• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat Berperspektif Gender Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat Berperspektif Gender Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Di Kabupaten Bogor"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PENGAWAS MINUM OBAT

BERPERSPEKTIF GENDER DENGAN KEPATUHAN

BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS

DI KABUPATEN BOGOR

WIDIAWATI WALANGADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat Berperspektif Gender dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Widiawati Walangadi

(4)

RINGKASAN

WIDIAWATI WALANGADI. Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat Berperspektif Gender dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI SADONO dan DJOKO SUSANTO.

Ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru adalah terkait dengan kurangnya pengetahuan penderita TB Paru terhadap strategi Directly Observed Treatment, Short- Course (DOTS) yang sedang dijalani, di mana petugas kesehatan atau Pengawas Minum Obat (PMO) yang menangani pengobatan TB Paru kurang menerapkan komunikasi interpersonal dalam penyampaian informasi yang rinci tentang pengobatan, serta kurang menginformasikan pentingnya pengobatan TB Paru sampai tuntas. Kurang memberikan himbauan atau bujukan untuk mengubah sikap maupun pandangan penderita TB Paru agar sadar dalam menjalani pengobatan. Selain itu petugas kesehatan atau PMO kurang memberikan instruksi yang tegas ataupun isyarat dini pada penderita TB Paru agar penderita TB Paru mengikuti program pengobatan dan apabila tidak patuh untuk berobat akan berakibat buruk terhadap penderita TB.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemampuan komunikasi interpersonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB dan menganalisis hubungan antara komunikasi interpersonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB. Penelitian bersifat explanatory research, dengan rancangan cross sectional. Analisis data dengan menggunakan statistik deskriptif dan uji statistik inferensia korelasi Chi-Square. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner kepada 82 responden (PMO). Hasil penelitian menunjukkan karakteristik umur PMO sebagian besar lebih dari 35 tahun (tua), paling banyak perempuan, tingkat pendidikannya rendah (SD/SMP), tingkat pengetahuannya sedang, kurang berpengalaman, emosinya baik, motivasinya tinggi dan memiliki hubungan yang baik/dekat dengan penderita TB. Perspektif gender (peran domestik, peran publik, peran sosial) semuanya tinggi. Kemampuan komunikasi interpersonal (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan) semuanya tinggi/baik. Secara keseluruhan tingkat kepatuhan di tiga Puskesmas di Kabupaten bogor adalah patuh.

Karakteristik PMO (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, hubungan dengan penderita TB) tidak memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan komunikasi interpersonal PMO (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan). Karakteristik PMO (tingkat pengetahuan dan emosi) memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan komunikasi interpersonal PMO. Motivasi memiliki hubungan yang nyata dengan kemampuan komunikasi interpersonal PMO (empati, sikap mendukung, sikap positif, sikap mendukung, kesetaraan). Perspektif PMO tentang peran gender (peran domestik, peran publik dan peran sosial) semuanya berhubungan nyata dengan kemampuan komunikasi interpersonal PMO. Tingkat kemampuan komunikasi interpersonal PMO memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kepatuhan penderita TB untuk minum obat.

(5)

SUMMARY

WIDIAWATI WALANGADI. Interpersonal Communication Supervisors TakingMedicine with a Gender Perspectif Compliance With Tuberculosis Patiens In The District of Bogor. Supervised by DWI SADONO and DJOKO SUSANTO.

Noncompliance treatment in patients with pulmonary tuberculosis is associated with a lacking of knowledge with pulmonary tuberculosis on Directly Observed Treatment, Short-Course (DOTS) strategy being undertaken, where a health worker or Supervisors taking medicine (PMO), which handles the treatment of pulmonary TB less implement interpersonal communication in the delivery of detailed information about treatment, and less informed that the importance of treatment of pulmonary TB through to completion. Lacking of an appeal or provide inducements to change the attitudes and outlook of lung TB patient to be aware of the treatment. Besides health care workers or less of PMO give instructions or cues were firm early on with pulmonary tuberculosis with pulmonary tuberculosis in order to follow the treatment program and, if not adherent to treatment will be bad for people with TB.

The purpose of this study is to analyze the interpersonal communication skills of PMO gender perspective with TB patient treatment compliance and analyze the relationship between interpersonal communication PMO gender perspective with TB patient treatment compliance. This research is explanatory research with cross sectional. Analyses data by using descriptive statistics and inferential statistical test of Chi-Square correlation. Collecting data by questionnaires to 82 respondents (PMO). The results show that life characteristics PMO mostly over 35 years (old), mostly women, the rate of low education (elementary / junior high school), the level of knowledge is, less experienced, emotions both high motivation and have a good relationship with TB , gender perspective i.e domestic role, the role of public, social roles are all high. Interpersonal communication skills i.e openness, empathy, being supportive, positive attitude, equality are all high. The overall level of compliance in three health centers in the district of Bogor is higly complied.

Characteristics of PMO (age, gender, level of education, experience, relationships with TB) mostly do not have significant relationship to the PMO interpersonal communication skills. Characteristics of PMO (level of knowledge and emotions) is significant to interpersonal communication skills. The motivation is significant to interpersonal communication skills (empathy, being supportive, positive attitude, the attitude of support). Equality while the gender perspective is significat to interpersonal communication skills of the PMO. PMO level of interpersonal communication skills has significant relationship to the level of compliance of TB patients.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PENGAWAS MINUM OBAT

BERPERSPEKTIF GENDER DENGAN KEPATUHAN

BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS

DI KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahim.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang Maha Mengetahui serta Maha Pemberi Petunjuk, atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Komunikasi interpersonal pengawas minum obat berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di Kabupaten Bogor”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi besar kita Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabatnya. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyelesaian Program Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Dwi Sadono, MSi dan Prof.(Ris) Dr Djoko Susanto, SKM. selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, saran, dan kritik yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Kepala Puskesmas Ciomas, Kepala Puskesmas Cibinong, Kepala Puskesmas Cileungsi, dan Kepala Puskesmas Ciampea yang telah memberikan arahan selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada keluarga tercinta, Suami tersayang Affandi Budi Matahir, anak-anakku tercinta Difa Rizki Matahir dan Dafi Almadani Matahir yang menjadi penyemangat dan kesabarannya membantu penulis selama pendidikan di IPB.

Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu untuk pembuatan tesis ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah Subhanallahu Wataallah..

Bogor, November 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Pengertian Komunikasi 7

Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO) 8 Efektivitas Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO) 10

Kredibilitas Pengawas Minum Obat (PMO) 14

Perspektif Pengawas Minum Obat tentang Peran Gender 19

Hasil Penelitian Terdahulu 20

Kerangka Pemikiran 22

Hipotesis 25

3 METODOLOGI PENELITIAN 25

Desain Penelitian 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Populasi dan Responden Penelitian 26

Metode Pengumpulan Data 27

Instrumen Penelitian 27

Validitas dan Reliabilitas 27

Definisi Operasional 30

Karakteristik PMO (X1) 30

Perspektif Gender (X2) 31

Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal PMO (Y1) 32

Tingkat Kepatuhan Penderita (Y2) 34

Pengolahan Data dan Analisis Data 34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Gambaran Umum Tempat Penelitian 35

Karakteristik Responden 38

Perspektif PMO tentang Peran Gender 42

Kemampuan Komunikasi Interpersonal PMO 44

Tingkat Kepatuhan 46

Analisis Hubungan antara Karaktersitik PMO dengan Tingkat

(12)

Analisis Hubungan antara Perspektif PMO tentang Peran Gender

dengan Tingkat Kemampuan Komunikasi PMO 53

Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi

Interpersonal PMO (Keterbukaan) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita 55 Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi

Interpersonal PMO (Empati) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita 56 Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi

Interpersonal PMO (Sikap Mendukung) dengan Tingkat Kepatuhan

Penderita 57

Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi

Interpersonal PMO (Sikap Positif) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita 58 Analisis Hubungan antara Tingkat Kemampuan Komunikasi

Interpersonal PMO (Kesetaraan) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita. 59

5 SIMPULAN DAN SARAN 61

Simpulan 61

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 67

(13)

DAFTAR TABEL

1 Kerangka sampling 27

2 Peubah dan kisaran nilai koefisien korelasi validitas penelitian 29 3 Peubah dan nilai koefisien reliabilitas penelitian 30 4 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia responden 38 5 Jumlah dan persentase responden (PMO) berdasarkan jenis kelamin 39 6 Jumlah dan persentase penderita TB berdasarkan jenis kelamin 39 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 40 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pengetahuan 40 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman 41 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan emosi 41 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan motivasi 42 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan/ikatan

dengan penderita 42

13 Jumlah dan persentase responden yang berperspekrif gender

berdasarkan peran reproduktif (domestic) 43

14 Jumlah dan persentase responden yang berperspekrif gender

berdasarkan peran produktif (public) 43

15 Jumlah dan persentase responden yang berperspektif gender

berdasarkan peran sosial 44

16 Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden

berdasarkan keterbukaan komunikasi 44

17 Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden

berdasarkan empati komunikasi 45

18 Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden

berdasarkan sikap mendukung 45

19 Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden

berdasarkan sikap positif 46

20 Jumlah dan persentase komunikasi interpersonal responden

berdasarkan kesetaraan 46

21 Jumlah dan persentase responden yang dilihat dari tingkat kepatuhan 47 22 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik PMO dengan tingkat

kemampuan komunikasi interpersonal PMO 47

23 Nilai koefisien korelasi antara pespektif gender dengan tingkat

kemampuan komunikasi interpersonal PMO 53

24 Nilai koefisen korelasi antara komunikasi interpersonal keterbukaan

PMO dengan tingkat kepatuhan 56

25 Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal empati PMO

dengan tingkat kepatuhan 57

26 Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal sikap

mendukung PMO dengan tingkat kepatuhan 58

27 Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal sikap positif

PMO dengan tingkat kepatuhan 59

28 Nilai koefisien korelasi antara komunikasi interpersonal kesetaraan

PMO dengan tingkat kepatuhan 60

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir komunikasi interpersonal pengawas minum obat berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 67

2 Peta lokasi tempat pelatihan 74

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, mencanangkan kondisi pembangunan kesehatan diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator pembangunan Sumber Daya Manusia, seperti meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender (Kemenkes RI 2013).

Upaya kesehatan masyarakat mengalami peningkatan capaian antara lain pada program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular walaupun penyakit infeksi menular masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menonjol terutama TB, Malaria, HIV/AIDS, DBD dan Diare. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit lama yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Banyak menyerang kelompok usia produktif, kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah (Rokmah 2013).

Permasalahan pengendalian TB masih sangat besar. Di Indonesia masih berkontribusi sebesar 5.8 persen dari kasus TB yang ada di dunia. Sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka kematian akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk. Selain itu, TB terjadi pada lebih dari 75 persen usia produktif (15-54 tahun), sehingga kerugian ekonomi yang disebabkan oleh TB cukup besar (Widjaja et al. 2011).

Di tingkat global, Stop TB Partnership sebagai bentuk kemitraan global, mendukung negara-negara untuk meningkatkan upaya pemberantasan TB, mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan akibat TB serta penyebaran TB di seluruh dunia. Target yang ditetapkan Stop TB Partnership sebagai tonggak pencapaian utama adalah: pada tahun 2015, beban global penyakit TB (prevalensi dan mortalitas) akan relatif berkurang sebesar 50 persen dibandingkan tahun 1990, dan setidaknya 70 persen orang yang terinfeksi TB dapat dideteksi dengan strategi DOTS dan 85persen di antaranya dinyatakan sembuh. Pada tahun 2050 TB bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu pada International Standard for TB Care (ISTC) (Kemenkes RI Dirjen P2PL 2011).

Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia menduduki peringkat pertama penyumbang jumlah penderita Tuberkulosis. Pada tahun 2012, jumlah kasus TB di Jawa Barat mencapai 62.218 kasus dengan rata-rata sebanyak 2.393 kasus dan Kabupaten Bogor memiliki jumlah kasus TB paling banyak dengan jumlah 8.226 kasus (Pratama dan Wulandari 2015).

(16)

2

komunikasi antara petugas kesehatan atau pengawas minum obat (PMO) dan penderita masih belum optimal. Akibatnya proses penyembuhan menjadi lambat dan harus mengulang kembali.

Sejak tahun 1995, dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, obat yang digunakan merupakan paduan obat anti tuberculosis (OAT) dengan jangka waktu enam bulan dan menerapkan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Strategi DOTS meliputi 5 komponen yaitu dukungan politik, mikroskopis, Pengawasan Minum Obat (PMO), pencatatan dan pelaporan serta paduan obat anti TB. Strategi DOTS menekankan kepada adanya Pengawas Minum Obat (PMO) untuk setiap penderita TB dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat setiap penderita selama masa pengobatan (Rohmana et al. 2014).

Studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Tanggul, dengan PMO penderita TB berasal dari suami sebanyak 12 orang, istri 22 orang, anak 9 orang, dan orang tua sebanyak 4 orang, yang memiliki tugas penting dalam pemantauan pengobatan penderita secara ketat. Namun dalam kenyataannya peran PMO tidak sesuai dengan tugasnya, di mana sesuai hasil wawancara menyatakan bahwa dari 5 orang penderita TB mengatakan bahwa penderita meminum obat sendiri, PMO jarang untuk mengingatkan dan mengawasi penderita saat minum obat ( Erlinda et al. 2013).

Tuberkulosis membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk mencapai kesembuhan. Tipe pengobatan jangka panjang menyebabkan penderita tidak patuh dalam menjalani pengobatan. Perilaku yang tidak patuh dalam pengobatan TB membuat bakteri TB menjadi resisten pada tubuh. Penderita tidak patuh dalam pengobatan adalah salah satu penyebab tingginya angka kejadian penyakit TB. Dukungan dari keluarga sebagai PMO merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung ketaatan dalam program pengobatan. Dengan adanya partisipasi keluarga sebagai PMO dalam pengawasan minum obat akan meningkatkan kepatuhan minum obat penderita TB (Rahmawati et al. 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa strategi DOTS dengan pendekatan PMO membuahkan hasil yang cukup efektif dalam upaya pengobatan TB. Gitawati dan Sukasediati (2002) melakukan penelitian studi kasus hasil pengobatan TB di 10 Puskesmas di DKI Jakarta, menunjukkan bahwa pengobatan dengan menggunakan pendekatan DOTS menunjukkan hasil yang relatif lebih baik dan mendekati indikator yang diharapkan. Pengobatan yang diawasi langsung menjadi relatif lebih sukses dalam pengelolaan populasi penderita yang sulit.

Pengawas Minum Obat (PMO) sangat berperan aktif dalam mendukung dan berpartisipasi langsung dalam mengawasi pengobatan. Seperti menyiapkan dan mengingatkan saat penderita akan minum obat, memotivasi penderita saat merasa bosan untuk mengkonsumsi obat setiap hari, mengingatkan saat jadwal pengambilan obat dan periksa sputum serta memberitahu penderita hal yang harus dan tidak boleh dilakukan seperti menggunakan masker saat di rumah maupun keluar rumah dan harus menutup mulut saat batuk (Erlinda et al. 2013).

(17)

3 2011). Kredibilitas komunikator (PMO) dalam komunikasi interpersonal dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: kompetensi meliputi keahlian, pengalaman, percaya diri dan penguasaan informasi. Karakter meliputi objektifitas, minat, kepercayaan. Status sosial dan ekonomi meliputi kekuasaan, pendidikan, ekonomi. Kharismatik meliputi keaktifan, tegas, semangat (Maysyarah 2013).

Kredibilitas komunikator (PMO) dalam penelitian ini adalah kepercayaan komunikan terhadap komunikator (PMO) dilihat dari beberapa aspek yaitu dapat menguasai emosi, dan memahami komunikan (penderita), gaya berbicara yang menyenangkan, menggunakan bahasa yang dapat dimengerti serta memiliki kedekatan antara PMO dan Penderita. Komunikasi dari PMO sangat efektif dan memegang peranan penting dalam menyampaikan informasi penting tentang penyakit tuberkulosis. Pemberian informasi ini dilakukan melalui komunikasi interpersonal antara PMO dengan penderita.

Panjaitan (2013) menyatakan tujuan pengobatan pada penderita tuberkulosis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang penyakit tersebut. Untuk itu hendaknya petugas kesehatan atau PMO memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar mereka mengetahui resiko-resikonya dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Kepatuhan penderita berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pengobatan. Terapi obat yang aman dan efektif akan terjadi apabila penderita diberi informasi yang cukup tentang obat-obat dan penggunaannya.

Niven (2012) menyatakan selain masalah individu penderita ketidaktaatan minum obat, karena adanya efek samping, bosan minum obat, merasa sembuh sebelum waktunya juga disebabkan kurangnya dukungan keluarga, kerabat dan dianggap aib di masyarakat (stigma social). Penelitian Kotouki (2012) tentang gambaran perilaku penderita dan kepatuhan minum obat di wilayah Puskesmas Ciomas menunjukkan 29.6 persen responden penderita TB tidak tahu penatalaksanaan minum obat, 25.4 persen tidak patuh minum obat dan 78 persen tingkat pendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa strategi DOTS pada Puskesmas tersebut masih belum optimal.

Tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam penggunaan obat dan pengobatan, diharapkan dapat mencapai penggunaan obat yang tepat dan benar serta melaksanakan anjuran petugas terhadap tindakan pengobatan yang dijalani oleh penderita. Penderita TB Paru sangat membutuhkan informasi yang lengkap tentang obatnya, karena informasi tersebut menentukan keberhasilan terapi yang dilakukannya sendiri di rumah. Ketidaksepahaman (non corcondance) dan ketidakpatuhan (non compliance) penderita dalam menjalankan terapi merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering disebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman penderita tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapi (Patriani dan Ayuningtyas 2013).

(18)

4

menjalani pengobatan adalah dengan menciptakan komunikasi yang terbuka dengan penderita dan memberikan perhatian dalam komunikasi tersebut.

Petugas kesehatan atau Pengawas Minum Obat (PMO) sangat diperlukan dalam memonitor perkembangan kepatuhan penderita TB Paru dan juga harus terfokus pada perkembangan motivasi penderita dan berupaya mengintegrasikan penyakit ke dalam konsep diri penderita untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang, serta membantu penderita melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran kesehatan (Panjaitan 2013).

Penerapan komunikasi interpersonal dalam pelayanan kesehatan mempunyai peran yang sangat besar terhadap kemajuan kesehatan penderita. Komunikasi interpersonal dapat meningkatkan hubungan interpersonal dengan penderita sehingga akan tercipta suasana yang kondusif di mana penderita dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya. Kondisi saling percaya yang telah dibangun antara petugas kesehatan atau PMO dan penderita tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Panjaitan 2013).

Komunikasi interpersonal yang baik dapat meningkatkan kepatuhan (Panjaitan 2013). Komunikasi oleh petugas kesehatan atau PMO akan memengaruhi pengetahuan penderita TB paru. Kurangnya pengetahuan pada penderita TB paru sangat berpengaruh terhadap kepatuhan berobat. Beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari penderita TB paru kurang maka kepatuhan berobat juga menurun.

Sejak dikeluarkannya Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG) dalam bidang pembangunan, maka semua sektor pembangunan wajib memasukkan nuansa gender ke dalam setiap kebijakan dan pelaksanaan programnya, termasuk program kesehatan. Namun demikian konsep gender masih merupakan konsep yang relatif baru, di mana baik pemegang program di pusat maupun di daerah masih kurang memahami secara tepat, apa dan bagaimana keadilan dan kesetaraan gender dapat diterapkan dalam setiap program kesehatan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2002).

(19)

5

Perumusan Masalah

Ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru adalah terkait dengan kurangnya pengetahuan penderita TB Paru terhadap strategi DOTS yang sedang dijalani, di mana petugas kesehatan atau Pengawas Minum Obat (PMO) yang menangani pengobatan TB Paru kurang menerapkan komunikasi interpersonal dalam penyampaian informasi yang rinci tentang pengobatan serta kurang menginformasikan bahwa pentingnya pengobatan TB Paru sampai tuntas. Kurangnya komunikasi interpersonal dalam penyebarluasan informasi dari petugas kesehatan atau PMO yang menangani pengobatan TB Paru, kurangnya memberikan himbauan atau bujukan untuk mengubah sikap maupun pandangan penderita TB Paru agar sadar dalam pengobatan. Selain itu petugas kesehatan atau PMO kurang memberikan instruksi yang tegas ataupun isyarat dini pada penderita TB Paru agar penderita TB Paru mengikuti program pengobatan dan apabila tidak patuh untuk berobat akan berakibat buruk terhadap penderita (Panjaitan 2013).

Menurut Rohmana et al. (2014) pada prinsipnya strategi DOTS menekankan kepada adanya pengawas minum obat (PMO) untuk setiap penderita TB paru dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat setiap penderita TB paru selama masa pengobatan. Pengobatan yang lama membuat penderita TB bosan untuk mengkonsumsi obat sehingga dapat mengakibatkan penderita TB tidak sembuh dan juga resisten terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk mengantisipasi hal ini perlu adanya pengawasan pada penderita TB saat melakukan pengobatan. Pengawasan pengobatan penderita TB ini dilakukan oleh seorang PMO.

Pengawasan PMO dalam menjamin kepatuhan berobat penderita TB merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh adanya faktor internal dan eksternal . Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) faktor internal adalah karakteristik orang yang bersangkutan seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, emosi, motivasi. Faktor eksternal yaitu tingkat pengetahuan, lama menjadi PMO, hubungan interpersonal.

Gender dapat dikatakan sebagai hasil interpretasi sosial-kultural terhadap perbedaan kelamin biasanya dapat dilakukan melalui aktivitas, dapat dilihat dan digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan sehingga gender sebagai konsepsi mengacu kepada pengertian bahwa dilahirkannya sebagai laki-laki dan perempuan keberadaannya berbeda dalam waktu, tempat dan budaya, masyarakat serta peradaban. Oleh karena itu, konsepnya dinamis dan menyesuaikan dengan dinamika peradaban suatu masyarakat. Masalah gender berkaitan erat dengan keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial-budaya masyarakat, bukan karena perbedaan biologis (Sudarma 2009).

(20)

6

dimantapkan dan diilembagakan dalam tatanan nilai masyarakat sebagai acuan bertindak (Hubeis 2010).

Dalam kaitannya dengan kemampuan berkomunikasi PMO antara laki-laki dan perempuan, PMO belum memperlakukan sama pada pasien laki-laki dan perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya dapat diwujudkan karena masih kuatnya pengaruh nilai sosial budaya patriaki, yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara.

Berdasarkan hasil penelitian Mochammad (2011) menunjukkan bahwa sebagian besar PMO pada penderita TB paru Puskesmas Genuk dan Bangetayu Semarang yang menjadi responden penelitian berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 21 orang (56.8%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 16 orang (43.2%). Laki-laki dan perempuan sebagai manusia di samping mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan, baik ditinjau dari segi biologik, psikologik maupun sosiologik.

Mochammad (2011) mengemukakan bahwa perbedaan cara berpikir, bereaksi, berperilaku, bercakap-cakap, berpenalaran, dan dalam menghadapi situasi antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan. Watak lembut, halus dan kelebihan perasaan lebih dominan terdapat pada wanita, sedangkan kekerasan, pendirian teguh, kecerdikan, merupakan watak laki-laki . Ada juga karakteristik lain antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki memiliki sifat yang lebih rasional, lebih obyektif, suka kompetitif dan sangat suka menggunakan logika serta orientasi dunia, sedangkan perempuan tidak agresif, tidak aktif, perbuatan perempuan banyak dikemukakan oleh perasaan yang tidak berasal dari akal.

Berdasarkan pertimbangan tersebut rumusan masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Sejauh mana kemampuan komunikasi interpersonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB?

2. Adakah hubungan antara komunikasi interpesonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kemampuan komunikasi interpersonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB.

2. Menganalisis hubungan antara komunikasi interpersonal PMO berperspektif gender dengan kepatuhan berobat penderita TB.

Manfaat Penelitian

(21)

7 mencapai derajat kesehatan yang mandiri dan berkeadilan. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan masukan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan tentang peningkatan kompetensi petugas PMO dan pola komunikasi efektif yang berperspektif gender.

2. Memberikan sumbangan gagasan bagi perkembangan ilmu komunikasi pembangunan khususnya komunikasi pembangunan kesehatan.

3. Sebagai pertimbangan bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian tentang komunikasi interpersonal yang berperspektif gender dalam pembangunan kesehatan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Komunikasi

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu tidak dapat dihindari bahwa manusia harus selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok inilah yang disebut sebagai interaksi sosial. Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat (Notoatmodjo 2005). Lasswell dalam Jufri (2013) menyebutkan bahwa tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi adalah: (1) hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya; (2) upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya; (3) upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Ketiga fungsi tersebut menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesama anggota masyarakat.

Berlo dan Brynes (1965) dalam Jufry (2013) menyebutkan bahwa komunikasi sebagai instrumen dan interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan memprediksi sikap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam menciptakan keseimbangan dengan masyarakat. Komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Komunikasi diperlukan untuk mengatur tata krama pergaulan antar manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.

(22)

8

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan.

Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media) adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikator dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo 2007). Proses komunikasi merupakan rangkaian dari aktivitas menyampaikan pesan sehingga diperoleh feedback dari penerima pesan. Dari proses komunikasi, timbul pola, model, bentuk dan juga bagian-bagian kecil yang berkaitan erat dengan proses komunikasi (Komariah et al. 2013).

Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO)

Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Jufry (2013), komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Dalam sistem komunikasi interpersonal kita akan melihat faktor-faktor personal dan situasional yang memengaruhi persepsi kita tentang orang lain yang disebut persepsi interpersonal.

Melihat pengaruh konsep diri pada perilaku manusia yaitu bagaimana anda memandang diri anda dan bagaimana orang lain memandang anda, akan mempengaruhi pola-pola interaksi anda dengan orang lain. Konsep diri erat kaitannya dengan proses hubungan interpersonal yang penting bagi perkembangan kepribadian. Ada dua komponen konsep diri yaitu komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif (self esteem), keduanya, menurut Rakhmat (2012) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal.

(a) Konsep diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri antara lain: orang lain, kelompok rujukan. Konsep diri yang berpengaruh pada komunikasi interpersonal yaitu: (1) Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri. Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri anda positif atau negatif; (2) Membuka diri, dengan membuka diri konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan; (3) Percaya diri; (4) Selektivitas.

(b) Atraksi Interpersonal. Faktor-faktor personal yang memengaruhi atraksi interpersonal yaitu: (1) Kesamaan karakteristik personal, orang-orang yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosial ekonomi, agama, ideologis, cenderung saling menyukai; (2) Tekanan emosional; (3) Harga diri yang rendah; (4) Isolasi sosial.

(23)

9 (d) Hubungan interpersonal. Mengembangkan metode peningkatan hubungan dalam psikoterapi dengan tiga prinsip makin baik hubungan interpersonal: (1) makin terbuka penderita mengungkapkan perasaannya; (2) makin cenderung penderita meneliti perasaannya secara mendalam beserta psikolognya; (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan psikolognya. Psikologi komunikasi menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung. Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal: (1) Percaya (trust); sejauh mana kita percaya kepada orang lain depengaruhi oleh faktor-faktor personal dan situasional. Di samping faktor-faktor personal ada empat faktor yang berhubungan dengan sikap percaya; (a) karakteristik dan maksud orang lain; b) hubungan kekuasaan; (c) sifat dan kualitas komunikasi; (2) Sikap suportif; sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi; (3) Sikap terbuka; amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif Rakhmat (2012).

Tujuan komunikasi interpersonal antara lain: (1) Menyampaikan informasi; (2) Berbagi pengalaman; (3) Menumbuhkan simpati; (4) Melakukan kerjasama; (5) Menceritakan kekecewaan atau kekesalan; (6) Menumbuhkan motivasi (Purwanto 2006). Pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan saat itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidak (Panjaitan 2013).

Komunikasi interpersonal yang efektif memungkinkan penyelesaian masalah, berbagi ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal. Komunikasi interpersonal banyak menentukan keberhasilan dalam kegiatan komunikasi. Dalam menyusun komunikasi seorang petugas kesehatan atau PMO harus memahami fungsi komunikasi baik secara makro maupun mikro (Panjaitan 2013). Dalam komunikasi interpersonal tersebut biasanya terjadi secara dialogis dan transaksional, yang memulai bisa dari penderitanya terlebih dahulu atau dari petugasnya (PMO) dan sebaliknya. Karenanya diantara keduanya terjadi pergantian posisi (komunikator dan komunikan, dan proses encoding dan

decoding).

(24)

10

Di samping mengedukasi tentang penyakit TB, petugas kesehatan atau PMO juga memantau penderita dalam minum obat-obat yang diberikan. Petugas kesehatan atau PMO melakukan pengecekan silang antara data minum obat pasien dengan waktu pengambilan obat penderita untuk mengetahui apakah penderita konsisten atau tidak minum obatnya. Apabila penderita berhalangan hadir di hari H pengobatan, bisa diambilkan atau berobat sebelum penjadwalan supaya obat tidak sampai kehabisan (Komariah et al. 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2002) dalam Panjaitan (2013) pada penderita di Poliklinik penyakit dalam RSU. Dr. Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi interpersonal petugas kesehatan terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada penderita. Penelitian Sembiring (2013), tentang pengaruh komunikasi interpersonal petugas kesehatan dan karakteristik ibu terhadap kelengkapan imunisasi dasar di Puskesmas Deli Serdang menemukan bahwa dalam memberikan pelayanan tenaga kesehatan melakukannya secara profesional dan sesuai standar pelayanan komunikasi interpersoanl. Interaksi atau komunikasi interpersonal yang berkualitas antara klien dan provider merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan program imunisasi.

Hanafi et al. (2012) menyatakan ada pengaruh komunikasi interpersonal terhadap tingkat kepuasan penderita. Komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan serta kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan penderita, dan merupakan komunikasi interpersonal yang mengarah tujuan untuk penyembuhan penderita yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya.

Efektivitas Komunikasi Interpersonal Pengawas Minum Obat (PMO)

Komunikasi yang efektif adalah komunikasi di mana makna yang distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan komunikator, artinya makna bersama. Komunikasi yang efektif itu memberikan keuntungan dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan. Siapapun dan apapun pekerjaan seseorang tidak akan bisa dilakukan dengan baik kalau tidak melakukan nya dengan komunikasi. Kriteria komunikasi yang efektif salah satunya apabila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Tetapi secara umum, komunikasi dinilai efektif apabila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima (Novianti dan Siti 2014).

Komunikasi interpersonal dianggap efektif jika orang lain memahami pesan anda dengan benar dan memberikan respon sesuai dengan anda inginkan. Komunikasi interpersonal yang efektif berfungsi membantu anda untuk: (1) Membentuk dan menjaga hubungan baik antar individu; (2) Menyampaikan pengetahuan atau informasi; (3) Mengubah sikap dan perilaku; (4) Pemecahan masalah hubungan antar manusia; (5) Citra diri menjadi lebih baik; (6) Jalan menuju sukses (Novianti dan Siti 2014).

(25)

11 hubungan manusia yang superior misalnya kejujuran, keterbukaan, sikap positif dan kemudian dapat menurunkan perilaku-perilaku spesifik yang menandai komunikasi interpersonal yang efektif; (2) sudut pandang pragmatis atau keperilakuan, yang menekankan pada manajemen dan kesegaran interaksi dan secara umum, kualitas-kualitas yang menentukan pencapain tujuan yang spesifik; (3) sudut pandang pergaulan sosial dan sudut pandang kesetaraan yaitu didasarkan pada model ekonomi imbalan dan biaya (De Vito 2011).

Ketiga sudut pandang ini saling melengkapi dan membantu dalam memahami efektivitas komunikasi interpersonal. Tujuannya adalah memberikan pandangan mengenai komunikasi interpersonal yang efektif sehingga dapat memilih sudut pandang mana yang paling membantu dalam situasi tertentu. Sasarannya adalah melengkapi prinsip-prinsip komunikasi yang nantinya berguna dalam berbagai situasi komunikasi. Efektifitas komunikasi interpersonal dari sudut pandang humanistik dimulai dengan lima kualitas yang dapat dipertimbangkan (De Vito 2011) yaitu:

(a) Empati (empathy) adalah sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan; (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. (b) Keterbukaan (openness) yaitu kualitas keterbukaan mengacu pada

(26)

12

menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).

(c) Sikap mendukung (supportiveness) yakni hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan di mana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap: (1) deskriptif, bukan evaluatif; (2) spontan, bukan strategik; (3) provisional, bukan sangat yakin.

(d) Sikap positif (positiveness) adalah kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara yaitu pertama menyatakan sikap positif dan kedua secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi. (e) Kesetaraan (equality) yaitu dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, kesetaraan meminta kita untuk memberikan “penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

Notoatmodjo (2007) menyatakan keberhasilan komunikasi interpersonal sangat ditentukan oleh efektifitas komunikasi para petugas kesehatan atau PMO dengan penderita. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Patriani dan Ayuningtyas (2013) menyatakan terdapat hubungan komunikasi efektif antara petugas kesehatan atau PMO dan penderita dengan koordinasi/kepatuhan penderita TB paru untuk berobat. Hasil univariat terhadap penilaian peubah komunikasi efektif dilihat melalui tiga kategori meliputi keterbukaan, empati, dan sikap mendukung.

(27)

13 Selain itu unsur empati dan simpati turut menyusun komunikasi efektif. Rasa empati yang timbul dan ditujukkan oleh petugas kesehatan atau PMO dapat membuat penderita mau memahami penjelasan dan saran yang diberikan. Rasa simpati dapat muncul karena penggunaan bahasa yang mudah dimengerti. Dengan sikap mendukung, penderita merasa mendapat motivasi untuk melakukan saran-saran yang diberikan .

Hasil penelitian dari Sembiring (2013) menunjukkan adanya pengaruh komunikasi interpersonal petugas kesehatan dan karakteristik Ibu yaitu sebesar 59.1 persen terdiri dari: keterbukaan, empati, sikap mendukung, kesetaraan. Peubah yang paling dominan adalah empati.

Sukoco (2012) menunjukkan bahwa dalam interaksi antara peran PMO dan Penderita TB kriteria terpenting dalam memilih PMO adalah yang mempunyai hubungan dekat dengan penderita sebaiknya anggota keluarga atau kombinasi antara anggota keluarga dengan bukan anggota keluarga. Dikaitkan dengan efektifitas komunikasi interpersonal dalam hal atraksi interpersonal dalam hal kedekatan (proximility). Menjalin hubungan baik atau kekeluargaan adalah faktor yang penting untuk melakukan komunikasi. Komunikasi akan lebih efektif bila dilakukan dengan orang-orang yang dekat dengan kita.

Menurut Krisyanti et al. (2014) salah satu bentuk perlakuan yang baik dari tenaga kesehatan kepada penderita adalah melalui komunikasi interpersonal antara perawat yang terjalin keduanya, dalam hal ini adalah perawat dengan perawat dan perawat dengan penderita, perawat melakukan pendekatan secara individu. Komunikasi interpersonal merupakan komponen penting dalam praktek pelayanan keperawatan. Berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan terdapat hubungan antara komunikasi interpersonal perawat dengan pelayanan keperawatan.

Carlita (2011) menyatakan penderita yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila penderita puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa dari rumah sakit tersebut. Salah satu cara yang dilakukan supaya penderita merasa puas adalah dengan menciptakan sistem pelayanan konsumen yang selalu mengarah kepada customer satisfaction (kepuasan konsumen). Sistem pelayanan yang mengarah pada kepuasan konsumen dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal karyawannya. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat hubungan yang cukup kuat antara peubah kualitas komunikasi interpersonal terhadap tingkat kepuasan komunikasi penderita.Kepatuhan berobat adalah penderita yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan. Komunikasi interpersonal yang terbina baik antara petugas dan pasien diharapakan dapat meningkatkan kepatuhan pasien menjalani pengobatan. Hasil uji statistik menunjukkan variabel komunikasi interpersonal dari aspek keterbukaan, empati, sikap mendukung, dan kesetaraan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien menjalani pengobatan TB Paru di Puskesmas Sunggal Medan. TB Paru (Dermawanti 2014).

(28)

14

penyakit kronik termasuk TB. Untuk itu dibutuhkan komunikasi yang efektif antara petugas kesehatan atau PMO dengan penderita. Komunikasi yang terjalin efektif akan meningkatkan pemahaman dan motivasi dalam diri penderita untuk mengikuti nasihat dari petugas kesehatan atau PMO.

Kredibilitas Pengawas Minum Obat (PMO)

Kefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi adalah proses memahami. Afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan oleh perangsang dari luar. Konasi adalah aspek psikologi yang berkaitan dengan upaya atau perjuangan (Rakhmat 2012). Ciri–ciri efektif atau tidaknya komunikasi ditunjukkan oleh dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak behavioral yaitu : (1) Dampak kognitif adalah dampak yang timbul pada diri komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya; (2) Dampak afektif adalah dampak yang lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekedar agar komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya yang dapat menimbulkan perasaan tertentu, misalnya persaan iba, terharu, bahagia dan sebagainya; (3) Dampak behavioral adalah dampak yang paling tinggi kadarnya, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.

Menurut Rakhmat (2012), “etos atau faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas komunikator terdiri dari kredibilitas, atraksi dan kekuasaan”. Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Atraksi, faktor-faktor situasional yang mempengaruhi atraksi interpersonal: daya tarik fisik, kesamaan dan kemampuan. Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik karena menarik ia memiliki daya persuasif. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting.

Peran utama komunkator adalah untuk memengaruhi yang dalam bahasa psikologi komunikasi disebut persuasi (Liliweri 2011). Masalah komunikasi adalah masalah bagaimana cara komunikator memengaruhi pilihan komunikan. Masalah ini hanya bisa dijawab dengan persuasi dari komunikator.

(29)

15 membenci; (3) merasa takut atau membangkitkan harga diri; (4) merasa malu atau membangkitkan semangat kerja atau tidak bekerja.

Logos adalah kekuatan yang dimiliki komunikator (PMO) melalui argumentasinya meliputi; (1) invention yakni kemampuan menampilkan hukum logika (masuk akal); (2) arrangement yakni kemampuan menyampaikan informasi secara sederhana dan sesuai kemampuan pendengar; (3) style yakni gaya bicara yang menyenangkan; (4) memory yaitu menyampaikan dengan gambaran informasi yang diingat atau berkaitan; (5) delivery yakni kemampuan berbicara efektif.

Rohmana et al. (2014) mengatakan bahwa strategi DOTS di Indonesia diterapkan dengan menggunakan Pengawas Minum Obat (PMO). Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan dengan panduan Obat Anti TB (OAT) jangka pendek (6 bulan) dengan pengawasan langsung. Pengobatan yang diawasi secara langsung menjadi relatif lebih sukses dalam pengelolaan populasi penderita yang sulit. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO dengan persyaratan: (1) seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita; (2) seseorang yang tinggal dekat dengan penderita; (3) bersedia membantu penderita dengan sukarela; (4) bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita (Dirjen P2PL Depkes RI 2010).

PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidk ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PKK, tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Dirjen P2PL Depkes RI 2010). Tugas PMO adalah: (1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan; (2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur; (3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan; (4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (Dirjen P2PL Depkes RI 2010).

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada penderita dan keluarga yaitu:(1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan; (2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur; (3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya (4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan); (5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur; (6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke unit pelayanan kesehatan (Dirjen P2PL Depkes RI 2010).

Tingkat Kepatuhan Penderita

(30)

16

dibutuhkan; (3) Lamanya waktu di mana penderita harus mematuhi nasihat tersebut; (4) Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan; (5) Apakah pengobatan tersebut terlihat berpotensi menyelamatkan hidup; (6) Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh penderita dan bukan profesional kesehatan.

Kepatuhan berobat berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Perilaku sehat seseorang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan bersifat langgeng. Pengetahuan penderita TB tentang penyakitnya, kesadaran untuk sembuh dari penyakitnya merupakan dasar penderita berperilaku mencegah dan patuh terhadap pengobatan (Notoatmodjo 2007).

Menurut Istiawan et al. (2006) factor-faktor yang memengaruhi kepatuhan berobat penderita TB adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendapatan, jarak pelayanan kesehatan dan dukungan pengawas minum obat serta peran petugas kesehatan dalam memotivasi perubahan perilaku. Beberapa hasil studi menemukan bahwa penderita yang tidak teratur berobat dan putus obat disebabkan: (1) tidak mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan; (2) tidak ada kunjungan rumah oleh petugas kesehatan, faktor ekonomi/tidak bekerja.

Menurut Sacket (1985) dalam Panjaitan (2013) faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat.

Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus. Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi 4 (empat) bagian yaitu :

(1) Pemahaman tentang instruksi. Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan intruksi yang harus diingat oleh penderita. Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan penderita ditemukan oleh Niven (2012) yaitu: (a) buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan; (b) berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain; (c) jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat maka akan ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal yang perlu ditekankan;

(31)

17 interpersonal dalam memacu kepatuhan pengobatan secara garis besar menunjukkan sensitifitas dokter terhadap komunikasi verbal dan non verbal penderita, dan empati terhadap perasaan penderita, akan menghasilkan suatu kepatuhan sehingga akan menghasilkan suatu kepuasan;

(3) Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit;

(4) Keyakinan, sikap, kepribadian. Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya, bahkan hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya. Faktor-faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan adalah:

(a) Ciri-ciri morbiditas dan ciri-ciri pengobatan. Perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), sarana mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

(b) Komunikasi antara penderita dan dokter. Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter memengaruhi tingkat ketidakpuasan terhadap informasi aspek hubungan dengan pengawasan emosional yang kurang dengan dokter, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.

(c) Peubah-peubah sosial. Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada penderita yang kurang mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya penggunaan pengaruh normatif pada penderita, yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan. Sebagai contoh di Amerika serikat, kaum wanita, kaum kulit putih dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Sarafino 1994 dalam Panjaitan 2013).

(32)

18

nafsu makan berkurang, demam/meriang berkepanjangan, berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan (Tuti et al. 2014).

Seseorang dinyatakan sakit TB setelah melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, sebanyak 3 kali, yaitu dahak sewaktu hari pertama, dahak pagi hari kedua dan dahak sewaktu hari ke dua. Pengambilan dahak akan diulang jika hasil pemeriksaan mikroskopis diragukan atau penderita tidak melengkapi pengumpulan dahaknya dalam waktu dua minggu dari pengumpulan pertama. Sampel dahak juga akan ditolak jika yang diberikan bukan dahak, melainkan cairan ludah (saliva) (Tuti et al. 2014).

Tahapan pengobatan Tuberkulosis (TB); Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis antibiotik dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman pesister), dapat dimatikan. Obat ditelan sebagai dosis tunggal dan sebaiknya diminum pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan tidak tepat), maka kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, maka pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung ( DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang PMO (Tuti et al. 2014).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada tahap awal obat diminum setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis obat, terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap awal tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita TB yang menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Pengobatan TB harus lengkap dan teratur.

Bila penderita berhenti minum obat sebelum selesai akan beresiko: Penyakit tidak sembuh dan tetap menularkan ke orang lain, Penyakit bertambah parah dan bisa berakibat kematian, Kuman TB yang ada dalam tubuh akan terus berkembang dan menjadi kebal terhadap Obat Anti TB (OAT), yang disebut dengan Multidrug Resistance (MDR-TB)/Extensively Drug Resistansce TB (XDR-TB) dan harus menggunakan obat yang lebih mahal serta waktu pengobatan yang lebih lama.

Cara mengetahui kemajuan pengobatan penderita TB dewasa dengan pemeriksaan ulang dahak menggunakan mikroskopis, pemeriksaan ulang dahak dilakukan sebanyak 3 kali yaitu: akhir tahap awal pengobatan, sebulan sebelum akhir pengobatan, akhir pengobatan. Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan untuk menilai hasil

pengobatan, apakah “sembuh” atau “gagal”. Sumber penularan TB adalah

penderita TB yang dahaknya mengandung kuman TB. Pada waktu batuk atau bersin, penderita TB menyebarkan percikan dahak yang mengandung kuman ke udara. Percikan dahak dapat bertahan selam beberapa jam dalam ruangan yang tidak terkena sinar matahari dan lembab. Resiko seseorang terpapar kuman TB ditentukan oleh jumlah percikan dahak dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penderita TB dapat menyebarkan sekitar 3000 kuman dalam percikan dahak sekali batuk. Semakin banyak kuman yang ditemukan dalam tubuh penderita berarti semakin besar kemungkinan menularkan kepada orang lain (Tuti et al. 2014).

(33)

19 penderita TB. Beberapa cara untuk mencegah penularan TB adalah: mengobati penderita hingga sembuh, menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin, untuk mencegah terperciknya kuman TB ke udara, tidak membuang dahak di sembarang tempat, rumah mempunyai ventilasi sirkulasi udara segar yang baik dan terkena sinar matahari. Jika ada penderita TB menular (TB positif), maka harus dilakukan pemeriksaan kontak serumah untuk mencari anggota keluarga lain yang memiliki gejala TB. Jika ada kasus TB anak, maka harus dicari sumber penularan dari orang dewasa di sekitar lingkungannya (Tuti et al. 2014).

Faktor kegagalan dan keberhasilan pengobatan TB. Kegagalan pengobatan TB dapat terjadi apabila: pengobatan tidak lengkap dan tidak teratur, penderita menghentikan pengobatan sebelum lengkap dikarenakan alasan apapun, seperti efek samping obat, merasa sudah sembuh, dan lain-lain, penderita terinfeksi/ komplikasi dengan penyakit lain seperti Human Immuno-deficiency Virus (HIV), Diabetes Mellitus (DM), dan lain-lain, rendahnya asupan gizi. Pengobatan TB akan berhasil bila dilakukan secara teratur dan lengkap sesuai dengan prosedur dan tahapan pengobatan. Keberhasilan ini sangat didukung oleh pendampingan pengawas minum obat (PMO) yang berasal dari keluarga/kader TB/petugas kesehatan (Tuti et al. 2014).

Perspektif Pengawas Minum Obat tentang Peran Gender

Menurut Hubeis (2010), gender adalah konstruksi sosial yang mengacu pada perbedaan sifat perempuan dan lelaki yang tidak didasarkan pada perbedaan biologis tetapi pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peranan perempuan dan lelaki dalam kehidupan perseorangan (pribadi) dan dalam tiap bidang masyarakat yang menghasilkan peran gender. Dengan kata lain, gender mengacu pada hubungan antara lelaki dan perempuan serta cara dan proses implementasi gender dikonstruksikan di masyarakat. Berbagai konsep gender tersebut memerlukan suatu perspektif penalaran, dalam hal ini yang disebut perspektif gender adalah kerangka nalar untuk membedakan segala sesuatu yang bersifat normatif dan biologis serta segala sesuatu yang merupakan produk sosio-budaya dalam bentuk proses kesepakatan normatif dan fleksibilitas sosial yang dapat ditransformasikan. Sedangkan analisis yang dilakukan untuk membedakan sesuatu yang bersifat biologis dan normatif memerlukan suatu analisis yaitu analisis gender.

(34)

20

Peran gender bisa berbeda antar masyarakat atau bahkan antar kelompok di dalam masyarakat tertentu dan bisa mengalami perubahan setiap saat. Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk jenis kelamin tertentu dan masyarakat tertentu. Peran gender secara universal untuk perempuan dan lelaki diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu:

(1) Peran reproduktif (domestic). Peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Kegiatan reproduktif sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga, namun jarang dipertimbangkan sebagai bentuk pekerjaan yang kongkrit.

(2) Peran produktif (public). Pekerjaan produktif menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk konsumsi dan diperjualbelikan (petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha). Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal keadaan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan. Contohnya untuk kegiatan pertanian maka kegiatan membajak atau bekerja menggunakan mesin merupakan tanggungjawab lelaki sedangkan pekerjaan menanam, menyiangi yang dianggap ringan merupakan pekerjaan perempuan.

(3) Peran masyarakat (social). Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan, misalnya membantu pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan pelayanan kesehatan seperti Posyandu dan PKK, menyiapkan makanan untuk acara kemasyarakatan atau pekerjaan yang dipandang tepat untuk tiap orang menurut perbedaan jenis kelamin.

Hasil penelitian Puspitawati (2010) menunjukkan bahwa perempuan dipersepsikan oleh masyarakat sebagai aktor yang berperan sebagai figur ekspresif, yaitu berfungsi sebagai pemelihara dan pendidik keluarga, sedangkan laki-laki dipersepsikan oleh masyarakat sebagai figur instrumental, yaitu berfungsi sebagai pencari nafkah keluarga. Hal ini sesuai dengan pustaka dari Megawangi dalam Puspitawati (2010) bahwa perempuan berperan sebagai figur ekspresif dan laki-laki sebagai figur instrumental.

Menurut Shaevits dalam Mochammad (2011) perbedaan cara berpikir, bereaksi, berperilaku, bercakap-cakap, berpenalaran dan dalam menghadapi situasi antara laki-laki dan perempuan adalah cara mereka dibesarkan. Watak lembut, halus dan kelebihan perasaan lebih dominan terdapat pada perempuan sedangkan kekerasan, pendirian teguh, kecerdikan merupakan watak laki-laki. Budi (2010) mendapatkan bukti empiris bahwa ada hubungan yang bermakna antara peran karakteristik PMO untuk peubah jenis kelamin dengan keberhasilan pengobatan paru.

Hasil Penelitian Terdahulu

Gambar

Gambar 1  Kerangka berpikir komunikasi interpersonal pengawas minum obat
Tabel 2, dapat dilihat nilai validitas yang diperoleh berkisar antara 0.428 hingga
Tabel 3 Peubah dan nilai koefisien reliabilitas penelitian
Tabel 6 Jumlah dan persentase penderita TB berdasarkan jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Penetapan 13 Juni 2011, maka sebagaimana berikut:. Nomor

In the next sections we will discuss the contributing factors to the economic decline of the ‘Abbasid empire, in particular those of civil wars, uprisings, military iqt\a>‘

Menurut Syifa, masyarakat Indonesia saat ini bisa dikatakan dalam masa transisi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Salah satu hal yang menyebabkan transisi

peubahnya tidak memuat eksponensial, trigonometri  (seperti  sin ,  cos

Pengertian belajar menurut W.S Winkel (2002) adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan, dan menghasilkan

Biaya yang dikeluarkan dari pelaksana kegiatan ini dibebankan pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT

The CEOS Recovery Observatory Pilot will cover a multi-year period, beginning with a preparatory phase, in which satellite agencies collaborate with international

The locally-adaptive algorithm we developed using time series of MODIS-derived NBR index outperformed all the global products in mapping the extent and number of