• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN UNTUK ANAK TERHADAP HARTA PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT MINANGKABAU DI PERANTAUAN (STUDI DI KOTA MEDAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN UNTUK ANAK TERHADAP HARTA PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT MINANGKABAU DI PERANTAUAN (STUDI DI KOTA MEDAN)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

YAHYA ZIQRA NIM : 140200514

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN UNTUK ANAK TERHADAP HARTA

PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT

MINANGKABAU DI PERANTAUAN (STUDI DI KOTA MEDAN)”.

Skrispi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di mana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak yang dengan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan doa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, SH., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(3)

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

6. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan memotivasi penulis dalam penyelesain skripsi ini;

7. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Kepada sahabat-sahabat penulis, Nadya Putri Karoza, Nanda Lucya G, Chris Agave V.B., Luthfiya Nazla M., Yana Armaretha P., Yunita Octavia S., Christina Ade C.S. , Johan Roy M. S., Andika Pribadi W., Azansyah Hashif, Ardiansyah Bocep Hrp., Ilham Akbar Hrp., serta Winda Aprilia, S.H, Haris Saputra, S.H dan teman-teman yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terimakasih atas bantuan dan dukungan nya selama saya berkuliah di Fakultas Hukum USU ini.

9. Kepada kakanda Noviza Amalia, S.H yang sudah mengajari banyak hal tentang menulis skripsi, serta memberikan saran dan masukan kepada penulis.

10. Kepada adik-adik junior penulis, Adinda Namira M., Avinda Nadila, Rosaline Grace T., Hillary Sarah S., Astri Oktari, Samuel Kevin P., Okta

(4)

dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11. Kepada keluarga besar BTM ALLADINYSAH, SH FH USU atas dukungan dan doanya, kegiatan berorganisasi, suka duka, canda tawa selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum USU ini serta terselesaikannya penulisan skripsi ini.

12. Kepada keluarga besar IKKM (Ikatan Keluarga Kamang Mudik) dan IKB (Ikatan Keluarga Bayur) atas dukungan, doanya, dan arahan serta saran yang bermanfaat sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

(5)

penulis Annisa Rihan yang senantiasa memberikan bantuan moril dan materil serta doa yang tak putus-putus, mungkin tanpa mereka penulis tidak bisa menyelesaikan skripsi ini dan juga kepada saudara-saudara penulis yaitu Om Dr. Jayusman, M.Ag dan Om Dr. Oki Dermawan, M.Pd yang telah memberikan informasi serta bantuan untuk data-data yang diperlukan oleh penulis.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2018

Penulis

Yahya Ziqra

(6)

Yahya Ziqra* Rosnidar Sembiring**

Yefrizawati***

Minangkabau adalah salah satu tempat di mana orang dipuji dengan sistem matrilineal (garis ibu), dari lingkaran kecil kehidupan, kehidupan keluarga, dan tingkat kehidupan tertinggi yang disebut "nagari". Sistem kekerabatan matrilineal adalah anggota masyarakatnya menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Pada masyarakat Minangkabau berlaku sistem kekerabatan matrilineal yang mana mereka hidup di dalam satu ketertiban masyarakat yang di dalam kekerabatannya dihitung menurut garis ibu dan pusaka serta warisan diturunkan menurut garis ibu. Akan tetapi, warisan harta pusaka rendah tidak dibagi menurut garis keturunan ibu, melainkan dibagi secara faraid atau secara hukum Islam. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana cara pelaksanaan pembagian warisan untuk anak terhadap harta pusaka rendah dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan ahli waris jika terjadi sengketa pewarisan terhadap harta pusaka rendah di Kota Medan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara guna mendapatkan data lapangan dalam penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini adalah kualitatif.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan pembagian warisan untuk anak terhadap harta pusaka rendah di Kelurahan Sukaramai Kecamatan Medan Area Kota Medan dilakukan dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan jika terjadi sengketa pewarisan terhadap harta pusaka rendah di Kelurahan Sukaramai Kecamatan Medan Area Kota Medan yaitu dapat dilakukan dengan cara litigasi dan non litigasi.

Kata Kunci : Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, Penyelesaian Sengketa

*Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan FH USU

**Dosen Pembimbing I, Departemen Keperdataan FH USU

***Dosen Pembimbing II, Departemen Keperdataan FH USU

(7)

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penelitian ... 13

G. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS A. Hukum Waris dalam Konsep Hukum Adat 1. Pengertian Hukum Waris Adat ... 17

2. Unsur-Unsur Waris ... 25

3. Sistem Pewarisan dalam Konsep Hukum Adat ... 26

B. Hukum Waris dalam Konsep Hukum Islam 1. Pengertian Hukum Waris Islam ... 29

2. Unsur-Unsur Waris ... 32

3. Sistem Pewarisan dalam Konsep Hukum Islam .. 34

C. Hukum Waris dalam Konsep KUH Perdata 1. Pengertian Hukum Waris dalam KUH Perdata ... 36

2. Unsur-Unsur Waris ... 38

3. Sistem Pewarisan dalam Konsep KUH Perdata .. 46

(8)

A. Pengertian Hukum Waris Adat Minangkabau ... 49

B. Asas-Asas Hukum Waris Adat Minangkabau ... 50

C. Ahli Waris Minangkabau ... 52

D. Harta Warisan Minangkabau... 54

E. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat Minangkabau ... 61

BAB IV PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN UNTUK ANAK TERHADAP HARTA PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT MINANGKABAU DI PERANTAUAN (STUDI DI KOTA MEDAN) A. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Untuk Anak Terhadap Harta Pusaka Rendah Di Kota Medan ... 63

B. Upaya-Upaya yang Dilakukan Ahli Waris Jika Terjadi Sengketa Pewarisan Terhadap Harta Pusaka Rendah Di Kota Medan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahkluk hidup pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan pengurusan dan kelanjutan segala hak dan kewajiban yang dinamakan pewarisan. Pewarisan pada dasarnya merupakan suatu peristiwa hukum di mana meninggalnya seseorang yang menyebabkan peralihan atas hak-hak kebendaan dan segala harta kekayaan yang dimilikinya semasa hidupnya kepada ahli waris yang merupakan orang yang berhak atas peralihan hak-hak kebendaan dan segala harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia tersebut.

Hukum Waris di Indonesia masih bersifat pluralistis, karena saat ini berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perihal ketentuan sistem hukum yang akan dipergunakan dalam pewarisan hal ini dipengaruhi golongan masyarakat, agama dan pilihan hukum yang akan dipilih oleh para ahli waris untuk menentukan sistem pembagian waris atas harta peninggalan dari pewaris.2

Sistem pewarisan adat dipengaruhi oleh sistem keturunan yang dianut dalam suatu masyarakat hukum adat. Secara teoretis sistem keturunan itu dapat

2Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat,(Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group, 2005) hal. 1

(10)

dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:3

1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik dari garis bapak, di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita dalam pewarisan. Masyarakat adat yang menganut sistem Patrilineal ini seperti masyarakat adat daerah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, dan Irian.

2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, di mana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan laki-laki di dalam pewarisan. Masyarakat adat yang menganut sistem keturunan ini seperti Minangkabau, Enggano, Timor.

3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak dan ibu), di mana kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam sistem pewarisan.

Sistem ini dianut oleh masyarakat adat Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi.

Pada masyarakat Minangkabau berlaku sistem kekerabatan matrilineal yang mana mereka hidup di dalam satu ketertiban masyarakat yang di dalam kekerabatannya dihitung menurut garis ibu dan pusaka serta warisan diturunkan menurut garis ibu. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan termasuk keluarga, klan dan perkauman ibunya bukan dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak dan bibinya yang menerima warisan harta benda.4

3 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1993), hal. 23 (Selanjutnya disebut buku I)

4 Helmy Panuh, Peranan Kerapatan Adat Nagari, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012),hal. 40

(11)

Sistem kekerabatan matrilineal di masyarakat Minangkabau memiliki ciri antara lain yaitu :5

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu;

2. Suku terbentuk menurut garis ibu;

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya (exogami);

4. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan ibu tetapi jarang sekali dipergunakannya, sedang;

5. Kekuasaan ada pada adalah saudara laki-lakinya;

6. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi isterinya; dan

7. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya, dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Hukum waris di Minangkabau pada dasarnya memiliki prinsip sistem pembagian kewarisan kolektif di mana harta peninggalan diwarisi atau lebih tepat dikuasai oleh sekelompok ahli waris dalam keadaan yang tidak terbagi-bagi yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga atau kekerabatan.6 Dalam perkembangannya, Hukum Islam sangat mempengaruhi corak hukum adat pada masyarakat hukum adat Minangkabau. Pengaruh hukum Islam dalam hukum adat Minangkabau dapat terlihat dari falsafah adaik basandi syara, syara basandi

5Ibid hal. 41

6Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

HukumAgama Hindu, Islam, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1996), hal. 16 (Selanjutnya

disebut buku II)

(12)

kitabullah, yang memiliki arti adat bersumber pada syariat Islam, syariat bersumber pada Al-Qur’an.7

Hal tersebut juga berpengaruh terhadap pewarisan dikarenakan adaik basandi syara, syara basandi kitabullah telah menjadi ideologi dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat pada setiap daerah dalam wilayah masyarakat hukum adat Minangkabau yang pada prinsipnya juga memiliki keanekaragaman dan kebiasaan yang berbeda-beda. Hal ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, dan juga mempengaruhi sistem pewarisan itu sendiri.

Melalui adanya pengesahan formal dari kesepakatan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai dan angkatan muda yang datang sebagai utusan seluruh alam Minangkabau, yang dikenal dengan Kerapatan Orang Empat Jenis yang berlangsung di Bukittinggi tanggal 02-04 Mei 1952.8 Kerapatan ini menetapkan dua prinsip pokok dalam penyelesaian harta peninggalan, yaitu :9 1. Harta pusaka tinggi yang telah didapati turun temurun dari nenek moyang

menurut garis ibu, diturunkan menurut sepanjang adat; dan

2. Harta pencaharian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah diturunkan menurut peraturan syara’.

Hasil dari kesepakatan itu merupakan suatu kompromi antara tuntutan pihak agama dan tuntutan pihak adat. Pihak agama telah melepaskan harta pusaka

7Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, ( Jakarta:

Rieneka Cipta 1997), hal. 88

8Ibid, hal. 289

9Ibid

(13)

untuk diwariskan secara adat dan mendapatkan lapangan harta pencaharian untuk diwariskan sesuai dengan tuntutan agama.10

Harta pusaka tinggi merupakan harta peninggalan secara turun temurun, yang hak warisnya ditarik dari garis keturunan perempuan atau ibu. Harta pusaka rendah, khususnya harta pencaharian, secara konsep yang menjadi harta warisan adalah harta yang telah dibagi dua oleh suami atau istri yang hidup terlama. Hal ini dikarenakan harta pencaharian merupakan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan.

Pembagian harta warisan atas harta pusaka rendah yang berupa harta pencaharian tersebut, memiliki sistem pewarisan yang berbeda dari pembagian warisan atas harta pusaka tinggi. Pembagian harta warisan atas harta pusaka rendah, khususnya pembagian harta warisan untuk anak, pada masyarakat hukum adat Minangkabau apabila harta warisan dari pewaris bersumber dari harta pencaharian, maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki hak yang sama kedudukannya untuk dapat menjadi ahli waris.11

Prakteknya pembagian harta warisan atas harta pencaharian tersebut, perempuan lebih dominan kedudukannya. Hal ini karena menurut kebiasaan yang ada anak perempuan pada masyarakat hukum adat Minangkabau merupakan penerus garis keturunan yang memiliki kewajiban untuk menjaga orang tua,

10Ibid

11Roni Yonnadi, Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Untuk Anak Laki-Laki Terhadap Harta Pencaharian Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di Kecamatan Pariaman Timur Kota Pariaman, (Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2016), hal.

3

9Ibid, hal. 4

(14)

sehingga lebih dituntut untuk tetap berada di rumahnya. Anak laki-laki pada masyarakat hukum adat Minangkabau memiliki kebiasaan untuk pergi merantau.12

Dominannya kedudukan perempuan ini dalam pewarisan juga dipengaruhi oleh konsep anak laki-laki keluar dari rumah. Setelah menikah anak laki-laki juga pada umumnya keluar dari rumah untuk tinggal dan menetap di rumah keluarga istri. Hal ini terjadi dalam perkawinan semenda menetap pada masyarakat hukum adat Minangkabau, di mana laki-laki masuk kedalam lingkungan keluarga istri sebagai pendatang atau orang luar dengan tetap merupakan anggota kaum dalam keluarganya.13

Pembagian harta warisan terhadap harta pusaka rendah yang berupa harta pencaharian bertolak belakang dengan sistem pembagian harta warisan kolektif atas harta pusaka tinggi pada masyarakat hukum adat Minangkabau, yang hak warisnya dimiliki oleh ahli waris berdasarkan garis keturunan ibu atau perempuan. Selain itu juga bertentangan dengan sistem kekerabatan matrilineal pada masyarakat hukum adat Minangkabau di mana perempuan dianggap dominan dan merupakan penerus garis keturunan dari sebuah keluarga.14

Hal ini dapat menjadi pertentangan para ahli waris dalam pelaksanaan pembagian harta warisan terhadap harta pencaharian yang dapat menimbulkan perselisihan antara para ahli waris bahkan menjadi sengketa dalam lingkup peradilan. Berdasarkan penjelasan umum dari latar belakang pelaksanaan pembagian harta warisan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut mengenai hal ini karena ingin mengetahui

13Ibid.

14Ibid.

(15)

pembagian harta warisan untuk anak terhadap harta pusaka rendah di Kota Medan dan upaya yang dilakukan ahli waris jika terjadinya sengketa pewarisan terhadap harta pusaka rendah.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat diuraikan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta warisan untuk anak terhadap harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di perantauan (Kota Medan)?

2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan ahli waris jika terjadi sengketa pewarisan terhadap harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di perantauan (Kota Medan)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji mengenai praktik pelaksanaan pembagian harta warisan untuk anak terhadap harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

(16)

2. Untuk mengetahui dan mengkaji lebih jauh upaya-upaya yang dilakukan ahli waris jika terjadi sengketa pewarisan terhadap harta pusaka rendah di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa :

1. Manfaat Teoretis

Agar dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melakukan studi perbandingan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan sebagai tambahan bahan informasi kepustakaan mengenai hukum waris adat, khususnya hukum waris pada masyarakat hukum adat Minangkabau.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran bagi kemajuan masyarakat hukum adat Minangkabau di Kota Medan khususnya mengenai proses pelaksanaan pembagian harta warisan yang dilakukan terhadap harta pusaka rendah dengan cara mengikuti ketentuan hukum adat yang berlandaskan adaik basandi syara, syara basandi kitabullah.

(17)

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Dinamakan penelitian hukum doktrinal dikarenakan penelitian ini

hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan. Dalam penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum. Sehingga dapat disimpulkan pada penelitian hukum normatif mempunyai cakupan yang luas. Sedangkan penelitian hukum secara empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.15

a. Sifat Penelitian

Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif, artinya penelitian yang menggambarkan objek tertentu dan menjelaskan hal-hal yang

15https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/ diakses pada tanggal 20 Januari 2018

(18)

terkait dengan atau melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu dalam bidang tertentu secara faktual dan cermat.16Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini semata-mata menggambarkan suatu objek untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Objek penelitian ialah hukum waris dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berfokus pada pelaksanaan pembagian waris menurut adat Minangkabau.

b. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah di mana penelitian tersebut akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi di Kelurahan Sukaramai Kecamatan Medan Area Kota Medan, dikarenakan di daerah tersebut terdapat penduduk yang bersuku Minangkabau.

c. Sumber Data a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, kuesioner, maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.17Dalam hal ini berupa data hasil wawancara dan kuesioner dengan masyarakat Minangkabau yang berada di Kelurahan Sukaramai Kecamatan Medan Area Kota Medan.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undang.18

Berikut ini merupakan data-data sekunder yang dapat digunakan:

16Sarifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 7

17 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal. 106

18Ibid.

(19)

1) Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian.

Misalnya: Kompilasi Hukum Islam.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan hukum waris yang berfokus pada pelaksanaan pembagian waris menurut adat Minangkabau.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.19

d. Populasi dan Sampel

Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama.20Dalam hal ini, populasinya yaitu penduduk di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Medan Area, Kota Medan yang memiliki jumlah penduduknya sebanyak 98.992 jiwa.21

Sampel yang dipergunakan dalam penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Untuk Anak Terhadap Harta Pusaka Rendah Pada

19Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 113

20Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 172

21https://medankota.bps.go.id/dynamictable/2017/01/12/7/jumlah-penduduk-menurut kecamatan-dan-jenis-kelamin-2011-2015.html diakses pada tanggal 21 Januari 2018

(20)

Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di Perantauan (Studi Di Kota Medan)”

adalah purposive sample. Penarikan sampel secara purposive yaitu penentuan responden yang didasarkan atas pertimbangan tujuan tertentu dengan alasan responden adalah orang-orang yang berdasarkan kewenangan dianggap dapat memberikan data dan informasi dalam hal ini adalah orang-orang yang pernah membagi warisan. Dalam hal ini, sampelnya yaitu penduduk Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Medan Area, Kota Medan yang bersuku Minangkabau sebanyak 10 orang.

e. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah 1) Metode Penelitian Kepustakaan

Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan hukum waris yang berfokus pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut adat Minangkabau.

2) Metode Penelitian Lapangan

Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat Minangkabau yang berada di Kelurahan Sukaramai Kecamatan Medan Area Kota Medan.

Sementara alat pengumpulan data yang digunakan terdiri dari : a. Pedoman wawancara

Dalam memperoleh data primer, perlu dilakukan wawancara, yaitu merupakan komunikasi verbal dengan narasumber. Sehingga pengumpulan data

(21)

dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang berupa daftar pertanyaan yang disusun sebagai panduan dalam pelaksanaan wawancara.

b. Kuesioner

Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan analis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik beberapa orang utama di dalam organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem yang diajukan atau oleh sistem yang sudah ada.

Dengan menggunakan kuesioner, analis berupaya mengukur apa yang ditemukan dalam wawancara, selain itu juga untuk menentukan seberapa luas atau terbatasnya sentimen yang diekspresikan dalam suatu wawancara.

f. Metode Analisis Data

Semua data yang diperoleh merupakan data pustaka serta data yang diperoleh dari lapangan dianalisa secara kualitatif, metode analisis data yang dipakai adalah metode deduktif. Pada prosedur deduktif, bertolak dari suatu proporsi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.22 Melalui metode deduktif, data dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaan dan prakteknya.

F. Keaslian Penulisan

Skripsi ini merupakan karya asli dari penulis. Setelah menelusuri kepustakaan banyak hasil penelitian tentang hukum waris, namun berdasarkan uji bersih yang dilakukan, penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Untuk Anak Terhadap Harta Pusaka Rendah Pada Masyarakat Hukum

22Bambang Sunggono, Op.Cit, hal. 11

(22)

Adat Minangkabau Di Perantauan (Studi Di Kota Medan)” hingga saat ini belum ada.

Adapun judul yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Cahaya Masita Nasution Nim 047011007 dengan judul “Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus Di Kabupaten Agam)” dengan rumusan masalah, yaitu:

a. Bagaimanakah penerapan hukum waris adat dan hukum waris Islam pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

b. Bagaimanakah peranan Mamak Kepala Waris dalam pembagian harta warisan pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

2. Irlia Rozalin Nim 127011154 dengan judul “Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Medan Area Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan” dengan rumusan masalah, yaitu:

a. Bagaimana pembagian harta warisan dalam masyarakat Minangkabau di kelurahan Tegal Sari III Kecamatan Medan Area Kota Medan?

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam pembagian harta warisan dalam masyarakat Minangkabau di Kelurahan Tegal Sari III Kecamatan Medan Area Kota Medan?

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan karya asli dan tidak meniru dari kepunyaan orang lain.

(23)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematik. Penulisan sistematik ini dibagi menjadi beberapa bab yang mana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis dapat menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :

Bab I ini diuraikan gambaran hal-hal yang bersifat umum, yang dimulai dengan latar belakang kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian dan keaslian penulisan. Bab ini ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan skripsi.

Bab II diuraikan tentang hukum waris pada umumnya. Pada bab ini sesuai dengan judul yang dikemukakan, maka bab ini akan mengurai tentang pengertian hukum waris, unsur-unsur waris, serta sistem pewarisan yang ditinjau dari konsep Hukum Adat, Hukum Islam, dan KUHPerdata.

Bab III diuraikan tentang hukum waris pada hukum adat Minangkabau, yakni berisikan tentang pengertian hukum waris, asas-asas hukum waris, ahli waris, harta warisan serta sistem pewarisan menurut hukum adat Minangkabau.

(24)

Bab IV diuraikan terlebih dahulu tentang pelaksanaan pembagian harta warisan untuk anak terhadap harta pusaka rendah di Kota Medan, dan dilanjutkan dengan menguraikan upaya-upaya yang dilakukan ahli waris jika terjadinya sengketa pewarisan terhadap harta pusaka rendah tersebut.

Bab V diuraikan kesimpulan dan saran dari berbagai hal penting dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, serta menyimpulkan saran sebagai wujud rekomendasi dari skripsi berdasarkan analisis yang dilakukan.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

A. Hukum Waris Dalam Konsep Hukum Adat 1. Pengertian Hukum Waris Adat

Adat adalah kebiasaan manusia atas perilaku tertentu dalam salah satu sisi kehidupan sosial mereka sehingga muncul darinya kaidah yang diyakini secara umum dan harus dihormati sebagai undang-undang yang melanggarnya berakibat pada dijatuhkannya hukum materi. Di Indonesia hukum adat adalah terjemahan dari bahasa Belanda “Adat Recht” yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hourgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya De Atjehers (orang-orang Aceh).23

Hukum adat mengandung unsur agama, terutama Hindu dan Islam. Kedua agama tersebut banyak mempengaruhi hukum adat karena terdapat satu persamaan yang signifikan dan keduanya memiliki sifat yang sangat sakral. Oleh karena itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam seminar hukum nasional mendefenisikan bahwa hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang di sana-sini mengandung unsur agama.24

Istilah hukum adat yang merujuk pada istilahaturan kebiasaan dikenal sudah sangat lama di Indonesia. Misalnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh Darussalam memerintahkan disusunnya kitab hukum

23 Cahaya Masita Nasution, Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat

Minangkabau (Studi Kasus Di Kabupaten Agam), (Tesis, Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, Medan, 2006), hal. 28

24Ibid.

(26)

Makuta Alam yang secara tersirat melukiskan pemahaman tentang ketentuan hukum adat sebagai kaidah kebiasaan yang berulang.25

Struktur masyarakat diberbagai wilayah Indonesia tidak memberikan batasan yang jelas tentang apakah adat dan hukum adat itu. Secara umum hanya dinyatakan bahwa apabila berbicara mengenai adat dan hukum adat, seluruhnya mengacu kepada pengertian konsep tatanan kebiasaan yang berlaku dan baku pada masyarakat. Kebiasaan dalam arti adat yaitu kebiasaan normatif dan telah berujud aturan tingkah laku, berlaku serta dipertahankan pada masyarakat.26

Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.27Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yaitu warasa yang memiliki arti waris yang telah menjadi bahasa Indonesia.28 Hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.29

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat

25Ria Agustar, Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta Pencarian Dalam

Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, (Tesis, Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), hal.25

26Ibid.

27Soerojo Wignojodipoero, Pengantar adat Asas-asas Hukum Adat, hal. 161

28Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 355

29 Hilman Hadikusuma, (buku II), Op.Cit., hal. 7

(27)

sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.30

Berikut beberapa pengertian hukum waris adat menurut para ahli :

a. Menurut Ter Haar : “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.”31 b. Menurut Soepomo : “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang

mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.”32Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya.

c. Menurut Wirjono Prodjodikoro: “Pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu

adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal

dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”33Jadi warisan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, di mana manusia yang wafat itu meninggalkan

30Ibid.

31 Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hal. 161

32 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal.259

33 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 8

(28)

harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya.

Dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para pakar hukum adat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum waris adat menegaskan tentang :34 1. Tata cara peralihan harta seseorang pada keturunannya atau ahli warisnya.

2. Harta tersebut bisa berupa barang yang berwujud (materiil) maupun tidak berwujud (immateriil).

3. Kapan saatnya harta tersebut dapat dialihkan/beralih.

Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan unsur yang esensial (mutlak), yakni:35

1) Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta kekayaan.

2) Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan ini.

3) Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong

34Cahaya Masita Nasution, Op.Cit, hal. 30

35 Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia, (Jakarta: Stensil, 2000), hal. 37

(29)

menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup.36

Hukum Waris Adat di dalamnya terdapat adanya kesatuan dan berjenis-jenis dalam Hukum Adat Indonesia, dapat disusun aturan-aturan pokok dan asas-asas yang sangat umum berlakunya, tetapi tidak dapat disusun suatu aturan yang di semua lingkungan hukum berperangai lahir yang sama. Dalam hukum adat ini para ahli waris tidak dapat ditetapkan, karena di berbagai daerah itu terdapat bermacam-macam sistem kekeluargaan. Jadi para ahli warisnya digolongkan berdasar sifat kekeluargaan masing-masing. Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak.37

Terdapat tiga unsur dalam hukum waris adat, yaitu:

a) Unsur proses

Proses peralihan atau pengoperan pada waris adat sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu masih hidup dan proses itu berjalan terus hingga keturunannya masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri (mentas atau mencar di Jawa), yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi (keturunan) yang berikutnya.

Soepomo selanjutnya menyatakan bahwa meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak

36Ibid.

37Tamakiran S., Asas Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pionir Jaya,2000), hal. 62

(30)

mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.38

b) Unsur benda-benda yang diwariskan

Benda-benda yang diwariskan berupa benda berwujud (matriil) dan tidak berwujud (immateriil). Harta warisann materiil, yaitu harta warisan berwujud benda yang diwariskan kepada generasi berikutnya, contohnya rumah, tanah, gedung, perhiasan, dan lain-lain. Harta warisan immateriil, yaitu harta warisan yang tidak berwujud tetapi diwariskan kepada para ahli waris, contohnya gelar ataupun jabatan.

c) Unsur generasi

Defenisi tentang hukum waris menyebutkan bahwa proses pewarisan itu berlangsung dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Dalam kesatuan rumah tangga, yang akan menjadi ahli waris dari seseorang adalah anak-anak dari orang yang bersangkutan sesuai dengan sistem cara menarik garis keturunan.39

Hukum waris adat tidak mengenal legitieme portie, akan tetapi hukum waris adat menetapkan dasar persamaan hak. Hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Selain dasar persamaan hak, hukum waris adat juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian, berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.

Harta warisan dalam hukum waris adat tidak boleh dipaksakan untuk dibagi

38Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,(Jakarta :Pradnya Paramita, 1977), hal. 79

39Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Transito, 1996), hal. 154

(31)

antara para ahli waris. Hukum Waris adat menunjukan corak-corak yang memang typerend bagi aliran pikiran tradisional Indonesia, bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan konkrit dari bangsa Indonesia.40

Sifat yang lain dalam hukum waris adat diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bnagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi.

2. Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orang tua angkatnya.

3. Dikenal sistem “penggantian waris”.

4. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris.

5. Anak perempuan, khususnya di Jawa, apabila tidak ada anak laki-laki, dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan, kakek-neneknya dan saudara-saudara orang tuanya.

6. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, sala dan kedudukan hukum dari pada barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.41

Berbicara mengenai sistem pewarisan, kita tidak dapat lepas dari sistem kekeluargaan yang dianut di negara kita ini. Apabila masyarakat Indonesia yang menganut bermacam agama, kepercayaan, terdiri dari berjenis-jenis suku bangsa,

40Soepomo, Op. Cit., hal. 78

41Ibid. hal. 164

(32)

mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dan keturunan yang berbeda-beda. Pada umumnya sistem kekeluargaan yang ada di dalam masyarakat hukum adat Indonesia terdapat tiga jenis yaitu :

1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu masyarakat hukum, dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui pihak bapak,

bapak dari bapak terus ke atas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya. Akibat hukum yang timbul dari sistem ini adalah, anak-anak yang lahir dan semua harta kekayaan yang ada adalah milik bapak atau keluarga bapak. Dapat dikatakan kedudukan pria lebih menonjol dari wanita di dalam pewarisan.

2. Sistem Matrilineal, yaitu suatu sistem di mana masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.

3. Sistem Parental atau Bilateral, adalah masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak dan garis ibu, sehingga dijumpai seorang laki-laki atau seorang perempuan sebagai moyangnya.

Ketiga sistem tersebut di atas masih cukup kuat bertahan terutama di daerah pedesaan, sedangkan perkembangan di kota-kota besar pada saat ini nampaknya sudah mengarah ke sistem parental. Adakalanya sistem keturunan yang satu dan yang lain disebabkan karena perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau alternerend.42

42I.G.N. Sugangga, Hukum Adat Khusus, Hukum Adat Waris Pada Masyarakat Hukum Adat yang bersistem Patrilineal di Indonesia, (Semarang : 1988), hal. 11

(33)

2. Unsur-Unsur Waris

Unsur-unsur waris adat terdiri atas : pewaris; harta warisan; dan ahli waris.

Berikut akan diuraikan beberapa unsur-unsur tersebut, yaitu :43 a. Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir ini biasanya bersifat jaminan keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah :

(1) Orang tua atau ayah/ibu;

(2) Saudara-saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan;

(3) Suami atau istri yang meninggal dunia.

b. Harta Warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas : 1) Harta bawaan atau harta asal;

2) Harta perkawinan;

3) Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah, dan

43 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga,(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2016), hal.205

(34)

4) Harta yang menunggu, yaitu harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi ahli waris yang akan menerima itu tidak diketahui keberadaannya.

c. Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris, yakni; anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda). Selain itu, dikenal juga anak angkat, anak tiri dan anak luar kawin, yang biasanya diberikan harta warisan diantara mereka, selain itu, bisa juga diberikan harta dari pewaris, baik melalui wasiat maupun melalui hibah.

3. Sistem Pewarisan Dalam Konsep Hukum Adat

Dikatakan oleh beberapa ahli hukum bahwa sistem pewarisan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan atau struktur sosial kemasyarakatan setempat. Namun ada pula yang mengatakan bahwa antara keduanya tidak ada keterkaitannya satu sama lain, sebagaimana dikatakan oleh Hazairin misalnya.

Pada masyarakat di Indonesia dikenal tiga jenis struktur sosial sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang dalam hukum adat disebut sistem kekerabatan yaitu : Matrilineal; Patrilineal dan Parental.44

Oleh karena itu, sistem pewarisannya pun dalam garis besarnya dapat dibagi 3 (tiga) jenis utama itu. Walaupun antara sistem kekerabatan tidak secara langsung berkenaan dengan pola pewarisan sebagaimana disebutkan di bawah ini.

44Ibid. hal. 211

(35)

Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri terutama berkenaan dengan kewarisan. Hukum adat waris memiliki 3 (tiga) sistem kewarisan, yaitu:45

a. Sistem Individual

Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagikan-bagikan di antara para ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (parental) Jawa. Di Jawa, setiap anak dapat memperoleh secara individual harta dari peninggalan ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan individual, yang memberikan hak mewaris secara individual atau perorangan kepada ahli waris seperti di Jawa, Madura, Toraja, Aceh dan Lombok.

b. Sistem Kolektif

Sistem kewarisan kolektif memiliki ciri-ciri bahwa semua hartapeninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan kepada sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal berdasarkan garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau pada masyarakat woe-woe Ngadhu-bhaga di Kabupaten Ngada Flores yaitu khususnya terhadap ngora ngadhu-bhaga dan ngora ana woe yaitu harta pusaka tinggi warisan leluhur. Sistem pewarisan kolektif, yang ada asasnya mewajibkan para ahli waris mengelola harta peninggalan secara bersama/kolektif, tidak dibagi-bagikan secara individual seperti Minangkabau, Ngadhu-bhaga (Flores), Ambon, dan Minahasa.

c. Sistem Mayorat

Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta peninggalan

45Ibid. hal. 212

(36)

yaitu harta warisan terutama harta pusaka seluruh atau sebagian besar diwariskan hanya kepada satu saja. Seperti di Bali hanya diwariskan kepada laki-laki tertua atau di Tanah Semendo di Sumatera Selatan hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua saja. Sistem pewarisan mayorat;

a. Mayorat pria: anak/keturunan laki-laki tertua/sulung pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal (Lampung, Bali, Irian Jaya).

b. Mayorat wanita: anak perempuan tertua pada waktu pemilik harta warisan meninggal, adalah waris tunggal (Tanah Semendo, Sumatera Selatan).

c. Mayorat wanita bungsu: anak perempuan terkecil/bungsu menjadi ahli waris ketika si pewaris meninggal (Kerinci).

Hazairin di dalam bukunya, sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekanto, menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu: sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat di mana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah Batak, di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistem kolektif yang terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Sumendo dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem kolektif dalam

(37)

batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa Sulawesi Utara.46

B. Hukum Waris Dalam Konsep Hukum Islam 1. Pengertian Hukum Waris Islam

Hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif (tata hukum) di Indonesia. Di antara banyak bidang di dalam hukum Islam, misalnya hukum perkawinan hukum kewarisan, hukum perwakafan, terdapat perbedaan keadaan berlakunya. Berlakunya hukum perkawinan Islam bagi orang Islam di Indonesia berbeda dengan berlakunya hukum kewarisan Islam bagi orang Islam di Indonesia. Berlakunya hukum perkawinan bagi orang Islam bersifat memaksa.

Padahal sesungguhnya, dilihat dari sudut pandangan ajaran Islam, baik hukum perkawinan maupun hukum kewarisan merupakan hukum yang bersifat memaksa.

Artinya, hukum yang tidak dapat disimpangi dengan cara apapun.47

Hukum kewarisan adalah merupakan terjemahan dari Fiqih Mawaris, yang berarti peralihan harta orang yang sudah meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris). Sehingga dapat dipahami bahwa kewarisan itu adalah peralihan sesuatu (harta) dari yang mewariskan kepada ahli waris berlaku sesudah pewaris meninggal dunia.48

Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak.49 Sedangkan menurut KHI, hukum

46Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1981), hal. 286

47Cahaya Masita Nasution, Op.Cit, hal. 33

48Ria Agustar, Op.Cit. hal.48-50

49 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 355

(38)

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.50

Dalam Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan

adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan berapa bagiannya masing-masing. Idris Djakar memberikan pengertian hukum kewarisan Islam adalah seperangkat aturan-aturan hukum tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan berapa bagian-bagiannya masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan syariat.51

Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.52

Dalam Islam, hukum kewarisan disebut juga dengan hukum fara’idl, yaitu bentuk jamak dari fari’dlah yang secara harfiah berarti bagian. Dalam hal ini sedikitnya ada 2 (dua) pihak yaitu “pewaris” dan “ahli waris” yang terlibat didalamnya. Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Syamsulbahri Salihima yaitu

mendefenisikan faraidh yang diambil dari kata fardh yang artinya taqdir

50Ibid.

51Idris Jakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jambi : Pustaka Jaya, 1995), hal. 4

52 Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 90

(39)

(ketentuan), dalam istilah syarakfardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris, dan ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris dan ilmu faraid.53

Pada intinya waris hukum kewarisan adalah perpindahan hak kepemilikan/ harta peninggalan pewaris kepada yang berhak mendapatkan warisan secara adil.

Menurut Syamsul Rijal Hamid bahwa pengertian warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Intinya warisan adalah berpindahnya harta peninggalan dari si pewaris kepada ahli waris.54

Beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat ditegaskan bahwa pengertian hukum waris adalah hukumyang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris, dan bagaimana cara perhitungannya. Menurut peneliti hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.55

53Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2015), hal. 27

54 Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Jakarta : Cahaya Islam, 2008), hal. 366

55Amir Syarifudin, Hukum kewarisan Islam, (Jakarta:Wacana Ilmu, 1999),hal. 6

(40)

2. Unsur-Unsur Waris

Unsur-unsur waris di dalam Hukum Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan masyarakat Muslim yang mendiami Negara Republik Indonesia terdiri atas 3 (tiga) unsur yang perlu diuraikan yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

1) Pewaris

Pewaris menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf (b) adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya.56

2) Harta Warisan

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris yang ditinggalkan oleh pewaris atau muwaris, berupa:57

1) Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau aktiva;

2) Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayarkan pada saat meninggal dunia atau pasiva;

56Rosnidar Sembiring,Op.Cit., hal. 198

57http://repository.unpas.ac.id/3646/5/BAB%20II.pdfdiakses pada tanggal 6 Januari 2018

(41)

3) Harta bersama antara suami isteri, bilamana terjadi syirkah pada saat akad nikah dilaksanakan. Harta bersama dapat berupa:

a) Harta bawaan masing-masing si suami ataupun si isteri yang diperoleh / dimiliki sebelum akad nikah baik berasal dari warisan, hibah ataupun usaha mereka masing-masing;

b) Harta masing-masing suami isteri yang diperoleh / dimiliki sesudah ijab qabul pernikahan atau selama perkawinan, tetapi bukan diperoleh dari usaha-usaha bersama-sama. Misalnya memperoleh warisan, atau pemberian lainnya;

c) Harta yang diperoleh sewaktu dalam perkawinan atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka;

d) Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh kedua belah pihak. Misalnya harta pusaka dari kerabat, mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus dikembalikan kepada asalnya;

e) Harta warisan yang merupakan harta peninggalan yang dapat dibagi kepada ahli waris yang ialah harta keseluruhannya sesudah dipisahkan dari harta suami isteri dan harta pusaka, harta bawaan yang tidak boleh dimiliki, dikurangi hutang-hutang dan wasiat. Jadi yang menjadi rukun waris mewarisi ada 3 (tiga), yaitu harta peninggalan (mauruts), pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muwarrits), dan ahli waris (waarist).

(42)

3) Ahli Waris

Ahli waris menurut Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Pengertian lain ahli waris adalah sekumpulan orang-orang atau individu atau himpunan kerabat atau keluarga yang berhak menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang, misalnya :58

1. Anak-anak beserta keturunan, baik laki-laki maupun perempuan;

2. Orang tua, ibu dan bapak beserta mawali / pengganti dari orang tua, bila tidak ada lagi orang tua;

3. Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan, dan suami isteri;

4. Kalau tidak ada 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) di atas, maka harta peninggalan diserahkan kepada Baith’al Mal (baitul maal).

3. Sistem Pewarisan Dalam Konsep Hukum Islam

Sistem hukum waris Islam adalah sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu apabila pewaris wafat. Jika ada yang wafat maka ada masalah waris. Jadi apabila seseorang meninggal dunia meninggalkan harta kekayaan maka berarti ada harta warisan yang harus dibagi-bagikan kepada para waris pria dan wanita yang masih hidup dan juga memberikan bagian kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.59

58Ibid.

59Hilman Hadikusuma, (buku I),Op.Cit, hal. 30

(43)

Menurut Hazairin, “Sistem kewarisan Islam adalah sistem individual bilateral”. Hal tersebut karena atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang tercantum masing-masing dalam surat An-Nissa (QS IV)ayat 7,8,11,12,13,33, dan ayat 176 serta setelah sistem kewarisan atau sistem hukum waris menurut Al-Qur’an yang individual bilateral itu dibandingkan dengan sistem hukum waris bilateral dalam masyarakat yang bilateral.60

Sesungguhnya hukum waris Islam adalah perubahan dari hukum waris adat bangsa Arab sebelum Islam yang berdasarkan sistem kekeluargaan kebapakan (patrilineal), di mana yang berhak mendapat harta peninggalan adalah asabat, yaitu kaum kerabat lelaki dari pihak bapak.61 Setelah datangnya Islam maka Al-Qur’an melakukan perubahan sebagaimana diatur dalam Al- Qur’an IV: 7-18 dengan memberi bagian pula bagi kaum wanita, sehingga yang disebut dzawu’l-faraidh, yaitu ahli waris yang berhak mendapat warisan adalah sebagai berikut :62

a. Menurut garis bapak-anak (ke bawah), ialah juga anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki.

b. Menurut garis anak-bapak (ke atas), ialah bapak, ibu, kakek dari pihak bapak dan nenek perempuan dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.

c. Menurut garis saudara (ke samping), ialah saudara kandung, saudara tiri dari pihak bapak, saudara tiri dari pihak ibu, juga duda dan janda.

C. Hukum Waris Dalam Konsep KUH Perdata 1. Pengertian Hukum Waris Dalam KUH Perdata

60Rosnidar Sembiring,Op.Cit., hal. 197

61Hilman Hadikusuma,(buku I)Op.Cit., hal. 31

62Ibid.

(44)

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris. Pada asasnya, hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwaris.63

Pasal 830 KUH Perdata menentukan bahwa, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Oleh karena itu, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.

Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUHPerdata, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan pun dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada.64

Hukum waris menurut konsepsi perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan.65

Menurut Pitlo, “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga.”66

63 Rosnidar Sembiring,Op.Cit., hal. 187

64Ibid.

65Ibid. hal. 188

66Ibid.

(45)

Ciri khas dari hukum waris menurut BW adalah, adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian harta warisan. Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris lainnya.

Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW, yaitu :67

a. Seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;

b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;

c. Perjanjian penangguhan pemberian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;

d. Perjanjian penangguhan pembiayaan hanya berlaku mengikat selama 5 (lima) tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1066 tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sistem hukum waris BW memiliki ciri yang khas, yaitu menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Atau apabila tidak untuk dibagi maka harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.68

2. Unsur-Unsur Waris

Dalam Hukum Waris, terdapat dua unsur penting, yaitu : a. Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang)

67Ibid. hal. 190

68Ibid.

Gambar

Tabel 3  Penentuan ahli waris

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “Penerapan Prinsip Keadilan Dalam Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (Analisis Putusan Pengadilan Agama

Pada Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 huruf F menyebutkan, “wasiat menurut pemberian suatu benda dari kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah

Pengaturan Radd dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 193 dijelaskan bahwa ahli waris yang berhak menerima suatu sisa harta didalam masalah radd

Kehadiran Kompilasi Hukum Islam ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan Pengadilan terhadap masalah-masalah yang menjadi

hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

Menurut ketentuan dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya dengan

hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

yang dimaksud dengan pewaris dalam hukum kewarisan adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan telah meninggal berdasarkan pengadilan ia beragama Islam