ta
BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
taru
ang
buletin
Hidup Harmoni
dengan Resiko
Bencana
Menata Aceh
dengan Harapan Baru
Mitigasi Bencana Tsunami
Mempertimbangkan
Faktor-faktor Geologi dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Borobudur dan Danau Toba
Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana
Respon Hijau Terhadap Perubahan Iklim
Ketika Ijin Usaha
Perkebunan-Pertambangan (IUP)
Bersinggungan Kawasan Hutan
Reklamasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil
Jelang Deadline
Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN
Penentuan Pusat-pusat Pengembangan
di Wilayah Pesisir dan Laut
Posisi Indonesia
dan Kerentanan Terhadap Bencana
Agenda Kerja BKPRN
SEPTEMBER - OKTOBER 2011
sekapur
sirih
‘Assallamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih di-beri kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi September-Oktober di tahun 2011.
Menurut analisis resiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko kematian yang tinggi dari berbagai bahaya dengan sekitar 40 persen dari populasi yang beresiko. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa, maka jumlah nominal korban yang beresiko adalah sekitar 90 juta jiwa. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di salah satu daerah hot spot bencana yang paling aktif. Pada daerah hot spot beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Keru-gian akibat aneka bencana tersebut telah mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah.
Banyaknya korban jiwa yang timbul akibat bencana alam yang terjadi setidaknya telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua terhadap pentingnya ke-beradaan ruang yang aman. Ketahanan ruang terhadap ancaman bencana alam me-mang tidak akan secara mutlak menghindarkan manusia dari bahaya maut, tetapi setidaknya akan mengurangi jumlah korban yang menderita akibat dampak ben-cana tersebut. Oleh karena itu, semua pihak diharapkan mau dan mampu mem-pertimbangkan aspek kebencanaan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Salah satu instrumen yang dinilai cukup strategis perannya dalam upaya meminimalisasi dampak bencana adalah penataan ruang. Muatan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) seharusnya sudah disesuaikan dengan kondisi daya dukung alam termasuk potensi ke-bencanaan daerah. Dalam upaya mengintegrasikan faktor keke-bencanaan dalam penataan ruang tidak hanya terletak pada memasukkan data/informasi rawan bencana saja ke dalam tahapan perencanaannya, tetapi juga meliputi aspek pemanfaatan dan pengen-dalian pemanfaatan ruang yang harus memperhitungkan manajemen bencana tersebut.
Oleh karena itu penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan faktor keben-canaan geologi, dan dalam menghadapi berbagai bencana sebagai akibat dari negara kepulauan (archipelagic state), diperlukan suatu strategi sinergis birokratis dan tek-nokratis yang mampu mengatasi masalah kebencanaan tersebut. Harapan kami, pena-taan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam keterpaduan perencanaan dan aksi terkait kebencanaan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders). Lebih lanjut, pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat mengontrol penerapan prinsip-prinsip pembangunan dan pengembangan wilayah daerah rawan bencana.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sojan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja
PENASEHAT REDAKSI
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
PEMIMPIN REDAKSI
Aria Indra Purnama, ST, MUM.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Agus Sutanto, ST, M.Sc
REDAKTUR PELAKSANA
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.
SEKRETARIS REDAKSI
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc
STAf REDAKSI
Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ir. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST
dari
redaksi
Salam hangat bagi pembaca setiaBuletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-lima. Pada edisi kali ini Butaru mengangkat tema Hidup Harmoni dengan Resiko Bencana. Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mengangkat tema Bencana dan Upaya Adaptssi dan Mitigasi.
Setidaknya ada 3 (tiga) kelompok ancaman bencana alam yang dapat menyerang wilayah Indonesia, antara lain: bencana geologis yang disebabkan lokasi Indonesia terletak di daerah cincin api (ring of ire) sehingga sangat rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi; bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan oleh rezim curah hujan yang tinggi, dimana bencana ini diindikasikan dari berulangnya bencana banjir dan kekeringan ; kemudian bencana deforestasi dan kebakaran yang diakibatkan oleh terjadinya penggundulan hutan baik untuk keperluan ekonomi maupun industri.
Salah seorang Ahli Bencana di Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk karakter bangsa yang mampu merespons bencana dengan benar. Sifat-sifat kearifan lokal yang terjadi secara turun temurun juga harus dipertahankan dalam upaya menuju harmonisasi dengan bencana. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama diantara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta serta masyarakat. Untuk bersama-sama berkolaborasi memformulasikan dan mengimplementasikan rencana tindak (action plan).
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu memuat substansi tentang pentingnya instrument pencegahan resiko dan mitigasi bencana alam, terutama dalam mendukung elemen-elemen dalam manajemen bencana seperti antara lain Early Warning System (EWS), Pemetaan dan Penilaian Resiko, Prevensi dan Reduksi, Manajemen Resiko, dan Rekonstruksi.
Lebih lanjut, pemetaan rawan bencana menjadi mutlak untuk diperlukan dalam merumuskan rencana struktur dan pola ruang. Namun kiranya perlu dipertimbangkan kajian-kajian kebencanaan, seperti misalnya: kajian kerentanan bencana, yang menilai perbedaan suatu wilayah dengan kriteria indeks kerentanan tertentu sehingga intensitas kegiatan di dalam kawasan tersebut akan diatur sedemikian rupa untuk meminimalisasi biaya resiko yang muncul dari bencana yang datang.
Proil Wilayah pada edisi ini menampilkan Kota Aceh dan wilayah sekitarnya yang didalam perencanaan tata ruang wilayah maupun program pembangunannya telah mengintegrasikan muatan bencana. Buletin ini juga mengangkat tulisan Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, KKP, Dr. Ir, Subandono Diposantono, yang menguraikan tentang bencana tsunami dan strategi serta rencana tindak dengan pengembangan sabuk hijau pantai (greenbelt). Proil tokoh kali ini menampilkan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana zSyamsul Maarif yang akan mengungkapkan berbagai pemahaman dan gagasan beliau dalam terwujudnya penanganan bencana yang tangguh.
Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan terkait perlunya pemahaman semua pihak terutama masyarakat bahwa bangsa Indonesia hidup di wilayah rawan bencana. Sehingga kebijakan dan upaya mitigasi, penyelamatan dan evakuasi harus disusun bersama-sama.
Akhir kata, tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dan dibidangnya, sehingga diharapkan dapat memperkaya wawasan pembaca .
Dr. Ir, Subandono Diposantono
TOPIK UTAMA
Mempertimbangkan Faktor-faktor Geologi dalamPenyusunan Rencana Tata Wilayah
Oleh: Sari Bahagiarti Kusumayudha
TOPIK UTAMA
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur dan Danau Toba
Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana
Oleh: Ir. Iman Soedrajat MPM
TOPIK LAIN
Respon Hijau Terhadap Perubahan Iklim
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Ketika Ijin Usaha Perkebunan-Pertambangan (IUP)
Bersinggungan Kawasan Hutan
Oleh: Sri Sultarini Rahayu
TOPIK LAIN
Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Penentuan Pusat-pusat Pengembangan
di Wilayah Pesisir dan Laut
Oleh: Ir. Kartika Listriana
WACANA
Posisi Indonesiadan Kerentanan Terhadap Bencana
Oleh: Redaksi Butaru
AGENDA
Agenda Kerja BKPRN September - Oktober 2011
Dr. Syamsul
Maarif
MUNGKIN JIKA ada sosok yang begitu identik dengan bencana di Indonesia saat ini adalah Mayjen Purn. Syamsul Ma’arif, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kinerja BNPB selama di bawah kepemimpinan Syamsul Ma’arif memang cukup menonjol dalam memberikan bantuan kepada warga bangsa yang tertimpa bencana alam. Misalnya, BNPB berperan aktif dan konstruktif dalam manajemen kebencanaan erupsi Gunung Merapi, erupsi Gunung Bromo di Jatim, bencana gempa bumi di Sumbar, dan bencana lainnya.
Menurutnya, kendati Indonesia sebagai negara dilingkupi lingkungan alam yang rawan bencana, namun hakikatnya bencana itu tak ada. Yang ada adalah hazard (bahaya). Karenanya, strategi mempersiapkan warga yang rawan bencana itu jauh lebih penting dibanding pemberian bantuan dalam kondisi darurat.
Kepala BNPB ini adalah putera kelahiran Kediri, Jawa Timur. Jabatan kepala BNPB dianggapnya seperti karir ke dua, sementara karir pertamanya adalah di jalur militer. Setelah lulus dari Akmil Magelang tahun 1973, Syamsul pernah meniti sejumlah jabatan penting di lingkungan TNI AD maupun Mabes TNI. Syamsul yang juga dikenal sebagai jenderal santri ini pernah menjabat Danrem Bhaskara Jaya Surabaya, Kasdam V/Brawijaya, Kapuspen TNI di era reformasi, dan jabatan lainnya. Setelah pensiun dari militer, Syamsul dipercaya memangku jabatan kepala BNPB.
Beberapa kali menerima penghargaan antara lain Bintang Mahaputera Utama dari pemerintah yang disematkan Presiden SBY di Istana Negara dan Nusa Reksa Pratama dari civitas akademika Universitas Gadjah Mada yang diserahkan oleh rektor UGM, tidak mengubah sifat beliau yang rendah hati dan ingin selalu berbuat yang terbaik.
Syamsul yang meraih gelar doktor (S3) Sosiologi Militer dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta ini, menjelaskan, kunci penting dalam manajemen kebencanaan adalah pendekatan M to M artinya pendekatan yang berhulu (awal) dari manusia dan berakhir (hilir) manusia pula.
Berikut hasil wawancara terkait kinerja BNPB dan apa yang harus dilakukan BNPB bersama-sama stakeholder lainnya terutama masyarakat yang terkena risiko langsung oleh bencana.
Hidup Harmoni
dengan Resiko Bencana
Ketua Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
proil tokoh
Apa aktivitas Anda sebelum menjabat Kepala BNPB, serta bagaimana latar belakang bergabungnya di BNPB ?
Latar belakang saya militer, pangkat terakhir saya Mayor Jenderal, dan jabatan saya yang terakhir adalah Aster Kasum TNI. Pada saat kejadian bencana di Aceh, saya sudah menjabat di sana dan tentu saja institusi saya terlibat untuk penanganan tsunami. Begitu pula di Jogja. Kemudian pada tahun 2006 ketika ada kebakaran hutan, institusi saya membantu untuk mengendalikan bencana asap pada waktu itu di Kalimantan maupun di Sumatera.
Dan akhirnya pada saat menjelang pensiun, saya diperintahkan Bapak Presiden untuk menangani jabatan yang kosong, yaitu Kepala Pelaksana Harian Bakornas, yang waktu itu ketuanya Bapak Wapres. Nampaknya pada tahun 2005, masyarakat yang diwakili oleh DPR menganggap bahwa sistem penanggulangan bencana itu kurang komprehensif atau belum punya sistem penanggulangan bencana. Saat kejadian tsunami tahun 2005, ada inisiatif dari DPR untuk membuat undang-undang yang di menyatakan perlunya ada satu badan menangani masalah bencana.
Maka dalam UU tersebut diamanatkan bahwa pemerintah pusat membentuk
BNPB, dan pemerintah daerah membentuk BPBD. Maka kebencanaan adalah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) itu diatur di bawah gubernur dan bupati, bukan lembaga vertikal di bawah BNPB (pusat).
Artinya?
Sepertinya kata-kata itu perlu dinyatakan secara eksplisit. Dengan otonomi daerah maka ada kabupaten, juga provinsi. Jadi bila ada penanganan yang dirasa kurang tegas dan sebagainya, itu tergantung kepala daerahnya, jadi bupati misalnya yang seharusnya mengendalikan. Bahkan perjalanan UU ini membutuhkan waktu yang sangat lama menurut saya. Sejak tahun 2005 UU disusun, baru dua tahun kemudian UU itu diterbitkan/disahkan. Sebagai konsekuensinya, baru satu tahun kemudian, yaitu pada 2008, BNPB ini dibentuk.
Jadi saya itu hanya tinggal pindah saja, yang tadinya Kepala Pelaksana Harian sebagai eselon I, lalu saya menjadi Kepala BNPB yaitu setingkat Menteri sesuai yang diamanatkan dalam UU tersebut. Itu pengalaman saya dari sebelum menjabat sampai saat menjabat dengan serangkaian kegiatan yang dialihstatuskan dari militer menjadi sipil.
Tugas apa yang diamanatkan Presiden ?
Perintah Presiden tentang penanggulangan bencana secara komprehensif, ya, yang tadi itu, setiap bencana harus ditangani oleh Pemda, baik Pemda Kabupaten maupun Kota. Pemerintah Provinsi juga mendapat tugas untuk merapat ke kabupaten dengan mengerahkan sumber daya yang ada di provinsi termasuk kabupaten dan kabupaten tengga untuk dikerahkan dalam membantu kabupaten yang terkena bencana.
Kemudian pusat mendapat tugas untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ekstrim, yang tidak dapat mereka penuhi. Katakanlah misalnya dana mereka terbatas atau peralatannya terbatas. Jadi dalam konteks ini hubungannya bukan vertikal, karena tiap instansi pemerintah diberi tugas yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Jadi walau Pemda yang diberi tugas mengatasi masalah kebencanaan, provinsi juga jangan diam saja, karena dia juga punya tugas.
Contohnya pada bencana di Pesisir Selatan-Sumatera Barat. Pemerintah pusat datang untuk mengemban amanat Presiden, yakni untuk menyelesaikan hal ekstrim yang tidak bisa diatasi daerah yang bersangkutan. Jadi konkritnya, jika terjadi bencana kami akan datang, tapi tidak untuk memimpin, yang memimpin tetap bupati. Kalau instansi ini bersifat vertikal, maka begitu datang kami akan langsung ambil alih. Tapi ini tidak. Tim kami berada di sana untuk mengikuti rapat bupati dan mendengarkan apa keperluan mereka. Jadi apa yang bisa diatasi kabupaten, diatasi kabupaten dan apa yang bisa diatasi provinsi, akan diambil provinsi.
Makanya saya katakan konteksnya tidak vertikal. Kami semua memiliki tugas. Misalnya untuk menyalurkan logistik ke tempat-tempat yang terputus itu membutuhkan helikopter. Maka kami akan membawakan helikopter, seperti yang kami lakukan di Pesisir Selatan kemarin.
Saat kejadian tsunami tahun 2005, ada inisiatif
dari DPR untuk membuat undang-undang yang
Apa visi dan misi BNPB, berikut Tupoksinya?
Berdasarkan pengalaman membantu korban bencana, misalnya di Muko-Muko, daerah tersebut kehabisan tenda sehingga terpaksa membeli dari Bandung. Kami yang membeli tetapi yang membagikan tetap Bupati. Pada saat kejadian gempa di Padang tahun 2007/2009, mie instan menjadi langka sehingga kami terpaksa mendatangkan dari Palembang dan sekitarnya. Dari sini kami simpulkan, penanganannya tidak bisa sentralistik. Jadi ide besar reformasi bahwa pemerintah daerah bertanggungjawab melindungi masyarakatnya benar-benar diwujudkan di sini, karena memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat adalah tanggung jawab mereka, kecuali kalau dia ‘jatuh’. Contohnya waktu gempa bumi tahun 2006 di Jogja. Bupati Bantul sudah pasrah, karena semuanya hancur termasuk keluarganya seperti halnya di Aceh. Saat itu barulah kami benar-benar ambil alih sampai mereka mampu mengurusnya sendiri.
Sebenarnya strategi dan ideologi kemerdekaan Indonesia sangat bagus. Kita tidak akan menghilangkan kewibawaan pemerintah daerah yang dipilih rakyatnya. Kalau semuanya dari pusat dan bupatinya diam saja, lalu bupati melindungi apa? Ketika suatu provinsi terkena bencana bukan berarti seluruh provinsi terkena, pasti ada kabupaten-kabupaten yang selamat. Misalnya bencana tsunami Aceh yang memakan korban sekitar 200 ribu orang meninggal. Ternyata kabupaten yang sebelah tengah dan timur masih survive. Begitu juga apabila kabupaten terkena bencana. Pasti tidak seluruh kabupaten
menderita langsung, ada beberapa kecamatan yang tidak kena. Seperti pada bencana di Wasior. Sebenarnya hanya kecamatan di Teluk Wondama yang terkena bencana, bukan seluruh kabupaten, tapi ributnya ga ketulungan.
Dalam wawancara ini saya ingin meluruskan agar tiap kabupaten diberdayakan. Bahwa dalam pemberdayaannya kami mengintervensi itu benar, tetapi hanya pada dosis tertentu. Karena Indonesia, khan, penuh bencana. Kalau selalu diurusi pusat, kapan mereka kuat?
Saya menuju ke visi itu, karena visi kebencanaan kita adalah ‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi Bencana’. Artinya seluruh wilayah tanah air harus tangguh.
Strategi untuk mewujudkan Visi seperti apa?
Salah satu strategi untuk menuju ketangguhan bangsa adalah membuat masyarakat di daerah menjadi tangguh. Ketangguhan itu kami deinisikan paling tidak dalam empat elemen: Pertama, masyarakat dibilang tangguh apabila memiliki daya antisipasi. Tentu tetap kami bantu, misalnya BMKG memberikan informasi; Ke dua, masyarakat harus punya daya pengurangan risiko dengan cara menghindari maupun menolak. Misalkan kalau sudah tahu daerah mereka akan terkena limpahan air jika tanggul jebol. Maka langkah penolakan bencananya adalah menyiapkan bronjong atau pasir yang ditumbuk, atau menyiapkan pompa air kalau terjadi banjir. Bisa juga melakukan pengurangan risiko dengan menghindar kalau sudah tau banjir
Saya menuju ke visi itu, karena
visi kebencanaan kita adalah
‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi
Bencana’. Artinya seluruh wilayah
tanah air harus tangguh.
akan menerobos ke permukiman; Ke tiga, adaptasi. Misalnya masyarakat 10 kabupaten yang dilewati Sungai Bengawan Solo sudah paham bahwa setiap tahun wilayahnya terkena banjir. Mereka sudah tau apa adaptasinya. Selain itu juga ada early warning system yang dibuat untuk adaptasi aliran lahar dingin sekarang ini; Ke empat, masyarakat mempunya daya lenting atau ‘Bounce Back’. Untuk mendukung masyarakat untuk mempunyai daya lenting kita harus bertanya, bantuan-bantuan itu membuat dia memiliki daya lenting atau bergantung? Kalau seandainya ada intervensi – katakanlah dengan alasan solidaritas bangsa – itu bagus dan tetap kita pelihara. Tapi jangan sampai solidaritas itu menjadi suatu ketergantungan yang merendahkan atau mengurangi daya ‘bounce back’ mereka.
Visi itu harus kita wujudkan dalam hal yang konkrit. Jadi saya juga menghimbau untuk menerima bantuan melalui satu pintu, BPBD setempat atau BNPB. Terkadang orang ingin memberikan bantuan sendiri karena tidak percaya. Sebaiknya tetap ditunjuk satu tempat supaya tidak terjadi seperti yang terjadi di Jogja – bantuan banyak datang lewat kereta api dan menumpuk di sana. Posko ingin mengambil tidak berani karena tidak ada alamatnya. Akhirnya bantuan menumpuk dan masyarakat saling menyalahkan. Harusnya bantuan dialamatkan ke posko BNPB atau BPBD karena undang-undang mengatakan seperti itu.
Upaya pengurangan resiko
bencana dikembangkan
melalui usaha-usaha
peningkatan ketahanan
masyarakat dalam menghadapi
ancaman bencana.
proil tokoh
akses, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, masyarakat dan para pemangku kepentingan terkait di Indonesia belum sepenuhnya siap dalam menghadapi bencana sehingga mengakibatkan tingginya korban jiwa maupun kerugian material yang ditimbulkan oleh bencana. Upaya pengurangan resiko bencana dikembangkan melalui usaha-usaha peningkatan ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Berbagai kebijakan dan implementasi penanggulangan bencana telah dilakukan. Misalnya, di bidang ilmu pengentahuan dan teknologi telah dikembangan berbagai teknologi peringatan dini, seperti Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) yang mampu menyampaikan informasi peringatan dini delapan menit setelah gempa bumi. Demikian pula peringatan dini banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem dan sebagainya. Iptek tersebut dilakukan bersamaan dengan sosialisasi dan pengembangan kapasitas. Namun ternyata jumlah korban bencana tetap banyak seperti yang terjadi tsunami di Mentawai pada Oktober 2010, erupsi Merapi di Yogyakarta dan di Jawa Tengah pada Oktober-November 2010 dan sebagainya.
Bagaimana bentuk kelembagaan BNPB dengan BPBD, tugas-tugas apa saja yang membedakan kewenangan masing-masing (pusat dan daerah)?
Sama seperti instansi lain (misalnya KemenPU dengan dinas ke-PU-an di daerah), tetapi tidak vertikal. BNPB berkoordinasi terkait permasalahan teknis sementara BPDB bekerja langsung di lapangan. Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa BNPB dan BPBD tidak vertikal. Baik buruknya kinerja BPBD itu tergantung kepada pimpinan daerahnya masing-masing, misalnya bupati.
Lebih konkritnya?
Jadi misalnya ada BUMN mau membantu, maka tolong bantuannya dikoordinasikan dengan kami BNPB dan kalau bisa bantuan itu berdasarkan kebutuhan permintaan daerah. Terkadang bantuan menjadi mubazir karena tidak butuh. Saya mengerti itu merupakan solidaritas, tapi mari bekerjasama dengan BNPB. Kalau tidak percaya bantuan akan sampai silakan membuat posko sendiri, tetapi di bawah pengendalian kami supaya perhatian kepada masyarakat merata. Itu supaya tidak menimbulkan kesenjangan.
UU memang mengamanatkan kepada kami untuk menghitung dana yang disumbangkan. BUMN pun hendaknya tetap melapor kepada kami. Ini tidak berarti kami mengambil domain kementerian lain, tetapi UU yang mengamanatkan hal itu.
Salah satu tupoksi BNPB adalah menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat. Dalam bentuk apa?
Salah satu isu yang dihadapi dalam penanggulangan bencana adalah tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat dalam menghadapi bencana masih tinggi. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain: kemiskinan, tingkat pendidikan, pengetahuan, kesadaran dan infrastruktur penunjang dan ketersediaan informasi yang mudah di
Bagaimana koordinasi
penanggulangan bencana bersama pihak-pihak lain ?
Kami sering bertanya kepada kementerian dan institusi lain, “Anda mempunyai potensi apa di sini?” Jadi kita bisa melihat potensi dan keahliannya apa. Karena kita tahu, misalnya, tidak semua pihak punya keahlian SAR. Yang mempunyai standarnya tentu Tim SAR. Dari situ dalam penanggulangan bencana kami membuat struktur organisasi yang disebut “Komando Tanggap Darurat”, dimana di dalamnya ada cluster-cluster. Misalnya cluster logistik, siapa yang termasuk di cluster itu? Sementara itu di cluster SAR ada TNI, POLRI dan relawan-relawan tapi tetap di bawah koordinasi Tim SAR. Alhamdulillah sewaktu di Yogyakarta hal itu sudah terwujud lebih bagus. Waktu di Padang sudah mulai terwujud, tapi masih kurang bagus.
Apa harapan Bapak terkait penanggulangan bencana yang terjadi di Indonesia untuk masa yang akan datang ?
Menata Aceh
Dengan Harapan Baru
Oleh: Redaksi Butaru
PADA MINGGU, 26 Desember 2004, pukul 08.20 WIB, gempa bumi berkekuatan 9.0 skala Richter mengguncang Aceh, yang terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekkah. Gempa bumi tersebut disusul gelombang tsunami yang menyapu sekitar 70% wilayah besar Aceh Darusalam, satu pertiga infrastruktur kota rusak total, dengan kerusakan berat terjadi di Meulaboh. Pusat gempa ini terletak di Samudera Hindia, lepas Pantai Barat Aceh atau kurang lebih sekitar 160 km sebelah Barat Aceh. Namun getarannya tidak hanya dirasakan di Aceh, tapi juga berdampak kepada tujuh negara seperti Sri lanka, India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia.
Sudah dapat dipastikan bencana ini menelan korban jiwa, harta benda, dan mengakibatkan kerusakan infrastruktur. Sebanyak hampir 230.000 penduduk meninggal dunia, 600.000 penduduk kehilangan tempat tinggal, 1.644 kantor pemerintah, 270 pasar, 239 pertokoan hancur, 2.732 tempat peribadatan rusak, lebih dari 1.151 sekolah dan pesantren hancur, 33 rumah sakit dan rumah bersalin musnah, 58 Puskesmas dan poliklinik ikut hancur. Selain itu diperkirakan 82% jalan dan 499 jembatan rusak total, termasuk 49 pelabuhan.
Dari kejadian tersebut terdapat daerah-daerah yang mengalami kerusakan total di antaranya yang berlokasi di Kecamatan Kuta Raja, Meuraxa, dan Jaya Baru. Kemudian Kecamatan Syiah Kuala, Kuta Alam, Baiturrahman hancur
Sumatera. Untuk daerah Aceh, patahan tersebut ditemui di Lembah Alas, Lembah Tangse, dan Lembah Krueng Aceh, yaitu daerah yang tidak lepas dari ancaman gempa bumi dan tanah longsor.
Kondisi ini tentunya tidak membuat Pemerintah Nasional dan Pemerintah Daerah berdiam diri. Ancaman bencana tersebut memicu Pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat, mengambil keputusan untuk menyelamatkan Aceh dari ancaman bencana yang akan terjadi dengan waktu yang tidak dapat dipastikan.
RTRW Aceh Berbasis Bencana
Penyusunan RTRW yang berbasis rawan bencana sebagaimana amanat yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terkandung di dalam tujuan Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan di dalam RTRW Aceh. Kata aman dan nyaman tersebut identik dengan makna bebas dari ancaman bencana.
Selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan penegakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana.
Terdapat perbedaan jelas antara RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa dan tsunami. Saat ini konsentrasi pembangunan diarahkan menjauhi lokasi pantai yaitu ke bagian selatan Kota Banda Aceh. Selain itu, pertumbuhan penduduk di lokasi sekitar pantai juga dibatasi – hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Pembatasan pemukiman di sekitar pantai tersebut menyebabkan 700 rumah penduduk dipindahkan ke arah selatan Kota Banda Aceh. Jalur-jalur yang berfungsi sebagai bufer pantai direncanakan untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai juga terlihat pada peta pola ruang RTRW Kota Banda Aceh berikut.
Pemda bergerak cepat
menyusun RTRW yang
mengakomodir isu adaptasi
dan mitigasi bencana
yang bertujuan agar pola
pengembangan ruang ke
depannya dapat menjamin
keamanan, kenyaman,
dan menyediakan ruang
sebagai jalur, maupun area
penyelamatan penduduk
ke tempat yang lebih aman
apabila terjadi bencana.
sebagian. Sementara adapula kecamatan yang masih dalam kondisi baik terdapat seperti Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya.
Tidak berlama-lama dalam kesedihan dan keterpurukan – dengan bantuan dari dalam maupun luar negeri, tekad dan semangat gotong royong –, masyarakat Aceh bangkit kembali dengan harapan baru, walapun akan selalu ada trauma yang menghantui masyarakat Aceh. Hal ini wajar, karena bencana saat itu merupakan bencana terdasyat sepanjang sejarah yang dicatat oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS).
Dilihat dari letak geologisnya, Aceh berada pada zona pertemuan dua lempeng goetektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Benua Eurasia (bergerak ke tenggara dengan kecepatan sekitar 0,4 cm/tahun) dan Lempeng Samudra Indo-Australia (bergerak ke utara dengan kecepatan sekitar 7 cm/tahun). Gerakan lempeng tersebut telah menghasilkan bentuk gabungan yang membentang sepanjang Pulau
Sudah saatnya Indonesia khususnya Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam bentuk peringatan melalui Peta Rawan Bencana sebagai alat informasi untuk dapat disebar luaskan ke masyarakat terhadap kerentanan terhadap kebencanaan, seperti halnya di Negara-negara maju dan berkembang seperti Jepang yang memiliki tingkat kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi bahkan telah menyediakan informasi berbentuk teknologi interaktif dan dapat diakses masyarakat. Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga ahli di bidang kebencanaan. Maka meski tidak bisa dihindari dan dipastikan kapan terjadinya, akan tetapi para akademisi dan ahli dapat memberikan trobosan untuk mengurangi dampak bencana.
Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BNPBA), Lembaga Riset Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dilopori dari Universitas Syah Kuala (UNSYIAH), UNDP, Multi Donor Thrust fund (MDf), dan BAPPEDA Aceh bekerja sama untuk menyusun Peta Resiko Bencana Aceh bertajuk Aceh Disaster Risk Map (ADRM) melaui satu program, yaitu Disaster Risk Reduction Aceh (DRR-A). Pada tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Aceh telah mengesahkan Dokumen ADRM yang siap untuk disebarluaskan ke masyarakat Aceh dan lainnya untuk dijadikan panduan dan referensi, sebagaimana yang Pemda yang telah mengakomodir peta rawan bencana tersebut ke dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.
Indonesia mungkin belum dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepang yang telah menciptakan berbagai teknologi untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Akan tetapi apa yang telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contoh dan referensi bagi Indonesia untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana seperti Aceh.
Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh
kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan uluran
tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan
tenaga ahli di bidang kebencanaan.
Peta pola ruang RTRW Kota Banda Aceh
Bangunan Penyelamat
Selain menyebarluaskan informasi mengenai kawasan rawan bencana dan penyusunan RTRW yang berbasis kebencanaan, Pemda bersama stakeholder terkait juga telah mendirikan prasarana berupa bangungan pelindung dari gelombang tsunami dan gempa yang dikenal dengan sebutan escape building (gedung penyelamatan) yang dapat dijadikan sebagai bangunan pelindung dan tempat evakuasi jika terjadi bencana.
Saat ini terdapat 11 escape building berkualitas yang dibangun dengan konstruksi tahan gempa sampai dengan kekuatan 9,0 skala Richter. Bangunan dibuat berketinggian 18 meter agar tidak dijangkau gelombang tsunami dan terdapat sudut yang berupa pilar besar pelindung untuk melindungi korban dari hempasan ombak tsunami. Satu escape building ini dapat menampung sekitar 500 pengungsi. Escape building ini tidak hanya dipergunakan jika terjadi bencana saja, akan tetapi kesehariannya gedung ini juga berfungsi sebagai kantor TDMRC, pusat kegiatan masyarakat yang menyediakan ruang pertemuan, dan fasilitas olahraga.
Bangunan penyelamat tersebut tersebar di Aceh, di antaranya di Deah Glumpang, Deah Lambung, Deah Teungoh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bireun, Kota Lhoksuemawe, dan Pidie. Selain itu ada juga Tsunami Memorial Building di Kota Sigli, Museum Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh, dan Gedung Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dikelola oleh Universitas Syiah Kuala, yang sehari-harinya berfungsi sebagai perkantoran.
Mengutip sambutan Kepala Bappeda Aceh di dalam dokumen ADRM, perubahan paradigma juga merupakan suatu hal yang tak kalah penting untuk mewujudkan pembangunan Aceh ke depannya. Penanganan kebencanaan di Aceh yang cenderung masih bersifat tanggap darurat diharapkan menjadi kesiapsiagaan, sehingga Aceh menjadi wilayah yang tangguh dengan memahami ancaman yang ada dan mau berperan aktif berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengambil langkah di dalam pengurangan resiko bencana.
Hikmah Tsunami
Walaupun meninggalkan duka yang sangat mendalam, akan tetapi kejadian tsunami telah menjadikan Aceh sebagai salah satu kunjungan wisata yang dilirik para calon wisatawan di nusantara, bahkan mancanegara. Selain tujuan wisata religi, banyak orang yang ingin mengunjungi Aceh karena ingin ikut merasakan detik-detik terjadinya tsunami dengan mengunjungi beberapa situs tsunami. Salah satunya adalah Kapal Tsunami Aceh yang tersangkut di atap rumah penduduk – yang pada saat itu menyelamatkan 59 orang di atasnya. Ada juga PLTD Apung milik PERTAMINA (salah satu pembangkit listrik untuk Banda Aceh, Aceh Besar, dan sekitarnya) dengan berat 2.600 ton yang terseret sekitar ± 4 km dari Pelabuhan Ulee Lheue. Kuburan Massal Siron dan Museum Tsunami pun tidak luput dari kunjungan wisatawan yang ingin banyak belajar dan mengenang kejadian tsunami saat itu. Situs-situs tsunami merupakan situs resmi yang dikelola oleh Pemda, bahkan Pemerintah Pusat seperti Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengelola Situs Kapal Tsunami Aceh.
Namun hikmah dan pelajaran terbesar yang diperoleh dari kejadian Tsunami 26 Desember 2004 lalu adalah bersatu dan bangkit kembalinya seluruh masyarakat Aceh, walaupun saat itu masih terjadi konlik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu berbagai ahli kebencanaan, khususnya di bidang tsunami dan gempa bumi, bersatu untuk memberikan langkah yang tepat untuk Aceh dalam menghadapi ancaman kebencanaan untuk ke depannya. (mpb)
Escape Building Aceh Jaya - Calang
Gedung TDMRC Kota Banda Aceh – Gampong Pie
Escape Building Kota Banda Aceh - Meuraxa
Escape Building Museum Tsunami
MitigAsi
bencAnA
tsunAMi
Oleh: Dr. Ir, Subandono DiposantonoDirektur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan
paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup
di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.
Kebijakan Kementerian KKP dalam Mitigasi Bencana Tsunami
Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia merupakan kawasan pesisir dan kepulauan, maka pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah bagaimana kebijakan dan komitmen Indonesia dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menjawab pertanyaan ini, kita bisa berlega hati mengingat negara sudah memiliki komitmen yang jelas dalam penanggulangan bencana, yaitu dengan dimasukkannya lingkungan hidup dan pengelolaan bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN II. Lebih lanjut, respon penanggulangan bencana di tingkat nasional mulai dilakukan dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sejalan dengan komitmen internasional Hyogo framework for Action bagi pengurangan risiko bencana masyarakat dunia 2005 - 2015.Negara sudah memiliki
komitmen yang jelas dalam
penanggulangan bencana
dengan dimasukkannya
lingkungan hidup dan
pengelolaan bencana
sebagai salah satu prioritas
pembangunan nasional
dalam RPJMN II.
WILAYAH PESISIR dan pulau-pulau kecil Indonesia selain menyimpan potensi kekayaan alam juga memiliki potensi bencana yang besar. Beberapa tahun belakangan ini wilayah pesisir Indonesia didera bencana gempa bumi dan tsunami, antara lain terjadi di Garut, Yogyakarta, Sumatera Barat, dan lain-lain. Setahun yang lalu, Indonesia kembali berduka dengan terjadinya bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, yang menelan 509 korban jiwa meninggal. Tsunami Jepang pada 11 Maret yang lalu pun bahkan menimbulkan kerusakan rumah dan sarana prasarana di kawasan Jayapura, Papua.
Berdasarkan data, tercatat 110 kali tsunami di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1600 sampai dengan September 2011. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai kejadian bencana tersebut tidaklah sederhana mengingat konsentrasi
pembangunan yang tinggi, berbagai sumberdaya dan jasa lingkungan di wilayah pesisir yang berkontribusi penting bagi penghidupan masyarakat, serta terbatasnya akses transportasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pesisir Rawan Tsunami di Indonesia
Perencanaan pengelolaan WP-3-K wajib memuat Mitigasi Bencana
Upaya mitigasi bencana
merupakan tanggung
jawab bersama pemerintah,
pemerintah daerah
dan masyarakat.
Selain itu, kebijakan dan program mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah diwujudkan dalam Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengaturan lebih rinci tentang mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berperan penting dalam mendorong upaya pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya mitigasi yang dimaksud antara lain berupa: pemetaan potensi bahaya, kerentanan, dan risiko bencana di wilayah pesisir; penyusunan rencana strategis, rencana zonasi; rencana pengelolaan dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat aspek mitigasi bencana; pembangunan rumah ramah bencana bagi masyarakat pesisir; konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir, peningkatan kapasitas aparatur baik pusat maupun daerah serta masyarakat melalui sosialisasi, penyadaran dan pelatihan mitigasi bencana.
Upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir di pulau-pulau kecil menjadi salah satu penekanan dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP-3-K) yaitu dalam pasal 56 Bab X, yaitu “Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya”. Lebih lanjut, sebagai aturan pelaksanaan UU tersebut telah diterbitkan PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Upaya ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) tertentu. Pemerintah provinsi menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas kabupaten/ kota. Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan kabupaten/kota.
RENCANA AKSI PENGELOLAAN
(RAPWP-3-K)
RENCANA PENGELOLAAN (RPWP-3-K)
RENCANA ZONASI (RZWP-3-K)
RENCANA STRATEGIS PENG. WILAYAH PESISIR (RSWP-3-K)
Tujuan, Cakupan Kegiatan, Tatanan Pelaksanaan,
Manfaat, dll
Rencana kerja, Pengaturan koordinasi, Paket terpadu kegiatan,
Public campaign
Alokasi ruang, Pemilihan & penempatan kegiatan, Alokasi SDA
Greenbelt, Salah Satu Upaya Mitigasi Bencana Tsunami
Sebagian wilayah pesisir Indonesia yang rawan tsunami mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan Nusa Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, sebagian Sulawesi, dan Papua memiliki pantai yang didominasi oleh pasir dengan energi gelombang laut yang cukup tinggi. Kondisi ini kurang cocok ditanami mangrove (Diposaptono S., 2008). Padahal hutan mangrove merupakan greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan wilayah pesisir dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut.
Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami dapat disimpulkan sebagai berikut: (Tanaka [2007]; Shuto [1987]) yaitu : 1. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut (pohon tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang hancur, dll.) dan puing lainnya (perahu, dll); 2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air; 3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan pada cabang-cabang pohon; 4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah atau dari suatu bangunan; 5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang tertiup angin dan membentuk gumuk/ bukit, yang bertindak sebagai penghalang alami terhadap tsunami.
Contoh Greenbelt di lahan reklamasi untuk meredam tsunami
Sayangnya, kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi pantai sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat kurang dilakukan di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008). Sesungguhnya, pantai-pantai yang kurang cocok ditanami mangrove tetap bisa memiliki sabuk pantai. Beberapa wilayah pantainya lebih cocok untuk vegetasi non mangrove, seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya. Dengan konigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan tertentu, sabuk pantai yang terbentuk akan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat.
Penelitian lebih lanjut terhadap perilaku berbagai jenis pohon pantai dalam mitigasi bencana tsunami masih dibutuhkan. Namun sumber pengetahuan yang menjelaskan kinerja sabuk pantai dalam menghadapi gelombang tsunami saat ini sebagian besar didasarkan pada hasil eksperimen empiris dan laboratorium. Jika didukung penyelidikan lapangan
pasca bencana tsunami, tentu pengetahuan yang ada saat ini dapat digunakan sebagai panduan aplikasi sabuk pantai sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana tsunami.
Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, berdasarkan kondisi faktual yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyusun Pedoman Pengelolaan Sabuk Pantai untuk Mitigasi Tsunami, untuk memberikan panduan mengenai perencanaan, teknis penanaman, serta monitoring sabuk pantai untuk mitigasi bencana tsunami sesuai dengan pengetahuan yang tersedia saat ini.
Yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini adalah peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menjaga lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberikan informasi jika terjadi bahaya dan/ atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Hutan mangrove
merupakan greenbelt
yang menjadi
benteng pertahanan
dari gelombang
pasang, tsunami atau
ancaman lain.
topik utama
SELAMA SEPULUH TAHUN TERAKHIR, berbagai bencana alam terjadi di Indonesia. Mulai dari gempa 7,2 SR di Aceh dan Sumatra Utara yang diikuti tsunami pada 26 Desember 2004, gempa 6,2 SR di SelatanYogyakarta dan Klaten, 25 Mei 2006, letusan Merapi 14 Juni 2006, gempa dan tsunami 17 Juni di Pangandaran Jawa Barat, banjir di Wasior Papua, serta letusan Merapi 26 Oktober dan 5 November 2010. Jumlah korban dari semua bencana tersebut mencapai ratusan ribu jiwa manusia, belum lagi kerusakan infra struktur dan harta benda lainnya.
Yang baru-baru ini terjadi adalah guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), di Nusa Dua, Bali pada Kamis, 13 Oktober 2011 lalu. Masyarakat Bali yang selama ini tenang pun heboh. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia harus waspada dan siaga menghadapi bencana yang sewaktu-waktu tiba. Karena tak dapat dipungkiri, sebagian besar tempat di Indonesia selalu terancam bencana alam seperti gempa, letusan gunungapi, tanah longsor, dan banjir. Hal ini merupakan dampak dari kondisi geologis dan tectonic setting, yang membangun Kepulauan Nusantara.
Tatanan Tektonik Indonesia
Bumi itu dinamis, dengan proses-proses internal dan eksternal yang kompleks. Proses-proses internal bertanggung jawab atas bergeraknya lempeng-lempeng besar litosfera. Interaksi antar lempeng-lempeng ini membangkitkan tekanan internal yang dapat mengakibatkan deformasi batuan, menghasilkan gempa, kegiatan gunung berapi, dan gerakan-gerakan tektonik secara perlahan (creep) sepanjang jalur-jalur sesar (patahan). Proses-proses ini memicu berbagai kejadian eksternal seperti tanah longsor, aliran lumpur, dan tsunami.
Menurut teori tektonik lempeng, lapisan kulit bumi yang terdiri dari litosfer dan kerak, berbentuk lempengan-lempengan yang terpecah-pecah, yang mengapung-apung di atas lapisan cair-liat yang disebut astenosfer. Berdasarkan komposisi dan berat-jenisnya, lempeng-lempeng litosfer dapat dibedakan menjadi lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng benua disusun terutama oleh unsur-unsur Si (silikon) dan Al (aluminium), yang pada umumnya berketebalan 30 - 70 km dengan berat jenis + 2,6- 2,7. Sedangkan lempeng samudra tersusun oleh unrus-unsur Si dan Mg (magnesium), biasanya tipis (+ 8 km) dengan berat jenis + 3 (Zumberge & Nelson, 1976). Potongan-potongan lempeng ini bergerak, ada yang
saling menjauh, ada yang saling bertemu dan bertumbukan, serta ada yang saling bergeseran.
Bila dua lempeng saling bertumbukan, maka gejala-gejala geologi yang ditimbulkan adalah vulkanisme (pembentukan gunung-api), pembentukan pegunungan lipatan, pengangkatan, dan persesaran. Bila dua lempeng saling menjauh, akan terjadi pembentukan palung, atau pembentukan pematang tengah samudra. Pada pematang tengah samudra, dierupsikan magma secara terus-menerus dari astenosfer ke permukaan, yang kemudian membentuk morfologi seperti “zebra cross” di tengah-tengah samudra. Bila dua lempeng saling bergeseran akan terbentuk sesar transformal.
Kepulauan Indonesia terbentuk akibat pertemuan antara Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia - Australia, dan Lempeng Samudra Pasiik. Lempeng Hindia - Australia mendesak Lempeng Eurasia dari arah selatan, dan Lempeng Pasiik mendesak dari arah timur. Implikasi pertemuan lempeng-lepeng ini di Indonesia adalah terbentuknya sirkum-sirkum gunungapi aktif, jalur-jalur pegunungan lipatan, sesar-sesar aktif, dan zona-zona gempa tektonik.
Hampir tak ada wilayah
di Indonesia yang bebas
dari ancaman bencana.
Maka faktor geologi
sudah selayaknya menjadi
pertimbangan penting
dalam penyusunan
rencana tata ruang.
Mempertimbangkan
Faktor-faktor
geologi dalam
Penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah
Oleh: Sari Bahagiarti Kusumayudha
Bencana Geologi
Sebagian besar bencana alam merupakan bencana geologi. Bencana geologi meliputi semua bencana yang timbul akibat atau mengikuti suatu proses geologi. Proses-proses geologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses eksogenik (eksternal) berasal dari luar bumi, dan proses endogenik (internal) yang berasal dari dalam bumi. Proses eksogenik antara lain: pelapukan dan erosi. Proses endogenik, antara lain: orogenesis, epirogenesis, pengangkatan, vulkanisme, dan tektonisasi.
Gempa bumi dihasilkan oleh proses-proses magmatisme dan tektonisasi, letusan gunung api dihasilkan oleh proses magmatisme (vulkanisme), tanah longsor dihasilkan oleh proses-proses erosi, pelapukan, hidrologis, dan tektonik, serta banjir lebih diakibatkan oleh proses erosi dan hasil kerja manusia.
Sebagaimana diketahui, litosfer terpecah-pecah menjadi beberapa lempeng besar dan banyak lempeng kecil yang relatif saling bergerak satu sama lain. Pada saat dua atau lebih lempeng saling bertemu atau berpapasan, maka mereka akan saling berdesakan atau bergesekan. Apabila pada saat berdesakan atau bergesekan, tegangan yang diderita batuan melebihi kekuatan/ketahanannya, maka batuan tersebut akan patah. Pada saat dua lapisan litosfer saling bergesekan atau yang satu menggerus yang lain pada suatu sesar (patahan), karena adanya tekanan (stress) dari kedua belah pihak, maka akan terjadi akumulasi energi di sepanjang batas sesar tersebut. Bila suatu saat kekuatan batuan tidak mampu lagi menahan akumulasi energi, bagian-bagian yang lemah akan bergeser, dan energi yang terlepas pada saat batuan bergeser menimbulkan gelombang seismik yang dikenal sebagai gempa. Berdasarkan pusat kejadiannya, gempa dapat diklasiikasikan sebagai gempa dalam, sedang, dan dangkal. Yang paling sering menelan korban justru gempa dangkal, seperti yang terjadi di Liwa, Bengkulu, Bantul Yogyakarta, dan Nusa Dua Bali.
Letusan gunung api pada umumnya berkaitan dengan dua lempeng litosfer yang saling bertemu dan berdesakan.
Tataan Tektonik Kepulauan Indonesia.
Dalam peristiwa ini lempeng yang berat jenisnya lebih besar akan menyusup di bawah yang lain (subduksi). Oleh tekanan dan temperatur yang besar, maka pada kedalaman antara 75 km - 175 km, sebagian litosfer yang menyusup, akan melebur membentuk magma. Karena tekanan diapirisme, magma ini membubung naik, dan berusaha meraih permukaan bumi. Bila magma tersebut dapat mencapai permukaan bumi, maka terjadilah vulkanisme yang dapat menimbulkan kegiatan gunung api.
Kegiatan gunung api bisa berupa erupsi yang efusif (leleran lava) dan erupsi yang eksplosif (letusan). Letusan eksplosif dapat menghasilkan semburan debu dan abu, semburan bebatuan, awan panas beracun, dan sebagainya. Di samping ancaman bahaya primer kegiatan gunung api di atas, ada ancaman sekunder berupa lahar, yaitu aliran lumpur dan bebatuan yang terjadi karena rempah vulkanik yang bertimbun pada lereng disiram hujan hingga jenuh, dan akhirnya longsor karena gaya berat.
Ketersediaan air bersih
perlu diperhatikan selain
faktor-faktor geologi
untuk menentukan tingkat
kerawanan terhadap
ancaman bahaya alam.
topik utama
Tanah longsor, merupakan kejadian alam yang acap kali melibatkan ulah manusia. Ulah dan kepentingan manusia yang keliru sering sekali memicu kejadian ini. Pada umumnya gerakan tanah terjadi karena gaya gravitasi massa tanah melebihi gaya yang menahannya (baik karena kekuatan dan kohesi bahan, friksi antara bahan sekitarnya, dan unsur
Erupsi eksplosif anak Gunung Krakatau
penahan). faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian longsoran antara lain faktor yang bersifat pasif yaitu iklim, topograi, litologi, stratigrai. struktur geologi, dan vegetasi, serta faktor yang bersifat aktif yaitu: lereng yang curam, erosi, pembebanan (misal oleh air atau bangunan), dan aktivitas manusia.
Dinamika air di permukaan dipengaruhi oleh bentuk bentang alam. Sungai mengerosi lereng pegunungan, membentuk lembah, akhirnya menghasilkan sistem pengeringan (drainage system), yang sensitif terhadap keseimbangan iklim, topograi, batuan, dan soil. Disamping itu sungai juga melakukan pengendapan material yang dierosinya di bagian hulu. Pengendapan terjadi di bagian sisi-sisi dan hilir sungai, yang menyebabkan pendangkalan, dan pada akhirnya daya tampung lembah menjadi berkurang. Apabila daya tampung lembah sungai tidak mampu lagi menampung debit aliran sungai, maka sebagian arah aliran akan berubah lateral. Migrasi arah aliran secara lateral inilah yang dapat menimbulkan banjir. Berbagai bencana tersebut atas terkadang tidak diakibatkan oleh hanya satu proses saja, melainkan dua atau lebih, yang bekerja secara stimulan.
Tata Ruang Berbasis Mitigasi Bencana
Tata ruang berbasis mitigasi bencana mutlak diperlukan di daerah yang rawan bencana. Dalam perencanaannya, tentu perlu dimulai dari pemetaan yang baik terhadap potensi geologis baik yang manfaat maupun yang merusak. Zona-zona rawan bencana perlu ditentukan dan ditarik batas-batasnya. Selanjutnya dilakukan klasiikasi terhadap zona rawan bencana tersebut, diberi bobot mulai dari yang paling beresiko (resiko terbesar) hingga yang resiko 0 (jika ada).
Dalam pemetaan zona rawan bencana, perlu dipilah-pilah dan dipisah-pisahkan, antara jenis bencana yang satu dengan bencana lainnya. Peta rawan bencana gempa tentu saja berbeda dengan peta rawan bencana gunungapi, bencana tanah longsor, bencana banjir, dan sebagainya. Sehingga sebuah kawasan perlu memiliki semua jenis peta kerawanan bencana tersebut. Berdasarkan peta-peta tersebutlah, penataan, pembangunan, dan pengembangan sebuah kawasan sebaiknya dilakukan. Berdasarkan peta-peta tersebut pula, dapat ditentukan berbagai tata-guna lahan antara lain kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan budidaya, kawasan pariwisata, kawasan pengambilan sumberdaya alam, dan kawasan konservasi.
Untuk menentukan zonasi rawan bencana, maka setiap parameter yang digunakan dalam pemetaan perlu diberi bobot dan nilai untuk memperoleh nilai total kawasan. Penilaian ini dilakukan guna melihat peruntukan yang paling tepat bagi suatu kawasan. Sebagai contoh, kawasan untuk permukiman tentu saja harus bebas dari semua jenis ancaman bencana. Daerah rawan bencana mungkin hanya cocok untuk kawasan budidaya tanaman atau kawasan lindung yang harus dikonservasi.
Selain mempertimbangkan faktor-faktor geologi untuk menentukan tingkat kerawanan terhadap ancaman bahaya alam, dalam penataan ruang berbasis mitigasi bencana, perlu memperhatikan ketersediaan sumber air bersih. Untuk itu keberadaan sumber air baik yang berada di permukaan maupun di bawah permukaan perlu dipetakan dan dinilai pula.
Memberdayakan Masyarakat
Bencana alam seperti gempabumi, letusan gunungapi, lahar, tanah longsor, gelombang pasang, dan banjir seringkali kekuatannya luar biasa, dan waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat. Namun demikian, manusia memiliki kemampuan untuk mengenali dan memahami peristiwa tersebut.
Pemberdayaan masyarakat di lokasi rawan bencana merupakan suatu alternatif penanggulangan yang murah, efektif, namun bermanfaat dan menguntungkan. Masyarakat diuntungkan karena mereka diberdayakan dan dicerdaskan. Dalam konsep ini masyarakat dilibatkan langsung untuk turut mengetahui dan memahami karakteristik, gejala-gejala awal bencana, mengetahui cara mencegah, menghindari, serta menanggulanginya. Dalam hal ini, penanggulangan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan rawan bencana secara partisipatoris, bersama, oleh dan untuk masyarakat, bukan sekedar oleh para ahli dan aparat pemerintah.
Dalam melakukan manajemen bencana, khususnya terhadap bantuan darurat, dikenal dua model pendekatan yaitu “konvensional” dan “pemberdayaan”. (Anderson & Woodrow, 1989, dikutip dari Paripurno, 2000). Perbedaan paling mencolok di antara keduanya terutama terletak kepada cara melihat: kondisi korban dan target akhir. Dalam manajemen konvensional, korban dianggap tidak berdaya dan membutuhkan batuan, sedangkan dalam manajemen pemberdayaan, korban dianggap sebagai manusia yang aktif, berkemampuan, dan berkapasitas. Target manajemen konvensional adalah agar keadaan kembali normal. Sedangkan target manajemen pemberdayaan adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, mekanisme dalam penanggulangan bencana dikenal secara internal dan eksternal. Mekanisme internal dalam penanggulangan bencana dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana; baik oleh keluarga, organisasi sosial, maupun masyarakat lokal. Mekanisme ini dikenal sebagai penanggulangan bencana secara alamiah (Paripurno, 2000). Sebaliknya dalam mekanisme eksternal, penangulangan bencana dilakukan oleh pihak-pihak di luar unsur-unsur mekanisme internal tersebut.
Untuk mewujudkan tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, perlu keterlibatan dan dukungan semua pihak, antara lain dari para akademisi, lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat. Demikian pula dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Maka dengan demikian tata ruang berbasis mitigasi bencana adalah sebuah keniscayaan.
Pustaka
Hamilton, W. (1979), Tectonics of the Indonesian Region, U. S. Government Printing Oice Howard, A. D. & I. Remson (1979), Geology in Environmental Planning, McGraw Hill Book Company Kusumayudha, S. B. (1993), Asia Tenggara Daerah Rentan Longsoran, Kasus Indonesia, Malaysia, filipina, dan Thailand, Wimaya, No. 16 Tahun X, hal 1-11
--- (1996), Analisis Kinematika ketidakstabilan Lereng di Sekitar Bendungan Sermo, Kulonprogo, Buletin Teknologi Mineral, No 02, Tahun I, hal 2-9
--- (2000), Menghadapi Masalah Klasik Bencana Tanah Longsor, Kedaulatan Rakyat, 9 November 2000
--- (2007), Yogyakarta dan Periode Ramai Gempa, Kedaulatan Rakyat, februari 2007 --- (2010), Letusan Merapi Kali Ini, Kedaulatan Rakyat, Desember 2010
Paripurno, E. T. (2000), Penanggulangan bencana berbasis masyarakat: Seperti apa?, Materi Lokalatih Pengelolaan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Kulonprogo
Zumberge, J. H. & C. A. Nelson (1976), Elements of Physical Geology, John Wiley & Sons
Pemberdayaan masyarakat
di lokasi rawan bencana
merupakan suatu
alternatif penanggulangan
yang murah, efektif,
namun bermanfaat dan
menguntungkan.
Menuju Pembangunan
yang Responsif Bencana
Oleh: Ir. Iman Soedrajat MPM,
Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional Ditjen Penataan Ruang, Kemen PU
KawaSan StRategiS naSiOnal (KSn)
BOROBUDUR Dan DanaU tOBa
SELURUH DUNIA mengakui Indonesia memiliki kekayaan dan potensi alam yang sangat kaya dan beranekaragam. Adalah tanggung jawab bersama Bangsa Indonesia untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam yang merupakan warisan nenek moyang dan anugerah dari Tuhan YME tersebut. Sebagai bentuk kepedulian terhadap warisan ini, Pemerintah sebagai decision maker menuangkannya di dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan PP 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Lewat peraturan ini, pemerintah merencanakan, mengatur, serta mengendalikan sumber daya dan warisan Indonesia yang telah di masukkan ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang kemudian diimplementasikan bersama masyarakat.
Berdasarkan landasan hukum di atas, pengertian KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Di dalam RTRWN, terdapat 76 KSN yang tersebar di seluruh
Candi Borobudur memikat
wisatawan seluruh
dunia dengan konstruksi
bangunan candi yang unik
serta rangkaian cerita yang
mengelilinginya.
Kawasan Candi Borobudur dan
Danau Toba merupakan warisan
yang memiliki peranan sangat
penting secara Nasional.
Indonesia, di antaranya adalah Kawasan Candi Borobudur dan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Kedua kawasan ini merupakan warisan budaya yang memiliki peranan sangat penting secara Nasional. Candi Borobudur merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan, begitu juga dengan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, terlebih karena memiliki fungsi lingkungan.
Untuk mendukung pelestarian wilayah-wilayah yang termasuk dalam KSN, khususnya Kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya juga Kawasan Danau Toba dan sekitarnya maka dibuatlah Raperpres. Raperpres KSN yang sedang disusun saat ini diharapkan dapat menjawab isu kesiapan pemerintah baik pusat dan daerah dalam mengatasi bencana, baik letusan gunung api, gempa tektonik, maupun bencana lingkungan lainnya, serta isu belum adanya perangkat yang memadai, termasuk payung hukum berupa peraturan-peraturan.
Kawasan Strategis Nasional Borobudur dan Sekitarnya
Candi Borobudur merupakan candi terbesar di Indonesia, yang terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, atau berada kurang lebih 100 Km di sebelah barat daya Semarang dan 40 Km di sebelah Barat Laut Yogyakarta. Candi yang didirikan oleh para penganut Agama Buddha sekitar tahun 824 M ini memikat wisatawan seluruh dunia dengan konstruksi bangunan candi yang unik, serta 1.460 relief tentang rangkaian cerita pada masa pembangunannya yang mengelilinginya.
Selain sebagai tempat wisata, candi ini juga menjadi pusat ibadah penganut Agama Buddha, khususnya pada saat perayaan Hari Waisak. Candi Borobudur ini merupakan candi terbesar ke dua setelah Candi Ankor Wat yang terletak di Kamboja. Candi Borobudur yang memiliki luas bangunan 15.129 m2 ini tersusun dari 55.000 m3 batu. Dua juta potongan batu-batuan inilah yang menjadikannya sumberdaya pusaka (heritage) yang sangat besar nilainya dan tidak dimiliki candi
lain. Hal ini pula yang membuat Candi Borobudur terdaftar di UNESCO sejak tahun 1991 dengan nomor 592 sebagai salah satu dari 851 bangunan kuno di dunia yang mendapatkan perhatian khusus.
Candi Borobudur berlokasi sekitar 30 km dari Gunung Merapi. Walaupun terbebas dari gempa, akan tetapi kawasan ini terkena dampak awal erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 lalu. Abu vulkanik setebal 2 cm yang mengandung sulfur menempel pada stupa-stupa candi. Dibutuhkan waktu satu bulan untuk membersihkan tumpukan debu-debu yang berpotensi melapukan candi tersebut. Kondisi bukanlah yang pertama kali terjadi, tapi yang ke tiga kali setelah kejadian tahun 1996 dan 2006. Bencana ini menyebabkan penurunan kunjungan wisatawan. Target kunjungan PT. Taman Wisata Candi Borobudur yaitu dua miliyar orang per tahun tidak terpenuhi. Dalam kondisi normal, jumlah pengunjung kurang lebih sebesar 2 juta wisatawan.
Besarnya nilai sejarah dan perhatian dunia terhadap Candi Borobudur juga menjadi salah satu kepedulian Pemerintah Indonesia dalam menjaga dan melestarikan heritage ini, maka dimasukkanlah Kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) melalui PP No 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap budaya, lingkungan, dan termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Amanat di dalam PP 26 Tahun 2008 ini juga tertuang di dalam RTRW Propinsi Jawa Tengah sebagai turunan PP tersebut. Candi Borobudur dijadikan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dan ditetapkan sebagai salah satu kawasan cagar budaya, ilmu pengetahuan, dan pusat pariwisata. RTRW Propinsi Jawa Tengah ini juga mengarahkan peraturan zonasi untuk kegiatan penelitian, pendidikan, pariwisata dan prasarana pendukung pariwisata (gardu pemandangan, restoran, pasar, fasilitas parkir) dengan izin bersyarat dan terbatas. Budaya dan pemanfaatan potensi alam lainnya di sekitar kawasan candi juga tetap memperhatikan daya tampung lingkungan.
Perhatian pemerintah terhadap Candi Borobudur tidak berhenti di sini. Pengelolaan situs ini disepakati untuk dijadikan Peraturan Presiden pada 2007. Pada tahun 2008 dilakukan penyusunan materi teknis Raperpres Candi tersebut dan dilanjutkan dengan fasilitasi penyelesaian Raperpres tahun 2009. Saat ini, Raperpres RTR KSN Candi Borobudur telah mendapatkan kesepakatan pemerintah daerah terkait.
Besarnya nilai sejarah dan
perhatian dunia terhadap
Candi Borobudur juga
menjadi salah satu kepedulian
Pemerintah Indonesia dalam
menjaga dan melestarikan
heritage ini.
Mengapa Perlu Peraturan Presiden Untuk Candi Borobudur?
Ada beberapa alasan yang mendasari dibuatnya Perpres tentang pengelolaan Candi Borobudur, antara lain adalah belum jelasnya visi tematik dan masterplan pelestarian kawasan candi, perubahan paradigma pelestarian dari Static Conservation menjadi Dynamic Conservation, penurunan kualitas isik lingkungan akibat tidak jelasnya landasan pengaturan perijinan, lemahnya kontrol pedagang formal dan informal, dan tidak jelasnya koordinasi antara Pemerintah Nasional dengan Pemda, lemahnya keterlibatan masyarakat, serta tidak adanya payung hukum yang jelas yang dapat menjamin pelestarian cagar budaya dunia Candi Borobudur. Lebih jauh, ketidakjelasan fokus Keppres No.1/1992 dalam menjamin kelestarian Candi Borobudur, karena keputusan tersebut hanya berorientasi pada Candi Borobudur semata, sehingga ekosistemnya terabaikan – lahan persawahan dan pedesaan mulai menghilang – seiring dengan munculnya lahan kritis akibat penambangan dan penumpukan tanah yang berlebihan. Batas yang ditentukan dan dibatasi di dalam zona telah membaik karena perubahan fungsi lahan maupun perencanaanya lebih bertumpu kepada kondisi eksisting situs, sehingga mempertahankan kondisi biogesik dan sosial ekonomi budaya masyarakat.Lokasi Borobudur
topik utama
Muatan Penataan Ruang dalam Raperpres
Tujuan Penataan Ruang Kawasan Candi Borobudur di dalam Raperpres adalah untuk mengendalikan pemanfaatan ruang di Kawasan Borobudur dalam rangka menjamin terciptanya keselarasan antara upaya pelestarian dan pengembangan kawasan cagar budaya dunia. Kebijakan ini dibuat untuk memastikan perlindungan terhadap karakter kawasan pedesaan dari dampak negatif pembangunan perkotaan, mewujudkan keterpaduan pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan candi dengan mengembangkan kelembagaan lintas wilayah dan lintas sektoral dalam rangka pelestarian dan pengembangan kawasan candi.
Strategi yang digunakan dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah dengan mempertahankan kawasan hijau, membatasi perkembangan kawasan pembangunan perkotaan dan kegiatan pemanfaatan ruang yang mengancam kerusakan candi dan itur geologi. Sebagaimana yang telah ditulis di atas, Raperpres ini tidak hanya terkonsentrasi pada bangunan Candi Borobudur saja, melainkan kawasan di sekitarnya yang berjarak 5 Km dari pusat candi dan sebagian Koridor Palbapang yang berada di luar radius 5 Km dari pusat candi.
Terdapat dua pembagian kawasan ini, yaitu: Sub Kawasan Pelestarian (SP) 1 yang merupakan kawasan pelestarian utama situs-situs cagar budaya yang harus dikendalikan pertumbuhan kawasan terbangunnya dalam untuk menjaga
kelestarian Candi Borobudur, Candi Pawon, dan Candi Mendut; dan SP 2 yang merupakan kawasan pengamanan sebaran situs yang belum tergali, yang pertumbuhan kawasan terbangunnya harus dikendalikan dalam rangka menjaga keberadaan potensi sebaran cagar budaya yang belum tergali dan kelayakan pandang.
Untuk mendukung upaya pelestarian dan pengembangan kawasan Candi Borobudur, rencana struktur dan pola pun didesain dengan merencanakan dan mengembangan jaringan transportasi menuju kawasan candi. Terdapat keunikan di dalam rencana Pola Ruang Kawasan Borobudur. Di dalam rencana pola ini terdapat rencana Pola Ruang Taman Purbakala yang berfungsi sebagai zona penyangga, di antaranya mencakup Taman Purbakala Borobudur, Pawon, dan Mendut. Pembangun di sekitar taman ini dikendalikan di dalam arahan peraturan zonasi. Aturan kegiatan dan penggunaan lahan di zona penyangga ini diizinkan untuk kegiatan Tourist Information Centre, pembibitan, penjualan tanaman/bunga, prasarana transportasi jalan lokal, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berupa jalur hijau dan pulau jalan, pekarangan, sempadan/penyangga.
Rencana struktur dan pola
didesain untuk mendukung upaya
pelestarian dan pengembangan
kawasan Candi Borobudur.
Membangun Kelembagaan
Langkah selanjutnya setelah perencanaan yang tak kalah penting adalah mekanisme pengelolaan tentang siapa yang akan bertanggung jawab. Gubernur selaku pemerintah daerah mendapat tugas dari menteri untuk mengelola Kawasan Borobudur melalui tugas dekonsentrasi dengan membentuk Badan Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Borobudur yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur Pemerintah Nasional dan Pemda. Badan ini memiliki tugas pokok: menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan arahan peraturan zonasi yang termuat dalam peraturan presiden; melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang, yang pedoman pelaksanaannya disiapkan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang; memberikan arahan pelaksanaan pembangunan kepada wilayah dan sektor; membina pengembangan potensi kawasan secara ekonomi yang selaras dengan upaya dengan pelestarian; melaksanakan pemantauan kinerja pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat yang pedoman pelaksanaannya disiapkan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang; melaporkan kinerja perwujudan rencana tata ruang kepada Presiden secara berkala melalui menteri; dan, menjamin pelaksanaan pelestarian dan pengelolaan kawasan situs dan taman purbakala yang secara teknis berada di bawah tanggung jawab kementerian yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan.
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Danau Toba
Sebagaimana yang telah dituliskan di awal wacana, Danau Toba juga merupakan salah satu KSN yang terdapat di dalam RTRWN dengan kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati, memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air, yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara karena rawan bencana vulkanik. Tak hanya itu, Kawasan Danau Toba juga memiliki kepentingan sosial dan budaya, karena merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional dan merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 74.000 tahun lalu yang melepas sekitar 800 kilometer kubik abu (supervolcano atau gunung berapi super) ke atmosfer yang menyelimuti langit dan menghalangi sinar matahari selama enam tahun. Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas (vulkanik) inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Kejadian ini telah memakan korban jutaan manusia dan pada menyebabkan beberapa spesies punah.
Secara administratif Kawasan Danau Toba berada di Provinsi Sumatera Utara dan secara geograis terletak di antara koordinat 2°10’3°00’ Lintang Utara dan 98°24’ Bujur Timur. Kawasan Danau Toba merupakan kawasan yang berada di sekitar Danau Toba dengan deliniasi batas kawasan didasarkan atas Delineasi Daerah Tangkapan Air (Catchment Area) yang memiliki luas sekitar 369.854 Ha. Kawasan ini meliputi tujuh kabupaten yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan.
Bencana Lingkungan
Tiadanya aktivitas Gunung Toba setelah letusan terakhir puluhan ribu tahun lalu menjadikan wilayah ini relatif aman dihuni. Masyarakat umumnya tidak khawatir akan tertimpa bencana meskipun hidup di atas sumbu bumi yang pernah meledak hebat. Bagi masyarakat Batak Toba belakangan ini, pengertian bencana lebih dikaitkan dengan persoalan kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Perubahan sosial yang mengarah pada kendurnya ikatan sosial tradisional menjadi kekhawatiran yang kerap dilontarkan.
Namun, perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba yang paling drastis terjadi ketika masuknya perusahaan pengolahan bubur kertas dan serat rayon di Porsea. Setelah perusahaan itu beroperasi dalam skala besar pada tahun 1989, perubahan pun segera terjadi. Polusi air Sungai Asahan dan udara sekitar pabrik, longsor dan banjir kerap terjadi di sekitar Danau Toba. Perubahan ekosistem hutan pun terjadi lebih besar daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa.
Masalah lain lingkungan Danau Toba adalah menurunnya kualitas air danau. Hasil pengukuran yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan pH air sudah berada di level 8.2 (dalam skala 6-9). Hasil pemantauan juga menunjukkan adanya kandungan fosfor dan nitrogen dari pakan ikan yang ditebar di keramba jaring apung.
Keindahan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya tidak akan bertahan lama jika tidak mendapat perhatian khusus. Saat ini keindahan tersebut telah terancam dengan adanya beberapa lahan kritis di sekitar kawasan. Berdasarkan hasil analisis lahan kritis yang dilakukan oleh BPDAS Asahan Barumun tahun 2006, terdapat 377.834,81 Ha lahan yang berpotensi kritis hingga sangat kritis akibat klimatologi dan faktor kesengajaan manusia. Kebakaran hutan dan laju penebangan pohon di Daerah Tangkapan Air (DTA) sulit dihindari tanpa pemantauan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Kawasan Danau Toba