(MANTAN) MENTERI SEHARUSNYA NYALON DI DPRD TINGKAT II Oleh: GPB Suka Arjawa
Daftar calon anggota legislatif sementara yang diserahkan partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum, menimbulkan banyak komentar dan kritik. Kekhawatiran banyak pihak pada akhirnya terbukti. Daftar calon ini justru menimbulkan kisruh di dalam partai karena banyak figur yang dipandang layak, ternyata tidak terpilih. Kekisruhan ini tidak hanya terjadi pada level nasional tetapi juga lokal. Akibatnya soliditas partai pada tingkat akar rumput menjadi renggang. Terhadap upaya untuk menarik massa, partai politik dikritik keras karena masih mengandalkan para menteri kabinet sebagai calon anggota. Pada periode lima tahun yang lalu, kenyataan seperti ini juga sudah terjadi dan menjadi pergunjingan di masyarakat. Yang tidak kalah gentingnya sebagai pembicaraan publik adalah kembali tampilnya artis-artis tenar ke dalam jajaran calon anggota legislatif. Disini partai politik hanya dikatakan sebagai kelompok organisasi pragmatis, yang semata-mata hendak mencari popularitas ketimbang kemantapannya untuk mengurus kepentingan rakyat.
Dalam satu hal, kembali maraknya artis sebagai votegetter suara partai politik
menandakan kekurang percayaan aparatur partai yang bersangkutan merangkul publik. Boleh dikatakan juga sebagai kegagalan aparatur itu memberdayakan diri untuk
memperkenalan kemampuannya kepada masyarakat. Partai politik mempunyai aparatur dari tingkat pusat sampai dengan daerah yang paling bawah. Dalam konteks teori pilihan rasional, mereka penggerak utama untuk mendapat dukungan untuk mencapai
keuntungan maksimal. Karena merupakan penggerak utama, maka kemampuan yang ada pada dirinya sangat komplit. Mereka tidak hanya mampu menjadi manajemen partai tetapi juga harus mampu mengenalkan kemampuan itu kepada masyarakat sehingga membuat masyarakat tertarik dan percaya kepada aparatur tersebut. Pada bidang
adminstrasi, aparatur jelas berjenjang sesuai dengan birokrasi yang ada, misalnya ketua, wakil, bendahara, sekretaris dan sebagainya yang terus berjenjang dari atas sampai bawah. Penjenjangan ini memperlihatkan fungsionalnya masing-masing. Di atas atau sejajar dengan penjenjangan birokrasi itu (dalam hal politik) semestinya ada satu tokoh yang dipandang layak menjadi politisi, yang akan mengampu tugas langsung baik di parlemen maupun sebagai ketua partai, yang akan memperjuangkan langsung
kepentingan rakyat dengan negara. Dalam bahasa sekarang, birokrasi itu dipandang sebagai tim sukses.
wilayah pribadi sang artis, tetapi wilayah ini sering kali secara vulgar diekspos ke layar kaca sehingga dalam urusan pencitraan akan mempengaruhi kedudukan partai tersebut. Karena itulah, partai politik harus lebih percaya diri dalam upaya mendongkrak
popularitas, yaitu dengan mengandalkan aparaturnya (non artis) sendiri melalui kegiatan nyata yang menyentuh kepentingan masyarakat banyak.
Bahwa kemudian menteri ikut menjadi calon anggota legislatif, bisa dinilai positif untuk satu hal, yaitu ketika menteri yang kini memegang ”kuasa” kelak telahtidak terpilih lagi menjadi anggota kabinet. Masuknya para menteri sebagai calon anggota legislatif itu bisa saja dipandang sebagai ”artis” karena bagaimanapun mereka adalah sosok populer di kelompok masyarakat. Dengan popularitas itu mereka juga ikut mendongkrak atau
mempertahankan popularitas partai. Namun, lebih pantas melihat sosok menteri calon ini sebagai upaya untuk mempertahankan pengaruh di bidang politik. Artinya, tidak ada jaminan seseorang yang mempunyai jabatan sebagai menteri sekarang kelak tahun depan akan terpilih lagi. Tetapi, menteri adalah sebuah jabatan politis dan keputusan-keputusan yang bersifat politik itulah yang dikeluarkan. Mereka adalah individu-individu yang tetap mempunyai pengaruh. Ketika misalnya kelak tidak lagi terpilih menjadi anggota kabinet, pengaruh inilah yang hendak dijalankan melalui keanggotaannya sebagai anggota
legislatif. Pengalaman yang dimiliki sebagai menteri dan pengaruhnya di masyarakat, akan dipentingkan untuk membantu membuat kebijakan-kebijakan publik di lembaga legislatif tersebut. Secara kasat mata, mereka yang pernah menduduki jabatan pada bidang publik pemerintahan, lebih mudah terpilih menjadi anggota legislatif, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Dari titik ini, mantan anggota kabinet memang
dipentingkan untuk tetap duduk pada karir politik. Karena itu, menteri tidak usah malu misalnya kalau kelak setelah ”pensiun” , justru mencalonkan diri menjadi anggota legislatif , dan bila perlu di tingkat legislatif paling bawah (DPRD II). Justru pada jenjang inilah pengalaman sebagai politisi dan bekas anggota kabinet dipentingkan karena jenjang ini paling dekat dengan masyarakat akar rumput. Pengalamannya diperlukan untuk mendidik anggota legislatif yang baru. Pengaruh dan pengalaman itu sangat diperlukan untuk menyeimbangkan dan memberi masukan pada kebijakan-kebijakan kabupaten dan kota. Jadi mantan menteri itu jangan melulu mengincar keanggotaan DPR pusat, tetapi akan lebih terhormat apabila bersedia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD tingkat II. Menteri seperti ini adalah seorang politisi sejati dan benar-benar memperjuangkan kehendak rakyat akar rumput.
Bagaimana dengan tokoh-tokoh yang tertolak masuk calon anggota legislatif, dan kemudian mencak-mencak kebakaran jenggot?