• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Massa

Komunikasi adalah suatu aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk menjalin hubungan antar manusia, tentunya kita membutuhkan komunikasi. Menurut Carl Hovland, komunikasi merupakan sebuah sistem yang memungkinkan seseorang (komunikator) untuk menyampaikan impuls (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate).

Sedangkan Harold Lasswell mendeskripsikan komunikasi sebagai “who says what in which channel to whom with what effect” yang artinya siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh yang bagaimana (Mulyana, 2016). Dari dua definisi komunikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan untuk mempengaruhi.

Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang digunakan sebagai alat untuk mengirimkan pesan kepada khalayak melalui media cerita (Wibowo, 2006). Film sendiri dapat digunakan untuk mempengaruhi penonton nya, sama hal nya dengan komunikasi massa. Tindakan mempengaruhi penonton tersebut dapat digunakan oleh sebuah film untuk melakukan tindakan kritik sosial.

Pengaruh besar yang dimiliki oleh film sebagai bentuk komunikasi massa menyebabkan film memiliki dampak kritik yang besar pula untuk mampu melakukan tindakan kritik sosial.

Komunikasi massa adalah bentuk komunikasi dimana komunikan atau penerima pesan bersifat khalayak serta dilakukan melalui media massa dengan dampak yang bersifat luas. Menurut Bittner, komunikasi massa merupakan sebuah pesan yang disampaikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Romli, 2016). Dari definisi Bittner tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah pesan dapat disebut sebagai pesan komunikasi massa, maka media yang digunakan dalam komunikasi tersebut haruslah media massa. Sedangkan menurut Meletzke, komunikasi massa adalah ragam komunikasi yang mengantarkan pernyataan secara transparan melalui media secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang

(2)

terpencar. Dari definisi tersebut, publik yang terpencar memiliki arti komunikan yang tidak berada hanya pada satu tempat namun tertebar di berbagai tempat sehingga pesan komunikasi dapat meraih komunikan yang luas (Romli, 2016).

Dari definisi komunikasi menurut Lasswell dapat dilihat bahwa komunikasi memiliki beberapa unsur yaitu sumber (who), pesan (what), media (channel), penerima (whom) dan efek (effect). Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble 1986 (Nurudin, 2011) mengatakan bahwa komunikasi massa mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Komunikator dalam komunikasi massa menggunakan instrumen modern untuk mendistribusikan pesan secara cepat kepada komunikan yang luas dan juga tersebar.

2. Komunikator dalam komunikasi massa memiliki tujuan untuk memberikan pesan kepada banyak orang yang tidak dikenal atau mengenal satu sama lain. Hal itulah yang disebut sebagai anonimitas audiens dan membedakan komunikasi massa dengan jenis komunikasi lainnya.

3. Pesan adalah kepunyaan publik. Pesan bisa didapay oleh banyak komunikan yang tersebar, oleh karenanya pesan bersifat publik.

4. Komunikator massa pada umumnya adalah sebuah organisasi formal seperti jaringan, atau himpunan. Dengan begitu, komunikator massa bukanlah perorangan tetapi sebuah lembaga.

5. Komunikasi massa dikendalikan oleh gatekeeper yang berperan sebagai penyating informasi. Pesan yang dihasilkan dari komunikasi massa dikontrol oleh beberapa individu yang ada dalam sebuah lembaga sebelum pesan tersebut disampaikan kepada komunikan.

6. Umpan balik dalam komunikasi massa bersifat tertunda. Umpan balik dalam komunikasi ini tetap dapat dilakukan, namun akan umpan balik mencapai komunikator dalam kurun waktu yang tidak langsung atau tertunda.

(3)

2.1.1 Ciri-ciri Komunikasi Massa

Selain memerlukan media massa sebagai media komunikasinya, komunikasi massa juga merupakan komunikasi yang melibatkan lembaga atau organisasi yang kompleks. Misalnya, ketika komunikasi massa dilakukan melalui televisi, maka saat penyampaian pesan dari komunikator akan dilatarbelakangi suatu organisasi seperti perusahaan media stasiun televisi yang menaunginya.

Selain hal-hal tersebut, komunikasi massa juga memiliki beberapa ciri-ciri lain yang dikemukakan oleh (Romli, 2016) yaitu diantaranya:

1. Pesan Komunikasi Umum

Dalam ciri ini, pesan komunikasi massa bersifat umum yaitu pesan tidak disampaikan kepada beberapa individu atau komunitas tertentu namun disampaikan kepada khalayak umum.

2. Komunikan Bersifat Tidak Beridentitas dan Beraneka Ragam

Komunikan dalam komunikasi massa bersifat anonim serta heterogen. Hal ini terjadi karena dalam komunikasi massa komunikator tidak mengetahui siapa komunikan mereka secara pasti. Komunikator dalam komunikasi massa tidak bertemu secara langsung dan satu persatu dengan komunikannya karena komunikasi dilakukan melalui media massa, sehingga komunikator tidak mengetahui komunikannya. Dengan begitu, komunikan dalam komunikasi massa tidak beridentitas dan beraneka ragam karena komunikasi ini ditujukan ke seluruh lapisan masyarakat dengan latar belakang kehidupan yang berbeda satu dan lainnya.

3. Media Massa Menyebabkan Keserempakan

Akibat luasnya jangkauan yang dapat dicapai oleh media massa, komunikasi massa depan menjangkau khalayak atau komunikan yang sangat luas pula dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu, komunikasi massa dapat menghasilkan keserempakan kontak terhadap komunikan atau khalayak yang luas dan berada di tempat-tempat yang berbeda.

4. Mengutamakan Isi Komunikasi

Dua aspek yang menonjol dalam komunikasi adalah aspek isi dan hubungan. Pada komunikasi massa, aspek isi lebih diutamakan daripada

(4)

hubungan. Aspek isi adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, sedangkan hubungan lebih terfokus kepada bagaimana cara mengatakannya.

5. Komunikasi yang Bersifat Satu Arah

Dalam komunikasi ini, komunikan tidak dapat memberikan feedback atau umpan balik secara langsung kepada komunikator sehingga komunikasi ini bersifat satu arah.

6. Feedback yang Delayed dan Indirect

Karena komunikator dan komunikan tidak bertemu tatap muka, ketika komunikan ingin memberikan feedback atau umpan balik tentunya harus melalui media juga. Dengan begitu, feedback yang dihasilkan oleh komunikan akan tertunda penyampaiannya dan terjadi secara tidak langsung.

2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa

Fungsi komunikasi massa telah diutarakan oleh beberapa ahli, Dominick mengatakan bahwa komunikasi massa berfungsi sebagai surveillance (pemantauan), interpretations (penafsiran), linkage (keterikatan), transmissions of values (penyebaran nilai) serta entertainment (hiburan) (Dominick, 2001). Selain Domminick, DeVito mengatakan bahwa salah satu fungsi khusus dari komunikasi massa adalah untuk meyakinkan (to persuade) dan membius (narcotication) (Ardianto Elvinaro, 2017).

Dari fungsi komunikasi massa diatas, dapat dilihat bahwa salah satu fungsi utama dari komunikasi massa adalah untuk mempengaruhi komunikannya.

Transmissions of value atau penyebaran nilai dilakukan untuk mempengaruhi khalayak dengan menggunakan nilai-nilai atau ideologi tertentu sesuai dengan tujuan komunikator. Sama halnya dengan fungsi meyakinkan atau to pursuade, meyakinkan khalayak merupakan sesuatu yang wajib dilakukan untuk mempengaruhi komunikan. Komunikasi massa dilakukan untuk meyakinkan khalayak atau komunikan akan nilai-nilai tertentu sehingga penyebaran nilai dan meyakinkan termasuk dalam fungsi utama komunikasi massa.

(5)

2.2 Film

Film awalnya berasal dari fotografi yang akhirnya dikembangkan menjadi foto bergerak hingga penambahan narasi dan audio sehingga film menjadi karya audio visual yang memberikan pesan melalui narasinya pula. Film seperti itu dahulu disebut sebagai film bersuara. Film bersuara pertama kali diproduksi oleh Warner Brothers yang berjudul Don Juan (1926) (Baran, 2012). Film merupakan bentuk dari komunikasi massa. Menurut Vera, film merupakan media dari komunikasi massa karena merupakan sebuah saluran yang digunakan untuk penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan (Vera, 2014). Film merupakan sebuah karya yang diputar atau disampaikan kepada penontonnya melalui sebuah media yang dapat menjangkau audiens yang luas. Hal tersebut menyebabkan film termasuk kedalam komunikasi massa.

Film merupakan rekaman kenyataan yang lahir di masyarakat dan diproyeksi keatas layar (Irawanto, 1999). Namun, Graeme Turner tidak setuju dengan pandangan yang menganggap bahwa film hanya sekedar rekaman realitas (Irawanto, 1999). Menurutnya, jika film hanya sekedar rekaman realitas, itu berarti film hanya memindahkan apa yang ada dalam kehidupan kedalam layer tanpa mengubah apapun dari realitas tersebut. Sehingga ia menganggap bahwa film adalah perwakilan dari realitas, yang disuguhkan kembali dalam bentuk kode-kode, konvensi-konvensi serta ideologi kebudayaannya. Film yang hanya sekedar memindahkan realitas kedalam layar dapat disebut sebagai film non-fiksi, sedangkan film yang merepresentasikan kembali realitas dapat disebut sebagai film fiksi.

Seperti yang dituliskan sebelumnya, film dapat melakukan kritik sosial. Hal tersebut dapat dilakukan karena film merupakan sebuah perwakilan dari sebuah realitas. Realitas tersebut dapat berasal dari kehidupan kita sebagai manusia sebagai makhluk sosial. Layaknya makhluk sosial, kita juga menghadapi permasalahan- permasalahan sosial sebagai individu sehingga kritik terhadap sebuah realitas sosial dapat ditampilkan dalam film.

(6)

2.2.1 Film Fiksi

Film dapat dibedakan menjadi dua yaitu film fiksi dan film non-fiksi. Film dokumenter, dokumentasi dan film yang memiliki tujuan ilmiah merupakan film non-fiksi. Sedangkan jenis film eksperimental dan genre merupakan film fiksi (Kristanto, 2007). Pratista mengatakan bahwa genre dapat dibagi menjadi genre induk major dan minor. Genre induk major adalah genre pokok yang memang sudah ada dan sudah popular sejak awal perkembangan dunia perfilman, seperti contohnya genre drama, fantasi, aksi, dan lain-lain. Sedangkan genre induk minor adalah expansi dari genre induk primer (Pratista, 2008).

Film fiksi memiliki cerita yang tidak nyata. Cerita dalam film fiksi dapat benar-benar bersifat imaginatif atau rekaan, namun juga dapat berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi. Jika film fiksi tersebut memiliki cerita yang berdasarkan kisah nyata, modifikasi biasanya dilakukan untuk memberikan unsur yang lebih menarik serta lebih mendramatisir baik dari segi cerita maupun artistik. Cerita dalam film fiksi cenderung memiliki dua jenis karakter, yaitu karakter protagonis dan antagonis. Selain karakter, cerita juga biasanya memiliki masalah dan konflik, penutupan, dan juga pola pengembangan cerita yang jelas (Pratista, 2008).

2.2.2 Black Films dan Black Heroism

Black Films atau film hitam adalah film yang merepresentasikan orang kulit hitam. Hal tersebut melibatkan film yang memiliki pemeran utama orang kulit hitam, kru orang kulit hitam, atau bahkan jalan cerita film yang merepresentasikan orang kulit hitam dan juga memiliki target utama penonton kulit hitam. Romi Crawford (2005), seorang asisten professor Visual Critical Studies and Africana Studies di School of The Art Institute of Chicago mendefinisikan black films kepada Chicago Tribune sebagai “a film work that takes into account in some way the relationship of African-Americans or blacks from the African Diaspora to film making practice, means and industry.” atau dapat diartikan sebagai sebuah film yang dengan cara tertentu mempertimbangkan hubungan Afrika-Amerika atau orang kulit hitam dari Diaspora Afrika hingga praktik pembuatan film, sarana dan industri. White Films bukanlah sesuatu yang ada di industri perfilman, hal itu karena

(7)

film yang dibintangi, disutradarai dan diproduksi oleh orang kulit putih merupakan suatu hal yang normal. Sehingga, white films bukanlah suatu hal yang ada dalam masyarakat. Beda halnya dengan black films yang sampai sekarang bahkan masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah film hollywood yang dibintangi oleh orang kulit putih. Dengan begitu muncul lah istilah black films, yang ada untuk merepresentasikan kaum minoritas di Amerika.

Black Heroism seperti yang dilansir dalam African American Intellectual History Society pada 2018 lalu adalah “beating the oods”. Black Heroism adalah kepahlawanan seorang kulit hitam yang dapat memberikan harapan kepada orang kulit hitam juga. Black heroism atau heroisme hitam dapat dikategorikan sebagai suatu hal yang politikal. Untuk seorang Africa-Americans yang tinggal di negara Amerika sebagai masyarakat minoritas, black heroism dapat merubah cara mereka berpikir dan bahkan mempengaruhi cara mereka hidup. Dengan adanya black heroism di media massa, mereka akan mendapatkan harapan bahwa mereka bisa hidup dengan lebih baik ditengah masyarakat yang mendiskriminasi. Sama halnya dengan ikon feminis yang memberikan harapan kepada para wanita bahwa mereka bisa meraih pencapaian yang lebih tinggi dan lebih besar. Oleh karena itu black heroism merupakan sesuatu yang penting untuk disebarluaskan dalam kondisi masyarakat Amerika sekarang ini. Jangankan di Amerika, di Indonesia pun tindakan rasisme terhadap orang kulit hitam masih marak terjadi. Hal ini dapat dipengaruhi dari cara seorang individu berpikir dan bagaimana lingkungan memberikan stereotype kepada orang kulit hitam. Contohnya adalah dengan hanya berpikir “orang berkulit hitam adalah orang jahat, biasanya bahkan seorang pengguna narkoba” hal ini dapat disebut sebagai tindakan rasisme.

Black heroism merupakan suatu hal yang penting untuk ada dalam masyarakat dunia sekarang ini agar dapat memberikan harapan kepada mereka yang tertindas agar dapat bangkit dan berjuang melawan diskriminasi. Terlebih lagi kasus kekerasan terhadap orang kulit hitam di Amerika yang dilakukan oleh polisi masih marak terjadi sampai saat ini, aparat kepolisian yang seharusnya menjaga dan melindungi mereka malah menjadi mala petaka bagi orang kulit hitam di Amerika. Dikutip dari CBS News, dengan menggunakan data dari Mapping Police

(8)

Violence dan The Washington Post, 164 orang kulit hitam mati akibat kekerasan polisi sejak 1 Januari 2020 hingga 31 Agustus 2020.

2.2.4 Fungsi Film

Effendy mendefinisikan film sebagai medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan (Efendy, 2003):

a. Hiburan dalam fungsi ini adalah film sebagai hiburan yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Dengan menonton film, manusia dapat merasa terhibur bahkan dapat merasa ditarik dari realita sesungguhnya. Ketika menonton film, kita cenderung menghayati jalan cerita bahkan ber-empati dengan karakter yang ada dalam film itu sehingga penonton terkadang merasa bahwa mereka sedang berada dalam dunia di dalam film dan tidak pada dunia nyata mereka. Dengan begitu, penonton akan dapat merasa terhibur dengan film apapun yang mereka sukai, mulai dari film komedi hingga bahkan film horor.

b. Film dapat menjadi sebuah pencerahan bagi penontonnya. Ketika menonton sebuah film, para penonton mungkin akan mendapatkan sebuah pesan atau momen dimana mereka akan tersadarkan akan suatu hal. Disaat seperti ini, penonton dihadapkan dengan sebuah skenario yang mungkin belum pernah terjadi dalam kehidupannya sehingga ia menyadari suatu hal. Saat hal itu terjadi, penonton akan mendapatkan sebuah pencerahan yang akan mempengaruhi cara berpikir, perasaan atau bahkan perilaku mereka.

c. Film juga dapat berfungsi sebagai pendidikan, hal ini karena film memberikan banyak pesan dan makna kepada setiap penontonnya.

Pendidikan dalam film dapat berupa pendidikan secara akademik maupun non-akademik. Dengan menonton sebuah film, penonton dapat menerima pelajaran kehidupan. Jalan cerita sebuah film tentunya akan berasal dari kehidupan manusia walaupun dalam

(9)

ukuran yang kecil, sehingga ketika menonton sebuah film para penonton dapat melihat refleksi kehidupan manusia dari sisi pandang lain. Ketika skenario film sedang berada pada sebuah konflik, film tersebut pasti akan memberikan penyelesaian dari konflik itu sendiri. Sehingga dengan begitu, para penonton nantinya akan mendapatkan sebuah pelajaran kehidupan dari film tersebut.

Hal itu dapat disebut sebagai pendidikan yang penonton dapatkan dari sebuah film.

Selain tiga fungsi tersebut, Effendy mengatakan bahwa film dapat berfungsi sebagai kritik sosial (Ardianto Elvinaro, 2017). Sebagai salah satu bentuk komunikasi massa yang memiliki terpaan serta dampak yang luas, tidak dapat dipungkiri bahwa film dapat berfungsi sebagai kritik sosial. Kritik sosial dapat berada dalam film dengan genre apapun, hal tersebut kembali lagi kepada pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film melalui film mereka.

2.3 Semiotika Visual

Kata ‘Semiotika’ berasal dari Yunani “semeion” yang artinya adalah seme atau “tanda” yang memiliki arti “penafsir tanda”. Semiotika sendiri merupakan sebuah studi yang mengkaji atau mempelajari tanda dan bagaimana tanda tersebut bekerja hingga menciptakan makna. Pierce mendefinisikan tanda atau semiotik sebagai “something which stands to somebody for something in some respect or capacity” atau “sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas tertentu” (Zeman, 1977). Saussure menyatakan bahwa tanda terbentuk dari signifier yang merupakan eksistensi fisik dari tanda dan signified yang merupakan konsep mental dari tanda. Signifier akan menghasilkan signified yang akhirnya menciptakan sebuah realitas eksternal atau makna (Fiske, 2014).

Salah satu penganut ideologi Saussure adalah Roland Barthes yang dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis. Menurut Barthes, ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia memaknai berbagai hal disebut sebagai semiotik (Vera, 2014). Barthes menganggap bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda sehingga model semiotika yang ia kemukakan lebih terfokus bagaimana

(10)

pemaknaan suatu sistem tanda. Pemaknaan sistem tanda ini sendiri dapat dilakukan melalui tiga tingkatan yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Jika Saussure lebih fokus kepada sistem pertama yaitu denotasi yang terdiri atas signifier dan signified, Barthes menambahkan sistem pemaknaan tingkatan kedua yaitu konotatif dan mitos.

Semiotika visual adalah sebuah bidang studi yang fokus pada kajian makna yang diantarkan melalui sarana indra pengelihatan (visual senses). Walaupun begitu, semiotika visual sebenarnya tidak terbatas pada pengkajian seni rupa seperti layaknya seni lukis, patung dan sebagainya, tidak hanya pada pengkajian ersitektur melainkan juga pada segala tanda yang bisa dianggap tidak termasuk dalam karya seni. Charles Morris mengklasifikasikan analisis semiotika kedalam tiga dimensi yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik (Budiman K. , 2011):

a. Dimensi sintaktik berkisar pada homologi di antara bahasa dan gambar atau lukisan. Artinya adalah apakah bisa bahasa gambar atau the language of pictures disamakan atau diartikan secara harfiah hingga dapat tiba pada tahap dimana arti tersebut dapat diartikulasikan dalam tataran bahasa. Arti tersebut terkadang dapat menimbulkan artikulasi ganda yang merupakan satu unsur dasar dari bahasa manusia. Artikulasi ganda itu terdiri dari dua unsur elemen yaitu yang pertama elemen terkecil yang memiliki makna (morfem) dan elemen terkecil yang tidak bermakna tapi berperan sebagai pembeda makna (fonem).

b. Dimensi semantik adalah hubungan antara simbol visual dengan ikonitas atau indeksikalitas dan simolitas. Charles Morris percaya bahwa simbol visual berhubungan atau tersusun atas tanda-tanda ikonitas seperti pemikiran Pierce. Artinya bahwa simbol visual bersifat identik dengan hal yang diacu. Namun hal tersebut dapat berisiko untuk mengabaikan aspek dan makna simbolik serta indeksikal sehingga para pakar semiotika lain mengajukan pemikiran yang beranggapan bahwa simbol visual tidak hanya terkait dengan ikonitas namun juga simbolik dan indeksikal. Sehingga kaitan antara simbol visual dan tanda-tanda makna kembali lagi kepada cara menginterpretasi simbol tersebut.

(11)

c. Dimensi pragmatig sendiri lebih terfokus kepada fungsi dari simbol visual.

Dimensi ini mempertanyakan apa fungsi puitik dan atau fungsi estetik dalam simbol visual serta fungsi mana yang lebih dominan. Jakobson menganggap bahwa fungsi puitik mengandaikan adanya pemusatan atas pesan didalam proses pembuatan dan juga penerimaan atau konsumsi sebuah tanda. Mukarovsky sendiri menganggap bahwa fungsi estetik lebih dicirikan oleh gejala fiksionalitas. Dengan anggapan itu dapat diartikan bahwa fungsi estetik dalam simbol-simbol visual bersifat lebih mengacu kepada dirinya sendiri atau self-referential. Namun sebenarnya tidak semua karya visual mengacu kepada dirinya sendiri, karena ada beberapa karya visual yang diciptakan untuk fungsi sosial. Hal tersebut kembali lagi kepada seniman yang menciptakan karya tersebut.

2.4 Rasisme di Amerika

Grosfoguel dalam penelitiannya mendefinisikan rasisme sebagai hirarki global dari superioritas dan inferioritas antara manusia yang telah dibentuk selama ratusan tahun oleh institusi kapitalis secara politik, budaya dan ekonomi (Grosfoguel, 2016). Selain institusi kapitalis, Grosfoguel menganggap bahwa rasisme juga dibentuk oleh patriarki barat sentris atau kristen sentris modern atau bahkan sistem kolonial dunia. Dalam rasisme, manusia yang dikategorikan sebagai superior dianggap sebagai manusia yang dapat mendapatkan hak asasi manusia, sedangkan manusia yang dikategorikan sebagai inferior tidaklah dianggap sebagai manusia yang pantas mendapatkan hak asasi manusia.

Menurut Kottak, rasisme adalah penindasan terhadap etnis tertentu yang dianggap berbeda secara biologis (Priandono, 2016). Tindakan diskriminasi ini dapat berbentuk tindakan fisik maupun verbal. Rasisme dapat terjadi atas dasar ekonomi, budaya, bahasa dan banyak hal. Namun, hal utama yang biasa mendasari rasisme di Amerika adalah warna kulit. Walaupun begitu, kita tidak bisa semata- mata mendefinisikan bahwa rasisme terjadi karena didasari atas perbedaan warna kulit. Banyak sekali yang mendasari adanya tindakan rasisme selain warna kulit,

(12)

sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa rasisme merupakan sebuah tindakan diskriminasi yang didasari oleh perbedaan warna kulit.

Rasisme sudah ada sejak zaman dahulu. Eropa American, menanamkan sistem kepercayaan atau ideologi dalam dunia mereka. Pertama, mereka berpendapat bahwa semua manusia terdiri dari ras yang terdefinisi baik, termasuk pula didalamnya ras Native Americans dan African Americans. Kedua, mereka berpendapat bahwa ada ras yang lebih superior dibandingkan dengan ras lainnya.

Dalam membuktikan bahwa ras yang bukan Eropa Americans adalah ras yang inferior, mereka mengabaikan semua pencapaian yang telah diraih oleh ras lainnya.

Ketiga, mereka berpendapat bahwa ras yang lebih superior harus memerintah ras yang lebih inferior. Contohnya adalah ketika Eropean Americans memercayai bahwa orang Africans memiliki cacat alami sehingga mereka tidak dapat berfungsi sebagai layaknya seorang manusia. Dengan begitu, Eropean Americans melakukan perbudakan yang mereka anggap akan dapat mengembalikan orang Africa kejalan dan peradaban yang benar (Tolbert, 1989).

Ras kaukasia atau orang kulit putih sampai saat ini masih dianggap sebagai ras superior di Amerika. Hal ini dapat dilihat dari double standards atau bisa juga disebut standar ganda, dimana perlakuan terhadap orang kulit hitam dan putih masih sangat berbeda. Contohnya saja ketika saat musim panas, seorang anak berkulit putih dapat menjual minuman lemon segar sebagai kegiatan musim panas mereka tanpa dicurigai oleh aparat kepolisisan dan bahkan mendapatkan pujian serta dukungan, sedangkan anak berkulit hitam akan dicurigai ketika mereka melakukan hal yang sama karena anggapan bahwa orang kulit hitam adalah orang yang buruk atau jahat dan bahkan kriminal.

Salah satu contoh kasusnya adalah Tamir Rice yang dilansir dalam BBC News pada 2014 lalu, “Tamir Rice was shot and killed by police because they believed he had a gun, it turned out what he was carrying was a fake”. Tamir Rice adalah anak berkulit hitam yang berumur 12 tahun, ditembak mati di Cleveland pada tahun 2014 silam. Rice ditembak mati oleh petugas kepolisisan karena ada laporan bahwa ia memiliki pistol dan pelapor merasa ketakutan. Nyatanya, Tamir

(13)

hanya bermain dengan senjata mainan, layaknya anak berumur 12 tahun. Kasus seperti Tamir Rice tidak pernah terjadi kepada orang berkulit putih sebelumnya.

Selain itu juga adanya kasus pembunuhan George Floyd yang baru terjadi pada tahun 2020. Floyd ditangkap oleh petugas kepolisian setelah dilaporkan membeli rokok dengan uang palsu. Walaupun Floyd tidak menunjukan pemberontakan dalam proses penangkapan, petugas kepolisian Derek Chauvin tetap menggunakan kekerasan dalam proses penangkapan. Menurut analisis video yang dilakukan oleh New York Times pada 5 November 2020, Chauvin menahan Floyd dengan meletakan lututnya di leher Floyd selama kurang lebih 8 menit.

Walupun Floyd sudah mengatakan berkali-kali bahwa ia tidak bisa bernafas dan juga memiliki gangguan pernafasan, Chauvin tidak melepaskan Floyd. Hal tersebut menyebabkan Floyd tidak bisa bernafas dan akhirnya meninggal. Selama kejadian tersebut, orang-orang yang berada di tempat kejadian ikut memohon kepada aparat kepolisian untuk melepaskan Floyd bahkan ketika ia sudah tidak dapat bergerak Chauvin tidak melepaskan Floyd.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh institusi kepolisian terhadap orang kulit hitam yang akhirnya berujung pada kematian sangatlah banyak dan sering terjadi. Bahkan gerakan Black Lives Matter yang dilakukan oleh jutaan orang Amerika tidak menghentikan kekerasan tersebut. Institusi negara Amerika, bahkan Presiden Donald Trump mengabaikan isu-isu tersebut. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh fakta bahwa rasisme yang ada di Amerika sudah ada selama ratusan tahun. Rasisme di Amerika diawali dengan datang nya penjajah Eropa yang melakukan genosida terhadap orang asli amerika atau suku Indian Amerika dan mengambil alih tanah mereka. Selanjutnya, orang America diajarkan sejarah Amerika yang mengatakan bahwa Christopher Colombus menemukan benua Amerika. Sehingga mereka mengira bahwa tidak ada tindakan opresi, diskriminasi dan juga genosida kepada orang Amerika asli. Ditambah lagi perbudakan yang dilakukan oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam yang berjalan selama ratusan tahun. Hal-hal inilah yang membuat rasisme di Amerika sudah menjadi Institutional Racism atau bisa juga disebut systemic racism yang merupakan bentuk rasisme dimana rasisme sudah dianggap hal yang normal dalam sebuah masyarakat

(14)

atau organisasi dan menyebabkan diskriminasi dalam banyak hal seperti tanggungan kesehatan, kesempatan pekerjaan, kekuatan politik, pendidikan dan hak-hak dasar manusia lainnya.

2.4.1 Dampak Rasisme

Tindakan diskriminasi terhadap suatu ras atau etnis tertentu pastinya akan menimbulkan dampak yang negatif dalam masyarakat. Dampak ini berlaku baik untuk ras yang superior maupun ras yang inferior (Irab, Rasisme , 2007):

1. Bagi ras superior, mereka akan dapat mendapatkan akses kepada banyak hal dengan mudah. Mereka akan dapat menjalani pendidikan secara maksimal dan dapat mengembangkan potensi mereka pula. Mereka dapat berpartisipasi dalam politik tanpa rasa kekhawatiran atau hambatan.

Dengan begitu, ras superior akan dapat menguasai banyak hal dengan maksimal dan dapat mengembangkan nya pula untuk kepentingan mereka sendiri. Namun, hal itu mereka dapatkan ditengah dunia atau masyarakat yang tidak adil, dimana tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal-hal tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ras superior menjadi manusia yang acuh tak acuh terhadap masalah rasisme yang ada disekitar mereka, karena mereka tidak mengalami kesulitan dalam hidup yang membatasi mereka untuk meraih pencapaian dalam hidup. Tindakan acuh tak acuh ini dapat menyebabkan masyarakat yang negatif dan mendiskriminasi. Kenyamanan mereka dalam menjalani hidup sebagai ras superior akan membuat mereka tidak menginginkan perubahan, dimana perubahan ini diperjuangkan oleh ras inferior untuk keadilan mereka sebagai manusia.

2. Sedangkan bagi ras inferior, mereka akan dipersulit akses nya bahkan untuk hak asasi manusia atau hak-hak dasar manusia. Akan ada halangan- halangan sosial seperti diskriminasi dan stereotip dalam kehidupan mereka yang akan menghambat pencapaian mereka baik dalam dunia pekerjaan, pendidikan, politik atau bahkan kehidupan bermasyarakat yang normal.

Dalam kehidupan mereka, mereka akan merasakan tindakan penindasan

(15)

dari ras superior baik secara individu ataupun institusi. Ras inferior akan dengan mudah dilanda kemiskinan, kebodohan dan penyakit fisik karena hak mereka akan pendidikan, kesehatan dan juga karir akan dihadapkan oleh banyak rintangan. Tentunya hal ini akan menciptakan kelompok masyarakat yang negatif pula.

2.4.2 Rasisme dalam Film Hollywood dan White Savior Complex Film, seperti yang dijelaskan sebelumnya, sering mengambil cerita dari kehidupan nyata sebagai inspirasi narasi. Hollywood atau bisa juga disebut sinema Amerika Serikat juga tidak berbeda dari film lainnya yang bernarasi dari refleksi kehidupan nyata manusia baik secara individu maupun secara masyarakat.

Mengingat sejarah rasisme yang ada di Amerika sejak ratusan tahun, sinema Amerika juga tentunya tidak dapat terlepas dari unsur rasisme. Baik dalam hal yang positif maupun negatif. Hal tersebut dapat terpengaruh dari fakta bahwa rasisme di Amerika sudah menjadi sistematik rasisme (Feagin, Systemic Racism: A Theory of Oppresion, 2006). Bukan hanya film yang mengandung narasi dengan unsur rasisme, industri perfilman di Amerika pun sampai saat ini masih dapat dianggap rasis.

Oscar atau The Academy Award merupakan penghargaan tertinggi dalam dunia perfilman. Sejak diadakan untuk pertama kalinya pada tahun 1929, The Academy Award baru memberikan penghargaan kepada orang kulit hitam pada tahun 1939 kepada Hattie McDaniel sebagai Aktris Pendukung Terbaik dalam film Gone With The Wind (Utica Public Library, n.d.). Walaupun The Academy memberikan penghargaan berdasarkan penilaian-penilaian terhadap film, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka mengabaikan peran orang kulit hitam dalam dunia perfilman di Amerika. Seperti yang dilansir dalam Variety (2020), pada tahun 2020 hanya terdapat 5 orang kulit hitam yang ternominasi untuk The Academy Awards.

Walaupun sudah ada beberapa black films yang mendapatkan penghargaan Oscar seperti Black Panther (2018) dan Moonlight (2016), tidak dapat dipungkiri bahwa Oscar adalah sebuah penghargaan yang rasis. Walaupun The Academy Awards merupakan penghargaan film dengan tingkat dunia, The Academy memberikan

(16)

kategori tersendiri untuk film yang tidak menggunakan bahasa inggris yaitu

“foreign films”. Kategori tersebut seolah menganggap bahwa film yang tidak menggunakan bahasa inggris bukanlah film yang layak untuk mendapatkan penghargaan Best Film atau Film Terbaik.

Dilansir dalam The Guardian (2020), satu-satunya film dengan bahasa asing yang pernah memenangkan Oscar adalah film Parasite (2019) karya Bong Joon- Ho. Parasite memenangkan penghargaan untuk film terbaik, sutradara terbaik, naskah asli terbaik, serta film berbahasa asing dalam Oscar 2020. Seperti yang dilansir dalam Dazed (2020), dalam pidato penerimaan penghargaan best foreign language film di Golden Globes 2020, Bong Joon-Ho mengatakan “once you overcome the 1-inch tall barrier of subtitles, you will be introduced to so many more amazing film” yang artinya adalah ketika kita dapat melewati halangan setinggi 1 inci yaitu subtitles, kita dapat mengenal lebih banyak film yang luar biasa. Kalimat tersebut dapat juga diartikan bahwa film yang luar biasa tidak harus film yang menggunakan bahasa inggris.

Film-film hollywood saat ini memang sudah banyak yang berisikan non- kulit putih sebagai pemeran ataupun kru. Namun, narasi yang diceritakan dalam film hollywood belum tentu tidak bersifat atau mengandung unsur rasisme.

Buktinya masih ada beberapa film yang masih bersifat rasis walaupun diperankan oleh orang kulit hitam atau orang non-kulit putih. Contohnya seperti film Green Book (2018) karya Jim Burke, film ini merupakan film yang menceritakan kisah dari Don Shirley seorang pianis hebat dengan pendidikan tinggi yang merupakan orang kulit hitam. Dimana kisah Don Shirley sendiri diceritakan dari sudut pandang Tony Lip yang merupakan supirnya (Dalam media online IMDb, 2018). Bukannya menceritakan kisah hidup Shirley dengan benar, Green Book (2018) malah menjadikan Tony Lip sebagai penyelamat dalam hidupnya. Film ini bahkan memenangkan penghargaan Oscar untuk Film Terbaik pada tahun 2019.

Film seperti Green Book (2018), dimana orang kulit putih dijadikan penyelamat orang kulit hitam atau orang non-kulit putih yang dapat juga disebut sebagai people of colour, adalah film yang mengandung unsur White Savior Complex. Meeta Rani mengatakan bahwa narasi white savior adalah alat yang

(17)

terjadi berulang kali dalam representasi budaya dimana orang laki-laki atau wanita kulit putih menjadi pahlawan dan menyelamatkan people of color dari penderitaan dan penindasan yang mereka alami (Jha, 2016). Karakter orang kulit putih yang menjadi penyelamat dalam kehidupan orang non-kulit putih adalah seorang white savior, dimana karakter tersebut membantu untuk kebaikan mereka sendiri. Film yang mengandung unsur White Savior Complex merupakan sebuah film yang rasis karena menganggap bahwa orang kulit putih adalah ras atau individu yang lebih superior dari pada orang non-kulit putih sehingga semua orang pasti membutuhkan orang kulit putih dalam kehidupan mereka. Jika film dengan unsur black heroism dapat dikategorikan kedalam black films, film dengan unsur white savior complex tidak dikategorikan kedalam sebuah kategori khusus karena hal tersebut sudah dianggap normal dalam film-film di Hollywood. Hal tersebut kembali lagi kepada fakta bahwa hal seperti white savior sudah sangat sering terjadi di Amerika dan lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan yang menyebabkan sistemik rasisme.

Salah satu film yang mengandung unsur White Savior Complex juga adalah Hidden Figures (2016) karya Theodore Melfi. Film ini menceritakan kisah nyata dari tiga figur wanita berkulit hitam yang memiliki peranan penting dalam penerbangan manusia ke luar angkasa untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Karakter yang diceritakan dalam film ini adalah Katherine Johnson, Dorothy Vaughn, dan Mary Jackson (Dalam media online IMDb, 2016). Film ini berdasarkan kisah nyata, namun tetap saja ada beberapa hal yang dirubah untuk mendramatisir film ini sehingga film ini termasuk dalam genre fiksi. Salah satu karakter yang tidak ada dalam kehidupan nyata namun ada dalam film ini adalah Al Harrison yang diperankan oleh Kevin Costner (Dalam media online NASA, 2017). Disini Costner berperan sebagai kepala Space Task Group yang akan menjadi bos dari Katherine Johnson, diperankan oleh Taraji P. Henson. Seperti yang dilansir dalam Business Insider (2020), Al Harrison sendiri dapat disebut sebagai seorang white savior karena tindakan-tindakan yang ia lakukan dalam film ini. Walaupun skenario yang ada menunjukan tindakan Harrison yang menolong Johnson, fakta bahwa ia hanyalah tokoh fiktif yang dibuat untuk menolong seorang wanita berkulit hitam dalam permasalahan pekerjaan nya membuat Harrison

(18)

seolah-olah ada untuk menunjukan bahwa orang berkulit putih tetaplah pahlawan dalam film ini.

Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Harrison merupakan tanda atau semiotik yang dapat memunculkan makna atau pesan white savior. Salah satunya adalah adegan dimana Harrison menghancurkan lambang “colored ladies room”

yang berada di kamar kecil wanita di NASA. Colored adalah salah satu istilah yang digunakan untuk orang dengan ras non-kaukasia. Harrison menghancurkan lambang tersebut karena ia merasa kesal Johnson selalu menghabiskan waktu yang lama hanya untuk pergi ke toilet, hal ini karena di gedung dimana Space Task Group tidak ada toiled untuk orang colored. Harrison menghancurkan lambang “colored ladies room” dan mengatakan “here at NASA, we all pee the same color”.

2.5 Basis Teori

2.5.1 Teori Semiotika Roland Barthes

Penelitian ini akan menggunakan teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes dalam analisis data penelitian. Barthes dalam teori semiotika nya lebih fokus terhadap sistem tanda yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Sistem tanda yang berada di tingkatan pertama adalah denotasi yang sebenarnya dijelaskan dalam teori semiotika Saussure. Untuk menyempurnakan teori yang dikemukakan oleh Saussure, Barthes menambahkan tingkatan kedua dalam sistem tanda yaitu konotasi (Sobur, Semiotika Komunikasi, 2013).

Signifier (Penanda) Signified (Petanda) Denotative Sign (Tanda Denotatif)

Connotative Signifier (Penanda Konotatif) Connotative Signified (Petanda Konotatif) Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, Semiotika Komunikasi, 2013)

(19)

Dari peta diatas dapat artikan bahwa tanda denotatif terdiri dari penanda dan petanda. Selain itu, tanda denotatif juga menjadi penanda konotatif agar dapat menghasilkan tanda konotatif (Sobur, Semiotika Komunikasi, 2013). Dalam kerangka Barthes ini, konotasi sama dengan mitos yang berfungsi untuk menyampaikan pembenaran bagi nilai dominan yang berlaku dalam suatu jangka waktu. Mitos sama posisinya dengan konotasi yaitu di tingkatan kedua dari sistem tanda karena sama halnya dengan konotasi, mitos juga memiliki tiga dimensi yang membentuk sistem nya yaitu penanda, petanda dan tanda.

Tanda denotatif berada pada tahapan pertama sistem tanda dan tanda konotatif berada pada tahapan kedua sistem tanda. Untuk menciptakan tanda denotatif, dibutuhkan dua elemen yaitu penanda dan petanda. Tanda denotatif dapat dianalisis dari sudut pandang bahasa atau makna harfiah, dengan kata lain tanda denotatif adalah apa yang dilihat apa adanya. Pada tahapan kedua pemaknaan sistem tanda, ada tanda konotatif dan mitos. Beda halnya dengan tanda konotatif yang berada di tahapan kedua sistem tanda. Tanda konotatif muncul ketika tanda denotatif bertemu dengan perasaan atau emosi dari penggunanya dan juga nilai- nilai kultural. Sehingga dengan begitu, tanda konotatif merupakan suatu hal yang subjektif dan tidak bersifat harfiah (Fiske, 2014). Dengan kata lain, tanda konotatif adalah sesuatu yang berada dibalik tanda denotatif dan makna yang dihasilkan sesuai dengan perspektif masing-masing pengguna tanda.

Mitos juga berada pada tahapan kedua sistem tanda. Menurut Barthes, mitos bukan realitas unreasonable atau unspeakable, namun merupakan sebuah sistem komunikasi yang berfungsi untuk mengungkapkan kebenaran bagi nilai dominan.

Mitos bersifat mudah diubah dan hal ini dipengaruhi oleh konteks penggunaan mitos tersebut. Mitos membuat beberapa pandangan tertentu terasa seperti suatu hal yang tidak mungkin karena memang begitulah yang seharusnya (Rusmana, 2014).

Mitos primitif dapat berupa mitos tentang hidup dan mati, dewa dan alam semesta lainnya. Sedangkan mitos masa kini dapat berupa femininitas, maskulinitas, dan kesuksesan.

Gambar

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes  (Sobur, Semiotika Komunikasi, 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan lebih besar akan lebih mempunyai fleksibilitas dalam investasi karena dapat menunda investasi sampai dana yang digunakan cukup untuk membiayai investasi, sesuai

Terpadu Moga

10 Film “Green Book” ini memiliki unsur rasisme didalamnya, di film ini orang- orang kulit hitam digambarkan tidak boleh makan direstoran yang sama dengan orang kulit putih,

Pustakawan dan Guru Pustakawan Perpustakaan Sekolah harus dapat memahami secara baik apa yang menjadi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan pada Sekolah Dasar, Sekolah

Dengan demikian pada level tiga tersebut akan diperoleh sejumlah angka indeks konsistensi yang banyaknya sama dengan unsur-unsur dalam level dua. Langkah selanjutnya adalah

Selama ini belum ada penelitian yang mengkaji bagaimana kemampuan fraksi tidak tersabunkan yang terdapat dalam DALMS yang mengandung senyawa bioaktif multikomponen

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Stuart (2016) bahwa teman sebaya dapat menjadi sistem pendukung bagi remaja dalam menghadapi perubahan yang

Alat itu digunakan pada proses terakhir yaitu pada proses pengaduk telur omlet, dimana alat tersebut bekerja menggunakan sumber daya dari motor listrik yang menggerakkan