• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN UNSUR INTRINSIK NOVEL LOLONG ANJING DI BULAN

2.2 Analisis Alur atau Plot

2.3.1.1 Dahli

Dalam novel Lolong Anjing Di Bulan, Dahli digambarkan sebagai seorang pedagang. Dahli mulai memutuskan untuk mengubah pekerjaan dan hidupnya setelah mengenal Hamamah. Ia rela menjual seluruh barang miliknya dengan membanting harga secara gila-gilaan demi hidup bersama Hamamah, membeli tanah, rumah, dan akhirnya hidup di suatu kampung sebagai petani.

(9) Setelah menikahi Ibu, Ayah mengobral semua barangnya dengan membanting harga gila-gilaan yang membuat dagangannya habis dalam waktu singkat. Dari uang hasil dagangan terakhir itu, ditambah simpanannya, dia membeli tanah dan membangun rumah kecil, lalu hidup sebagai petani di kampung ini (Nur, 2018: 8).

Kutipan (9) menggambarkan Dahli sebagai sosok yang bertanggungjawab dan sayang pada pilihan hatinya. Ia rela menjual apa yang dimilikinya untuk dapat hidup bersama istrinya itu. Namun, bukan hanya ingin hidup bersama saja, Dahli juga bertanggungjawab dengan membeli tanah dan membangun rumah untuk tempat berlindung dirinya juga keluarganya kelak. Dahli juga memenuhi kebutuhan keluarganya dengan bekerja sebagai petani yang gigih.

(10) Terdengar suara batuk-batuk Ayah: dia memang sering batuk-batuk ketika terlalu banyak merokok. Setelah batuknya hilang, Ayah berujar,

“Aku senang kau mengabarkan perkembangan ini. Tapi, aku Cuma petani yang tidak mengerti apa-apa. Sekolah Rakyat pun aku tidak tamat.Ke kota pun aku jarang turun, dan tidak tahu bagaimana bentuk Lhokseumawe.” (Nur, 2018: 23).

(11) Terdengar tawa tertahan Ayah. Rupanya Ayah geli mendengar penjelasan Arkam. Namun, Ayah setahuku, bukanlah orang yang suka terlibat urusan pergerakan, apalagi melawan pemerintah, yang mau tidak mau akan berhadapan dengan senjata serdadu yang jumlahnya teramat banyak. Dan, jika serdadu-serdadu itu mati, pemerintah di Jakarta akan mengirimkan yang lainnya lagi (Nur, 2018: 24).

Kutipan (10) di atas menggambarkan bahwa Dahli adalah seorang yang rendah diri. Dalam cerita itu Dahli sedang dibujuk oleh adik iparnya untuk membantunya dalam penyerangan melawan pemerintahan Soeharto. Arkam, adik iparnya tiba-tiba meminta Dahli untuk menjadi Camat Buloh Blang Ara. Tetapi Dahli menolak secara halus dengan merendahkan dirinya bahwa ia tidak pantas dan tidak cocok untuk menjadi camat. Lanjut dalam kutipan (11), Dahli juga seseorang yang tidak ingin terlalu ikut campur dengan urusan penyerangan, terlebih masalah politik.

(12) Di belakang rumah, aku menghampiri Ayah yang sedang memperbaiki lantai kendang kambing, tempat kambing tidur sambal memamah makanan di malam hari. Sampah perapian di tengah kendang membentuk bukit kecil yang akan dinyalakan menjelang Magrib. Di sekeliling lantai,

yang berlapir abu bakaran, telah bersih meninggalkan jalur-jalur bekas lidi sapu.

(13) Ayah sedang bersiap-siap. Topi caping yang dikenakannya membuat wajahnya lebih tampan. Dia meletakkan gagang cangkul di bahunya dan menating bungkusan kecil plastik dengan sebelah tangannya. Dia melirikku, “Ayo, Zir, kita berangkat,” serunya (Nur, 2018: 26).

Kutipan (12) dan (13) tampak bagaimana Dahli menjadi seorang suami yang rajin bekerja juga seorang ayah yang bertanggungjawab, Dahli mengajarkan pada anak-anaknya untuk tidak bermalas-malasan. Ia mengjarkan bahwa agar bisa makan harus bekerja. Maka, anak-anaknya juga mantunya saling tolong menolong dalam mengurus kebun juga ladang dan ternak. Sedari kecil hingga dewasa anak-anaknya dididik menjadi anak yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

(14) Begitu Ayah tiba di dangau, Nono menyongsong, menggonggong, dan mengitarinya. Ayah mengisi tempurung kelapa dengan sisa nais yang dicampur potongan kepala ikan tongkol-sebagaimana yang Ibu lakukan ketika memberi makan Manis, kucing kami. Nono, yang menunduk, tampak begitu berterima kasih pada Ayah. (Nur, 2018: 27).

(15) Namun, Ayah tidak prtnah mengikat Nono di ladang. Dia, percaya pada anjing itu. Memang anjing itu patuh. Sekalipun dia pulang, tidak lama dia akan kembali lagi ke lading tanpa diperintah. Karena tidak terikat, Nono bisa lepas bergerak, berlari-lari mengitari lading supaya mengawasi jika ada satu dua ekor monyet yang meyusup diam-diam (Nur, 2018: 29).

Kutipan (14) dan (15) menggambarkan bahwa Dahli bukan hanya sayang pada keluarganya tetapi ia juga perhatian dan baik pada anjing peliharaannya, Nono.Ia menyayangi Nono seperti ia menyayangi anaknya sendiri. Hatinya yang tulus digambarkan di dalam novel Lolong Anjing Di Bulan ini.

(16) “Ya, sudah, berhenti saja, Pak,” kata Ibu menukas langsung dengan tatapan bingung.

“Itulah masalahnya,” ulang Ayah seperti menegaskan.

“Seharusnya dari awal aku tidak terbujuk adikmu itu. Entah apa alasan sesungguhnya melibatkanku dalam perjuangan ini.” (Nur, 2018: 32).

Dalam kutipan (16) Dahli digambarkan sebagai seorang yang tidak tegas pada dirinya sendiri. Kejadiaan itu bermula saat Arkam meminta dirinya menjadi camat.

Dahli sebernarnya ingin menolak, tetapi ia tidak berani berucap tegas pada Arkam.

Ia diam saja dan akhirnya mau tidak mau jabatan tersebutmelibatkannya menjadi bagian dari perjuangan GAM.

(17) Dalam perjalanan menuju ladang kunyit, aku menemukan dangau yang rupanya baru dibangun. Dangau yang dirindangi sebatang kemuri itu telah dipasangi dinding berupa potongan bilah bambu selebar tiga ruas jari. Bagian dalamnya dilapisi karung plastik beras yang didedah agar angin tak bebas menyusup melalui regangannya. Di dalam sana ada kelambu tua kusam, tikar pandan, sebuah bantal, dan selimut kain batik.

Rupanya di sinilah Ayah bersembunyi selama hampir seminggu. (Nur, 2018: 63).

(18) Namun, Ayah khawatir akan terjadinya kesalahan. Sesuatu yang tak terduga bisa saja terjadi. Bisa saja sekelompok serdadu tiba-tiba muncul dan menembaknya, lalu istrinya menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim. Ayah ingin menyampaikan kepada adik iparnya bahwa jabatannya sewaktu-waktu bisa membunuhnya seperti nasib lelaki di belakang masjid yang ditembak beberapa bulan lalu. (Nur, 2018: 66).

Kutipan (17) dan (18), Dahli digambarkan memiliki rasa takut yang luar biasa. Bukan karena dia pengecut, tetapi ia tidak ingin keterlibatannya dengan perjuangan tersebut membuat keselamatan keluarganya terancam. Dahli juga khawatir jika nantinya dia dibunuh, istri serta anak-anaknya akan kesulitan hidup tanpa dirinya. Pada akhirnya, Dahli memilih untuk pergi dari rumah agar serdadu tentara tidak mengusik tempat tinggal yang berisi anggota keluarganya itu.

Dokumen terkait