• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan

Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan menggunakan unsur interpretasi citra diantaranya bentuk, rona dan tekstur. Berdasarkan tampilan di layar komputer dan pengamatan lapang didapatkan beberapa penggunaan lahan diantaranya, tanaman pertanian lahan basah (meliputi sawah pada berbagai fase tumbuh: fase air, fase vegetatif, fase generatif, bera), tanaman pertanian lahan kering (kebun campuran/tegalan), lahan terbangun (permukiman/areal industri), tambak, mangrove dan badan air. Berikut ini diuraikan masing-masing ciri kelas penggunaan lahan yang ada.

Tanaman pertanian lahan basah. Kelas penggunaan lahan ini merepresentasikan pertanian padi pada lokasi studi. Kelas ini merupakan gabungan dari berbagai fase penutupan (tanaman atau permukaan) yaitu sawah fase air dimana padi baru saja ditanam dengan umur sekitar satu bulan, sawah fase vegetatif dimana padi berumur sekitar 2-3 bulan, sawah fase generatif dimana padi berumur 3-4 bulan dan siap panen, dan sawah fase bera yang merupakan fase istirahat dimana pada areal ini hanya terdapat sisa tegakan jerami dari padi yang sudah dipanen. Pada citra, tanaman pertanian lahan basah ditampilkan dengan rona/warna beragam. Pada citra Landsat tahun 1995 dan 2000 dengan kombinasi RGB 542, sawah fase air ditampilkan berwarna biru tua dengan tekstur halus, sawah fase vegetatif berwarna hijau muda dengan tekstur halus, sawah fase generatif berwarna kuning dengan tekstur halus dan sawah fase bera berwarna ungu kemerahan dengan tekstur halus. Sedangkan pada citra ALOS tahun 2006 dan 2009 dengan kombinasi warna alami (natural colour), sawah fase air digambarkan dengan warna hijau kebiruan dengan tekstur halus, sawah fase vegetatif berwarna hijau muda dengan tekstur halus, sawah fase generatif berwarna hijau dengan tekstur halus dan sawah fase bera berwarna kuning kecoklatan dengan tekstur halus.

(2)

areal berupa kebun campuran dan/tegalan. Tanaman pertanian lahan kering biasanya ditanami tanaman tahunan dan tanaman setahun yang bercampur dengan belukar. Pada citra Landsat tahun 1995 dan 2000, tanaman pertanian lahan kering terlihat berwarna hijau agak tua dengan tekstur kasar yang berbaur dengan permukiman. Sedangkan pada citra ALOS tahun 2006 dan 2009, tanaman pertanian lahan kering berwarna hijau tua dengan tekstur kasar yang berbaur dengan pemukiman. Tanaman pertanian lahan kering di daerah penelitian cenderung menyebar tetapi banyak dijumpai di daerah selatan. Gambar-gambar berikut menunjukkan perbandingan obyek penggunaan lahan pada citra Landsat dan ALOS AVNIR-2. Sedangkan Tabel 7 menyajikan kunci interpretasi visual pada masing-masing citra yang digunakan.

Tabel 7. Perbandingan Penampakan Obyek Pada Citra Landsat dan ALOS AVNIR-2

No. Penggunaan Lahan Kenampakan Objek Landsat ALOS 1. Tanaman Pertanian Lahan Basah

- Fase Air Warna biru tua dengan tekstur halus

Warna hijau sedikit biru dengan tekstur halus

- Fase Vegetatif Warna hijau muda dengan tekstur halus

Warna hijau muda dengan tekstur halus

- Fase Generatif Warna kuning dengan tekstur halus

Warna hijau dengan tekstur halus - Fase Bera Warna ungu kemerahan dengan

tekstur halus

Warna kuning agak coklat dengan tekstur halus

2. Tanaman Pertanian Lahan Kering

Warna hijau agak tua dengan tekstur kasar yang berbaur dengan permukiman

Warna hijau tua dengan tekstur kasar yang berbaur dengan pemukiman

3. Lahan Terbangun Warna ungu tua dan putih dengan tekstur kasar

Warna merah agak oranye dan putih dengan tekstur kasar 4. Tambak Warna biru tua dengan tekstur

halus

Warna hijau agak coklat dengan tekstur halus

5. Mangrove Warna hijau muda dan berada di pinggir laut dan tambak dengan tekstur halus

Warna hijau tua dan berada di pinggir laut dan tambak dengan tekstur halus

(3)

a. b. c.

Gambar 4. Penampakan Objek Pada Citra Landsat (a) TPLB fase air, (b) TPLB fase bera, (c) TPLK, (d) Tambak, (e) Mangrove, (f) TPLB fase vegetatif, (g)

Lahan Terbangun, (h) Badan air, (i) TPLB fase generatif

a. b. c.

Gambar 5. Penampakan Objek Pada Citra ALOS AVNIR (a) TPLB fase bera, (b) Lahan Terbangun, (c) TPLB fase air, (d) TPLB fase vegetatif, (e) TPLB fase

generatif, (f) Tambak, (g) Mangrove, (h) TPLK, (i) Badan air

Lahan terbangun. Lahan terbangun merupakan kelas gabungan areal

permukiman dengan areal industri di daerah penelitian. Pada citra Landsat tahun 1995 dan 2000, lahan terbangun disajikan berwarna ungu tua dan putih dengan tekstur kasar. Sedangkan pada citra ALOS tahun 2006 dan 2009, lahan terbangun ditandai dengan warna merah kekuningan dan putih dengan tekstur kasar. Obyek ini memiliki pola teratur mengikuti jalan dan sungai dan pola kurang teratur yang berbaur dengan vegetasi. Pada areal industri, pola terlihat lebih teratur dengan bentuk poligon yang jelas, sedangkan pada areal permukiman, pola ditunjukkan kurang teratur dan menyebar.

Tambak. Tambak merupakan kolam buatan untuk budidaya ikan/udang. Pada

(4)

kecoklatan dengan tekstur halus. Tambak memiliki batas yang jelas dan ukuran bedengan lebih besar dari tanaman pertanian lahan basah.

Mangrove. Mangrove merupakan tanaman yang tumbuh di atas rawa berair payau

yang terletak pada pinggir pantai. Pada citra Landsat tahun 1995 dan 2000, mangrove berwarna hijau muda dan berada di pinggir laut dan tambak. Sedangkan pada citra ALOS tahun 2006 dan 2009, mangrove berwarna hijau tua dan berlokasi di pinggir laut dan tambak.

Badan air. Pada citra Landsat tahun 1995 dan 2000 serta citra ALOS tahun 2006

dan 2009, badan air berwarna biru dengan tekstur halus. Badan air dapat berupa sungai, danau/situ dan laut.

Pola penggunaan lahan wilayah studi hasil interpretasi visual disajikan pada gambar berikut.

(5)

Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi

Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km a. Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km b. Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km c. Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km d. KABUPATEN BOGOR KABUPATEN BEKASI DKI JAKARTA KABUPATEN TANGERANG KOD.BEKASI KOD.DEPOK KOD.TANGERANG KOD.BOGOR U 5 0 5 Km

Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2000 Badan air Lahan terbangun Mangrove Tambak TPLB TPLK Batas Kecamatan

(6)

5.2. Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi

5.2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi

Seperti terangkum dalam Tabel 8 dan Gambar 7, penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi tidak terlalu banyak berubah terutama pada penggunaan lahan tanaman pertanian lahan basah. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah penelitian berupa penurunan luas kawasan pertanian baik pertanian lahan basah maupun pertanian lahan kering untuk penyediaan kawasan terbangun baik untuk permukiman, industri maupun jasa lainnya. Laju peningkatan luas penggunaan lahan yang terbesar adalah badan air sebesar 7,9 %, tetapi dilihat dari total luasannya perubahan penggunaan lahan yang terbesar adalah peningkatan luas lahan terbangun yaitu sebesar 11806,02 ha. Sedangkan laju penurunan penggunaan lahan terbesar terjadi pada kelas TPLK yaitu sebesar 1,7 % atau seluas 8131,12 ha.

Tabel 8. Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi

Penggunaan Lahan

Luas (Ha) Laju Perubahan

Luas Per Tahun (%) 1995 2000 2006 2009 Badan air 138,26 196,08 330,72 330,72 7,9% Lahan terbangun 8570,98 11586,76 17296,65 20377 7,3% Mangrove 298,38 451,38 401,72 401,72 2,9% Tambak 9367,02 9582,94 7893,54 7893,54 -1,1% Tanaman Pertanian Lahan

Basah 73125,46 72401,33 72722,41 70690,30 -0,2% Tanaman Pertanian Lahan

Kering 37141,42 34468,2 30058,53 29010,30 -1,7%

(7)

Berdasarkan hasil di atas dapat diketahui bahwa penggunaan tanaman pertanian lahan basah di Kabupaten Bekasi merupakan penggunaan lahan yang dominan diikuti oleh tanaman pertanian lahan kering dan lahan terbangun. Hal ini dipengaruhi oleh topografi daerah penelitian yang relatif datar. Gambar berikut menyajikan informasi yang diperoleh pada saat survei lapang.

a. (107,11 ; -6,19) b. (107,03 ; -6,00)

c. (107,17 ; -6,46) d. (107,08 ; -6,38)

e. (107,11 ; -6,30)

Gambar 8. Foto pengecekan lapang (a) TPLB, (b) Tambak, (c) Badan Air, (d) TPLK, (e) Lahan Terbangun

Konversi lahan di Kabupaten Bekasi cenderung terjadi dalam rangka menyediakan lahan untuk permukiman, industri maupun jasa lainnya. Lahan

(8)

terbangun cenderung terus meningkat sesuai dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat di Kabupaten Bekasi. Pada kurun waktu 11 tahun (dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2006), perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi cenderung membentuk gerombol (cluster). Perubahan penggunaan lahan yang menggerombol terjadi di Kecamatan Tambun Selatan, Cikarang Utara, Cikarang Barat, Cikarang Timur dan Cikarang Selatan yang merupakan kecamatan dengan basis industri berskala menengah dan besar serta merupakan kecamatan yang menjadi pusat perdagangan dan jasa. Sedangkan Cikarang Pusat yang merupakan ibukota Kabupaten Bekasi tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Perubahan yang umum terjadi di ibukota Kabupaten Bekasi tersebut adalah dari pertanian lahan basah menjadi lahan terbangun (perkantoran dan pertokoan). Sedangkan di kecamatan lain, perubahan penggunaan lahan relatif menyebar secara spasial dengan perubahan yang tidak terlalu signifikan. Perubahan yang dominan terjadi di lokasi selain ibukota Kabupaten Bekasi adalah dari pertanian lahan kering menjadi lahan terbangun.

Perubahan penggunaan lahan terbesar pada kurun waktu 1995-2000 dan 2000-2006 terjadi di Kecamatan Cikarang Barat dan Cikarang Utara masing-masing sebesar 430,43 ha dan 1491,18 ha dengan bentuk perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa terdapat kecamatan yang tidak mengalami perubahan selama kurun waktu 11 tahun (1995-2006) yaitu Setu, Serang Baru dan Bojongmangu. Dari informasi yang dikumpulkan di lapangan, diketahui bahwa hal ini mungkin terjadi karena aksesibilitas ke wilayah tersebut cukup terbatas sampai saat ini.

Pada periode pengamatan tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, perubahan yang terjadi di Kabupaten Bekasi relatif menyebar secara tidak teratur dan mengindikasikan fenomena urban sprawl dengan pusat penyebaran berada di Kecamatan Tambun Selatan, Cikarang Utara, Cikarang Barat, Cikarang Timur dan Cikarang Selatan. Urban sprawl merupakan pertumbuhan periferi yang meluas dimana lokasinya tidak terbatas dan tidak berdekatan dengan pusat pembangunan kawasan metropolitan (Martinuzzi et al., 2006). Menurut Batisani

et al. (2008), perkembangan urban sprawl merupakan salah satu faktor yang

(9)

Hasse and Lathrop (2003) berpendapat bahwa urban sprawl merupakan salah satu bentuk spesifik dari perkembangan lahan terbangun yang memiliki kepadatan rendah, menyebar dan memiliki dampak karakteristik sosial. Lokasi perubahan penggunaan lahan pada periode 2000-2006 diindikasikan menjadi pusat penyebaran perubahan penggunaan lahan pada periode berikutnya (2006-2009).

Pada kurun waktu 2006-2009 perubahan pengggunaan lahan terbesar terjadi di Kecamatan Muaragembong dengan perubahan TPLB menjadi TPLK. Sedangkan perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun maupun penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun terjadi hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Bekasi. Kecamatan yang tidak mengalami perubahan penggunaan lahan pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 adalah Bojongmangu. Dari hasil survei lapang diketahui bahwa walaupun Kecamatan Bojongmangu berdekatan dengan ibukota Kabupaten Bekasi, kecamatan ini memiliki aksesibilitas yang sangat terbatas dan lokasi kecamatan ini jauh dari jalan tol, jalan arteri dan jalan kolektor utama di Kabupaten Bekasi. Selain itu kecamatan ini juga memiliki topografi yang bergelombang dan memiliki jumlah penduduk paling sedikit di Kabupaten Bekasi yaitu 25.508 jiwa serta nilai PDRB perkapita yang kecil yaitu 5.891.279,99 rupiah (BPS Kabupaten Bekasi, 2007). Tabel 9 menyajikan secara rinci luas perubahan penggunaan lahan dari pengggunaan TPLB menjadi lahan terbangun per kecamatan.

(10)

Tabel 9. Perubahan Penggunaan Lahan TPLB menjadi Lahan Terbangun

Kecamatan Luas (Ha)

95-00 00-06 06-09 Babelan 109,49 196,53 Bojongmangu Cabangbungin 24,30 Cibarusah 25,43 Cibitung 26,98 192,80 Cikarang Barat 60,04 215,79 180,06 Cikarang Pusat 66,59 76,91 Cikarang Selatan 179,99 13,85 Cikarang Timur 12,47 299,37 38,70 Cikarang Utara 371,71 230,97 Karangbahagia 21,47 99,41 Kedungwaringin 31,78 33,27 Muaragembong Pebayuran 39,89 25,69 Serang Baru Setu 10,65 47,53 Sukakarya 54,31 14,83 5,65 Sukatani 74,06 Sukawangi 4,70 0,42 7,08 Tambelang 17,08 Tambun Selatan 35,18 155,47 Tambun Utara 230,90 80,93 Tarumajaya 11,98 104,21 64,01 Total 355,27 1637,11 1500,1

Perubahan Per Tahun (Ha) 71,04 272,85 500,03

Tabel 9 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari TPLB menjadi lahan terbangun pada kurun waktu 1995 sampai 2000 terjadi hanya di beberapa kecamatan antara lain Kecamatan Cikarang Barat (60,04 ha), Cikarang Selatan (179,99 ha), Cikarang Timur (12,47 ha), Kedungwaringin (31,78 ha), Sukakarya (54,31 ha), Sukawangi (4,70 ha) dan Tarumajaya (11,98 ha). Sedangkan pada kurun waktu 2000 sampai 2006 dan kurun waktu tahun 2006 sampai 2009 perubahan terjadi menyebar hampir di seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Bojongmangu, Muaragembong dan Serang Baru. Pada kedua periode tersebut perubahan terbesar terjadi di Kecamatan Cikarang Utara, masing-masing sebesar 371,71 ha dan 230,97 ha. Dilihat dari rata-rata luas perubahannya, perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun terbesar terjadi pada kurun waktu 2006 sampai 2009, dengan rata-rata luas perubahan 500,03 ha per tahun. Sementara pada periode sebelumnya rata-rata perubahan sebesar 71,04 ha pada 1995-2000 dan 272,85 ha pada 2000-2006. Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun seharusnya tidak boleh terjadi. UU No.41 Pasal

(11)

51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak irigasi dan infrastruktur lainnya serta mengurangi kesuburan tanah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Apabila hal itu dilakukan, orang tersebut harus melakukan rehabilitasi terhadap lahan yang dirusak. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dimaksud adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok (TPLB). Terjadinya perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun menunjukkan lemahnya pengawasan dan pengendalian pemerintah terhadap penggunaan lahan pertanian. Berikutnya pada Tabel 10 disajikan perubahan penggunaan lahan dari penggunaan TPLK menjadi lahan terbangun.

Tabel 10. Perubahan Penggunaan Lahan TPLK menjadi Lahan Terbangun

Kecamatan Luas (Ha)

95-00 00-06 06-09 Babelan 511,81 113,34 Bojongmangu Cabangbungin 6,19 215,31 Cibarusah 40,86 Cibitung 82,26 44,6 140,92 Cikarang Barat 370,39 437,91 257,58 Cikarang Pusat 24,81 138,67 239,91 Cikarang Selatan 110,84 721,25 541,98 Cikarang Timur 256,82 150,77 Cikarang Utara 234,20 1102,52 200,45 Karangbahagia 32,41 1,21 154,78 Kedungwaringin 10,65 172,33 Muaragembong 14,09 189,89 Pebayuran 69,89 Serang Baru 24,36 Setu 16,52 Sukakarya 46,95 41,89 Sukatani 205,49 0,09 Sukawangi 207,26 92,67 Tambelang 33,52 65,36 Tambun Selatan 374,74 353,6 7,11 Tambun Utara 289,22 13,78 Tarumajaya 64,69 Total 2619,52 4002,01 1804,36

(12)

Tabel 10 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun menyebar merata hampir di seluruh kecamatan pada tiga periode waktu kecuali Kecamatan Bojongmangu, Cibarusah, Pebayuran, Serang Baru, Setu dan Tarumajaya. Pada kurun waktu 1995 sampai 2000 perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi di Kecamatan Babelan sebesar 511,11 ha. Pada kurun waktu 2000 sampai 2006 terjadi perubahan di Kecamatan Cikarang Utara sebesar 1102,52 ha. Sedangkan pada kurun waktu 2006 sampai 2009, perubahan sebesar 541,98 ha terjadi di Kecamatan Cikarang Selatan. Jika dilihat dari total luas dan rata-rata luas perubahan penggunaan lahan per tahunnya, perubahan penggunaan lahan dari TPLK menjadi lahan terbangun terjadi pada kurun waktu 2000 sampai 2006 yaitu sebesar 667,00 ha per tahun.

Tabel 11. Perubahan Penggunaan Lahan TPLB menjadi TPLK

Kecamatan Luas (Ha)

95-00 00-06 06-09 Babelan Bojongmangu Cabangbungin Cibarusah Cibitung 4,49 2,54 Cikarang Barat 9,22 Cikarang Pusat 12,24 Cikarang Selatan 60,10 Cikarang Timur 16,95 23,72 Cikarang Utara Karangbahagia 11,06 Kedungwaringin Muaragembong 625,76 Pebayuran Serang Baru Setu 94,09 Sukakarya Sukatani 19,06 Sukawangi Tambelang 4,19 Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya 7,83 Total 0 93,78 797,47

(13)

Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK seperti ditunjukkan Tabel 11 tidak terjadi pada kurun waktu 1995 sampai 2000. Pada kurun waktu 2000 sampai 2006, perubahan hanya terjadi di Kecamatan Cibitung (4,49 ha), Cikarang Pusat (12,24 ha), Cikarang Selatan (60,10 ha) dan Cikarang Timur (16,95 ha). Pada periode tersebut, Kecamatan Cikarang Selatan merupakan kecamatan yang mengalami perubahan terluas yaitu sebesar 60,10 ha. Sedangkan pada kurun waktu 2006 sampai 2009 perubahan terlihat lebih menyebar dan perubahan dominan terjadi di Kecamatan Muaragembong yaitu seluas 625,76 ha. Dilihat dari rata-rata luas perubahannya, perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK terbesar terjadi pada kurun waktu 2006 sampai 2009 dengan rata-rata luas perubahan 265,82 ha dari rata-rata-rata-rata perubahan pada periode sebelumnya sebesar 15,63 ha.

Dua jenis perubahan penggunaan lahan, yaitu TPLB menjadi lahan terbangun dan TPLB menjadi TPLK diketahui memiliki rata-rata luas perubahan paling tinggi pada kurun waktu 2006 sampai 2009. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun dan TPLB menjadi TPLK semakin cepat tiap tahunnya. Sedangkan perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun memiliki rata-rata luas perubahan terbesar pada periode waktu 2000 sampai 2006.

Gambar 9. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1995-2009

Gambar 9 memperlihatkan bahwa penurunan luas penggunaan lahan tertinggi di Kabupaten Bekasi adalah TPLK sedangkan peningkatan luas penggunaan lahan terbesar adalah lahan terbangun. Berubahnya fungsi lahan di Kabupaten Bekasi merupakan salah satu indikasi dari berlakunya Perda No. 13

(14)

Tahun 1998 yang menetapkan Kabupaten Bekasi sebagai zona industri, sehingga lahan pertanian akan semakin banyak dikonversi menjadi lahan terbangun (industri, permukiman dan pertokoan). Sebaran spasial perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bekasi pada tiga periode waktu yang berbeda disajikan pada Gambar berikut.

5.2.2. Keterkaitan antara Beberapa Jenis Akses Jalan dengan Perubahan Penggunaan Lahan

Analisis korelasi berguna untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara perubahan penggunaan lahan dan jenis jalan (aksesibilitas). Analisis tersebut dapat menggambarkan keterkaitan antara aksesibilitas terhadap dinamika alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Hasil analisis korelasi ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Korelasi Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Jenis Jalan

Jenis Jalan TPLK-LT TPLB-TPLK TPLB-LT

Jalan Lokal 0,004 0,110 0,107

Jalan Kolektor -0,061 0,342 -0,037

Jalan Arteri -0,031 0,321 0,007

Jalan Tol -0,057 0,278 -0,026

Jalan Kereta Api -0,009 0,328 -0,001

Jalan Kereta Api Rangkap -0,064 0,272 -0,015 Yang dicetak tebal merupakan peubah yang berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Dari hasil analisis korelasi, ditunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK berkorelasi positif dengan jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan kereta api dan jalan kereta api rangkap. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan luas penggunaan lahan TPLK disertai penurunan luas penggunaan lahan TPLB dipengaruhi oleh kedekatan terhadap jalan. Sedangkan perubahan penggunaan lahan dari TPLB menjadi lahan terbangun hanya berkorelasi positif dengan jalan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan luas lahan terbangun yang berasal dari penggunaan lahan TPLB memiliki hubungan dengan aksesibilitas ke jalan lokal. Jalan kereta api rangkap merupakan moda transportasi yang memiliki pengaruh paling kecil terhadap perubahan penggunaan lahan. Hal ini disebabkan penggunaan lahan di sekitar jalan kereta umumnya telah berupa lahan terbangun sehingga penggunaan lahan ini tidak akan berubah menjadi penggunaan lahan yang lain.

(15)

Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi

Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km a. Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km b. Setu Muaragembong Pebayuran Babelan Sukawangi Cibitung Serang Baru Sukatani Cibarusah Bojongmangu Cikarang Barat Cikarang Pusat Cabangbungin Cikarang Selatan Tambun Selatan Tambun Utara Tarumajaya Sukakarya Tambelang Karangbahagia Kedungwaringin Cikarang Timur Cikarang Utara 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a 5 0 5Km c. KABUPATEN BOGOR KABUPATEN BEKASI DKI JAKARTA KABUPATEN TANGERANG KOD.BEKASI KOD.DEPOK KOD.TANGERANG KOD.BOGOR U 5 0 5 Km Batas Kecamatan

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2006 Perubahan Penggunaan Lahan 1995-2000 Perubahan Penggunaan Lahan

TPLB-LT TPLB-TPLK TPLK-LT Jalan

Jalan Kereta Api Jalan Kereta Api Rangkap Jalan Tol Nasional Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Lokal

(16)

5.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan Penggunaan Lahan

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya (Ismail, 2004 dan Rahmasari, 2004), diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika penggunaan lahan diantaranya laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi serta jumlah dan jenis fasilitas disuatu wilayah. Laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah secara langsung dapat mempengaruhi laju peningkatan kepadatan penduduk dan berpotensi mempengaruhi dinamika penggunaan lahan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11, Kecamatan Tambun Selatan memiliki jumlah penduduk yang paling tinggi yaitu sebesar 357.821 jiwa pada tahun 2007. Sedangkan jumlah penduduk paling rendah terdapat di Kecamatan Bojongmangu yaitu sebesar 25.508 jiwa. Hal ini terjadi karena Kecamatan Tambun Selatan merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan keberadaannya akan berdampak pada jumlah penduduk. Sedangkan Kecamatan Bojongmangu memiliki jumlah penduduk paling rendah karena merupakan salah satu kecamatan yang jauh dari pusat kota Bekasi dan memiliki aksesibilitas yang rendah.

Gambar 11. Jumlah Pertumbuhan Penduduk tahun 2000 sampai 2007

Disamping jumlah dan pertumbuhan penduduk, faktor lain yang diduga terkait dengan perubahan penggunaan lahan adalah pertumbuhan ekonomi. PDRB menggambarkan laju pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Gambar 12 menunjukkan bahwa Kecamatan Cikarang Barat memiliki nilai PDRB paling tinggi. Hal ini terjadi karena Kecamatan Cikarang Barat merupakan salah satu kecamatan yang memiliki kegiatan utama industri. Sedangkan nilai PDRB yang

(17)

paling rendah terdapat di Kecamatan Bojongmangu yang merupakan wilayah dengan topografi bergelombang dan berada jauh dari pusat pertumbuhan. Sehingga hal ini menyebabkan rendahnya aktifitas perekonomian di Kecamatan Bojongmangu.

Gambar 12. Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2003 sampai 2006

Laju perubahan jenis dan jumlah fasilitas di suatu wilayah juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan. Gambar 13 menunjukkan laju perubahan jumlah penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial. Kecamatan yang memiliki laju perubahan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Cibarusah. Kecamatan yang memiliki laju perubahan fasilitas pendidikan tertinggi adalah Kecamatan Tambun Utara. Kecamatan yang memiliki laju perubahan fasilitas kesehatan tertinggi adalah Kecamatan Cikarang Pusat. Kecamatan yang memiliki fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial paling tinggi adalah Kecamatan Setu dan Kecamatan Cibarusah. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang letaknya dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan dan dekat dengan pusat perubahan penggunaan lahan.

(18)

Gambar 13. Rataan Laju Perubahan Jumlah Fasilitas per Tahun dari Tahun 2003 sampai 2008

5.2.3.1. Analisis Regresi Bertatar (Stepwise Regression Analysis)

Analisis penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi dilakukan dengan metode regresi bertatar dengan pendekatan forward stepwise. Peubah tujuan dalam analisis ini adalah perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun (disimbolkan sebagai PPL1), perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK (PPL2) dan perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun (PPL3). Keseluruhan hasil analisis disajikan pada Tabel 13.

Dari hasil analisis regresi PPL1, diketahui bahwa peubah yang berperan positif adalah jarak jalan arteri dan jalan lokal. Dari hasil tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: semakin jauh jarak terhadap jalan arteri dan jalan lokal maka kejadian perubahan TPLB menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Artinya perubahan penggunaan lahan khususnya dari TPLB menjadi lahan terbangun banyak terjadi di lokasi yang jauh dari jalan arteri dan jalan lokal. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk, laju fasilitas ekonomi, luas perubahan badan air, luas perubahan TPLB, alokasi ruang untuk TPLB, jarak terhadap jalan kereta api dan jalan kolektor berperan negatif dalam PPL1. Hal ini dapat terjadi diantaranya karena perubahan dari TPLB ke lahan terbangun terjadi khususnya terkait dengan pengembangan kawasan industri dan jasa pemerintahan. Artinya perkembangan yang terjadi terkait dengan pengembangan lokasi aktifitas bukan lokasi tempat tinggal penduduk.

Dari hasil analisis regresi PPL2 (perubahan dari TPLB menjadi TPLK), diketahui bahwa peubah yang berperan positif diantaranya laju fasilitas kesehatan,

(19)

luas perubahan badan air, luas perubahan tambak, luas perubahan TPLB dan jarak terhadap jalan lokal, sehingga peningkatan laju fasilitas kesehatan, luas perubahan badan air, luas perubahan tambak, luas perubahan TPLB dan semakin jauhnya jarak terhadap jalan lokal akan meningkatkan PPL2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk, luas perubahan mangrove, luas perubahan TPLK menjadi lahan terbangun, alokasi ruang untuk TPLK, jarak terhadap jalan tol dan jalan kolektor berperan negatif terhadap pola perubahan PPL2. Hal ini mungkin terjadi karena tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan lahan industri dan bukan untuk lahan permukiman dan kebijakan pemerintah juga berdampak pada perubahan ini.

Dari hasil analisis regresi diketahui peubah yang berperan negatif dalam proses perubahan lahan kering menjadi lahan terbangun (PPL3) adalah laju fasilitas kesehatan, luas perubahan TPLK dan jarak terhadap jalan arteri. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan laju fasilitas kesehatan, luas perubahan TPLK dan semakin jauhnya jarak terhadap jalan arteri akan menyebabkan kecilnya perubahan TPLK menjadi lahan terbangun. Sedangkan jarak terhadap jalan kereta api dan jarak kereta api rangkap berperan positif terhadap PPL3 yang berarti semakin jauh jarak terhadap jalan kereta api dan jalan kereta api rangkap maka perubahan TPLK menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena di sekitar jalan kereta api dan jalan kereta api rangkap sudah merupakan lahan terbangun dan tidak akan terjadi perubahan lagi. Faktor jarak masing-masing jalan terhadap perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 12.

(20)

Tabel 13. Nilai Parameter Hasil Analisis Regresi Perubahan Penggunaan Lahan per Satuan Wilayah

Peubah Yang Berpengaruh Nyata Y1 Y2 Y3

∆ Penduduk -0,19 -0,04 ∆f Ekonomi -0,32 ∆f Kesehatan 0,02 -0,62 ∆ Badan Air -0,33 0,04 ∆ Tambak 0,02 ∆ Mangrove -0,95 ∆ TPLB -0,84 0,13 ∆ TPLK -0,36 Alokasi RTRW untuk TPLB -0,20 Alokasi RTRW untuk TPLK -0,02 d tol ke ∆TPLB-TPLK -0,62 d kolektor ke ∆TPLB-TPLK -0,27 d lokal ke ∆TPLB-TPLK 0,47 d arteri ke ∆TPLB-LT 1,65 d kereta api ke ∆TPLB-LT -1,83 d lokal ke ∆TPLB-LT 0,46 d kolektor ke ∆TPLB-LT -0,33 d arteri ke ∆TPLK-LT -3,33 d kereta api ke ∆TPLK-LT 3,41

d kereta api rangkap ke ∆TPLK-LT 0,58

∆TPLK-LT00_09 -0,05

R2 0,99 0,99 0,79

Keterangan: Y1: Perubahan TPLB-LT Y2: Perubahan TPLB-TPLK Y3: Perubahan TPLK-LT d : Jarak Jalan

∆ : Laju Perubahan Jumlah f : Fasilitas

Perubahan penggunaan lahan dari tanaman pertanian lahan basah menjadi tanaman pertanian lahan kering merupakan awal terbentuknya lahan terbangun. Pola tersebut juga ditengarai terjadi pada wilayah studi. Hal ini merupakan implikasi dari semakin berkembangnya wilayah Kabupaten Bekasi yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk sangat cepat. Korelasi antara jumlah penduduk dan nilai PDRB menunjukkan hubungan yang positif. Dengan demikian, penelitian ini menyajikan bukti empirik bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat cepat tersebut akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan untuk lahan terbangun, baik untuk permukiman maupun untuk usaha perdagangan/jasa.

(21)

bahwa peubah tujuan yang memiliki nilai R2 terbesar adalah luas perubahan penggunaan lahan proporsional (%) dan perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun yaitu masing-masing 0,83 dan 0,84. Tingginya nilai ini menunjukkan bahwa pemilihan peubah penduga sebagai peubah yang mempengaruhi peubah tujuan cukup tepat. Hanya terdapat kurang dari 20% peubah lain yang menjadi galat pemodelan dan belum dipertimbangkan dalam analisis tersebut. Ringkasan hasil analisis regresi berbasis poligon pada beberapa pola perubahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 14.

Jumlah penduduk per ha, laju pertumbuhan PDRB, laju perubahan fasilitas sosial, fasilitas ekonomi, jarak terhadap jalan kereta api rangkap dan jalan lokal berperan positif terhadap peubah tujuan Y1 dan Y3. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk per ha, laju pertumbuhan PDRB, laju perubahan fasilitas sosial, fasilitas ekonomi dan jauhnya jarak terhadap jalan kereta api rangkap dan jalan lokal akan meningkatkan luas proporsi perubahan penggunaan lahan.

Tabel 14. Nilai Parameter Hasil Analisis Regresi Perubahan Penggunaan Lahan per Poligon

Peubah Yang Berpengaruh Nyata Y1 Y2 Y3 Y4 Y5

Penduduk per Ha 0,90 0,76 0,91 0,87 0,87 ∆ Penduduk -0,05 ∆ PDRB % 0,04 0,05 -0,05 ∆ f Ekonomi 0,08 -0,48 0,09 ∆ f Sosial 0,06 0,08 -0,16 0,08 ∆ f Pendidikan 0,38 -0,09 ∆ f Kesehatan 0,21 d Lokal 0,03 0,08 d Kolektor -0,16

d Kereta Api Rangkap -0,13 0,06

d Tol 0,18

R2 0,83 0,59 0,84 0,77 0,76

Keterangan: Y1: Luas Perubahan per Poligon Proporsional (%) Y2: Luas Perubahan per Poligon

Y3: Luas Perubahan TPLB-LT Y4: Luas Perubahan TPLB-TPLK Y5: Luas Perubahan TPLK-LT d : Jarak Jalan

∆ : Laju Perubahan Jumlah f : Fasilitas

Dari hasil analisis regresi Y2 (luasan perubahan penggunaan lahan), diketahui bahwa peubah yang berperan positif adalah jumlah penduduk per ha (%), laju pertumbuhan PDRB, jarak terhadap jalan lokal dan jalan tol yang berarti

(22)

peningkatan jumlah penduduk per ha (%), laju pertumbuhan PDRB, dan semakin jauhnya jarak terhadap jalan lokal dan jalan tol akan meningkatkan luas perubahan penggunaan lahan per poligon (ha). Sedangkan yang berperan negatif diantaranya laju pertumbuhan penduduk dan jarak terhadap jalan kereta api rangkap. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan jauhnya jarak terhadap jalan kereta api rangkap akan menurunkan potensi luas perubahan penggunaan lahan.

Jumlah penduduk per ha, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan berperan positif dengan peubah tujuan Y4 sedangkan yang berkorelasi negatif adalah laju pertumbuhan fasilitas ekonomi, fasilitas sosial, dan jarak terhadap jalan kolektor. Hal ini berarti peningkatan jumlah penduduk proporsional luas, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan akan meningkatkan perubahan TPLB menjadi TPLK sedangkan peningkatan laju pertumbuhan fasilitas ekonomi, fasilitas sosial, dan jauhnya jarak terhadap jalan kolektor akan menurunkan potensi luas perubahan TPLB menjadi TPLK. Hasil analisis selengkapnya disajikan pada Tabel 14.

Laju perubahan PDRB (%) dan fasilitas pendidikan berperan negatif terhadap peubah tujuan Y5 sedangkan yang berperan positif diantaranya jumlah penduduk per ha, laju pertumbuhan fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan laju perubahan PDRB dan fasilitas pendidikan akan menurunkan luas perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun dan peningkatan jumlah penduduk per ha, laju pertumbuhan fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial akan menyebabkan peningkatan luas perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun.

(23)

Tabel 15. Perbandingan Peran Berbagai Peubah terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Unit Wilayah dan Poligon

Pola PPL Basis Wilayah Basis Poligon

+ - + - TPLB-LT - d Arteri - d Lokal - ∆ Penduduk - ∆ f Ekonomi - ∆ Badan air - ∆ TPLB - Alokasi RTRW untuk TPLB - d Kolektor - Penduduk per ha - ∆ f Ekonomi - ∆ f Sosial - d Kereta Api Rangkap TPLB-TPLK - f Kesehatan - ∆ Badan air - ∆ Tambak - ∆ TPLB - d Lokal - ∆ Penduduk - ∆ Mangrove - Alokasi RTRW untuk TPLK - d Tol - d Kolektor - ∆ TPLK-LT - Penduduk per ha - ∆ f Pendidikan - ∆ f Kesehatan - ∆ f Ekonomi - ∆ f Sosial - d Kolektor TPLK-LT - d Kereta Api - d Kereta Api Rangkap - ∆ f Kesehatan - ∆ TPLK - d Arteri - Penduduk per ha - ∆ f Ekonomi - ∆ f Sosial - ∆ PDRB - ∆ f Pendidikan Keterangan: d : Jarak Jalan

∆ : Laju Perubahan Jumlah f : Fasilitas

Tabel 15 di atas menunjukkan perbandingan berbagai peubah terhadap perubahan penggunaan lahan dalam satuan unit wilayah dan poligon. Dalam basis wilayah tidak terdapat peubah yang konsisten dalam mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Namun secara umum, peubah yang cukup berperan dalam perubahan penggunaan lahan basis wilayah adalah jarak terhadap jalan lokal, dan alokasi RTRW berperan positif namun laju pertumbuhan penduduk berperan negatif. Hal ini berarti jauhnya jarak terhadap jalan lokal dan besarnya alokasi ruang bagi suatu penggunaan lahan tertentu juga akan meningkatkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan. Peubah yang konsisten mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hasil analisis berbasis poligon dan berperan positif adalah jumlah penduduk per ha. Sedangkan secara umum peubah yang cukup berperan dalam perubahan penggunaan lahan basis poligon diantaranya laju perubahan fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya jumlah penduduk di suatu wilayah akan meningkatkan kecenderungan terjadinya perubahan penggunaan lahan tertentu. Laju perubahan fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial dalam perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun dan TPLK menjadi lahan terbangun berperan positif sedangkan pada perubahan penggunaan lahan TPLB

(24)

menjadi TPLK berperan negatif. Tingginya laju perubahan fasilitas ekonomi dan fasilitas sosial akan meningkatkan kecenderungan terjadinya perubahan terhadap lahan terbangun tetapi akan menurunkan kecenderungan perubahan TPLB menjadi TPLK.

Tabel 16 menjelaskan peubah yang berperan konsisten pada analisis basis wilayah dan poligon. Peubah yang perannya konsisten terhadap perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK adalah laju perubahan jumlah fasilitas kesehatan yang berperan positif dan jarak jalan kolektor terhadap perubahan penggunaan lahan yang berperan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan laju jumlah fasilitas kesehatan akan meningkatkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK dalam basis wilayah maupun poligon. Sedangkan dekatnya jarak terhadap jalan kolektor akan meningkatkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK. Kecenderungan ini disebabkan oleh jalan kolektor yang merupakan jalan yang letaknya cukup strategis dan menghubungkan antar kecamatan, sehingga perubahan TPLB menjadi TPLK hanya merupakan spekulasi sebelum terbentuknya lahan terbangun di wilayah tersebut. Untuk perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun dan TPLK menjadi lahan terbangun tidak ada peubah yang perannya konsisten dalam pola perubahan penggunaan lahan. Tabel 16. Peubah Yang Berperan Konsisten Pada Basis Analisis Berbeda

Terhadap Pola Perubahan Penggunaan Lahan

Pola PPL Berperan (+) Berperan (-) Keterangan

TPLB-LT a

TPLB-TPLK - ∆ f Kesehatan - d Kolektor a

TPLK-LT a

PPL Total - Penduduk per ha - ∆ PDRB - d Lokal

b

Keterangan: d : Jarak Jalan

∆ : Laju Perubahan Jumlah f : Fasilitas

a : Basis Wilayah dan Poligon

b : Luas Perubahan Penggunaan Lahan (%) dan (ha)

Pada pola luasan total perubahan penggunaan lahan dalam nilai absolut dan persen menunjukkan bahwa peubah yang berperan positif diantaranya jumlah penduduk per ha, laju pertumbuhan PDRB dan jarak terhadap jalan lokal. Hal ini berarti peningkatan jumlah penduduk per ha, laju pertumbuhan PDRB dan

(25)

jauhnya jarak terhadap jalan lokal akan meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi. Meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan laju pertumbuhan PDRB yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Peningkatan kebutuhan lahan ini terjadi jauh dari jalan lokal yaitu lokasi yang lebih dekat dengan pusat kegiatan.

5.3. Dinamika Perencanaan Tata Ruang

Sejalan dengan perkembangan yang terjadi, Kabupaten Bekasi tumbuh dan berkembang dengan cepat baik dari fisik, perekonomian, sosial maupun budaya. Penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi yang telah mengalami perubahan membutuhkan keseimbangan perkembangan wilayah dan keserasian antar sektor. Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi maka diperlukan adanya pengawasan dan pengendalian berupa suatu pedoman perencanaan tata ruang wilayah baru yang sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Rencana tata ruang wilayah meliputi rencana struktur tata ruang dan rencana pola tata ruang. Rencana struktur tata ruang meliputi: penetapan Wilayah Pengembangan (WP), rencana pengembangan sistem kota-kota, fungsi pusat-pusat pelayanan, pengembangan infrastruktur wilayah (transportasi, listrik, telekomunikasi dan air bersih) sedangkan rencana pola tata ruang meliputi rencana pola tata ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Perkembangan kawasan terbangun di Kabupaten Bekasi sejak ditetapkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Bekasi 1993-2003 pada tahun 1993 merupakan implementasi tahap pemanfaatan ruang. Perubahan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah di Kabupaten Bekasi yang semula berjumlah 15 kecamatan menjadi 23 kecamatan. Selain itu pemindahan ibukota Kabupaten Bekasi dari Kota Bekasi ke Cikarang Pusat sebagai dampak langsung pemisahan Kota Bekasi menjadi wilayah administratif tersendiri juga merupakan salah satu alasan dibuatnya rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi yang baru sehingga perkembangan kawasan terbangun terpusat di kecamatan ini sebagai pusat pemerintahan. Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2003 dimaksudkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan lingkungan yang nyaman serta

(26)

meningkatkan aksesibilitas. Sampai saat ini masih terdapat wilayah yang perlu dikembangkan seperti Kecamatan Bojongmangu dan Kecamatan Muaragembong yang perlu dijaga fungsi lindungnya sehingga perubahan rencana tata ruang sangat diperlukan. Perbedaan alokasi ruang pada dua dokumen RTRW Kabupaten disajikan pada gambar berikut.

Gambar 14. Alokasi RTRW tahun 1993 dan 2003

Alokasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi yang terbesar pada tahun 1993 adalah untuk kawasan pertanian. Namun sejalan dengan berkembangnya wilayah, alokasi perubahan ruang terbesar pada tahun 2003 adalah kawasan pertanian menjadi kawasan permukiman. Kawasan pertambangan pada rencana tata ruang wilayah tahun 1993 terdapat di Cikarang Selatan dan Serang Baru dengan luas 113,74 ha. Namun demikian, pada rencana tata ruang wilayah tahun 2003 tidak terdapat lagi alokasi untuk kawasan pertambangan. Hal ini terjadi karena pada kawasan tersebut telah beralih alokasi menjadi kawasan industri.

Perubahan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 terjadi hampir di seluruh kecamatan. Kecamatan yang tidak mengalami perubahan rencana tata ruang yang signifikan adalah Cabangbungin, Sukawangi, Sukakarya, Sukatani, Tambelang, Pebayuran dan Karangbahagia. Wilayah-wilayah ini tetap menjadi pusat kawasan pertanian lahan basah dan alokasi rencana tata ruang untuk wilayah ini relatif sesuai yaitu sebagai kawasan pertanian. Gambar 14 menyajikan distribusi spasial perubahan alokasi yang terjadi di wilayah studi.

(27)

Muaragembong Cabangbungin Tarumajaya Babelan Sukawangi Pebayuran Sukakarya Tambun Utara Tambelang Sukatani Karangbahagia Cibitung

Tambun Selatan Kedungwaringin

Cikarang Timur Cikarang Pusat Bojongmangu Cibarusah Serang Baru Setu Cikarang Utara Cikarang Barat Cikarang Selatan 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0

Peta Perubahan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi

Tahun 1993 dan 2003 U

5 0 5 Km

Batas Kecamatan Per ubahan RT RW tahun 1993 dan 2003

Industri-Lindung Industri-Pemukiman Industri-Pertanian Lindung-Industr i Lindung-P ariwisata Lindung-P emukiman Lindung-P ertanian Par iwisata- Industri Par iwisata- Pemukiman Pemukiman-Industri Pemukiman-Lindung Pemukiman-P ertanian Per tanian-Industri Per tanian-Lindung Per tanian-Pariwisata Per tanian-Pemukiman

Gambar 15. Perubahan RTRW Tahun 1993 dan 2003

5.4. Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alokasi Rencana Tata Ruang

Isu penataan ruang yang ada di Kabupaten Bekasi saat ini antara lain masih banyaknya pelanggaran terhadap pemanfaatan lahan dan kawasan hutan lindung (mangrove) semakin berkurang berubah menjadi areal tambak. Beberapa

(28)

aspek lain yang penting dikemukakan adalah tingkat pelayanan pusat pengembangan wilayah masih kurang terhadap wilayah penyangga (hinterland), lemahnya penegakan hukum dan kurangnya ketegasan aparat pemerintah dalam pengendalian tata ruang serta belum efektifnya pengenaan sanksi terhadap pelanggar peraturan perundangan tentang lingkungan hidup dan penataan ruang daerah. Ringkasan persentase penyimpangan penggunaan lahan tahun 2000 terhadap alokasi RTRW 1993 dan pengggunaan lahan tahun 2009 terhadap alokasi RTRW 2003 disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Persentase Penyimpangan Penggunaan Lahan tahun 2000 Terhadap Alokasi RTRW 1993 dan Penggunaan Lahan tahun 2009 Terhadap Alokasi RTRW2003 Kecamatan Luas Penyimpangan (%) 2000 2009 Babelan 4,93% 8,55% Bojongmangu 3,09% 1,01% Cabangbungin 1,68% 1,03% Cibarusah 1,99% 2,39% Cibitung 3,31% 3,04% Cikarang Barat 9,28% 5,45% Cikarang Pusat 11,81% 8,27% Cikarang Selatan 10,18% 4,81% Cikarang Timur 4,02% 3,23% Cikarang Utara 6,63% 1,77% Karangbahagia 0,94% 1,37% Kedungwaringin 1,28% 1,19% Muaragembong 13,26% 25,25% Pebayuran 1,53% 1,33% Serang Baru 3,14% 5,59% Setu 4,94% 5,01% Sukakarya 1,32% 0,97% Sukatani 1,07% 1,17% Sukawangi 1,39% 1,90% Tambelang 0,76% 0,70% Tambun Selatan 6,94% 3,97% Tambun Utara 2,22% 3,56% Tarumajaya 4,30% 8,44%

Luas penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi ruang yang terbesar pada tahun 2000 dan 2009 berada di Kecamatan Muaragembong, yaitu masing-masing sebesar 13,26% dan 25,25%. Penyimpangan yang terjadi di kecamatan tersebut adalah penyimpangan terhadap kawasan lindung. Pada kurun

(29)

tahun yang sama secara umum penyimpangan yang terjadi adalah penyimpangan terhadap kawasan lindung dan kawasan permukiman yang berubah menjadi lahan pertanian. Untuk alokasi kawasan pertanian penyimpangan yang terjadi pada umumnya adalah menjadi lahan terbangun. Data selengkapnya disajikan pada Tabel Lampiran 13 dan Tabel Lampiran 14.

Untuk mengetahui hubungan antara penyimpangan yang terjadi terhadap alokasi RTRW dan jenis jalan (aksesibilitas), dilakukan analisis korelasi. Analisis tersebut dapat menggambarkan pengaruh aksesibilitas terhadap dinamika penyimpangan terhadap alokasi RTRW yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Hasil analisis korelasi ditampilkan pada Tabel 18.

Tabel 18. Korelasi Penyimpangan Alokasi Ruang Terhadap Jenis Jalan

Jenis Jalan Alokasi RTRW Kawasan Industri Kawasan Wisata Kawasan Pertanian Kawasan Permukiman Kawasan Lindung Jalan Kolektor 0,012 0,109 0,020 0,166 0,179 Jalan Kereta 0,012 0,109 0,020 0,166 0,179

Jalan Kereta Api

Rangkap 0,151 0,121 -0,007 0,145 0,172

Jalan Lokal 0,151 0,121 -0,007 0,145 0,172

Jalan Tol 0,229 0,119 -0,051 0,143 0,176

Yang dicetak tebal merupakan peubah yang berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Dari hasil analisis korelasi, ditunjukkan bahwa penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi kawasan industri berkorelasi dengan jalan tol, jalan lokal dan jalan kereta api rangkap. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan luas penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi kawasan industri memiliki hubungan dengan kedekatan terhadap jalan tol, jalan lokal dan jalan kereta api rangkap. Sedangkan penyimpangan penggunaan lahan terhadap kawasan permukiman dan kawasan lindung berkorelasi positif dengan semua jenis jalan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan luas penyimpangan penggunaan lahan dipengaruhi oleh aksesibilitas. Pengaruh paling kecil yang menyebabkan penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi RTRW terdapat pada jalan kereta api rangkap dan jalan lokal.

(30)

5.4.1. Penyimpangan Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi tahun 1995 dan 2000 Terhadap Alokasi Tata Ruang Tahun 1993

Menggunakan teknik tumpang tindih Boolean dapat diketahui bahwa pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, penyimpangan penggunaan lahan terjadi terhadap kawasan industri adalah sebesar 7280,28 ha, kawasan pariwisata sebesar 184,45 ha, kawasan permukiman sebesar 13058,32 ha, kawasan pertambangan sebesar 101,06 ha, kawasan pertanian sebesar 83812,61 ha, dan kawasan lindung sebesar 10271,32 ha. Gambar berikut menyajikan persentase penyimpangan alokasi kawasan lindung pada dua dokumen RTRW yang ada. Secara spasial, penyimpangan tersebut disajikan pada Gambar 17.

a. b.

Gambar 16. Grafik Penyimpangan Alokasi Kawasan Lindung (%) Tahun (a) 1993, (b) 2003

Penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi RTRW tahun 1993 dominan terpusat pada bagian utara dan bagian tengah Kabupaten Bekasi. Pada bagian utara, penyimpangan yang terjadi adalah kawasan lindung menjadi pertanian lahan basah dan kawasan pertanian menjadi tambak. Sedangkan pada bagian tengah, penyimpangan yang terjadi adalah kawasan terbangun (industri dan pemukiman) yang belum termanfaatkan (masih menjadi pertanian lahan kering). Namun demikian, seperti pola umum yang berlaku, penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering dapat cepat berubah menjadi lahan terbangun karena di daerah ini merupakan pusat kegiatan industri. Tabel berikut secara umum merangkumkan variasi penyimpangan terhadap RTRW tahun 1993.

(31)

Tabel 19. Luas Penyimpangan Penggunaan Lahan tahun 2000 terhadap Alokasi Rata Tuang Tahun 1993

RTRW_PP10 Badan air Lahan terbangun Mangrove Tambak TPLB TPLK

Kawasan Industri 19,72 3166,14 2230,96 5050,25 Kawasan Pariwisata 56,85 127,60 Kawasan Permukiman 33,17 2474,54 1,35 76,76 4508,10 8472,11 Kawasan Pertambangan 12,70 27,96 73,10 Kawasan Pertanian 31,98 4416,21 5,77 4086,30 59840,39 15463,97 Kawasan Lindung 88,66 1315,96 261,11 5161,22 5222,19 3472,06

Tabel di atas menunjukkan bahwa luas penyimpangan penggunaan lahan terhadap alokasi ruang terbesar terjadi pada kawasan permukiman sebesar 13056,97 ha. Penyimpangan terbesar terhadap kawasan permukiman ditujukan sebagai lahan pertanian, dan umumnya penyimpangan ini terletak di bagian utara Kabupaten Bekasi. Sedangkan luas penyimpangan dengan luas terkecil yaitu kawasan pertambangan. Namun jika dilihat dari total luasan alokasinya, kawasan pertambangan merupakan kawasan yang mengalami penyimpangan terbesar yaitu sebesar 101,06 ha dari total luas alokasi 113,76 ha.

5.4.2. Penyimpangan Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2006 dan 2009 Terhadap Alokasi Tata Ruang tahun 2003

Seperti ditunjukkan pada Tabel 18, pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, penyimpangan yang terjadi terhadap kawasan industri adalah sebesar 14840,74 ha, kawasan pariwisata sebesar 779,81 ha, kawasan permukiman sebesar 31713,93 ha, kawasan pertanian sebesar 2448,29 ha, dan kawasan lindung sebesar 11330,14 ha. Penyimpangan alokasi kawasan lindung pada tahun 2009 terus meningkat mencapai 18% dari sebelumnya sebesar 10%, tetapi pada saat yang bersamaan penggunaan lahan untuk kawasan lindung juga meningkat mencapai 4%. Hal ini disebabkan oleh berubahnya rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi yang mengalokasikan lebih banyak lahan untuk kawasan lindung. Gambar 17 (b) menyajikan gambaran spasial penyimpangan penggunaan lahan tahun 2009 terhadap RTRW tahun 2003.

Penyimpangan penggunaan lahan tahun 2006 sampai tahun 2009 terhadap alokasi RTRW tahun 2003 dominan terpusat pada bagian utara, bagian barat dan bagian selatan Kabupaten Bekasi. Pada bagian utara, penyimpangan yang terjadi

(32)

adalah kawasan lindung menjadi tambak, kawasan permukiman menjadi tambak dan kawasan permukiman menjadi pertanian lahan basah. Pada bagian barat, penyimpangan yang terjadi kawasan pemukiman menjadi pertanian lahan basah. Sedangkan pada bagian selatan, penyimpangan yang terjadi bervariasi dan tidak ada yang dominan. Persentase penyimpangan alokasi kawasan lindung pada RTRW tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 16 (b).

Tabel 20. Luas Penyimpangan Penggunaan Lahan Tahun 2009 Terhadap Alokasi Tata Ruang Tahun 2003

KETERANGAN Badan air Lahan terbangun Mangrove Tambak TPLB TPLK

Kawasan Lindung 158,91 1039,11 299,13 4249,22 4121,13 1764,45

Kawasan Industri 43,66 6554,03 4,82 507,14 4642,00 3132,75

Kawasan Pariwisata 0,96 742,62 36,23

Kawasan Permukiman 68,06 10003,98 0,56 2067,53 18754,32 10892,08

Kawasan Pertanian 33,94 2448,29 42545,66 11543,70

Analisis di atas menunjukkan bahwa dinamika perubahan lahan di wilayah studi cenderung kurang mengikuti pola alokasi yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini menuntut upaya yang lebih baik dari pemerintah untuk mensosialisasikan alokasi tersebut secara lebih baik serta melakukan pengawasan pelaksanaan RTRW yang sudah ditetapkan agar penyimpangan dapat ditekan.

(33)

Muaragembong Cabangbungin Tarumajaya Babelan Sukawangi Pebayuran Sukakarya Tambun Utara Tambelang Sukatani Karangbahagia Cibitung

Tambun Selatan Kedungwaringin

Cikarang Timur Cikarang Pusat Bojongmangu Cibarusah Serang Baru Setu Cikarang Utara Cikarang Barat Cikarang Selatan 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0

Peta Penyimpangan Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2000 Terhadap

Alokasi Ruang Tahun 1993-2003

U 5 0 5 Km Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a Batas Kecamatan

Penyimpangan Penggunaan Lahan Tahun 2000 Industri menjadi Pertanian Lahan Basah Industri menjadi Pertanian Lahan Kering Kawasan Lindung menjadi Lahan Terbangun Kawasan Lindung menjadi Pertanian Lahan Bas ah Kawasan Lindung menjadi Pertanian Lahan Kering Pertanian menjadi Lahan Terbangun Pertanian menjadi Tambak Permukiman menjadi Tambak Permukiman menjadi Pertanian Lahan Basah Permukiman menjadi Pertanian Lahan Kering Kawasan P ariwisata menjadi Pertanian Lahan Basah Kawasan P ariwisata menjadi Pertanian Lahan K ering Jalan

Jalan Kereta Api Jalan Kereta Api Rangkap Jalan Tol Nasional Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Lokal a. Muaragembong Cabangbungin Tarumajaya Babelan Sukawangi Pebayuran Sukakarya Tambun Utara Tambelang Sukatani Karangbahagia Cibitung

Tambun Selatan Kedungwaringin

Cikarang Timur Cikarang Pusat Bojongmangu Cibarusah Serang Baru Setu Cikarang Utara Cikarang Barat Cikarang Selatan 7 2 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 3 5 0 0 0 7 5 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 2 8 5 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 0 0 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 1 5 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 3 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0

Peta Penyimpangan Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2009 Terhadap

Alokasi Ruang Tahun 2003-2013

U 5 0 5 Km Laut Jawa Kab. Karawang Kab. Bogor Kod. Bekasi D K I J a k a rt a Batas Kecamatan

Kawasan Pariwisata menjadi Tambak Kawasan Pariwisata menjadi Pertanian Lahan Kering Penyimpangan Penggunaan Lahan Tahun 2000

Industri menjadi Tambak Industri menjadi Pertanian Lahan Basah Industri menjadi Pertanian Lahan Kering Kawasan Lindung menjadi Lahan Terbangun Kawasan Lindung menjadi Tambak Kawasan Lindung menjadi Pertanian Lahan Bas ah Kawasan Lindung menjadi Pertanian Lahan Kering Permukiman menjadi Tambak

Permukiman menjadi Pertanian Lahan Basah Permukiman menjadi Pertanian Lahan Kering Pertanian menjadi Lahan Terbangun Jalan

Jalan Kereta Api Jalan Kereta Api Rangkap Jalan Tol Nasional Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Lokal

b.

Gambar

Tabel 7. Perbandingan Penampakan Obyek Pada Citra Landsat dan ALOS AVNIR-2  No.  Penggunaan  Lahan   Kenampakan Objek  Landsat  ALOS  1
Gambar 4. Penampakan Objek Pada Citra Landsat (a) TPLB fase air, (b) TPLB  fase bera, (c) TPLK, (d) Tambak, (e) Mangrove, (f) TPLB fase vegetatif, (g)
Gambar 6. Hasil Klasifikasi (a) Citra Landsat Tahun 1995, (b) Citra Landsat Tahun 2000, (c) Citra ALOS AVNIR Tahun 2006 dan (d) Citra ALOS AVNIR Tahun 2009
Tabel 8. Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

following section we shall create a Facelets application with Eclipse 3.7 (OEPE 12 c ), WebLogic Server 12 c , and Oracle Database 11 g XE. Setting the environment Download

Sama Halnya Seperti Obat Pembesar Penis Klg Asli, Jenis Obat Yang Satu Ini Selain Terbuat Dari Bahan Alami Secara Utuh, Ia Juga Bisa Di Katankan Mampu Memperbesar Dan

Penelitian ini bertujuan untuk meng€etahui bagaimana pengaturan dari perusahaan mengenai perlindungan norma kerja bagi pekerja wanita yang bekerja pada waktu malam hari

Untuk dermaga jamrud yang terdiri dari jamrud utara dan jamrud selatan terdapat tiga titik di sisi darat yaitu BD-1 sampai BD-3 dan empat titik di sisi laut yaitu BL-1 sampai

Hasil pengujian kadar vitamin C sari buah songi ( Dillenia serrata Thunb.) menggunakan persamaan regresi linear y = 0,053x-0,177 sebesar 1,09% dengan

[r]

akan berhasil ketika peserta diklat tidak memiliki keinginan untuk berkembang karena merasa sudah cukup dengan apa yang ada saat ini. Berikut adalah saran praktis yang

Pengujian ini bertujuan untuk menguji modul GPS berkerja maksimal sebagai sensor posisi. Yang diukur adalah jarak dari pembacaan data GPS dengan referensi data