• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Gereja adalah persekutuan umat beriman yang percaya kepada Kristus. Sebagai sebuah persekutuan iman, umat beriman senantiasa mengungkapkan dan mengekspresikan imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi Gereja lainnya menjadi sempurna di dalam perayaan Ekaristi.

Di dalam Gereja terdapat berbagai kegiatan liturgi tetapi Ekaristi menempati posisi yang teratas karena Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup kristiani.1 “Gereja menampakkan dan menghadirkan Yesus Kristus dan karya penebusan-Nya secara khusus dan nyata dalam dan melalui Ekaristi. Di dalam perayaan Ekaristi, seluruh misteri kehidupan bersama dengan Allah dan manusia yang mengalami kepenuhannya di dalam Kristus, dirayakan dan dihadirkan bagi umat beriman”.2 Dalam perayaan Ekaristi, semua kegiatan yang lain memperoleh sumber rahmat dan kekuatannya, dan sekaligus terarah atau mengalir kepadanya.

Imam dan awam adalah orang-orang beriman. Mereka memiliki iman yang satu dan sama, tetapi mereka mewujudkan imannya di wilayah masing-masing. Para imam adalah anggota hirarki Gereja. Fungsi hirarki adalah untuk mempersatukan jemaat agar dapat menjadi suatu persekutuan seluruh umat beriman. Tugas pengutusan hirarki ini dilaksanakan dalam beberapa bidang: pewartaan Sabda Allah, pelayanan liturgi dan sakramen, dan pendampingan pastoral bagi umat beriman. Awam pun mengemban tugas pengutusan yang sama, namun wilayah kerja mereka biasa lebih luas, yakni “menggarami” kehidupan manusia

1 Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, Lumen Gentium, (21 November 1964), dalam: R. Hardawiryana, SJ, (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993), No. 11. Kutipan selanjutnya disingkat LG dan diikuti dengan nomornya.

2 E. Martasudjita, Pr, Sakramen-Sakramen Gereja; Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 266.

(2)

dan dunia dengan iman kristiani. Secara khusus awam dapat melibatkan diri dalam kegiatan gerejawi: liturgia, kerigma, koinonia, diakonia, dan martiria. Maka mereka yang ditahbiskan dan tidak ditahbiskan perlu berbagi tugas dan bekerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing.3

Dalam ensiklik Ecclesia De Eucharistia artikel 32 dikatakan bahwa paroki-paroki adalah jemaat orang terbaptis, yang mengungkapkan dan menegaskan identitas mereka terutama lewat perayaan kurban Ekaristi. Namun hal ini menuntut kehadiran seorang imam, satu-satunya yang dipilih mempersembahkan Ekaristi dalam pribadi (atas nama) Kristus.4 Di sini jelaslah bahwa umat tidak dapat merayakan Ekaristi sekalipun mereka mempunyai kerinduan yang kuat akan Ekaristi. Ekaristi hanya dapat dirayakan dan dipersembahkan oleh imam karena imamlah yang memperoleh kewenangan untuk memimpin perayaan Ekaristi.

Setiap imam, lebih dari umat beriman lainnya, membawa pribadi Kristus sendiri dalam diri, dalam hidup, dan dalam karya pelayanannya terhadap Tuhan dan sesama. Inilah pilar utama yang merupakan „kelebihan dan „keistimewaan‟ jati diri seorang imam. Dengan tahbisan suci, ia dijadikan serupa dengan Kristus, Kepala dan Gembala Gereja dan menyesuaikan hidupnya dengan misi atau pelayanan khususnya sebagai imam.

Pada prinsipnya, setiap orang beriman, baik imam maupun awam telah menyandang dalam dirinya sebuah jabatan imamat. Imamat umum yang disandangnya ini diperoleh melalui penerimaan Sakramen Permandian. Dengan menerima sakramen ini, semua umat beriman turut mengambil bagian dan berpartisipasi pada satu-satunya imamat Perjanjian Baru yaitu Imamat Yesus Kristus. Berkat imamat umum itu, seluruh orang kristen mengemban tugas perutusan Gereja untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan tugas kepengantaraan

3 C. H. Suryanugraha, OSC, Awam Perlu Imam, Imam Perlu Awam, dalam Kerja Sama Imam- Awam, Pada Liturgi Vol. 21 No. 6 November-Desember, (Komlit KWI, 2010), hal. 6.

4 Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Ecclesia De Eucharistia, Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja-Gereja, dalam: Anicetus B. Sinaga, (Penerj.), (Jakarta: Dopken KWI, 2004). No.32. Kutipan selanjutnya disingkat EE dan diikuti dengan nomornya.

(3)

dan penyelamatan Yesus Kristus sebagai imam, nabi dan raja.5 Akan tetapi, di tengah mereka ada sekelompok orang yang dipilih sebagai pemimpin dan gembala. Mereka itu mengambil alih sebagian dari tugas para rasul. Mereka terutama mempunyai tugas dan wewenang untuk mempertahankan warisan ajaran para rasul secara murni dan mempersatukan mereka yang dahulunya bukan umat menjadi umat Allah dan Tubuh Kristus, teristimewa dalam dan melalui Ekaristi. Mereka itu mengambil bagian dalam imamat Kristus dengan menjadi serupa dengan Kristus selaku kepala dan gembala umat-Nya. 6

Dalam hubungannya dengan itu, Konsili Vatikan II menyebut kesamaan dan perbedaan antara imamat umum dan imamat khusus sebagai berikut:

“Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakikatnya dan bukan hanya tingkatnya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu Imamat Kristus. Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya, imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimamam. Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengikraran diri serta cinta kasih yang aktif”.7

Hakekat panggilan imamat adalah mengikuti jejak hidup Kristus dan menjalankan tugas perutusan-Nya. Karena itu, seorang imam ada bukan untuk dirinya sendiri sebab dia dipanggil dan diutus sehingga bukan dirinya sendiri yang penting, melainkan Kristus yang memanggil dan mengutusnya. Tanpa Kristus, seorang imam kehilangan jati diri dan makna panggilan serta perutusannya, “Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).8 Artinya, melalui tahbisan suci, imam disatukan dengan Kristus secara istimewa dan secara istimewa pula ia dimasukkan dalam misteri Tritunggal. Inilah jati dirinya sebagai imam.

Karena itu ia harus mewartakan dan menghadirkan Kristus serta karya keselamatan-Nya, bukan sebaliknya mewartakan dan menghadirkan dirinya sendiri. Dia (imam), tidak

5 E. Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi; Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 218-219.

6 Georg Kirchberger, Allah Menggugat; Sebuah Dogmatik Kristiani, (Maumere: Ledalero, 2007), hal. 605-606.

7 LG. No. 10.

8 Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 121.

(4)

membawa pesan dari dirinya sendiri sebab dirinya hanyalah utusan, hamba dan pelayan karya Kristus. Untuk hal ini rasul Paulus berkata kepada jemaat di Korintus: “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasehati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu; berikanlah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:20).

Seorang imam adalah pelayan Kristus, yang melayani sabda dan tindakan kasih penyelamatan Kristus. Berkat tahbisan suci yang diterimanya dari tangan Uskup, ia bertindak dalam nama Kristus. Karena itu, imam tidak mewartakan diri sendiri melainkan iman Gereja dan dalam iman itu, Tuhan Yesus sendiri. Imamat bukanlah sekadar suatu status atau profesi.

Karena jika dipahami demikian maka ruang sakral dalam hidup dihilangkan dan pelayanan sabda dan kurban dalam liturgi diabaikan.9

Ekaristi adalah sakramen Allah yang paling nyata dan mendasar bagi kehidupan Gereja. Tanpa imam, sakramen keselamatan ini tidak bisa dirayakan, bahkan tanda keselamatan tersebut tidak bisa dihadirkan di tengah dunia, sebagai karya Kristus yang masih berlangsung terus-menerus hingga saat ini. Karena itu, hanya imamlah yang dapat memimpin Ekaristi dan memimpinnya dalam (atas nama) pribadi Kristus. Melalui Sakramen Tahbisan, imam diberi kuasa suci dan wewenang untuk memimpin Ekaristi dalam (atas nama) pribadi Kristus (in persona Christi). Karena itulah Paus Pius XII dalam pengarahannya kepada para Uskup pada 2 November 1958 menegaskan bahwa pekerjaan khusus dan utama dari seorang imam adalah selalu merayakan Ekaristi.

Menyadari hubungan yang tak terpisahkan antara Ekaristi, Imamat dan Gereja, maka Paus Yohanes Paulus II terdorong untuk mengeluarkan sebuah ensiklik pada tanggal 17 April 2003 dengan nama ensiklik Ecclesia De Eucharistia. Dasar refleksinya adalah Ekaristi lahir dari misteri Paskah dan diberikan kepada Gereja. Karena itu Ekaristi adalah jantung hidup

9 Ibid., hal. 123.

(5)

Gereja dan “harta milik Gereja yang paling berharga”10 sehingga harus dijaga dari segala hal yang akan mengancam keberadaannya. Gereja harus menolak segala praktek dan ajaran yang akan melucuti makna Ekaristi yang sebenarnya. Dengan demikian, Ekaristi akan terus bersinar dalam seluruh misterinya yang cemerlang.11

Salah satu hal penting yang diangkat Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik ini adalah Ekaristi hanya dapat dipersembahkan oleh imam tertahbis karena ia bertindak dalam pribadi Kristus saat mewujudkan Kurban Ekaristi.12 Dalam hubungannya dengan tujuan dikeluarkannya ensiklik ini, maka jelaslah bahwa imam pun mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan menjauhkan Ekaristi dari segala praktek yang akan menghilangkan makna Ekaristi yang sebenarnya. Dikatakannya bahwa para imam memang terlibat dalam sangat banyak kegiatan pastoral yang bersentuhan langsung dengan keadaan sosial dan budaya dunia modern. Keadaan ini sangat nyata akan turut mempengaruhi kehidupan para imam sehingga mereka menghadapi resiko kehilangan pusat perhatian di tengah ragam begitu banyak tugas. Untuk itu, para imam harus menyadari bahwa kehidupan imamat mereka mengalir dari Kurban Ekaristi yang mereka rayakan. Dengan merayakan Ekaristi setiap hari, para imam akan menemukan pusat sejati hidup dan pelayanan mereka dalam mengolah pelbagai tanggung jawab pastoral yang mereka embani.13 Dengan cara demikian, para imam akan sanggup mengatasi tegangan-tegangan harian, yang mungkin akan membuyarkan pemusatan perhatian mereka akan misteri Ekaristi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat tema penting ini yang menjadi jati diri seorang imam di bawah judul, “Kesejatian Imam Yang Bertindak In Persona Christi Melalui Pelayanan Sakramen Ekaristi dalam Terang Ensiklik Ecclesia De Eucharistia No. 29” (Sebuah Tinjauan Teologis).

10 EE. No. 9.

11 EE. No. 10.

12 EE. No. 29.

13 EE. No. 31.

(6)

1.2 Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis berusaha merumuskan beberapa pokok persoalan yang menjadi pokok pembahasan tulisan ini, yakni:

1. Siapa itu imam?

2. Di manakah letak kesejatian imam?

3. Apa itu Ekaristi?

4. Apa peran imam dalam Ekaristi?

5. Bagaimana ensiklik Ecclesia De Eucharistia nomor 29 meninjau kesejatian imam yang bertindak in persona Christi dalam pelayanan Sakramen Ekaristi?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah untuk membangun suatu pemahaman yang mendalam akan kesejatian imam yang bertindak in persona Christi melalui pelayanan Sakramen Ekaristi. Bagaimana seorang imam dapat bertindak in persona Christi dalam pelayanannya? Dengan ini, penulis mau menghadirkan kembali hal yang sangat mendasar bahwa dalam merayakan Ekaristi, imam bertindak in persona Christi.

Sakramen Ekaristi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Imamat. Ekaristi adalah alasan yang prinsipial dan sentral dari adanya imamat. “Sakramen Imamat atau Tahbisan ada dan diadakan demi Ekaristi. Seorang ditahbiskan terutama dan yang terpokok ialah untuk Ekaristi. Singkatnya, seorang ditahbiskan menjadi imam agar ia meminpin Ekaristi sehingga ia hidup dari dan untuk Ekaristi”. Pelayan yang dapat bertindak selaku pribadi Kristus (in persona Christi) dalam melaksanakan Sakramen Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah.

(7)

1.4 Kegunaan Penulisan

1.4.1 Bagi Seluruh Umat Katolik

Melalui tulisan ini, sangat diharapkan agar umat Allah menyadari bahwa imam adalah abdi Allah. Allah memilihnya dari antara mereka untuk menyalurkan rahmat-Nya kepada umat Allah dalam nama Kristus. Umat semakin memahami bahwa dalam pelayanan sakramen-sakramen Gereja terutama dalam Sakramen Ekaristi, imam tidak bertindak atas namanya sendiri tetapi bertindak dalam nama Kristus.

1.4.2 Bagi Para Imam

Diharapkan agar melalui tulisan ini para imam sungguh-sungguh menyadari bahwa mereka adalah imam Allah yang selalu menyalurkan rahmat Allah kepada manusia dalam pribadi Kristus. Tahbisan suci yang telah diterimanya itu sungguh-sungguh mempersatukannya dengan Kristus sehingga Ekaristi yang dirayakannya adalah selalu dirayakannya dalam pribadi Kristus. Dengan demikian, segala kecenderungannya untuk bertindak di luar Kristus akan diatasi.

1.4.3 Bagi Para Seminaris

Para seminaris adalah calon-calon imam yang sedang mempersiapkan diri mereka dengan berbagai hal demi pelayanan mereka di masa yang akan datang. Sangat diharapkan agar melalui tulisan ini para seminaris sungguh memahami jati diri seorang imam yang bertindak in persona Christi dalam karya pelayanan mereka terlebih dalam merayakan Ekaristi. Dengan demikian, para seminaris semakin teguh di jalan panggilannya dan semakin menjadikan Ekaristi sebagai jantung hidup mereka.

(8)

1.4.4 Bagi Penulis

Penulis adalah calon imam. Semoga tulisan ini membantu dan mendorong penulis untuk memahami jati diri imam dalam merayakan Ekaristi. Penulis semakin memahami dan menyadari bahwa imam adalah utusan Allah yang telah diurapi dengan meterai suci untuk bertindak dalam pribadi Kristus (in persona Christi) dalam pelayanan Sakramen Ekaristi.

1.5 Metode Penulisan

Dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan mencari informasi lewat dokumen-dokumen Gerejawi, buku-buku, majalah-majalah, dan materi-materi kuliah yang berhubungan dengan judul penulisan di atas dan menguraikannya dalam suatu pemikiran yang logis.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis berusaha mengemukakan jati diri imam yang bertindak in persona Christi melalui pelayanan Sakramen Ekaristi. Tulisan ini dibagi dalam empat

bagian pokok (IV Bab). Dalam Bab I, pendahuluan, penulis mengulas tentang latar belakang yang menjadi alasan bagi penulis dalam pemilihan judul. Penulis juga sedikit menguraikan tentang jati diri imam yang ideal. Bab II, penulis membahas khusus tentang Ekaristi. Bab III, penulis membahas tentang jati diri imam dalam hubungannya dengan Ekaristi. Selanjutnya dalam Bab IV, penulis menguraikan tentang jati diri imam yang bertindak in persona Christi melalui pelayanan Sakramen Ekaristi.

Referensi

Dokumen terkait

Soft Starting adalah rangkaian elektronika daya yang memiliki kemampuan untuk mengatur besar tegangan keluaran, sehingga dapat digunakan sebagai metode pengasutan

Oleh karena itu kami Himpunan Mahasiswa Program Studi S1 Industri Perjalanan Wisata Bidang Kesejahteraan Mahasiswa berinisiatif membuat acara ini sehingga dapat

merosot jauh yang dahulunya hampir satu Desa Karng Kuten sekarang hanya tinggal satu dusun saja yang masih bertahan membuat anyaman bambu itupun hanya 27

Misalnya jika ada suatu masalah yang timbul didalam suatu kelas, maka seorang konselor harus  berperan untuk dapat membantu menyelesaikan masalah yang sedang

Sumber : Data Statistik Curah Hujan Maksimum Tahunan Hasil perhitungan parameter statistik tersebut menentukan bahwa jenis distribusi yang digunakan dalam analisis curah

Setelah dilakukan wawancara terhadap beberapa anak ternyata salah satu faktor penyebab hasil belajar mereka rendah salah satunya dikarenakan pola asuh orang tua

Nasabah menyadari bahwa dalam kondisi Obligasi yang dimiliki dijual lebih awal sebelum tanggal jatuh tempo, maka harga Obligasi tersebut mungkin menjadi lebih rendah