggunakan kaidah yang berlandaskan nash (yaitu Al-Qur’an dan Sunnah), pajak

bukan hanya dibolehkan, tetapi juga diwajibkan pemungutannya untuk merealisasikan kepentingan umat dan negara, apabila sumber penerimaan lain tidak mencukupi, (4) Jihad atas harta dan tuntutannya yang besar. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk berjihad di jalan Allah dengan harta jiwa. Salah bentuk jihad dengan harta yang diperintahkan adalah kewajiban lain di luar zakat

12Ibid., hal 1010-1025

(5)

dan (5) Kerugian dibalas dengan keuntungan. Dana yang diperoleh dari zakat dipergunakan untuk membiayai segala keperluan negara yang manfaatnya kembali kepada seluruh rakyat.

Persoalan lain yang dihadapi umat Islam dalam dualisme pajak dan zakat adalah adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa pajak sama dengan zakat. Artinya, kewajiban pajak

meruntuhkan kewajiban membayar zakat.15 Oleh karena itu, banyak di antara umat Islam yang

membayar pajak dengan niat zakat dan menganggap telah gugur kewajiban zakatnya. Yusuf Qardawi menolak pendapat ini dengan mengemukakan beberapa alas an, yaitu : (1) Harus dalam jumlah tertentu yang di tetapkan oleh syariat, yaitu 1/10, 1/20 sampai 1/40. tariff pajak tidak tetap, kadang-kadang lebih besar dari tariff zakat, kadang-kadang-kadang-kadang lebih kecil. Selain itu, kadang-kadang harta yang memenuhi syarat wajib zakat tidak dikenai zakat karena tidak memenuhi syarat wajib pajak, kadang pajak dipungut dari harta yang tidak menjadi objek zakat karena tidak memenuhi syarat wajib zakat, (3) Harus menggunakan niat tertentu, yaitu berniat mendekatkan diri kepada Allah dan mengikuti perintahnya dengan membayar zakat yang di perintahkan pada hamba-Nya. Kadang niat pajak bertentangan dengan niat zakat, karena niat ibadat dalam pajak tidak murni, sedangkan zakat adalah ibadah yang disyaratkan ikhlas dalam mengerjakannya dan (4) Harus di berikan kepada

sasaran tertentu, yaitu 8 asnaf, baik secara langsung maupun melalui perantaraan amil zakat yang

mewakili pemerintah.

PEMBAHASAN

1. Zakat dalam Sejarah Islam

Perintah zakat sebenarnya telah ada semenjak Nabi Muhammad berada di Makkah. Hanya saja perintah zakat itu lebih merupakan anjuran moral karena belum adanya penetapan besaran zakat dan hal-hal yang wajib dizakati. Hal itu terjadi karena fase penyebaran Islam di Makkah masih menitikberatkan kepada penanaman nilai akidah dan nilai-nilai dasar keislaman. Perubahan

fungsi dan karakteristik zakat baru terjadi setelah hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah.16

Setelah Hijrah Nabi Muhammad, zakat mengalami perkembangan dengan adanya penjabaran

mengenai ragam harta yang wajib dizakati, ketentuan detail batas minimal (nishab) harta wajib

dizakati, prosentase zakat yang harus dikeluarkan, dan para penerima zakat (mustahiq). Meskipun

zakat pada mulanya hanyalah sebuah anjuran moral dan dilakukan sebagai sebuah derma, pada perkembangannya zakat menjadi sebuah kewajiban yang diorganisir oleh pemerintahan Nabi Muhammad, bukan lagi sebagai anjuran moral semata. Pengaturan masalah hasil zakat ini diatur

oleh bayt al-mal (lembaga yang mengatur pengelolaan harta dari masyarakat). Nabi secara resmi

mengorganisir pengumpulan zakat dari suku-suku yang menjadi bagian dalam umat Islam. Zakat

ini dikontrol oleh otoritas pusat dan dikumpulkan dalam baitul mal, yang menjadi perbendaharaan

publik. Bahkan zakat, dan juga keislamam kemudian menjadi persyaratan bagi suku-suku yang

turut mejadi bagian umat Islam. 17

Pemerintahan Nabi Muhamad di Madinah dapat dipandang sebagai sebuah bentuk negara yang sederhana, dengan pembagian tugas yang relatif masih sederhana. Negara ini pun belum berdiri atas organ-organ negara yang mempunyai pembagian kerja yang lengkap, sebagaimana bentuk negara saat ini. Aktivitas-aktivitas yang menunjukkan jalannya pemerintahan ditunjukkan oleh penunjukan arbitrator sebagai pemutus persengketaan di daerah-daerah, Keterlibatan Nabi

15Ibid., hal 54-56

16Pada Fase Makkah, zakat disebutkan dalam Alquran dengan kata-kata infaq. Sementara itu, pada fase Madinah

barulah kata-kata atu al-zakah muncul. Lihat dalam Rahman Ritonga dan Zainuddin, op.cit., hal. 174.

17Lihat Majid Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, Lahore : Sh. Muhammad Ashraf Publisher, 1983, hal.

(6)

Muhammad tanpak dalam pengawasan pasar, dan mobilisasi pasukan.18 Namun pengaturan fiskal

belum menjadi perhatian Nabi Muhammad. Beliau lebih suka bila proses ekonomi berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Hal ini ditunjukkan oleh penolakan beliau terhadap permintaan masyarakat ketika terjadi inflasi untuk menetapkan harga.

Namun dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan untuk mendapatkan pemasukan bagi negara dan semakin terstrukturnya pengaturan ekonomi negara sumber-sumber ekonomi yang diakui

oleh pemerintahan Islam semakin bertambah. Dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, terdapat beberapa

sumber keuangan yang disebutkan oleh al-Mawardi, antara lain, dari zakat, fay’ dan ghanimah,

jizyah dan kharaj.19 Sebagian sumber ini ditetapkan oleh Alquran dan hadith sedang lainnya

berdasarkan ijtihad para penguasa.

Abdul Wahhab Khallaf merumuskan sumber-sumber keuangan yang berfungsi untuk menutupi kebutuhan umum. Menurutnya sumber keuangan kekuasaan (negara Islam) antara lain adalah: (1)

Zakat, dengan berbagai ragamnya, (2) Pajak tanah pertanian (kharaj), (3) Pajak perorangan yang

diambil dari ahl al-kitab (jizyah), (4) Bea cukai (pajak) yang diambil dari barang-barang yang

diimpor ke negara Islam, (5) Seperlima dari harta rampasan dan (6) Harta warisan yang tidak ada ahli warisnya.20

Dari keterangan di atas tampak bahwa zakat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi negara. Ketika wilayah umat Islam meluas akibat penaklukan wilayah-wilayah di Syiria dan Persia, kebutuhan pengaturan masalah keuangan menjadi semakin penting. Zakat kemudian diposisikan sebagai kewajiban yang ditanggung oleh orang-orang muslim kepada negara. Bagi warga nonmuslim,

mereka diwajibkan membayar fay‘ (pajak atas perlindungan yang diberikan oleh penguasa muslim).

Fay‘ dibayar oleh setiap kepala keluarga. Orang Islam tidak diwajibkan membayar fay‘, sedangkan

orang non muslim tidak membayar zakat.21

Pada prakteknya, tidak semua umat Islam wajib membayar zakat karena tidak semua umat Islam adalah orang yang berkewajiban membayar zakat. Berdasarkan kemampuan membayar zakat,

masyarakat muslim dapat kita kelompokkan menjadi tiga golongan; pertama, golongan masyarakat

Muzakki yaitu golongan masyarakat pembayar zakat. Kedua, golongan masyarakat non-mustahiq/

muzakki, yaitu golongan yang bukan penerima ataupun pembayar zakat (golongan middle income).

Ketiga, golongan masyarakat mustahik yaitu golongan masyarakat penerima zakat.22

Zakat pada masa itu diambil oleh petugas zakat. Petugas itu berada langsung dibawah komando

Perdana Menteri (wazir). Mereka dipilih atas kualifikasi merdeka, muslim, adil, dan mengetahui

hukum-hukum zakat. hanya saja kalau pejabat itu adalah perdana menteri, tidak harus mengetahui hukum-hukum zakat. Petugas zakat pada masa itu boleh mengambil tindakan atas orang-orang yang menolak membayar zakat, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Abu Bakar.

Fungsi pertama zakat dalam pemerintahan Islam masa khalifah empat, pemerintahan Dinasti

Umayyah dan Abbasiyah adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal (

guaran-tee of a minimum level of living). Institusi negara yang bernama Baitul Mal-lah dalam konsep

18Keterlibatan dan kepedulian Nabi Muhammad dalam persoalan-persoalan ekonomi, seperti dalam hal pemilikan

modal, tanah, pekerja, perilaku konsumen, mekanisme pasar, dll, lihat Muhammad Akram Khan, Economic Teachings of Prophet Muhammad: A Select Anthology of Hadith Literature on Economics, Islamabad: Interational Institute of Is-lamic Economics, 1989.

19Lihat dalam Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,

(tarjamah : Fadhli Bahri), Jakarta: Darul Falah, 2000, hal. 213

20Yusuf al-Qardawi, al-Siyasah al-Shar‘iyyah, (Pedoman Bernegara Menurut Perspektif Islam, Tarjamah : Kathur

Suhardi), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999, hal. 79-80

21Imam al-Mawardi, op.cit., hal. 202

(7)

ekonomi Islam yang memiliki tugas menjalankan fungsi negara tersebut dengan mengambil kekayaan

dari kelompok muzakki untuk dibagikan kepada kelompok mustahiq. Dengan tepenuhinya kebutuhan

hidup minimal maka seluruh masyarakat Islam diharapkan akan menjalankan secara leluasa segala kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, tanpa perlu ada hambatan-hambatan yang mungkin memang diluar kemampuannya. Zakat dengan demikian sangat terkait erat dengan kebijakan negara dan sistem keuangan negara.

Oleh karena itu, ketika setelah Rasulullah wafat, terdapat sekelompok umat Islam yang tidak mau melaksanakan kewajiban zakat sebagaimana sistem yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Kelompok tersebut akhirnya diperangi oleh Abu Bakar. Hal itu terjadi karena zakat merupakan

sumber pertama dan terpenting penerimaan negara pada awal pemerintahan Islam.23

Pada perkembangannya, zakat kemudian diperlakukan secara berbeda dibandingkan pada awal pemerintahan Islam tersebut. Bagi negara-negara berpenduduk muslim saat ini, zakat bukan lagi sumber penerimaan reguler sehingga tidak dipandang sebagai sumber pembiayaan utama. Meskipun pemerintah terkadang turut serta membantu pengelolaan zakat, penghasilan dari zakat tidak

dicampurkan dengan penerimaan publik lainnya.24

2. Relasi Zakat dan Pajak

Pengelolaan maupun jumlah harta zakat saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan

Ford Foundation tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah derma masyarakat muslim Indonesia (pertahun) mencapai Rp 19,3 triliyun rupiah. Dari jumlah tersebut Rp 5,1 triliyun berbentuk barang dan 13,1 triliyun berbentuk uang. Dari jumlah tersebut, 6,2 trilyun adalah hasil zakat fitrah dan 13,1 trilyun berasal dari zakat mal. Mengenai distribusi, 61% zakat fitrah dan 93% zakat mal diberikan langsung kepada penerima. Penerima (pengelola) zakat fitrah dan zakat mal terbesar adalah masjid (70%), sedangkan Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya menerima 5%, dan

Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4%.25

Hal itu menunjukkan bahwa zakat masih banyak dikelola oleh lembaga-lembaga swatsa, sedangkan peran pemerintah masih minim. Hal itu berakibat kepada banyaknya pintu dalam distribusi zakat. kenyataan itu mengakibatkan kekuatan dana zakat menjadi berkurang karena sulit dibuat perencanaan makro pengelolaan zakat secara nasional. Di sisi lain, tidak bisa diabaikan bahwa bagi masyarakat Indonesia zakat, khususnya zakat mal, baru dipandang sebagai kewajiban sekunder. Pembayaran zakat mal belum menjadi tuntutan keagamaan yang kuat di kalangan masyarakat muslim, bahkan di kalangan orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang baik.

Meskipun sejarah Islam menunjukkan adanya identifikasi antara zakat dengan kewajiban warga kepada negara, pada perkembangannya ternyata zakat lebih banyak dipahami sebagai bentuk kewajiban agama. Zakat diposisikan sebagai amal kebajikan yang diperintahkan oleh agama. Akibatnya pengelolaan zakat hampir selalu dijalankan sebagai bentuk kewajiban agama, bukan kewajiban kepada negara, meskipun negara turut kemudian memberikan aturan mengenai pengelolaan zakat, seperti dalam Undang-undang nomor UU 30 Tahun 1999.

Ada wacana yang berkembang di kalangan masyarakat untuk menyatukan zakat dengan pajak. Potensi penyatuan itu dapat dilihat dari adanya beberapa kesamaan peran yang ada dalam zakat dan pajak, terutama dalam hal bahwa keduanya merupakan penerimaan fiskal negara. Keduanya memiliki persamaan, yaitu: (1) Keduanya dipungut dari harta kekayaan yang dimiliki oleh

23Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hal. 199

24Nuruddin Muhammad Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2006. hal. xxiv

(8)

perseorangan atau badan hukum, (2) Keduanya dipergunakan untuk kepentingan sosial, bukan untuk kepentingan pribadi. Meskipun ada kalanya zakat diberikan kepada individu, hal itu lebih merupakan bentuk pemerataan dan pendistribusian keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan (3) Keduanya merupakan respon terhadap akumulasi kondisi sosial yang menuntut pembiayaan dari

masyarakat dan masing-masing pernah dikelola oleh negara Islam.26

Jadi, pada dasarnya zakat pun bukanlah suatu kebajikan individu, melainkan sebuah sistem penertiban sosial. Oleh karena itu, seyogyanya pengelolaannya diserahkan kepada negara dan dan diurus oleh lembaga administrasi yang teratur.

Intervensi dalam pengelolaan zakat itu bagi sebagian kalangan sangat diperlukan. Muhammad Syakir Sula, Sekretaris Jenderal Masyarakat ekonomi Syariah (MES), memberikan beberapa alasan mengapa negara harus ikut campur tangan dalam pengelolaan zakat: (1) Zakat bukanlah bentuk

charity (derma) biasa, melainkan derma yang bersifat imperatif (wajib). Pemungutan zakat dapat dipaksakan sebagaimana tersebut dalam surat al-Taubah ayat 103. Negaralah satu-satunya otoritas yang mampu melakukan tindak pemaksaan tersebut, (2) Potensi zakat yang dikumpulkan masyarakat sangat besar. Hanya saja, zakat yang berhasil dikumpulkan dari masyarakat jauh lebih sedikit dari yang seharusnya. Optimalisasi zakat hanya dapat dilakukan apabila dikelola oleh lembaga atau departemen di pemerintahan, (3)Zakat dapat membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Potensi zakat yang besar dan sasaran distribusi zakat dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional, (4) Intervensi pemerintah dapat membantu efektivitas penyaluran dana zakat dan pencapaian tujuan zakat, khususnya peningkatan taraf hidup masyarakat dan (5) Masuknya zakat ke dalam kontrol negara mengurangi potensi korupsi karena petugas pajak atau aparat negara akan

bertindak lebih hati-hati dalam mengelola uang negara.27

Sebagian umat Islam ada juga yang berpandangan bahwa, konsep zakat dalam ajaran Islam merupakan kewajiban yang kini dikenal sebagai pajak. Islam datang dan menawarkan konsep pajak sebagai zakat. Pajak dalam makna zakat dalam pandangan Islam bukan untuk penguasa atau negara tapi untuk rakyat kecil. Dalam konteks pajak sebagai zakat penguasa atau negara harus

melayani rakyatnya yang dalam al-Qur’an disebut delapan golongan (ashnaf tsamaniyah). Dana

yang dipungut harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Jika aparatur dan birokrasi negara dibiayai dengan uang pajak, maka aparatur dan birokrasi negara itu harus melakukan pelayanan yang maksimal dan tanpa pandang bulu terhadap rakyat. Karena itu jika pemerintah dalam suatu negara telah mewajibkan pajak, maka tidak ada lagi keharusan untuk menunaikan kewajiban zakat. Yang perlu dilakukan kemudian adalah memberi ruh zakat kepada pajak, yakni berniat zakat ketika membayar pajak. Ruh zakat yang masuk ke dalam pajak akan memaksa pemerintah untuk memaknai ulang pandangannya tentang kewenangannya dalam memungut pajak. Kewenangan itu merupakan amanah dari Tuhan dan harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun saat di akhirat kelak.

Argumen semacam itu menjadi titik tolak untuk menegaskan bahwa ada persamaan esensi antara zakat dan pajak. Pada masa Rasulullah, pajak dirupakan dalam bentuk zakat, demikian pula pada masa khalifah-khalifah setelah beliau. Sementara itu, pada masa sekarang pajak telah berfungsi secara efektif sebagai sumber pendapatan negara. Persoalannya tinggal bagaimana meletakkan zakat dalam konteks sistem pajak yang telah mapan tersebut. Pilihan yang masuk akal adalah mengembalikan fungsi zakat sebagai bentuk pajak sehingga ketika umat Islam sudah membayar

26Ibid., hal. xxiv-xxvi

27Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hal. 50. Lihat pula uraian

senada dalam M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq, Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 83-85

(9)

pajak, kewajiban zakatnya gugur. Namun disadari pula bahwa zakat punya dimensi keagamaan, sementara pajak tidak selalu punya dimensi keagamaan. Karena itu, pajak harus diisi dengan nilai keagamaan, khususnya bagi umat Islam agar ia bisa memainkan pula peran sebagai zakat.

Di pihak lain, sebagian umat Islam tetap melihat ada jurang terbentang antara zakat dan pajak. Ada berbagai alasan yang sulit untuk dipertemukan jika ingin pajak memainkan peran yang dimiliki oleh zakat. Menurut Daud Ali, ada beberapa aspek yang bisa digunakan untuk menunjukkan

perbedaan antara zakat dengan pajak, antara lain: 28 (1) Zakat adalah kewajiban agama yang

ditetapkan Allah, sedangkan pajak adalah kewajiban warga negara yang ditentukan oleh pemerintah, (2) Wajib zakat adalah orang-orang Islam, sedangkan yang wajib membayar pajak tidak hanya orang-orang Islam saja, tetapi semua warga negara dan orang-orang asing tanpa memandang agama yang dipeluknya, (3) Penerima zakat sudah tertentu kelompoknya, sedangkan yang berhak menikmati pajak adalah semua penduduk yang ada dalam suatu negara, (4) Sanksi tidak membayar zakat adalah dosa, karena tidak memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan sanksi tidak membayar pajak hanya denda atau hukuman saja dan (5) Zakat tidak mungkin dihapuskan karena merupakan rukun Islam (ketiga), sedangkan pajak mungkin saja diganti atau dihapuskan tergantung pada pertimbangan pemerintah dan keadaan keuangan negara.

Sementara itu, Heri Sudarsono menyusun aspek-aspek perbedaan antara zakat dan pajak dalam

satu tabel. Perbedaan zakat dan pajak menurut Heri Sudarsono dapat dilihat pada tabel 1 berikut:29

Tabel1 Tentang Perbedaan Zakat dengan Pajak

Zakat Pajak

· merupakan kewajiban agama dan · merupakan kebijakan ekonomi yang diterapkan

merupakan suatu bentuk ibadah untuk memperoleh pendapatan bagi pemerintah

· diwajibkan kepada seluruh umat Islam · dikenakan kepada seluruh masyarakat tanpa

saja di suatu negara mempertimbangkan agama, maupun ras

· kewajiban agama bagi umat Islam · dapat ditangguhkan oleh pemerintah yang berkuasa

yang harus dibayar dalam keadaan seperti apapun

· sumber dan besar zakat ditentukan · besarnya pajak dapat diubah dari waktu ke waktu

berdasarkan kitab suci Alquran dan berdasarkan keperluan pemerintah keperluan

sunnah dan tidak boleh diubah oleh pemerintah suatu negara

seseorang maupun pemerintah

· butir-butir pengeluaran dan orang - · pembelanjaan pajak biasa dapat diubah atau

orang yang berhak menerima harta dimodifikasi menurut kebutuhan pemerintah

zakat juga dinyatakan oleh Alquran dan sunnah. Zakat diperoleh dari orang berharta dan diterima kepada golongan yang ditentukan Alquran dan al-hadits

· zakat dikenakan bukan pada uang · pajak dikenakan terhadap uang

saja tetapi juga terhadap barang komersial, hasil pertanian, hasil pertanian, ternak, barang tambang, daornamen

(10)

Pandangan kedua ini tampaknya masih menjadi pandangan dominan di kalangan umat Islam. Banyak pihak yang bersemangat untuk menunjukkan perbedaan antara zakat dengan pajak, termasuk Wahbah Zuhayli dan Yusuf al-Qardlawi. Umumnya ulama Islam tidak memperbolehkan penyatuan pajak dan zakat dalam prosentase yang harus dibayarkan. Umat Islam tetap diwajibkan membayar

zakat apabila telah memenuhi syarat dan juga membayar pajak sebagai kewajiban dari negara.30

Di samping itu, pajak lebih menekankan kepada aspek ekonomi. Hubungan perpajakan, menurut Dawam Rahardjo, adalah hubungan yang didasarkan atas perhitungan ekonomi. Pajak ditarik karena pemerintah membutuhkan uang untuk membayar pengeluaran yang terjadi akibat pemerintah menyediakan berbagai fasiltas kepada masyarakat. Meskipun pajak juga mengandung nilai moral, yaitu untuk menolong kelompok masyarakat yang kurang mampu dan untuk menciptakan keadilan

sosial, tetapi itupun dilaksanakan berdasarkan pertimbangan ekonomi yang rasional.31

Sementara itu, zakat ditarik dengan satu paket ketentuan yang tidak mungkin dilanggar, seperti

dalam hal ragam benda yang wajib dizakati, nisab, prosentase, dan mustahiq-nya. Oleh karena itu,

zakat diatur tidak murni berdasarkan rasionalitas, melainkan juga ada nilai kepatuhan dan nilai

ta’abbudi. Nilai ta’abbudi itulah yang membuat perhitungan zakat tidak menekankan aspek ekonomi semata, melainkan aspek keagamaan.

Kedua argumentasi di atas, baik yang mendukung integrasi zakat ke dalam pajak atau yang tetap memposisikan pajak dan zakat sebagai dua hal yang berbeda, saat ini sedang berebut untuk memenangkan narasi masing-masing di tengah masyarakat muslim di Indonesia. Keduanya mewakili semangat yang sama, yaitu pengelolaan zakat yang lebih optimal, tetapi dengan strategi yang berbeda.

3. Prospek Integrasi Zakat-Pajak

Di tengah pro dan kontra mengenai relasi antara zakat dan pajak, sebenarnya pada prakteknya aturan undang sudah memberikan ruang bagi integrasi di antara keduanya. Dalam Undang-undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundah-undangan yang berlaku.” Aturan itu kemudian diperkuat dengan Ketetapan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang berlaku mulai tanggal 21 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dapat dikurangkan atas pajak penghasilan kena pajak.

Undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa zakat yang diterima mustahiq zakat tidak menjadi

obyek wajib pajak.32

Keberadaan aturan-aturan itu, menurut M. Arif Mufraini, mengimplikasikan bahwa Pemerintah sudah mengatur hubungan antara zakat dan pajak. Secara implisit aturan tersebut menegaskan bahwa zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda. Konsekuensi lainnya adalah bahwa orang muslim yang mampu dan memiliki surplus atas harta kekayaannya terkena dua beban, yaitu pajak

dan zakat, meskipun kewajiban zakat itu sendiri berdasarkan harta netto yang telah terkena pajak.33

Pemerintah sendiri sebenarnya masih terbuka untuk mengakomodasi kemungkinan zakat dihitung sebagai pengurang pajak. Akan tetapi, hal itu tidak seyogyanya menjadi pertimbangan

29Lihat Rahman Ritonga dan Zainuddin, op.cit., hal. 177

30Lihat M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah menuju Ekonomi Islam, Bandung: Mizan, 1993, hal. 175 31Lihat uraiannya dalam M. Arif Mufraini, Akuntansi Manajemen Zakat, Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 41-42

(11)

yang berlebihan dalam meningkatkan kualitas dan mutu pengelolaan zakat. Optimasilisasi zakat tidak semata bisa diselesaikan dengan ide zakat sebagai pengurang pajak. Banyak persoalan yang mengiringi ketidakoptimalan itu. Alasan-alasan perbedaan pandangan keagamaan tentang bagaimana pelaksanaan zakat, siapa yang mengelola zakat, bagaimana zakat itu dikelola merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Dengan demikian zakat sebagai pengurang pajak harus dilihat sebagai salah satu faktor saja dalam upaya optimalisasi kewajiban zakat.

Aspirasi agar zakat bisa mengurangi pajak atau mengintegrasikan zakat ke dalam pajak bukannya tidak memiliki nilai positif. Gagasan itu adalah upaya untuk mengintegrasikan praktik keberagamaan dalam sistem kenegaraan secara produktif. Akibat positif yang bisa dibawa oleh

gagasan tersebut adalah semakin menipisnya gap (kesenjangan) antara negara dengan agama,

meskipun Indonesia bukan negara agama. Hal itu pada gilirannya dapat mengukuhkan legitimasi negara Republik Indonesia dalam sudut pandang masyarakat muslim Indonesia.

Hanya saja, kalau ide penyatuan zakat dengan pajak ditu dipandang sebagai satu-satunya langkah untuk mengoptimalisasikan zakat, baik dari aspek penggalian maupun distribusi dan pengelolaannya, maka sebenarnya ada hal-hal lain yang tidak kalah penting untuk diatasi agar zakat tersebut bisa optimal. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Pandangan masyarakat yang melihat zakat mal, khususnya, hanya sekedar sebagai bentuk sedekah sosial. Kesadaran masyarakat untuk membayar zakat mal masih sangat rendah. Hal itu tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga di kalangan mereka yang dihormati sebagai tokoh agama. Tanpa adanya sosialisasi yang sistematis dan luas, maka potensi zakat tidak bisa tergali secara optimal, (2) Pengelolaan zakat selama ini oleh pemerintah belum mendapat dukungan besar dari masyarakat, terbukti dari perbandingan harta zakat yang dikumpulkan oleh BAZ dan oleh lembaga-lembaga zakat nonpemerintah (LAZ). Rendahnya dana zakat yang bisa digali oleh lembaga yang dibentuk oleh pemerintah menunjukkan masih rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengelola dana zakat. Apabila pemerintah tidak memperbaiki kinerja BAZ maka gagasan untuk menyatukan pajak dengan zakat, yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan tidak akan bisa terealisir dan (3) Perlunya pengembangan pemahaman di kalangan masyarakat mengenai tempat atau obyek bagi distribusi zakat. Banyak anggota masyarakat yang masih berpikir bahwa zakat dialokasikan untuk fakir miskin dalam hal membantu pemenuhan kebutuhan konsumtif atau untuk membantu orang-orang yang kesusahan. Pada kenyataannya, zakat bisa dipergunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui usaha produktif dan investasi sumber daya manusia di bidang pendidikan. Jadi, penyatuan pajak dengan zakat masih memerlukan prasyarat dan penyiapan infrastruktur. Tanpa adanya pembangunan pemahaman, manajemen, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan distribusi zakat terhadap wilayah yang lebih produktif, maka penyatuan zakat dan pajak itu sulit direalisasikan.

PENUTUP

Gagasan menyatukan zakat dengan pajak pada dasarnya merupakan sebuah terobosan agar tidak terjadi pembebanan ganda bagi umat Islam terhadap zakat. Hal itu didasari pemikiran bahwa pada masa awal Islam pun zakat berfungsi sebagai sumber dana bagi pelaksanaan tugas pemerintahan Islam. Alquran pun juga mengindikasikan bahwa zakat diambil oleh petugas zakat sebagai sebuah keharusan, tentunya bagi mereka yang mampu.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Ali Sakti, Kegagalan Ekonomi Global, Republika, 14 Maret 2002

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskirpsi dan Iluastrasi, Yogyakarta:

Ekonisia, Cet. II. 2004

Imam al-Mawardi, (2000), al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara

Islam, (tarjamah : Fadhli Bahri), Jakarta: Darul Falah.

M. Ali Hasan, (2006), Zakat dan Infaq, Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di

Indo-nesia, Jakarta: Kencana.

M. Arif Mufraini,(2006), Akuntansi Manajemen Zakat, Mengomunikasikan Kesadaran dan

Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana.

M. Dawam Rahardjo. (2003), Perspektif Deklarasi Makkah menuju Ekonomi Islam, Bandung:

Mizan.

Majid Ali Khan, (1983), Muhammad The Final Messenger: Lahore: Sh. Muhammad Ashraf

Publisher.

Mohammad Daud Ali, (1988), Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press.

Muhammad Akram Khan, (1989), Economic Teachings of Prophet Muhammad: A Select

An-thology of Hadith Literature on Economics, Islamabad: Interational Institute of Islamic Econom-ics.

Muhammad, (2004), Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia.

Nuruddin Muhammad Ali, (2006), Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Sayyid Sabiq, (1983), Fiqh al-Sunnah, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.

Qardawi, Yusuf, (1999), al-Siyasah al-Shar‘iyyah (Pedoman Bernegara Menurut Perspektif

Islam, tarjamah : Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran pada hakekatnya terdapat dua proses yang saling keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain yaitu proses belajar dan proses mengajar. Proses

Penelitian lanjutan mengenai treatment untuk menurunkan perilaku tidak bisa duduk tenang dan keluar dari bangku pada anak yang mengalami ADHD dengan mempergunakan

Kemudian divisualisasikan dalam bentuk karya kayu tiga dimensi dan dua dimensi dengan menggabungkan beberapa macam kayu yang memiliki warna alami seperti kayu

Sekarang ini kegiatan belajar mengajar lebih berpusat pada guru, sehingga siswa kurang memperoleh pengetahuan secara mandiri. Oleh karena itu digunakan model

masyarkat mengatakan belum, mengapa demikian, karena tanah yang telah diganti rugi itu bukan masyarakat sekarang yang mengurusnya ada dulunya Ayah mereka, mamak

pengembalian investasi atau lebih dikenal dengan nama return on investment (ROI) merupakan rasio yang menunjukkan hasil ( return ) atas jumlah aktiva yang digunakan

Saka pethikan ing ndhuwur bisa diandharake yen para paraga sajrone Serat Madujaya kuwi nduweni watek tulung-tinulung marang sasama. Senajan, ora tepung nanging yen

Kevalidan instrumen meliputi kesesuaian antara materi pembelajaran beserta tujuan pembelajaran dengan soal tes yang diberikan dan kesesuaian media gambar dengan