• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang sudah dilakukan dapat menjadi acuan bagi penulis dalam melakukan penelitian sehingga mendapatkan ide serta teori yang dapat digunakan dalam melakukan pengkajian tentang apa yang akan diteliti. Dari jurnal dan penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan judul atau topik yang sama persis dengan judul penelitian penulis. Namun, penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu sebagai referensi yang sekiranya mendekati. Berikut penulis sajikan beberapa contoh penelitian terdahulu:

1. Penelitian dilakukan oleh Gean Goncalves dan Cremilda Medina yang berasal dari Universidade de Sao Paulo dengan judul “The Sign of Relation and the Challenges of Journalistic Narratives on the LGBT Community”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2018 dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian ini memperlihatkan tantangan yang dihadapi oleh jurnalis ketika mewawancarai kelompok LGBT untuk mengonstruksi naratif dan memahami kerentanan yang dirasakan oleh mereka dan menuangkannya menjadi sebuah berita.

Tantangan mereka hadapi ketika para jurnalis mendapatkan informasi, mereka harus bisa memahami kerentanan dari individu masing-masing dari kelompok

(2)

14 LGBT. Peneliti fokus kepada elemen yang digunakan oleh para jurnalis untuk menyusun peliputan ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tantangan yang dirasakan oleh para jurnalis ketika meliput kelompok LGBT, dan hal apa yang harus mereka perhatikan ketika meliput individu dari kelompok ini. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif, melakukan wawancara mendalam terhadap tiga orang jurnalis yang pernah membuat berita dan buku mengenai kelompok LGBT

Penelitian ini menggunakan konsep Sign of Relation dalam penelitiannya.

Konsep the Sign of Relation muncul akibat dari perpindahan yang menempatkan penekanan pada kapasitas jurnalistik untuk menghasilkan penulisan yang setara, atau dengan kata lain untuk menjadi artikulator profesional untuk mendengarkan suara dari berbagai kelompok dan hal-hal berbau budaya. Jurnalistik sudah melampaui penyebaran atau penyebaran informasi dan pendapat melewati media tradisional dan media digital baru.

Simpulan dari penelitian ini adalah kisah mengenai kelompok LGBT harus dikaitkan dengan ilmu sosiologi dan antropolog. Individu dari LGBT terkadang merasa ditolak oleh masyarakat, mereka juga secara tidak sadar bertendensi untuk menolak diri sendiri karena penolakan dari luar tersebut. Dalam hal ini juga terlihat bahwa kelamin yang terlihat dari luar, tidak selalu sama dengan apa yang dari

(3)

15 dalam. Bisa saja seseorang lahir sebagai laki-laki secara fisik, tetapi lahir sebagai wanita dari dalam atau biasa disebut “biological woman”

Menurut ketiga jurnalis yang diwawancarai, ada beberapa hal yang harus diikuti yang saat melakukan peliputan mengenai kelompok LGBT:

a. berbincang dengan kelompok LGBT adalah sebuah hal yang penting. Mereka sudah terlalu lama di stereotype kan dengan berbagai macam hal yang negatif, sehingga seorang jurnalis harus “kenal” dan mengerti mereka untuk membuat sebuah peliputan, tidak bisa hanya dari riset berita belaka, tetapi juga harus terjun dan melihat langsung kehidupan mereka.

b. Berhati-hati dalam mengidentifikasi dan penggunaan kata-kata kepada kelompok LGBT, mereka sama seperti manusia heteroseksual lainnya, yang membedakan hanya orientasi ketertarikan seksualnya.

c. Jangan hanya meliput mengenai identitas ketertarikan seksual, pengalaman, dan kelemahan mereka, tetapi juga harus bisa suportif dan menghargai identitas gender dan seksual orientasi mereka.

d. Buatlah percakapan sensitif dan tulus, jangan menghakimi atau meremehkan pengalaman atau kesulitan yang mereka jalani untuk membuat percakapan menjadi nyaman.

e. Tanyalah kepada mereka apakah konten yang ingin dibuat sudah sesuai, tentu saja harus dibuat dengan sopan dan menghargai mereka.

(4)

16 f. Hal yang paling penting adalah tidak ada kata normal, ataupun gender yang natural, seperti kita mengenal heteroseksual saat ini adalah yang “normal”

karena hal itulah yang diajarkan kepada kita sedari kecil, mereka juga

“normal” dengan keadaan mereka sekarang.

Dalam pemberitaan mengenai LGBT, tidak hanya dipengaruhi oleh jurnalis itu sendiri, tetapi juga struktur dan politik dari media dimana jurnalis tersebut bekerja, sehingga terkadang pemberitaannya harus disesuaikan dengan fakta, dan politik media itu sendiri. Jurnalis harus memiliki sensibilitas tinggi dalam mewawancarai kelompok sensitif seperti ini untuk mendapatkan liputan yang baik.

Perbedaan dalam penelitian Gean Goncalves dan Cremilda Medina dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, penelitian Gean dan Cremilda ini menganalisis hal apa yang diperhatikan oleh jurnalis saat meliput mengenai kelompok LGBT, sedangkan peneliti ingin melihat aspek tersebut dan menghubungkannya dengan tanggapan dari segi media dan dewan pers untuk melihat dan membuat standar sebuah pedoman mengenai kelompok LGBT.

Persamaan yang dimiliki oleh peneliti dan penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana jurnalis dan media itu sendiri melihat dan melakukan peliputan mengenai kelompok LGBT. Peneliti ingin melihat sensibilitas dan poin-poin yang digunakan oleh jurnalis di Indonesia kita melakukan peliputan mengenai kelompok

(5)

17 LGBT. Selain itu peneliti dan penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil data dengan wawancara mendalam.

2. Penelitian dilakukan oleh Eve, NG dari Five College Women’s Studies Research Center yang berjudul “a “Post-Gay” Era? Media Gaystreaming, Homonormativity, and the Politics of LGBT Integration” Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian ini menggambarkan tentang LogoTV, sebuah stasiun televisi yang pertama kali disiarkan tahun 2005 dan menjadi salah satu stasiun yang secara eksplisit menyiarkan program-program yang mendukung LGBT. Mereka mengimplementasikan strategi pemasaran ulang untuk penggambaran kelompok LGBT kepada masyarakat. Saat ini LogoTV memiliki website dan di website tersebut menjadi tempat untuk streaming acara mereka, artikel mengenai LGBT, karena mereka sedang mengembangkan konten di channel mereka. Mereka memiliki tujuan agar kelompok heteroseksual juga bisa menikmati tayangan yang ada di LogoTV, yang notabenenya memiliki banyak tayangan mengenai kelompok LGBT. Perbedaan antara LogoTV dengan media lainnya adalah karena LogoTV adalah media gaystreaming, poin permasalahan konsep gaystreaming dalam agenda yang kritis, membuat mereka menjadi jauh terhadap dominan budaya komersial.

LogoTV memiliki visi untuk rebranding tayangan mengenai kelompok LGBT tanpa konotasi negatif, merangkum hal mengenai kelompok ini dengan

(6)

18 melampaui apa itu “konten Gay” secara tradisional, dituangkan dalam karakter, alur cerita, dan dalam seluruh genre hiburan. LogoTV mempercayai bahwa sekarang sudah bukan saatnya masyarakat melihat LGBT sebagai sebuah keanehan, tetapi sudah menjadi sesuatu yang harus dianggap biasa karena tidak adanya kesenjangan sedari awal. Dalam penelitian ini terlihat bagaimana LogoTV membuat identitas kelompok lgbt, budaya, dan politik telah dikonseptualisasikan

Penelitian ini bertujuan ingin melihat bagaimana strategi team LogoTV agar dapat mencapai tujuan mereka untuk mengeneralkan tayangan LGBT kepada masyarakat heteroseksual. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengambilan data dengan cara wawancara terhadap 32 crew LogoTV dan menganalisis dokumen milik LogoTV. Simpulan dari penelitian ini adalah LogoTV masih sesuai kepada visi utamanya yaitu menyetarakan penayangan yang berbau LGBT sampai akhirnya diterima oleh masyarakat sebagai tontonan biasa. Struktur politik dalam media tersebut juga berpengaruh, karena hal tersebut juga berkaitan dengan visi perusahaan.

Dalam penelitian ini, terlihat permasalahan dalam implikasi arah pemrograman tayangan dan wacana aliran gay (mereka melawan arus mainstream tayangan yang biasanya memfokuskan kepada penayangan yang heteroseksual), mereka membuktikan bahwa kedua hal ini dan komentar yang populer dapat mengarahkan menjadi keuntungan politik dan budaya untuk komunitas LGBT.

(7)

19 LogoTV menggunakan bahasa yang “menormalkan” tidak seperti tayangan lain yang menggunakan kata-kata yang bisa membentuk persepsi masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang biasa, dan mulai bisa menerima tayangan mengenai kelompok LGBT.

Perbedaan penelitian Eve dengan penelitian ini adalah penelitian ini memiliki tujuan ingin melihat bagaimana sebuah media televisi bisa membuat kesetaraan antara masyarakat dengan kelompok LGBT dengan standarnya sendiri, sedangkan penelitian ini memiliki tujuan ingin melihat pedoman apa yang bisa digunakan oleh jurnalis di Indonesia untuk mencapai sebuah kesetaraan.

Persamaan penelitiannya adalah sama-sama menggunakan metode kualitatif mewawancarai narasumber yang terlibat untuk membuat kesetaraan antara kelompok LGBT dengan masyarakat luas. Dalam penelitian ini, peneliti juga bisa melihat bagaimana media tersebut “menormalkan” kelompok tersebut dan faktor apa saja yang memengaruhi media ataupun jurnalis dalam pembuatan konten.

3. Penelitian dilakukan oleh Burkhard Blasi berjudul “Peace Journalism and the news production process”. Penelitian ini dilakukan pada 2004 dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian ini dilatarbelakangi dari beberapa tahun sebelumnya, ada beberapa jenis peliputan dan pemberitaan jurnalisme kedamaian atau konstruksi peliputan konflik yang digunakan oleh sejumlah jurnalis, tetapi poin-poin yang dibutuhkan

(8)

20 oleh pemberitaan tersebut dirasa kurang sesuai dengan jurnalis yang meliput kecuali jika mereka mengetahui apa yang sedang diberitakan oleh media saat ini.

Ditemukan banyak hal yang berbeda antara teori dan praktiknya saat melakukan peliputan, sehingga jurnalisme kedamaian menjadi tidak sesuai dan menggiring opini masyarakat ke salah satu sisi. Meskipun dinamakan jurnalisme kedamaian, banyak pemberitaan yang dirasa berlebihan atau pemberitaan tidak sesuai dengan kasus yang diliput.

Peneliti melihat bahwa belum ada konsep atau teori yang membuat poin-poin apa saja yang harus dimiliki oleh jurnalis untuk membuat pemberitaan kedamaian.

Selain itu, media harus bias seimbang dalam membuat realitas dan kompetensi jurnalis tersebut juga mempengaruhi kualitas pemberitaan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model baru dalam melakukan peliputan perdamaian agar tidak berlebihan dan berimbang. Peneliti menggunakan grounded theory atau teorisasi data, yaitu metode penyusunan teori yang berorientasi tindakan atau interaksi.

Penelitian ini juga menggunakan teori News Value, atau nilai-nilai jurnalistik.

Peneliti melakukan wawancara kepada 30 orang yang terdiri dari editor, koresponden reguler yang ada di lokasi, atau jurnalis lepas. Jurnalis yang diwawancarai bekerja di media daring dan media cetak yang meliput konflik dan perang di berbagai belahan dunia seperti Teluk Perang (1991), Balkan, Chechnya, Rwanda, Liberia, Indonesia, Israel atau palestina, Afghanistan, dan Irak (2003).

(9)

21 Simpulan dari penelitian ini, ada enam faktor yang harus dilihat saat melakukan peliputan kedamaian, antara lain:

a. Aspek struktural di media tersebut, b. Permasalahan di lapangan,

c. Keahlian jurnalis tersebut,

d. Keadaan politik di negara tersebut,

e. Pengaruh dari luar (seperti militer, agama, hal-hal yang mayoritas di negara tersebut), dan

f. Pembaca.

Keterbatasan penelitian ini adalah poin-poin yang digunakan diatas hanya akan efektif jika jurnalis yang melakukan peliputan berasal daerah tersebut seperti jurnalis Indonesia melakukan peliputan di Indonesia agar bisa mengerti situasi di negara tersebut. Selain itu masih ada beberapa pertanyaan untuk peneliti selanjutnya yaitu, bagaimana jika pemberitaan jurnalisme kedamaian terjadi dibawah permasalahan politik, sejarah, budaya dan geografi yang berbeda?

Bagaimana cara pengimplementasian dan cara melewati permasalahan tersebut?

Perbedaan penelitian Blasi dengan penelitian ini adalah penelitian ini menggunakan grounded theory sebagai dasar penelitiannya dan fokus kepada jurnalisme kedamaian, sedangkan penelitian ini menggunakan metode studi kasus Robert E. Stake dan fokus kepada kelompok LGBT.

(10)

22 Persamaan penelitiannya adalah sama-sama mengenai proses peliputan jurnalistik dan memiliki tujuan untuk memperbaiki atau membuat sebuah petunjuk untuk peliputan berita.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti Gean Goncalves dan Cremilda Medina

Eve, NG Burkhard Blasi

Judul The Sign on Relation and the Challenges of Journalistic Narratives on the LGBT

Community

a “Post-Gay”

Era? Media Gaystreaming, Homonormativity , and the Politics of LGBT

Integration

Peace Journalism and the news production process

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tantangan yang dirasakan oleh para jurnalis ketika meliput kelompok LGBT, dan hal apa yang harus mereka

Untuk melihat strategi yang digunakan oleh team LogoTV agar dapat mencapai tujuan mereka untuk mengendalikan tayangan mengenai

Membuat model baru dalam melakukan peliputan

perdamaian agar hasil liputannya tidak berlebihan dan berimbang.

(11)

23 perhatikan ketika

meliput individu dari kelompok ini.

kelompok LGBT kepada

masyarakat heteroseksual.

Konsep &

Teori

Konsep Sign of Relation

News Value

Metode Penelitian

Kualitatif Kualitatif Grounded Theory

Pengumpul an Data

Wawancara mendalam terhadap 3 jurnalis yang pernah membuat artikel dan buku mengenai

kelompok LGBT

Wawancara terhadap 32 crew LogoTV dan Analisis tayangan di LogoTV

Wawancara terhadap 30 orang yang terdiri dari editor,

koresponden di lokasi, dan jurnalis lepas

2.2 Teori dan Konsep

2.2.1 Jurnalis

Jurnalis adalah seseorang yang bertugas, mencari, mengumpulkan, dan mengelola informasi menjadi berita, untuk disiarkan menjadi media massa (Djurot,

(12)

24 2002, p. 22) Segala bentuk penulisan yang ditulis jurnalis yang ada dalam media massa, misalnya straight news, depth reporting, features, dan lain-lain disebut dengan tulisan jurnalisme (Nurudin, 2009, pp. 9-10) Ketika seorang wartawan sedang bertugas untuk mencari berita dalam perspektif jurnalistik, mereka dibebani dengan berbagai peraturan, salah satunya harus taat pada Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang pers, dan taat pada kode Etik jurnalistik sebagai etika profesi.

Kode Etik Jurnalistik terbagi menjadi 11 pasal (Nugroho, 2013, pp. 291-297) antara lain:

1. Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

2. Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

3. Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

(13)

25 4. Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul

5. Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

6. Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

7. Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,

menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan

8. Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak

(14)

26 merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

9. Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

10. Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

11. Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Menurut Hikmat dan Purnama (2006, p. 115), profesi jurnalis adalah profesional. Mereka juga mengatakan bahwa kata profesional memiliki tiga arti yaitu:

1. Kebalikan dari amatir,

2. Sifat pekerjaan wartawan membutuhkan pelatihan khusus, dan

3. Norma-norma yang mengatur perilakunya dititik beratkan kepada kepentingan pembaca.

Selain itu, terdapat dua norma dalam pekerjaan jurnalistik yang dapat diidentifikasi, yaitu:

(15)

27 1. Norma teknis

Keharusan untuk membuat sebuah berita dengan cepat, keterampilan menulis, keterampilan menyunting berita, dan lainnya.

2. Norma etis

Kewajiban kepada khalayak memberikan fakta serta nilai-nilai seperti tanggung jawab, berimbang, objektif, dan lainnya.

Ishwara (2011, pp. 27-49) menjelaskan, bahwa keterampilan jurnalis dihubungkan dengan tugas dan kewajibannya. Dalam mengumpulkan dan mengolah data, jurnalis melakukan observasi dan verifikasi data. Untuk mendasari hal ini, jurnalis memiliki sifat curiosity (keingintahuan). Jurnalis yang baik akan bergerak untuk mencari informasi dan melakukan verifikasi data, bukan menunggu untuk mendapatkan data. Dikarenakan pekerjaan jurnalis adalah pekerjaan yang profesional, maka dari itu Yancheff (Santana, 2005, p. 207) mengajukan sepuluh kemampuan jurnalis profesional, yaitu:

1. Kompetensi menulis

Dapat melaporkan secara jelas, akurat, kredibel, dan reliabel. Tulisan oleh jurnalis harus bisa dipahami oleh pembaca dengan mudah.

2. Kompetensi menyampaikan secara lisan

(16)

28 Dapat menyampaikan pengertian, respon yang baik, dan bertanggung jawab. Memiliki kemampuan mewawancarai narasumber mengikuti usia, kelompok, etnik yang berbeda.

3. Kompetensi dalam riset dan investigasi

Dapat menyiapkan bahan, pengembangan, akurasi kisah melalui sumber kepustakaan, virtual online, dan catatan publik.

4. Kompetensi dalam pengetahuan dasar

Memiliki kemampuan dasar seperti ekonomi, matematika, sejarah, dan lainnya.

5. Kompetensi dasar dalam pencarian website

Memiliki kemampuan menguasai internet, e-mail, dan lainnya yang memiliki format on the web.

6. Kompetensi dalam audio-visual

Kemampuan untuk menggunakan kamera, kamera video, serta audio tape.

7. Kompetensi dasar dalam pengaplikasian dasar komputer

Kemampuan untuk menggunakan aplikasi yang ada di komputer seperti Microsoft words, pengembangan database, dan sebagainya yang memiliki hubungan untuk pekerjaan jurnalistik.

(17)

29 8. Kompetensi etika

Memahami tanggung jawab profesi seperti kode etik, pertimbangan nilai etika, pelanggaran, dan plagiarisme.

9. Kompetensi legal

Kemampuan dalam memahami undang-undang yang berlaku di negara tempat bekerja.

10. Kompetensi karir

Kemampuan memahami dunia karir profesional dalam dunia jurnalisme.

2.2.2 Media dan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender

Media membuat sebuah berita melalui pola dan tingkah laku yang jelas, sehingga berita apa yang mereka berita melalui kata-kata dan gambar, membuat masyarakat merasakan bahwa hal tersebut adalah realita dan sesuatu yang harus disepakati bersama (Shoemaker, 2014). Menurut Sarah Kate Ellis (GLAAD, 2016, p. 4) peliputan berita di media yang adil, akurat, dan inklusif, berperan penting dalam memperluas kesadaran publik dan pemahaman masyarakat mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.

Chomsky (2010, p. 384) mengatakan bahwa lesbian dan gay tidak mendapatkan banyak perhatian di masa lalu, namun pada tahun 1965, the New York Times mulai mempublikasikan berita mengenai lesbian dan gay lebih dari 2 artikel setiap tahunnya dan sejak tahun tersebut, mereka mulai membuat pemberitaan

(18)

30 mengenai lesbian dan gay hingga 20 tahun kedepan. Lesbian dan gay pada dasarnya tidak terlihat di masa ini Gross (2001), dan permasalahan mengenai mereka tidak pernah dimasukkan ke dalam agenda publik.

Sebelum tahun 1965, Lisa Bennett (1998)menyatakan bahwa 60% dari pemberitaan di majalah Time dan Newsweek di tahun 1940 dan 1950 an, membingkai bahwa lesbian dan gay adalah sebuah ancaman nasional. Pemberitaan mengenai LGBT selalu mengenai keburukan mereka, meskipun mereka beberapa kali membuat prestasi, hal tersebut tidak diberitakan oleh media. Namun pada tahun 1985, sebuah organisasi media non-pemerintah bernama Gay and Lesbian Alliance Against Defamation atau, muncul untuk membuat kesetaraan antara masyarakat luas dengan gay dan lesbian. Mereka terbentuk di New York untuk memprotes peliputan mengenai AIDS yang dilakukan oleh New York Post yang bersifat memfitnah dan sensasional, sehingga mereka membuat organisasi media untuk mengakhiri peliputan yang homofobik. (GLAAD, 2016).

Munculnya kelompok LGBT di peradaban Indonesia, baik yang terdokumentasikan dalam karya ilmiah maupun popular, bisa dikatakan mulai berkembang sejak tahun 1960 an dan booming di era tahun (Agung, 2016, p. 2). Akan tetapi hingga saat ini, kelompok LGBT masih sulit mendapatkan posisi yang layak di tengah masyarakat Indonesia. Kelompok LGBT masih dibatasi gerakannya di ruang publik, dan masih sering mendapatkan serangan fisik di berbagai daerah di Indonesia

(19)

31 (Sani, 2018). Media bertanggung jawab atas hal ini, menurut Devi Asmarani, selaku pemimpin Redaksi Magdalene.co, hal ini terjadi karena peliputan yang bias dan moralistis, sehingga memperkuat stigma terhadap komunitas LGBT dan menjadi bagian aktif yang memersekusi mereka (SEJUK, 2018, p. 2).

Menurut Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia (2013, p. 46), media konvensional dibagi menjadi tiga kategori dari cara mereka meliput permasalahan LGBT, yaitu:

1. Media yang meliput secara seimbang.

Pemberitaan biasanya mengedukasi masyarakat mengenai kelompok LGBT sebagai bagian integral dalam masyarakat yang setara.

2. Media yang meliput permasalahan LGBT dengan sekedar menyoroti aspek seksual dalam pemberitaan sensasional.

Pemberitaan media biasanya seringkali memberikan informasi yang tidak benar, mencampur-adukkan orientasi seksual dengan identitas gender dan menghina atau mencela kelompok yang gender non-conforming.

3. Media yang terkait dengan Islam garis keras, konservatif atau fundamentalis.

Media yang berada di kategori ini tergolong jarang memuat materi mengenai homoseksualitas dan transgender, namun biasanya mengatakan bahwa hal-hal tersebut adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kebencian.

(20)

32 Kategori tersebut membuktikan bahwa media di Indonesia belum memiliki sebuah kesepakatan atau standar dalam pemberitaan mengenai kelompok LGBT.

Maka dari itu semakin banyak organisasi LGBT yang membina hubungan dengan para pekerja media massa dari kategori media pertama dan kedua (LNI, 2013, p.47).

LGBT merupakan salah satu dari kelompok minoritas, dan peliputan mengenai kelompok LGBT dikategorikan sebagai jurnalisme keberagaman. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) (Tuasikal, 2020, p. 8) mengatakan bahwa prinsip jurnalisme keberagaman adalah:

1. berpihak kepada keberagaman dan perbedaan, 2. berpihak kepada korban,

3. berpihak kepada minoritas, 4. sensitif gender,

5. menjunjung HAM,

6. dan berperspektif jurnalisme damai.

Ketua AJI Banda Aceh, Ihsan Misdarul, menyatakan Media massa dan jurnalis harus memberikan tempat yang sama bagi kelompok mayoritas dan kelompok minoritas (SEJUK, 2018, p. 2). Dirinya menyatakan bahwa seorang jurnalis, terutama dalam meliput mengenai kelompok minoritas, harus memiliki perspektif yang kuat untuk guna menghindari bias atau prasangka ketika menyusun berita (SEJUK, 2018, p. 3)

(21)

33 Terdapat tiga prinsip dasar HAM, yaitu (Humas, 2018, p. 1):

1. Prinsip Keadilan, di dalamnya menyangkut kesetaraan (equality), non- diskriminasi, kesetaraan dalam mengakses layanan publik,

2. Prinsip Martabat (Dignity), dan 3. Prinsip Humanity.

Menurut John Rawls (2013, p. 107) ada tiga solusi dalam menangani kasus yang menyangkut perihal keadilan, yaitu:

1. The Principle of Greatest Equal Liberty

Pada dasarnya, prinsip ini mencakup mengenai kebebasan untuk berperan serta semua manusia dalam kehidupan berpolitik, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan memeluk agama, kebebasan menjadi diri sendiri, kebebasan dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, dan hak untuk mempertahankan milik pribadi.

2. The Principle of Equality of Opportunity

Pada dasarnya, prinsip ini menyatakan bahwa ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur agar bisa sehingga membuka jabatan dan kedudukan sosial bagi semua orang dengan kesempatan yang sama.

(22)

34 3. The difference Principle

Prinsip ini pada dasarnya menyatakan bahwa perbedaan sosial ekonomi harus diatur, agar dapat memberikan manfaat yang besar bagi mereka yang kurang beruntung.

Dalam hal ini, pernyataan John Rawls merupakan hal-hal pokok yang ada di dalam HAM. Poin pertama dan kedua yang dibuat oleh John Rawls menyatakan kebebasan dan memiliki kesempatan yang sama untuk seluruh manusia, termasuk kelompok minoritas. Sehingga pemberitaan mengenai kelompok LGBT harus didasarkan oleh kedua konsep tersebut agar tidak bias dan bisa berimbang untuk masyarakat minoritas maupun mayoritas.

Dalam pembuatan berita mengenai kelompok LGBT, Billard (2016, p. 5) menyatakan ada Sembilan indikator legitimasi yang dibuat untuk menghormati Hak Asasi Manusia kelompok LGBT, yaitu:

1. Menanyakan kepada narasumber apakah ingin ditulis dengan nama yang mereka pilih, atau nama yang diberikan saat mereka lahir.

2. Menanyakan kepada narasumber apakah ingin ditulis gender fisik yang mereka pilih saat ini atau gender fisik saat mereka dilahirkan.

3. Penggunaan kata lampau yang tepat ketika menanyakan mengenai masa lalu kelompok transgender.

(23)

35 4. Pengaplikasian kata-kata “transgender”, “transsexual” dengan tepat di

berita yang ditulis.

5. Karakterisasi transgenderisme yang ditunjukkan oleh penulis di berita tersebut harus tepat, contohnya mengkategorisasikan pria transgender dengan wanita atau sebaliknya, hal tersebut tidak boleh sampai salah disebutkan.

6. Tidak menggunakan kata-kata yang menyerang kelompok LGBT.

7. Tidak memfitnah atau membicarakan hal yang menyangkut latar belakang kelompok LGBT yang tidak relevan dengan tema liputannya.

8. Tidak membuat judul berita yang clickbait mengenai pemberitaan kelompok LGBT untuk menarik perhatian masyarakat, dan

9. Tidak menggambarkan kelompok LGBT sebagai objek seksual.

Namun menurut Chomsky (2010, p. 400) Media dan kelompok LGBT bisa memulai untuk mengubah pandangan publik mengenai kelompok LGBT, selama pemilik dari media dan institusi media tersebut mau untuk mengarahkan perhatian mereka kepada aktivitas dan kebijakan dalam gerakan yang mendukung hak kelompok LGBT.

(24)

36 2.2.2.1 Queer and Media Image

Queer adalah sebuah kajian kritis mengenai gender, yang mulai dikaji sejak tahun 1990-an. Queer sendiri terbentuk atas tantangan feminis dengan memiliki gagasan bahwa queer adalah bagian dari diri yang bersifat mutlak, dan di atas penelitian-penelitian gay maupun lesbian, bahwa tindakan identitas seksual dibangun secara sosial. Menurut Jagose (1996, p. 99) tidak ada pendefinisian tentang queer yang pasti, banyak pemahaman umum mengenai istilah tersebut yang saling bertentangan dan tidak dapat dipecahkan. Queer sendiri membawa kompleksitas untuk konsep identitas sosial, berbeda dengan gerakan gay dan lesbian yang mengandalkan identitas mereka untuk keuntungan politik, queer menekankan adanya ‘batasan kategori identitas’ (Jagose, 1996, p. 77) dan menantang heteronormativitas (heteroseksual yang tidak dipertanyakan keberadaannya dan diberikan keistimewaan).

Dalam buku Media Queered milik Kevin Barnhurst (Carili & Campbell, 2013, p. 2), ia melakukan penelitian seberapa transparannya pemberitaan di media massa mengenai permasalahan queer. Barnhurst mengadvokasi kelompok LGBT untuk menunjukkan perbedaan, karena individu dalam kelompok LGBT harus memiliki sebuah perbedaan, sebuah keunikan, agar bisa menemukan dirinya

‘terlihat’ di media massa. Identitas individu dalam kelompok ini nantinya akan membentuk penggambaran di media massa mengenai kelompok LGBT, agar

(25)

37 nantinya kelompok ini bisa ‘terlihat’ dan tetap pada pendiriannya. Cook (2018, p.

8) mengatakan bahwa ada dua hal yang penting dari representasi LGBT di media, yaitu:

1. Pemaparan kelompok LGBT di media massa dapat mempengaruhi pandangan umum, sebagian besar bagaimana populasi heteroseksual melihat kelompok LGBT dan masalah kebijakan publik yang dibahas.

2. Representasi media dapat memiliki efek positif kepada anggota kelompok LGBT, terutama di kalangan remaja.

Campbell dan Carilli (2013, p. 2) percaya bahwa komunitas LGBT akan berkembang dan sedang dalam proses pembentukan identitas di media, identitas yang memisahkan kelompok LGBT dari stigma bahwa mereka merupakan keanehan yang tragis atau pemangsa. Identitas yang sedang mereka perjuangkan nantinya akan membentuk penggambaran media mengenai kelompok LGBT di masa depan, memastikan visibilitas dan keaslian mengenai mereka.

Menurut Michael Focault, Gayle Rubi, dan Judith Butler (Rokhmansyah, 2016, p. 28), menjelaskan queer sebagai “apapun yang ganjil lebih banyak jika dikaitkan dengan yang normal, menjadi sah dan dominan”. Mereka juga menolak Teori Identitas yang membatasi identitas dari dari kategori gender. Menurut mereka, asumsi dasar dari Queer sendiri adalah:

(26)

38 1. Identitas seorang individu tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas

bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial

2. Queer sendiri tidak merujuk pada hal-hal positif, namun terkait posisi jika dikaitkan dengan normatif

3. Konstruksi gender dan seksualitas akan selalu mengalami fluktuasi, mengembangkan produksi atau penampilan daripada kategori yang mendasar, stabil, dan tidak berubah.

2.3 Alur Penelitian

Penelitian berjudul “Pedoman Pemberitaan Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender: Sebuah Studi Kasus” bermula dari banyaknya pemberitaan mengenai kelompok LGBT yang tidak berimbang. Berkaitan dengan ketidakberimbangan pemberitaan tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana jurnalis dan media massa meliput dan membuat berita mengenai kelompok LGBT menggunakan metode studi kasus Robert E. Stake. Penelitian yang bersifat kualitatif ini dibuat untuk menanyakan pendapat dari jurnalis, editor, dan pemimpin redaksi dalam menyetarakan pemberitaan mengenai kelompok LGBT.

(27)

39 Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Peneliti

Penggambaran kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di media massa

Penggambaran seberapa penting seorang jurnalis harus memiliki pedoman ketika meliput pemberitaan kelompok LGBT

Pendekatan kualitatif deskriptif menggunakan metode studi kasus Robert E. Stake

Melakukan wawancara kepada jurnalis, editor, dan pemimpin redaksi dari berbagai media massa

Melihat aspek-aspek penting yang harus dimiliki seorang jurnalis dalam peliputan kelompok LGBT

(28)

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini tidak hanya sekedar mengkaji pengetahuan ibu tetapi juga mempelajari tentang manfaat ASI dan beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemberian

Apakah terdapat pengaruh secara simultan dari Normal Book-Tax Different (NBTDs) dan Abnormal Book-Tax Differences terhadap biaya modal ekuitas?..

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005 – 2025 yang selanjutnya disebut sebagai RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20

Form cetak daftar perencanaan kerja otorisasi yaitu form yang di gunakan oleh bagian Tata Urusan Dalam untuk mencetak daftar perencanaan kerja yang telah di otorisasi. Gambar 8

ST Segment Distance between S wave and beginning of T wave Measures time between ventricular depolarization and beginning of repolarization T Wave Rounded upright (positive)

Todd Johnson, seorang manajer proyek senior di FASB yang menyatakan bahwa dewan memerlukan penggunaan yang lebih besar dari pengukuran fair value dalam laporan

2014: Meaning in Positive and Existential Psychology.New York: Springer. Pelarangan Buku di Indonesia, Sebuah Paradoks Demokrasi dan

One form of the 80x86 MOV instruction (see appendix D) uses the binary encoding 1011 0rrr dddd dddd to pack three items into 16 bits: a five-bit operation code (10110), a