BAB II KAJIAN UNSUR INTRINSIK NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN
2.2 Analisis Alur atau Plot
2.3.1.3 Arkam
Tokoh Arkam dalam cerita digambarkan sebagai adik dari Hamamah, dan paman bagi anak-anak dalam keluarga Dahli. Arkam merupakan orang yang memegang kendali dalam kelompok GAM, ia menjabat sebagai panglima sagoe dalam kelompok tersebut. Arkam merupakan pribadi yang ambisius, sombong, nekat, dan berani menentang ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat Aceh.
Namun, terlepas dari sifat kerasnya itu, ia juga memiliki sifat penyayang terhadap keluarganya.
(22) Aku tahu semua jenis senjata itu karena Arkam menjelaskannya berulang-ulang seraya mengacung-acungkannya ke hadapan orang-orang yang mengitarinya. (Nur, 2018: 4)
(23) Arkam pun sesumbar tentang kehebatannya menembak dari jarak jauh.
Latihan keprajuritan yang diajarkan oleh para pejuang lebih hebat dibandingkan latihan serdadu pemerintah yang hanya dibekali senjata bekas perang dunia kedua dengan peluru yang sering macet dan bidikan yang tidak tepat. (Nur, 2018: 5).
Pada kutipan (22) dan (23) terlihat jelas bahwa Arkam merupakan pribadi yang sombong. Ia menjelaskan sembari mengacung-acungkan senjata yang dimilikinya seolah sedang pamer. Arkam juga sesumbar mengenai kehebagannya menembak dadi jarak jauh. Ia meremehkan para serdadu tentara dengan mengatakan bahwa senjata yang mereka punya adalah senjata bekas dari perang dunia kedua, terlebih lagi para tentara dikatakan tidak handal dalam membidik musuh.
(24) Arkam terlihat selalu bersemangat. Dia terus mempengaruhi penduduk sebagai upayanya memasang pertahanan di setiap kampung yangdijejakinya. (Nur, 2018: 69).
Arkam juga memiliki sifat yang ambisius. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan (24), ia terus memengaruhi penduduk kampung sebagai upaya untuk memasang pertahanan di setiap kampung yang dijejakinya.
2.3.2 Tokoh Tambahan 2.3.2.1 Hamamah
Dalam novel Lolong Anjing Di Bulan karya Arafat Nur ini, sosok Hamamah digambarkan sebagai seorang istri dari Dahli yang juga merupakan ibu dari Raziah, Baiti, Nazir dan Zuhra. Dalam cerita, Hamamah digambarkan sebagai seorang istri yang sangat perhatian dan sayang pada keluarganya, ia realis dan tidak suka bergunjing membicarakan keburukan orang lain tanpa adanya bukti yang jelas.
Hamamah tidak memiliki pendidikan yang tinggi, sehingga terkadang hal tersebut memicu terjadinya kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan suaminya.
(25) Ibu tidak suka berkumpul dengan perempuan-perempuan untuk bergunjing dan dia juga melarang Baiti. Namun, seringkali kakakku itu menghilang ke salah satu rumah tetangga setelah ia menambat kambing.
Ketika pulang dia tidak membawa kemiri ataupun kayu bakar yang membuat Ibu curiga dan minta penjelasan padanya. (Nur, 2018: 68).
(26) Ibulah yang akan mengikat kambing-kambing, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, dan memasak. (Nur, 2018: 68)
Dari kutipan (25) dan (26) di atas, dapat dilihat bahwa Hamamah adalah seorang yang rajin, dan tidak suka banyak bicara (bergunjing) seperti kebanyakan wanita di kampungnya.
(27) Ibu bergegas memetik beberapa helai daun Ilham muda. Tumbuhan liar yang tumbuh di pinggir jalan kacang hijau itu dilumatkan dengan cara dihimpit dan diputar di antara kedua telapak tangannya. Lumatan daun-daun Ilham yang mengekuarkan cairan hijau pekat itu ditempelkan ke
punggung jempol Ayah, tepat di tengah-tengah ruas jarinya. (Nur, 2018:
89).
Kutipan (27) menggambarkan sosok Hamamah yang menyayangi suaminya.
Pada saat itu Dahli mengalami luka di jari tangannya saat memotong serumpun batang kunyit yang dicabutnya. Hamamah langsung bergegas memetik beberapa helai daun Ilham muda untuk mengobati jari suaminya.
(28) “Entahlah, Arkam,” tanggap ibu cepat. “Aku yang tinggal dan besar di kampung ini, juga tidak paham dengan jalan pikiranmu. Yang aku tahu, gerakan orang-orang semacammu itu sudah mengundang banyak tentara berdatangan ke Aceh.” (Nur, 2018: 24).
Kutipan (28) menggambarkan bahwa tokoh Hamamah merupakan seorang yang realis. Ia mengatakan kepada Arkam bahwa gerakan yang dilakukan oleh orang-orang semcam dia hanya akan menambah banyak tentara masuk ke Aceh.
Walaupun Hamamah tidak begitu paham mengenai tujuan dari perjuangan, ia melihat sesuai dengan apa yang terjadi di depan matanya.
(29) “Kenapa kau tidak bisa memahami maksudku?”tanya Ayah, beralih kesal pada Ibu.
“Bukankah tadi Ayah bilang mau membunuhnya?”
“Iya,” jawab Ayah.“Tentu aku tidak sungguh-sungguh.”
“Oh, jadi, Ayah sedang bercanda?”
“Tidak juga.”
“Jadi apa?”
“Aduh, sulit sekali menjelaskan perumpamaan.”
“Apa itu perumpamaan?” tanya Ibu.
“Sudahlah, kau diam saja,” sergah Ayah.(Nur,2018: 65)
Pada kutipan (29) di atas menjelaskan bahwa latar pendidikan Hamamah yang tidak tinggi terkadang menyebabkan ketidakjelasan saat berkomunikasi dengan suaminya. Saat mengobrol dengan Dahli, Hamamah tidak paham dengan maksud perkataan suaminya karena ia tidak mengerti perihal perumpamaan. Ia menganggap bahwa apa yang disampaikan oleh suaminya memiliki makna yang sesungguhnya.
2.3.2.2 Raziah
Raziah dalam novel, diceritakan sebagai anak pertama dari Dahli dan Hamamah. Ia juga merupakan istri dari Muha dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Akbar. Dalam cerita, Raziah digambarkan sebagai seorang wanita yang tidak tamat sekolah karena biaya dan jarak sekolah yang amat jauh. Raziah sebagai anak pertama juga tinggal satu rumah dengan ayah dan ibunya, ia merupakan pribadi yang penyayang, rajin bekerja, dan berusaha agar tetap tegar di depan keluarganya.
(30) Begitu selesai ujian kenaikam kelas, pagi-pagi sekali di bulan Mei 1990, terjadi kesibukan kecil di rumah. Ayah menyembelih tiga ekor ayam jantan. Ibu, Nenek, dan Baiti sibuk di dapur. Raziah sesekali ke dapur, membantu sebisanya. Dia sering masuk ke kamar begitu mendengar Akbar merengek dan menyumpal mulutnya dengan tetek. (Nur, 2018: 49)
Pada kutipan (30) digambarkan tokoh Raziah yang rajin membantu keluarganya sambil tetap menjaga anaknya. Saat terjadi kesibukan di rumahnya, Raziah tidak lantas bermalas-malasan. Ia sesekali membantu di dapur. Raziah juga digambarkan sebagai pribadi yang penyayang, ia sangat sayang kepada anaknya.
Saat Akbar merengek, ia menyumpal mulutnya dengan tetek agar Akbar kembali tenang.
(31) Tiga tentara yang melihatku segera memalingkan wajah, seperti hendak mengesankan tidak ada urusan – denganku. Raziah, yang berdiri di balik pintu melirikku, mengisyaratkan dengan pandangannya agar aku lekas menyingkir dari halaman. Aku menangkap ketakutan pada roman wajahnya yang pucat.Dia sedang hamil tua dan perutnya yang besar membuat tubuhnya sulit bergerak. (Nur, 2018: 45)
Pada kutipan (31) dijelaskan bahwa Raziah merupakan pribadi yang berusaha tegar di depan keluarganya. Saat ada tiga tentara yang melewati rumah keluarga
Dahli, ia menyuruh adiknya untuk memyingkir dari halaman agar aman. Nazir melihat roman ketakutan di wajah Raziah yang pucat, namun Raziah tetap berusaha untuk tegar meskipun waktu itu ia tengah hamil tua dan sulit untuk bergerak.
2.3.2.3 Baiti
Dalam novel Lolong Anjing di Bulan, Baiti digambarkan sebagai anak kedua dari Dahli dan Hamamah. Diceritakan Baiti adalah seorang gadis yang baru beranjak remaja. Ia tumbuh menjadi gadis yang baik, walaupun kadang ia tidak menjalankan ibadah agamanya dengan baik. Di antara keempat anak Dahli dan Hamamah, hanya Baiti yang terlihat agak malas. Saat yang lain membantu orang tuanya mengurus ladang dan ternak, terkadang Baiti mencari-cari alasan agar pekerjaannya dilimpahkan pada yang lain. Selain agak malas, ia juga digambarkan sebagai pribadi yang kurang bisa mengontrol emosinya serta suka bergunjing.
Dibalik sifatnya yang seperti digambarkan sebelumnya, Baiti juga memiliki sifat yang pemalu.
(32) Anehnya, Baiti tidak kelihatan bersama kami. Ketika ku jenguk kamarnya, dia masih terlelap. Tidak ada seorang pun dari kami yang berusaha membangunkannya. (Nur, 2018: 61)
Pada kutipan (32), Baiti digambarkan sebagai pribadi yang malas. Terbukti pada saat terjadinya letusan besar di kampungnya, ia tetap terlelap tidur di kamarnya sementara semua anggota keluarga lainnya terbangun. Tidak ada seorang pun dari anggota keluarga Baiti yang membangunkan tidurnya.
(33) Pertengkaran dengan Baiti akan membuat suasana rumah semakin tidak nyaman. Biasanya kalau Baiti merajuk, dia tidak ingin melakukan tugas apapun. Dia akan mengurung diri dalam kamar sejak bangun pagi. Dua tiga hari kemudian, Baiti baru berdamai lagi dan ketika usai Magrib dia meletersendiri di dapur. (Nur, 2018: 68).
Pada kutipan (33), Baiti juga digambarkan sebagai pribadi yang pemarah.
Emosinya mudah sekali tersulut. Saat Baiti mulai merajuk, dia tidak akan melakukan tugas apapun di rumah. Baiti akan mengurung diri di kamar dan baru berdamai setelah dua sampai tiga hari kemudian.
(34) Ibu tidak suka berkumpul dengan perempuan-perempuan untuk bergunjing dan dia juga melarang Baiti. Namun, seringkali kakakku itu menghilang ke salah satu rumah tetangga setelah ia menambat kambing.
Ketika pulang dia tidak membawa kemiri ataupun kayu bakar yang membuat Ibu curiga dan minta penjelasan padanya. (Nur, 2018: 68).
Kutipan (34) menunjukkan bahwa Baiti senang bergunjing dengan perempuan-perempuan di desanya. Ia seringkali menghilang ke salah satu rumah tetangga setelah menambatkan kambing. Saat kembali ke rumah, ia tidak membawa kemiri ataupun kayu bakar, hal tersebut lantas membuat Ibu curiga kepadanya.
2.3.2.4 Zuhra
Zuhra merupakan anak keempat dalam keluarga Dahli. Dia memiliki dua orang kakak perempuan bernama Raziah dan Baiti, serta seorang kakak laki-laki bernama Nazir. Dalam cerita, Zuhra digambarkan sebagai anak perempuan yang tidak manja dan rajin. Sedari kecil, Zuhra sudah dididik oleh kedua orang tuanya untuk menjadi pribadi yang tidak suka bermalas-malasan.
(35) Zuhra yang telah berusia enam tahun, tetap mengikuti kemana saja Ibu pergi, tidak betah bersama Baiti yang suka menggodanya. Zuhra tidaklah manja, kecuali jika sedang sakit. (Nur, 2018: 124).
Pada kutipan (35), Zuhra digambarkan sebagai pribadi yang tidak manja, kecuali bila dia sedang sakit. Ia memilih untuk ikut dan membantu Ibunya dibandingkan bersama Baiti karena tidak suka digoda oleh Baiti.
2.3.2.5 Muha
Dalam cerita, Muha berperan sebagai suami dari Raziah dan ayah dari Akbar.
Muha dikenal sebagai pribadi yang penyayang, giat, dan juga pemberani. Walaupun Muha memiliki keterbatasan fisik karena mulutnya miring, ia tetap berusaha untuk percaya diri dengan tidak memerdulikan omongan negatif yang dilontarkan oleh beberapa orang di kampungnya.
(36) Sebagaimana pasangan muda yang sulit mandiri, Muha dan Raziah masih bergantung pada Ayah. Namun, di saat keadaan Ayah seperti ini, Muha-lah yang banyak membantu keluarga. Secara langsung Ayah tidak pernah memerintah Muha. Menantunya itu seperti tahu apa yang harus dikerjakannya. (Nur, 2018: 67)
(37) Hanya Muha, lelaki pendiam itu yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
(Nur, 2018: 88).
Kutipan (36) dan (37) menunjukkan bahwa Muha adalah sosok yang penyayang dan juga giat bekerja. Walaupun masih hidup bergantung dengan Ayahnya, muha tidak lantas menjadi seorang pemalas, ia menunjukkan rasa hormat dan sayangnya terhadap keluarga dengan tetap membantu pekerjaan-pekerjaan rumah. Bahkan tanpa perlu disuruh, Muha akan selalu bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
(38) Aku terkejut pada saat Muha memasuki ruangan itu. Aku tidak tahu kalau dia ikut serta dalam rapat rahasia seperti ini. (Nur, 2018: 240).
Pada kutipan (38) terlihat bahwa Muha merupakan orang yang berani mengambil keputusan. Saat Nazir mendatangi markas para pejuang, ia terkejut saat tahu bahwa Muha juga ikut serta dalam rapat rahasia pejuang GAM.
2.3.2.6 Kakek
Tokoh kakek dalam cerita ini digambarkan sebagai ayah dari Hamamah dan mertua dari Dahli. Kakek merupakan pribadi yang dan memiliki hati ikhlas.
Walaupun tidak tinggal dalam satu rumah dengan keluarga Dahli, kakek juga memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja merawat kebun pisang yang ia tanam bersama istrinya.
(39) “Jadi mau bagaimana kek?” tanya Nenek
“ Aku tidak tahu,” jawab Kakek, memerhatikan Ayah yang sedang sibuk menggergaji kayu di bawah pohon mangga.
“Aku tidak bisa berpikir. Setiap zaman ada perubahan, ada pemiliknya.Ini bukan zamanku lagi.”
“Bukankah Kakek bisa melarang Arkam?” tanya Nenek.
“Melarang bagaimana?,” Kakek balik bertanya. “Ini perjuangannya. Ya, sudah. Aku bisa apa, serahkan saja semuanya sama Allah.”
(Nur, 2018: 95).
Kutipan (39) menunjukkan bahwa Kakek merupakan seorang yang memiliki sifat ikhlas. Saat mengobrol dengan Nenek, ia mengatakan bahwa zaman sudah berubah dan sekarang bukan lagi zamannya. Kakek tidak dapat melarang Arkam untuk melakukan perjuangam, ia ikhlas menjalani dan menyerahkan semua akhirnya kepada Allah.
2.3.2.7 Nenek
Tokoh nenek dalam cerita ini digambarkan sebagai ibu kandung dari Hamamah dan mertua dari dahli. Nenek merupakan pribadi yang tabah. Selama tinggal bersama dengan kakek, ia turut serta membantu suaminya untuk merawat rumah serta kebun pisang milik mereka.
(40) Nenek meratap-ratap pilu sambil mengusap matanya dengan selendang.
Dia sepertinya tidak peduli dengan lubang hidung kirinya yang berdarah, luka yang baru disadarinya ketika menyapukan selendang ke hidung.
(Nur, 2018: 133).
Pada kutipan (40), Nenek digambarkan sebagai pribadi yang tabah. Saat tentara menyerang rumah dan membunuh suaminya, ia berusaha tabah dengan tidak pedulipada luka yang didapatkannya. Lubang hidung yang berdarah tidak ia rasakan
perihnya, nenek hanya meratap pilu sembari mengusap matanya saat melihat kakek yang sekarat.
2.3.2.8 Serdadu Tentara Pemerintahan
Para tentara yang diutus oleh pemerintah memiliki sifat yang kejam. Mereka tidak ragu-ragu untuk memusnahkan siapa saja yang tampak meawan pemerintah.
Selama menjajaki Aceh, para tentara tidak pandang buluh kepada masyarakat lokal di sana, siapa saja yang melakukan gerak-gerik mencurigakan akan dipukuli, bahkan bisa sampai di bunuh.
(41) Seorang serdadu lainnya mengambil parang yang tergeletak di dekat dinding. Ia menebang sebatang pohon pisang yang tidak jauh dari dapur dan menjadikannya bantal bagi si korban. Setelah kepala korban di sandarkan ke potongan pohon pisang itu, tentara berseragam loreng itu mundur beberapa langkah dan kemudian menembakinya secara beruntun. (Nur, 2018: 62)
Pada kutipan (41) ditunjukkan bahwa para tentara memiliki sifat yang kejam.
Semua orang yang dicurigai memiliki kaitan dengan para pejuang akan dihabisi.
Ada salah seorang warga yang dibunuh di depan rumahnya, ia dipukuli hingga lemas, setelah itu kepalanya disandarkan ke potongan pohon pisang untuk akhirnya ditembaki sampai mati. Padahal, kenyataannya, warga yang dihabisi itu bukan salah satu anggota pejuang.
(42) Semalaman kami tidak bisa, selain Zuhra. Ibu menangis dalam isakan redam di samping Baiti yang telah siuman. Tiga serdadu telah menindihnya, secara bergantian. (Nur, 2018: 169)
Selain memiliki sifat kejam, serdadu tentara juga memiliki sifat tidak hormat terhadap perempuan. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan (42) saat Ibu menangis di samping Baiti yang telah diperkosa oleh tiga orang serdadu secara bergiliran.
2.3.2.9 Leman
Digambarkan sebagai seorang pemiliki kedai kopi yang berlokasi di Tamoun.
Kedai kopi milik leman biasanya dijadikan sebagai tempat berkumpul yang ramai didatangi oleh warga lokal. Kelompok GAM juga sering datang ke kedai Leman untuk berdiskusi dan memberikan orasi terkait perjuangan mereka. Leman sendiri merupakan pribadi yang baik dan cerdik.
(43) Yang bisa dilakukan Ayah hanya menitipkan pesan kepada Leman yang pagi itu turun sebentar berbelanja keperluan kedai kopinya ke pasar Buloh Blang Ara. Semoga saja Leman menemukan seseorang yang dikenalnya untuk memberitahukan kabar duka ini kepada abang dan adik iparnya di Lhokseumawe.Leman mudah melalui pos Simpang Mawak, karena ketika serdadu-serdadu itu memeriksa, diberikannya sebungkus roti atau rokok. (Nur, 2018: 136).
Leman adalah seseorang yang memiliki sifat baik dan cerdik. Pada kutipan (43), saatLeman dimintai tolong oleh Dahli untuk menyampaikan pesan duka kepada sanak saudaranya, iamenyanggupi dan pergi ke Lhokseumawe. Saat Leman sampai di pos penjagaan Simpang Mawak, ia dengan kecerdikannya berhasil lolos dari pemeriksaan karena menyogok para tentara menggunakan roti dan rokok.
2.3.2.10 Yasin
Merupakan salah satu anggota dari GAM. Yasin merupakan pribadi yang pendiam, memiliki dedikasi tinggi terhadap kelompoknya. Sedari kecil, Yasin memiliki cita-cita untuk menjadi seorang tentara. Saat dia bergabung dengan kelompok GAM, Yasin berusaha sungguh-sungguh untuk bisa diakui dan dipercaya untuk memanggul senjata. Hingga saat akhirnya dia harus terbunuh oleh serdadu tentara suruhan pemerintah, ia tetap menghormati kelompok GAM dengan tidak membocorkan rahasia keberadaan Arkam kepada pihak serdadu tentara.
(44) Yasin, pemuda pendiam yang rumahnya satu lorong dengan rumah kakek, mulai ikut pasukan Arkam. Mula-mula ia diberi radio genggam dan bertanggung jawab mengirimkan kabar gerak-gerik serdadu.
Beberapa anak muda lainnya yang rumahnya berada di pinggir jalan menuju ke simpang mawak, juga diberi radio.
Pada kutipan (44), dijelaskan bahwa Yasin merupakan tokoh yang berdedikasi tinggi dengan kelompoknya. Hal tersebut dapat terlihat dari kemauannya untuk bergabung bersama kelompok pejuanh untuk menngusir tentara keluar dari Aceh. Yasin berani menggunakan radio genggam untuk mengabarkan gerak-gerik serdadu walaupun tugas itu membahayakan nyawanya.
2.3.2.11 Mahmud
Tokoh Mahmud dalam cerita digambarkan sebagai salah seorang anak buah dari Arkam. Mahmud adalah orang yang dimintai tolong oleh Arkam untuk menyampaikan pesan kepada keluarga Dahli. Mahmud merupakan pribadi yang egois.
(45) Pemuda itu kembali terdiam. “Maaf, Pak Camat. Masalah keluarga itu tidak penting. Masalah negara dan perjuanganlah yang penting, berada di atas segala-galanya.”
Pada kutipan (45), Mahmud digambarkan sebagai pribadi yang egois karena ia hanya peduli dengan apa yang ada di pikirannya. Mahmud menganggap bahwa masalah keluarga itu saat ini bukanlah hal yang penting bila dibandingkan dengan masalah negara dan perjuangan yang sedang ia lakukan bersama dengan kelompoknya.
2.4 Latar
Abrams dalam Nurgiyantoro (2015: 305) mengatakan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,
hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting kemudian dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial budaya.
2.4.1 Latar Tempat
Latar tempat yang akan dikaji dan dipaparkan adalah latar tempat kejadian berdasarkan terjadinya tindakan kekerasan yang digambarkan dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.
2.4.1.1 Kopi kedai Leman di Tamoun
Pada kutipan (46), diceritakan bahwa kedai milik Leman yang berada di Tamoun sering dijadikan sebagai tempat berkumpul anak-anak. Setiap petang, tepatnya sehabis Ashar, Nazir dan anak-anak lainnya singgah sebentar ke kedai Leman untuk menonton televisi di sana. Anak-anak senang datang ke kedai Leman karena pada masa itu, belum banyak orang yang bisa memiliki televisi seperti Leman.
(46) Aku bersama belasan anak lain menunggu di luar kedai dengan menyandarkan perut di dinding dan dengan leluasa memandang ke dalam. Aku begitu kesal karena Leman tak kunjung menyalakan televisinya. Setiap petang, tepatnya sehabis Ashar, aku dan anak-anak akan menonton sebentar, sebelum Leman menghardik dan mengusir kami pulang untuk mandi dan pergi mengaji.
(47) Selepas dari ladang, lantaran langit masih terang, aku tidak langsung pulang. Sambil berlari-lari kecil aku menyusul Ayah ke kedai Leman.
Ramai orang berlalu lalang di sekitar kedai kopi, ada juga yang bercakap-cakap satu sama lain. Arkam bersama beberapa lelaki bersenjata dikerumuni banyak orang. Ayahduduk di kedai Leman bersama seorang lelaki sebayanya yang kemudian ku ketahui adalah bupati yang melantiknya di Hutan Nisam.
Pada kutipan (47), digambarkan bahwa kedai Leman juga biasa dijadikan sebagai tempat berkumpul para pejuang. Arkam bersama anak buahnya sering mengadakan rapat dan orasi terkait dengan perjuangan yang dilakukan oleh GAM untuk mengusir serdadu tentara keluar dari Aceh. Ayah Nazir yang diberikan jabatan sebagai camat juga tampak bertemu dengan seorang bupati yang pernah melantik dirinya di Hutan Nisam.
2.4.1.2 Kaki Gunung Pidi
Pada kutipan (48), latar tempat Gunung Pidi digambarkan sebagai tempat pertama kali perjuangan rakyat Aceh dibangkitkan. Hasan Tiro adalah seseorang yang mengawali perjuangan untuk mengusir serdadu tentara dari Aceh.
(48) Arkam terus saja berbicara. Dia mengulang inti tujuan perjuangan yang dibangkitkan Hasan Tiro tiga belas tahun lalu di kaki Gunung Pidi.
2.4.1.3 Alue Rambe
Pada kutipan (49), dijelaskan letak Alue Rambe yang merupakan kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara sebelah selatan kota Lhokseumawe. Kampung Alue Rambe tempat tinggal keluarga Dahli termasuk daerah yang menjadi kekuasaan Arkam. Dijelaskan juga bahwa jalanan utama yang ada di kampung Alue Rambe masih berupa jalan tanah berkerikil.
(49) Alue Rambe, kampungku ini, adalah kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara sebelah selatan kota Lhokseumawe. Kampung kami termasuk dalam kekuasaan Arkam.Jalan utama kampung berupa jalan tanah berkerikil.(Nur, 2018: 3).
(50) Yang menjadi ancaman bagi Ayah bukanlah serdadu pemerintah, tetapi jabatan sial itu yang diam-diam sedang membunuhnya secara perlahan-lahan. Saat aku menyusulnya, kami menyaksikan belasan sepeda motor yang ditumpangi para pejuang meraung di jalan berbatu Alue Rambe.
(Nur, 2018: 54).
Pada kutipan (50), digambarkan bahwa jalanan di kampung Alue Rambe merupakan jalur yang biasa dilalui oleh para pejuang. Sewaktu Ayah menyusuri jalan dan Nazir menyusulnya dari belakang, nampak belasan sepeda notor yang ditumpangi oleh paea pejuang meraung di jalanan berbatu Alue Rambe.
2.4.1.4 Buloh Blang Ara
Pada kutipan (51) diceritakan bahwa Dahli dan Hamamah bertemu di Buloh
Pada kutipan (51) diceritakan bahwa Dahli dan Hamamah bertemu di Buloh