14 BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika
a. Pengertian Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika adalah proses belajar mengajar guna meningkatkan kemampuan berpikir siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Hal ini didasarkan dari pendapat Susanto yang menyatakan bahwa: Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika (Susanto, 2013:186).
Guru pada umumnya mengajarkan matematika dengan menerangkan konsep dan operasi matematika, memberi contoh mengerjakan soal yang sejenis dengan soal yang sudah diterangkan guru. Model ini menekankan pada menghafal konsep dan prosedur matematika guna menyelesaikan soal. Guru menekankan pembelajaran matematika bukan pada pemahaman siswa terhadap konsep dan operasinya, melainkan pada pelatihan simbol-simbol matematika dengan penekanan pada pemberian informasi dan latihan penerapan algoritma.
Guru hanya menggunakan metode ceramah dimana siswa menjadi pasif.
Tentu kondisi tersebut tidaklah efektif dalam pembelajaran matematika.
15
Sundayana (2014:24) “pembelajaran matematika di kelas hendaknya ditekankan pada keterkaitan antara konsep–konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari”. Selain itu, menerapkan kembali konsep matematika yang dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari sangat penting untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan “siswa adalah organisme yang aktif mereka memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya.
b. Teori Belajar Matematika SD
Matematika di SD merupakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik khususnya antara hakikat anak dan hakikat matematika. Untuk itu, diperlukan adanya jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut. Anak usia SD sedang mengalami perkembangan pada tingkat berpikirnya. Ini karena tahap berpikir mereka masih belum formal, malahan para siswa SD di kelas-kelas rendah bukan tidak mungkin sebagian dari mereka berpikirnya masih berada pada tahapan (pra konkret). Dibawah ini akan jelaskan teori belajar yang sering disebut-sebut pada pembelajaran matematika.
1. Teori Belajar Bruner
Jerome S. Bruner dari Universitas Harvard menjadi sangat terkenal dalam dunia pendidikan umumnya dan pendidikan matematika khususnya. la telah menulis hasil studinya tentang “perkembangan belajar”, yang merupakan suatu cara untuk mendefinisikan belajar. Bruner menekankan bahwa setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa atau benda di dalam lingkungannya, menemukan cara untuk menyatakan kembali
16
peristiwa atau benda tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa atau benda yang dialaminya atau dikenalnya. Menurut Bruner, hal-hal tersebut dapat dinyatakan sebagai proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
a. Tahap Enaktif atau Tahap Kegiatan (Enactive)
Tahap pertama anak belajar konsep adalah berhubungan dengan benda- benda real atau mengalami peristiwa di dunia sekitarnya. Pada tahap ini anak masih dalam gerak reflek dan coba-coba; belum harmonis. Ia memanipulasikan, menyusun, menjejerkan, mengutak-ngatik, dan bentuk- bentuk gerak lainnya (serupa dengan tahap sensori motor dari Peaget).
b. Tahap Ikonik Atau Tahap Gambar Bayangan (Iconic)
Pada tahap ini, anak telah mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental. Dengan kata lain anak dapat membayangkan kembali atau memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialami atau dikenalnya pada tahap enaktif, walaupun peristiwa itu telah berlalu atau benda real itu tidak lagi berada di hadapannya (tahap pre-operasi dari Peaget).
c. Tahap Simbolik (Symbolic)
Pada tahap terakhir ini anak dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk simbol dan bahasa. Apabila ia berjumpa dengan suatu simbol maka bayangan mental yang ditandai oleh simbol itu akan dapat dikenalnya kembali. Pada tahap ini anak sudah mampu memahami simbol-simbol dan menjelaskan dengan bahasanya. (Serupa dengan tahap operasi konkret dan formal dari Peaget)
17
c. Karakteristik Pembelajaran Matematika
Perkembangan siswa yang perlu diamati ialah perkembangan belajar.
Berikut ini tahapan perkembangan belajar anak menurut Piaget (Husamah &
Setyaningrum) sebagai berikut: 1). Sensorimotor Intelegence (lahir-usia 2 tahun). Pada tahap ini perkembangan perilaku anak terikat pada panca indera dan gerak motorik. 2). Preoperation Thought (0 - 7 tahun). Pada tahap ini anak mulai tampak berbahasa. 3). Concret Operation (7-11 tahun). pada tahap ini anak mulai berpikir secara konkret. 4). Formal Operation (11-15) tahun; kecakapan kognitif mencapai puncak perkembangan. Pada tahap ini kecakapan berpikir anak mulai abstrak dalam/melalui bahasa (Piaget (Husamah & Setyaningrum, 2013:49).
Berdasarkan pendapat piaget di atas maka siswa SD termasuk pada tahap concret operation (tahap operasional konkret). Pada tahap ini anak belajar menggunakan hal-hal konkret untuk memahami apa yang sedang dipelajari.
Berlandaskan dari teori Piaget ini maka dalam kegiatan pembelajarannya, matematika di SD mesti dibuat konkret. Dengan tujuan agar siswa mampu memahami matematika dengan sebaik mungkin.
Penelitian ini kompetensi dasar yang akan digunakan pada penelitian yaitu, 3.1, 3.2, 3.3, 3.4. dan 3.5 yang membahas tentang FPB dan KPK. Pada pembelajaran materi ini guru membutuhkan media untuk membantu menyampaikan materi. Guru pada umumnya mengajarkan matematika dengan menerangkan konsep dan operasi matematika, memberi contoh mengerjakan soal yang sejenis dengan soal yang sudah diterangkan guru. Model ini
18
menekankan pada menghafal konsep dan prosedur matematika guna menyelesaikan soal. Guru menekankan pembelajaran matematika bukan pada pemahaman siswa terhadap konsep dan operasinya, melainkan pada pelatihan simbol-simbol matematika dengan penekanan pada pemberian informasi dan latihan penerapan algoritma. Guru hanya menggunakan metode ceramah dimana siswa menjadi pasif. Tentu kondisi tersebut tidaklah efektif dalam pembelajaran matematika. KI dan KD yang akan digunakan pada penelitian ini terdapat pada gambar 2.1 dan 2.2
KOMPETENSI INTI Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya
Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun,peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru.
Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.
Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.
Tabel 2.1. Kompetensi Inti
KOMPETENSI DASAR
3.6 Menjelaskan dan menentukan faktor persekutuan, faktor persekutuan terbesar (FPB), kelipatan persekutuan, dan kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dari dua bilangan berkaitan
dengan kehidupan sehari hari
4.6 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan faktor persekutuan, faktor persekutuan terbesar (FPB), kelipatan persekutuan, dan kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dari dua bilangan berkaitan dengan kehidupan sehari hari
Tabel 2.2. Kompetensi Dasar
19 1. Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK)
Kelipatan persekutuan terkecil dari dua bilangan adalah bilangan terkecil yang habis dibagi kedua bilangan tersebut” (Sumanto, Heny & Nur, 2008:16).
Sesuai dengan namanya, yaitu kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dari dua bilangan a dan b, atau lebih maka proses pengerjaannya yaitu mencari semua kelipatan dari a dan b, kemudian diidentifikasi dan dikumpulkan semua kelipatan yang sama. Selanjutnya dari kumpulan itu pilihlah yang terkecil. Dari dua bilangan a dan b ditulis dengan notasi KPK (a,b) atau [a,b ].
a. Kelipatan persekutuan
Kelipatan persekutuan merupakan kelipatan yang sama dari dua atau lebih bilangan. Untuk mencari bilangan tersebut kita jabarkan kelipatan setiap bilangan tersebut, kemudian kita cari nilai yang sama (irisan) dari kelipatan tersebut. Misalnya tentukan KPK (4,6). Langkah pertama yang dilakukan yaitu mencari kelipatan dan 4 dan 6.
Kelipatan dari 4, yaitu, 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28, 32, 36, 40, …
Kelipatan dari 6, yaitu, 6, 12, 18, 24, 30, 36, 42, 48, 54, …
Kelipatan persekutuan dari 4 dan 6 adalah 12, 24, 36, …
Karena yang terkecil adalah 12 maka KPK dari (4,6) =12
20 b. Faktorisasi prima
Selanjutnya didapat dengan mengalikan semua faktor prima dari bilangan tersebut. Apabila ada bilangan yang sama maka ambillah dengan pangkat yang terbesar dan jika memiliki pangkat yang sama maka ambil salah satunya saja. Misalnya, tentukan [40,60]
Faktorisasi prima dari 40 adalah = 23 . 5 Faktorisasi prima dari 60 adalah = 22 . 3. 5 Jadi, [40,60] adalah 23 x 3 x 5 = 120 c. Tabel
Cara ini hampir sama dengan pohon faktor, tetapi lebih rumit sedikit karena bilangan yang dicari faktornya dijadikan satu dalam tabel. Langkah pertama yaitu membuat garis yang membagi kedua bilangan tersebut. Kemuadian bagilah dengan bilangan prima terkecil sampai keduanya habis dibagi atau salah satunya saja yang dapat dibagi. Lanjutkan pembagian itu sampai menemui hasil 1. Dan yang terkhir kalikan semua bilangan prima tersebut untuk mendapatkan KPK nya. Hitunglah KPK dari 40 dan 60
40 60 20 30 10 15 5 15
5 5
1 1
21
1. Bagilah dengan bilangan prima terkecil yaitu 2
2. Bagilah semua bilangan sampai tidak bisa dibagi lagi (2) baru ganti ke bilangan prima selanjutnya (3).
3. Bagilah dengan bilangan prima selanjutnya (5) sampai menyisakan hasil satu.
4. KPK nya adalah perkalian semua bilangan prima Jadi, KPK dari 40 dan 60 adalah 23 x 3 x 5 = 120 2. Faktor Persekutuan Terbesar (FPB)
Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) adalah dua bilangan terbesar yang habis membagi kedua bilanagan tersebut” (Sumanto, Heny & Nur, 2008:15). Cara untuk menentukan FPB yaitu dengan memfaktorkan bilangan. Caranya adalah tentukan dulu faktor-faktor dari a dan b kemudian identifikasi dan kumpulkan faktor yang sama, selanjutnya pilih yang terbesar. Faktor persekutuan terbesar dari a dan b ditulis dengan notasi FPB (a,b) atau [a,b ]. Faktor persekutuan terbesar (FPB) dari dua atau lebih bilangan asli adalah bilangan terbesar yang merupakan faktor dari angka-angka itu. Faktor persekutuan terbesar dari a dan b ditulis dengan FPB (a,b). FPB dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu faktor persekutuan, faktorisasi prima, dan algoritma Euclid.
a. Faktor persekutuan
Mencari FPB dengan menentukan faktor-faktor persekutuan dari dua bilangan tersebut. Untuk mempermudah pemahaman, kita gunakan contoh mencari FPB dari 24 dan 32.
Langkah 1:
Tentukan semua faktor dari 24 dan 32.
22 24 = 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24
32 = 1, 2, 4, 8, 16, 32 Langkah 2:
Tentukan irisan dari faktor 24 dan 32 (faktor persekutuan).
{1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24} ∩ {1, 2, 4, 8, 16, 32} = {1, 2, 4, 8}
Langkah 3:
Tentukan faktor persekutuan terbesar dari irisan tersebut. Faktor persekutuan dari 24 dan 32 yaitu 1, 2, 4, 8. Bilangan 8 adalah faktor persekutuan terbesar di antara faktor persekutuan lainnya. Sehingga FPB dari 24 dan 32 dapat ditulis FPB (24,32) = 8. Cara ini kurang efisien jika digunakan untuk mencari FPB dari bilangan yang memiliki banyak faktor. Oleh karena itu, ada cara lain yang dapat digunakan untuk mencari FPB jika diketahui bilangan itu memiliki banyak faktor. Yaitu dengan menggunakan faktorisasi prima.
b. Faktorisasi prima
Mencari FPB dengan menjabarkan faktorisasi prima dari dua bilangan tersebut. Kita cari FPB dari 24 dan 32 menggunakan faktorisasi prima Langkah 1:
Mencari faktorisasi prima dari bilangan tersebut.
Misalnya, untuk mencari faktorisasi prima dari 24 dan 32 dengan cara sebagai berikut:
23 i. Pohon faktor
ii. Pembagian prima
Dari kedua cara di atas, dapat ditulis faktorisasi prima dari 24 dan 32.
24 = 2 x 2 x 3 x 3 = 22 x 32 32 = 2 x 2 x 2 x 2 x 2 = 25 Langkah 2:
Carilah faktor prima yang sama dengan pangkat terkecil.
Dari faktorisasi prima 24 dan 32, diketahui faktor prima yang sama adalah 2. Ada 23 dan 25, di antara keduanya yang memiliki pangkat terkecil adalah 23. Sehingga FPB dari 24 dan 32 adalah 23 yaitu 8, dapat ditulis FPB (24,32)
= 8
Contoh lain adalah FPB(12,35) Faktorisasi prima 12 = 22 x 3
24
2
2 16
32
2
2 8
2 4
2
32 16 2
8 2 4 2 2 2 2
6
2 12
3
24 2
12 2
6 2
3
24 Faktorisasi prima dari 35 = 5 x 7
Karena tidak memiliki faktor persekutuan maka FPB(12,35) = 1. Dua bilangan yang tidak memiliki faktor prima sekutu semacam ini disebut
prima relatif.
c. Algoritma Euclid
Algoritma ini merupakan algoritma yang digunakan untuk menentukan FPB dari dua buah bilangan. Algoritma ini ditemukan oleh Euclid ahli matematika Yunani yang tertulis pada bukunya Elements. Algoritma ini memanfaatkan sifat – sifat dari sisa pembagian atau module jadi, cocok digunakan untuk mencari nilai FPB.
2. Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
Anak lamban belajar atau slow learner hampir dapat ditemukan di setiap sekolah dasar. Anak lamban belajar atau slow learner mempunyai penampilan fisik yang sama seperti anak normal. Namun, anak lamban belajar mempunyai kemampuan intelektual yang sedikit berbeda dari anak normal karena perkembangan fungsi kognitifnya lebih lamban dari anak normal seusianya.
Anak lambat belajar memerlukan layanan pendidikan khusus sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangannya untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya secara optimal.
Anak lamban belajar (slow learner) yaitu suatu istilah nonteknis yang dengan berbagai cara dikenakan kepada anak-anak yang sedikit terbelakang secara mental, atau yang prestasi belajar. Apabila siswa mempunyai motivasi rendah untuk belajar maka akan menghasilkan prestasi belajar yang kurang maksimal. Kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, faktor
25
tersebut terdiri dari keluarga dan sekolah. Keluarga sangat berperan penting dalam pencapaian prestasi belajar karena sebagian besar waktu siswa berada di rumah. Selain itu hambatan belajar tidak hanya dari keluaga, sekolah juga berperan dalam membantu keberhasilan siswa untuk mencapai prestasi yang baik. Hal ini yang menghambat belajar siswa (St & Astutik, 2014). Didalam belajar, apabila siswa dalam belajar tidak memiliki minat terhadap bahan yang dipelajarinya maka akan timbul suatu kebosanan dan apabila siswa tidak berbakat pada bahan yang dipelajari, maka proses belajar akan lamban karena siswa tersebut akan kurang semangat terhadap apa yang dipelajari.(Fatra, Sumarno, & Kartikowati, 2017).
Anak lamban belajar (slow learner) adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan mental (fungsi intelektual di bawah teman-teman seusianya) disertai ketidakmampuan untuk belajar dan untuk menyesuaikan diri . Triani dan Amir (2013: 3) mengatakan bahwa anak lamban belajar (slow learner) adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu atau seluruh area akademik. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa anak lamban belajar bisa saja lemah dalam satu aspek akademik, beberapa aspek akademik, atau bahkan seluruh aspek akademik. Pernyataan Triani dan Amir diperkuat oleh pernyataan dari Sugihartono (2013:151) yang menyatakan bahwa lamban belajar adalah kesulitan belajar yang disebabkan anak sangat lamban dalam proses belajarnya, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak lain dalam melakukan kegiatan belajar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Borah
26
(2013: 139) bahwa seorang siswa bisa saja gagal dalam suatu mata pelajaran, tetapi tidak langsung membuktikan bahwa siswa tersebut lamban belajar.
a. Konsep Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
Anak lamban belajar dikenal dengan istilah slow learners, backward, dull, atau borderline. Anak lamban belajar berbeda dari anak yang mengalami retardasi mental, under achiever, ataupun anak berkesulitan belajar (learning disabled). Beberapa ahli mengidentifikasi anak lambat belajar berdasarkan tingkat kecerdasan atau hasil tes IQ. Slow learner yaitu suatu istilah nonteknis yang dengan berbagai cara dikenakan kepada anak-anak yang sedikit terbelakang secara mental, atau yang berkembang lebih lambat dari pada kecepatan normal. Slow learner merupakan anak dengan tingkat penguasaan materi yang rendah, padahal materi tersebut merupakan prasyarat bagi kelanjutan pelajaran berikutnya, sehingga mereka sering harus mengulang.
Kecerdasan mereka memang di bawah rata-rata, tetapi mereka bukan anak yang tidak mampu, hanya mereka butuh perjuangan yang keras untuk menguasai apa yang diminta di kelas regular (Rosmawati, 2017).
Nani Triani dan Amir (2013: 4) mendeskripsikan bahwa anak-anak lamban belajar (slow learner) tidak hanya terbatas pada kemampuan akademik melainkan juga pada kemampuan-kemampuan yang lain seperti pada aspek bahasa atau komunikasi, emosi, sosial atau moral.
27
b. Faktor Penyebab Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
Menurut Nani Triani dan Amir (2013: 4-10) ada 4 faktor penyebab anak lamban belajar (slow learner) yaitu sebagai berikut :
a) Faktor Prenatal (Sebelum Lahir) dan Genetik
Faktor prenatal dan genetik yang dapat menyebabkan anak lamban belajar meliputi: 1) kelainan kromosom yang menyebabkan kelainan fisik dan fungsi kecerdasan. 2) gangguan biokimia dalam tubuh, seperti galactosemia dan phenylketonuria. dan 3) kelahiran prematur, di mana organ tubuh bayi belum siap berfungsi maksimal, sehingga terjadi keterlambatan proses perkembangan (Nani Triani dan Amir, 2013: 4-5).
b) Faktor Biologis Nonketurunan
Faktor biologis nonketurunan yang dapat menyebabkan anak lamban belajar meliputi: 1) ibu hamil mengonsumsi obat-obatan yang merugikan janin atau ibu alkoholis, pengguna narkotika dan zat aditif dengan dosis berlebih yang dapat mempengaruhi memori jangka pendek anak; 2) keadaan gizi ibu yang buruk saat hamil; 3) radiasi sinar X; dan 3) faktor Rhesus (Nani Triani dan Amir, 2013: 6-8). Kebutuhan gizi selama kehamilan harus diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu dan janin. Fikawati, Syafiq, dan Karima (2015:28) berpendapat bahwa untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil digunakan batasan berdasarkan rekomendasi Angka Kebutuhan Gizi (AKG). Kekurangan gizi pada ibu hamil akan berdampak gangguan pada pembentukan sel otak bayi.
28 c) Faktor Natal (Saat Proses Kelahiran)
Faktor natal yang dapat menyebabkan anak lamban belajar adalah kondisi kekurangan oksigen saat proses kelahiran karena proses persalinan yang lama atau bermasalah, sehingga menyebabkan transfer oksigen ke otak bayi terhambat (Nani Triani dan Amir, 2013: 9).
d) Faktor Postnatal (Sesudah Lahir) dan Lingkungan
Faktor postnatal dapat menyebabkan anak lamban belajar (slow learner) meliputi: 1) malnutrisi; 2) trauma fisik akibat jatuh atau kecelakaan; dan 3) beberapa penyakit seperti meningitis dan enchepalis. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan anak lamban belajar adalah stimulasi yang salah, sehingga anak tidak dapat berkembang optimal (Nani Triani dan Amir, 2013: 9).
Ahmadi dan Supriyono (2013: 87) menambahkan bahwa suasana rumah serta keadaan ekonomi keluarga juga bisa ikut mempengaruhi hasil belajar anak. Suasana rumah yang sangat ramai atau gaduh tidak mungkin memberikan suasana belajar yang nyaman bagi anak, sementara jika keadaan ekonomi keluarga yang miskin akan mengakibatkan kurangnya alat belajar, biaya, serta tempat belajar yang mencukupi bagi anak.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab anak lamban belajar meliputi: 1) faktor kemiskinan. 2) faktor kecerdasan orang tua dan jumlah anggota keluarga.
3) faktor emosi. 4) faktor pribadi. 5) faktor prenatal dan genetik. 6) faktor biologis nonketurunan. 7) faktor natal. dan 8) faktor postnatal dan lingkungan.
29
c. Karakteristik Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
Anak lamban belajar (slow learner) mempunyai empat karakteristik, yaitu:
1). keterbatasan kapasitas kognitif; 2). memori atau daya ingat rendah; 3).
gangguan dan kurang konsentrasi; 4). ketidakmampuan mengungkapkan ide.
Selain 4 karakteristik di atas, Nani Triani dan Amir (2013: 4-12) menjelaskan karakteristik anak lamban belajar ditinjau dari aspek inteligensi, bahasa, emosi, sosial, dan moral.
a) Intelegensi
Ditinjau dari aspek intelegensinya, karakteristik anak lambat belajar meliputi: 1) mengalami kesulitan hampir pada semua mata pelajaran yang berhubungan dengan hafalan dan pemahaman; 2) mengalami kesulitan dalam memahami hal-hal abstrak; dan 3) mempunyai hasil belajar yang lebih rendah dibandingkan teman-teman sekelasnya (Nani Triani dan Amir, 2013: 10-11).
b) Bahasa atau Komunikasi
Karakteristik bahasa atau komunikasi anak lamban belajar adalah adanya masalah komunikasi, baik dalam menyampaikan ide atau gagasan (bahasa ekspresif) maupun memahami penjelasan orang lain (bahasa reseptif). Oleh karena itu, bahasa yang sederhana, singkat, dan jelas sebaiknya digunakan dalam komunikasi dengan anak lambat belajar (Nani Triani dan Amir, 2013:
11).
30 c) Emosi
Anak lamban belajar (slow learner) memiliki emosi yang kurang stabil. Hal ini ditunjukkan dengan anak lamban belajar yang cepat marah, sensitif, dan mudah menyerah ketika mengalami tekanan atau melakukan kesalahan (Nani Triani dan Amir, 2013: 11).
d) Sosial
Aspek sosial anak lamban belajar (slow learner) adalah kurang baik dalam bersosialisasi. Anak lamban belajar lebih sering menarik diri saat bermain.
Selain itu, anak lamban belajar juga lebih senang bermain dengan anak-anak yang berusia di bawahnya. Anak lamban belajar (slow learner) merasa lebih aman karena saat berkomunikasi dapat menggunakan bahasa yang sederhana (Nani Triani dan Amir, 2013: 12).
e) Moral
Moral anak lamban belajar (slow learner) berkembang seiring kematangan kognitif. Karakteristik moral anak lamban belajar (slow learner) adalah mengetahui aturan yang berlaku, tetapi tidak memahami aturan tersebut.
Terkadang anak lamban belajar (slow learner) melanggar aturan karena kemampuan memori mereka yang terbatas, sehingga sering lupa. Oleh karena itu, sebaiknya anak lamban belajar sering diingatkan (Nani Triani, 2013: 12).
Anak lamban belajar mempunyai karakteristik intelegensi, bahasa atau komunikasi, emosi, sosial, dan moral yang berbeda dari anak normal. Namun, anak lamban belajar mempunyai karakteristik fisik yang sama seperti anak normal. Lowenstein (Malik, Rehman, dan Hanif, 2012: 136) mengemukakan bahwa secara fisik anak lamban belajar mempunyai penampilan yang sama
31
seperti anak normal, sehingga karakteristik anak lamban belajar baru akan tampak dalam proses pembelajaran, terutama ketika menghadapi tugas-tugas yang menuntut konsep abstrak, simbol-simbol, dan keterampilan konseptual.
Masalah anak lamban belajar dalam penelitian ini difokuskan pada masalah belajar, meliputi: 1) memiliki prestasi rendah, terutama untuk mata pelajaran Matematika ; 2) mempunyai daya ingat rendah; 3) kurang memperhatikan pembelajaran; 4) mempunyai kecepatan belajar yang lebih lambat dibandingkan teman sekelasnya; 5) membutuhkan rangsangan yang lebih banyak untuk mengerjakan tugas sederhana; dan 6) mengalami masalah adaptasi di kelas.
d. Komponen Kegiatan Pembelajaran Anak Lamban Belajar ( Slow Learner )
Mengetahui faktor apa saja yang menjadi penentu keberhasilan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting. Tujuannya adalah agar kita memahami proses pelaksanaan yang berkaitan dengan penguatan sistem pembelajaran dan pengolahan kelas disertai dengan fleksibilitas kurikulum yang memberikan pemahaman secara utuh tanpa harus ada pemisahan internal antara anak normal dengan anak berkebutuhan khusus. Selain itu, kita juga bisa mengetahui kunci utama dalam mendorong efektivitas pelaksanaan pendidikan inklusi yang disertai dengan praktik pendidikan yang harus dilaksanakan dem menciptakan anak dengan tingkat intelegensi yang tinggi.
Kurikulum pendidikan penting bagi setiap pelaksanaan belajar mengajar di setiap lembaga pendidikan. Setiap kurikulum yang dikembangkan hendaknya memahami karakteristik dan tingkat kebutuhan anak dalam mengikuti proses
32
pembelajaran, sehingga tidak terkesan mendapatkan tekanan psikologis yang bisa mempengaruhi mental mereka. Kurikulum penting untuk menata arah dan tujuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan hak-haknya yang belum terpenuhi. Berikut akan dijelaskan secara rinci komponen kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan anak.
1. Tujuan
Pada pelaksanaan kurikulum atau pengajaran, tujuan memegang peranan penting untuk mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum yang di maksud untuk perkembangan tuntutan, kondisi, dan kebutuhan masyarakat dan didasari oleh pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan nilai-nilai filosofis.
2. Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk memotivasisiswa. Kontribusi media dalam pembelajaran antara lain penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar, pembelajaran dapat lebih menarik, pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar, kualitas pembelajaran lebih meningkat, proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan di tempat manapun diperlukan, dan peran guru berubah ke arah yang positif.
3. Evaluasi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi adalah perlunya penyesuaian cara, waktu dan isi kurikulum, mengacu kepada hasil asesmen, mempertimbangkan penggunaan penilaian acuan diri, dilaksanakan secara
33
fleksibel, multimetode, berkelanjutan dan rutin mengkomunikasikan hasilnya kepada orang tua.
3. Media Pembelajaran Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
Anak lamban belajar (slow learner) menghadapi masalah belajar yang berbeda dari anak normal. Oleh karena itu, seorang guru perlu memilih, merancang, dan menerapkan strategi pembelajaran yang tepat untuk anak lamban belajar. Media pembelajaran yang tepat akan membantu anak lamban belajar dalam mengatasi masalah belajarnya dan mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, efektif, dan efisien
1. Pengertian Media Pembelajaran
Istilah media berasal dari bahasa latin yaitu medius yang secara harfiah yang berarti “tengah”, perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan.
Kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti
’tengah’, ’perantara’, atau ’pengantar’. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. AECT (Association of Education and Communication Technology) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi.
Disamping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator, dengan istilah mediatormedia menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam
34
proses belajar, yaitu siswa dan isi pelajaran. Ringkasnya, media adalah alat yang menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran(Azhar Arsyad,2010:3)
Menurut Ashyar (2011:8) “media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan atau menyalurkan pesan dari satu sumber secara terencana, sehingga terjadi lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif”.
Proses belajar yang efektif dan efisien tentu akan memberikan pengaruh yang besar pada hasil belajar siswa.
Selain masalah ketertarikan siswa terhadap media, keterwakilan pesan yang disampaikan guru juga hendaknya dipertimbangkan dalam pemilihan media.
Ada 3 fungsi yang bergerak bersama dalam keberadaan media. Adapun 3 fungsi tersebut yaitu : a. fungsi stimulasi yang menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari dan mengetahui lebih lanjut segala hal yang ada pada media; b.
fungsi mediayang merupakan perantara antara guru dan siswa. Dalam hal ini, media menjembatani komunikasi antara guru dan siswa; c. fungsi informasi yang menampilkan penjelasan yang ingin disampaikan guru. Dengan keberadaan media, siswa dapat menangkap keterangan atau penjelasan yang dibutuhkan dan disampaikan oleh guru. Fungsi stimulasi yang melekat pada media dapat dimanfaatkan guru untuk membuat proses pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Kondisi ini dapat terjadi jika media yang ditampilkan oleh guru adalah sesuatu yang baru dan belum pernah diketahui oleh siswa baik tampilan fisik maupun yang non-fisik. Selain itu, isi pesan pada media tersebut hendaknya merupakan suatu hal yang baru dan atraktif, misalnya dari segi warna
35
maupun desainnya. Semakin atraktif bentuk dan isi media, semakin besar pula keinginan siswa untuk mengetahui apa yang ingin disampaikan guru atau bahkan timbul keinginan untuk berinteraksi dengan media tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, guru hendaknya benar-benar dapat mempertimbangkan kegunaan maupun aksesibilitas media tersebut. Jika suatu media tidak dapat diakses karena alasan tertentu, guru hendaknya mencari dan menemukan alternatif lainnya, misalnya dengan memproduksi sendiri suatu media menurut sarana yang dimilikinya. Hal semacam ini memang memungkinkan untuk dilakukan karena, menurut Rahardjo media dibedakan menjadi dua macam menurut kriteria aksesibilitasnya, yaitu:
a) Media yang dimanfaatkan (media by utilization), artinya media yang biasanya dibuat untuk kepentingan komersial yang terdapat di pasar bebas.
Dalam hal ini, guru tinggal memilih dan memanfaatkannya, walaupun masih harus mengeluarkan sejumlah biaya.
b) Media yang dirancang (media by design) yang harus dikembangkan sendiri.
Dalam hal ini, guru dituntut untuk mampu merancang dan mengembang sendiri media tersebut sesuai dengan sarana dan kelengkapan yang dimilikinya.
Berdasarkan kriteria di atas, maka pembagian kriteria pemilihan media menurut asyhar, 2012:81 1). jelas dan rapi. 2) bersih dan menarik. 3) cocok dengan sasaran. 4) relevan dengan topik yang diajarkan. 5) sesuai dengan tujuan pembelajaran. 6) praktis, luwes dan tahan. 7) berkualitas baik. 8) ukurannya sesuai dengan lingkungan belajar
36
2. Pengertian Media Pembelajaran Anak Lamban Belajar (Slow Learner) Media pembelajaran yang digunakan salah satunya berupa alat peraga. Alat peraga adalah sebuah alat atau perangkat yang digunakan tenaga pendidik (guru) untuk dapat menyampaikan informasi yang diberikan kepada peserta didik agar tepat dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Media pendidikan matematika yang lebih cenderung disebut alat peraga yang penggunaannya dapat didefinisikan sebagai suatu alat peraga yang penggunaanya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran yang telah ditentukan dalam silabus bidang studi matematika dan bertujuan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar. Post dan Reys memberikan ada beberapa syarat yang harus dimiliki alat peraga adalah :
a. Pertimbangan secara pedagogik : a). memberikan perwujudan kebenaran alat untuk konsep matematika ; b). secara jelas menunjukkan konsep matematika ; c). memberi motivasi bagi siswa ; d). dapat berfaedah banyak
; e). menjadi dasar tumbuhnya konsep berfikir abstrak.
b. Pertimbangan karakteristik alat peraga : a). tahan lama ; b). bentuk dan warna menarik ; c). sederhana dan mudah dikelola ; d. ukuran alat yang sesuai (seimbang) ; e). tidak terlalu mahal
Pembelajaran menggunakan alat peraga memiliki peranan yang sangat penting. Karena jika dalam kegiatan pembelajaran terdapat materi yang tidak di sampaikan dapat di bantu dengan menggunakan alat peraga sebagai alat yng akan membantu guru menjelaskan materi yang akan disampaikan. Kerumitan materi yang akan disampaikan kepada peserta didik dapat disederhanakan
37
dengan bantuan alat peraga. Selain itu, penggunaan alat peraga juga dikaitkan dengan pemahaman konsep untuk mencapai tujuan dari pembelajaran.
a. Media Dakon Angka
Dakon adalah permainan tradisional yang dikenal dengan berbagai macam nama yang beragam. Istilah ini juga dikenal di beberapa daerah di Sumatra dan kebudayaan Melayu. Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Selain itu, di Lampung permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan nama Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata. Dalam bahasa Inggris, permainan ini disebut Mancala.
b. Alat dan Bahan Pembuatan Dakon Angka
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat dakon angka ini adalah kayu dan tiplek. Adapun alat yang digunakan ialah palu, paku dan lainnya.
Bahan tambahan untuk memperindah media dakon bilangan ialah cat dan stiker.Berikut adalah desain media dakon angka
38
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Gambar 2.1. desain media dakon angka
Keterangan :
1. Panjang papan : 125 cm
2. Lebar papan : 65 cm
3. Diameter lubang kecil : 7 cm 4. Diameter lubang besar : 10 cm 5. Jarak lubang 1 dan 2 : 2 cm
39
6. Jarak lubang dari atas ke bawah : 5 cm c. Cara Memainkan Dakon Angka
Cara menggunakan dakon angka mengikuti aturan permainan congklak hanya saja tidak semua aturan permainan congklak diterapkan dalam dakon bilangan ini. Cara menggunakan dakon bilangan ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan Faktor Persekutuan Terbesar (FPB)
Penggunaan dakon bilangan untuk menentukan FBP ialah sebagai berikut:
a) Buka kotak dakon angka
b) Siswa diberi soal untuk menentukan FPB.
c) Kemudian siswa diminta untuk menentukan faktor pembagi bilangan yang ditandai dengan menggunakan manik-manik dengan warna yang berbeda.
d) Siswa akan mencari faktor pembagi dari bilangan yang pertama pada kotak kecil dengan memasukkan satu buah manik yang merupakan faktor pembagi bilangan tersebut. Begitu pun dengan angka yang lain.
e) Jika siswa sudah menemukan faktor pembagi setiap bilangan maka siswa diminta mencari kelipatan persekutuan dengan cara menemukan kotak yang memilki lebih dari satu manik yang warnanya berbeda.
f) Jika siswa sudah menemukan kelipatan persekutuannya maka siswa diminta untuk menentukan kelipatan persekutuan terbesarnya dengan cara melihat angka terbesar yang mendapat manik lebih dari satu warna.
40
2. Menentukan Persekutuan Terkecil (KPK)
Penggunaan dakon angka untuk menentukan faktor persekutuan terkecil ialah sebagai berikut:
a) Bukalah kotak dakon bilangan.
b) Siswa diberi soal untuk menentukan KPK.
c) Siswa diminta untuk menandai bilangan yang menjadi kelipatan bilangan menggunakan manik-manik dengan warna yang berbeda.
d) Siswa mencari kelipatan dari bilangan yang pertama dengan memasukkan satu buah manik yang merupakan kelipatan bilangan tersebut, begitu pun dengan angka yang lain.
e) Jika siswa telah menemukan kelipatan yang paling besar dari kelipatan bilangan maka siswa berhenti.
f) Setelah kelipatan bilangan ditemukan maka siswa diminta untuk menentukan kelipatan persekutuan terkecilnya dengan cara melihat angka terkecil yang mendapat manik lebih dari satu warna.
3. Pemilihan Media Pembelajaran Anak Lamban Belajar (Slow Learner) Berdasarkan pengertian anak lamban belajar dan media pembelajaran yang diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran anak lamban belajar adalah cara yang paling utama dan efektif untuk membantu anak lamban belajar mencapai tujuan pembelajaran tertentu, sehingga menjadi pegangan guru dalam merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pembelajaran anak lamban belajar. Dalam merencanakan dan menerapkan media pembelajaran anak lamban belajar, seorang guru perlu memperhatikan
41
kemampuan belajar anak lamban belajar yang berbeda dari siswa normal lainnya.
Tujuan pembelajaran yang harus dicapai anak lamban belajar adalah mengenali perkalian satu sampai puluhan melalui tahapan konkret. Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan, tugas, dan bantuan dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan tahapan perkembangan belajar anak lamban belajar (Hidayat, 2009: 6)
Media pada hakekatnya merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan bagian integral dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh. Akhir dari pemilihan media adalah penggunaaan media tersebut dalam kegiatan pembelajaran, sehingga memungkinkan pebelajardapat berinteraksi dengan media yang kita pilih.
Pemilihan media perlu kita lakukan agar dapat menentukan media yang terbaik, tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sasaran peserta didik.
Untuk itu, pemilihan jenis media harus dilakukan dengan prosedur yang benar, karena begitu banyak jenis media dengan berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Merancang dan menggunakan media belajar anak lamban belajar (slow learner), guru perlu mempertimbangkan beberapa hal dalam pemilihan media belajar. Asyhar & Khairinal media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Beberapa syarat tersebut seperti: (a) dapat meningkatkan motivasi peserta didik, (b) memberikan rangsangan belajar kepada peserta didik,
42
(c) mempertahankan retensi peserta didik terhadap materi pembelajaran, (d) dapat mengefektifkan si-belajar (Learner) dalam memberikan tanggapan dan umpan balik, (e) mendorong peserta didik untuk melakukan praktekpraktek dengan benar (Asyhar & Khairinal, 2012:35)
Berdasarkan syarat yang baik pemilihan media, adapun 8 kriteria yang perlu diperhatikan dalam proses pemilihan media pembelajaran adalah sebagai berikut: a). jelas dan rapi ; b). bersih dan menarik ; c). cocok dengan sasaran ; d). relevan dengan topik yang diajarkan ; e). sesuai dengan tujuan pembelajaran
; f). praktis, luwes dan tahan ; g). berkualitas baik ; h). kurannya sesuai dengan lingkungan belajar (Asyhar, 2012:81)
Kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih media pembelajaran sebagai berikut: 1) Ketepatannya dengan tujuan pembelajaran. 2) Dukungan terhadap isi bahan pembelajaran. 3) Kemudahan memperoleh media. 4) Guru berkemampuan menggunakan media dalam proses pengajaran. 5) Sesuai dengan taraf berpikir peserta didik. (Sudjana & Ahmad (Asyhar, 2012:87-88)).
Berdasarkan pendapat dua ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kriteria pemilihan media pembelajaran adalah sebagai berikut; 1) Sesuai dengan tujuan pembelajaran, 2) jelas dan rapi, 3) bersih dan menarik, 4) bersifat luwes, praktis dan tahan lama, 5) guru terampil menggunakannya, 6) sesuai dengan taraf berpikir siswa, 7) berkualitas baik.
43 B. Kajian Penelitian yang Relevan
Adapun 3 kajian yang relevan antara lain sebagai berikut : Tabel 2.3. Kajian Penelitian yang Relevan
No Uraian Relevan
Judul Persamaan Perbedaan
1. Renita ( 2017 )
Keefektifan Media Dakon Modifikasi Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Matematika Pada Siswa Tunanetra Kelas V Di Sekolah Luar Biasa A Y aketunis Yogyakarta
Persamaan penelitian terdahulu
dengan yang saya teliti adalah terletak pada media yang digunakan, yaitu sama-sama menggunakan media dakon untuk
pembelajaran matematika.
1. Peneliti Renita subjeknya anak tunanetra, sedangkan peneliti
subjeknya nak lamban belajar 2. Peneliti Renita
melakukan penelitian di sekolah luar biasa (SLB), sedangkan peneliti sendiri sekolah reguler.
2. Ahmad Sobari (2011)
Pengaruh Penggunaan Alat Peraga Dakon terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa
Sama-sama menggunakan media dakon
1. Peneliti Ahmad Sobari
subjeknya adalah siswa awas kelas IV MI, sedangkan subjek
penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
44
anak lamban belajar (slow learner) kelas IV.
2. Peneliti Ahmad Sobari, lubang dakon disusun menjadi dua baris dan setiap baris terdapat 25 lubang,
sedangkan peneliti, lubang dakon disusun menjadi 5 baris dan di setiap baris terdapat 10 lubang
3. Saidah Nur Haq (2017)
Pengaruh Permainan Dakon Terhadap Kemampuan
Berhitung Siswa Kelas 1 di SD Negeri 01 Bandardawung
Tawangmangutahun Ajaran 2016 / 2017
Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan peneliti Saidah Nur Haq adalah sama-sama menggunakan media dakon
Peneliti dengan subyek anak lamban belajar
kelas IV,
sedangkan Saidah Nur Haq subyeknya anak kelas 1.
4. Ririn Monica (2018)
Pengembangan Media Dakon Bilangan Pada Pembelajaran
Matematika Untuk
Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan
Peneliti dengan subyek anak lamban belajar
kelas IV,
45 Melatih Pemahaman Konsep FPB Dan KPK Siswakelas Iv Sekolah Dasar
peneliti Ririn Monica adalah sama-sama menggunakan media dakon
sedangkan Ririn Monica subyeknya anak normal kelas IV
46 C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir penerapan dakon angka dapat meningkatkan belajar siswa lamban belajar, dapat digambarkan dalam bagan berikut :
Gambar 2.2. kerangka pikir penelitian media dakon angka Analisis Kebutuhan
1. Guru memerlukan media / alat untuk membantu menyampaikan materi
2. Dalam pembelajaran guru membutuhkan media pembelajaran yang membuat siswa lebih aktif dan tertarik selama proses pembelajaran
3. Pembelajaran yang diharapkan dapat memotivasi dan berpusat pada siswa
4. Siswa dapat memahami materi dengan mudah menggunakan media kongkrit
5. Anak slow learner membutuhkan media pembelajaran yang tepat
6. Menentukan KPK dan FPB merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh anak lamban belajar (slow learner)
Kondisi Lapang
1. Guru tidak menggunakan media pembelajaran 2. Guru masih menggunakan metode ceramah
dalam menyampaikan materi
3. Pembelajaran yang dapat memotivasi dan berpusat pada siswa
4. Siswa lamban belajar (slow learner) kelas IV di SDN Tlogomas 1 Malang mengalami keterbatasan dalam memahami materi yang disampaikan
5. Anak lamban belajar (slow learner) mengalami kesulitan memahami konsep KPK dan FPB.
Berdasarkan kondisi lapang , dapat di simpulkan bahwa analisis kebutuhan diperlukannya produk media pembelajaran yang inovatif, kreatif dalam pembelajaran agar proses pembelajaran berpusat pada siswa dan siswa mampu memahami materi secara mudah melalui media kongkrit. Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut penelitian menggunakan media dakon angka
Media dakon angka efektif terhadap peningkatan hasil belajar KPK dan FPB anak lamban belajar. Media Dakon Angka di asumsikan memiliki beberapa keunggulan dianataranya: bentuknya dapat diamati secara visual maupun taktual sehingga dapat digunakan oleh anak lamban belajar (slow learner), awet dan dapat digunakan berulang kali, merangsang perhatian siswa, memudahkan anak lamban belajar (slow learner) memahami konsep KPK dan FPB secara lebih konkret, serta membantu mengurangi verbalistis guru dalam mengajar.
47