• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Sikap Sosial Siswa Melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Guided Discovery

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Peningkatan Sikap Sosial Siswa Melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Guided Discovery"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Peningkatan Sikap Sosial Siswa Melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Guided Discovery

Dewi Mardhiyana

Prodi Pendidikan Matematika PPs Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: dewimardhiyana139@gmail.com

Abstrak

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada siswa untuk membantu siswa agar tertata nalarnya, terbentuk kepribadiannya serta terampil menggunakan matematika dan penalarannya dalam kehidupan. Tujuan utama pembelajaran matematika adalah pemahaman konsep, sehingga konsep matematika tidak boleh diberikan dalam bentuk jadi. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika akan bermakna jika orientasi pembelajaran adalah pada siswa, bukan pada guru. Pembelajaran penemuan (guided discovery) merupakan komponen penting dari pendekatan konstruktivisme modern yang memiliki peran penting dalam pembelajaran. Pada aktivitas guideddiscovery, siswa didorong untuk belajar secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, sementara guru mendorong siswa memperoleh pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan sendiri prinsip-prinsip. Melalui guideddiscovery, siswa dapat menemukan informasi, baik secara individu maupun dengan kelompok. Informasi yang didapatkan oleh siswa akan lebih bermakna dan akan tersimpan lebih lama dalam ingatan mereka, karena siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya. Pada pembelajaran penemuan, siswa juga didorong untuk mengembangkan keterampilan sosial yang positif. Pembelajaran penemuan mengharuskan siswa belajar bekerja sama. Mereka harus mengembangkan keterampilan dalam perencanaan, mengikuti prosedur yang sesuai, dan bekerja bersama menuju keberhasilan untuk menyelesaikan tugas mereka. Dengan demikian, pembelajaran penemuan menitikberatkan pada aktivitas mental dan intelektual siswa dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, sehingga siswa dapat menemukan suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan dan kehidupan mereka di masyarakat. Oleh karena itu, penerapan guided discovery dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan alternatif solusi untuk meningkatkan sikap sosial siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Kata kunci:guided discovery, sikap sosial, pembelajaran matematika

I. PENDAHULUAN

Matematika merupakan ilmu universal yang berguna bagi kehidupan manusia. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk hidup lebih baik pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan sangat kompetitif. Matematika sebagai suatu mata pelajaran di sekolah dinilai cukup memegang peranan penting, baik pola pikirnya dalam membentuk siswa menjadi berkualitas maupun terapannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena matematika merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara logis dan sistematis. NCTM (Webb, 1993: 1) menyatakan bahwa matematika merupakan bidang pengetahuan yang berubah dengan cepat, sehingga secara terus menerus diterapkan di berbagai lapangan pekerjaan dan studi. Oleh karenanya, kegunaan matematika bukan hanya sebatas memberikan kemampuan dalam perhitungan-perhitungan kuantitatif saja.

Romberg & Kaput (2009: 5) menyatakan bahwa matematika sekolah merupakan suatu kegiatan manusia yang mencerminkan hasil karya matematikawan yakni mencari tahu mengapa dan bagaimana

(2)

sebagainya. Matematika sekolah juga harus mencerminkan bagaimana pengguna matematika menyelidiki situasi bermasalah, menentukan variabel, memutuskan cara untuk mengukur dan menghubungkan variabel- variabel, melakukan perhitungan, membuat prediksi, dan memverifikasi kemanjuran dari prediksi tersebut.

Lebih lanjut, Soedjadi (2000: 180) menyatakan bahwa matematika sekolah perlu difungsikan sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kecerdasan, kemampuan, keterampilan serta membentuk kepribadian siswa. Matematika diberikan kepada siswa untuk membantu siswa agar tertata nalarnya, terbentuk kepribadiannya serta terampil menggunakan matematika dan penalarannya dalam kehidupan.

Materi matematika sekolah juga disusun secara berjenjang dari yang paling sederhana kepada yang lebih kompleks. Pada tahap awal, siswa diberikan konsep-konsep yang sederhana, kemudian beranjak pada konsep-konsep yang lebih kompleks. Konsep-konsep yang sederhana diperlukan bahkan menjadi prasyarat untuk memahami konsep-konsep yang lebih kompleks. Dengan kata lain, suatu konsep matematika hanya akan dipahami dengan baik bila konsep-konsep yang menjadi prasyaratnya sudah dipenuhi.

Lambdin (1993: 9) menjelaskan bahwa tujuan utama pembelajaran matematika adalah pemahaman konsep. Akibatnya konsep matematika tidak boleh diberikan dalam bentuk jadi (a ready made product) (Freudenthal, 1973: 119). Dapat dimaknai bahwa konsep-konsep yang ada dalam matematika tidak boleh diberikan langsung oleh guru kepada siswa sebab di dalamnya mengandung proses abstraksi dan generalisasi yang membutuhkan gerakan-gerakan mental, dimana siswa harus dilibatkan dalam proses penemuan kembali konsep tersebut.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Kennedy, Tipps & Johnson (2008: 55), yang menyatakan matematika yang bermakna adalah matematika yang terbentuk dari siswa bukan diberikan oleh guru. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika akan bermakna jika orientasi pembelajaran adalah pada siswa, bukan pada guru. Pembelajaran matematika tidak terbatas pada penerimaan prosedur algoritma formal dari ahli kepada individu melalui sekolah. Pembelajaran matematika terjadi selama adanya partisipasi antara siswa dan orang dewasa yang berusaha untuk mencapai tujuannya.

Schoenfeld (NCTM, 2000: 20) menambahkan bahwa mempelajari sesuatu melalui pemahaman akan menjadikan tahapan belajar selanjutnya menjadi lebih mudah. Matematika menjadi berguna dan dirasa mudah untuk diingat dan diterapkan ketika siswa mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Diungkapkan pula bahwa dengan belajar matematika melalui pemahaman, memungkinkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan baru di masa mendatang (NCTM, 2000: 21).

Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah seharusnya bersifat student-centered yang memusatkan pada aktivitas siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang bersifat student-centered adalah penemuan terbimbing (guided discovery). Guideddiscovery merupakan proses pembelajaran yang menitik beratkan pada mental intelektual siswa dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, sehingga siswa menemukan suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan dan kehidupan mereka di masyarakat. Pendekatan guideddiscoverymengharuskan siswa yang menemukan sendiri informasi.

Informasi yang didapatkan oleh siswa akan lebih bermakna dan akan tersimpan lebih lama dalam ingatan mereka, karena dengan menggunakan pendekatanguideddiscovery ini siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya.

Melalui pembelajaran guided discovery, siswa didorong untuk mengembangkan keterampilan sosial yang positif. Kegiatan penemuan mengharuskan siswa untuk belajar bekerja sama. Mereka harus mengembangkan keterampilan dalam perencanaan, mengikuti prosedur yang sesuai, dan bekerja bersama menuju keberhasilan untuk menyelesaikan tugas mereka. Hal ini tentunya mengarahkan siswa untuk mengembangkan sikap sosial yang dimilikinya.Makalah ini menawarkan pendekatan penemuan terbimbing (guided discovery) sebagai salah satu alternatif solusi yang diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan sikap sosial siswa.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hakekat Guided Discovery

Pembelajaran penemuan (guideddiscovery) adalah komponen penting dari pendekatan konstruktivisme modern yang memiliki sejarah panjang dalam inovasi pendidikan. Menurut Bergstrom & O’Brien (Slavin, 2006: 245), pada pembelajaran discovery siswa didorong untuk belajar secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa memperoleh pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan sendiri prinsip-prinsip. Elliot, Kratochwill, Cook, et al. (2000: 337) mengemukakan bahwa pembelajaran guideddiscovery menyebabkan siswa tidak hanya mengatur materi

(3)

untuk menentukan keteraturan dan hubungan tetapi juga untuk menghindari kegiatan yang pasif yang membutakan mereka terhadap penggunaan informasi yang dipelajari.

Menurut Schunk (2012: 280), pembelajaran penemuan sangat penting karena dalam pembelajaran penemuan siswa membangun dan menguji hipotesis, tidak hanya membaca atau mendengarkan presentasi guru. Lebih lanjut, Lefrancois (2000: 209) menyatakan bahwa pembelajaran penemuan adalah pembelajaran yang terjadi ketika siswa tidak disajikan materi pelajaran secara langsung, melainkan diminta untuk menemukan sendiri hubungan yang ada antara informasi-informasi yang diberikan. Moore (2009:

182) menambahkan bahwa pembelajaran guideddiscovery juga mendorong pengembangan keterampilan sosial yang positif. Penemuan mengharuskan siswa belajar bekerja sama. Mereka harus mengembangkan keterampilan dalam perencanaan, mengikuti prosedur yang sesuai, dan bekerja bersama menuju keberhasilan untuk menyelesaikan tugas mereka.

Menurut Depdiknas (2009: 47-48), empat elemen penting yang terkandung dalam pembelajaran guided discovery, yaitu: (1) belum tahu tetapi ingin mengetahui; (2) pertanyaan yang membimbing proses pencarian untuk mengetahui sesuatu itu; (3) kebenaran yang diungkap merupakan sesuatu yang orisinil atau alami yang dimiliki oleh siswa itu sendiri; dan (4) keyakinan bahwa proses berpikir yang dilakukan siswa sehingga mereka memiliki pengetahuan tentang sesuatu akan memiliki dampak positif bagi kehidupan mereka kelak.

Dalam pembelajaran guided discovery, siswa dihadapkan pada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar menggunakan kemampuan mereka. Dalam pembelajaran guided discovery, siswa dapat secara individu atau berkelompok untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.Sund (dalam Suryosubroto, 1997: 193) berpendapat bahwa penemuan (discovery)adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan sesuatu konsep atau sesuatu prinsip.

Proses mental tersebut misalnya: mengamati, menggolongkan-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran guided discovery adalah suatu pembelajaran yang melibatkan suatu interaksi antara siswa dan guru dimana siswa dihadapkan pada situasi bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan dengan cara terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) untuk menemukan sendiri suatu konsep dengan arahan dan bimbingan guru.

B. Langkah-langkah Guided Discovery

Menurut Schunk (2012: 276), pembelajaran guided discovery diawali dengan guru menyajikan pertanyaan, masalah, atau situasi yang dibuat sebagai teka-teki yang mampu mendorong siswa untuk menyelesaikannya dengan membuat perkiraan-perkiraan ketika mereka tidak yakin atau ragu-ragu.

Sementara Westwood (2008: 29) mengemukakan pembelajaran dengan guided discoverydengan karakteristik sebagai berikut: 1) mengidentifikasi topik atau masalah; 2) guru bersama siswa membangun ide dengan kegiatan penemuan dari suatu topik; 3) siswa bekerja secara individu atau dalam kelompok kecil untuk mengumpulkan dan menafsirkan data; 4) siswa menyampaikan kesimpulan dan didiskusikan dengan kelompok lain;serta 5) guru memberikan koreksi jika terdapat kesalahan dalam kesimpulan siswa dan juga menguatkan kesimpulan yang diperoleh siswa.

Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran dengan penemuan terbimbing menurut Markaban (2008:

17-18) adalah sebagai berikut. 1) Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah. 2) Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS. 3) Siswa menyusun konjektur (hipotesis) dari hasil analisis yang dilakukannya. 4) Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran dugaan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai. 5) Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. 6) Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.

Sedangkan menurut Moore (2009: 180), langkah-langkah pendekatan penemuan terbimbing terdiri dari mengidentifikasi masalah, mengembangkan jawaban yang mungkin, mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasikan data, serta menguji kesimpulan.Eggen dan Kauchak (2012: 189) menambahkan kegiatan-kegiatan dalam penemuan terbimbing terdiri dari beberapa fase, yaitu: 1) Fase 1 pendahuluan,

(4)

yaitu guru berusaha menarik perhatian siswa dan menetapkan fokus pelajaran; 2) Fase 2 fase terbuka, yaitu guru memberi siswa contoh dan meminta siswa untuk mengamati dan membandingkan contoh-contoh; 3) Fase 3 fase konvergen, yaitu guru menanyakan pertanyaan-pertanyaan lebih spesifik yang dirancang untuk membimbing siswa mencapai pemahaman tentang konsep atau generalisasi; dan 4) Fase 4 penutup dan penerapan, yaitu guru membimbing siswa memahami definisi suatu konsep atau pernyataan generalisasi dan siswa menerapkan pemahaman mereka ke dalam konteks baru.

Berdasarkan dari berbagai pendapat di atas, langkah-langkah pembelajaran guided discovery terdiri dari: (1) merumuskan masalah; (2) mengajukan hipotesis; (3) mengumpulkan data; (4) menganalisis data;

(5) membuat kesimpulan; dan (6) menguji kesimpulan pada konteks baru.

C. Hakekat Sikap Sosial

Zan & Martino (2007: 158) menyatakan sikap sebagai perasaan positif atau negatif terhadap suatu persoalan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Nitko & Brookhart (2011: 433), yang menyatakan bahwa sikap merupakan sifat-sifat dari seseorang yang menggambarkan perasaan positif dan negatif terhadap suatu objek, situasi, institusi, orang, atau pendapat.Allport (Gable, 1986: 4) juga menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan mental dan syaraf yang diorganisasikan berdasarkan pengalaman atau sesuatu yang berpengaruh terhadap respon seseorang terhadap objek atau situasi yang dihadapinya.

Lebih lanjut, Mohammed & Waheed (2011: 278) mengungkapkan bahwa sikap dapat berkembang dan berubah dengan waktu. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu kognitif (kepercayaan, pikiran, dan sifat), afektif (perasaan dan emosi), dan perilaku (kejadian sebelumnya dan pengalaman). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu respon dari seseorang yang menggambarkan perasaan positif dan negatif terhadap sesuatu yang dihadapinya.

Menurut Azwar (2013: 30), sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Sikap sosial merupakan ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang dan diwujudkan dalam perilaku. Menurut Yahaya, Sidek & Boon (2006: 72), definisi sikap sosial yaitu suatu penilaian umum terhadap hubungan dengan orang lain, baik secara individual maupun kelompok.

Sikap sosial merupakan keyakinan setiap individu tentang hubungan antar individu atau kelompok yang dinilai baik atau buruk, dapat diterima atau tidak dapat diterima, dan mendapat persetujuan atau tidak mendapat persetujuan.

Ahmadi (2007: 152) menyebutkan sikap sosial sebagai kesadaran individu yang menentukan perbuatan nyata dan berulang-ulang terhadap objek sosial. Sikap sosial tidak dinyatakan oleh seseorang tetapi diperhatikan oleh orang-orang sekelompoknya. Objeknya adalah objek sosial (banyak orang dalam kelompok) dan dinyatakan berulang-ulang.

Sementara Insko & Scoper (Wicker, 1969: 42) menjelaskan sikap sosial sebagai suatu penilaian. Sikap sosial berupa perasaan-perasaan pro atau kontra, menyenangkan atau tidak menyenangkan, menghargai atau tidak menghargai terhadap objek sikap yang berupa individu atau kelompok. Komponen perasaan, pikiran, dan kemauan tidak dapat dipisahkan. Sikap sosial dapat diukur atau diungkap dengan pengukuran verbal maupun dengan pertanyaan-pertanyaan berupa skala sikap sosial.

Penilaian sikap dalam pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur sikap peserta didik sebagai hasil dari suatu program pembelajaran. Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu standar atau sistem pengambilan keputusan terhadap sikap. Kegunaan utama penilaian sikap sebagai bagian dari pembelajaran adalah refleksi (cerminan) pemahaman dan kemajuan sikap peserta didik secara individual. Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang dan diwujudkan dalam perilaku.Adapun perilaku sosial yang dapat diwujudkan dalam pembelajaran, meliputi bekerja sama, tanggung jawab, toleransi, dan peduli lingkungan.

D. Guided Discovery dalam Peningkatan Sikap Sosial Siswa

Matematika sebagai suatu mata pelajaran di sekolah dinilai cukup memegang peranan penting, baik pola pikirnya dalam membentuk siswa menjadi berkualitas maupun terapannya dalam kehidupan sehari- hari. Pembelajaran matematika merupakan kegiatan eksplorasi mental dalam pikiran siswa. Proses rekonstruksi dan aplikasi konsep-konsep pengetahuan yang sebelumnya dipelajari siswa dimaksimalkan dalam upaya memperoleh konsep pengetahuan yang baru. Pembelajaran matematika akan lebih bermakna jika siswa menemukan sendiri konsep yang dimilikinya. Dalam proses pembelajaran, guru diharapkan lebih mengedepankan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, dengan membantu siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan yang diperolehnya. Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah perlu dirancang sedemikian hingga dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan belajarnya. Penelitian

(5)

pendidikan memberikan sekumpulan bukti bahwa siswa dapat belajar matematika dengan baik, apabila mereka mengkonstruksi pemahaman matematika mereka sendiri (Turmudi, 2008: 50).

Pembelajaran penemuan (guided discovery) merupakan komponen penting dari pendekatan konstruktivisme modern yang memiliki peran penting dalam pembelajaran. Pendekatan pembelajaran guided discovery menetapkan tanggung jawab belajar pada diri siswa sendiri. Guru tidak berperan secara langsung, tetapi menjadi salah satu sumber belajar bagi siswa. Melalui pembelajaran guided discovery, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Siswa juga dihadapkan kepada situasi untuk menyelidiki secara bebas dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi, dan mencoba-coba (trial and error) sangat dianjurkan. Guru berperan sebagai fasilitator, yang membantu siswa agar menggunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru.

Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru dapat mengembangkan keterampilan sosial yang positif, yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan temannya. Kegiatan penemuan mendorong siswa untuk bekerja sama, bertanggung jawab, toleran, dan peduli terhadap temannya.Mereka harus mengembangkan keterampilan dalam perencanaan, mengikuti prosedur yang sesuai, dan bekerja bersama menuju keberhasilan untuk menyelesaikan tugas mereka.

III. SIMPULAN DAN SARAN

Pembelajaran guided discovery merupakan pembelajaran yang melibatkan suatu interaksi antara siswa dan guru dimana siswa dihadapkan pada situasi bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan dengan cara terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) untuk menemukan sendiri suatu konsep dengan arahan dan bimbingan guru. Dalam pembelajaran guided discovery, siswa membangun dan menguji hipotesis, tidak hanya membaca atau mendengarkan presentasi guru. Kegiatan penemuan dalam guided discovery merupakan proses mental dimana siswa mengasimilasikan sesuatu konsep atau sesuatu prinsip, baik secara individu maupun berkelompok. Melalui kegiatan penemuan, siswa didorong untuk mengembangkan keterampilan sosial yang positif. Penemuan mengharuskan siswa belajar bekerja sama, bertanggung jawab, toleran, dan peduli terhadap temannya. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dituntut untuk mengembangkan sikap sosial melalui kegiatan penemuan dalam pembelajaran.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan penemuan sangat penting karena siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya sendiri. Melalui kegiatan penemuan, siswa juga dapat mengembangkan sikap sosial melalui interaksi dengan temannya. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik disarankan untuk menerapkan pembelajaran dengan pendekatanguided discovery karena dapat meningkatkan sikap sosial siswa dalam pembelajaran matematika.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Webb, N. L., “Assessment for the mathematics classroom”, dalam Webb, N.L. & Coxford, A.F., “Assessment in the mathematics classroom”, Reston, Virginia: NCTM, 1993, pp.1-6.

[2] Romberg, T. A., & Kaput J. J., “Mathematics worth teaching, mathematics worth understanding,” dalam Fennema, E. &

Romberg, T. A., “Mathematics classroom that promote understanding”, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 2009, p.5.

[3] Soedjadi, R., “Kiat pendidikan matematika di Indonesia”, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 2000, p.180.

[4] Lambdin, D. V., “The NCTM’s 1989 evaluation standars: Recycled ideas whose time has come”, dalam Webb, N. L &

Coxford, A. F., ”Assessment in the mathematics classroom”, Virginia: National Council of Teachers of Mathematics, Inc., 1993, p.9.

[5] Freudenthal, H., “Mathematics as an educational task”, Dordrecht: D. Reidel, 1973, p.119.

[6] Kennedy, L. M., Tipps, S. & Johnson, A., “Guiding children’s learning of mathematics, 11th ed.,. New York: Thomson Wadsworth, 2008, p.55.

[7] NCTM, “Principles and standars for school mathematics”, USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc., 2000, pp.20-21.

[8] Slavin, R. E., “Educational psychology: theory and practice”, 8th ed., Boston: Allyn and Bacon, Pearson Education, Inc., 2006, p.245.

[9] Elliot, S.N., Kratochwill, R.T., Cook, L.J., et al., “Educational psychology: effective teaching, effective learning”,New York:

The Mc Graw Hill Companies, Inc., 2000, p.337.

[10] Schunk, D. H., “Learning theories: An educational perspective”,6th ed., Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2012, pp.276-280.

[11] Lefrancois, G. R., “Psychology for teaching”, Belmont: Wadsworth, 2000, p.209.

[12] Moore, K. D., “Effective instructional strategies: from theory to practice”, Thousand Oaks, California: SAGE Publications,

(6)

[13] Depdiknas, “Pembelajaran yang mengembangkan critical thinking”, Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009, pp.47-48.

[14] Suryosubroto, B., “Proses belajar mengajar di sekolah”, Jakarta : Rineka Cipta, 1997, p.193.

[15] Westwood, P., “What teachers need to know”, Victoria, Australia: ACER (Australian Council for Educational Research) Press, 2008, p.29.

[16] Markaban, “Paket fasilitasi pemberdayaan KKG/MGMP matematika: Model penemuan terbimbing pada pembelajaran matematika SMK;, Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika (PPPPTK), 2008, pp.17-18.

[17] Eggen, P. & Kauchak, D., “Educational physicologi windows and classrooms’, New Jersey: Pearson Merrill, 2012, p.189.

[18] Zan, R. & Martino, P. D., “Attitude toward mathematics: overcoming the positive/negative dichotomy”, The Montana Mathematics Enthusiast Monograph 3, 2007, pp. 157-168.

[19] Nitko, A. J. & Brookhart, S. M., “Educational assesment of students”, 10th ed., Boston, MA: Pearson Education, Inc., 2011, p.433.

[20] Gable, R. K., “Instrument development in the affective domain”, Boston: Springer Science+Business Media, 1986, p.4.

[21] Mohammed L. & Waheed H., “Secondary students’ attitude towards mathematics in a selected school of Maldives”, International Journal of Humanities and Social Science,Vol. 1, No. 15, 2011, pp. 277-281.

[22] Azwar, S., “Sikap manusia: teori dan pengukurannya”, Edisi Kedua, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, p.30.

[23] Yahaya, A., Sidek, J., & Boon, Y., “Psikologi sosial alam remaja”, Selangor: Zafar Sdn., 2006, p.72 [24] Ahmadi, A., “Psikologi sosial”, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, p.152.

[25] Wicker, A. W., “Attitudes versus action: the relationship of verbal and overt behavioral responses to attitude objects”, Milwaukee: University of Wisconsin, 1969, p.42.

[26] Turmudi, “Landasan Filsafat Dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif Dan Investigatif)”, Jakarta : Leuser Cita Pustaka, 2008, p.50.

Referensi

Dokumen terkait

Alat, bahan dan media yang digunakan berkarya seni lukis sangat beragam tergantung dari teknik yang

PUTUSAN BEBAS TERHADAP GURU YANG MELAKUKAN PENDISPLINAN KEPADA SISWA DIKAITKAN DENGAN PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Putusan Perkara

PENGARUH LATIHAN SIMULASI TERHADAP PENINGKATAN KEPERCAYAAN DIRI DAN MOTIVASI BERPRESTASI ATLETBOLA BASKET DALAM MENGHADAPI PERTANDINGAN. Universitas Pendidikan Indonesia

Bubun Saepudin, 2014 PENGARUH LATIHAN SIMULASI TERHADAP PENIGKATAN KEPERCAYAAN DIRI DAN MOTIVASI BERPRESTASI ATLET BOLA BASKET DALAM MENGHADAPI PERTANDINGAN Universitas

We have also briefly discussed the connection between this extended calculus and Continuation Semantics, that, in several papers by different authors, has been shown to be a

Hasil analisis data menunjukkan : 1) Pengguna kartu GSM prabayar sebagian besar adalah wanita, usia antara 21-23 tahun, dan mempunyai uang saku lebih dari Rp.300.000 perbulan

The variogram is also quite well behaved and it can be fitted with spherical model as well.Gold grade estimation parameters, which are obtained from ordinary

Untuk meningkatkan keandalan sistem elektrik, tahun anggaran 2005 telah dilakukan refungsionalisasi 3 unit motor cooling tower dan 2 unit ACB untuk panel BHB dan BHC..