• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata)

Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal (aktif pada malam hari). C. trifenestrata diklasifikasikan sebagai filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Saturniidae, genus Cricula, dan spesies C. trifenestrata (Triplehorn dan Johnson, 2005).

Cricula dikelompokkan ke dalam 12 spesies, yaitu: C. trifenestrata, C. andamanica, C. bornea, C. agria, C. ceyznica, C. andrei, C. jordani, C. zubsiana, C. sumatrensis, C. elaezia, C. luzonicad dan C. quinauefenestrata (Akai, 2000). Dijelaskan lebih lanjut spesies C. trifenestrata sendiri dibedakan ke dalam enam sub spesies, yaitu: C. trifenestrata trifenestrata, C. trifenestrata agroides, C. trifenestrata javana, C. trifenestrata serama, C. trifenestrata treadauayid dan C. trifenestrata kransi.

Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

Cricula trifenestrata merupakan spesies Cricula yang menyebar paling luas. Tiga spesies ditemukan di Sumatera yaitu C. sumatrensis (spesies endemik), C. elaezia (di paparan Sunda) dan C. trifenestrta (di daerah oriental). Kalimantan memiliki tiga spesies yaitu C. bornea (spesies endemik), C. elaezia (di paparan Sunda) dan C. trifenestrata. Jawa dan Bali memiliki dua spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia (Nassig et al., 1996). C. trifenestrata juga dapat ditemukan sebagai

(2)

4 subspesies di wilayah India Selatan dan Asia Ternggara. Subspesies C. trifenestrta treadawayi ditemukan di Filipina, C. trifenestrta javana ditemukan di pulau Jawa dan Sumatera, C. trifenestrta kransi dan C. trifenestrta banggaiensis ditemukan di pulau Sulawesi, C. trifenestrta tenggarrensis ditemukan di pulau Sumba, sedangkan C. trifenestrta serama dan C. trifenestrta banggaiensis ditemukan di pulau Maluku (Nassig et al., 1996). Sekitar 14 spesies C. trifenestrata ditemukan di Asia, 11 spesies diantaranya ditemukan di Indonesia dan empat spesies endemik ditemukan di beberapa pulau di Indonesia yaitu C. sumatrensis, C. trifenestrta javana, C. tenggarrensis dan C. mindanensis (Nassig dan Nauman, 1999).

Siklus Hidup

Cricula trifenestrata diklasifikasikan ke dalam kelas insekta atau serangga (Borror et al., 1992). Dijelaskan bahwa serangga merupakan hewan berdarah dingin (poikilotermik) yang sangat dipengaruhi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dan angin (sirkulasi udara). Intensitas cahaya dan lama panjang hari menurut Dolezal et al. (2007) mempengaruhi pertumbuhan serangga.

Cricula trifenestrata merupakan serangga yang memiliki metamorfosis sempurna (holometabola). Tipe serangga ini memiliki empat stadium selama siklus hidup yaitu telur, larva (ulat), pupa dan imago (Kaleka, 2010). Sinyal hormon mengatur perubahan organisme dari larva menjadi imago yang secara genetik merupakan karakter dari suatu spesies (Gullan dan Cranston, 2000). Larva memiliki tahapan perkembangan (instar), melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap peningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar (Tarumingkeng, 2001). Stadium larva melalui lima instar. Perubahan larva dari instar I sampai instar V membutuhkan waktu yang sama yaitu masing-masing instar lima hari, sedangkan dari instar V sampai menjadi pupa berlangsung selama 5-6 hari. Pupa yang sudah dewasa akan berubah menjadi imago. Imago akan keluar dari kokon setelah 14-16 hari (Andriani, 2009). Fase ulat berlangsung selama 25-35 hari, masa pupasi selama 21-26 hari dan fase dewasa selama 5-7 hari (Kaleka, 2010). Daur hidup mulai dari telur hingga dewasa berlangsung selama 51,1 ± 7,3 hari (Suriana, 2011). Gambar 2 menyajikan siklus hidup C. trifenestrata dari fase telur sampai dengan imago.

(3)

5 Gambar 2. Siklus Hidup C. trifenestrata

Sumber: (Andriani, 2009) Telur (10- 11 hari) Instar 1 (5 hari) Imago (14-16 hari) Pupasi (5-6 hari) Instar 3 (5 hari) Instar 4 (5 hari) Instar 5 (5 hari) Instar 2 (5 hari)

(4)

6 Morfologi

Telur

Telur C. trifenestrata yang baru berbentuk lonjong dan agak gepeng, berwarna kuning pucat dan berbintik kuning pada salah satu ujung. Menurut Suriana (2011) warna ini berasal dari cairan perekat telur. Telur berubah warna menjadi putih kelabu menjelang menetas. Warna kelabu merupakan warna kepala calon embrio di dalam telur (Kaleka, 2010). Telur yang gagal menetas berwarna krem dan pada permukaan korion ditemukan lekukan ke arah bagian dalam telur (Sudaryanto, 1986). Telur diletakkan secara teratur, disusun rapih pada pinggiran daun sebelah bawah atau tangkai daun dalam jumlah yang banyak. Jumlah telur dapat mencapai 200-325 butir per induk dengan fertilitas tinggi. Stadium telur memerlukan waktu sekitar 9,5 ± 2,1 hari (Suriana, 2011). C. trifenestrata memiliki telur dengan panjang 2,2 ± 0,15 mm dan lebar 1,86 ± 0,12 mm (Rono et al., 2008).

Larva

Larva C. trifenestrata terdiri atas lima instar dengan pergantian kulit empat kali (Rono et al., 2008). Larva instar I berwarna kuning pada bagian ventral dan hitam pada bagian kepala. Bagian toraks terdiri atas tiga segmen dan pada setiap segmen ditemukan sepasang kaki. Tubuh larva C. trifenestrata ditutupi rambut. Bagian abdomen memiliki lima pasang proleg yang ditemukan pada segmen abdomen ketiga sampai keenam dan segmen abdomen kesepuluh (Kaleka, 2010). Larva instar II berwarna kombinasi dari kuning, merah dan hitam dengan kepala coklat dan tubuh ditumbuhi bulu halus. Larva instar III memiliki tubuh berwarna kuning kemerahan dengan kepala coklat dari permulaan warna tubuh yang kuning. Tubuh ditumbuhi bulu halus berwarna putih dan merah pada bagian ventral. Larva ini bergerak lebih aktif dan makan lebih banyak sehingga berukuran lebih besar dibandingkan dua instar sebelumnya. Larva instar IV berwarna mirip dengan larva instar V tetapi berbeda ukuran. Larva instar V berwarna merah dengan kepala juga merah dan tubuh ditumbuhi bulu halus berwarna putih agak kasar dan ditemukan garis hitam melingkar mulai dari kepala sampai abdomen (Andriani, 2009).

Pupa

Larva melalui tahapan prapupa sebelum memasuki tahapan pupa. Prapupa merupakan suatu tahapan larva instar V dimulai. Tahapan ini larva akan berubah

(5)

7 bentuk menjadi pupa. Tubuh larva akan memendek atau mengkerut dengan ujung abdomen meruncing (Kaleka, 2010). Ukuran pupa betina lebih panjang dan lebih lebar dibandingkan jantan (Rojak, 2001). Pupa C. trifenestrata dibungkus kokon yang berbentuk jala dan berwarna kuning emas. Stadium pupa berlangsung selama 19,0 ± 2,8 hari (Suriana, 2011).

Pupa C. trifenestrata bertipe obecta. Pupa dibentuk di dalam kokon yang berwarna coklat muda pada awalnya. Ujung abdomen kepompong muda yang dibungkus di dalam kokon masih dapat bergerak-gerak. Setelah kulit pupa semakin mengeras, warna pupa menjadi coklat tua dan pupa tidak dapat bergerak lagi. Kokon dibentuk kemudian yang merupakan rangkaian benang-benang sutera yang dikeluarkan dari mulut larva (Kaleka, 2010).

Imago

Serangga dewasa C. trifenestrata adalah serangga nokturnal, berwarna kekuningan hingga kemerahan. Jantan memiliki dua spot gelap pada sayap depan, sedangkan betina memiliki tiga spot transparan yang tidak beraturan pada sayap depan dan satu spot pada sayap belakang. Gambar 3 menyajikan imago atau ngengat dewasa C. trifenestrata pada posisi yang diambil dari atas.

Gambar 3. Imago atau Ngengat Dewasa C.trifenestrata Tampak Atas

Sumber: Koleksi Pribadi (2011)

Garis hitam berombak ditemukan pada bagian dekat dasar sayap depan. Kepala, toraks, abdomen dan appendiks ditutup sisik yang berwarna coklat kekuningan. Tipe antena jantan kuadripektinate, sedangkan betina bipektinate.

(6)

8 Segmen abdomen terakhir betina, ditemukan lebih lebar. Ukuran tubuh imago betina ditemukan lebih besar dibandingkan jantan (Andriani, 2009). Menurut Awan (2007) dan Sari (2010) imago keluar dari kokon tepat pada saat organogenesi sempurna, yaitu pada saat organ-organ imago terbentuk sempurna. Imago atau serangga dewasa C. tifenestrata ditutupi sisik lembut yang rontok bila disentuh (Kaleka, 2010).

Pembentukan Kokon

Pembentukan kokon bertujuan untuk melindung pupa dari pemangsa atau lingkungan luar. C. trifenestrata membentuk kokon secara berkelompok dalam jumlah banyak pada ranting atau tulang-tulang daun sehingga membentuk massa kokon yang besar dalam bentuk cluster. Jumlah kokon dalam satu cluster dapat lebih dari 30 buah. Kokon dalam keadaan normal selalu berpasangan dan berlekatan satu sama lain. Pegangan berupa ranting, tulang daun atau daun; diperlukan pada saat pembentukan kokon. Ujung kokon yang menempel pada daun atau tulang daun meruncing, sedangkan ujung depan lebih tumpul. Ujung tumpul ini yang digunakan imago sebagai jalan keluar (Kaleka, 2010). Gambar 4. menyajikan gambaran pembentukan kokon C. trifenestrata.

Gambar 4. Pembentukan Kokon C. trifenestrata Sumber: Koleksi Pribadi (2011)

Kulit kokon C. trifenestrata berbeda dengan spesies Saturniidae lain karena tidak tertutup rapat tetapi berlubang-lubang membentuk jala. Stuktur berlubang pada

(7)

9 kokon C. trifenestrata disebabkan perbedaan cara ulat merajut kokon. Kerangka dasar berupa serat tunggal yang memanjang dari satu bagian subtrat ke bagian yang berlawanan dibangun ulat C. trifenestrata sebelum merajut kokon. C. trifenestrata merajut kokon dengan cara membungkuk (tubuh melengkung) melalui kerangka tersebut, sambil mengeluarkan serat sutera. Benang tersebut kemudian menyentuh kaki toraks. Selanjutnya, kaki toraks membantu menyatukan serat demi serat yang akhirnya membentuk kokon utuh. C trifenestrata menghabiskan waktu sekitar 12 jam untuk membuat selapis benang untuk membentuk kulit kokon dengan sempurna (Suriana, 2011).

Karakteristik Ukuran dan Bentuk Kokon

Ukuran besar-kecilnya kokon bervariasi sesuai dengan varietas, musim pemeliharaan dan kondisi lingkungan pada masa panen. Ada beberapa cara untuk menentukan ukuran kokon, tetapi pada umumnya dievaluasi dengan jumlah kokon per liter, atau per 500 g dan per 1.000 g. Ukuran kokon pada umunya berkisar antara 90-110 kokon per liter atau 40-250 kokon per 500 g (Atmosoedarjo et al., 2000). Bentuk kokon dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe seperti bulat, elip, berlekuk dan bulat panjang (JOCV, 1975). Kokon yang normal memiliki bentuk sempurna dan spesifik, tergantung pada ras ulat sutera (Atmosoedarjo et al., 2000).

Kualitas Kokon

Menurut Kasip (2001), kualitas kokon dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa secara kualitatif kokon dapat dilihat dari warna, bentuk dan kelenturan, sedangkan secara kuantitatif dari bobot kokon, bobot kulit kokon dan rasio kulit kokon. Lee (2000) menyatakan bahwa warna kokon merupakan ciri utama ras ulat sutera dan sangat dipengaruhi pigmen dalam lapisan serisin. Pigmen pengontrol warna kokon adalah santrofil, karotin, violasanatin yang dapat berinteraksi dengan serisin dan fibrion, untuk menghasilkan warna kokon (Tazima, 1964). Bentuk kokon merupakan sifat yang perlu dipertimbangkan dalam program seleksi (Maribashetty dan Reddy, 1995). Everitt dan Dunn (1998) menjelaskan bahwa bentuk lebih banyak dipengaruhi secara genetik. Menurut Sudaryanto (1986), panjang kokon C. trifenestrata pada daun muda dan daun tua tanaman alpukat (Persea americana M.) masing-masing sebesar 32,28 ± 3,06 mm dan 32,70 ± 6,43 mm; sedangkan lebar kokon masing-masing sebesar 15,25 ± 2,16

(8)

10 mm dan 15, 38 ± 2,00 mm. Salah satu faktor yang menentukan ukuran panjang dan lebar kokon adalah tipe alat pengokon dan bahan alat pengokon (Katsumata, 1964). Perhitungan panjang dan lebar kokon berhubungan dengan keliling lingkaran pada permukaan kulit kokon. Rumus keliling lingkaran menurut Suhartono et al. (2010) merupakan perkalian antara jari-jari dikalikan dengan bilangan dua dan Π atau 22/7. Bobot Kulit Kokon Utuh

Bobot kokon merupakan faktor yang sangat penting dikaitkan dengan reeling (proses penyatuan beberapa filamen untuk dipintal) kokon. Bobot kokon bervariasi sesuai dengan kondisi pemeliharaan dan jenis ulat. Hal ini juga bervariasi sesuai dengan varietas ulat, kondisi pemeliharaan dan pengokonan (Atmosoedarjo et al., 2000).

Bobot Kulit Kokon

Bobot kulit kokon dalam perdagangan komersial, merupakan karakter yang sangat penting, karena dapat digunakan sebagai pendekatan kuantitatif untuk memprediksi serat sutera (Kasip, 2001). Bobot kulit kokon terdiri dari materi lapisan serat sutera yang terdiri atas serisin dan fibroin (Standar Nasional Indonesia, 2002). Dijelaskan lebih lanjut bahwa serisin dan fibroin berfungsi sebagai pembungkus pupa. Prihatin dan Situmorang (2001) melaporkan bahwa bobot kulit kokon C. trifenestrata pada pohon jambu mete ditemukan sebesar 30,1 mg. Baskoro (2008) membedakan grade bobot kulit kokon tanpa floss menjadi A, B, C, D dan E dengan masing-masing proporsi sebesar 19,2%; 19,16%; 21,2%; 20,0% dan 20,0%.Korelasi peubah-peubah yang diamati Baskoro (2008) dan Setiorini (2009) terhadap bobot kulit kokon tanpa floss bernilai positif.

Persentase Bobot Kulit Kokon

Persentase bobot kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dengan bobot kokon. Besar persentase bobot kulit kokon tergantung pada jenis ulat sutera dan pada umumnya persentase bobot kulit kokon jantan lebih tinggi dari pada betina (Katsumata, 1964). Nilai ini berkaitan dengan persentase filamen kokon. Semakin besar persentase kulit kokon maka semakin bayak filamen dan benang sutera yang dihasilkan (Atmosoedarjo et al., 2000). Persentase bobot kulit kokon ulat sutera A. atlas sebesar 72,39% (Baskoro, 2008).

(9)

11 Serabut Kokon (Floss)

Kokon yang telah dipanen masih diselimuti serabut serat sutera (floss) yang apabila dibiarkan, akan mengabsorsi air dari udara dan menurunkan kualitas kokon. Serabut kokon (floss) juga dapat menyatu satu sama lain membentuk kesatuan sehingga mempersulit penanganan. Kokon yang dijadikan penilaian adalah kokon yang telah dibersihkan dari serabut floss (Atmosoedarjo et al., 2000). Yuanita (2007) menyatakan bahwa tempat pengokonan berpengaruh terhadap jumlah serat-serat penyangga (floss) yang dihasilkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Baskoro (2008) menyatakan bahwa bobot floss pada A. atlas ditemukan sebesar 180 ± 50 mg atau 27,78% dari bobot kulit kokon dengan floss. Gambar 5 menyajikan prosedur pemisahan kulit kokon dan floss dari kulit kokon utuh.

Gambar 5. Prosedur Pemisahan Kulit Kokon dan Floss dari Kulit Kokon Utuh Sumber: Koleksi Pribadi (2011)

Tanaman Pakan C. trifenestrata

Salah satu sarana penting dalam budidaya ulat sutera adalah bahan makanan (pakan) (Guntoro, 1994). Ulat sutera membutuhkan pakan spesifik yang sangat menentukan perkembangan populasi dan produksi kokon yang dihasilkan. Larva C. trifenestrata bersifat polifagus. Tanaman pakan C. trifenestrata adalah alpukat, jambu mete, kedondong, kenari, kakao, jambu biji, kayu manis dan mangga (Kalshoven, 1981; Djarijah dan Mahedalswara, 1994).

Kulit Kokon Utuh

(10)

12 Alpukat

Tanaman alpukat (Persea americana M.) berasal dari daerah sekitar Chiapas– Guatemala dan Honduras (Amerika Latin) dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke˗8. Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam ordo Ranales, famili Lauraceaca dan genus Persea. Tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi. Hama yang menyerang tumbuhan ini adalah ulat kipat (Cricula trifenestrata H.), ulat junggu (Attacus atlas L.), Aphis gossypii G., tungau merah (Tetranychus cinnabarinus B.) dan kutu dompolan putih (Pseudococcus citri R.). Tanaman ini tumbuh subur pada ketinggian 200-1.000 m dpl (Whiley et al., 2002).

Alpukat merupakan tanaman tahunan dan berdaun sepanjang tahun di daerah tropis. Daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin dan steroid (Maryati et al., 2007). Hal serupa dinyatakan oleh Dalimartha (2005) bahwa kandungan mengandung senyawa tanin dan saponin. Kandungan protein daun alpukat ditemukan lebih tinggi (Dewi, 2009). Tjitrosoepomo (2000) melaporkan bahwa secara morfologis, daun alpukat memiliki struktur yang lebih lunak dibandingkan daun kayu manis, jambu mete dan mangga. Struktur daun yang lunak sangat dipengaruhi komposisi dan jenis jaringan penyusun, ketebalan lapisan lignin (serat) dan kandungan kadar air daun.

Analisis Komponen Utama

Menurut Hayashi et al. (1980), kekompleksan dan keragaman organisme-organisme hidup menyebabkan metode stastistik multivariat dijadikan sebagai alat penting untutk mempelajari variasi dan evolusi. Salah satu metode yang digunakan adalah Analisis Komponen Utama (AKU). AKU bertujuan menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linear dari peubah-peubah. Secara umum AKU bertujuan untuk mereduksi data dan menterjemahkannya (Gaspersz, 1992).

AKU diturunkan dari dua jenis matriks yaitu kovarian dan korelasi. Everitt dan Dunn (1998) menyatakan bahwa AKU dapat digunakan untuk penelitian terhadap keragaman ukuran-ukuran tubuh hewan. Pada penelitian anatomi ternak, komponen utama kedua sebagai vektor bentuk dapat memberikan informasi lebih spesifik mengenai karakteristik khas pada ternak tertentu, sedangkan komponen utama pertama sebagai vektor ukuran (Everitt dan Dunn, 1998). Skor ukuran tubuh

(11)

13 telah digunakan untuk pengkelasan skor ukuran tubuh pada hamster (Meliana, 2007) dan domba lokal Garut (Suryadi, 2007 dan Hanibal, 2008).

Analisis Regresi Komponen Utama

Analisis Regresi Komponen Utama (ARKU) merupakan kombinasi antara Analisis Komponen Utama (AKU) dan Analisis Regresi klasik. AKU dijadikan tahap analisis antara untuk memperoleh hasil akhir pada Analisis Regresi. ARKU didapat dari skor komponen utama yang diregresikan dengan peubah tak bebas (dependent variable), dengan demikian ARKU merupakan Analisis Regresi dari peubah tidak bebas terhadap komponen-komponen utama yang saling tidak berkorelasi. Setiap komponen utama merupakan kombinasi linear dari semua peubah bebas (independent variable) yang telah dispesifikasikan sejak awal (Gaspersz, 1992).

Gambar

Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia
Gambar 4.  Pembentukan Kokon C. trifenestrata
Gambar 5. Prosedur Pemisahan Kulit Kokon dan Floss dari Kulit Kokon Utuh

Referensi

Dokumen terkait

Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan

Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara

Apabila tim penguji menetapkan bahwa usulan penelitian diterima (dengan atau tanpa perbaikan), naskah usulan penelitian yang telah disempurnakan dan disetujui pembimbing,

Pemberian ekstrak patikan kebo dosis 10 mg/mencit/hari dan dosis 20 mg/mencit/hari dapat menurunkan secara bermakna derajat inflamasi bronkus pada mencit Balb/C model

Hasil analisa data secara univariat didapatkan proporsi tindakan merokok siswa laki- laki di SMA negeri kota Padang tahun 2011 adalah 41%, adanya kebiasaan keluarga,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik

dan berdasarkan Surat dari Meteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tanggal 21 November 2019 perihal Persetujuan Hasil Evaluasi Jabatan

Transmisi harga merupakan sebuah proses dimana perubahan harga pada suatu pasar akan diteruskan dan direspon oleh pasar lain, baik secara vertikal (antara tingkatan dalam satu