6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar
Belajar adalah bagian ilmu pendidikan yang berkaitan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi yang sifatnya eksplisit ataupun implisit (Sagala, 2010, hal. 11). Sementara Hamdani (2011, hal. 21) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan. Misalnya, dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan sebagainya. Selain itu, belajar akan lebih baik jika subjek belajar mengalami atau melakukannya. Jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan individu sebenarnya merupakan rangsangan–rangsangan individu yang dikirim padanya oleh lingkungan.
Belajar adalah suatu aktivitas sadar yang dilakukan seseorang dengan sengaja untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga mengakibatkan perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa maupun dalam bertindak (Susanto, 2013, hal. 4). Morgan dalam Suprijono (2009, hal. 2) menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Belajar adalah perubahan tingkah laku.
2. Perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan.
3. Perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Dengan kata lain belajar adalah tindakan sadar yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan perubahan perilaku sesuai yang ia inginkan melalui sebuah proses interaksi dengan lingkungannya.
Driver dalam Leo Sutrisno, dkk (2007, hal. 2-2) menyatakan bahwa ada tiga teori belajar dari psikologi kognitif yang mempengaruhi pendidikan IPA. Ketiga tradisi itu adalah tradisi:
1. Behaviorisme
Sagala (2010, hal. 42-43) menyebutkan bahwa unsur-unsur penting dalam behaviorisme antara lain perangsang-jawaban (stimulus-respon), pengkondisian yang diberikan kepada perangsang (conditioning), dan penguatan terhadap respon (reinforcement).
2. Developmental
Piaget merupakan pelopor dan pengembang utama tradisi developmental. Tahap-tahap perkembangan intelektual menurut Piaget (Sutrisno, Leo, Kresnadi, & Kartono, 2007, hal. 2-9) antara lain:
a) sensori-motor (umur 0-18 bulan)
Merupakan tahap preverbal. Objek hanya ‘ada’ jika berada pada jangkauan perseptual (yang terlihat). Benda-benda yang tidak terlihat oleh anak hanya ditetapkan secara acak (meraba-raba, tiba-tiba menyentuh sesuatu, lalu diarahkanlah matanya kebenda tersebut). b) pra-operasional (umur 18 bulan-7/8 tahun)
Menandai awal dari bahasa yang terorganisasi, permulaan dari fungsi-fungsi simbolik, dan hasilnya adalah berkembanglah suatu pikiran. Anak belum berpikir logis, sehingga tidak dapat mejelaskan dalam bentuk implikasi. Mereka berorientasi pada tujuan yang sederhana. Anak lebih banyak mencoba-coba secara acak dan berhasil. Mereka belum memiliki koordinasi antar variabel, sehingga mereka kesulitan memahami bahwa setiap objek memiliki sifat-sifat yang khas.
c) operasional konkret (umur 7/8 tahun-11/12 tahun)
Anak sudah bisa berpikir konkret/nyata dan logis yang elementer, misalnya mengelompokkan, merangkaikan sederetan objek, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Konsep reversibilitas mulai berkembang. Pada mulanya bilangan, kemudian panjang, luas, dan volume. Anak masih berpikir tahap demi tahap tetapi belum dihubungkan satu dengan yang lain.
d) abstrak atau hipotetis-deduktif (umur 11/12 tahun ke atas)
Anak mulai berpikir secara deduktif-hipotetis. Mereka mulai berpikir sesuatu berdasarkan pada kemungkinan logis, sistem kombinatoris, dan unifikasi operasi ke dalam suatu struktur yang menggambarkan keseluruhan. Kita telah mampu berpikir seperti cara berpikirnya orang dewasa/ilmuwan.
3. Konstruktivisme
Konstruktivisme bisa dikatakan sebagai salah satu perkembangan model pembelajaran mutakhir (kontemporer) yang mengedepankan aktivitas peserta didik dalam setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuan sendiri. Pembelajaran konstruktivisme memungkinkan tersedianya ruang yang lebih baik bagi keterlibatan peserta didik, memungkin peserta didik menggali secara lebih dalam kemampuan, potensi, keindahan dan sikap perilaku yang terbuka (Cahyo, 2013, hal. 52). Salah satu komponen penting dalam konstruktivisme adalah pengetahuan awal (prior knowledge) siswa. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awalnya (Sudrajat, 2013).
Menurut Sagala (2010, hal. 88) dalam konstruktivisme pengetahuan bukan hanya fakta, konsep atau akidah yang ada untuk diambil dan diingat, sebaliknya manusia membangun sendiri pengetahuan itu dan mendapatkan maknanya melalui pengalaman nyata. Dengan memakai teori ini, siswa tidak lagi diposisikan sebagai bejana kosong yang siap diisi atau dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi.
B. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh seseorang setelah mengalami aktivitas belajar yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran (Anni, 2009, hal. 5). Hasil belajar dapat digunakan sebagai
indikator keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Tak heran jika banyak guru yang ingin meningkatkan hasil belajar siswa untuk membuktikan keberhasilan proses pembelajarannya.
Bloom dalam Sutrisno (2007, hal. 59) menggolongkan hasil belajar ke dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual. 2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.
3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak.
Sedangkan Susanto (2013, hal. 6) menggolongkan hasil belajar menjadi 3 macam, yaitu:
1. Pemahaman konsep
Seseorang dikatakan telah memahami konsep jika memiliki pemahaman suatu konsep atau citra mental tentang suatu objek yang konkret atau gagasan yang abstrak. Pengukuran pemahaman konsep dapat dilakukan dengan evaluasi produk yang dilaksanakan dengan mengadakan berbagai macam tes lisan atau tertulis. (Susanto, 2013, hal. 8-9)
2. Keterampilan proses
Usman dan Setiawati (1993) dalam Susanto (2013, hal. 9) mengungkapkan bahwa keterampilan proses meliputi pembangunan kemampuan mental, fisik, dan sosial yang menjadi dasar untuk menggerakkan kemampuan yang lebih tinggi dalam diri siswa. Tujuan belajar dari pendekatan keterampilan proses adalah memperoleh pengetahuan suatu cara untuk melatih kemampuan-kemampuan intelektualnya dan merangsanag keingintahuan serta dapat memotivasi kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan yang baru diperolehnya. (Lambang Subagiyo, 2002, hal. 1)
Petty, cocopio mengungkapkan, “Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isu.” (Azwar, 2000, hal. 6).
Berdasarkan pengertian hasil belajar dan standar isi dari IPA di SD, hasil belajar IPA merupakan kemampuan memahami konsep-konsep IPA, terampil dalam menerapkan berbagai teknologi dan mengembangkannya untuk menyelesaikan permasalahan di alam sekitar setelah mengikuti proses pembelajaran IPA.
C. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Terkadang siswa yang hasil ulangannya (hasil belajar) kurang bagus dianggap kurang pintar dalam suatu mata pelajaran pada kenyataannya hal tersebut belum tentu benar. Bisa saja semalam dia tidak sempat belajar karena harus membantu orangtuanya berjualan. Contoh tersebut menunjukkan faktor ekstern yang mempengaruhi hasil belajar.
Menurut Slameto (2010, hal. 56-72), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern terdiri atas faktor-faktor jasmaniah, psikologi, minat, motivasi dan cara belajar. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar yang berasal dari peserta didik yang sedang belajar. Faktor dari dalam ini meliputi kondisi fisiologis dan kondisi psikologi.
Sedangkan faktor ekstern yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar yang berasal bukan dari peserta didik yang sedang belajar. Contohnya faktor-faktor dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Salah satu faktor ekstern yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor sekolah, yang mencakup metoda mengajar, kurikulum, relasi guru siswa, sarana, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Muhibbin (2008, hal. 132) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani atau rohani siswa, yang termasuk di dalamnya antara lain:
a) Faktor fisiologis
Keadaan fisik yang sehat dan segar serta kuat akan menguntungkan dan memberikan hasil belajar yang baik. Tetapi keadaan fisik yang kurang baik akan berpengaruh pada siswa dalam keadaan belajarnya. b) Faktor psikologis
Yang termasuk dalam faktor psikologis adalah intelegensi, perhatian, minat, motivasi dan bakat yang ada dalam diri siswa.
(1) Intelegensi, faktor ini berkaitan dengan Intellegency Question (IQ) seseorang.
(2) Perhatian, perhatian yang terarah dengan baik akan menghasilkan pemahaman dan kemampuan yang mantap.
(3) Minat, kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
(4) Motivasi, merupakan keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.
(5) Bakat, kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.
2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan sekitar siswa, seperti:
a) Faktor sosial, termasuk lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
b) Faktor non-sosial, contohnya gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
D. Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar sering juga disebut dengan istilah sains. Kata
sains berasal dari bahasa Latin scientia yang artinya “saya tahu” (Djojosoediro, 2007, hal. 3). Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi, ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut.
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
Sesuai dengan Standar Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006, mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan supaya siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi pembelajaran mengatakan bahwa “Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup.”
Menurut Susanto (2013, hal. 173) secara general kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam proses inkuiri antara lain mengobservasi, merumuskan pertanyaan yang relevan, mengevaluasi buku dan sumber-sumber informasi lain secara kritis, merencanakan penyelidikan atau investigasi, meninjau ulang apa yang telah diketahui, melaksanakan percobaan atau eksperimen dengan menggunakan alat untuk memperoleh data, menganalisis dan menginterpretasikan data, serta membuat prediksi dan mengomunikasikan hasilnya.
Keterampilan inkuiri akan berkembang jika siswa mampu menemukan dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ilmiah dan dapat merencanakan penyelidikan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya. (Susanto A. , 2013, hal. 175)
Jadi pembelajaran IPA di SD seharusnya melibatkan siswa secara aktif dan mengembangkan kemampuan siswa untuk memiliki kemampuan berpikir dan bekerja secara ilmiah.
E. Strategi Pembelajaran Know Want Learn (KWL)
Strategi KWL sangatlah kental dengan salah satu teori belajar IPA yaitu teori konstruktivisme. Terutama dalam pengembangan prior knowledge dalam salah satu sintaksnya. Strategi pembelajaran KWL dikembangkan oleh Donna Ogle pada tahun 1986. Donna Ogle (1986) dalam mengartikan KWL sebagai berikut.
KWL, stand for the process of making meaning that begins with what students KNOW, moves to the articulation of questions of what they WANT TO KNOW, and continues as students record what they LEARN.
Artinya KWL merupakan proses membuat arti yang dimulai dengan Know yang mewakili apa yang siswa ketahui (prior knowledge), kemudian menuju ke tahap kedua Want to Know dengan pertanyaan tentang apa yang mereka ingin ketahui, dan disambung dengan Learn yang ditandai dengan aktivitas siswa merekam atau mencatat apa yang telah mereka pelajari.
Pada mulanya strategi KWL merupakan strategi untuk membaca supaya lebih efektif dan siswa lebih tertarik untuk membaca. Jadi kegiatan membaca siswa bukan hanya membaca bacaan dari halaman awal sampai halaman akhir dan jika belum paham dengan bacaan tersebut, siswa mengulang untuk membaca bacaan dari awal lagi.
Donna Ogle (1986) menuliskan bahwa sintaks dari strategi KWL adalah sebagai berikut.
1. Guru memimpin diskusi kelas secara lisan.
2. Siswa secara individu atau kelompok menuliskan ide mereka sendiri dan menuliskan pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah lembar kerja (tabel 2.1).
3. Guru menuntun siswa untuk memikirkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang mereka butuhkan dan mereka ingin ketahui jawabannya.
4. Siswa membuat catatan dan mengorganisasikan pengetahuan awal mereka dan pengetahuan baru dalam bentuk grafik dan laporan tertulis.
Tabel 2. 1
Tabel KWL menurut Donna Ogle
K-W-L Strategy Sheet
From Ogle (1996)
NAME_________________ SUBJECT________________
1.
K - What We Know W - What we Want
to Learn
L - What We Learned and Still Need to Learn
2.
Categories of Information We Expect to Use
A. D. G.
Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, KWL tidak hanya digunakan sebagai strategi dalam membaca. KWL memberikan kerangka belajar yang dapat digunakan lintas mata pelajaran untuk membantu siswa menjadi seorang konstruktor pengertian secara aktif. Guru dapat mengadaptasi strategi ini sesuai dengan situasi dan kebutuhan mengajar mereka. Strategi ini sering diadaptasi dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS, IPA, Matematika, dan lain-lain.Untuk taraf siswa SD peneliti menyarankan untuk menggunakan tabel KWL yang lebih sederhana seperti yang dituliskan oleh Eric (2010, hal. 62) dalam bukunya dengan bentuk tabel di bawah ini.
Tabel 2. 2
Tabel KWL menurut Eric Frangenheim
KWL Topik: K – Apa yang
diketahui
W – Apa yang ingin diketahui
L – Apa yang telah dipelajari
Bila dikaitkan dengan pembelajaran IPA di SD yang harus berbasis inkuiri. KWL ini sangat cocok karena melalui KWL siswa melakukan penelitian dan mencoba untuk mencari tahu apa yang ingin mereka ketahui. Dengan KWL siswa diajak untuk membuat berbagai pertanyaan tentang apa yang ingin mereka ketahui. Hal ini sangat mendukung untuk meningkatkan kemampuan inkuiri siswa seperti yang dikatakan oleh Marbach & Classen dalam Susanto (2013, hal. 175) bahwa dengan siswa berlatih untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan atas dasar kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh pengajar mampu meningkatkan kemampuan inkuiri siswa.
Disamping itu menurut Amiliya, dkk. (2012, hal. 56) strategi KWL dapat memperkuat memperkuat kemampuan siswa mengembangkan pertanyaan tentang berbagai topik. Siswa juga bisa menilai hasil belajar
mereka sendiri. Eric (2010) mengungkapkan bahwa KWL merupakan salah satu strategi paling efektif untuk menarik perhatian dan memotivasi siswa. Selain itu KWL akan meningkatkan kemampuan berpikir dari sesuatu yang nyata atau konkret ke penerapan, sesuatu yang abstrak dan analitis. Berikut ini beberapa kelebihan dari strategi KWL menurut Szabo (2006):
1. Siswa mampu memulai pembelajaran dengan pengetahuan awal mereka tenatang materi pelajaran yang akan dipelajari. Hal tersebut membantu siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu mereka dan meningkatkan ketertarikan siswa pada materi yang akan dipelajari.
2. Tabel KWL akan membantu siswa dalam menentukan apa yang ingin mereka pelajari dalam pembelajaran dan memotivasi diri mereka sendiri untuk belajar dan membuat pertanyaan mereka sendiri.
3. Dengan strategi KWL siswa mudah untuk melakukan self monitoring tentang pemahaman mereka, karena strategi ini memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi apa yang telah mereka pahami.
4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide mereka dan merumuskan hal baru.
Adapun beberapa kelemahan strategi KWL yang diungkapkan oleh Szabo (2006) antara lain:
1. Strategi KWL tidak mendorong siswa untuk melakukan refleksi terhadap pengetahuan awal yang mereka miliki apakah itu benar atau tidak.
2. Strategi KWL tidak mendorong siswa untuk mengemukakan pertanyaan ketika membaca atau melakukan kegiatan penyelidikan untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang ingin mereka ketahui.
3. Strategi KWL tidak memperkaya kosa kata siswa.
4. Strategi KWL tidak mendorong siswa untuk mencari hubungan emosional dan hubungan dengan kehidupan sehari-hari dengan materi yang mereka baca.
Kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi dengan melakukan refleksi dalam pembelajaran. Dalam kegiatan refleksi guru dapat membantu siswa untuk menghubungkan apa yang mereka lakukan dengan kehidupan
sehari-hari dan pengalaman mereka. Guru dan siswa juga dapat mengecek apakah pengetahuan awal mereka benar atau tidak ketika mereka bersama-sama melakukan refleksi dalam pembelajaran.
F. Penelitian Yang Relevan
Penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Citra Cahyaningtyas pada tahun 2011 dengan judul “Penerapan Strategi KWL (Know, Want, And Learn) untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Pada Siswa Kelas III SDN Banjarsengon 02 Kabupaten Jember Tahun Pelajaran 2011/2012”.
Hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa strategi KWL mampu meningkatkan kemampuan membaca siswa kelas III di SDN Banjarsengon 02 yang ditunjukkan dengan meningkatnya rata-rata nilai siswa dari tahap pra siklus hingga siklus II. Pada tahap pra siklus rata-rata siswa adalah 51,9 kemudian pada akhir siklus I meningkat menjadi 67,5 dan pada akhir siklus II nilai rata-rata siswa mencapai 84,3.
G. Kerangka Pikir
Setelah fokus permasalahan terbentuk, selanjutnya peneliti sebaiknya menyusun kerangka pemikiran (Wiriaatmadja, 2009, hal. 84). Adapun skema kerangka pikir dari penelitian ini adalah
Gambar 2. 1
Skema Kerangka Pikir Penelitian Kondisi Awal:
Pembelajaran IPA menggunakan
metode yang kurang inovatif dan hasil belajar siswa masih rendah.
Tindakan: Penggunaan strategi KWL dalam pembelajaran IPA sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang membuat belajar lebih bermakna. Kondisi Akhir: Hasil belajar siswa meningkat
Rasional pemikirannya adalah dengan kondisi awal proses pembelajaran IPA yang haanya menggunakan metode ceramah dah hasil belajar siswa yang rendah, guru perlu mengubah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Peneliti akan mengubah faktor pendekatan pembelajaran yang meliputi strategi dan metode pembelajaran. Metode ceramah akan diubah dengan strategi KWL.
Strategi KWL dipilih karena cukup sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kurikulum yaitu pengembangan kemampuan inkuiri. Selain itu strategi KWL merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menarik perhatian siswa di awal pembelajaran dan membuat siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Strategi KWL cocok dengan salah satu teori belajar IPA yaitu konstruktivisme karena strategi KWL memungkinkan peserta didik untuk mengkonstruksi konsep tentang materi ajar sesuai dengan pemikirannnya sendiri. Dengan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri pembelajaran akan lebih bermakna dan akan lebih diingat oleh siswa. Mereka bukan hanya menghafal materi belajar tapi memahami apa yang mereka pelajari. Salah satu indikator yang paling mudah dilihat jika siswa memahami materi belajar adalah hasil belajar siswa yang baik. Dengan begitu akan didapatkan kondisi akhir peningkatan hasil belajar IPA.
H. Hipotesis Penelitian
Yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah diduga penggunaan strategi KWL dalam pembelajaran IPA mampu meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas III SD Negeri Kebowan 01.