BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKebutuhan energi yang terus meningkat dan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam menjadi pendorong bagi manusia untuk mencari sumber energi alternatif. Badan Energi Dunia memperkirakan bahwa tingkat konsumsi energi di seluruh dunia akan meningkat 45% di tahun 2030 (Anonim, 2014). Upaya pencarian sumber energi mengarah pada sumber energi terbarukan yang salah satunya adalah pemanfaatan energi matahari untuk membuat sel surya yang dapat merubah energi matahari menjadi energi listrik.
Suplai energi surya yang diterima oleh permukaan bumi mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. (Yuliarto, 2006).
elektron sebagai pembawa muatan pada material semikonduktor kemudian mengalir menuju elektroda lawan lalu menghasilkan efek fotolistrik.
Hingga saat ini terdapat beberapa jenis sel surya yang berhasil dikembangkan oleh para ilmuwan untuk mendapatkan divais sel surya yang memiliki efisiensi yang tinggi serta murah dan mudah dalam pembuatannya. Tipe pertama yang berhasil dikembangkan adalah jenis wafer (sistem berlapis) silikon kristal tunggal. Tipe ini dalam perkembangannya mampu menghasilkan efisiensi yang sangat tinggi, yaitu mencapai 24,7% (Green et al., 2000). Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengembangan silikon kristal tunggal untuk dapat diproduksi secara komersial adalah harga yang sangat tinggi disebabkan menggunakan silikon kristal tunggal yang murni. Hal ini membuat para ilmuwan terus meneliti penggunaan semikonduktor lain yang lebih murah biaya produksinya.
Jenis sel surya yang kedua adalah tipe wafer silikon polikristal. Saat ini, hampir sebagian besar panel sel surya yang beredar di pasar komersial berasal dari screen printing jenis silikon polikristal ini. Wafer silikon polikristal dibuat dengan cara membuat lapisan-lapisan tipis dari batang silikon dengan metode wire-sawing. Jenis sel surya tipe ini memiliki harga pembuatan yang lebih murah meskipun tingkat efisiensinya lebih rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal (Yuliarto, 2008).
Kedua jenis wafer silikon di atas dikenal sebagai generasi pertama dari sel surya yang memiliki ketebalan pada kisaran 180-240 mikrometer. Divais sel surya ini dalam perkembangannya telah mampu mencapai usia aktif mencapai 25 tahun (West, 2003). Modifikasi sel surya untuk meminimalisir biaya pembuatan juga dilakukan dengan membuat pita silikon, yaitu dengan membuat lapisan dari cairan silikon dan membentuknya dalam struktur multi kristal. Meskipun tipe sel surya pita silikon ini memiliki efisiensi yang lebih rendah (13-15%), tetapi biaya produksinya juga lebih rendah mengingat silikon yang terbuang dalam bentuk cairan silikon akan lebih sedikit (Yuliarto, 2008).
Generasi kedua sel surya adalah sel surya tipe lapisan tipis (thin film solar
cell). Ide pembuatan sel surya lapisan tipis ini adalah untuk mengurangi biaya
bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan baku untuk tipe silikon wafer. Efisiensi tertinggi saat ini yang bisa dihasilkan oleh jenis sel surya lapisan tipis ini adalah sebesar 19,5% yang berasal dari sel surya Copper Indium Gallium
Selenide, CIGS (Brabec et al., 2001). Keunggulan lain sel surya tipe lapisan tipis
ini adalah semikonduktor sebagai lapisan sel surya bisa dideposisi pada substrat yang lentur sehingga menghasilkan divais sel surya yang fleksibel. Kedua generasi dari sel surya ini masih mendominasi pasaran sel surya di seluruh dunia (Yuliarto, 2008).
Penelitian agar harga sel surya menjadi lebih murah selanjutnya memunculkan generasi ketiga dari jenis sel surya ini yaitu tipe sel surya polimer atau disebut juga dengan sel surya organik dan tipe sel surya fotoelektrokimia. Sel surya polimer dibuat dari bahan semikonduktor organik seperti polyphenylene
vinylene dan fuleren. Berbeda dengan tipe sel surya generasi pertama dan kedua
yang menjadikan pembangkitan pasangan elektron dan hole akibat adanya foton dari sinar matahari sebagai proses utamanya, pada sel surya generasi ketiga ini foton yang diterima divais membangkitkan eksiton. Eksiton kemudian berdifusi pada dua permukaan bahan konduktor (yang biasanya direkatkan dengan bahan semikonduktor organik yang berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan muatan dan akhirnya menghasilkan efek foto arus (photocurrent) (Brabec et al., 2001).
elastisnya sehinga mudah dibawa kemana saja. Sel surya organik juga dapat didesain transparan sehinga dapat dipasang sebagai asesoris pada jendela bangunan (Nurosyid, 2014).
Sel surya organik berbasis polimer menggunakan bahan polimer terkonjugasi yang bersifat semikonduktif. Bahan polimer atau organik semikonduktif tersebut digunakan sebagai lapisan aktif dalam sel surya dan merupakan material yang kaya akan donor elektron dan akseptor elektron. P3HT atau poly(3-hexyltiophene) merupakan turunan polytiophene yang saat ini sering digunakan sebagai lapisan aktif dan dicampur dengan PCBM
([6,6]-phenyl-C61-butyric acid methyl ester). Kedua material tersebut mempunyai band gap yang
rendah (1,9-2,2 eV), memiliki daya penyerapan yang tinggi di daerah UV, dan cenderung bersifat stabil (Rossa, 2013).
Dalam proses pembuatannya, kedua material tersebut dicampur membentuk komposit film dengan menggunakan struktur bulk heterojunction. Struktur bulk
heterojunction dianggap lebih efisien dalam proses transfer muatan di dalam film
dibandingkan dengan struktur bilayer heterojunction karena memiliki lebar difusi yang pendek sehingga mempermudah terjadinya difusi di daerah interface. Efisiensi tertinggi sel surya polimer mencapai 6,5%. Umumnya sel surya polimer dibuat menggunakan teknik deposisi larutan seperti spin coating, screen printing,
doctor blade, inkjet printing, dan spray. Teknik-teknik tersebut mampu
mengurangi biaya produksi dan lapisan semikonduktor dapat dideposisikan di atas substrat yang fleksibel karena tidak memerlukan proses pada suhu yang tinggi (Rossa, 2013).
Peningkatan kinerja sel surya organik dapat dilakukan dengan melakukan kontrol terhadap morfologi lapisan aktif, salah satunya dengan melakukan variasi terhadap pelarut yang digunakan untuk membuat prekursor lapis tipis. Ibrahim et
al. (2005) telah melakukan kajian tentang pengaruh pelarut dan pemanasan
Kendala yang dihadapi para ilmuwan adalah keterbatasan model yang menggambarkan beragam mekanisme yang terjadi di dalam divais, yang menyebabkan efisiensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan divais serupa yang dibuat dengan bahan anorganik. Model semacam ini diperlukan sebagai panduan dalam pembuatan divais fotovoltaik berbasis bahan organik. Idealnya, semua foton terserap oleh divais, salah satu caranya adalah dengan membuat divais dengan lapisan organik yang cukup tebal. Masalah akan muncul pada divais dengan lapisan yang terlalu tebal, diantaranya rekombinasi elektron-hole dapat terjadi dengan mudah, sehingga elektron-hole tidak dapat mencapai masing-masing elektroda (Pratiwi, 2005). Oleh karena itu, pada penelitian akan dibandingkan sel surya organik 1 lapis dan 2 lapis.
Secara teoritis, semakin banyak foton yang terserap pada divais sel surya, maka semakin tinggi kinerja sel surya tersebut. Selama ini belum dilaporkan secara kuantitatif efek dari banyaknya sinar yang ditransmisikan pada sel surya, sehingga pada penelitian ini dikaji pula pengaruh intensitas cahaya untuk meningkatkan efisiensi sel surya.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain:
1. Melakukan preparasi sel surya berbasis senyawa organik PCBM:P3HT
2. Mengkaji pengaruh pemanasan (thermal annealing) terhadap kemampuan serapan sel surya
3. Mengkaji kinerja sel surya dengan sistem 1 lapis dan 2 lapis
4. Mempelajari karakteristik sel surya dan pengaruh daya masukan (P in) terhadap nilai efisiensi sel surya
1.3 Manfaat Penelitian