• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Formulasi Hukum Pelaksanaan Pidana Bagi Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Formulasi Hukum Pelaksanaan Pidana Bagi Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PELAKSANAAN PIDANA BAGI

PIDANA PEMENUHAN KEWAJIBAN ADAT DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Oleh

I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH. MH1

A. PENDAHULUAN

Pembaharuan hukum pidana adalah suatu cita-cita besar bangsa Indonesia

yang hingga saat ini belum mampu untuk diwujudkan. Sekalipun pada faktanya

pelaksanaan pembaharuan hukum pidana telah berjalan selama hampir 52 tahun

(terhitung sejak tahun 1963 hingga sekarang) dan telah dilaksanakan secara

menggenerasi dan terus menerus dari pencetus Konsep RKUHP I hingga

penerus-penerusnya. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat pembaharuan

hukum pidana merupakan bagian dari kemerdekaan bangsa Indonesia yang sudah

dicapai di tahun 1945.

Pembaharuan hukum pidana merupakan kebutuhan dan keharusan bagi

bangsa atau negara yang telah merdeka. Mengingat di masa penjajahan, sistem

hukum yang diberlakukan bukanlah sistem hukum bangsa sendiri melainkan

sistem hukum negara penjajah. Setelah Perang Dunia kedua berakhir, banyak

negara-negara di dunia melakukan reorientasi dan reformulasi terhadap sistem

hukum pidananya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat banyak negara menganut

sistem hukum pidana yang asas-asas dan dasar-dasar tata hukumnya tidak

diletakkan pada asas-asas dan dasar-dasar tata hukum aslinya. Dengan kata lain

menganut sistem hukum asing yang secara filosofis, ideologis dan sosiologis

berbeda dengan sistem hukum aslinya.

1

(2)

2 Indonesia juga mengalami hal tersebut, sistem hukum pidana yang dianut saat

ini merupakan warisan dari masa penjajahan Belanda. Dalam sejarahnya

diceritakan bahwa pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia dikarenakan

ketentuan Pasal 75 Regelings Reglement yang mewajibkan pemberlakuan hukum

penjajah di negara jajahan berdasarkan asas konkordansi. Implikasinya hukum asli

bangsa Indonesia terintimidasi secara perlahan dan kemudian tidak dipergunakan

namun tetap dibiarkan hidup di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian dikenal

sebagai hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis yang pada masa

penjajahan Belanda dan masa berlakunya KUHP WvS tidak mendapatkan

pengakuan sama sekali. Barda Nawawi Arief mengatakan tidak diakuinya

(diharamkannya) hukum tidak tertulis dengan bertolak pada asas legalitas (Pasal 1

KUHP) sangat tidak relevan dengan jiwa/semangat UUD 1945.2

Beliau menerangkan, hukum tidak tertulis diharamkan pada masa lahirnya

asas legalitas (zaman revolusi Perancis) adalah “hukumnya raja penguasa”

(yang tidak tertulis). Hal ini tidak dapat disamakan dengan “hukum tidak

tertulis” di Indonesia, yang pada hakikatnya merupakan “hukum rakyat”

atau “hukum yang hidup di masyarakat”.3

Dengan demikian, apa yang dikemukakan Barda Nawawi Arief tersebut

menunjukkan bahwa secara filosofis bangsa Indonesia termasuk dalam bangsa

yang komunal dan bukan individualis. Ini karena pola pikir bangsa Indonesia yang

tidak formalistik dan individualis. Dengan demikian bangsa Indonesia terbiasa

berpikir secara luas dan tidak kaku selalu memperhatikan kepentingan bersama.

Filosofi demikian menunjukkan bahwa perilaku masyarakat Indonesia adalah

diupayakan untuk mencapai keseimbangan.

Dalam konteks pembaharuan hukum pidana, keseimbangan ini merupakan

satu dasar tata letak akan seperti apa hukum pidana Indonesia di masa yang akan

2

Barda Nawawi Arief, 2008, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Magister, Semarang. hal. 13 (selanjutnya disebut sebagai Barda Nawawi Arief I)

(3)

3 datang. Dengan dianutnya paham monodualistik dalam RKUHP maka di masa

yang akan datang akan terjadi perluasan-perluasan terhadap asas-asas hukum

pidana Indonesia. Termasuk adanya perluasan dalam sumber hukum yang berlaku

di masa yang akan datang. sebagaimana diketahui KUHP saat ini hanya mengaku

adanya sumber hukum tertulis sebagai satu-satunya sumber hukum pidana. Ini

dapat diketahui dari dianutnya asas legalitas formal yang mengedepankan aturan

tertulis sebagai dasar untuk memidana suatu perbuatan. Di masa yang akan datang

sumber hukum yang dicita-citakan bukan hanya sumber hukum tertulis saja

melainkan juga sumber hukum tidak tertulis. Artinya di masa yang akan datang,

hukum pidana Indonesia akan melandaskan asasnya pada dua sumber hukum

yaitu hukum tidak tertulis dan hukum tertulis sekalipun hukum tidak tertulis

hanya akan menjadi penyeimbang bagi hukum tertulis.

Adapun perluasan sumber hukum pidana dalam RKUHP ini didasarkan pada :

1. Adanya berbagai kebijakan produk legislative nasional setelah kemerdekaan;

2. Kajian sosiologis mengenai “karakteristik” sumber hukum/asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistic dan terpisah-pisah/parsial;

3. Berbagai hasil penelitian hukum adat;

4. Kesepakatan ilmiah/seminar nasional;

5. Berbagai hasil kajian komparatif dan dokumen/statement pertemuan internasional.4

Dengan demikian jelaslah bahwa kehendak untuk memasukkan sumber hukum

tidak tertulis bukan semata-mata kehendak tanpa alasan. Ada banyak faktor yang

mempengaruhi urgensi masuknya sumber hukum tidak tertulis sebagai bagian dari

RKUHP di masa yang datang.

Masuknya sumber hukum tidak tertulis ke dalam RKUHP memberikan

implikasi terjadinya perluasan sumber hukum yang juga akan berimplikasi

4

(4)

4 terhadap asas-asas hukum pidana yang akan berlaku di masa yang akan datang.

Dengan kata lain masuknya sumber hukum tidak tertulis akan memberikan

pengaruh terhadap 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yaitu tindak

pidana, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Salah satunya

terlihat dalam permasalahan pidana dan pemidanaan di masa yang akan datang,

khususnya dalam stelsel sanksi pidana tambahan yang memuat pidana pemenuhan

kewajiban adat sebagai bagian dari stelsel sanksi pidana di masa yang akan

datang.

Pidana pemenuhan kewajiban adat pada dasarnya adalah sanksi yang hidup di

dalam masyarakat adat. Pidana pemenuhan kewajiban adat merupakan reaksi adat

yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum adat. Dalam

praktek beracara (formal) saat ini, pidana pemenuhan kewajiban adat (reaksi adat)

jarang diterapkan oleh hakim. Hal ini secara tidak disadari menimbulkan

permasalahan ketidakpercayaan masyarakat adat terhadap hukum pidana nasional.

Ketidakmampuan hukum pidana nasional menjangkau perbuatan-perbuatan yang

melanggar ketentuan adat akan berefek kurang baik terhadap hukum pidana

nasional sendiri. Hal inilah yang nampaknya ingin dicegah oleh RKUHP dengan

memfungsionalisasikan kembali hukum yang hidup dengan memasukkan pidana

pemenuhan kewajiban adat sehingga di masa yang akan datang sehingga hakim

dapat menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat kepada pelaku yang

melakukan tindak pidana berunsurkan adat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa RKUHP telah

menerima sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai bagian dari stelsel

sanksi pidana di masa yang akan datang. Ini artinya di masa yang akan datang,

hakim dapat mempertimbangkan penerapan sanksi pidana pemenuhan kewajiban

adat terhadap pelaku tindak pidana berunsurkan adat. Permasalahan yang akan

timbul adalah bagaimana melaksanakan pidana pemenuhan kewajiban adat di

masa yang akan datang, mengingat ada begitu banyak masyarakat adat yang

(5)

berbeda-5 beda. Disini perlu ada standar tentang pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban

adat.

Terkait dengan hal itu disadari bahwa ada semacam kekosongan hukum

terkait hukum pelaksanaan pidana yang harus segera dipertimbangkan untuk

diformulasikan mengingat hukum pelaksanaan pidana juga merupakan salahsatu

bagian dari pembaharuan hukum pidana substansial selain pembaharuan terhadap

hukum pidana materiel (KUHP) dan pembaharuan terhadap hukum pidana formal

(KUHAP). Khusus dalam hal ini kekosongan juga terjadi terhadap pelaksanaan

pidana pemenuhan kewajiban adat.

B.PEMBAHASAN

1. KEBIJAKAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA ADAT DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Sebagaimana telah diketahui, pembaharuan hukum pidana merupakan suatu

upaya yang dilakukan bangsa Indonesia untuk memiliki sistem hukum pidana

nasional yang sesuai dengan nilai sosio-filosofis, sosio-ideologis, dan sosio-politis

masyarakat Indonesia. Adanya hukum pidana nasional yang lebih sesuai dengan

kondisi sosial masyarakat Indonesia diharapkan akan dapat memberikan

kesejahteraan (kemanfaatan) yang pada akhirnya akan memberikan keadilan dan

kepastian.

Banyak dijumpai perkembangan-perkembangan baru dalam rangka

pembaharuan hukum pidana nasional. Salah satunya adalah perluasan sumber

hukum pidana di masa yang akan datang. Perluasan sumber hukum ini sejatinya

merupakan kehendak dari seluruh masyarakat Indonesia. Ini terekam dalam

hasil-hasil seminar-seminar hukum nasional yang menghendaki penggalian terhadap

hukum yang tidak tertulis (hukum yang hidup) seperti misalnya :

(6)

6 - Angka 4 yang menyebutkan “yang dipandang sebagai perbuatan jahat tadi, adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lainnya. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.

- Angka 8 yag menghendaki agar hukum agama dan hukum adat dijalankan dalam KUHP

2. Hasil Seminar Hukum Nasional III Tahun 1974 dalam kesimpulan angka 1 disebutkan bahwa pembinaan huum nasional harus memperhatikan hukum ada yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).

3. Hasil Seminar Hukum Nasional VI Tahun 1994 :

- Sub B mengenai Materi Hukum angka 1 tentang Hukum Tertulis menyebutkan bahwa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis hendaknya bersifat “komplementer”.

- Sub B mengenai Materi Hukum angka 3 tentang Hukum Kebiasaan huruf a mengatakan bahwa hukum kebiasaan mengandung dua pemahaman :

1) Dalam arti : identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat.

2) Dalam arti kebiasaan yang diakui masyarakat dan pengambil keputusan (decision maker), sehingga lambat laun menjadi hukum (gewonte recht, customary law). Hukum kebiasaan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tatanegara, hukum kontrak, hukum ekonomi dan lain sebagainya.5

Hasil-hasil Seminar Hukum Nasional yang dilaksanakan Indonesia tersebut

menunjukkan bahwa ada pengakuan dan penerimaan terhadap hukum yang tidak

tertulis. Menunjukkan pula adanya kehendak untuk menjadikan hukum tidak

tertulis sebagai bagian dari hukum nasional di masa yang akan datang. Konseptual

selanjutnya tentang sumber hukum ini dapat dijumpai dalam ketentuan Tap

5

(7)

7 RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Perundang-undangan yang menentukan :

(1)Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan.

(2)Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.

(3)……..

Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari perspektif kajian perbandingan dan

kajian keilmuan, pengakuan terhadap eksistensi hukum yang hidup atau hukum

tidak tertulis sebagai sumber hukum bukanlah sesuatu hal yang asing.

Terangnya, dari kajian keilmuan adanya teori/doktrin/ajaran “SMH (sifat melawan hukum) Materiel, teori “perbuatan fungsional” atau pengertian perbuatan dari sudut ilmiah, adanya doktrin “tiada pidana tanpa kesalahan”, dan diakuinya “pendapat ahli/pakar” atau “ilmu pengetahuan” dalam praktek penegakan hukum, pada dasarnya mengandung arti bahwa yang dapat menjadi sumber hukum (“sumber kepastian”) tidak hanya kepastian formal menurut UU (hukum tertulis), tetapi juga “kepastian yang bersifat materiel/substansial” berdasarkan hukum yang hidup (tidak tertulis) dan berdasarkan “ilmu hukum/kajian ilmiah/ilmu pengetahuan lainnya (misalnya di bidang medis, teknik dsb)”. Jadi tidak hanya ada “certainty of law/written law” atau “formal certainty”, tetapi juga ada “certainty of (by/in) unwritten law” atau “substantive/materiel certainty”, bahkan ada pula “scientific certainty”.6

Terkait dengan pandangan Barda Nawawi Arief tersebut di atas dipahami bahwa

persoalan perluasan sumber hukum merupakan hal yang biasa terjadi. Hanya

karena pemahaman hukum di Indonesia bersifat legalistis formalistis maka

perluasan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum menjadi hal yang tidak

biasa.

Di lain sisi, perkembangan dunia internasional menghendaki adanya

fungsionalisasi terhadap extra legal system dalam upaya penanggulangan

kejahatan. Dengan adanya fungsionalisasi terhadap hal-hal diluar sistem hukum

positif seperti misalnya lembaga hukum adat akan dapat membantu terwujudnya

6

(8)

8 pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Terkait dengan ini, penggunaan

hukum tidak tertulis bersama-sama dengan hukum tertulis sebagai sarana atau alat

dalam penanggulangan kejahatan nampak sejalan dengan pendapat Eugene

Ehrlich yang membedakan antara positive law dan living law bahwa :

the positive law can be effective only when it corresponds to the living law; that is, when legal codes are based on underlying social norms or real life. In other words, law is to be understood as part of the social order

“.7 (terjemahan bebasnya : hukum positif hanya akan efektif apabila berkesesuaian dengan hukum yang hidup; artinya, ketika aturan hukum berdasarkan pada norma sosial yang berlaku atau dalam kehidupan nyata. Dalam kata lain, hukum akan lebih dipahami sebagai bagian dari tatanan sosial.)

Di Indonesia, sumber hukum tidak tertulis dapat dijumpai dalam hukum yang

hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia bisa

meliputi hukum agama dan hukum adat. Sebagai hukum yang hidup, hukum

agama dan hukum adat (khususnya pidana adat) mengandung nilai-nilai hukum

masyarakat yang umumnya ditaati dan dipatuhi sebagai aturan berperilaku, Dalam

konteks ini kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang hidup boleh dikatakan

cukup tinggi terutamanya pada masyarakat yang masih memegang teguh hukum

adatnya. Dengan demikian penggunaan hukum tidak tertulis (khususnya hukum

adat) bersama-sama dengan hukum tertulis nantinya akan bermuara pada

persoalan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai.

Jembatan yuridis yang dapat dipergunakan saat ini untuk mengaktualisasi

hukum tidak tertulis (khususnya hukum pidana adat) ke dalam kerangka hukum

pidana nasional terdapat dalam Pasal 5 ayat 3 (b) UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan

Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentnag Kekuasaan Kehakiman serta Pasal

50 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan

jembatan teoritisnya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya

yang positif maupun negative.

7

(9)

9 Sehubungan dengan itu Muladi mengatakan bahwa penggunaan hukum

pidana adat dapat mencakup pada hal-hal berikut :

1. Menjadi sumber hukum positif

2. Menjadi sumber hukum yang negative dalam arti bisa menjadi alasan

pembenar, bisa menjadi alasan peringan pidana atau bisa menjadi

alasan pemberat pidana.8

Muladi mengingatkan bahwa secara sistemik hukum pidana adat janganlah

ditempatkan dalam kelompok “instrumental input” tetapi merupakan bagian dari

environmental input”. Yang masuk instrumental input hendaknya segala hukum

positif yang memuat doktrin-doktrin dasar (Pancasila, UUD 1945, GBHN, KUHP

dll). Sedangkan yang masuk environmental input adalah aspirasi hukum yang

berasal dari lingkungan strategis baik nasional, regional maupun internasional.9

Ini berarti bahwa ada pembatasan-pembatasan terhadap berlakunya hukum tidak

tertulis (hukum pidana adat). Dengan kata lain, keberadaan hukum tidak tertulis

(hukum pidana adat) dalam ius constituendum hanya sebagai pelengkap dan

pendamping bagi hukum tertulis.

Mensinergikan bekerjanya kedua sumber hukum ini di masa yang akan

datang dapat saja dilakukan secara bersama-sama dengan mendasarkan pemikiran

pada upaya untuk memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian pada

masyarakat. Dalam konteks ini tujuan pemidanaan haruslah berorientasi pada

tujuan nasional yaitu mencapai kesejahateraan bersama. Di masa yang akan

datang, hukum pidana adat sebagai sumber hukum tidak tertulis akan menjadi

bahan pertimbangan untuk menerapkan hukum yang sesuai. Hukum pidana adat

akan membantu memberikan gambaran mengenai nilai dalam masyarakat

berkaitan dengan patut/tidak patutnya atau benar/tidak benarnya suatu perbuatan.

8

Muladi, 1994, Hukum Pidana dalam Kontemplasi Tentang Asas Legalitas, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 1

9

(10)

10 Sebagaimana termaktub dalam salah satu laporan simposium pembaharuan

Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang yang menyatakan

sebagai berikut :

“masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas satu perbuatan haruslah

sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu

sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan

dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh

masyarakat dianggap patut atau tidak patut di hukum dalam rangka

menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.”10

2. PEMIDANAAN TERHADAP DELIK ADAT

Tidak dapat dipungkiri bahwa aspirasi untuk memasukkan sumber hukum

tidak tertulis dalam RKUHP di masa yang akan datang merupakan suatu usaha

yang positif dalam rangka memberikan kepastian dan keadilan bagi masyarakat

khususnya masyarakat adat yang memerlukan perbaikan terhadap keseimbangan

makro dan mikro kosmos-nya sebagai akibat adanya perbuatan yang melanggar

ketentuan adat. Hal ini juga menunjukkan adanya bentuk penghormatan para

pembentuk RKUHP pada sistem hukum asli yang sudah ada jauh sebelum

masuknya sistem hukum Civil Law ke Indonesia.

Sehubungan dengan masuknya pidana pemenuhan kewajiban adat dalam

stelsel pidana di masa yang akan datang, perlu dipahami mengenai konsep-konsep

pemidanaan dalam hukum adat.

Sebagaimana diketahui, hukum adat tidak mengenal pembidangan hukum

layaknya dalam pembidangan hukum dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.

Sekalipun tidak terdapat pembidangan hukum namun faktanya dalam hukum adat

tetap dikenal ada ranah peristiwa yang dapat diidentifikasi selayakna

ranah-ranah dalam hukum. Seperti misalnya hukum adat tidak mengenal pembedaan

antara hukum perdata dan hukum pidana namun dalam hukum adat dijumpai

10

(11)

11 adanya pemikiran tentang penjatuhan sanksi adat (reaksi adat) terhadap suatu

perbuatan yang dianggap telah melanggar ketentuan adat. Perbuatan sedemikian

dikenal sebagai pelanggaran adat. Apabila diseksamai maka pelanggaran adat dan

reaksi adat identik dengan tindak pidana dan sanksi dalam hukum pidana. Oleh

karena itu walau tidak terdapat pembidangan hukum seperti dalam ilmu

pengetahuan hukum pidana secara implisit terlihat bahwa di dalam hukum adat

terdapat anatomi pelanggaran adat yang dapat diberikan reaksi adat.

Reaksi adat atau sanksi adat ini menyerupai hukuman dalam hukum pidana.

Reaksi adat atau sanksi adat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan

perbuatan yang menurut ketentuan adat tidak dapat dibenarkan. Jenis reaksi adat

dalam hukum pidana adat juga bermacam-macam dan dijatuhkan sesuai

berdasarkan berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar

ketentuan adat. Jadi semakin berat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku

tersebut maka semakin berat juga reaksi yang akan diberikan. Selain itu ada

kekhususan dari penjatuhan reaksi adat yaitu reaksi adat selalu diterapkan secara

luas. Artinya reaksi adat tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada pelaku kejahatan

saja tetapi juga termasuk kepada korban dan masyarakat.

Model penjatuhan reaksi adat demikian dilatarbelakangi oleh pemikiran

masyarakat tradisional Indonesia yang cenderung komunal, bahwa segala

sesuatunya saling berkait satu sama lain. Perbuatan melanggar ketentuan hukum

adat tersebut dipandang timbul sebagai adanya kegagalan bersama masyarakat

dalam upaya menjaga alam makro dan mikro tetap dalam keadaan seimbang. Oleh

karena itu penjeraan harus diberikan kepada seluruh aspek yang termasuk dalam

lingkup alam makro dan mikro kosmos. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

pemikiran masyarakat tradisional Indonesia sangat holistik dalam memandang

dirinya sendiri. Hal ini memberikan gambaran bahwa nilai-nilai yang dianut

masyarakat tradisional sudah jelas berbeda dengan nilai-nilai yang dianut oleh

(12)

12 Terkait dengan itu disadari bahwa upaya pemidanaan terhadap delik adat saat

ini sangat sulit untuk dilakukan. KUHP yang saat ini berlaku tidak mengenal delik

adat dan juga sanksi adat. Kondisi ini juga yang mengakibatkan pemidanaan

terhadap delik yang mengandung unsur adat seringkali tidak memuaskan bagi

masyarakat adat karena pemidanaan didasarkan pada tindak pidana yang terdapat

di dalam KUHP. Contohnya ketika terjadi tindak pidana pencurian pretima

beberapa waktu yang lalu dan juga tindak pidana penadahan pretima oleh orang

asing di Bali. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim disesuaikan dengan pencurian

biasa padahal pretima yang merupakan benda suci tersebut bagi masyarakat Bali

sama sekali tidak bisa dinilai hanya dengan dijatuhkannya pidana pokok berupa

penjara kepada pelaku. Hal ini sempat menimbulkan ketidakpuasan dalam

masyarakat adat Bali sehingga timbul wacana-wana pro-kontra dalam memandang

delik adat dan reaksi adat serta penjatuhan pidana oleh hakim. Bahkan sempat

muncul wacana untuk melahirkan kembali pengadilan adat sebagai bentuk

keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum nasional. Kondisi ini

tentu memprihatinkan mengingat pentingnya hukum sebagai alat kontrol sosial

yang bertugas untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat tanpa

memandang latar belakang masyarakat bersangkutan. Bangsa Indonesia adalah

bangsa yang kaya akan filosofi tentang kehidupan, alam serta hubungan manusia

dengan manusia lain. Namun sangat disayangkan kekayaan akan filosofi demikian

nampaknya tidak dapat diakomodir oleh undang-undang bahkan oleh orang

Indonesia sendiri.

Sehubungan dengan itu, diketahui bahwa pemidanaan delik adat sejatinya

dapat diakomodir oleh penegak hukum dengan menggunakan dasar ketentuan UU

Drt No. 1 Tahun 1951 Pasal 5a ayat 3 sub b yang pada intinya mengatakan bahwa

suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai

perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam KUHP Sipil maka

dianggap diancam dengan hukum yang tidak lebih dari tiga bulan penjara

dan/atau denda Rp. 500,00 (lima ratus rupiah (kala itu)), yaitu sebagai hukuman

(13)

13

terhukum”. Selanjutnya dalam ketentuan pasal yang sama juga dikemukakan

bahwa “suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap

perbuatan pidana dan yanga ada bandingan dalam KUHP maka dianggap

diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang

paling mirip kepada perbuatan pidana itu”. Jika diseksamai maka

ketentuan-ketentuan ini pada dasarnya memberikan peluang bagi hakim untuk menjatuhkan

pidana kepada pelaku tindak pidana adat dengan ancaman pidana 3 (tiga) bulan

penjara atau denda sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman dalam hukum

adat tidak dilaksanakan. Sebetulnya ini juga memberi peluang kepada hakim

untuk menambah berat pidana. Sayangnya dalam fakta beracara di lapangan pasal

ini kurang sering dimanfaatkan oleh hakim untuk memberikan pidana tambahan

kepada pelaku tindak pidana yang mengandung unsur adat sehingga pidana yang

dijatuhi umumnya mengikuti bandingannya dalam KUHP yang paling mirip.

Seperti misalnya pencurian pretima yang kepada pelakunya dijatuhkan pidana

penjara sama seperti pencurian biasa.

Pada dasarnya pemidanaan terhadap tindak pidana yang mengandung

unsur-unsur adat dapat dijatuhkan oleh hakim berdasarkan ketentuan dalam KUHP

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 5a ayat 3 sub b dari UU Drt No. 1 Tahun

1951. Akan tetapi penjatuhan pidana yang hanya didasarkan pada ketentuan

KUHP pada faktanya tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat adat.

Sebab esensi utama penjatuhan pidana dalam hukum adat bukanlah penjeraan

fisik seperti pidana penjara, pidana kurungan dan lain-lain melainkan lebih

merupakan kepada penjeraan batin dan moral dari pelaku. Oleh karena itu

sangatlah penting bagi hakim disamping menjatuhkan pidana pokok berdasarkan

KUHP juga melakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat agar hakim dalam menjatuhkan pidana mampu memberikan keadilan,

kepastian sekaligus kemanfaatan.

(14)

14 Dengan telah diterimanya jenis-jenis sanksi baru dalam RKUHP di masa

yang akan datang secara tidak langsung memberikan konsekuensi perubahan

terhadap sistem pemidanaan di Indonesia. Artinya sistem pemidanaan akan

mengalami perombakan-perombakan khususnya yang berkaitan dengan aturan

pidana dan pedoman, cara-cara penjatuhan pidana dan bagaimana pidana tersebut

akan dilaksanakan terhadap jenis-jenis sanksi baru tersebut. Seperti misalnya

sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat yang telah masuk sebagai pidana

tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat 1 huruf e RKUHP tentang

pidana tambahan.

Menurut ketentuan dalam Pasal 67 ayat 2 RKUHP, pidana tambahan dapat

dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri

sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lainnya. Ini

artinya hakim di masa yang akan datang dapat menjatuhkan pidana pemenuhan

kewajiban adat baik sebagai pidana tambahan terhadap pidana pokok dan juga

tambahan bagi pidana tambahan lainnya maupun sebagai pidana tambahan yang

berdiri sendiri. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 100 ayat 1 RKUHP,

dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2

hakim dapat menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau

kewajiban menurut hukum yang hidup. Ini artinya di masa yang akan datang,

hakim wajib untuk memperhatikan kemungkinan penjatuhan pidana pemenuhan

kewajiban adat khususnya terhadap tindak pidana-tindak pidana yang ada unsure

adatnya.

Berbicara mengenai sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat dipahami

bahwa pidana ini merupakan suatu bentuk reaksi adat dari masyarakat adat

terhadap adanya suatu perbuatan yang melanggar ketentuan adat. Dasar filosofis

pengenaan reaksi adat (sanksi adat) adalah adanya keseimbangan alam makro dan

mikro kosmos yang terganggu oleh perbuatan itu sehingga perlu untuk dipulihkan

kembali keseimbangannya agar tidak merusak tatanan kehidupan seluruh

masyarakat. Dasar filosofis inilah yang terus menerus dipegang oleh masyarakat

(15)

semata-15 mata melakukan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang melainkan

bagaimana seseorang itu berniat untuk mengembalikan kembali kerusakan yang

telah ditimbulkannya. Dengan demikian jelaslah bahwa pengenaan pidana

pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang harus memperhatikan dasar

filosofis ini, yakni untuk memulihkan keseimbangan yang rusak dan bukan

memberikan pembalasan kepada pelaku. Dalam konteks ini, pidana pemenuhan

kewajiban adat sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dianut RKUHP di masa

yang akan datang yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat serta

tidak menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Sehubungan dengan itu penjatuhan pidana pemenuhan kewajiban adat oleh

hakim seyogyanya memperhatikan untuk mempertimbangkan dasar filosofisnya

agar dapat memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat. Berkaitan

dengan itu hakim penting untuk memperhatikan Pasal 100 ayat 2 KUHP yang

merumuskan “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut

hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana disebut dalam ayat (1)

merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang

dilakukan memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 RKUHP. Ketentuan ini

semakin menguatkan bekerjanya pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang

akan datang khususnya terhadap delik-delik yang dipandang bertentangan dengan

hukum yang hidup.

Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh RKUHP

tentang pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang, untuk

selanjutnya perlu dipertimbangkan adanya suatu pedoman mengenai pelaksanaan

pidana tersebut di masa yang akan datang. Ini penting mengingat di Indonesia

terdapat ribuan masyarakat adat dengan hukum adatnya masing-masing. Artinya

setiap masyarakat adat memiliki cara berhukumnya masing-masing. Jadi jika

kedepannya pidana pemenuhan kewajiban adat diterima penting menentukan

(16)

16 Telah diteliti dalam RKUHP termasuk dalam penjelasannya tidak dijumpai

adanya suatu pedoman yang mengarahkan tentang pelaksanaan pidana pemenuhan

kewajiban adat. Hal ini perlu dipikirkan mengingat kembali bahwa pelaksanaan

pidana pemenuhan kewajiban adat tidak bisa dilakukan seperti pelaksanaan

pidana-pidana lainnya yang tata cara pelaksanaan dan prosedurnya ditugaskan

kepada infrastruktur penitensier yang dibentuk pemerintah, seperti LAPAS

misalnya. Terkait pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini rasanya akan

sulit dilaksanakan oleh infrastruktur penitensier. Bahkan kemungkinannya

infrastruktur penitensier tidak bisa memasuki ranah kehidupan masyarakat adat.

Sehubungan dengan ini perlu diformulasikan sebuah hukum pelaksanaan

pidana bagi pidana pemenuhan kewajiban adat atau setidak-tidaknya perlu

diformulasikan suatu pedoman pelaksanaan pidana bagi pidana pemenuhan

kewajiban adat. Pedoman pelaksanaan ini memuat standarisasi pelaksanaan

pidana pemenuhan kewajiban adat yang nantinya dapat digunakan dalam setiap

masyarakat adat. Tujuan utamanya agar pelaksanaan pidana pemenuhan

kewajiban adat tetap menjunjung harkat dan martabat manusia serta masyarakat

adat sebagai satu kesatuan hukum yang eksistensinya diakui oleh UUD NRI 1945.

Jadi standarisasi pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini diusulkan

untuk menjaga hak-hak masyarakat adat dalam menjalankan hukumnya sendiri.

Dalam konteks ini, negara hanya berperan untuk mengayomi kehendak

masyarakat adat berkaitan dengan pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat.

Tujuan pengayoman ini adalah agar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban

adat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 serta

prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa.

Hal-hal yang perlu diformulasikan oleh pedoman pelaksanaan pidana

pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang berkaitan dengan waktu,

tempat, dan siapa yang berwenang melaksanakan, proses atau mekanisme

pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Sedang kedudukan hakim dan

lembaga-lembaga penitensier lain seperti kejaksaaan, dan LAPAS adalah sebagai

(17)

17 Dikarenakan hukum pidana Indonesia belum memiliki hukum pelaksanaan

pidana yang berdiri sendiri maka standar pelaksanaan pidana pemenuhan

kewajiban adat ini dapat dibuatkan dalam peraturan pelaksanaan pidana tersendiri

atau setidak-tidaknya dapat menjadi bagian dari penjelasan RKUHP sehingga

akan memperluas rumusan Pasal 100 di masa yang akan datang.

C.KESIMPULAN

Berdasarkan uraian mengenai pembahasan tersebut di atas, dapat diketahui

bahwa sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat atau sanksi adat di masa yang

akan datang akan menjadi bagian dari stelsel sanksi dalam RKUHP. Ini artinya

ada konsekuensi logis yang harus dilaksanakan terkait pemidanaan terhadap

delik-delik yang ada unsur adatnya dan terhadap pelaksanaan pidana pemenuhan

kewajiban adat di masa yang akan datang.

Oleh karena itu penting diformulasikan suatu standar pelaksanaan pidana

pemenuhan kewajiban adat yang dapat menjadi pedoman bagi hakim maupun

infrastruktur penitensier lainnya. Standar pelaksanaan pidana pemenuhan

kewajiban ini nantinya akan memberikan dasar-dasar yang bersifat nasional

mengenai pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat sehingga dapat menjadi

pedoman yang berlaku nasional. Mengingat Indonesia memiliki banyak hukum

adat. Dasar-dasar tersebut berkaitan dengan waktu, tempat, siapa yang berwenang

dan mekanisme prosedur pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Dalam

konteks ini hakim, jaksa dan LAPAS akan mengambil peran sebagai pengawas

jalannya pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat.

Standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini di masa yang akan

datang dapat diupayakan dalam bentuk peraturan tentang pelaksanaan pidana

pemenuhan kewajiban adat. Namun dikarenakan belum ada konsep tentang

hukum pelaksanaan pidana maka sementara standar pelaksanaan pidana

pemenuhan kewajiban ini dapat dimasukkan ke dalam penjelasan Pasal 100

RKUHP. Jadi dengan sudah adanya standar pelaksanaan pidana pemenuhan

(18)

18 pemenuhan kewajiban adat sudah dapat dilaksanakan terutamanya apabila

(19)

DAFTAR BACAAN

BUKU-BUKU

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan

di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta

Astiti, Tjok Istri Putra, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana

University Press, Denpasar

A.B Wiranata, I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung

Abidin Farid, HA Zainal, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta

Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal, PT. Gramedia Widiasarana,

Indonesia, Jakarta

Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembanagan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

---, 2007, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana

(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Universitas

Diponegoro, Semarang

---, 2007, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia,

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

---, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan Penyusunan Konsep RKUHP Baru, PT. Kencana Prenada

Media Group, Jakarta

---, 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d

VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008. Penerbit Pustaka Magister,

(20)

---, 2008, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia,

Penerbit Pustaka Magister, Semarang

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung

UNDANG-UNDANG

UU No. 1 Tahun 1946 jo. UU No. 7 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana

Indonesia

UU Drt. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk

Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan

Sipil

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini digunakan rujuka dari penelitian yang dilakukan oleh Pro Deo Et Patria Sembiring (2014) meneliti faktor yang mempengaruhi volume pembelian buah anggur pada

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen KSPS BMT Logam Mulia, agar dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan sumber

Turvealusta tuotti keskimäärin 2 % suuremman ensimmäisen luokan sadon kuin karkea sekasammal, mutta ero ei ollut merkitsevä.. Keskikarkea sekasammal tuotti 11 % pienemmän sadon

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya yang berjudul: Pertumbuhan Rumput Gajah Kate yang Ditanam Bersama Leguminosa dengan Jenis Pupuk Berbeda, adalah asli karya saya

(1) Pusat Pelayanan Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4) huruf b berada di sekitar Kelurahan Ramanuju Kecamatan Purwakarta dengan fungsi perumahan,

Ketika suatu logam tidak berada dalam kesetimbangan dengan larutan yang mengandung ion-ionnya, nilai potensial elektrodanya akan berbeda dari potensial korosi bebas dan selisih

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 yang selanjutnya disebut RPJMD Provinsi Jawa Tengah adalah dokumen perencanaan