• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA HUKUM YANG MEMBERIKAN INSENTIF TERJADINYA KORUPSI PENGADAAN BARANG/JASA SERTA PERAN HAN DALAM MENANGGULANGINYA Oleh: Richo Andi Wibowo 1 Pendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BUDAYA HUKUM YANG MEMBERIKAN INSENTIF TERJADINYA KORUPSI PENGADAAN BARANG/JASA SERTA PERAN HAN DALAM MENANGGULANGINYA Oleh: Richo Andi Wibowo 1 Pendah"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

BUDAYA HUKUM YANG MEMBERIKAN INSENTIF TERJADINYA KORUPSI PENGADAAN BARANG/JASA SERTA PERAN HAN DALAM

MENANGGULANGINYA

Oleh:

Richo Andi Wibowo1

Pendahuluan

Tulisan ini berupaya untuk mengkaji dari sisi akademik hal-hal yang mempengaruhi pencegahan korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Kajian ini akan mengawali diskusi dengan merujuk pada kajian ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu psikologi dan sosiologi guna menganalisa mengenai kondusifnya situasi di Indonesia yang memungkinkan seseorang untuk terlibat dalam perbuatan korupsi. Namun, sekalipun diskusi dimulai dari pendekatan ilmu sosial, tulisan ini akan diakhiri dengan kajian ilmu hukum, khususnya hukum administrasi negara (HAN). Akan dijelaskan pula mengapa kajian HAN adalah kajian yang menjanjikan (promising) untuk mencegah korupsi.

Isu korupsi diangkat disini karena dianggap sebagai masalah serius yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Merujuk pada data yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF), permasalahan yang paling problematik bagi pelaku usaha yang akan/sedang menjalankan usahanya di Indonesia adalah korupsi. Hal ini mengurangi tingkat daya saing Indonesia (reduces Indonesia’s competitiveness).2

Objek tulisan ini akan berfokus pada sektor pengadaan barang/jasa. Sektor ini sengaja dipilih karena ini adalah salah satu sektor yang paling rentan terhadap korupsi. Pernyataan ini valid untuk level internasional maupun level Indonesia. Merujuk pada penelitian yang

1 Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM dengan fokus riset kontrak pemerintah khususnya hukum pengadaan barang/jasa; arsitektur hukum dalam mencegah maladministrasi, serta tata kelola pemerintahan yang baik. Email: [email protected]

2 WEF menerjemahkan competitiveness sebagai “the set of institutions, policies, and factors that determine the level of productivity of a country which set the level of prosperity and growth rates”. See: Schwab, K. 2014. “The

Global Competitiveness Report 2014-2015”, tersedia pada:

<http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2014-15.pdf>, hlm 4 dan 214

(7)

dipimpin oleh Kaufmann dari Bank Dunia di lebih dari 117 negara, penyuapan terbanyak yang dilakukan oleh perusahaan adalah untuk mendapatkan kontrak dari pemerintah.3 Sedangkan mengutip pada data statistik penanganan perkara KPK yang tersedia di beberapa laporan tahunan KPK, maka sejak tahun 2004 hingga 2014 tercatat bahwa KPK telah menangani 411 kasus korupsi; yang mana 131 atau sepertiga kasus diantaranya terjadi di bidang pengadaan barang/jasa.4 Hal ini menempatkan korupsi di bidang ini sebagai kasus terbanyak kedua yang ditangani Komisi setelah kasus penyuapan.

Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini difokuskan pada faktor-faktor (non-hukum) apa sajakah yang menjadi insentif untuk korupsi di sektor pengadaan barang/jasa, serta peran hukum (administrasi negara) untuk mencegah korupsi di sektor pengadaan tersebut.

Pembahasan

Penjabaran berikut adalah beberapa faktor non hukum – terutama psikologi dan sosiologi- yang dipandang berpengaruh dalam memberikan situasi yang kondusif atas korupsi di Indonesia, khususnya di sektor pengadaan barang/jasa. Elaborasi dari sektor non hukum ini dipandang perlu untuk memahami konteks bagaimana korupsi dapat masif terjadi pada lini.

Banyak dari data dan aneka literatur dari ilmu sosial yang sempat penulis teliti untuk kepentingan riset studi S3 penulis di School of Law, Utrecht University. Informasi tersebut bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui konteks dan perspektif ilmu sosial atas kajian riset penulis. Namun karena penulis perlu disiplin dengan perspektif ilmu hukum, maka banyak data dan informasi yang belum jadi digunakan dan belum pernah dirilis ke publik. Mengingat kemanfaatan yang mungkin dapat diberikan, penulis merilis data dan informasi tersebut pada tulisan ini.

Informasi dari disiplin ilmu non hukum (khususnya sosiologi dan psikologi) yang akan diulas berikut ini boleh jadi bukan merupakan informasi istimewa di masing masing bidang

3 OECD. 2007. “Integrity on Public Procurement, Good Practices from A to Z”. Paris. Tersedia pada:

http://www.oecd.org/development/effectiveness/38588964.pdf, hlm 9.

4 Wibowo, R.A. 2015. “Mencegah Korupsi di Pengadaan Barang dan Jasa: Apa Yang Sudah dan Yang Masih Harus Dilakukan?, Jurnal Integritas, Vol. 1, No. 1, hlm. 39.

(8)

tersebut. Namun, boleh jadi informasi tersebut adalah hal yang baru bagi para sarjana hukum.

Boleh jadi pula, karena informasi tersebut kemudian akan diramu dengan kajian ilmu hukum, maka menjadi informasi yang baru bagi pemerhati di bidang ilmu tersebut. Kajian disiplin sosiologi dan psikologi berikut ini dapat pula dikaitkan sebagai faktor budaya hukum yang mengindikasikan ‘ramahnya’ budaya kita terhadap korupsi, khususnya di sektor pengadaan barang/jasa.

Dimensi rentang kekuasaan yang tinggi

Pepatah Eropa mengatakan bahwa a fish rots from the head down; ikan membusuk dimulai dari kepala. Pepatah ini seakan mengirimkan pesan mengenai pentingnya integritas dan kebersihan pucuk pimpinan suatu institusi. Jika tidak, maka cepat atau lambat, keburukan tersebut akan menjalar ke seluruh instansi tersebut. Patut dikhawatirkan bahwa untuk konteks Indonesia, keburukan tersebut akan lebih cepat menjalar kebawah.

Relevan kiranya untuk mencermati hasil kajian Psikolog organisasi Belanda Geert Hofstede yang telah mengidentifikasi lima dimensi yang dapat mempengaruhi performa budaya suatu organisasi. Aneka dimensi ini disusun kedalah skor-skor tertentu berbasis data.

Objek pengamatannya adalah budaya organisasi di perusahaan IBM yang terletak di lebih dari 70 negara, termasuk Indonesia, antara tahun 1967 hingga 1973.5 Beberapa paragraf berikut ini adalah hasil ringkasan penelitian Hofstede, kemudian di paragraf terakhir pada sub bab ini kemudian mengulas mengenai korelasi penelitian Hofstede pada konteks pencegahan korupsi pengadaan.

Salah satu yang relevan untuk dikupas disini adalah dimensi power distance (jarak kekuasaan).6 Indonesia diklasifikasikan sebagai masyarakat dengan power distance

5 Khoman, S., Tantivasadakarn, C. dan Wrasai, P. 2009. Comparative Study of Anti-Corruption Measures and Procedures in Selected APEC Economies, APEC Secretariat, Singapore, hlm 12.

6 Keempat sisanya adalah individualism vs. collectivism (individualisme versus kolektivisme), dan uncertainty avoidance (penghindaran atas hal-hal yang tidak pasti), masculinity vs. femininity (maskulinitas versus feminitas) serta short/long-term orientation (panjang pendek orientasi). Lihat: Jandt, F.E. 2009. “Dimensions of Culture: an Introduction to Intercultural Communication”, no place. SAGE. Tersedia pada: http://www.sagepub.com/upm- data/11711_Chapter7.pdf, terakhir diakses 14 April 2017

(9)

(jarak/rentang kekuasaan) yang tinggi (skor 78).7 Hofstede mendefinisikan dimensi jarak kekuasaan sebagai sampai sejauh mana anggota organisasi yang memiliki kekuasaan lebih kecil mengharapkan dan menerima bahwa kekuasaan terdistribusikan secara tidak imbang/tidak merata. Skor yang tinggi pada dimensi ini bermakna bahwa, pada aneka institusi di Indonesia, lazim diterima bahwa atasan adalah raja dan karyawan/bawahan adalah subjek yang loyal yang tidak akan membantah.8 Hofstede bahkan menuliskan dengan tajam prinsip masyarakat Indonesia, yaitu: keeping the boss happy.9

Terminologi ini substitutif dengan Asal Bapak Senang (“ABS”). Budayawan Mochtar Lubis telah lama mengkritik sikap ABS ini. Menurutnya, sikap ABS berasal dari zaman feodal saat penguasa menindas rakyat. Untuk melindungi dirinya, mereka bersikap tidak jujur pada diri mereka sendiri dengan selalu berkata: ya, tuanku; ya, yang mulia; ya nyonya; ya boss; ya pak, dlsb.10

Diyakini, jarak kekuasaan yang tinggi akan menghadirkan insentif untuk seseorang bersikap lebih koruptif. Setiap orang diyakini akan menyadari posisinya masing-masing dan tidak akan menunjukkan penolakan ketika sesorang (atasannya) melakukan perbuatan koruptif.11 Lebih dari itu, ketika atasan tersebut memerintahkan bawahannya untuk mendukung atau melanggengkan perbuatan koruptif tersebut, maka ia akan kesulitan menolak.

Penelitian tersebut terkonfirmasi dari komunikasi penulis dengan aneka praktisi pengadaan. Salah seorang narasumber yang penulis pernah temui adalah seorang pejabat pembuat komitmen.12 Secara personal, penulis mengenal ia sebagai figure yang bersih dan relijius. Ia menceritakan mengaku diminta secara halus oleh atasannya untuk memenangkan

7 The Hofstede Centre. No Year. Indonesia. Available from: <http://geert-hofstede.com/indonesia.html>, terakhir diakses 14 April 2017.

8 Jandt, F.E. 2009. “Dimensions of Culture: an Introduction to Intercultural Communication”, no place. SAGE.

Available from: http://www.sagepub.com/upm-data/11711_Chapter7.pdf, terakhir diakses 14 April 2017.

9 The Hofstede Centre. No Year. Indonesia. Available from: <http://geert-hofstede.com/indonesia.html>, terakhir diakses 14 April 2017.

10 Lubis, M. 1979 We Indonesians, Southeast Asia Paper No. 15, University of Hawaii, hlm 10-12.

11 Khoman, S., Tantivasadakarn, C. dan Wrasai, P. 2009. Comparative Study of Anti-Corruption Measures and Procedures in Selected APEC Economies, APEC Secretariat, Singapore, hlm 12.

12 Wibowo, R.A. 2017. Preventing Maladministration in Indonesian Public Procurement, Utrecht University, Utrecht, hlm 97-8.

(10)

salah satu rekanan dan ia pun melanggengkan itu. Sekalipun ia mengaku tidak pernah mau menerima uang kick back (amplop) yang diberikan kepadanya. Ia melakukan permintaan atasannya dengan cara halus. Maksudnya, ia meminta agar rekanan yang terafiliasi dengan atasannya tersebut memberikan proposal penawaran yang baik, sehingga ia bisa mudah membantu. Namun jika skornya terlampau jauh dengan skor rekanan yang mendapatkan nilai yang tinggi, maka ia mengaku tidak akan dapat membantu.

Penulis juga pernah berkesempatan untuk berdiskusi dengan sekitar 20 aparatur negara (posisi junior dan menengah) yang mendapatkan beasiswa Bappenas untuk training di Universitas Utrecht. Kesemuanya mengakui bahwa atasan memiliki kekuatan yang amat signifikan dalam mengarahkan atau mempengaruhi bawahannya. Sehingga, sekalipun instruksi tersebut ilegal, bawahan tersebut tetap memiliki kecenderungan untuk mengikuti instruksi tersebut.13

Bawahan patuh menjalankan perintah, sekalipun melanggar hukum

Uraian berikut memiliki keterkaitan kuat dengan uraian sebelumnya. Penulis memandang relevan untuk mencermati pemikiran psikolog sosial, Stanley Milgram yang pernah merilis hasil risetnya berjudul Behavioral Study of Obedience pada tahun 1963. Pada intinya, publikasi ini menegaskan bahwa kebanyakan orang dapat melakukan tindakan ekstrim yang merugikan orang lain apabila ia diperintahkan demikian oleh figur yang memiliki otoritas.14 Beberapa paragraf berikut dibawah ini mensarikan penelitian Milgram15 dan sub bahasan ini ditutup dengan penjelasan mengenai korelasi penelitian Milgram dengan rentannya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa.

Milgram menyeleksi 40 orang dari berbagai latar belakang pekerjaan, termasuk guru, tukang pos, insinyur, sales, untuk terlibat dalam penelitiannya. Mereka diberi uang 4.50 USD

13 Komunikasi ini berlangsung dari tanggal 3 hingga 15 November 2013 di Utrecht University

14 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248.

15 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

(11)

diawal partisipasi mereka dalam penelitian; yang mana mereka diinformasikan bahwa uang itu tetap akan menjadi milik mereka tidak peduli apapun yang kelak terjadi dalam penelitian.16 Milgram sebelumnya telah mendesain sebuah generator alat listrik palsu – namun tampak meyakinkan; alat ini memiliki informasi mengenai delapan level kejutan listrik, dari

‘kejutan ringan’, ‘kejutan moderat’, ‘kejutan kuat’, ‘kejutan amat kuat’, ‘kejutan ekstrim’,

‘kejutan amat ekstrim’, ‘bahaya: kejutan menyakitkan’, dan yang paling tinggi ditandai dengan kode ‘XXX’.17 Para partisipan tersebut – secara satu per satu dan diwaktu yang berbeda – diminta menyetrum seseorang (Bapak Wallace) yang dipilih dari 40 partisipan; hal ini dilakukan bila Wallace memberikan jawaban yang keliru atau menolak untuk menjawab18 Sesungguhnya, Wallace adalah salah satu peneliti yang telah disusupkan, ia mampu untuk acting kesakitan sesuai dengan derajat setrum yang akan ia dapatkan sekalipun sesungguhnya Wallace tidak akan merasa sakit sedikitpun.19 Pada awal penelitian, Milgram dan tim menjelaskan kepada para partisipan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari hukuman terhadap pembelajaran.

Pada waktu penelitian, Wallace diminta untuk menjawab banyak pertanyaan dari partisipan; Wallace telah diminta untuk menjawab keliru sekitar satu dari setiap empat pertanyaan. Sedangkan partisipan telah diminta untuk menyetrum Wallace setiap kali ia memberikan jawaban yang salah, yang mana setiap Wallace melakukan kesalahan, maka derajat setrumnya akan semakin meningkat.20

Ketika sudah mencapai level 300 volts (‘kejutan ekstrim’), Wallace akan acting untuk teriak frustasi kesakitan, dengan mengatakan: “Saya menolak untuk menjawab pertanyaan lebih lanjut!, keluarkan saya dari sini!, anda tidak dapat menahan saya disini!, keluarkan

16 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

17 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

18 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

19 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

20 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

(12)

saya!”.21 Namun partisipan telah diberi tahu sebelumnya agar jika Wallace menolak untuk memberikan jawaban, maka ia akan tetap disetrum dengan level voltase yang lebih tinggi.22 Bila partisipan mengekspresikan untuk tidak ingin melanjutkan penelitian, ia akan mendapatkan perintah lisan dari peneliti yang mendorongnya melanjutkan eksperimen;

perintah ini dapat berupa perintah sederhana seperti permintaan untuk melanjutkan hingga perkataan dari peneliti bahwa partisipan tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk melanjutkan.23 Jika partisipan tetap bersikeras, maka penelitian tersebut baru dihentikan.24

Menariknya, seluruh partisipan (100%) mau menyetrum Wallace hingga 300 volts; saat dimana Wallace acting berteriak lantang kesakitan. Sedangkan 35% dari partisipan mau menyetrum antara 300 hingga 375 volts (level ‘kejutan amat ekstrim’ dan level ‘bahaya:

kejutan menyakitkan’) namun mereka kemudian menolak untuk melanjutkan untuk naik ke level tertinggi (‘XXX’).25 Adapun 65% dari partisipan melanjutkan eksperimen untuk menyetrum hingga level tertinggi, 450 volts (‘XXX’) dan melanjutkan setruman berulang-ulang sebanyak yang diminta oleh peneliti.26

Milgram kemudian menjelaskan bahwa “orang orang biasa dapat hanya sekedar menjalankan perintah; padahal mereka dapat menjadi agen-agen untuk proses proses yang destruktif.”27 Dalam penelitian lanjutan, Milgram juga berhasil menunjukkan bahwa simpulan penelitian ini juga valid untuk masyarakat diluar Amerika Serikat. Dijelaskan bahwa masyarakat Asia dan negara negara Muslim memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk

21 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

22 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

23 Lihat pula the Milgram Experiment 1962 Full Documentary, di:

https://www.youtube.com/watch?v=ek4pWJ0_XNo, terakhir diakses, 14 April 2017.

24 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 250.

25 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 248-253.

26 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 250-251.

27 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 251.

(13)

taat terhadap perintah; suatu hal yang berbanding terbalik dengan masyarakat Afrika dan Amerika Latin.28

Singkatnya, kajian dan informasi diatas seakan menegaskan bahwa orang Asia – termasuk Indonesia – memiliki indikasi amat loyal untuk menjalankan perintah. Sekali lagi, informasi ini mengindikasikan bahwa badan publik perlu dipimpin oleh figur yang berintegritas. Bila tidak, jika atasan memerintahkan untuk melanggar hukum, bawahannya akan memiliki kecenderungan untuk melaksanakan.

Kecenderungan untuk ikut pola kelompok

Uraian ini merujuk pada hasil penelitian fenomenal yang dilakukan oleh Solomon Asch, yang kemudian dituliskan dalam Opinions and Social Pressure pada tahun 1955.29 Pada intinya penelitian membuktikan bahwa manusia bukanlah mahluk yang otonom. Ketika sesorang dihadapkan oleh pendapat mayoritas, maka ia memiliki kecenderungan untuk mengkonfirmasi pendapat mayoritas tersebut; sikap ini bahkan lebih besar daripada komitmen mereka terhadap apa yang merka yakini sebagai hal yang benar.30

Penelitian ini dilakukan kepada 123 partisipan yang kesemuanya laki-laki. Masing masing dari mereka ditempatkan kedalam grup yang isinya lima hingga tujuh “confederates”

– orang yang mengetahui tujuan yang sebenarnya dari eksperimen ini – namun berpura pura bersikap layaknya partisipan.31 Masing-masing group ditunjukkan sebuah kartu yang berisi garis, kemudian kartu tersebut disandingkan dengan kartu yang lain yang berisi tiga garis dengan panjang yang berbeda (diberi label A, B, dan C), lalu masing-masing dari mereka

28 Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 253.

29 Lihat: ‘Asch Conformity Experiment’, cuplikan video tersedia pada:

https://www.youtube.com/results?search_query=solomon+asch+conformity+experiment, terakhir diakses 14 April 2017.

30 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224.

31 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224.

(14)

kemudian ditanya garis yang mana yang memiliki panjang sama dengan garis pada kartu pertama.32

Ruangan selalu didesain agar partisipan tersebut selalu memberikan jawaban terakhir atau satu sebelum terakhir.33 Pada delapan belas kali percobaan, para confederates diminta untuk selalu memberikan jawaban benar pada enam pertanyaan pertama. Namun untuk pertanyaan selanjutnya, mereka selalu diminta untuk memberikan jawaban yang identik namun keliru.34 Tujuannya adalah untuk mengetes apakah partisipan tersebut akan kukuh dengan jawaban yang ia yakini benar atau mengikuti jawaban yang keliru yang disampaikan oleh para confederates.35

Hasil penelitian ini mengejutkan. Sekitar 32% dari partisipan selalu mengikuti pendapat yang salah dari confederates; sedangkan 75% dari partisipan mengikuti pendapat yang salah dari confederates setidak tidaknya satu kali.36 Sehingga disimpulkan bahwa ketika dikelilingi oleh kelompok orang yang memberikan pernyataan keliru yang sama, maka partisipan dapat bergeser untuk mengikuti peryataan yang tersebut sekalipun mereka menyadari bahwa itu adalah pernyataan keliru.37

Ketika Asch bertanya pada para partisipan, mengapa mereka memberikan jawaban yang keliru, beberapa diantara mereka memberikan jawaban bahwa mereka mengikuti pendapat umum untuk mencegah kekecewaan dari pihak lain.38 Ada pula yang menjawab

32 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224.

33 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224.

34 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224.

35 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224-5.

36 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 224-5.

37 Lihat: Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 226.

38 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 226.

(15)

bahwa mereka tidak mau tampak berbeda dengan yang lain dan terlihat bodoh, mereka ingin dianggap sesuai (fit in) dengan kelompok mereka.39

Asch juga menjelaskan hasil penelitiannya bahwa jika hanya ada satu confederate, maka ia tidak akan memberikan pengaruh apapun; dua confederates akan memberikan pengaruh yang kecil, namun tiga hingga empat confederates memiliki pengaruh yang relatif stabil untuk memastikan partisipan untuk memberikan konfirmasi.40 Namun, jika ada satu saja confederate yang memberikan jawaban alternatif yang lain, maka partisipan memiliki kecenderungan untuk memberikan jawaban yang independen.41 Asch mengingatkan bahaya pandangan group terhadap keyakinan/pandangan personal.42

Lalu, bagaimana relevansi kajian ini untuk sektor pengadaan barang/jasa? Ada kemungkinan bahwa praktisi pengadaan yang baru masuk dan masih ‘bersih’ dapat kesulitan jika bercampur dengan praktisi pengadaan lain yang sudah diragukan keintegritasannya.

Terutama bila jumlah praktisi yang “masuk angin” jauh lebih banyak daripada praktisi yang baru tersebut. Praktisi pengadaan yang baru masuk ini, bisa jadi, akan bersikap mengikuti perilaku kelompok yang sudah terkontaminasi, untuk memastikan agar dirinya diterima sebagai (fit in) dengan kelompok tersebut.

Kecenderungan membangun dinding kebisuan

Poin bahasan diatas akan berkelindan dengan poin yang akan diurai berikut ini. Patut diduga pula telah terjadi aneka situasi dimana para aparatur sipil negara mengetahui bahwa pelanggaran hukum serius sedang terjadi saat proses pengadaan barang/jasa, namun mereka tetap diam membiarkan kejadian terjadi, dan bersikap seakan akan tidak melihat atau tidak

39 Pun demikian, sebagian mereka menolak anggapan bahwa mereka memberikan jawaban yang keliru. Sebagian kecil yang lain menyatakan bahwa mungkin karena mata mereka lelah, atau karena mereka duduk di sudut yang berbeda. Lihat: Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 226.

40 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 226.

41 Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book.

Dorling Kinderslay, London, hlm 226.

42 Sekalipun demikian, mayoritas partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka masih menghormati independensi pemikiran. Lihat: Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk.

2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London, hlm 227.

(16)

mendengar apapun. Fenomena ini dapat disebut dinding kebisuan (‘wall of silence’). Sosiolog Zerubavel bahkan menamakan fenomena ini sebagai gajah di ruangan; sekalipun gajah berada di ruangan, namun semua orang diruangan tersebut bersikap seakan-akan gajah tidak berada disana bahkan menolak mengakui bahwa gajah tersebut berada disana.43 Sehingga, jika katakanlah ada anggota kelompok dalam struktur pengadaan yang melakukan korupsi, maka dirinya mungkin akan melakukan denial; menolak mengakui bahwa korupsi tengah berlangsung ditubuh kelompoknya; ia akan bersikap seakan ia tidak pernah mendengar, melihat, dan mengetahui hal tersebut.

Di beberapa institusi publik, dinding kebisuan bahkan bertransformasi menjadi kode tidak tertulis (unwritten code of conduct) yang harus diikuti oleh kelompok di institusi tersebut. New York Complaint Civilian Board misalnya mendeteksi bahwa kepolisian New York mengenal istilah code of silence.44 Sehingga, tidak pernah terdengar ada seorang polisi mau memberikan kesaksian yang merugikan polisi lainnya.45 Ada beberapa hal mengapa orang bersikap diam dan menjalankan kode kebisuan ini:46 (i) ia telah memiliki ikatan loyalitas yang kuat dengan kelompoknya, sehingga tidak akan mau berkhianat; (ii) ia takut untuk disebut tikus (‘rats’), padahal stigma ini tidak akan hilang dengan mudah; (iii) ia tidak mau membuka kotak Pandora yang kemudian akan membuat pihak yang lain akan melaporkan balik dirinya; terakhir, (iv) dia tidak mau menutup kemungkinan kerjasama yang menguntungkan antara dirinya dengan pihak lain di masa mendatang.

Artinya, jika seseorang telah terkontaminasi perilaku negatif dari kelompok – yang mungkin dilakukan sebagai upaya agar dirinya fit in dengan kelompok tersebut; maka, seketika itu pulalah dapat dipastikan bahwa orang ini akan membangun dinding kebisuan dalam menilai perilaku negatif kelompoknya. Hal ini koheren dengan merujuk poin (iii) dan (iv) diatas.

43 Zerubavel, E. 2006. Elephant in the Room: Silence and Denial in Everyday Life, Oxford University Press, Oxford, hlm. 43

44 Skolnick, J. 2002. “Corruption and the Blue Code of Silence”, Police Practice and Research: an International Journal, Vol 3, Issues 1, hlm. 8-9.

45 Skolnick, J. 2002. “Corruption and the Blue Code of Silence”, Police Practice and Research: an International Journal, Vol 3, Issues 1, hlm. 8-9.

46 Muehlhuesser, G. and Roider, A. 2008. “Black Sheep and Walls of Silence”, Journal of Economic Behavior and Organization, Vol. 65, Issues 3-4, hlm. 390. Lihat pula: Skolnick, J. 2002. “Corruption and the Blue Code of Silence”, Police Practice and Research: an International Journal, Vol 3, Issues 1, hlm. 8-9.

(17)

Dinding kebisuan ini merupakan masalah serius yang perlu dipikirkan terutama untuk konteks Indonesia. Orang Indonesia adalah orang yang amat terintegrasi dan memiliki kohesi dengan kelompok; orang Indonesia menganggap kolompok sebagai keluarga besarnya.47 Ia cenderung loyal kepada suatu kelompok dan sebagai gantinya ia akan mendapatkan perlindungan dari kelompok tersebut.48 Sehingga, orang Indonesia juga akan terdorong untuk menjaga ‘kondusifitas’ lingkungan kerja mereka agar senantiasa harmonis – dan sikap ini semakin mengutkan praktik membangun dinding kebisuan. Mungkin ini yang menyebabkan Treisman menyatakan bahwa negara-negara dengan kultur yang bersifat keluarga lebih bertendensi untuk korupsi.49 Sehingga berpotensi menjauhkan harapan untuk upaya pencegahan korupsi.

Dari perspektif ilmu sosial menuju perspektif hukum

Penulis telah menguraikan perspektif sosiologi dan psikologi yang mungkin bermanfaat untuk melihat apa dan mengapa korupsi dapat masif terjadi di Indonesia, khususnya di sektor pengadaan barang/jasa. Secara implisit seakan terkesan bahwa situasi amat buram (gloomy), dan semakin buram karena latar belakang budaya masyarakat Asia (termasuk Indonesia) yang membuat situasi tampak lebih kondusif untuk melakukan penyimpangan.

Namun jika memang masyarakat Asia dianggap lebih memiliki budaya yang kondusif untuk terjadinya korupsi, maka mengapa Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura memiliki persepsi pemberantasan korupsi yang jauh lebih baik daripada Indonesia dan negara kawasan yang lain? Singapura misalnya memiliki dimensi rentang kekuasaan yang hanya sedikit lebih rendah dari Indonesia (74),50 namun memiliki indeks persepsi korupsi yang amat baik.51

47 Jandt, F.E. 2009. “Dimensions of Culture: an Introduction to Intercultural Communication”, no place. SAGE.

Available from: http://www.sagepub.com/upm-data/11711_Chapter7.pdf, terakhir diakses 14 April 2017.

48 Jandt, F.E. 2009. “Dimensions of Culture: an Introduction to Intercultural Communication”, no place. SAGE.

Available from: http://www.sagepub.com/upm-data/11711_Chapter7.pdf, terakhir diakses 14 April 2017.

49 “Countries with familistic cultures tend to have higher corruption”. Lihat: Treisman, D. 2000. “The Causes of Corruption: A Cross-National Study”. Journal of Public Economics, Vol 76, hlm. 428.

50 Lihat: https://geert-hofstede.com/singapore.html, terakhir diakses 14 april 2017

51 Singapura selalu memenuhi ranking sepuluh besar dari global poll yang diadakan oleh Transparency International, lihat hasil corruption perception index 2016 yang menempatkan Singapura pada ranking tujuh.

Lihat: http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016, terkahir diakses 19 April 2017.

(18)

Hemat penulis ada dua alasan logis mengapa hal ini dapat terjadi: alasan sosial dan alasan hukum sebagaimana berikut.

Patut diduga bahwa Singapura berhasil membentuk loyalitas masyarakatnya untuk lebih loyal pada negara jauh lebih tinggi daripada kepada kelompoknya atau pada atasannya.

Terbentuknya loyalitas yang tinggi kepada negara ini dapat disebabkan karena negara Singapura berhasil melakukan transisi dari masyarakat primordial menjadi masyarakat modern yang mana hal ini ditopang oleh sistem meritokrasi. Sistem meritokrasi ini pasti didasarkan pada perlakuan yang sama dengan masyarakat. Perlakuan yang sama inilah yang kemudian menjadi benih loyalitas masyarakat pada negara.

Antropolog Politik Francis Fukuyama secara implisit menyatakan bahwa salah satu pilar keberhasilan dalam membangun negara adalah memastikan masyarakat pada negara tersebut untuk tidak bersifat primordial dan menuju negara modern. Fukuyama menjelaskan bahwa kondisi alamiah manusia dalam bersosial pada level awal ditandai dengan dua fenomena: hubungan kekerabatan (kin selection) dan kebaikan dalam hubungan imbal balik (reciprocal altruism).52 Sedangkan, pembentukan negara modern dipelopori oleh Cina yang memilih birokratnya berdasarkan sistem meritokrasi, siapapun dapat masuk ke sistem pemerintahan apabila ia cerdas dan kuat.53 Sistem meritokrasi inilah yang kemudian memungkinkan negara untuk memperlakukan semua warga negaranya secara equal, tidak imparsial, sehingga memungkinkan untuk melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Guru Fukuyama, Samuel Huntington, menegaskan bahwa pada masyarakat yang universalistik akan berfokus untuk meraih segala sesuatu berbasis pada norma;

masyarakatnya pun akan loyal kepada negara.54 Pada situasi inilah masyarakat akan menunjukkan sikap yang tidak menerima terhadap aneka perilaku yang dulunya diterima dan dianggap normal seperti korupsi dan koncoisme.55 Ciri kuat masyarakat ini adalah pembagian yang tegas antara mana barang milik publik dan barang milik privat (pribadi) sudah tegas,

52 Fukuyama, F. 2014. Political Order and Political Decay, Farrar, Straus and Giroux, New York, hlm 10

53 Fukuyama, F. 2014. Political Order and Political Decay, Farrar, Straus and Giroux, New York, hlm 10

54 Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven and London, hlm 59-60.

55 Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven and London, hlm 59-60.

(19)

sehingga, jika ada upaya untuk memanfaatkan barang milik publik (misalnya uang negara (uang para pembayar pajak)) untuk kepentingan pribadi, maka masyarakat akan memberikan protes.56

Itulah sebabnya, korupsi tidak dikenal di negara yang tidak melakukan pembagian kapan seorang raja berperan sebagai raja dan kapan ia bertindak sebagai individu privat.57 Itulah pula sebabnya bagi masyarakat yang gagal melakukan peralihan dari masyarakat primordial menjadi masyarakat modern, korupsi massif terjadi tanpa mereka benar-benar menyadari akan hal tersebut. Ilustrasi ideal atas hal ini dideskripsikan oleh Fukuyama ketika ia menceritakan perjalanannya di Papua New Guinea dan Solomon Island, yang disarikan penulis sebagaimana berikut.58

Masyarakat Malenesia masih terorganisasi berdasarkan kelompok kesukuan yang mereka sebut dengan istilah Wantoks. Masing-masing Wantoks, dpimpin oleh Manusia Besar. Manusia Besar, menurut Fukuyama, tidak selalu merujuk pada merkea yang kuat secara fisik, namun lebih kepada orang yang mendapatkan kepercayaan dari komunitas. Biasanya ini diperoleh dari kemampuannya untuk mendistribusikan sumber daya kepada komunitas, seperti babi, uang, atau aneka sumber daya lainnya. Perlu dicatat, tidak ada seseorang pun yang lahir dengan status ini, dan status ini juga tidak bisa diwariksan secara keturunan. Posisi ini harus didapatkan dengan perjuangan. Tanpa sumber daya yang dapat ia distribusikan, manusia Besar akan kehilangan statusnya sebagai pemimpin. Ketika sistem politik dan pemilu dari negara barat ditransplantasikan ke masyarakat Melanesia, hasilnya adalah chaos. Masing-masing manusia besar berpartisipasi untuk ikut pemilu dan menjadi anggota parlemen. Namun mereka kemudian berlomba untuk mendistribusikan sumber daya negara ke Wantok mereka. Bagi orang luar, apa yang dilakukan oleh manusia besar ini adalah korupsi, namun bagi masyarakat Melanesia, manusia besar hanyalah melakukan apa yang seharusnya dilakukan olehnya untuk Wantok.

Hemat penulis, gambaran diatas mengindikasikan bagaimana ilmuwan sosial mampu menjelaskan dengan baik apa yang terjadi di suatu masyarakat (how it is). Ilmuwan sosial dapat menjelaskan bagaimana orang dapat tunduk pada perintah atasan, bisa menjelaskan bagaimana orang tetap diam ketika kemunkaran terjadi, mampu menguraikan bagaimana

56 Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven and London, hlm 60.

57 Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven and London, hlm 59-60

58 Fukuyama, F. 2011. The Origins of Political Order: From the Prehuman times to the French Revolution, hlm ix- xi

(20)

perilaku koruptif yang tidak atau belum dipandang sebagai perbuatan koruptif oleh masyarakat.

Namun cakupan pembahasan ilmuwan sosial tampaknya terbatas sampai disana. Ketika mengulas mengenai mendesain masyarakat yang ideal (how it should be); maka ilmuwan hukum-lah yang tampaknya dapat mengambil peran lebih banyak.

Pada intinya, hukum harus berperan dalam menegaskan pemisahan mana benda milik publik dan benda milik privat.59 Hukum harus menegaskan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Bagi mereka yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi, dan penegakan hukum tersebut harus dilakukan tanpa pandang bulu. Dengan penegakan hukum yang baik, maka Indonesia dapat seperti Singapura yang sekalipun dimensi rentang kekuasaan tinggi, namun memiliki perspesi korupsi yang rendah.

Filosof Romo Haryatmoko pernah berbicara dalam rangka dies natalis FH UGM tahun 2012, ia menguraikan bahwa secara konseptual peradilan adalah lembaga pendidikan sosial.

Lembaga ini mendidik masyarakat melalui penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar aturan hukum. Maka, hemat penulis, dapat dikatakan bahwa pemikiran atau sikap masyarakat dan kondisi budaya/sosial yang tidak diinginkan pelan-pelan dapat diubah dengan guidelines dari aturan hukum dan dari penjatuhan sanksi terutama oleh lembaga peradilan kepada mereka yang melanggar guidelines tersebut. Ambilah contoh mengenai akses masyarakat terhadap data publik, memang betul ada isu budaya hukum dalam penerapannya - sebagian badan publik masih belum sepenuhnya mematuhi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Namun pengalaman penulis dan/atau mahasiswa bimbingan penulis yang mengkaji isu-isu sensitif, data akhirnya tetap bisa didapatkan setelah mengatakan bahwa data tersebut bukan merupakan informasi yang dikecualikan menurut Pasal 17 UU KIP.

Singkatnya, sekalipun budaya (yang dipengaruhi oleh situasi sosiologi dan psikologi) dapat mempengaruhi pengembanan hukum, namun hukum juga dapat membentuk (shaping) budaya; menggeser budaya yang dianggap kurang baik menuju kondisi yang dicitakan. Pada hal ini, hubungan antara hukum dan kebudayaan adalah dialektik, dan bukan linear.

59 Contoh yang baik mengenai hal ini adalah larangan penggunaan mobil dinas untuk mudik ke kampung halaman.

(21)

Peran HAN dalam pencegahan korupsi secara umum

Pasca elaborasi mengenai transisi dari isu sosial menuju isu hukum, penulis akan menegaskan bahwa HAN adalah instrumen penting untuk mencegah korupsi, khususnya korupsi sektor pengadaan barang/jasa. Pemerintah sudah mendeklarasikan bahwa pemberantasan korupsi perlu mengedepankan pendekatan preventif ketimbang pendekatan represif. Tampaknya Pemerintah menyadari bahwa pendekatan preventif dapat menciptakan program anti korupsi yang lebih berkelanjutan.60 Upaya untuk mencapai ini, tentunya tidak bisa mengedepankan hukum pidana, mengingat hukum pidana akan lebih berfokus pada penindakan sedangkan HAN yang dapat berperan di pencegahan.

Terhadap hal ini, penting kiranya menyadari bahwa pengembanan hukum di Indonesia terlampau hukum pidana; pembentuk Undang-undang gandrung menggunakan hukum pidana, padahal diyakini instrumen hukum yang lain masih dapat menyelesaikannya. Padahal, pendekatan ini dipandang kurang tepat dan kurang proporsional. Hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa dari 2003 hingga 2014 terdapat 24 UU yang memuat sanksi pidana.61 Namun Mahkamah berpendapat bahwa materi muatan norma dalam UU tersebut yang tidak sepantasnya diancam dengan sanksi pidana, cukup dengan sanksi administrasi sehingga Mahkamah menganulir rumusan tersebut karena dianggap melanggar HAM dan hak konstitutisonalitas warga negara.62

HAN sesungguhnya juga dapat berperan di sektor penindakan, misalnya dengan me- nonaktifkan dengan segera aparatur pemerintah yang terindikasi melakukan korupsi. Hal ini dimungkinkan karena standar pembuktian HAN adalah more likely than not. Sehingga jika ada bukti substansial yang mengindikasikan aparatur negara tertentu terlibat, maka ia dapat di non-aktifkan untuk sementara, atau diberikan penugasan yang lain yang menyulitkan dirinya untuk melakukan kejahatan yang ia lakukan terulang kembali, sembari menunggu proses

60 Lihat: Lampiran Peraturan Pemerintah No 55/2012 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014, hlm 8-9.

61 LIhat: Anindyajati, T., Rachman, I.N., Onita A.A.D. “Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remedium dalam Pembentukan Perundang-undangan”, Jurnal Konstitusi, Vol 12, No 4, hlm. 888-9.

62 LIhat: Anindyajati, T., Rachman, I.N., Onita A.A.D. “Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remedium dalam Pembentukan Perundang-undangan”, Jurnal Konstitusi, Vol 12, No 4, hlm. 888-9.

(22)

hukum pidana selesai.63 Proses hukum pidana biasanya jauh lebih memakan waktu karena beban pembuktiannya adalah beyond reasonable doubt.64 Mengutip Greycar dan Prenzler, ada empat strategi berikut untuk mencegah terjadinya kejahatan, yaitu:65 memudahkan pendeteksian terjadinya penyimpangan, sehingga hal ini menjadi disinsentif tersendiri bagi mereka yang berencana untuk melanggar; menghilangkan (atau setidaknya mereduksi aneka alasan) yang dapat mentolerir terjadinya penyimpangan; mengurangi rewards (kemanfaatan) yang bisa didapatkan pelaku jika melakukan penyimpangan; dan terakhir mengurangi provokasi atau godaan untuk melakukan penyimpangan.

Peran HAN dalam mencegah korupsi di sektor pengadaan barang/jasa

Untuk konteks pengadaan barang/jasa, HAN juga diyakini dapat berperan banyak dalam pencegahan korupsi. Pendekatan hukum pidana yang kerap dilakukan justru patut diduga kontra produktif. Hasil penelitian Gerry van Klinken di Aceh misalnya, menemukan bahwa polisi abuse kewenangannya untuk menekan panitia pengadaan agar memenangkan perusahaan yang terafiliasi pada dirinya.66 Jika tidak, maka panitia pengadaan tersebut akan dijerat dengan pasal korupsi. Penelitian yang dilakukan penulis pun demikian, karyawan perusahaan konstruksi BUMN skala medium mengaku menyetor uang kepada jaksa sebelum melakukan tender. Ketika penulis bertanya, “apa tujuan pemberian uang tersebut?”

Karyawan tersebut menjawab, “agar proses pengadaan kami tidak diganggu.” Hal ini mengindikasikan bahwa ada kewenangan yang luar biasa besar, yang memungkinkan para aparat penegak hukum (APH) ini meng-abuse power yang mereka miliki.

63 Simak pengalaman Belanda dalam menerapkan HAN untuk penanggulangan korupsi: Addink, G.H and ten Berge, J.B.J.M. 2007. “Study on Innovation of Legal Means for Eliminating Corruption in the Public Service in the Netherlands”, Electronic Journal of Comparative Law, tersedia pada: http://www.ejcl.org/111/art111-1.pdf, terakhir diakses 15 April 2017.

64 Diskusi mengenai problematika penerapan kedua standar pembuktian ini dapat dilihat pada: Wibowo, R.A.

2016. “Kejanggalan Beberapa Putusan Korupsi Pengadaan dan Kaitannya dengan Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol 13, No 1.

65 Graycar, A. and Prenzler, T. 2013. Understanding and Preventing Corruption. Basingstoke: Palgrave Macmillan, hlm 72.

66 Van Klinken, G. dan Aspinall, E. “Building Relations: Corruption, Competition, and Cooperation in the Construction Industry”, in Van Klinken, G dan Aspinall, E. (Eds.). 2011. The State and Illegality in Indonesia. KITLV Press, Leiden, hlm.153.

(23)

Di kesempatan lain, penulis telah menyampaikan prediksi bahwa kewenangan yang besar tersebut diberikan oleh Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Tipikor mengenai korupsi tipe merugikan keuangan negara.67 Sekalipun kedua Pasal ini mengatur delik pidana, namun memiliki standar pembuktian yang bukan beyond reasonable doubt - melainkan hanya more likely than not.68 Akibatnya, kedua pasal ini mengaburkan makna korupsi itu sendiri. Dengan amat mudah, APH dapat mengatakan banyak hal sebagai korupsi, sekalipun kesalahan yang terjadi adalah kesalahan minor atau bahkan sekedar wanprestasi.69

APH dapat membuktikan seseorang memenuhi unsur-unsur delik kedua Pasal tersebut, tanpa perlu membuktikan bahwa yang bersangkutan memang tahu, berniat, dan bertujuan untuk merugikan keuangan negara. Padahal, hal ini tidak dibenarkan menurut Pasal 28 UNCAC yang menyatakan bahwa “knowledge, intent and purpose required as an element of offence.” UNODC tegas menjelaskan pasal ini dengan menyatakan bahwa “perancang peraturan hendaknya melihat bahwa aturan tentang pembuktian memungkinkan untuk menyimpulkan tentang niatan dari pelanggar (…)”.70 Kelonggaran untuk mengkualifikasi segala hal sebagai korupsi berpotensi dimanfaatkan oleh APH untuk menakut nakuti praktisi pengadaan dan kemudian menjadikan mereka sebagai objek pemerasan atau memperlakukan mereka layaknya ‘ATM’.71

67 Lihat: Wibowo, R.A. 2016. “Kejanggalan Beberapa Putusan Korupsi Pengadaan dan Kaitannya dengan Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol 13, No 1.

68 Lihat: Wibowo, R.A. 2016. “Kejanggalan Beberapa Putusan Korupsi Pengadaan dan Kaitannya dengan Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol 13, No 1.

69 Lihat: Wibowo, R.A. 13 Februari 2017. “Wanprestasi jangan Dianggap Sebagai Korupsi”, tersedia pada:

http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20170213&name=H4-A234013, terakhir diakses 15 April 2017. Lihat pula: Wibowo, R.A. 2016. “Kejanggalan Beberapa Putusan Korupsi Pengadaan dan Kaitannya dengan Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol 13, No 1.

70 UNODC. 2006. Legislative Guide for the Implementation of the United Nations Convention Against Corruption, Vienna, hlm 128.

71 Penitia pengadaan dan pejabat pembuat komitmen terkadang ‘diplesetkan’ dengan istilah anjungan tunai mandiri (ATM), karena mereka mampu mengelola dana dana illegal dari rekanan; dan dana tersebut kemudian diakses terutama oleh pimpinan badan public – seolah olah mereka mengambil uang dari ATM. Lihat: Lampung Post, 18 July 2013, “Jaringan Koruptor”, tersedia pada: http://lampost.co/berita/jaringan-koruptor, terakhir diakses 17 Juli 2014. Lihat pula diskusi forum para praktisi pengadaan mengenai permasalahan ini, tersedia pada:

http://forum.pengadaan.org/phpbb/viewtopic.php?f=5&t=6634, terakhir diakses 17 Juli 2014. Namun, bisa pula trend ini meluas, karena ketidakjelasan rumusan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, mereka juga dapat menjadi objek pemerasan para apparat penegak hukum.

(24)

Akibatnya, banyak aparatur pemerintah yang tidak mau terlibat sebagai praktisi pengadaan;72 mereka dengan sengaja menggagalkan diri dari tes syarat masuk sebagai praktisi pengadaan.73 Dampak negatif lanjutan dari hal ini adalah penyerapan angaran terganggu karena badan publik understaffed. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pun akhirnya juga jadi melambat.

Pada kesempatan lain penulis telah mendeteksi lima permasalahan fundamental yang kerap terjadi di pengadaan barang/jasa di Indonesia, kemudian berupaya menguraikan peran HAN dalam merespon masalah tersebut – yang secara otomatis juga berfungsi sebagai upaya pencegahan korupsi. Kelima permasalahan yang fundamental tersebut adalah:74 (i) dokumen pengadaan dapat didesain untuk menguntungkan calon rekanan tertentu – namun patut dipertanyakan apakah regulasi kita memiliki prosedur hukum untuk mereview dokumen pengadaan tersebut; (ii) korupsi mungkin terjadi di badan publik sehingga menimbulkan distrust bagi rekanan yang merasa diperlakukan tidak fair, sehingga mereka enggan melakukan sanggah/sanggah banding; (iii) alasan badan publik dalam menganugrahkan kontrak ke rekanan terpilih kerap tidak transparan; prosedur untuk mencari perlindungan hukum ke pengadilan tidak menentu; dan (v) patut diragukan pengadilan dapat memberikan putusan yang dapat menjadi solusi untuk aneka masalah (remedies) yang disebutkan sebelumnya. Kelima masalah ini sudah dicarikan jalan keluar oleh penulis dengan pendekatan HAN.75

72 Suara Merdeka, 3 Juni 2014. “Pejabat Pengadaan Tak Perlu Takut”, lihat:

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/06/03/263207/PejabatPengadaan-Barang- Tak-Perlu-Takut, teakhir dikunjungi 8 Juli 2014.

73 Penulis sudah berkomunikasi dengan banyak aparatur pemerintah, kesemuanya mengkonfirmasi bahwa banyak orang yang tidak tertarik untuk menjadi praktisi pengadaan. Lihat pula: transkrip wawancara Hukumonline dengan Rustam Syarif,Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (kala itu), 26 May 2008, tersedia pada: <http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19321/ketua-lkpp-kita-butuh-uu-procurement>

terakhir dikunjungi 23 Mei 2014.

74 Wibowo, R.A. 2017. Preventing Maladministration in Indonesian Public Procurement, Utrecht University,

Utrecht, tersedia pada:

https://www.researchgate.net/publication/315380059_Preventing_Maladministration_in_Indonesian_Public_

Procurement_A_Good_Public_Procurement_Law_Approach_and_Comparison_with_the_Netherlands_and_th e_United_Kingdom, terakhir diakses 20 April 2017.

75 Wibowo, R.A. 2017. Preventing Maladministration in Indonesian Public Procurement, Utrecht University,

Utrecht, tersedia pada:

https://www.researchgate.net/publication/315380059_Preventing_Maladministration_in_Indonesian_Public_

Procurement_A_Good_Public_Procurement_Law_Approach_and_Comparison_with_the_Netherlands_and_th e_United_Kingdom, terakhir diakses 20 April 2017.

(25)

Pun demikian, masih terdapat aneka masalah lain yang perlu disentuh dan perlu dipikirkan solusi hukumnya dengan pendekatan HAN. Misalnya, situasi dimana ‘dinding kebisuan’ terbangun di ekosistem pengadaan, mengindikasikan perlunya insentif yang kuat bagi para peniup peluit (whistle blower). Mereka perlu mendapatkan jaminan perlindungan yang kuat, tidak hanya saat mereka mengungkap pelanggaran di sektor pengadaan tersebut, namun juga pasca mereka melakukan pengungkapan. Perlu dipikirkan pemberian insentif yang besar bagi mereka; insentif tersebut harus lebih besar daripada kemanfaatan yang akan mereka dapatkan jika mereka tetap diam. Harus pula ada pemaafan atas pelanggaran hukum yang mereka telah lakukan sebelumnya. Sebagaimana yang telah disampaikan pada ulasan bagian ilmu sosial, dua dari empat penyebab orang ‘membisu’ adalah karena mereka sudah ikut terlibat dalam praktik yang kotor, juga karena mereka tidak ingin menodai hubungan dengan orang-orang yang akan dilaporkan, karena hubungan tersebut mungkin menguntungkan secara ekonomi baginya. Untuk itu, perlu ada legal design yang baik untuk membenahi citra whistle blowing system (WBS).

Benar bahwa Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) telah mengeluarkan aturan yang menjelaskan hak (perlindungan) dan kewajiban whistleblower.76 Sekalipun niat baik ini perlu diapresiasi, namun ada beberapa hal yang perlu dipertajam untuk memastikan efektifitas perlindungan kepada peniup peluit. Saat ini, citra WBS mungkin masih dipandang meragukan, mengingat ada beberapa figur yang menjadi whistle blower justru kemudian diperkarakan dan berbalik menjadi pesakitan.77

Masalah lain dari isu ini adalah, ujung tombak Perka ini adalah Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), padahal posisi APIP juga masih perlu diperkuat. Diyakini, APIP disini merujuk utamanya kepada inspektorat. Posisi inspektorat di masing-masing badan publik perlu dijamin terutama dari aspek imparsialitas dalam melakukan pengawasan. Penelitian penulis di awal disertasi menemukan pengakuan bahwa petugas insepektorat kerap mendapatkan tekanan yang mengganggu imparsialitas dirinya saat melakukan pemeriksaan.78 Ia pun bercerita lebih lanjut sbb. Ketika ia melakukan penelusuran, maka ia

76 Pasal 22 Peraturan Kepala (Perka) LKPP No 11 tahun 2014

77 Misalnya Vincentius Amin Sutanto, Agus Condro, Yohanes Woworuntu, dlsb. Setelah mereka menjadi peniup peluit, justru mereka yang berbalik terkena kasus. Lihat: Samendawai, A.H. dkk. 2011. Memahami Whistleblower, LPSK, Jakarta, hlm 107-109.

78 Komunikasi dilakukan pada akhir tahun 2013 di Jakarta.

(26)

pernah menemukan bahwa tekanan tersebut berasal dari pimpinan badan publik (dalam konteks ini, Menteri). Menteri tersebut yang menekan Inspektur Jenderal (Irjen), dan kemudian Irjen secara berjenjang menekan bawahannya. Ia juga bercerita bahwa jika mengusut kasus pengadaan kerap “lebih berwarna” daripada kasus yang lain. Jika temuannya tidak melibatkan rekanan dari partai yang terafiliasi dengan menteri, maka laporan tersebut berpotensi untuk ditindaklanjuti. Namun jika melibatkan rekanan dari partai yang terafiliasi dengan menteri, maka laporan tersebut akan mengendap – atau bahkan oleh Irjen tidak akan pernah naik ke meja Menteri.

Maka, perlu dipikirkan instrumen HAN untuk memastikan agar ketika Inspektorat bertugas maka ia memiliki kewenangan yang cukup. Sekalipun berada di bawah pimpinan badan publik, namun pimpinan tersebut tidak dapat melakukan intervensi. Jika pimpinan tersebut mengabaikan, maka ia dapat dianggap melakukan obstruction of justice.

Inspektorat juga perlu diberi kewenangan untuk dapat melaporkan temuannya secara langsung ke penegak hukum. Menurut Perpres 54/2010, inspektorat melaporkan temuannya kepimpinan badan publik saja; temuan tersebut hanya dapat dilanjutkan ke APH bila mendapatkan persetujuan dari pimpinan badan publik.79 Masalahnya, bagaimana jika pimpinan badan publik tersebut terlibat dalam pelanggaran yang ada? Apabila pimpinan badan publik menerima laporan atas temuan ini, maka ia akan mengendapkan laporan tersebut. Bahkan mungkin malah menggunakan kewenangannya untuk menggeser orang orang kritis di inspektorat. Maka, perlu pula dipertimbangkan agar inspektorat dapat langsung melaporkan temuannya ke APH secara diam-diam – tanpa meminta persetujuan kepada pimpinan badan publik. Hal ini dapat dilakukan bila ada indikasi bahwa pimpinan badan publik terlibat. Perlu pula dipikirkan bahwa petugas inspektorat dapat menolak dipindahtugaskan oleh pimpinan badan publik apabila ia merasa pemindahtugasan tersebut terkait dengan investigasi yang sedang ia langsungkan. Dengan demikian, posisi petugas inspektorat kuat, dan persepsi bahwa inspektorat adalah ‘macan tanpa taring’ dapat dihilangkan.

79 Pasal 117 ayat (4) Perpres No 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres ini telah berulang kali mengalami revisi, namun Pasal ini bukan termasuk bagian yang direvisi oleh Perpres yang lebih baru.

(27)

Apapun itu, inisiasi peran HAN dalam pencegahan korupsi di sektor pengadaan barang jasa khususnya mengefektifkan WBS dan menajamkan peran inspektorat perlu dikaji lebih jauh, agar kajian dapat lebih mendalam dan solusi yang diberikan bisa lebih kuat. Kajian ini akan menambah khasanah pengetahuan dan informasi yang menegaskan peran HAN dalam pencegahan korupsi, khususnya di sektor pengadaan barang/jasa.

Kesimpulan

Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan faktor budaya hukum yang dianggap dapat menjadi insentif – atau menciptakan iklim yang lebih kondusif – bagi seseorang untuk melakukan perbuatan korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Uraian faktor ini mendasarkan pada kajian psikologi dan sosiologi. Ada empat poin yang telah diurai, yaitu:

Indonesia memiliki dimensi rentang kekuasaan yang tinggi; budaya dimana bawahan patuh menjalankan perintah atasan, sekalipun perintah tersebut melanggar hukum; kecenderungan orang Indonesia untuk ikut pola kelompok; serta kecenderungan untuk membangun dinding kebisuan.

Keempat poin tersebut memang terjadi di negara lain, bahkan di negara maju yang tingkat persepsi korupsinya jauh lebih baik daripada Indonesia. Namun memang keempat poin tersebut lebih mungkin terjadi di Indonesia karena masyarakat Indonesia memiliki kultur bawaan yang memungkinkan empat poin tersebut terjadi lebih massif. Situasi tersebut diperparah karena aturan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia belum baik.

Jawaban non hukum dari buramnya situasi yang ada bisa jadi amat berpendakatan ilmu sosial, seperti pentingnya mendudukan figur yang bersih pada posisi kunci di badan publik dan/atau memasukkan sebanyak mungkin orang berintegritas di sektor yang godaannya tinggi seperti sektor pengadaan barang/jasa. Namun jawaban dari persepktif hukum adalah perlunya mendesain hukum yang lebih dapat memastikan pencegahan korupsi.

Telah disinggung tentang perlunya melindungi mereka yang menjadi whistle blower agar pengakuan mereka tidak menyerang balik; mereka diperkarakan dan menjadi pesakitan.

Telah disampaikan pentingnya memperkuat posisi inspektorat agar dapat langsung berkoordinasi secara langsung kepada aparat penegak hukum tanpa meminta persetujuan pimpinan badan publik. Hal ini dapat diambil bila inspektorat memiliki bukti permulaan yang

(28)

cukup mengenai keterlibatan pimpinan badan publik tersebut dalam penyimpangan yang ada. Perlu pula didesain agar kewenangan inspektorat tidak bisa diganggu oleh pimpinan badan publik tersebut. Inspektorat juga dapat menolak dibebastugaskan atau dipindahtugaskan jika ia merasa penugasan tersebut terkait dengan investigasi yang ia lakukan. Isu-isu ini sesungguhnya berada pada domain hukum administrasi negara. Penulis memang meyakini bahwa HAN sebagai promising tool untuk membenahi masalah diatas serta mendesain sistem pencegahan korupsi yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Addink, G.H and ten Berge, J.B.J.M. 2007. “Study on Innovation of Legal Means for Eliminating Corruption in the Public Service in the Netherlands”, Electronic Journal of Comparative Law, tersedia pada: http://www.ejcl.org/111/art111-1.pdf, terakhir diakses 15 April 2017.

Anindyajati, T., Rachman, I.N., Onita A.A.D. “Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remedium dalam Pembentukan Perundang-undangan”, Jurnal Konstitusi, Vol 12, No 4.

Asch, S. “How strong is the urge towards social conformity”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London.

Fukuyama, F. 2011. The Origins of Political Order: From the Pre Human Times to the French Revolution.

Fukuyama, F. 2014. Political Order and Political Decay, Farrar, Straus and Giroux, New York.

Graycar, A. and Prenzler, T. 2013. Understanding and Preventing Corruption. Basingstoke:

Palgrave Macmillan.

Hukumonline, wawancara dengan Rustam Syarif (Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (kala itu)) “Kita Butuh UU Procurement”, 26 May 2008, tersedia pada:

<http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19321/ketua-lkpp-kita-butuh-uu- procurement> terakhir dikunjungi 23 Mei 2014.

Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven and London.

(29)

Jandt, F.E. 2009. “Dimensions of Culture: an Introduction to Intercultural Communication”, no place. SAGE. Tersedia pada: http://www.sagepub.com/upm- data/11711_Chapter7.pdf, terakhir diakses 14 April 2017

Khoman, S., Tantivasadakarn, C. dan Wrasai, P. 2009. Comparative Study of Anti-Corruption Measures and Procedures in Selected APEC Economies, APEC Secretariat, Singapore.

Van Klinken, G. dan Aspinall, E. “Building Relations: Corruption, Competition, and Cooperation in the Construction Industry”, in Van Klinken, G dan Aspinall, E. (Eds.). 2011. The State and Illegality in Indonesia. KITLV Press, Leiden.

Lubis, M. 1979. We Indonesians, Southeast Asia Paper No. 15, University of Hawaii.

Lampung Post, 18 July 2013, “Jaringan Koruptor”, tersedia pada:

http://lampost.co/berita/jaringan-koruptor, terakhir diakses 17 Juli 2014.

Milgram, S. “People do what they are told to do”, pada Collin, C. dkk. 2012. The Psychology Book. Dorling Kinderslay, London.

Muehlhuesser, G. and Roider, A. 2008. “Black Sheep and Walls of Silence”, Journal of Economic Behavior and Organization, Vol. 65, Issues 3-4.

NN, “Asch Conformity Experiment”, cuplikan video tersedia pada:

https://www.youtube.com/results?search_query=solomon+asch+conformity+experim ent, terakhir diakses 14 April 2017.

NN, “The Milgram Experiment 1962 Full Documentary”, cuplikan video tersedia pada:

https://www.youtube.com/watch?v=ek4pWJ0_XNo, terakhir diakses, 14 April 2017.

OECD. 2007. “Integrity on Public Procurement, Good Practices from A to Z”. Paris. Tersedia pada: http://www.oecd.org/development/effectiveness/38588964.pdf, terakhir diakses 14 April 2017.

Peraturan Pemerintah (Lampiran) No 55/2012 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014

Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

(30)

Peraturan Kepala (Perka) LKPP No 11 tahun 2014 tentang Whistleblowing System Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Samendawai, A.H. dkk. 2011. Memahami Whistleblower, LPSK, Jakarta.

Schwab, K. 2014. “The Global Competitiveness Report 2014-2015”, tersedia pada:

<http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2014-15.pdf>, terakhi diakses pada 15 April 2017.

Skolnick, J. 2002. “Corruption and the Blue Code of Silence”, Police Practice and Research: an International Journal, Vol 3, Issues 1.

Suara Merdeka, 3 Juni 2014. “Pejabat Pengadaan Tak Perlu Takut”, lihat:

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/06/03/263207/Pejab atPengadaan-Barang-Tak-Perlu-Takut, teakhir dikunjungi 8 Juli 2014.

The Hofstede Centre, No Year. ‘Singapore’, tersedia pada: https://geert- hofstede.com/singapore.html, terakhir diakses 14 April 2017.

The Hofstede Centre. No Year. ‘Indonesia’. Available from: <http://geert- hofstede.com/indonesia.html>, terakhir diakses 14 April 2017.

Treisman, D. 2000. “The Causes of Corruption: A Cross-National Study”. Journal of Public Economics, Vol 76.

UNODC. 2006. Legislative Guide for the Implementation of the United Nations Convention Against Corruption, Vienna.

Wibowo, R.A. 2015. “Mencegah Korupsi di Pengadaan Barang dan Jasa: Apa Yang Sudah dan Yang Masih Harus Dilakukan?, Jurnal Integritas, Vol. 1, No. 1.

Wibowo, R.A. 13 Februari 2017. “Wanprestasi jangan Dianggap Sebagai Korupsi”, tersedia pada: http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20170213&name=H4- A234013, terakhir diakses 15 April 2017.

Wibowo, R.A. 2017. Preventing Maladministration in Indonesian Public Procurement, Utrecht

University, Utrecht, tersedia pada:

https://www.researchgate.net/publication/315380059_Preventing_Maladministratio n_in_Indonesian_Public_Procurement_A_Good_Public_Procurement_Law_Approach_

(31)

and_Comparison_with_the_Netherlands_and_the_United_Kingdom, terakhir diakses 20 April 2017

Zerubavel, E. 2006. Elephant in the Room: Silence and Denial in Everyday Life, Oxford University Press, Oxford.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa setiap rasio menunjukkan nilai t yang positif kecuali untuk nilai t untuk rasio keserasian biaya operasional yang menunjukkan

Bagi masyarakat yang telah memiliki usaha pun merasa terbantu karena dengan adanya pengabdian ini mereka menjadi mampu memetakan kondisi bisnisnya saat ini termasuk

Jadi dalam penelitian ini, penulis akan menggambarkan bagaimana praktik jual beli follower sosial media kemudian akan dianalisis dari sudut pandang hukum Islam, baik praktek jual

Hasil yang diperoleh (1) terdapat perbedaan yang signifikan Skor motivasi antara kelompok mahasiswa, rata-rata skor motivasi kelompok mahasiswa S1 PGSD Bidang Ilmu lebih tinggi

Diantara larutan serbuk biji mimba yang dapat dipergunakan adalah kepekatan 40% karena dapat membunuh nimpa 27%, membunuh dewasa 20,9% dan mencegah caplak betina dewasa tidak

Laporan Skripsi dengan judul “ Sistem Informasi Simpan Pinjam Pada Kowanu Nugraha Kudus ”, diharapkan dapat memberikan gambaran baru mengenai proses pengelolaan

Model Problem Based Learning menggunakan team teaching dengan teknik terintegrasi dan semi terintegrasi pada pembelajaran ditinjau dari kemampuan kritis (kognitif) dan

 Pemeriksaan fisik sanitasi restoran/rumah makan dilaksanakan pada 418 Restoran/Rumah Makan yang diperiksa, dengan hasil yang tidak memenuhi syarat sebanyak 119