KEKERASAN DALAM NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN KARYA ARAFAT NUR: PERSPEKTIF JOHAN GALTUNG
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Scolastika Elsa Resty S.
174114017
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2021
i
KEKERASAN DALAM NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN KARYA ARAFAT NUR: PERSPEKTIF JOHAN GALTUNG
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Scolastika Elsa Resty S.
174114017
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2021
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk mereka yang selalu mendoakan, mendampingi serta mendukung saya:
Tuhan Yesus dan Bunda Maria,
Kedua orang tua saya yang selalu senantiasa mendoakan saya, Kakak, adik yang selalu mensuport keadaan saya, Serta sahabat dan teman yang tiada henti mendukung saya.
vii MOTTO
“Jadilah pemberani. Ambillah risiko. Tidak ada yang bisa menggantikan pengalaman.”
-Paulo Coelho-
“I want, what I want, when I want it.”
-Scolastika Elsa R.S-
x ABSTRAK
Sunarto, Scolastika Elsa Resty. 2021. “Kekerasan dalam Novel Lolong Anjing di Bulan Karya Arafat Nur: Perspektif Johan Galtung”. Skripsi.
Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji kekerasan menggunakan persepektif Johan Galtung yang terdapat di Novel Lolong Anjing di Bulan Karya Arafat Nur. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam Novel Lolong Anjing di Bulan, dan (2) mendeskripsikan kekerasan yang terdapat dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur menurut perspektif Johan Galtung.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma Werren dan Wellek yang membagi penelitian sastra atas dua pendekatan yaitu pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis struktur cerita dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori srtuktural. Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan menurut perspektif Johan Galtung.Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data, deskriptif kualitatif, dan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak catat, dan studi pustaka.
Hasil analisis struktur intrinsik pembangun cerita terdiri alur yang terbagi atas (1) peristiwa, (2) konflik, dan (3) klimaks. Tokoh dan penokohan terbagi atas (1) tokoh utama yaitu Dahli, Nazir, dan Arkam, (2) tokoh tambahan, yaitu Hamamah, Raziah, Baiti, Zuhra, Muha, Kakek, Nenek, Serdadu Tentara, Leman, Yasin, dan Mahmud. Latar terbagi atas (1) latar tempat yang terdiri dari kopi kedai Leman di Tamoun, kaki Gunung Pidi, Alue Rambe, Buloh Blang Ara, Simpang Mawak, rumah keluarga Dahli, dan Lhokseumawe, (2) latar waktu 1 Juli 1989, September 1989, Tahun 1990, Tahun 1991, Maret 1992, Agustus 1992, Tahun 1993, akhir September 1994, Januari 1995, April 1996, Februari 1997, Mei 1997, Mei 1998, Mei 1999, Juli 1999, Januari 2000, Mei 2000, Januari 2001, Juli 2001, Januari 2002, Agustus 2002, dan (3) latar sosial terdiri atas. Hasil dari penelitian bentuk-bentuk kekerasan sebagai berikut. Kekerasan yang terdapat dalam novel antara lain, kekerasan langsung yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) kekerasan langsung terhadap tokoh utama, (2) kekerasan langsung terhadap rakyat Aceh, dan (3) kekerasan langsung terhadap perempuan. Dalam kekerasan tidak langsung terbagi atas (1) kekerasan orde baru, (2) pembangunan kilang-kilang minyak, (3) partai Islam, dan kekerasan budaya dalam penelitian ini juga masih dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) ideologi masyarakat Aceh (balas dendam), (2) ideologi Islam, dan (3) perempuan terhadap pendidikan.
Kata Kunci: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural, Kekerasan Budaya.
xi ABSTRACT
Sunarto, Scolastika Elsa Resty. 2021. "Violence in Novel Lolong Anjing di Bulan by Arafat Nur: Perspective of Johan Galtung". Thesis.
Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
This study examines violence using Johan Galtung's perspective in the novel Lolong Anjing di Bulan by Arafat Nur. The objectives of this study were (1) to describe the intrinsic elements contained in the Lolong Anjing di Bulan, and (2) to describe the violence in Arafat Nur's Lolong Anjing di Bulan, according to Johan Galtung's perspective.
In this study the authors used the Werren and Wellek paradigm which divided literary research into two approaches, namely the intrinsic and extrinsic approaches. The intrinsic approach was used to analyze the structure of the story in Arafat Nur's novel Lolong Anjing di Bulan. The theory used in this research is structure theory. The intrinsic approach used to analyze forms of violence from Johan Galtung's perspective. In this study, researchers used data analysis methods, descriptive qualitative, and data techniques using note-taking techniques, and literature study.
The results of the analysis of the intrinsic structure of the story builder consist of a plot divided into (1) events, (2) conflicts, and (3) climax. Characters and characterizations are divided into (1) main characters, namely Dahli, Nazir, and Arkam, (2) additional figures, namely Hamamah, Raziah, Baiti, Zuhra, Muha, Grandfather, Grandmother, Army Soldier, Leman, Yasin, and Mahmud. The settings are divided into (1) the setting of the place consisting of coffee shop Leman in Tamoun, the foot of Mount Pidi, Alue Rambe, Buloh Blang Ara, Simpang Mawak, Dahli's family home, and Lhokseumawe, (2) the time setting July 1, 1989, September 1989, 1990, 1991, March 1992, August 1992, 1993, end of September 1994, January 1995, April 1996, February 1997, May 1997, May 1998, May 1999, July 1999, January 2000, May 2000, January 2001, July 2001, January 2002, August 2002, and (3) social background consists of. The results of the research on forms of violence are as follows. Violence contained in the novel, among others, other violence, into three others, namely direct violence against the people of Aceh, and direct violence against women. Indirect violence is divided into (1) New Order violence, (2) construction of oil refineries, (3) Islamic parties, and cultural violence in this study are also divided into three, namely (1) the ideology of the Acehnese people (reply ) revenge), (2) Islamic ideology, and (3) women towards education.
Keywords: Direct Violence, Structural Violence, Cultural Violence.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
BAB IPENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
1.4.1 Manfaat teoretis ... 3
1.4.2 Manfaat praktis ... 4
1.5 Tinjauan Pustaka ... 4
1.6 Landasan Teori ... 6
1.6.1 Kajian Unsur Intrinsik ... 6
1.6.1.1 Unsur Alur ... 7
1.6.1.1.1 Peristiwa ... 7
1.6.1.1.2 Konflik ... 8
1.6.1.1.3 Klimaks ... 8
1.6.1.2 Tokoh dan Penokohan ... 8
1.6.1.2.1 Tokoh Utama... 9
1.6.1.2.2 Tokoh Tambahan ... 9
xiii
1.6.1.3 Latar ... 10
1.6.1.3.1 Latar Tempat ... 10
1.6.1.3.2 Latar Waktu... 10
1.6.1.3.3 Latar Sosial ... 10
1.6.2 Teori Kekerasan dalam Perspektif Johan Galtung ... 11
1.7 Metode Penelitian ... 13
1.7.1 Paradigma dan Pendekatan ... 13
1.7.2 Metode Pengumpulan Data ... 13
1.7.3 Metode Analisis Data ... 14
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis ... 14
1.7.5 Sumber Data ... 15
1.8 Sistematika Penyajian ... 15
BAB II KAJIAN UNSUR INTRINSIK NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN KARYA ARAFAT NUR ... 16
2.1 Pengantar... 16
2.2 Analisis Alur atau Plot ... 16
2.2.1 Peristiwa ... 16
2.2.2 Konflik ... 18
2.2.3 Klimaks ... 19
2.3 Tokoh dan Penokohan ... 20
2.3.1.Tokoh Utama ... 21
2.3.1.1 Dahli ... 21
2.3.1.2 Nazir ... 24
2.3.1.3 Arkam ... 26
2.3.2 Tokoh Tambahan ... 27
2.3.2.1 Hamamah ... 27
2.3.2.2 Raziah ... 29
2.3.2.3 Baiti ... 30
2.3.2.4 Zuhra ... 31
2.3.2.5 Muha ... 32
2.3.2.6 Kakek ... 32
2.3.2.7 Nenek ... 33
xiv
2.3.2.8 Serdadu Tentara Pemerintahan ... 34
2.3.2.9 Leman ... 35
2.3.2.10 Yasin ... 35
2.3.2.11 Mahmud ... 36
2.4.1 Latar Tempat... 37
2.4.1.1 Kopi kedai Leman di Tamoun ... 37
2.4.1.2 Kaki Gunung Pidi... 38
2.4.1.3 Alue Rambe ... 38
2.4.1.4 Buloh Blang Ara ... 39
2.4.1.5 Simpang Mawak ... 39
2.4.1.6 Rumah keluarga Dahli ... 40
2.4.1.7 Lhokseumawe ... 41
2.4.2 Latar Waktu ... 41
2.4.2.1 Juli 1989 ... 41
2.4.2.2 September 1989... 42
2.4.2.3 Tahun 1990 ... 43
2.4.2.4 Tahun 1991 ... 44
2.4.2.5 Maret 1992 ... 44
2.4.2.6 Agustus 1992 ... 44
2.4.2.7 Tahun 1993 ... 45
2.4.2.8 Akhir September 1994 ... 45
2.4.2.9 Awal Januari 1995 ... 46
2.4.2.10 April 1996 ... 46
2.4.2.16 Oktober 1999 ... 48
2.4.2.17 Januari 2000 ... 49
2.4.2.18 Mei 2000 ... 49
2.4.2.19 Januari 2001 ... 49
2.4.2.20 Juli 2001 ... 50
2.4.2.21 Januari 2002 ... 50
2.4.2.22 Agustus 2002 ... 51
2.4.3 Latar Sosial ... 51
2.3.1.1 Budaya Aceh ... 51
2.3.1.2 Agama Islam ... 51
xv
2.4.4 Rangkuman ... 52
BAB III KEKERASAN DALAM NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN KARYA ARAFAT NUR PERSPEKTIF JOHAN GALTUNG ... 54
3.1 Pengantar... 54
3.2 Kekerasan Langsung ... 54
3.2.1 Kekerasan Langsung terhadap Tokoh Utama ... 54
3.2.2.Kekerasan Langsung terhadap Masyarakat Aceh ... 56
3.2.3.Kekerasang Langsung Serdadu terhadap Perempuan ... 59
3.3 Kekerasan Tidak Langsung ... 62
3.3.1 Kekerasan Orde Baru... 62
3.3.2 Pembangunan Kilang-kilang Minyak ... 64
3.3.3 Partai Islam ... 65
3.4 Kekerasan Budaya ... 66
3.4.1 Ideologi Masayarakat Aceh ... 67
3.4.2 Ideologi Islam ... 71
3.4.3 Perempuan dalam Pendidikan ... 72
3.5 Rangkuman ... 75
BAB IVPENUTUP ... 77
Daftar Pustaka ... 80
LAMPIRAN ... 82
BIODATA PENELITI ... 87
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan salah satu seni dalam berbahasa. Pengertian karya sastra sendiri menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif dari sebuah karya seni (2013: 3). Ada banyak karya sastra yang telah diketahui masyarakat luas, salah satunya adalah novel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring edisi 5 (KBBI), kata novel diartikan sebagai suatu karangan panjang dan dalam bentuk prosa yang mengandung serangkaian cerita kehidupan tokoh dan orang-orang di sekitarnya yang diceritakan dengan menonjolkan watak juga sifat setiap pelaku cerita di dalamnya. Novel mampu menjabarkan secara mendetail konflik yang menjadi alur utama cerita jika dibandingkan dengan karya sastra lainnya. Pemikiran penulis yang ada di dalam novel menjabarkan persoalan mendasar seperti hakikat hidup manusia secara menyeluruh.
Kaitannya dalam penelitian ini, novel merupakan objek yang memiliki pengaruh realitas hubungan masyarakat. Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur ini merupakan sebuah karya sastra yang alur ceritanya diinspirasi dari peristiwa pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang mulai meletup pada era pemerintahan Soeharto, atau biasa kita kenal dengan era orde baru. Ketika kita bicara mengenai kenyataan keadaan yang dialami rakyat Aceh, dalam novel ini diceritakan tentang penderitaan demi penderitaan yang dialami oleh masyarakatnya. Dalam Novel Lolong Anjing di Bulan ini diceritakan mengenai
kekejaman pasukan TNI yang memandang rakyat Aceh seperti hewan buruan mereka. Rakyat Aceh diberikan iming-iming mengenai kesejahteraan bila tanah mereka bersedia untuk dijadikan konstruksi beton, jika mereka tidak menurut, maka akan musnah. Banyak rakyat Aceh yang tidak bersalah menjadi sasaran tembak para tentara, bahkan parahnya mereka tidak memandang mau laki-laki atau perempuan, mau tua atau muda, semuanya jadi sasaran peluru.
Konsep kekerasan Johan Galtung yang meliputi kekerasan langsung, struktural, dan kultural dipilih untuk meneliti novel Lolong Anjing di Bulan karena dinilai cukup komprehensif untuk melihat bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di semua tingkat. Kekerasan langsung bisa terlihat secara nyata, demikian juga dengan pelakunya. Kekerasan struktural (tidak langsung) melukai kebutuhan dasar manusia, namun tidak ada pelaku langsung untuk dimintai pertanggungjawaban.
Sementara kekerasan kultural merupakan sebuah legitimasi dari kekerasan struktural maupun kekerasan langsung secara budaya (Galtung,1990: 291-305).
Johan Galtung menjadi salah satu pemikir yang penting di abad ini, terkait dengan berbagai macam tulisannya mengenai perdamaian dan kekerasan.
Ada dua alasan yang mendasari dipilihnya teori kekerasan Johan Galtung sebagai objek formal untuk meneliti novel Lolong Anjing di Bulan. Pertama, teori ini cocok digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan model-model kekerasan yang terdapat dalam novel. Kedua, telah banyak peneliti lain yang menggunakan teori ini untuk meneliti kekerasan yang terdapat dalam novel, namun belum ada yang menggunakan novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut,
1.2.1 Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur?
1.2.2 Bagaimana kekerasan yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur menurut perspektif Johan Galtung?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut,
1.3.1 Mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan.
1.3.2 Mendeskripsikan kekerasan yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur menurut perspektif Johan Galtung.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua buah manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan mengenai sastra dan juga penelitian sastra yang dikaji menggunakan teori
kekerasan dan kekuasaan Johan V. Galtung, khususnya mengenai kekerasan dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.
1.4.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam bidang pendidikan, khususnya untuk pengajaran sastra di sekolah dapat menjadi sejarah munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada era orde baru. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka digunakan untuk mengetahui keaslian sebuah penelitian. Pada bagian ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan terkait dengan objek formal dan teori yang pernah dibahas peneliti sebelumnya. Peneliti menemukan pustaka yang pernah menggunakan objek formal yang sama, yakni Eriyani (2007), Poku (2019). Peneliti juga menemukan pustaka yang pernah menggunakan objek material yang sama, yakni Adji (2019), dan Nurhiyasti (2020.).
Dalam artikel yang berjudul “Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam Perspektif Feminisme”, Eriyani (2017) membahas aspek gender dalam pemikiran Johan Galtung tentang kekerasan. Dengan menggunakan sosiologi pengetahuan, artikel ini mencoba menganalisis hubungan antara Johan Galtung dan latar belakang kehidupannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan studi literatur menggunakan data sekunder. Penelitian ini menemukan bahwa ada kesamaan antara pemikiran Johan Galtung dengan berbagai aliran feminisme yang pernah ada. Berbicara tentang kekerasan langsung, Johan
Galtung menempatkan perempuan berhadapan dengan laki-laki yang merupakan pelaku kekerasan. Dalam upayanya mewujudkan perdamaian, Johan Galtung menginginkan persamaan antara jenis kelamin, di mana ada kerjasama dan keseimbangan peran antara pria dan wanita yang semuanya mengarah pada proses perdamaian.
Adji (2019) dalam artikel yang berjudul “Relasi Kekuasaan Dalam Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur” membahas permasalahan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Artikel ini menggunakan kerangka berpikirnya Fairclough, Bourdieu, dan Gramsci. Teori tersebut mengungkapkan tiga gagasan, yaitu bahasa sebagai modal, dominasi kekuasaan, dan konter dominasi/hegemoni. Artikel ini menujukkan secara jelas bahwa novel Lolong Anjing di Bulan terdapat relasi kekuasaan. Nampak dominasi yang tergambar dilakukan oleh masyarakat politik, tentara RI, yang bertindak sangat koersif kepada masyarakat sipil di Aceh. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa perlawanan terhadap dominasi dilakukan oleh kelompok intelektual. Mereka berasal dari (1) masyarakat sipil dan kemudian berubah menjadi masyarakat politik; (2) masyarakat politik yang berhasil melakukan hegemoni kepada masyarakat sipil untuk melawan dominasi RI.
Ideologi konter dominasi/hegemoni ini adalah pengelolaan alam untuk bertahan hidup, ketenteraman hidup, serta harga diri.
Nurhiyasti (2020), dalam skripsinya menganalisis nilai heroik yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Nurhiyasti menemukan masalah yang harus dianalisis dalam penelitiannya, yaitu bagaimanakan nilai heroik yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Tujuannya
agar, peneliti dapat mendeskripsikan nilai-nilai heroik yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Teknik analisis yang dilakukan oleh Nurhiyasti dalam penelitiannya menggunakan teknik analisis kualitatif.
Penelitiannya tersebut didapatlah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai heroik dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.Hasil penelitiannya meliputi (1) nilai keberanian; (2) nilai optimis; (3) nilai pantang menyerah; (4) nilai rela berkorban; dan (5) nilai persatuan.
Dari hasil kajian pustaka di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai kekerasan sudah beberapa dilakukan oleh peneliti lainnya. Sudah ada juga beberapa peneliti yang mengambil objek material dari novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur. Dalam tinjauan pustaka di atas ternyata terdapat dua penelitian yang juga menggunakan novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur ini, namun belum ada penelitian yang mengambil fokus imaji kekekerasan perspektif Johan Galtung.
1.6 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan instrinsik yang digunakan untuk menganalisis struktur novel, dan pendekatan ekstrinsik, yang digunakan untuk menganalisis aspek sosiologis novel, khususnya imaji kekerasan dalam perspektif Johan Galtung.
1.6.1 Kajian Unsur Intrinsik
Elemen atau unsur-unsur yang membangun sebuah fiksi atau cerita rekaan, novel termasuk di dalamnya, terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Fakta
cerita terdiri atas tokoh, unsur plot atau alur, dan setting atau latar. Sarana cerita meliputi hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih atau menata detil-detil cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsur judul, sudut pandang, gaya dan nada, dan sebagainya (Sayuti, 1988: 147). Adapun unsur-unsur intrinsik yang dikaji dalam penelitian ini, antara lain:
1.6.1.1 Unsur Alur
Menurut Nurgiyantoro, alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton, 1995: 113).
Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995:113).
Mengidentifikasi alur sebuah novel tak ubahnya menguraikan kronologi dan menganalisis hubungan sebab akibat antar kejadian-kejadian penting dalam novel itu sendiri. Alur awal atau peristiwa merupakan alur yang menceritakan situasi mulai terbentangnya sebagai suatu kondisi permulaan, alur tengah atau konflik merupakan penggambaran kondisi yang mulai memuncak, dan alur akhir atau klimaks merupakan kondisi memuncak sebelum memulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian.
1.6.1.1.1 Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian itu, kita akan dapat membedakan kalimat- kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antar
kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang mendiskripsikan ciri-ciri fisik tokoh (Nurgiyantoro mengutip Luxemburg, dkk.
1992:150).
1.6.1.1.2 Konflik
Menurut Meredith & Fitzgerald dalam Nurgiyantoro (1972:27), konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memlih peristiwa itu menimpa dirinya.
1.6.1.1.3 Klimaks
Menurut Stanton (1965: 16), klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks sangat menentukan (arah) perkembangan plot. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2015: 127), klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dengan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan.
1.6.1.2 Tokoh dan Penokohan
Menurut Semi (1948: 28) tokoh dan penokohan, merupakan sesuatu yang terstruktur. Memiliki fisik mental yang secara bersama-sama membentuk suatu totalitas perilaku yang bersangkutan. Segala tindakan dan perilaku jalinan hubungan yang logis. Nurgiyantoro (1995: 165) juga mengemukakan bahwa tokoh
merupakan pelaku dalam sebuah cerita, sedangkan penokohan merupakan sifat atau karakter yang dimilki oleh tokoh. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelaku gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Penokohan/karakterisasi merupakan karakter dan perwatakan yang menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tokoh utama dan tokoh tambahan yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.
1.6.1.2.1 Tokoh Utama
Dalam Nurgiyantoro (2015), tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam sebuah cerita. Penceritaan tentang tokoh utama tersebut, baik sebagai pelaku kejadianataupun sebagai yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga menjadi tokoh penentu perkembangan alur dalam sebuah cerita.
1.6.1.2.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang sering hadir dengan cerita yang lebih sedikit dari tokoh utama. Dalam cerita, tokoh tambahan juga mempunyai peran penting dalam mengembangkan atau membangun unsur dalam cerita. Namun dalam penelitian ini, tokoh tambahan yang dianalisis adalah tokoh tambahan yang berkaitan dengan jalannya cerita kearah tindak kekerasan struktural, kekerasan personal, dan kekerasan budaya.
1.6.1.3 Latar
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216) latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Analisis ini menggunakan tiga aspek latar, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
1.6.1.3.1 Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2015: 314). Latar tempat yang akan dikaji dan dipaparkan adalah latar tempat kejadian berdasarkan terjadinya dan latar tempat yang berhubungan dengan terjadinya tindakan kekerasan.
1.6.1.3.2 Latar Waktu
Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi (2015:
31), latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita fiksi. Latar waktu dalam fiksi bisa menjadi dominan dan fungsional jika diagram secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah.
Dalam penelitian ini, latar waktu yang akan dikaji dan dipaparkan adalah latar waktu yang berhubungan waktu berdasarkan zaman terjadinya dan latar waktu yang berhubungan dengan terjadinya tindak kekerasan.
1.6.1.3.3 Latar Sosial
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. (Nurgiyantoro, 2015: 322).
1.6.2 Teori Kekerasan dalam Perspektif Johan Galtung
Para ahli juga mengemukakan teori Johan Galtung, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Dengan kata lain, bila potensial lebih tinggi dari yang aktual, ada kekerasan. Jadi, kekerasan di sini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual (Windhu, 1992: 64).
Dalam Santosa (2000), Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai “segala hal yang membuat orang terhalang untuk mengaktualisasikan diri. Definisi ini memiliki tipologi kekerasan, yaitu (1) kekerasan langsung atau personal, yaitu kekerasan yang dilakukan satu pihak kepada pihak lain, (2) kekerasan tidak langsung atau struktural, yaitu kekerasan yang terjadi secara built-in dalam struktur, sehingga tidak ada pelakunya secara langsung, dan (3) kekerasan budaya,
yaitu ruang budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia, sebagaimana dicontohkan dalam agama dan ideologi, seni dan bahasa, ilmu yang dapat dipakai untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung maupun struktural.
Menurut Galtung dalam Windhu (1992: 74), kekerasan dibagi menjadi tiga, yaitu kekerasan Struktural, kekerasan Personal dan kekerasan Simbolis. Kekerasan personal bertitik berat pada "realisasi jasmani aktual". Galtung membagi tiga cara dalam melihat kekerasan personal, yaitu; 1) menggunakan badan atau senjata, 2) bentuk organisasi seperti individu, massa atau pasukan, 3) yang menuju sasaran (manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara
struktural) dan secara fungsional (fisiologis). Pembedaan antara yang anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi.
Gambar 1
Trilogi Kekerasan Johan Gatung (Sumber: Prasojo, 2020)
Diambil dari laman www.scribd.com, mengatakan bahwa gambar di atas terdapat sebuah garis yang menandakan adanya pembatas antara kekerasan terlihat atau (visible) dan tidak terlihat (invisible). Masing-masing kekerasan dapat dikatakan bahwa kekerasan langsung sering kali didasari atas penggunaan kekuasaan, sedangkan kekerasaan tidak langsung (struktural) adalah terciptanya penggunaan kekuasaan struktural, seperti orang yang memiliki kebijakan atau wewenang dalam menciptakan kebijakan publik, dan kekerasan cultural adalah kekerasan yang berbasis pada ideologis atau budaya.
Dari teori-teori di atas yang membahas teori Johan Galtung, peneliti mengambil teori Johan Galtung menurut perspektif Prasojo. Kekerasan menurut Johan Galtung dilihat dari perspektif Prasojo terdapat tiga kekerasan yang dibahas.
Yang pertama adalah kekerasan langsung, yang membahas kekerasan yang dapat dilihat langsung dan dilakukan oleh orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang berpengaruh. Kedua ada kekerasan tidak langsung, kekerasan yang tidak terlihat siapa pelakunya tetapi dapat diketahui bahwa pelakunya adalah orang yang memiliki kebijakan dan kekuasaan penuh di salah satu wilayah. Yang ketiga adalah kekerasan kultural atau budaya, kekerasan ini adalah kekerasan yang timbul karena munculnya kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Paradigma dan Pendekatan
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Renne Wellek dan Austin Warren. Kajian sastra dibagi atas dua pendekatan, yakni pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan pendekatan intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara langsung muncul dalam sebuah cerita dan membangun cerita (Nurgiyantoro, 1995: 23) pendekatan ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, namun tidak memengaruhi bangun atau sistem organisme karya sastra.
Dalam kajian unsur-unsur ekstrinsik, penulis menggunakan teori kekerasan menurut perspektif Johan Galtung. Galtung membedakan kekerasan sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi (C), sikap (A), dan perilaku (B).Konflik segitiga menurut Galtung dibagi menjadi tiga, yaitu langsung, struktural, dan kultural.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan catat. Peneliti hanya berperan sebagai pengamat atas peristiwa yang terjadi di dalam novel, tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Setelah melakukan kegiatan simak data, peneliti kemudian mencatat hasil dari kegiatan simak tersebut dalam bentuk tulisan.
1.7.3 Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menganalisis serta mendeskripsikan konflik batin dari keluarga Dahli yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan Karya Arafat Nur. Metode deskriptif merupakan suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set lokasi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 1998). Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diamati.
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode analisis informal.
Dalam penyajian, hasil penelitian ini disajikan menggunakan kata-kata biasa yang dapat langsung dipahami secara mudah oleh para pembaca. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari novel setebal 366 halaman yang berjudul Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur dan diterbitkan oleh Sanata Dharma University Press tahun 2018 di Yogyakarta.
1.7.5 Sumber Data
Sumber data merupakan sebuah komponen yang penting dalam sebuah penelitian. Penulis dalam penelitian ini menggunakan karya sastra populer dengan identitas sebagai berikut:
Penulis Novel : Arafat Nur Tebal Novel : 343 halaman Genre Novel : Sejarah
Penerbit : Sanata Dharma University Press Tahun terbit : 2018
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam penelitian ini dibagi menjadi empat bab, sebagai berikut.
Pada Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan, landasan teori, dan metode penelitian.
Bab II berisi unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.
Bab III berisi imaji kekerasan yang terdapat dalam novel Lolong Anjing di Bulan.
Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan, kritik dan saran.
16 BAB II
KAJIAN UNSUR INTRINSIK
NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN KARYA ARAFAT NUR
2.1 Pengantar
Pada bab ini, akan dipaparkan hasil penelitian tentang unsur intrinsik dari novel Lolong Anjing Di Bulan karya Arafat Nur. Hasil penelitian unsur intrinsik yang akan dipaparkan meliputi: alur, tokoh, penokohan, dan latar. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan membuktikan adanya tindakan kekerasan yang terdapat dalam objek material.
2.2 Analisis Alur atau Plot
Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton, 1995: 113).
Dalam penelitian ini, peneliti akan membagi alur menjadi tiga bagian yaitu, peristiwa, konflik, dan klimaks. Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh tiga unsur tersebut. (Nurgiyantoro, 2015: 173).
2.2.1 Peristiwa
Peristiwa sendiri dapat diartikan peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat membedakan kalimat- kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antar kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang
mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh (Nurgiyantoro, dalam Luxemburg dkk, 1992:
150).
(1) Suatu petang di bulan Juli 1989, kedai kopi Leman di Tamoun tiba-tiba sesak oleh kerumunan manusia. Terdengar keriuhan orang-orang yang bersorak-sorai. Keriuhan itu tiba-tiba senyap ketika Arkam membuka suara. Suaranya yang lantang menembus keluar kedai itu. (Nur, 2018: 1).
Pada kutipan (1) dijelaskan bahwa peristiwa dalam novel berawal dari munculnya tokoh Arkam yang berperan sebagai pemimpin dari para pejuang GAM.Kutipan di atas menggambarkan keriuhan yang tiba-tiba senyap ketika Arkam mulai berbicara lantang.
(2) Karena penyerangan sering terjadi berulang kali di sekitar Simpang Mawak dan kampung-kampung di belakang Pasar Buloh Blang Ara, serdadu-serdadu itu sering menjadi kalap, memukuli penduduk, dan menganiyaya siapa saja yang mereka temui di jalan. Penyerangan itu dilakukan kelompok pasukan Arkam untuk menakut-nakuti dan melelahkan tentara. Maka tentara-tentara yang tidak bisa tidur nyenyak di malam hari itu, kerap melampiaskan kemarahannya kepada siapa saja.
(Nur, 2018: 72)
Pada kutipan (2) dijelaskan bahwa adanya kejadian yang dilakukan oleh Arkam dan pasukannya untuk menakut-nakuti para tentara. Kejadian itu membuat tentara tidak bisa tidur nyenyak karena takut sewaktu-waktu Arkam datang menyerang ke pos jaga mereka. Kejadian itu membuat para tentara yang kurang tidur melampiaskan kemarahannya pada rakyat Aceh dengan memukuli siapa saja yang ditemuinya di jalan.
(3) Keesokan harinya, empat orang Kampung Cot Meureubo menggotong mayat Arkam dan menyerahkannya kepada Ayah. Di tubuhnya yang kurus ceking itu terdapat dua belas lubang tembakan. Sebelah bola matanya keluar. Jasad Arkam yang tercabik-cabik peluru itu disemayamkan di rumah kami, sengaja disembunyikan dari Nenek yang sedang sekarat. (Nur, 2018: 146)
Pada kutipan (3) diceritakan bahwa peristiwa yang Nampak selanjutnya adalah ketika Arkam ditemukan tewas dalam keadaan yang mengenaskan. Dari peristiwa tersebut tampaklah para pejuang lainnya ingin melancarkan serangan balas dendam kepada tentara dan ingin menghabisinya.
Dalam pembahasan di atas, terdapat tiga pembagian peristiwa, yaitu peristiwa awal, peristiwa tengah, dan peristiwa akhir. Peristiwa awal dimulai dari datangnya Arkam kembali ke Aceh. Arkam mulai berorasi kepada masyarakat Aceh di Keldai Leman tentang keadaan Aceh yang semakin memburuk semenjak masa orde baru ini. Arkam mengatakan bahwa akan melakukan perlawanan terhadap tentara yang telah membuat rakyat Aceh sengsara. Peristiwa tengah diceritakan dengan mulainya serangan Arkam dan para pejuang Aceh kepada tentara. Serangan tersebut membuat tentara tidak tenang, dan tidak bisa tidur, sehingga menyebabkan tentara semakin sadis menghabisi rakyat Aceh, dan menganggap rakyat Aceh semua pemberontak. Peristiwa akhir yang diceritakan dalam novel ini adalah ditemukannya mayat Arkam dalam keadaan mengenaskan. Peristiwa tersebut membuat geram para pejuang dan mulai dari peristiwa tersebutlah pejuang Aceh melancarkan balas dendamnya dengan semakin nampak untuk menghabisi tentara.
2.2.2 Konflik
Dalam Nurgiyantoro (2015: 178), konflik merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot pada sebuah teks fiksi. Berikut adalah konflik yang ada dalam novel Lolong Anjing di Bulan.
(4) Yang kubenci adalah manusia-manusia laknat yang telah membunuh Ayah, dan membunuh ribuan lelaki lainnya yang tak berdosa; yang telah memerkosa Baiti, dan memerkosa ratusan perempuan lainnya yang tak bersalah. Tak tahu aku sebesar apa amarah yang harus kubendung bertahun-tahun.
Kutipan (4) menjelaskan adanya konflik yang berawal dari terbunuhnya tokoh Ayah serta diperkosanya Baiti dan ratusan perempuan lainnya. Nazir membenci para tentara dan marah kepada mereka, ia membendung semua itu selama bertahun-tahun.
2.2.3 Klimaks
Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstren, barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam pengertian yang luas) tokoh utama (protagonist dan antagonis) cerita ditentukan (Nurgiyantoro, 2015: 185).
(5) Sejak saat itu pandanganku terhadap dunia jadi berbeda. Aku begitu benci pada serdadu-serdadu yang mengaku membela rakyat. Nyatanya, mereka menyakiti dan membunuhi rakyat. Dan, aku, yang berada di tempat dan di saat itu, terpaksa menghadapi segala sesuatu yang tidak pantas kuterima. Orang-orang terdekatku, orang-orang yang kucintai, sekarang sudah mereka renggut. Kelak, mungkin mereka akan membunuhku juga, tak peduli aku memberontak atau tidak. Ada saja alasan-alasan yang bisa mereka kemukakan untuk membunuhku. (Nur, 2018: 178-179).
(6) Ada yang menggelegak dalam diriku kala itu, saat kupandangi tubuh Ayah. Rasa itu menusuk luka hatiku begitu dalam sehingga aku tidak bisa menangis. Ayah adalah manusia paling baik yang pernah kukenal, bahkan anjing pun begitu menyayanginya. Namun, dia telah dianiaya dan dibunuh secara keji hanya karena keterlibatannya yang tak bisa dianggap melawan negara. (Nur, 2018: 181).
Kutipan (5) dan (6) menceritakan bahwa Nazir sangat marah akibat ulah yang dilakkan para serdadu-serdadu yang dulu mengaku membela rakyat. Serdadu itu menghabisi dan menyakiti banyak rakyat yang tidak bersalah dan yang paling membuat Nazir marah adalah, para serdadu itu menghabisi keluarganya, Kakek, Baiti yang disetubuhi dengan paksa oleh tiga serdadu, juga Ayah yang telah
dianiaya dan dibunuh secara keji hanya karena keterlibatannya yang tak bisa dianggap melawan negara.
(7) Terlalu banyak persoalan yang ku hadapi dan aku tidak mungkin mengatakannya sekarang. Aku belum siap untuk kawin. Selain masih terlalu muda, aku berencana untuk bergabung dengan pasukan Ahmad Kandang.Aku begitu bersemangat untuk ikut berjuang mengusir penjahat-penjahat yang telah membunuh Ayah, memerkosa Baiti, dan membantai ribuan penduduk. (Nur, 2018: 244)
Pada kutipan (7) dijelaskan bahwa puncak konflik dalam novel ini adalah saat Nazir merasa bersemangat untuk ikut berjuang mengusir tentara yang telah membunuh Ayah, memerkosa Baiti, dan membantai ribuan penduduk.
(8) Apa yang dikatakan Ahmad Kandang menyulut kembali bara di dadaku yang sudah mulai mereda. Melihat kenyataan yang sedang berlangsung sekarang, sulit membantah apa yang diuangkapkannya. Kejahatan tentara sekarang sudah sampai pada rencana hendak membantai semua penduduk Aceh.Padahal pada zaman awal pemerintahan Presiden Soekarno, rakyat Aceh telah menyumbangkan pesawat terbang di saat rakyat lainnya bernapas saja sulit. (Nur, 2018: 239).
Pada kutipan (8) diceritakan bahwa kebencian Nazir yang tadinya mulai mereda terhadap serdadu kini muncul lagi. Di kutipan ini Nazir juga ingin ikut bergabung dengan Ahmad Kandang untuk memberhentikan serdadu yang berencana membantai semua penduduk Aceh. Nazir juga ingin membalaskan dendamnya ke serdadu yang telah menghancurkan keluarganya.
2.3 Tokoh dan Penokohan
Menurut Semi (1948: 28) tokoh dan penokohan, merupakan sesuatu yang terstruktur. Memiliki fisik mental yang secara bersama-sama membentuk suatu totalitas perilaku yang bersangkutan. Segala tindakan dan perilaku jalinan hubungan yang logis. Nurgiyantoro (1995: 165) juga mengemukakan bahwa tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita, sedangkan penokohan merupakan sifat atau
karakter yang dimilki oleh tokoh. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelaku gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Penokohan/karakterisasi merupakan karakter dan perwatakan yang menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.
2.3.1. Tokoh Utama
Tokoh utama adalah Dalam Nurgiyantoro (2015), tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam sebuah cerita. Penceritaan tentang tokoh utama tersebut, baik sebagai pelaku kejadian ataupun sebagai yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga menjadi tokoh penentu perkembangan alur dalam sebuah cerita.
2.3.1.1 Dahli
Dalam novel Lolong Anjing Di Bulan, Dahli digambarkan sebagai seorang pedagang. Dahli mulai memutuskan untuk mengubah pekerjaan dan hidupnya setelah mengenal Hamamah. Ia rela menjual seluruh barang miliknya dengan membanting harga secara gila-gilaan demi hidup bersama Hamamah, membeli tanah, rumah, dan akhirnya hidup di suatu kampung sebagai petani.
(9) Setelah menikahi Ibu, Ayah mengobral semua barangnya dengan membanting harga gila-gilaan yang membuat dagangannya habis dalam waktu singkat. Dari uang hasil dagangan terakhir itu, ditambah simpanannya, dia membeli tanah dan membangun rumah kecil, lalu hidup sebagai petani di kampung ini (Nur, 2018: 8).
Kutipan (9) menggambarkan Dahli sebagai sosok yang bertanggungjawab dan sayang pada pilihan hatinya. Ia rela menjual apa yang dimilikinya untuk dapat hidup bersama istrinya itu. Namun, bukan hanya ingin hidup bersama saja, Dahli juga bertanggungjawab dengan membeli tanah dan membangun rumah untuk tempat berlindung dirinya juga keluarganya kelak. Dahli juga memenuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja sebagai petani yang gigih.
(10) Terdengar suara batuk-batuk Ayah: dia memang sering batuk-batuk ketika terlalu banyak merokok. Setelah batuknya hilang, Ayah berujar,
“Aku senang kau mengabarkan perkembangan ini. Tapi, aku Cuma petani yang tidak mengerti apa-apa. Sekolah Rakyat pun aku tidak tamat.Ke kota pun aku jarang turun, dan tidak tahu bagaimana bentuk Lhokseumawe.” (Nur, 2018: 23).
(11) Terdengar tawa tertahan Ayah. Rupanya Ayah geli mendengar penjelasan Arkam. Namun, Ayah setahuku, bukanlah orang yang suka terlibat urusan pergerakan, apalagi melawan pemerintah, yang mau tidak mau akan berhadapan dengan senjata serdadu yang jumlahnya teramat banyak. Dan, jika serdadu-serdadu itu mati, pemerintah di Jakarta akan mengirimkan yang lainnya lagi (Nur, 2018: 24).
Kutipan (10) di atas menggambarkan bahwa Dahli adalah seorang yang rendah diri. Dalam cerita itu Dahli sedang dibujuk oleh adik iparnya untuk membantunya dalam penyerangan melawan pemerintahan Soeharto. Arkam, adik iparnya tiba-tiba meminta Dahli untuk menjadi Camat Buloh Blang Ara. Tetapi Dahli menolak secara halus dengan merendahkan dirinya bahwa ia tidak pantas dan tidak cocok untuk menjadi camat. Lanjut dalam kutipan (11), Dahli juga seseorang yang tidak ingin terlalu ikut campur dengan urusan penyerangan, terlebih masalah politik.
(12) Di belakang rumah, aku menghampiri Ayah yang sedang memperbaiki lantai kendang kambing, tempat kambing tidur sambal memamah makanan di malam hari. Sampah perapian di tengah kendang membentuk bukit kecil yang akan dinyalakan menjelang Magrib. Di sekeliling lantai,
yang berlapir abu bakaran, telah bersih meninggalkan jalur-jalur bekas lidi sapu.
(13) Ayah sedang bersiap-siap. Topi caping yang dikenakannya membuat wajahnya lebih tampan. Dia meletakkan gagang cangkul di bahunya dan menating bungkusan kecil plastik dengan sebelah tangannya. Dia melirikku, “Ayo, Zir, kita berangkat,” serunya (Nur, 2018: 26).
Kutipan (12) dan (13) tampak bagaimana Dahli menjadi seorang suami yang rajin bekerja juga seorang ayah yang bertanggungjawab, Dahli mengajarkan pada anak-anaknya untuk tidak bermalas-malasan. Ia mengjarkan bahwa agar bisa makan harus bekerja. Maka, anak-anaknya juga mantunya saling tolong menolong dalam mengurus kebun juga ladang dan ternak. Sedari kecil hingga dewasa anak- anaknya dididik menjadi anak yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
(14) Begitu Ayah tiba di dangau, Nono menyongsong, menggonggong, dan mengitarinya. Ayah mengisi tempurung kelapa dengan sisa nais yang dicampur potongan kepala ikan tongkol-sebagaimana yang Ibu lakukan ketika memberi makan Manis, kucing kami. Nono, yang menunduk, tampak begitu berterima kasih pada Ayah. (Nur, 2018: 27).
(15) Namun, Ayah tidak prtnah mengikat Nono di ladang. Dia, percaya pada anjing itu. Memang anjing itu patuh. Sekalipun dia pulang, tidak lama dia akan kembali lagi ke lading tanpa diperintah. Karena tidak terikat, Nono bisa lepas bergerak, berlari-lari mengitari lading supaya mengawasi jika ada satu dua ekor monyet yang meyusup diam-diam (Nur, 2018: 29).
Kutipan (14) dan (15) menggambarkan bahwa Dahli bukan hanya sayang pada keluarganya tetapi ia juga perhatian dan baik pada anjing peliharaannya, Nono.Ia menyayangi Nono seperti ia menyayangi anaknya sendiri. Hatinya yang tulus digambarkan di dalam novel Lolong Anjing Di Bulan ini.
(16) “Ya, sudah, berhenti saja, Pak,” kata Ibu menukas langsung dengan tatapan bingung.
“Itulah masalahnya,” ulang Ayah seperti menegaskan.
“Seharusnya dari awal aku tidak terbujuk adikmu itu. Entah apa alasan sesungguhnya melibatkanku dalam perjuangan ini.” (Nur, 2018: 32).
Dalam kutipan (16) Dahli digambarkan sebagai seorang yang tidak tegas pada dirinya sendiri. Kejadiaan itu bermula saat Arkam meminta dirinya menjadi camat.
Dahli sebernarnya ingin menolak, tetapi ia tidak berani berucap tegas pada Arkam.
Ia diam saja dan akhirnya mau tidak mau jabatan tersebutmelibatkannya menjadi bagian dari perjuangan GAM.
(17) Dalam perjalanan menuju ladang kunyit, aku menemukan dangau yang rupanya baru dibangun. Dangau yang dirindangi sebatang kemuri itu telah dipasangi dinding berupa potongan bilah bambu selebar tiga ruas jari. Bagian dalamnya dilapisi karung plastik beras yang didedah agar angin tak bebas menyusup melalui regangannya. Di dalam sana ada kelambu tua kusam, tikar pandan, sebuah bantal, dan selimut kain batik.
Rupanya di sinilah Ayah bersembunyi selama hampir seminggu. (Nur, 2018: 63).
(18) Namun, Ayah khawatir akan terjadinya kesalahan. Sesuatu yang tak terduga bisa saja terjadi. Bisa saja sekelompok serdadu tiba-tiba muncul dan menembaknya, lalu istrinya menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim. Ayah ingin menyampaikan kepada adik iparnya bahwa jabatannya sewaktu-waktu bisa membunuhnya seperti nasib lelaki di belakang masjid yang ditembak beberapa bulan lalu. (Nur, 2018: 66).
Kutipan (17) dan (18), Dahli digambarkan memiliki rasa takut yang luar biasa. Bukan karena dia pengecut, tetapi ia tidak ingin keterlibatannya dengan perjuangan tersebut membuat keselamatan keluarganya terancam. Dahli juga khawatir jika nantinya dia dibunuh, istri serta anak-anaknya akan kesulitan hidup tanpa dirinya. Pada akhirnya, Dahli memilih untuk pergi dari rumah agar serdadu tentara tidak mengusik tempat tinggal yang berisi anggota keluarganya itu.
2.3.1.2 Nazir
Dalam cerita, Nazir adalah anak lelaki satu-satunya yang dimiliki Dahli dan Hamamah. Dia merupakan adik dari Raziah dan Baiti, serta kakak dari Zuhra.
Sedari kecil, ia sudah terbiasa membantu orang tuanya bekerja di ladang. Nazir merupakan memiliki sifat penyayang, rajin bekerja, dan pemberani. Diceritakan
bahwa ketidaktentraman hidup Nazir dan keluarganya dimulai saat tentara masuk ke Aceh. Saat itu Nazir masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
(19) Ketika aku meletakkan makanan itu, Nono langsung menyantapnya dengan lahap seraya sesekali mengangkat kepalanya melirikku, seolah mengucapkan terima kasih. Memang anjing tidak bisa mengucapkan terima kasih seperti manusia, tetapi binatang itu tahu cara membalasanya.
(Nur, 2018: 265)
Kutipan (19) menunjukkan bahwa Nazir merupakan anak yang penyayang.
Hal tersebut dapat terlihat dari perhatian dan rasa sayang yang ia tunjukkan kepada Nono – hewan peliharaannya dengan memberinya makanan.
(20) Sementara Ayah menyelesaikan pekerjaannya, aku melangkah ke salah satu sudut dapur. Ku ambil kapak yang matanya disematkan diantara dinding dapur dan balok kayu, lalu kubelah dua batang sagu supaya ayam bisa mematukinya dengan mudah.Ayam-ayam yang berjumlah belasan ekor seperti tahu bakal ada makanan, dan keluar dari kebun. (Nur, 2018:
26).
Pada kutipan (20), Nazir digambarkan sebagai anak yanh rajin. Ketika Ayahnya bekerja, ia tidak lantas berdiam diri saja. Diambilnya kapak yang disematkan diantara dinding dapur dan balok kayu, lalu dia bergegas membelah dua batang sagu untuk makan ayam.
(21) Pertama kali aku melepaskan tembakan, senjata itu mengamuk, mengguncang-guncang kedua lenganku. Tubuhku ikut bergetar, seolah semua isi dalam tubuhku ikut terguncang. Aku mencengkramnya sekuat tenaga, mengarahkan pada sebuah truk yang melaju di jalan perbatasan kampung Ceumpeudak dan Simpang Keuramat.Urat-urat lenganku bermunculan dengan bintik keringat bertebaran, berbaur serpihan debu.
(Nur, 2018: 323).
Pada kutipan (21), Nazir digambarkan sebagai tokoh yang berani. Hal tersebut terlihat dari pertama kalinya dia menggunakan senjata dan belajar menembak. Senjata itu mengamuk dan mengguncangkan tubuhnya. Walau
demikian, ia tetap berani membidik ke arah sebuah truk yang melaju di jalan perbatasan kampung Ceumpeudak dan Simpang Keuramat.
2.3.1.3 Arkam
Tokoh Arkam dalam cerita digambarkan sebagai adik dari Hamamah, dan paman bagi anak-anak dalam keluarga Dahli. Arkam merupakan orang yang memegang kendali dalam kelompok GAM, ia menjabat sebagai panglima sagoe dalam kelompok tersebut. Arkam merupakan pribadi yang ambisius, sombong, nekat, dan berani menentang ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat Aceh.
Namun, terlepas dari sifat kerasnya itu, ia juga memiliki sifat penyayang terhadap keluarganya.
(22) Aku tahu semua jenis senjata itu karena Arkam menjelaskannya berulang-ulang seraya mengacung-acungkannya ke hadapan orang-orang yang mengitarinya. (Nur, 2018: 4)
(23) Arkam pun sesumbar tentang kehebatannya menembak dari jarak jauh.
Latihan keprajuritan yang diajarkan oleh para pejuang lebih hebat dibandingkan latihan serdadu pemerintah yang hanya dibekali senjata bekas perang dunia kedua dengan peluru yang sering macet dan bidikan yang tidak tepat. (Nur, 2018: 5).
Pada kutipan (22) dan (23) terlihat jelas bahwa Arkam merupakan pribadi yang sombong. Ia menjelaskan sembari mengacung-acungkan senjata yang dimilikinya seolah sedang pamer. Arkam juga sesumbar mengenai kehebagannya menembak dadi jarak jauh. Ia meremehkan para serdadu tentara dengan mengatakan bahwa senjata yang mereka punya adalah senjata bekas dari perang dunia kedua, terlebih lagi para tentara dikatakan tidak handal dalam membidik musuh.
(24) Arkam terlihat selalu bersemangat. Dia terus mempengaruhi penduduk sebagai upayanya memasang pertahanan di setiap kampung yangdijejakinya. (Nur, 2018: 69).
Arkam juga memiliki sifat yang ambisius. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan (24), ia terus memengaruhi penduduk kampung sebagai upaya untuk memasang pertahanan di setiap kampung yang dijejakinya.
2.3.2 Tokoh Tambahan 2.3.2.1 Hamamah
Dalam novel Lolong Anjing Di Bulan karya Arafat Nur ini, sosok Hamamah digambarkan sebagai seorang istri dari Dahli yang juga merupakan ibu dari Raziah, Baiti, Nazir dan Zuhra. Dalam cerita, Hamamah digambarkan sebagai seorang istri yang sangat perhatian dan sayang pada keluarganya, ia realis dan tidak suka bergunjing membicarakan keburukan orang lain tanpa adanya bukti yang jelas.
Hamamah tidak memiliki pendidikan yang tinggi, sehingga terkadang hal tersebut memicu terjadinya kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan suaminya.
(25) Ibu tidak suka berkumpul dengan perempuan-perempuan untuk bergunjing dan dia juga melarang Baiti. Namun, seringkali kakakku itu menghilang ke salah satu rumah tetangga setelah ia menambat kambing.
Ketika pulang dia tidak membawa kemiri ataupun kayu bakar yang membuat Ibu curiga dan minta penjelasan padanya. (Nur, 2018: 68).
(26) Ibulah yang akan mengikat kambing-kambing, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, dan memasak. (Nur, 2018: 68)
Dari kutipan (25) dan (26) di atas, dapat dilihat bahwa Hamamah adalah seorang yang rajin, dan tidak suka banyak bicara (bergunjing) seperti kebanyakan wanita di kampungnya.
(27) Ibu bergegas memetik beberapa helai daun Ilham muda. Tumbuhan liar yang tumbuh di pinggir jalan kacang hijau itu dilumatkan dengan cara dihimpit dan diputar di antara kedua telapak tangannya. Lumatan daun- daun Ilham yang mengekuarkan cairan hijau pekat itu ditempelkan ke
punggung jempol Ayah, tepat di tengah-tengah ruas jarinya. (Nur, 2018:
89).
Kutipan (27) menggambarkan sosok Hamamah yang menyayangi suaminya.
Pada saat itu Dahli mengalami luka di jari tangannya saat memotong serumpun batang kunyit yang dicabutnya. Hamamah langsung bergegas memetik beberapa helai daun Ilham muda untuk mengobati jari suaminya.
(28) “Entahlah, Arkam,” tanggap ibu cepat. “Aku yang tinggal dan besar di kampung ini, juga tidak paham dengan jalan pikiranmu. Yang aku tahu, gerakan orang-orang semacammu itu sudah mengundang banyak tentara berdatangan ke Aceh.” (Nur, 2018: 24).
Kutipan (28) menggambarkan bahwa tokoh Hamamah merupakan seorang yang realis. Ia mengatakan kepada Arkam bahwa gerakan yang dilakukan oleh orang-orang semcam dia hanya akan menambah banyak tentara masuk ke Aceh.
Walaupun Hamamah tidak begitu paham mengenai tujuan dari perjuangan, ia melihat sesuai dengan apa yang terjadi di depan matanya.
(29) “Kenapa kau tidak bisa memahami maksudku?”tanya Ayah, beralih kesal pada Ibu.
“Bukankah tadi Ayah bilang mau membunuhnya?”
“Iya,” jawab Ayah.“Tentu aku tidak sungguh-sungguh.”
“Oh, jadi, Ayah sedang bercanda?”
“Tidak juga.”
“Jadi apa?”
“Aduh, sulit sekali menjelaskan perumpamaan.”
“Apa itu perumpamaan?” tanya Ibu.
“Sudahlah, kau diam saja,” sergah Ayah.(Nur,2018: 65)
Pada kutipan (29) di atas menjelaskan bahwa latar pendidikan Hamamah yang tidak tinggi terkadang menyebabkan ketidakjelasan saat berkomunikasi dengan suaminya. Saat mengobrol dengan Dahli, Hamamah tidak paham dengan maksud perkataan suaminya karena ia tidak mengerti perihal perumpamaan. Ia menganggap bahwa apa yang disampaikan oleh suaminya memiliki makna yang sesungguhnya.
2.3.2.2 Raziah
Raziah dalam novel, diceritakan sebagai anak pertama dari Dahli dan Hamamah. Ia juga merupakan istri dari Muha dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Akbar. Dalam cerita, Raziah digambarkan sebagai seorang wanita yang tidak tamat sekolah karena biaya dan jarak sekolah yang amat jauh. Raziah sebagai anak pertama juga tinggal satu rumah dengan ayah dan ibunya, ia merupakan pribadi yang penyayang, rajin bekerja, dan berusaha agar tetap tegar di depan keluarganya.
(30) Begitu selesai ujian kenaikam kelas, pagi-pagi sekali di bulan Mei 1990, terjadi kesibukan kecil di rumah. Ayah menyembelih tiga ekor ayam jantan. Ibu, Nenek, dan Baiti sibuk di dapur. Raziah sesekali ke dapur, membantu sebisanya. Dia sering masuk ke kamar begitu mendengar Akbar merengek dan menyumpal mulutnya dengan tetek. (Nur, 2018: 49)
Pada kutipan (30) digambarkan tokoh Raziah yang rajin membantu keluarganya sambil tetap menjaga anaknya. Saat terjadi kesibukan di rumahnya, Raziah tidak lantas bermalas-malasan. Ia sesekali membantu di dapur. Raziah juga digambarkan sebagai pribadi yang penyayang, ia sangat sayang kepada anaknya.
Saat Akbar merengek, ia menyumpal mulutnya dengan tetek agar Akbar kembali tenang.
(31) Tiga tentara yang melihatku segera memalingkan wajah, seperti hendak mengesankan tidak ada urusan – denganku. Raziah, yang berdiri di balik pintu melirikku, mengisyaratkan dengan pandangannya agar aku lekas menyingkir dari halaman. Aku menangkap ketakutan pada roman wajahnya yang pucat.Dia sedang hamil tua dan perutnya yang besar membuat tubuhnya sulit bergerak. (Nur, 2018: 45)
Pada kutipan (31) dijelaskan bahwa Raziah merupakan pribadi yang berusaha tegar di depan keluarganya. Saat ada tiga tentara yang melewati rumah keluarga
Dahli, ia menyuruh adiknya untuk memyingkir dari halaman agar aman. Nazir melihat roman ketakutan di wajah Raziah yang pucat, namun Raziah tetap berusaha untuk tegar meskipun waktu itu ia tengah hamil tua dan sulit untuk bergerak.
2.3.2.3 Baiti
Dalam novel Lolong Anjing di Bulan, Baiti digambarkan sebagai anak kedua dari Dahli dan Hamamah. Diceritakan Baiti adalah seorang gadis yang baru beranjak remaja. Ia tumbuh menjadi gadis yang baik, walaupun kadang ia tidak menjalankan ibadah agamanya dengan baik. Di antara keempat anak Dahli dan Hamamah, hanya Baiti yang terlihat agak malas. Saat yang lain membantu orang tuanya mengurus ladang dan ternak, terkadang Baiti mencari-cari alasan agar pekerjaannya dilimpahkan pada yang lain. Selain agak malas, ia juga digambarkan sebagai pribadi yang kurang bisa mengontrol emosinya serta suka bergunjing.
Dibalik sifatnya yang seperti digambarkan sebelumnya, Baiti juga memiliki sifat yang pemalu.
(32) Anehnya, Baiti tidak kelihatan bersama kami. Ketika ku jenguk kamarnya, dia masih terlelap. Tidak ada seorang pun dari kami yang berusaha membangunkannya. (Nur, 2018: 61)
Pada kutipan (32), Baiti digambarkan sebagai pribadi yang malas. Terbukti pada saat terjadinya letusan besar di kampungnya, ia tetap terlelap tidur di kamarnya sementara semua anggota keluarga lainnya terbangun. Tidak ada seorang pun dari anggota keluarga Baiti yang membangunkan tidurnya.
(33) Pertengkaran dengan Baiti akan membuat suasana rumah semakin tidak nyaman. Biasanya kalau Baiti merajuk, dia tidak ingin melakukan tugas apapun. Dia akan mengurung diri dalam kamar sejak bangun pagi. Dua tiga hari kemudian, Baiti baru berdamai lagi dan ketika usai Magrib dia meletersendiri di dapur. (Nur, 2018: 68).
Pada kutipan (33), Baiti juga digambarkan sebagai pribadi yang pemarah.
Emosinya mudah sekali tersulut. Saat Baiti mulai merajuk, dia tidak akan melakukan tugas apapun di rumah. Baiti akan mengurung diri di kamar dan baru berdamai setelah dua sampai tiga hari kemudian.
(34) Ibu tidak suka berkumpul dengan perempuan-perempuan untuk bergunjing dan dia juga melarang Baiti. Namun, seringkali kakakku itu menghilang ke salah satu rumah tetangga setelah ia menambat kambing.
Ketika pulang dia tidak membawa kemiri ataupun kayu bakar yang membuat Ibu curiga dan minta penjelasan padanya. (Nur, 2018: 68).
Kutipan (34) menunjukkan bahwa Baiti senang bergunjing dengan perempuan-perempuan di desanya. Ia seringkali menghilang ke salah satu rumah tetangga setelah menambatkan kambing. Saat kembali ke rumah, ia tidak membawa kemiri ataupun kayu bakar, hal tersebut lantas membuat Ibu curiga kepadanya.
2.3.2.4 Zuhra
Zuhra merupakan anak keempat dalam keluarga Dahli. Dia memiliki dua orang kakak perempuan bernama Raziah dan Baiti, serta seorang kakak laki-laki bernama Nazir. Dalam cerita, Zuhra digambarkan sebagai anak perempuan yang tidak manja dan rajin. Sedari kecil, Zuhra sudah dididik oleh kedua orang tuanya untuk menjadi pribadi yang tidak suka bermalas-malasan.
(35) Zuhra yang telah berusia enam tahun, tetap mengikuti kemana saja Ibu pergi, tidak betah bersama Baiti yang suka menggodanya. Zuhra tidaklah manja, kecuali jika sedang sakit. (Nur, 2018: 124).
Pada kutipan (35), Zuhra digambarkan sebagai pribadi yang tidak manja, kecuali bila dia sedang sakit. Ia memilih untuk ikut dan membantu Ibunya dibandingkan bersama Baiti karena tidak suka digoda oleh Baiti.
2.3.2.5 Muha
Dalam cerita, Muha berperan sebagai suami dari Raziah dan ayah dari Akbar.
Muha dikenal sebagai pribadi yang penyayang, giat, dan juga pemberani. Walaupun Muha memiliki keterbatasan fisik karena mulutnya miring, ia tetap berusaha untuk percaya diri dengan tidak memerdulikan omongan negatif yang dilontarkan oleh beberapa orang di kampungnya.
(36) Sebagaimana pasangan muda yang sulit mandiri, Muha dan Raziah masih bergantung pada Ayah. Namun, di saat keadaan Ayah seperti ini, Muha- lah yang banyak membantu keluarga. Secara langsung Ayah tidak pernah memerintah Muha. Menantunya itu seperti tahu apa yang harus dikerjakannya. (Nur, 2018: 67)
(37) Hanya Muha, lelaki pendiam itu yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
(Nur, 2018: 88).
Kutipan (36) dan (37) menunjukkan bahwa Muha adalah sosok yang penyayang dan juga giat bekerja. Walaupun masih hidup bergantung dengan Ayahnya, muha tidak lantas menjadi seorang pemalas, ia menunjukkan rasa hormat dan sayangnya terhadap keluarga dengan tetap membantu pekerjaan-pekerjaan rumah. Bahkan tanpa perlu disuruh, Muha akan selalu bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
(38) Aku terkejut pada saat Muha memasuki ruangan itu. Aku tidak tahu kalau dia ikut serta dalam rapat rahasia seperti ini. (Nur, 2018: 240).
Pada kutipan (38) terlihat bahwa Muha merupakan orang yang berani mengambil keputusan. Saat Nazir mendatangi markas para pejuang, ia terkejut saat tahu bahwa Muha juga ikut serta dalam rapat rahasia pejuang GAM.
2.3.2.6 Kakek
Tokoh kakek dalam cerita ini digambarkan sebagai ayah dari Hamamah dan mertua dari Dahli. Kakek merupakan pribadi yang dan memiliki hati ikhlas.
Walaupun tidak tinggal dalam satu rumah dengan keluarga Dahli, kakek juga memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja merawat kebun pisang yang ia tanam bersama istrinya.
(39) “Jadi mau bagaimana kek?” tanya Nenek
“ Aku tidak tahu,” jawab Kakek, memerhatikan Ayah yang sedang sibuk menggergaji kayu di bawah pohon mangga.
“Aku tidak bisa berpikir. Setiap zaman ada perubahan, ada pemiliknya.Ini bukan zamanku lagi.”
“Bukankah Kakek bisa melarang Arkam?” tanya Nenek.
“Melarang bagaimana?,” Kakek balik bertanya. “Ini perjuangannya. Ya, sudah. Aku bisa apa, serahkan saja semuanya sama Allah.”
(Nur, 2018: 95).
Kutipan (39) menunjukkan bahwa Kakek merupakan seorang yang memiliki sifat ikhlas. Saat mengobrol dengan Nenek, ia mengatakan bahwa zaman sudah berubah dan sekarang bukan lagi zamannya. Kakek tidak dapat melarang Arkam untuk melakukan perjuangam, ia ikhlas menjalani dan menyerahkan semua akhirnya kepada Allah.
2.3.2.7 Nenek
Tokoh nenek dalam cerita ini digambarkan sebagai ibu kandung dari Hamamah dan mertua dari dahli. Nenek merupakan pribadi yang tabah. Selama tinggal bersama dengan kakek, ia turut serta membantu suaminya untuk merawat rumah serta kebun pisang milik mereka.
(40) Nenek meratap-ratap pilu sambil mengusap matanya dengan selendang.
Dia sepertinya tidak peduli dengan lubang hidung kirinya yang berdarah, luka yang baru disadarinya ketika menyapukan selendang ke hidung.
(Nur, 2018: 133).
Pada kutipan (40), Nenek digambarkan sebagai pribadi yang tabah. Saat tentara menyerang rumah dan membunuh suaminya, ia berusaha tabah dengan tidak pedulipada luka yang didapatkannya. Lubang hidung yang berdarah tidak ia rasakan
perihnya, nenek hanya meratap pilu sembari mengusap matanya saat melihat kakek yang sekarat.
2.3.2.8 Serdadu Tentara Pemerintahan
Para tentara yang diutus oleh pemerintah memiliki sifat yang kejam. Mereka tidak ragu-ragu untuk memusnahkan siapa saja yang tampak meawan pemerintah.
Selama menjajaki Aceh, para tentara tidak pandang buluh kepada masyarakat lokal di sana, siapa saja yang melakukan gerak-gerik mencurigakan akan dipukuli, bahkan bisa sampai di bunuh.
(41) Seorang serdadu lainnya mengambil parang yang tergeletak di dekat dinding. Ia menebang sebatang pohon pisang yang tidak jauh dari dapur dan menjadikannya bantal bagi si korban. Setelah kepala korban di sandarkan ke potongan pohon pisang itu, tentara berseragam loreng itu mundur beberapa langkah dan kemudian menembakinya secara beruntun. (Nur, 2018: 62)
Pada kutipan (41) ditunjukkan bahwa para tentara memiliki sifat yang kejam.
Semua orang yang dicurigai memiliki kaitan dengan para pejuang akan dihabisi.
Ada salah seorang warga yang dibunuh di depan rumahnya, ia dipukuli hingga lemas, setelah itu kepalanya disandarkan ke potongan pohon pisang untuk akhirnya ditembaki sampai mati. Padahal, kenyataannya, warga yang dihabisi itu bukan salah satu anggota pejuang.
(42) Semalaman kami tidak bisa, selain Zuhra. Ibu menangis dalam isakan redam di samping Baiti yang telah siuman. Tiga serdadu telah menindihnya, secara bergantian. (Nur, 2018: 169)
Selain memiliki sifat kejam, serdadu tentara juga memiliki sifat tidak hormat terhadap perempuan. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan (42) saat Ibu menangis di samping Baiti yang telah diperkosa oleh tiga orang serdadu secara bergiliran.