• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

SRIYONO, S.S.

UMMU FATIMAH RIA LESTARI, S.S.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA 2016

MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

Penanggung Jawab

(2)

ii

Kepala Balai Bahasa Papua Penyunting Penyelia Supriyanto Widodo, S.S., M.Hum.

Penyunting Pelaksana Sitti Mariati S., S.S.

Eli Marawuri, S.S.

Siti Masitha Iribaram, S.Pd.

Cetakan I Tahun 2015 Cetakan II Tahun 2016

Penerbit Balai Bahasa Papua

Jalan Yoka, Waena, Distrik Heram, Jayapura 99358 Telepon (0967) 574154 – 574171

Hak cipta dilindungi undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Kata Pengantar

KepalaBalaiBahasa Papua dan Papua Barat

KATALOG DALAM TERBITAN 398.2

SRI

s Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera/

Sriyono dan Ummu Fatimah Ria Lestari.

Jayapura: Balai Bahasa Papua, 2016 x, 97 hlm, 15x21 cm.

ISBN: 978-602-17604-8-2 1. Cerita Rakyat di Papua

(3)

iii

BukuberjudulMorfologiCerita Rakyat SukuTeperayang berada

ditanganpembacainimerupakanbagiandariupayaBalaiBah asa Papua dalammengembangkansastra, khususnya di Papua.Mengingatbahwaperkembangansastra di Provinsi Papuasaatinibelumterlalumenggembirakan. Hal iniditandaiolehbeberapakenyataan,

yaitusedikitnyaperanpenerbitdanpersdalampemuatankaryas astradanpenyebarluasannya,

kurangnyakesadarandantanggungjawabpengayomsastrabaik daripemerintahmaupunnonpemerintahterhadappelestarianda nperkembangansastra,

dankurangnyakepedulianpengayomsastrakepadapemerhati, pelestari, danpenggiatsastra. Olehkarenaitu, BalaiBahasa Papuasebagaisalahsatupengayomsastra di provinsiiniberusahauntukmembinadanmengembangkansa stra,

salahsatunyaadalahdenganmenerbitkanhasilpenelitiansast

ra. Hal

itudilakukandenganharapankedepanperkembangansastra di Papua akansemakinbaikdantentumenggembirakan.

Penerbitaninibertujuanuntukmemenuhikebutuhan

masyarakatterhadapbacaan yang

(4)

iv

bernutudanjugauntukmemberikanpemahamankepadamas yarakattentangmaknasastra.HasilpenelitianMorfologiCeri

ta Rakyat SukuTepera yang

diterbitkaninisedikitataubanyaktentuakanberdampakposit ifbagimasyarakat Indonesia di masamendatang. Tentu, karenasastra yangsudahtertanamdantumbuh di lingkungankita,

akanmenjadielemenpentingdalampembangunanbangsa, khususnyapembangunanbudayabangsa.

Dalamkesempatanini, KepalaBalaiBahasa Papua mengucapkanterimakasihdanpenghargaan yang tuluskepadatimpeneliti, yakniSdr. Sri Yono, S.S.

danUmmu Fatimah Lestari, S.S. sertatimpenerbitan yang telahbekerjakerashinggabukuinidapatterwujuddansampai ketanganpembaca.

Semogabukuinimenjadiinspirasidantemuanbaru yang bergunabagiperkembanganilmusastra di masadepan.

Selamatmembacadanmenikmatisajianbukuini.

KATA PENGANTAR

KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga buku

(5)

v

Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini dapat hadir di hadapan sidang pembaca.

Tidak henti-hentinya kami, Balai Bahasa Provinsi Papua, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus berupaya melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan.

Kegiatan-kegiatan tersebut, antara lain adalah penelitian kebahasaan dan kesastraan. Banyak hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan yang telah dilakukan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua.

Namun, belum semua hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas karena masih dalam bentuk laporan penelitian. Laporan penelitian hanya dapat diakses oleh masyarakat luas yang berkunjung ke perpusatakaan yang dikelola Balai Bahasa Provinsi Papua. Padahal, banyak pula hasil penelitian yang mempunyai nilai kemanfaatan tinggi. Oleh karena itu, hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan yang mempunyai nilai kemanfaatan tinggi tentunya perlu dipublikasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Salah satu publikasi hasil penelitian tersebut adalah diterbitkan dalam bentuk buku.

Buku adalah salah satu bentuk alat komunikasi keilmuan antara penyusun/penulis buku dan masyarakat luas. Kami akan selalu mengomunikasikan kepada masyarakat luas tentang apa yang selama ini kami kerjakan. Tentu saja yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat adalah hasil kerja kami yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Ini merupakan tanggung jawab moral kami terhadap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada kami dalam hal

(6)

vi

menangani kebahasaan dan kesastraan di Tanah Papua ini. Terbitnya buku Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini merupakan cara kami mengomukasikan hasil kerja dan tanggung jawab moral kami kepada masyarakat luas.

Buku Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera yang hadir di hadapan sidang pembaca ini tentu belum sempurna. Untuk itu kami sangat menghargai apabila ada sumbang saran maupun kritik yang membangun dari masyarakat luas demi perbaikan ke depan.

Akhirnya, kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada para pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Tidak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kami kepada Tim Peneliti buku ini, yakni Sdr. Sri Yono, S.

S., dan Ummu Fatimah Ria Lestari, S. S. Mudah- mudahan buku ini bermanfaat bagi masyarakat luas.

Jayapura, November 2015

Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua, Ttd.

Supriyanto Widodo, S.S., M. Hum.

(7)

vii

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Deburan ombak Pantai Tablanusu memecah keheningan surga tersembunyi di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura tempat kami melakukan penelitian ini. Kami serasa bermimpi karena berkesempatan menginjakkan kaki-kaki telanjang ini di atas kerikil-kerikil halus yang menghampar di sepanjang pantai bak permadani hitam.

Rob, nikmat mana lagi yang mesti kami dustakan setelah nikmat yang maha dahsyat ini. Segala puji bagi Engkau maka ampunilah dosa-dosa kami dan ajari kami membaca isyarat-Mu.

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah usaha kecil untuk menyibak keagungan Tuhan berupa penggalian nilai-nilai budaya yang terhampar di Kampung Tablanusu ini. Mudah- mudahan usaha ini menjadi manifestasi sujud kami pada- Nya.

Kegiatan ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini. Terima kasih kami sampaikan kepada:

(9)

ix

1. Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang telah mengadakan kegiatan ini.

2. Kepala Kampung Tablanusu..

3. Masyarakat Tablanusu yang turut membantu lancarnya kegiatan ini.

4. Informan yang telah membagi ilmu dan waktunya, yaitu Bapak Petrus B. Soumilena 5. Anggota tim kami yang selalu kompak.

Tidak ada gading yang tidak retak, demikian ungkapan mengatakan. Laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami menunggu saran, masukan, dan kritikan yang bersifat membangun demi penyempurnaan. Semoga bermanfaat dan berkah.

Tim Peneliti

(10)

x

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua.iii

Kata Pengantar Penyusun………..vii

Daftar Isi………...xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 Latar Belakang……….1

Rumusan Masalah………8

Tujuan Penelitian……….9

Manfaat Penelitian………...9

Landasan Teori………11

Metodologi Penelitian……….19

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 2.1.1 2.1.2 2.2 2.2.1 2.2.2 2.2.3 Keadaan Geografis………..27

Letak………... 27

Topografi/Lingkungan Alam……….. 31

Kondisi Sosial Budaya………32

Demografi/Kependudukan………..32

Agama……….35

Mata Pencaharian………36

BAB III CERITA RAKYAT SUKU TEPERA 3.1 3.2 3.3 3.4 Terjadinya Kampung Tablanusu 1………..41

Terjadinya Kampung Tablanusu 2………..51

Asal Mula Pohon Kelapa………62

Sekerumai………...67

(11)

xi

BAB IV MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA 4.1

4.2 4.3 4.4

Fungsi Pelaku, Skema, dan Pola Cerita…………....71 Struktur Cerita………..86 Distribusi Fungsi di Kalangan Pelaku………..88 Cara-Cara Pengenalan Pelaku………..89 BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan………...93 5.2 Saran……….95

Daftar Pustaka……...………..97

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Teori sastra modern membagi jenis sastra menjadi tiga, yaitu prosa, lirik dan drama. Karya sastra yang termasuk ke dalam prosa, antara lain novel, cerita pendek, dongeng, cerita hewan, dan anekdot. Danandjaja (1994:50) mengemukakan bahwa cerita rakyat lisan terdiri dari mite, legenda, dan dongeng. Masyarakat Indonesia sudah mengenal dongeng sejak zaman dulu.

Biasanya, cerita-cerita yang dituturkan bersifat religius atau magis. Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan mendongeng kemudian diambil alih oleh para pengasuh anak, orang tua, serta nenek dan kakek, terutama sejak ditemukannya mesin cetak pada abad kelima belas atau tepatnya pada tahun 1450 sehingga penuturan cerita yang biasanya dilakukan oleh para penutur cerita tradisional

(13)

2

semakin menyurut karena orang-orang mulai membaca buku cerita sendiri. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari budaya masyarakat dan kegiatan mendongeng menjadi sebuah tradisi yang diturunkan secara turun-temurun. Cerita atau dongeng yang disampaikan biasanya berisi pesan moral dan ajaran- ajaran budi pekerti bagi pendengarnya dan biasanya disampaikan dengan bahasa kiasan atau dengan kalimat yang diperindah.

Penelitian sastra lisan di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi khusus di wilayah Papua hingga sekarang hanya sebatas kajian tentang struktur, nilai, dan amanah yang terkandung di dalamnya. Kajian sastra lisan Papua dengan menggunakan pendekatan (teori) kesastraan tertentu belum banyak dilakukan. Padahal, sebagai bagian dari sastra lisan, cerita rakyat (folktale) adalah genre yang paling banyak jumlah dan jenisnya

(14)

3

dalam masyarakat Papua. Penelitian tentang cerita rakyat di Papua sudah banyak dilakukan, tetapi metodologinya masih belum mumpuni. Padahal, Papua mencakup wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, merupakan ”rumah” bagi cerita rakyat karena pulau tersebut didiami oleh ratusan suku bangsa dan marga.

Sepengetahuan tim peneliti, penelitian sastra lisan yang fokus pada genre ini sudah banyak dilakukan karena memang objek ini selalu menarik untuk diteliti. Hanya saja, faktor teknis maupun kualitas sumber daya penelitinya menjadikan proses penelitian ini belum maksimal.

Cerita rakyat, seperti halnya genre sastra lisan yang lain, memiliki struktur, makna, serta mengandung nilai-nilai budaya. Perkembangan teknologi global yang demikian pesat, belum sepenuhnya membuka arus transportasi dan informasi dalam masyarakat Papua.

(15)

4

Konteks kewilayahan penutur bahasa daerah yang masih terisolasi, memungkinkan akses dalam proses penelusuran cerita rakyat itu terhambat. Ditambah lagi, minimnya referensi tertulis tentang objek penelitian itu sendiri. Hal-hal tersebut lambat laun dapat menghilangkan nilai-nilai budaya dalam masyarakat Papua secara tak langsung. Pasalnya, nilai-nilai itu tidak dapat ditransformasikan lagi kepada generasi selanjutnya.

Berdasarkan pengamatan tim peneliti dalam beberapa tahun terakhir, eksistensi cerita rakyat dapat dikatakan sudah mulai menghilang dalam lingkungan masyarakat Papua. Hilangnya objek kajian ini berarti pula nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya juga hilang. Keprihatinan tim peneliti terhadap eksistensi nilai dalam sastra lisan Papua, terkhusus pada genre cerita rakyat dalam masyarakat Tepera di Kabupaten Jayapura, Papua, memunculkan ide untuk berbuat sesuatu. Hal tersebut

(16)

5

yang melatarbelakangi tim peneliti untuk meneliti tentang morfologi cerita rakyat Tepera ini.

Cerita rakyat oleh sebagian ahli antropologi dan sastra disebut juga sebagai dongeng. Bagi ahli sastra, dongeng merupakan cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. James Danandjaja, bapak Folklor Indonesia, mengemukakan (1994:84), dongeng menceritakan tentang keajaiban-keajaiban yang berisi pesan moral dan tidak dapat dicerna menggunakan logika, karena biasanya memiliki kalimat pembuka dan penutup yang bersifat klise. Hal ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis lebih jauh. Selain dapat memetik pelajaran dan nilai moral dari dongeng, pembaca juga dapat membedahnya dari sisi lain yang berbeda. Saat ini penelitian terhadap dongeng belum begitu banyak, tetapi untuk menganalisis isinya terdapat teori morfologi cerita rakyat yang dikembangkan oleh Vladimir Propp. Teori ini sudah

(17)

6

banyak digunakan untuk menganalisis dongeng di Indonesia, tetapi belum pernah diterapkan pada cerita rakyat suku Tepera.

Pendekatan Propp dapat dimengerti jika kita membandingkan “subjek” sebuah kalimat dengan tokoh- tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat, dan sebagainya) dan “predikat” dengan tindakan yang tipikal dalam cerita-cerita semacam itu. Sementara itu, ada berlimpah- limpah renik yang sangat besar, seluruh korpus cerita itu dibangun atas perangkat dasar yang sama yaitu tiga puluh satu “fungsi”. Sebuah “fungsi” adalah satuan dasar

“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang bermakna yang membentuk narasi. Tindakan ini mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal. Meskipun tidak ada dongeng yang meliputi semuanya, dalam tiap dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap (Pradopo, 1996:59).

(18)

7

Hal terpenting dalam penelitian ini adalah predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi, tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap adalah perbuatan dan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Jadi, jika tindakan itu diganti dengan tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak akan mempengaruhi perubahan fungsi. Alasan peneliti menggunakan teori fungsi Vladimir Propp karena analisis ini tergolong sederhana dibanding dengan analisis yang lain, misalnya analisis imanensi, pertinensi, komutasi, kompatibilitas, integrasi dan sinkroni. Teori Vladimir Propp juga dapat menimbulkan efek superfisial, yaitu efek yang mudah dimengerti melalui penambahan variasi gaya dan pesona dalam cerita.

Teori fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan untuk dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat

(19)

8

Tepera karena dongeng bersifat universal dan memiliki banyak fungsi. Penulis memilih morfologi cerita rakyat Tepera karena sampai saat ini belum ada penelitian sejenis. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti menggunakan analisis fungsi Vladimir Propp, karena teori ini dapat diaplikasikan dalam menganalisis cerita rakyat Tepera.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

a. Ada berapa fungsi pelaku dan fungsi-fungsi pelaku apa sajakah yang terdapat dalam cerita rakyat Tepera?

b. Bagaimanakah skema struktur cerita rakyat Tepera?

(20)

9

c. Ada berapa lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat Tepera, siapa saja dan bagaimana cara pelaku diperkenalkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, antara lain

a. Mendeskripsikan fungsi dan jenis-jenis fungsi pelaku dalam cerita rakyat Tepera.

b. Mendeskripsikan skema struktur cerita rakyat Tepera.

c. Mendeskripsikan lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat Tepera dan cara pelaku diperkenalkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman pikiran, renungan dan nilai-nilai masyarakat pada masa tertentu. Gagasan atau nilai-nilai tersebut menjadi landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih

(21)

10

dapat diamati dan dipahami. Oleh sebab itu, penelitian mengenai morfologi cerita rakyat Tepera ini merupakan upaya penggalian dan pelestarian kebudayaan daerah yang sangat penting. Penggalian dan pelestarian kebudayaan ini guna menunjang dan mengembangkan pengajaran bahasa dan sastra daerah tersebut yang saat ini disebut sebagai muatan lokal dalam kurikulum pendidikan. Selain itu, sangat penting bagi Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Provinsi Papua sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

Bagi masyarakat Tepera, hasil penelitian ini dapat menjadi pemicu bagi generasi penerus untuk lebih mencintai hasil sastra lisan mereka sendiri. Selain itu, dapat dijadikan sebagai identitas dan kebanggaan dalam menyonsong pembangunan, khususnya di Papua.

Penelitian ini dapat menjadi media informasi dan refleksi nilai-nilai kehidupan masyarakat Tepera. Dalam lingkup

(22)

11

yang lebih luas penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memperkaya khazanah kajian sastra.

1.5 Landasan Teori

Landasan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori naratif struktural Vladimir Propp. Teori fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan untuk dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat Tepera karena dongeng bersifat universal dan memiliki banyak fungsi. Hal yang terpenting dalam penelitian ini adalah predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi, tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap adalah perbuatan sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Jika tindakan itu diganti dengan tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak akan mempengaruhi perubahan fungsi.

(23)

12

Alasan peneliti menggunakan teori fungsi Vladimir Propp karena analisis ini tergolong sederhana dibanding dengan analisis yang lain, misalnya analisis imanensi, pertinensi, komutasi, kompatibilitas, integrasi, dan sinkroni. Teori Vladimir Propp juga dapat menimbulkan efek superfisial, yaitu efek yang mudah dimengerti melalui penambahan variasi gaya dan pesona dalam cerita. Selain itu, dari segi struktur penceritaan, sebagian besar cerita rakyat di Papua berupa cerita naratif pendek.

Susanto (2011:111) menjelaskan, Propp mengembangkan teori yang berasal dari konsep formalisme Rusia yang berhubungan dengan dengan alur dari peristiwa atau aksi. Propp menggunakan pendekatan yang bergerak dari etik menuju pendekatan emik terhadap struktur naratif. Propp lebih menekankan perhatiannya pada motif naratif terpenting, yakni

(24)

13

tindakan atau perbuatan (action). Tindakan tersebut dinamakan fungsi. Propp juga mengemukakan bahwa yang terpenting adalah pelaku, bukan tokoh. Lebih tegasnya, yang terpenting menurut Propp adalah tindakan pelaku yang terdapat dalam fungsi. Fungsi adalah tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalannya suatu cerita. Propp juga menjelaskan bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi.

Konstruksi yang terdiri atas motif-motif memiliki tiga unsur, yakni pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga unsur itu dapat dibagi menjadi dua, yakni unsur yang tetap dan unsur yang tidak tetap. Unsur tetap adalah perbuatan dan unsur tidak tetapnya adalah pelaku dan penderita. Menurutnya, unsur yang terpenting adalah unsur yang tetap.

Propp adalah tokoh strukturalis pertama yang melakukan kajian serius terhadap struktur naratif,

(25)

14

sekaligus yang memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Propp memandang sjuzhet sebagai tema, bukan alur, seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema.

Sjuzhet atau cerita dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga motif ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbuatan sebagai unsur yang stabil, yang tidak tergantung dari siapa yang melakukan dan unsur yang tidak stabil dan bisa berubah- ubah, yaitu pelaku dan penderita. Menurut Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap (perbuatan), yaitu fungsi itu sendiri (Taum, 2011:122-123).

Vladimir Propp (1975: 21-24) membuat satu kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan terhadap seratus dongeng cerita rakyat Rusia yang ia

(26)

15

sebut dengan fairytale. Adapun kesimpulan tersebut adalah:

1) Unsur yang tetap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi (terlepas dari sikap pelaku yang menduduki fungsi);

2) Jumlah fungsi dalam dongeng terbatas;

3) Urutan fungsi dalam dongeng selalu sama; dan 4) Jika dilihat dari segi struktur, maka semua

dongeng hanya mewakili satu tipe.

Yobee (2006:13-14) mendukung Propp dengan mengelompokkan fungsi dalam sebuah dongeng menjadi tiga puluh satu fungsi. Untuk mempermudah pembuatan skema, seperti halnya Propp, ia memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi. Adapun fungsi dan lambangnya adalah sebagai berikut.

(27)

16

No. Fungsi Lambang

1. Ketiadaan= absentation 

2. Larangan= interdiction y 3. Pelanggaran= violation 

4. Pengintaian= reconnaissance 

5. Penyampaian (informasi)

= delivery



6. Penipuan (tipu daya)= fraud 

7. Keterlibatan= complicity 

8. Kejahatan= villainy A

8a. Kekurangan (kebutuhan)

= lack

A 9. Perantaraan, peristiwa

penghubung= mediation, the connective incident

B

10. Penetralan (tindakan) dimulai

= beginning counteraction

C 11. Keberangkatan (kepergian)

= departure

12. Fungsi pertama donor (pemberi)= the first function of the donor

D

13. Reaksi pahlawan= the hero’s reaction

E 14. Penerimaan unsur magis (alat

sakti)= provition or receipt of a magical agent

F

(28)

17

15. Perpindahan (tempat)= spatial translocation

G 16. Berjuang, bertarung = struggle H

17. Penandaan= marking J

18. Kemenangan= victory I 19. Kekurangan (kebutuhan)

terpenuhi= the initial misfortune or lack is liquidated

K

20. Kepulangan (kembali)= return

21. Pengejaran, penyelidikan=

pursuit, chase

Pr 22. Penyelamatan= rescue Rs 23. Kedatangan tak terkenali

= unrecognized arrival

O 24. Tuntutan yang tak mendasar

= unfounded claims

L 25. Tugas sulit (berat)= the

difficult task

M 26. Penyelesaian (tugas)= solution N 27. (Pahlawan) dikenali

= recognition

Q 28. penyingkapan (tabir)

= exposure

Ex 29. Penjelmaan= transfiguration T 30. Hukuman (bagi penjahat)

= punishment

U 31. Perkawinan (dan naik tahta) W

(29)

18

= wedding

Jumlah 31 fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1) lingkungan aksi penjahat (villain); (2) lingkungan aksi donor, pembekal (donor, provide); (3) lingkungan aksi pembantu (helper); (4) lingkungan aksi fungsi dan ayahnya (the princess and her father); (5) lingkungan aksi perantara atau pemberangkat (dispatcer);

(6) lingkungan aksi pahlawan (hero); dan (7) lingkungan aksi pahlawan palsu (false hero). Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.

Propp disitir Suwondo (2011:56) juga mengemukakan bahwa setiap dongeng atau cerita tidak

(30)

19

selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya, membentuk kerangka pokok cerita.

1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Hal ini sesuai dengan sifat dan wujud data serta tujuan yang akan dicapai. Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang berupa cerita rakyat diperikan, disusun, diklasifikasikan, kemudian ditafsirkan. Cerita rakyat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu: mitos, legenda, dan dongeng.

Analisis data akan menggunakan pendekatan struktural Vladimir Propp yang akan diaplikasikan pada jenis cerita dongeng. Pendekatan Propp dapat dimengerti jika kita membandingkan “subjek” sebuah kalimat

(31)

20

dengan tokoh-tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat, dan sebagainya) dan “predikat” dengan tindakan yang tipikal dalam cerita-cerita semacam itu. Sementara itu, ada berlimpah-limpah renik, seluruh korpus cerita itu dibangun atas perangkat dasar yang sama, yaitu tiga puluh satu “fungsi”. Sebuah “fungsi” adalah satuan dasar

“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang bermakna yang membentuk narasi. Tindakan ini mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal, dan tidak ada dongeng yang meliputi semuanya. Dalam tiap dongeng, fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap (Pradopo, 1996:59).

Melalui analisis tersebut akan diketahui jumlah fungsi pelaku dan fungsi-fungsi pelaku dalam cerita rakyat Tepera, skema struktur cerita rakyat Tepera, jumlah lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita rakyat Tepera, dan cara pelaku diperkenalkan.

(32)

21

1.6.2 Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa sastra lisan yang berbentuk cerita rakyat dan lebih khusus lagi berupa dongeng. Sumber data utama diperoleh melalui wawancara dan pengamatan berperan serta. Pemerolehan data dapat dipilah menjadi dua jenis, yakni: (1) data primer sebagai data utama berupa data lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan informan sebagai penutur asli atau pemilik sastra lisan. Data tertulis diperoleh dari buku-buku, jurnal, penelitian, dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan masalah dalam penelitian ini; (2) data sekunder sebagai data penunjang diperoleh dari dokumentasi yang berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dan data penunjang lainnya yang berkaitan dengan deskripsi lokasi penelitian yang diperoleh dari aparat pemerintah.

1.6.3 Pengumpulan Data

(33)

22

Untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini dilakukan dengan cara mengamati (observasi), wawancara, mencatat, dan merekam.

1.6.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)

Teknik pengamatan (observasi) dilakukan untuk melihat secara langsung objek yang akan diteliti. Hal ini terkait dengan penentuan titik-titik pengamatan wilayah yang akan diteliti. Dengan teknik ini, peneliti mengamati secara langsung daerah yang akan menjadi lokasi penelitian. Data yang diperoleh berupa catatan etnografi tentang suku Tepera.

1.6.3.2 Teknik Wawancara

Arikunto (1993:126) mengemukakan, “Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-

(34)

23

hal lain yang ia ketahui.” Keraf (1979:161) menyatakan,

“Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan atau seorang autoritas (seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah).” Wawancara dalam hal ini ditujukan kepada para informan yang dijadikan sumber data yang dipandang mengetahui seluk-beluk cerita rakyat Tepera.

1.6.3.3 Teknik Pencatatan

Teknik pencatatan digunakan untuk mencatat setiap cerita yang dituturkan oleh informan. Pertanyaan yang ditujukan kepada informan dalam wawancara itu disesuaikan dengan urutan daftar pertanyaan. Setiap jawaban yang diperoleh langsung dicatat pada tempat kosong yang tersedia dalam daftar pertanyaan.

1.6.3.4 Teknik Perekaman

(35)

24

Perekaman dilakukan dengan cara meminta informan untuk menuturkan ceritanya dalam dua versi bahasa, yaitu bahasa daerah (Tepera) dan bahasa Indonesia.

1.6.4 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis morfologi yang dikemukakan oleh Vladimir Propp. Konsep dasar analisis morfologi (analisis struktur naratif) Vladimir Propp adalah fungsi dan peranan pelaku dalam cerita. Cara analisis dimulai dengan memeriksa kembali data-data dan memilah-milahnya berdasarkan jenis dan tipenya. Selanjutnya, data yang sudah terpilih dan dikelompokkan dijadikan bahan analisis. Cara dan teknik analisis data disesuaikan dengan penerapan teori Fungsi Vladimir Propp. Teknik tersebut antara lain 1) mengindentifikasi fungsi dalam sebuah dongeng, kemudian fungsi tersebut dimasukkan ke dalam tanda atau lambang khusus yang telah dibuat oleh Propp; 2)

(36)

25

mendistribusikan fungsi-fungsi tersebut ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action) tertentu.

Untuk mengetahui amanat yang terkandung dalam cerita rakyat Tepera yaitu nilai budaya masyarakat Tepera akan digunakan teknik analisis struktural yang dikemukakan oleh Mclan.

(37)

26

(38)

27

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN KAMPUNG TABLANUSU

2.1 KEADAAN GEOGRAFIS.

2.1.1 Letak

Kabupaten Jayapura yang terdiri dari 19 distrik terletak di antara 139º -140º Bujur Timur dan 2º Lintang Utara dan 3º Lintang Selatan. Distrik Kaureh dengan luas 4.537,9 Km² merupakan distrik terluas di Kabupaten Jayapura atau sekitar 24,88 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Jayapura dan Distrik Sentani Barat merupakan distrik yang luasnya terkecil, yaitu sekitar 129,2 Km² atau sekitar 0,74 persen dari luas Kabupaten Jayapura. Letak geografis Jayapura bagian Barat 139º15’

Bujur Barat, bagian Timur 140º 45’ Bujur Timur, bagian

(39)

28

Utara 2º 15’ Lintang Utara, bagian Selatan 3º 45’ Lintang Selatan.

Batas wilayah Kabupaten Jayapura yang di dalamnya terdapat Kampung Tablanusu mempunyai batas sebagai berikut.

 Sebelah Utara berbatasan dengan Samudra Pasifik dan Kabupaten Sarmi;

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Tolikara;

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi; dan

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jayapura

dan Kabupaten Keerom (BPS Kabupaten Jayapura, 2009: 4)

Kampung Tablanusu memiliki batas wilayah adat yang dilihat secara administratif berbeda dari batas wilayah

(40)

29

kabupaten karena batas wilayahnya yang mencakup batas-batas tanah adat yang dapat dilihat sebagai berikut.

 Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Pasifik;

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Maribu;

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Kendate dan Demoikisi; dan

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung

Wauna Depapre.

Kampung Tablanusu adalah sebuah kampung di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kampung ini dapat dicapai melalui jalur darat dan laut. Jika cuaca cerah, sepanjang perjalanan kita dapat menyaksikan di kejauhan Gunung Cycloop menjulang tinggi ke langit.

Dengan tanda-tanda di langit, yaitu berupa awan di atas gunung tersebut, maka dapat diprediksi mengenai angin, sehingga dapat diputuskan apakah perahu dapat

(41)

30

diluncurkan dari dan ke Tablanusu atau tidak (Poli:

2008). Kalau ada awan bertumpuk di atas Gunung Cycloop berarti angin sedang tenang. Akan tetapi, jika puncak gunung tidak berawan berarti angin sedang kencang dan mengakibatkan laut berombak.

Setibanya di Pantai Tablanusu, sebuah lukisan alam yang dibentangkan oleh Tuhan terhampar dengan begitu indahnya. Bibir pantai dipenuhi batu-batu kerikil yang licin karena beradu satu dengan yang lainnya akibat sapuan ombak. Fenomena ini telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Begitu kaki-kaki menginjak batu kerikil tersebut, maka akan terdengar bunyi gesekan tersebut. Bunyi gesekan tersebut membuat orang setempat menamai kampung mereka dengan nama

”Kampung Batu Menangis”.

Dengan sedikit imajinasi, maka dapat dilacak asal batu-batu kerikil tersebut. Dari pantai ke arah laut tampak

(42)

31

beberapa tonjolan batu yang keluar dari permukaan laut dan berdiri tegak seolah-olah menjadi penjaga pantai yang kokoh. Sekokoh apa pun batu penjaga pantai ini lambat laun terkikis juga oleh hantaman ombak yang datang setiap saat dan menghasilkan pecahan-pecahan batu dan bermuara di bibir pantai.

Letak Kampung Tablanusu adalah di pesisir pantai dengan kondisi alamnya berbukit hutan belukar, padang rumput, tanah kecoklatan berbatu, dan pantainya berbatu kerikil hitam (data Kantor Kampung Tablanusu, 2010).

2.1.2. Topografi/Lingkungan Alam

Keadaan topografi Kampung Tablanusu yang berupa lereng umumnya relatif terjal dengan kemiringan 5-30 derajat serta mempunyai ketinggian aktual 0,5–1.500 m di atas permukaan laut. Daerah pesisir pantai utara umumnya berupa dataran rendah yang bergelombang dengan kemiringan 0-10 derajat yang ditutupi dengan

(43)

32

endapan aluvial. Secara fisik, selain berupa daratan juga berupa rawa ( + 13,700 Ha). Sebagian besar wilayah Kabupaten Jayapura (72,09 %) berada pada kemiringan di atas 41 derajat, sedangkan kemiringan 0-15 derajat berkisar 23,74% (data BPS Kabupaten Jayapura, 2009).

Kampung Tablanusu menghadap ke laut Pasifik dengan pantai yang landai dan air yang sangat jernih. Di belakang kampung terdapat tebing yang sangat curam, yang di baliknya terdapat hutan belantara tempat masyarakat berkebun dan berburu.

2.2 KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA 2.2.1 Demografi

Penduduk merupakan modal besar pendukung pembangunan. Pembangunan di segala bidang senantiasa ditujukan bagi kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu, data penduduk merupakan kunci dasar yang

(44)

33

memegang peran penting dalam membuat kebijakan pembangunan. Dengan demikian, data penduduk yang akurat dan tepat waktu menempati urutan yang cukup penting. Registrasi penduduk adalah suatu sistem pencatatan penduduk dan mutasinya yang disebabkan oleh kelahiran, kematian, dan migrasi. Pelaksanaan registrasi penduduk dimulai dari tingkat kampung/kelurahan hingga tingkat pusat.

Data penduduk pada Kabupaten Jayapura pada tahun 2009 berjumlah 121.693 orang yang terdiri atas 64.982 penduduk laki-laki dan 56.711 penduduk perempuan. Dengan wilayah seluas 17.516,6 km2, berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura adalah 6,95 jiwa/km² (data BPS Kabupaten Jayapura, 2009). Hasil registrasi pada penduduk Kampung Tablanusu, yaitu sebanyak 96 KK (Kepala Keluarga) atau 466 jiwa yang terdiri atas 259 penduduk laki-laki

(45)

34

dan 207 penduduk perempuan. Keadaan penduduk di Kampung Tablanusu ini bersifat homogen karena 99%

adalah penduduk asli setempat, sedangkan 1% adalah pendatang. Penduduk Kampung Tablanusu tinggal dan menetap berdasarkan sejarah kampung dan keret/marga (data Kantor Kampung Tablanusu 2010).

Jumlah pencari kerja di Kabupaten Jayapura sebanyak 2.355 orang, terdiri dari 1.128 laki-laki dan 1.227 perempuan. Tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Jayapura sebesar 7,19 % pada tahun 2009 (data BPS Kabupaten Jayapura 2009). Jumlah pekerja penduduk Kampung Tablanusu terdiri dari nelayan yang berjumlah 40 orang, petani 55 orang, PNS 18 orang, swasta 3 orang, tukang 5 orang, pensiunan PNS 4 orang, dan pelayanan jasa 33 orang (data Kantor Kampung Tablanusu, 2010).

(46)

35

Jumlah prasarana sekolah SD di Kabupaten Jayapura sebanyak 113 unit, SLTP 27 unit, SMU/SMK sebanyak 20 unit. Tenaga guru di daerah ini sangat terbatas jumlahnya, terutama untuk tingkat pendidikan menengah dan atas. Jumlah guru SD di Kabupeten Jayapura sebanyak 1.072 orang, SLTP 513 orang, dan SMU/SMK sebanyak 414 orang (data BPS Kabupaten Jayapura, 2009). Jumlah lulusan SD 122 orang, SLTP 85 orang, SLTA 68 orang, DIII 16 orang, Sarjana 11 orang dan yang mengikuti Pendidikan Khusus, yakni Pendidikan Keagamaan sebanyak 4 orang, serta yang mengikuti kursus sebanyak 43 orang (data Kantor Kampung Tablanusu, 2009).

2.2.2 Agama

Masyarakat Kampung Tablanusu mayoritas menganut agama Kristen Protestan, sedangkan masyarakat

(47)

36

penganut agama Katolik merupakan masyarakat pendatang yang tinggal di kampung tersebut.

2.2.3 Mata Pencaharian

Pada dasarnya mata pencaharian masyarakat kampung Tablanusu bervariasi, tetapi yang paling utama adalah nelayan. Selain nelayan, terdapat mata pencaharian seperti meramu sagu dan berkebun. Ada juga yang PNS, swasta, tukang, dan pelayanan jasa angkutan (ojek).

Berkebun atau bercocok tanam merupakan satu cara yang lazim dilakukan oleh nenek moyang sejak dulu. Aktivitas berkebun ini dilakukan dengan proses yang dimulai pada musim panas dengan cara membersihkan semak belukar, membiarkannya kering, lalu membakarnya. Pohon besar ditebang, dibersihkan, dibiarkan hingga kering, lalu dibakar. Pembuatan pagar dilakukan sambil menanam, tetapi masyarakat tidak terlalu serius untuk berkebun. Meramu sagu merupakan

(48)

37

aktivitas penting karena sagu merupakan bahan makanan pokok. Alat-alat yang digunakan untuk meramu sagu menjadi tepung adalah tapisan tepung sagu, tempat penampung sagu, alat penokok sagu, kapak, dan parang.

Hasil ramuan sagu merupakan bahan pokok membuat ramuan sagu papeda sebagai makanan sehari-hari.

Menangkap ikan merupakan pekerjaan yang dilakukan pada malam hari dan lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Alat-alat yang digunakan adalah alat pancing yang sederhana, seperti perahu dayung, penikam, nilon, kail, timah, dan lampu petromaks. Penggunaan alat tangkap yang sederhana ini hanya dapat menghasilkan tangkapan ikan yang secukupnya. Alat transportasi perahu dayung ini masih sangat sederhana, dibutuhkan tenaga/fisik yang kuat untuk mendayung perahu, mencari, dan menangkap ikan di laut. Perahu dayung merupakan alat yang dominan digunakan oleh

(49)

38

masyarakat. Perahu-perahu yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai simbol-simbol khusus sesuai dengan marganya. Selain itu, masyarakat menggunakan perahu motor dengan tenaga mesin. Biasanya, perahu motor adalah milik pribadi. Sebelum mengenal perahu motor, jangkauan pencaharian ikan hanya di daerah pesisir. Setelah menggunakan perahu motor, jangkauan pencaharian ikan sampai di laut bebas dan hasilnya lebih meningkat. Penangkapan ikan dilakukan secara individu.

Penangkapan ikan di wilayah ini tidak melanggar aturan adat dan siapa pun berhak untuk mencari ikan. Salah satu cara untuk menangkap ikan yang sudah dikenal sejak dulu adalah rumpon berlabuh yang diletakkan di wilayah laut dekat dengan reef. Rumpon berlabuh ini berfungsi sebagai tempat menangkap ikan. Fungsi lain adalah untuk melindungi diri dari hujan dan terpaan angin. Hasil tangkapan ikan masyarakat Tablanusu ditukar dengan

(50)

39

hasil kebun dari orang Moi, Yokari, dan Yewenu karena orang-orang inilah yang mempunyai hasil kebun untuk dibarter. Sebagian hasil tangkapannya juga dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian dikonsumsi oleh keluarga (Wiklif Yarisetou, 2009:110- 113)

(51)

40

(52)

41

BAB III

CERITA RAKYAT SUKU TEPERA

Masyarakat Tablanusu memiliki kekayaan budaya dan sastra lisan berupa cerita rakyat. Hanya saja, cerita rakyat tersebut tidak sembarangan dituturkan oleh siapa saja dan kepada siapa saja. Biasanya, orang yang berhak bercerita adalah orang yang telah dipercaya dan disepakati dalam masyarakat. Berikut beberapa cerita rakyat Tepera di Kampung Tablanusu.

3.1 Terjadinya Kampung Tablanusu 1

Nenek moyang masyarakat Kampung Tablanusu yang hidup berdiam di pesisir pantai utara seperti yang ada sekarang. Menurut cerita orang tua-tua atau para leluhur, perkembangan manusia mulai tersebar dari sebelah matahari terbit/timur yaitu sekelompok manusia mengadakan perjalanan dari matahari terbit berjalan melalui Nafri, Sentani berkumpul di lembah Buper,

(53)

42

kemudian dari lembah Buper, sebagian orang yang terus ke lembah Deponsero/ Deponpau. Dari Deponpau mereka terbagi lagi, ada yang ke Barat dan ada yang ke Timur wilayah Deponsero utara.

Dari pembagian itu seorang yang bernama Siriwari Wai turun dan tinggal di pantai. Ia hidup seorang diri dan tinggal di tebing-tebing gunung batu karena tidak mendapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Ia melihat keadaan tempat tinggalnya seperti itu, maka ia mulai berpikir, dan merencanakan untuk membentuk satu kampung yang layak untuknya tinggal dan berlindung. Ia tidak mempunyai alat yang canggih. Akan tetapi, ia hanya dengan bekal ilmu serta sepotong kayu besi (yaumau po), ongkoi, dan yepi. Ongkoi adalah sebuah wadah yang dibuat dari pohon palem untuk menimbah air, alat yang ketiga adalah yepi yaitu melalui lagu-lagu atau syair adat.

(54)

43

Dengan ketiga alat di atas ia mulai melakukan kegiatannya setiap hari. Ia ambil tanah dengan wadah ongkoi, dibuang pada tempatnya dan ditumbuk dengan sepotong kayu yaumau po (kayu besi) serta diiringi dengan lagu yepi, kegiatan ini ia lakukan setiap hari sampai sebagian laut dapat tertimbun dengan tanah dan berbentuk L. Pada suatu hari ia sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba binatang pelong atau biawak (soa-soa hijau) jatuh dari atas dan hinggap di atas bahunya. Siriwari Wai kaget dan dengan keras ia melemparkan binatang itu ke tanah dan tempat tersebut berubah menjadi rawa.

Pekerjaannya tetap dilaksanakan setiap hari. Pada suatu petang setelah selesai bekerja, Siriwari Wai duduk beristirahat serta memperhatikan segala jenis binatang yang lewat. Hampir setiap hari ia memperhatikan binatang-binatang tersebut. Timbullah pikirannya dan ia

(55)

44

berkata dalam hati, ”Mengapa binatang yang dilihatnya setiap hari hidup berpasang-pasangan, sedangkan saya adalah manusia seorang diri. Apakah saya dengan binatang ini berbeda?” Pada waktu itu belum ada seorang perempuan, bila ada pasti ia memilikinya. Karena ia mempunyai ilmu, yaitu ilmu yang membuatnya pada siang hari berubah menjadi manusia, sedangkan pada malam hari ia berubah menjadi buaya, biawak, atau ular.

Akan tetapi, di dalam benaknya ia berpikir bagaimana ia bisa mendapatkan seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya.

Selang lewat beberapa hari pekerjaan pun selesai.

Bentuk kampungnya seperti huruf L tetapi kampung tersebut belum diberi nama. Sore hari ia duduk beristirahat sambil mengamati binatang-binatang tersebut. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan dan duduk di sampingnya. Siriwari Wai tidak tahu kehadiran

(56)

45

perempuan itu dan darimana asal perempuan itu. Dalam hati ia bertanya darimana asal perempuan itu? Ketika perempuan itu datang, ia sedang asyik mengamati hewan yang lalu lalang di depannya. Tiba-tiba Siriwari Wai diberi tanda oleh seekor nyamuk yang menggigit bagian belakangnya. Ia melemparkan tangannya ke belakang hendak memukul nyamuk tersebut, tetapi tangannya kena badan perempuan itu. Siriwari Wai terkejut dan membalikkan muka. Ia langsung bertatapan dengan perempuan itu.

Dengan tersenyum Siriwari Wai bertanya kepada perempuan itu, ”Siapa namamu?” Dengan suara yang lembut perempuan itu menjawab, ”Namaku Mandepamen. Saya datang dan hadir di sini sesuai dengan keluhan dan keinginanmu.” Mendengar kalimat itu, Siriwari Wai tersenyum dan menerima Mandepamen sebagai istri dan pendamping hidupnya. Keduanya hidup

(57)

46

berdampingan dan saling mengasihi satu sama lain, tetapi mereka tidak mempunyai anak.

Suatu hari suami istri ini duduk pada sore hari sambil mengamati segala jenis hewan yang lalu lalang.

Maka timbullah suatu pertanyaan dari perempuan ini kepada suaminya, ia mengatakan, ”Sepanjang hidup kami berdua ini hanya mendengar suara burung dan binatang melata lainnya, tidak pernah mendengar suara manusia seperti kami berdua.” Mendengar ucapan istrinya ini Siriwari Wai tersenyum dan bertanya kepada Istrinya,

”Engkau ingin mendengar suara orang? Kalau engkau ingin mendengar suara orang, nanti tunggu pada waktunya!”

Pada malam hari keadaan sangat sunyi yang terdengar hanya suara jangkrik di tengah malam.

Menjelang pagi terdengar suara sekelompok orang yang sedang berdayung dengan sebuah perahu yang bernama

(58)

47

Siangtuwai dari arah sebelah barat. Mereka mendayung dengan tempik sorak dan menyanyi lagu yepi sambil menuju ke kampung yang baru dibentuk itu. Setelah rombongan tadi tiba di pantai yang bernama Dinding Dendang Berou, mereka dijemput oleh suami istri ini dan dibawa ke rumah mereka. Di dalam rumah tempat tinggal suami istri itu tersimpan berbagai macam alat budaya, yaitu ukiran kayu, batu, dan lain sebagainya yang sangat menarik hati. Setelah rombongan tadi tiba di rumah suami istri tersebut, mereka sangat tertarik dengan benda- benda budaya itu. Hati mereka sangat terpikat dengan benda tersebut. Mereka menanyakan kepada kedua suami istri tersebut, ”Apakah benda-benda ini kami dapat memilikinya?” Suami istri itu mengatakan silakan pilih sendiri.

Dari rombongan yang datang tadi mereka semua mendapatkan benda-benda budaya yang diberikan oleh

(59)

48

suami istri, tetapi hanya seorang anak yang tidak mendapatkan benda budaya itu. Anak itu bernama Alceng. Karena Alceng tidak memperoleh sesuatu, maka ia bersedih dan menangis sepanjang hari di hadapan kedua orang tuanya. Mendengar tangisan tersebut, tergeraklah hati Mandepamen dan mengatakan kepada suaminya, ”Berikanlah buku kulit tembaga itu kepadanya!” Siriwari Wai mendengar hal itu dan berkata kepada istrinya, ”Biarkan dia menangis, nanti dia yang akan mendapat barang yang sangat berharga bagi kehidupan masa depannya.” Akan tetapi, Alceng tetap menangis sampai kedua orang tua itu dapat menyerahkan sebuah buku berkulit tembaga kepada Alceng. Mereka yang mengambil benda-benda budaya itu mengejek Alceng. Akhirnya, Alceng tinggal bersama kedua orang tua tersebut. Kemudian Siriwari Wai dan istrinya menjadikan Alceng sebagai anak angkat. Dalam beberapa

(60)

49

waktu mereka dapat hidup bersama-sama dengan rombongan yang datang bersama Alceng itu atau saudara bersaudara.

Suatu hari menjelang tengah malam, Siriwari Wai datang ke suatu tempat berpisah dari keluarganya dan ia mendemonstrasikan ilmunya, maka terangkatlah sebuah batu sebagai pintu dan dia turun melalui tangga ke bawah bumi. Setelah ia mencobanya dan kembali naik lagi ke permukaan dan pintu batu itu tertutup kembali seperti biasa. Setelah kembali, ia dapat menyampaikan hal tersebut kepada istri dan anak angkatnya untuk bersiap- siap. Pada saatnya mereka akan berangkat dan meninggalkan tempat ini dengan orang-orang yang ada.

Setelah hidup bersama beberapa waktu, tibalah waktunya untuk mereka berpisah. Datanglah Siriwari Wai dengan Mandepamen, dan Alceng, anak angkatnya. Mereka bertiga berdiri di depan batu tersebut. Lalu Siriwari Wai

(61)

50

mulai mengadakan demonstrasi ilmunya, tiba-tiba terangkatlah batu dari tanah dan keluarlah suatu terang dari dalam tanah sampai ke langit, maka teranglah seluruh daerah itu. Mereka melihat terang itu dan datang mendekatinya. Ternyata, mereka melihat kedua orang tua bersama Alceng sudah ada di depan pintu, hendak bersiap-siap untuk turun ke bawah bumi.

Sementara orang-orang yang datang mendekati pintu batu itu, mereka melihat bahwa ketiga orang tersebut mulai masuk satu per satu ke dalam pintu itu, yaitu Siriwari Wai yang turun pertama, kemudian Mandepamen, istrinya, dan Alceng, anak angkatnya yang turun terakhir. Sebelum turun, ia menengok kepada saudara-saudaranya sambil menunjukkan buku kulit tembaga itu dan ia mengucapkan beberapa kalimat,

”Saudara-saudara yang saya kasihi, selamat tinggal, selama kamu hidup di dunia ini kamu harus bekerja keras

(62)

51

sampai keringat serta menggosok arang dan menjadi budak kepada orang lain sampai kamu kenal saya dan kenal buku tulis tembaga ini, barulah saya akan balik mukaku untuk mengenal dan mengangkat kamu dari kesengsaraanmu.” Setelah mengucapkan kalimat itu Alceng melambaikan tangannya dan mengucapkan salam terakhir selamat tinggal, lalu ia dengan sedih tunduk dan turun melalui tangga ke dalam tanah dan pintu batu kembali tertutup seperti semula. Saudara-saudaranya menangis di sekitar batu itu, serta mengenang adik Alceng sudah tidak bersama mereka.

3.2 Terjadinya Kampung Tablanusu 2

Setelah berpulangnya orang pertama yang membuat Kampung berbentuk L, yaitu Siriwari Wai, Mandepamen, istrinya, dan Alceng, anak angkatnya ke bawah bumi,

(63)

52

mereka yang tetap tinggal di kampung tersebut bernama Kewasiriwai, Mang Damiwai, dan Mang Syawai.

Dari ketiga bersaudara ini yang dituakan adalah Kewasiriwai sehingga kampung yang berbentuk L buatan Siriwari Wai dapat diberi nama Kewatuyo/Kewayo.

Ketiga saudara tersebut mempunyai tugas masing-masing yaitu Kewasiriwai bertugas menjaga keamanan dan ketertiban kampung. Damiwai mempunyai tugas menjaga dan memimpin seluruh masyarakat dalam hal kehidupan berbakti kepada dewa dan selalu mencari kehidupan yang berhubungan dengan keselamatan jiwa dan tubuh.

Mangsyawai mempunyai tugas untuk menyejahterahkan masyarakatnya melalui sumber daya alam laut untuk dinikmatinya dan ketiga-tiganya bertanggung jawab kepada dewa pencipta.

Dari ketiga bersaudara tersebut berkembanglah manusia penghuni kampung, dari keturunan Kewasiriwai

(64)

53

berkembang marga Soumilena. Mang Damiwai menurunkan marga Danya, sedangkan Mangsyawai menurunkan marga Suwae. Kewasiriwai kawin dengan perempuan dari matahari namanya Susirimeng.

Mangsyawai kawin dengan perempuan yang datang dari laut bernama Sewaimeng. Dari ketiga marga ini saling kawin-mengawini dan berkembang banyak sehingga marga Soumilena dijuluki Neko orode sai orode, marga Danya dijuluki breuda mendada, dan marga Suwae dijuluki bai-bai mera. Julukan ini diberikan oleh karena banyaknya manusia di marga masing-masing. Marga Soumilena, Danya, dan Suwae hidup bertahun-tahun di Kawayo dalam satu kepemimpinan umum. Marga Soumilena menjadi ondoafi umum atau kepala adat, dengan kata lain disebut Yo Warepo.

Manusia mulai berkembang, terbentuklah kampung-kampung, sehingga dari kampung satu

(65)

54

menikah dengan kampung yang lain. Begitulah proses perkembangan manusia. Pada zaman itu seorang perempuan dari marga Soumilena menikah dengan Keyewena dari marga Diawaitouw. Mereka merencanakan untuk mengadakan Metau/pesta adat.

Setelah sepakat, mereka masing-masing mengadakan persiapan. Marga Diawaitou mempersiapkan segala sesuatu dan marga Soumilena mempersiapkan makanan, seperti babi, sagu, Bia Kung, dan alat tari dengan aksesorisnya. Segala persiapan Metau/pesta telah dipersiapkan dan para utusan Ondoafi mengadakan pertemuan untuk menentukan waktu pelaksanaan.

Setelah sepakat masing-masing utusan menyampaikan hal tersebut kepada marganya di kampung.

Setelah tiba saatnya acara tersebut segera dilaksanakan. Orang Tepera onusu dari ketiga marga mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampung Yewena

(66)

55

Dormena dengan membawa persiapan mereka. Mereka meninggalkan para orang tua dan anak-anak. Setelah tiba mereka menyerahkan semua hasil bawaannya kepada marga Diawaitouw kemudian mereka beristirahat makan dan minum. Setelah itu, mereka mempersiapkan alat tarian dan mengenakan di tubuhnya lalu mereka keluar berdansa di halaman marga Diawaitouw selama tiga hari.

Pada hari yang ketiga, sambil menari, mereka melihat ombak besar berguling-guling masuk ke teluk. Ternyata, ombak tersebut dapat menenggelamkan seluruh kampung pertama, Kewayo, dengan manusia dan hewan, sehingga tertinggal hanya beberapa pulau. Pulau itu disebut Kwakepou.

Seluruh kegiatan pesta itu selesai. Mereka pulang berjalan kaki sampai di ayadame/bukit alang-alang di Kampung Teperasuwa. Dari atas tempat tersebut, mereka melihat Kampung Kewayo sudah tidak ada lagi yang ada

(67)

56

adalah pulau-pulau yang terapung. Mereka semua dari ketiga marga Soumilena, Danya, dan Suwae duduk di atas bukit Ayadame. Mereka menangis tersedu-sedu karena mengenang orang tua dan anak-anaknya yang sudah tidak ada lagi. Semuanya telah ditelan oleh ombak ganas itu. Bila mereka pulang tidak akan berjumpa dengan orang-orang yang dikasihinya. Sangat lama mereka duduk dan mengenang semua peristiwa itu.

Akhirnya, mereka terpaksa memilih jalannya sendiri- sendiri, yaitu mereka berpisah satu sama lain. Marga Suwae memanggil kayu hanyut dan mereka berangkat ke barat sampai di Demta. Marga Danya terus ke Bukabo bermukim di Yarokai. Marga Sumilena ke Bitia meko.

Mereka masing-masing bermukim di tempatnya. Sudah sekian lama mereka berpisah satu sama lain. Marga Suwae hidup di antara Ambora dan Yaugpsa, marga

(68)

57

Danya hidup di Bukabo, serta marga Sumilena hidup di Bitiameko dan sekitarnya.

Keluarga marga Suwae dari Demta datang dan tinggal di Sensau kemudian bertemu dengan marga Soumilena dan diajak kembali ke Bitiayo. Demikian juga marga Danya kembali ke Bitiayo dan mereka kembali menjadi satu kampung. Ketiga marga tersebut hidup bersama-sama di bawah satu kepemimpinan adat yaitu marga Soumilena yang menjadi Ondoafi besar/Yo warepo. Mereka kawin-mengawini antara satu sama lain, hidup rukun dan damai di bawah satu kepemimpinan adat (Soumilena).

Perkembangan manusia di kampung kedua Bitiayo. Bitia adalah nama seorang dari marga Soumilena, yaitu Bitia Damiwai sebagai pemimpin kedua setelah Kewasiriwai sehingga nama kampung kedua itu disebut Bitiayo. Penduduk pertama yang menduduki

(69)

58

Kampung Bitiayo adalah Soumilena, Danya, dan Suwae.

Kemudian datanglah seorang dari Kampung Yangsu, ia datang dan bertempat di Budamiwaiye. Ia membawa dua buah harta, yaitu satu Opa (manik-manik nomor satu) yang bernama Opa Domesi dan satu Temaku (batu), Se Domesa. Setelah marga Soumilena menemukannya ia membawanya ke Kampung Bitiayo untuk tinggal dan hidup bersama dengan orang Soumilena. Dia adalah orang pertama dari marga Wambena, kemudian datanglah orang kedua dari marga Somisu yang sementara bertempat di Seinadiya, maka orang Soumilena menemukannya dan mengajak untuk hidup bersama di Kampung Bitiayo, karena Seinadiya adalah dusun sagu tempat makan orang Soumilena. Orang ketiga adalah marga Apaserai. Ia adalah orang Waibron dibawa oleh orang Soumilena menjadi anak angkat di rumah keluarga Soumilena.

(70)

59

Dari marga Danya, seorang perempuan dari marga tersebut kawin dengan marga Serontou (Tablasupa). Suaminya meninggal sehingga anak- anaknya dibawa dan dipelihara oleh keluarga Danya, kini disebut marga Serontou. Kemudian marga Serontou mempunyai anak perempuan yang kawini oleh marga Tekaiwaitou dari Kampung Demoikisi. Suaminya pun meninggal, anak-anaknya dibawa dan dipelihara oleh marga Serontou. Anak-anak tersebut sekarang menjadi marga Yakarimilena. Kemudian seorang perempuan dari marga Serontou dikawini oleh orang Ternate marga Selli.

Namun, kini tetap menjadi marga Selli. Marga Yufuwai adalah saudara dari marga Yakarimilena. Selama berada di Kampung kedua, Bitiayo, perkembangan penduduk menjadi 10 marga. Kesepuluh marga tersebut adalah

1. Soumilena 2. Danya

(71)

60

3. Suwae 4. Wambena 5. Somisu 6. Apaserai 7. Serontou 8. Yakarimilena 9. Yufuwai 10. Selli

Mereka semua hidup dalam satu kepemimpinan adat yang dipimpin oleh suku Soumilena. Begitulah kehidupan mereka dari suku ditambah kedua suku yaitu Wambena dan Somisu menjadi lima suku. Mereka bersatu, berkembang, dan hidup bersama-sama saling mengasihi terhadap satu sama lain penuh dengan sopan santun.

Dengan adanya kampung pertama yang ditelan stunami dan pada akhirnya mereka kembali berkumpul di

(72)

61

kampung kedua Bitiayo. Di situ masyarakat sudah mengenal besi dan pada tahun 1911 injil mulai masuk sehingga mengalami perubahan dan masa transisi dimana masyarakat mulai percaya kepada Injil dan Yesus sang Maha Kuasa. Pada tahun 1944 dimana terjadinya Perang Dunia II, masyarakat mengalami kekerasan dari Jepang, karena mau menyelamatkan diri dari perang, maka mereka mulai mengungsi ke kampung yang sekarang ini atau kampung Tablanusu. Alasannya karena kampung tersebut merupakan dusun bagi masyarakat berkebun dan mencari untuk mempertahankan hidup sehari-hari.

Selesai perang tahun 1946, Jepang akhirnya menyerah kepada sekutu, masyarakatnya masih hidup terpencar, akhirnya sudah merasa aman maka orang-orang tua mau kembali ke kampung Bitiayo, tetapi ada pertimbangan- pertimbangan bahwa pada pagi hari masyarakat pergi ke kebun di dusun, mereka harus melawan arus angin darat

(73)

62

dan musim ombak yang begitu kencang serta mengakibatkan arus yang begitu kuat. Dengan adanya pertimbangan itu, maka Korano pada masa itu berdiskusi dengan masyarakat dan memutuskan bahwa mereka harus membuka perkampungan baru di dusun mereka sendiri untuk menghindari beratnya medan dan cuaca di laut. Sehingga masyarakat mendiami dusun mereka sampai sekarang ini atau biasa disebut Kampung Tablanusu.

(Diceritakan dan ditulis kembali oleh Petrus B.

Soumilena)

3.3 Asal Mula Pohon Kelapa

Pada zaman batu ada beberapa kampung saja permukiman di pesisir pantai. Mereka hidup saling akrab antara kampung satu dengan kampung yang lain. Pada waktu meninggalnya seorang Ondoafi di Kampung Kayu

(74)

63

Pulau, sebelum orang Kayu Pulau pindah dan tinggal di Pulau Kampung pertama di Pasekai (sekarang disebut Paneskan, kemudian disebut dengan Bayangkara).

Mereka menguburkan Ondoafi Kayu Pulau dari marga Sibi di Kampung Pasekai ini. Dari kubur itulah tumbuh kelapa bercabang dua. Cabang yang satu buahnya hijau dan cabang yang lain buahnya kuning mas.

Kelapa ini dijaga dan dipelihara sampai menghasilkan buahnya. Orang Kayu Pulau melihat pohon bercabang dua dan buahnya berbeda warnanya. Mereka sangat heran, maka berita itu tersebarlah ke kampung lain di pesisir pantai depon sero utara, termasuk Kampung Kewayo, Tepranusu. Masyarakat dari kampung-kampung datang mengamatinya. Mereka juga heran, lalu mereka berkata kepada orang Kayu Pulau, ”Bila sudah tua buahnya kami ingin mendapatkannya.”

(75)

64

Keinginan untuk memperoleh buah kelapa tersebut sangat diperhatikan oleh orang Kayu Pulau. Mereka sepakat untuk menjaga dan menyimpan kelapa itu sampai tunas. Kemudian mereka akan membuat pesta adat, lalu membagi-bagikan kelapa-kelapa tersebut. Orang Kayu Pulau menjaga dan mengumpulkan buah kelapa, jumlahnya sudah banyak, lalu mengundang orang kampung-kampung lain datang untuk mengambil kelapa- kelapa tersebut.

Ketika sudah tiba waktunya, mereka mengadakan pesta adat. Mereka membunyikan tifa selama tiga hari.

Datanglah para undangan dari kampung-kampung.

Keluarga Soumilena datang dari kampung Kewayo sebagai utusan dalam acara pesta tersebut. Pesta adat tersebut selesai pada hari yang ketiga. Setelah pesta usai pada pagi hari ketiga, orang Kayu Pulau mulai membagi kelapa tersebut. Dari kampung Kewayo, keluarga

(76)

65

Soumilena memperoleh empat buah kelapa yang sudah tunas, dua warna hijau, dan dua warna kuning emas.

Setelah itu mereka kembali ke kampung masing-masing.

Marga Soumilena pulang dan menanam empat pohon itu. Setelah ditanam mereka menjaga sampai berbuah.

Orang Kewayo membuat acara adat untuk makan bersama buah kelapa tersebut. Buah pertama mereka kuliti, tetapi mereka takut melihatnya karena tempurungnya menyerupai tengkorak manusia. Mereka kemudian membelahnya dan merasakan airnya, dan ternyata terasa manis. Kemudian isinya mereka makan, rasanya enak sekali. Di antara orang-orang tersebut, banyak yang takut memakannya, sehingga hanya sebagian orang yang memakannya. Lama-kelamaan, seluruh penduduk merasa memiliki kelapa ini sebagai satu tumbuhan yang memberikan manfaat bagi kehidupan keluarga. Bagian pohon kelapa tersebut, baik

(77)

66

daun, buah, kulit, maupun tempurung dapat dipergunakan untuk bahan kerajinan. Selain itu, bagian lain, misalnya airnya dapat dipergunakan sebagai obat bagi manusia.

Oleh karena itu, marga keturunan Soumilena mendapat pesan dari nenek moyangnya untuk

 menjaga dan memelihara pohon kelapa mulai ditanam sampai berbuah,

 buah kelapa jangan dibelah-belah, tetapi dipotong atau dikuliti dengan baik dan rapi,

 setelah buahnya dimakan kulitnya dikumpulkan dengan rapi di bawah pohonnya dan tidak dihambur-hamburkan, dan

 keluarga besar Soumilena dijuluki berenda sebagai buah kelapa banyaknya orang mendada.

(Diceritakan dan ditulis kembali oleh Petrus B.

Soumilena)

(78)

67

3.4 Serekumai

Setelah kampung pertama, Kewayo, dihancurkan oleh gelombang besar, masyarakat membuka kampung kedua, Bitiayo. Di kampung kedua ini, ada satu keluarga yang bermukim di atas puncak Gunung Bitiameko. Keluarga ini mempunyai tiga orang anak, yaitu dua laki-laki dan seorang perempuan. Bapak dari ketiga anak ini pekerjaannya petani. Ia selalu berkebun dan memperoleh hasil cukup banyak, lalu ia bagi-bagikan kepada tetangganya.

Dari ketiga anak ini, di antaranya ada satu yang sangat nakal. Bila hasil kebun dibawa sampai di rumah, sebahagiannya hilang. Melihat keadaannya seperti itu, maka sang ibu berusaha menyembunyikan makanan berupa pisang dan tebu di dalam tempayan. Pada suatu hari bapak, ibu, dan kedua anak laki-laki dan perempuan ikut ke kebun. Anak laki-laki nakal ini tinggal di rumah.

Referensi

Dokumen terkait

halama aman terse n tersebut a but ad dal alah ah manual manual book yang sedang anda cari,. book yang sedang

Ayat (1)Berdasarkan ketentuan huruf a dari ayat ini pemberian kenaikan gaji berkala kepada pegawai harus didasarkan atas penilaian kecakapan kerja pegawai yang bersangkutan

Di sisi lain ada persoalan yang fundamental terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama terkait dengan ketergantungan manusia terhadap

[r]

Strategi pengelolaan kesejahteraan (prosperity approach) 12 pulau kecil terluar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah dapat mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia dengan

Pengaturan Jendela dengan Easy Arrange (Penyusunan Mudah) | 9 Jika Anda menggunakan beberapa monitor di larik atau matriks, tata letak Easy Arrange (Penyusunan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pemberian asupan ikan gabus terhadap peningkatan albumin dan penyembuhan luka pada pasien post SC di RSUD dr.. Metode

Pengetahuan berhubungan dengan perilaku, dan perilaku yang dilandasi pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan 5 .Di posyandu desa