• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM RAGAM HIAS BATIK SUMBER IDE SPIRIT RATU KALINYAMAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM RAGAM HIAS BATIK SUMBER IDE SPIRIT RATU KALINYAMAT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-1

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM RAGAM HIAS BATIK SUMBER IDE SPIRIT RATU

KALINYAMAT

Muh Fakhrihun Na’am¹, Deni Setiawan², Wulansari Prasetyaningtyas³ ¹Staf Pengajar Jurusan PKK, Prodi PKK FT. UNNES, Semarang.

²Staf Pengajar Jurusan PGSD FIP. UNNES, Semarang.

³Staf Pengajar Jurusan PKK, Prodi Tata Busana FT. UNNES, Semarang.

Korenspondesi Penulis

Email : fakhri.artworker@mail.unnes.ac.id

Kata kunci: Ragam hias, kearifan lokal, tradisional, kontemporer

ABSTRAK

Nilai kearifan lokal terkait erat dengan adat istiadat orang Jawa, terimplikasi dalam ragam hias batik sumber ide Ratu Kalinyamat. Spirit Ratu Kalinyamat melalui kain batik mengacu pada budaya dan kearifan lokal, walaupun mengalami perkembangan pemaknaan dari masa ke masa, nilai falsafah di dalamnya tetapi dilestarikan. Pelestarian nilai kearifan lokal pada batik juga mengalami perkembangan, untuk memberikan varian baru dari tradisional ke kontemporer, merupakan upaya untuk meminimalisir kejenuhan konsumen pada bentuk batik bercorak tradisional. Keberadaan industri ragam hias kontemporer yang mengeksplorasi ragam hias batik tradisional, merupakan bagian dari perekonomian kreatif, mampu berjalan bersamaan dengan upaya untuk memperkuat kondisi kultural masyarakat Jepara dengan mendalami nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan penelitian kualitatif menganalisis nilai kearifan lokal bersumber ragam hias batik Kalinyamat. Implementasi spirit Ratu Kalinyamat dalam ragam hias batik menampilkan kearifan lokal dengan landasan kehidupan sosial dan budaya yang menjadi bagian masyarakat Jepara di masa lampau.

(2)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-2

PENDAHULUAN

Seni batik diperkirakan telah ada di Indonesia sejak abad ke-12 M, pada masa tersebut orang telah menemukan bahan asli perwarna kain, yaitu: kulit mengkudu, kulit pohon tarum, dan kulit kayu. Pada tahun 1815 ditemukan alat stempel berukiran pola-pola batik terbuat dari tembaga sebagai alat batik cap (Fraser-Lu, 1989). Sebutan batik berasal dari kata “tik” yang terdapat di dalam kata “titik”. Titik berarti juga tetes. Memang di dalam membuat kain batik dilakukan pula penetesan lilin di atas kain putih. Asal kata batik di dalam sumber-sumber tertulis kuno, dihubungkan dengan kata “tulis” atau lukis (Suyanto, 2002:3). Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain tersebut, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Istilah membatik sering disamakan dengan membuat corak atau gambar (terutama dengan tangan) dengan menerakan malam pada kain (Tim, 2003:112). Beberapa unsur ragam hias pada batik terdiri dari bentuk geometris, non-geometris, bentuk flora, fauna, gunungan, dan beberapa bentuk-bentuk lain (bentuk-bentuk kapal dan figur manusia) (Fraser-Lu, 1989:28).

Kain batik klasik yang berkembang di Jawa sekitar tahun 1920-an, melahirkan beragam corak dan gaya (Suyanto, 2002:1). Perkembangan disertai lahirnya corak-corak tertentu terbentuk oleh kebutuhan estetika dan pengaruh karakter masyarakat setempat, atau menyangkut konsep estetika produsen. Melalui batik, masyarakat mengungkapkan dunia pikir yang hidup pada zamannya, yaitu meliputi kepercayaan, mitos, konsepsi penciptaan kehidupan, jagat raya, harmoni hidup, etika, dan adat istiadat (Sawega, kompas.com). Dibanding artefak lain, seperti: candi, seni patung, relief dan gerabah, kain batik merupakan bentuk seni rupa yang lebih familiar bagi masyarakat. Sangat dimaklumi karena bentuknya berupa lembaran, batik mempunyai sifat modeyang dapat diimplementasikan dalam produk fashion.

Usaha memadukan batik tradisional ke dalam kebutuhan masa kini telah dilakukan dari waktu ke waktu dengan tantangan dan permasalahan, yaitu bagaimana memvisualisasikan ragam hias batik menjadi sesuatu yang dapat diterima manusia masa kini. Tingkat kejenuhan masyarakat pada kain batik tradisional diimbangi oleh para desainer dengan penciptaan alternatif desain ragam hias, sehingga batik hadir dalam ranah ragam hias modern. Dengan memproduksi bentuk ragam hias batik Kalinyamat yang memadai dan bersaing, selain mampu memberikan perwajahan baru sebagai sebuah kreativitas, juga memberikan kesempatan untuk berkembang menjadi sebuah komoditas pasar modern. Transformasi bentuk ragam hias batik, termasuk perkembangan corak batik Kalinyamat yang lebih fleksibel, sebetulnya tidak terlepas dari perkembangan karakter seni kriya di Indonesia, dan terkait pula dengan perkembangan seni rupa pada umumnya. Usaha eksplorasi ragam hias batik, bahkan sudah dimulai dari tahun munculnya seni rupa kontemporer di Indonesia. Kemunculan batik lukis di tahun 1970-an mampu meruntuhkan sekat-sekat pembatas antara kriya dan seni murni. Hal ini memberikan efek perkembangan bentuk batik pada masa-masa selanjutnya, tidak lagi berorientasi pada

(3)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-3 produksi ranah tradisional yang serba fungsional. Sesungguhnya, batik Kalinyamat merupakan perpaduan teknik lukis modern dan lukis batik tradisional.

METODE

Dalam proses ilmiah menjawab pertanyaan dilakukan dengan menggunakan penelitian berjenis data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap data, dalam hal ini melakukan observasi dan dokumentasi terhadap perkembangan batik yang dilakukan oleh para desainer atau perancang pakaian. Dalam proses pencarian data, dilakukan pula studi dokumen yang relevan dengan penelitian, untuk memperkuat hasil analisis data. Teknik analisis data menggunakan cara reduksi, menyajikan, dan menarik kesimpulan dengan merujuk pada desain, sejarah seni, dan pendekatan heuristik. PEMBAHASAN HASIL

Muatan di dalam produk kriya Indonesia dapat dibicarakan dalam tiga persoalan, yaitu: mitologi, ritual, dan simbol. Ketiga muatan ini mencerminkan kandungan spirit, roh, dan jiwa budaya bangsa, menyiratkan pencapaian kualitas estetik seni kriya Indonesia, sesuai dengan zamannya (Gustami, 2007:303). Di dalam batik memiliki ketiga nilai tersebut, menjadi bagian dan dibesarkan dalam kehidupan masyarakat Jepara. Nilai-nilai filosofis yang dipercayai terimplementasi pada batik, senantiasa dapat memberikan ruang dan kesempatan batik dapat berevolusi dalam perkembangan kehidupan manusia pada setiap zamannya. Muatan dan nilai filosofis yang bersumber dari kearifan lokal tetap terimplementasi pada pakaian modern, selama masih menyentuh ranah ragam hias batik ataupun hal terkait lainnya.

Berdasarkan karakternya, perkembangan batik Kalinyamat dapat dikategorikan berkembang ke wilayah kontemporer. Hal ini merujuk pada pemahaman pluralisme bahan dan ide penciptaan, tema-tema lokal dengan bentuk modern, dan terjadi perubahan bentuk representatif ke arah presentasi. Persoalan kriya dalam konteks seni rupa kontemporer menurut Asmudjo Jono Irianto, terdiri atas dua bagian, yaitu: kriya sebagai bisnis dan kriya sebagai seni (Krisnanto, 2009:399-400). Kriya sebagai seni berkembang bebas ke arah produk-produk seni, dengan mengeksplorasi kriya secara mendalam dan memunculkan bentuk beraneka ragam, seperti batik lukis. Produk-produk fashion dan mode merupakan perkembangan dari wilayah kriya sebagai bisnis yang ketika dibaca, justru berkembang dengan karakter seni rupa kontemporer.

Menurut I Ketut Gobyah, kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal, terkadang merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Di lain waktu, kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Ratu Kalinyamat, merupakan wujud kearifan lokal dan budaya masa lalu yang secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun kearifan tersebut bernilai lokal, tetapi nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Sumber nilai kearifan lokal berasal dari nilai-nilai

(4)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-4 budaya Ratu Kalinyamat, atau spirit kehidupan pada umumnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang dipelajari manusia dari alam. Nilai-nilai-nilai bersumber dari figur tertentu, diterima oleh masyarakat dan dijadikan sebagai pandangan hidup (Parmono, jurnal.ugm.ac.id).

Ragam hias pada kain batik Kalinyamat secara umum berbentuk geometris, simetris dan asimetris, hasil stilisasi dari flora dan fauna, serta ditemukan bentuk-bentuk mahkluk khayali. Ragam hias batik ini memiliki makna dan simbolis yang mewakili kehidupan masyarakat sosial di Jawa. Progres kreativitas yang tinggi dari seniman batik di Jepara, yang terdiri atas berbagai latar belakang budaya berbeda, menghasilkan bentuk-bentuk ragam hias batik menjadi sangat variatif, baik itu bersumber dari ragam tradisional dan ragam hias kreasi modern. Produk fungsional tersebut dibuat untuk keperluan interior dan elemen-elemen penghiasnya, dan digunakan juga untuk kebutuhan eksterior. Perkembangan produk-produk tersebut mempunyai keunikan tersendiri dalam bentuk, demikian juga dengan material pembantu yang digunakan. Beberapa produk interior, seperti: taplak meja, hiasan dinding, sprei dan sarung bantal, kap lampu, wadah perhiasan, korden, dan beberapa bentuk lain yang merupakan perkembangan berdasarkan keinginan pasar.

Pembahasan meliputi nilai kearifan lokal dalam ragam hias batik Kalinyamat, sebagai berikut.

Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ragam Hias Batik (batik-online-shop.blogspot.co.id) Batik merupakan salah satu bagian dari produk budaya yang dimiliki Nusantara, termasuk di daerah Jawa Tengah. Berikut ini merupakan beberapa macam ragam hias dan nilai kearifan lokal pada batik Kalinyamat.

Ragam hias Ceplok

Ragam hias batik Ceplok mencakupi berbagai macam desain geometris, biasanya berdasarkan pada bentuk mawar melingkar, bintang atau bentuk kecil lainnya, membentuk pola simetris keseluruhan pada kain.

Ragam hias batik Kawung

Kawung dikenal sebagai ragam hias batik tua, dahulunya disediakan untuk keluarga kerajaan. Ragam hias ini pernah dilarang untuk umum ketika masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921) (Condronegoro, 1995:11). Ragam hias kawung merupakan penampang buah aren kelapa, beberapa mengatakan salib di antara empat oval mengacu pada sumber energi universal.

Dari beberapa ragam hias yang ada, geometris merupakan pola tertua dengan komposisi diatur berjajar mempunyai pusat, diartikan sebagai kekuasaan. Seperti ragam hias kawung dan ceplok yang bermakna falsafah kejawen dan tata pemerintahan. Keempat bulatan pada kawung, dapat diartikan menjadi empat bentuk yang mengelilingi pusat. Hal ini dijabarkan menjadi empat arah sumber tenaga alam, yaitu: arah Timur yang merupakan matahari terbit,

(5)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-5 adalah sumber tenaga segala kehidupan. Arah Barat, merupakan arah matahari terbenam atau arah turunnya keberuntungan. Selatan dapat dihubungkan dengan zenit atau puncak segalanya, dan Utara merupakan arah kematian. Konsep dengan pusat kekuasaan yang dikelilingi oleh empat tenaga sumber tenaga disebut dengan mancapat (Condronegoro, 1995:18).

Bentuk sawat biasa terdapat dalam ragam hias semen. Menurut mitologi Hindu-Jawa diambil dari bentuk sayap garuda kendaraan dewa Wisnu. Sawat dapat diartikan pula sebagai melempar, sebuah arti yang diberikan berdasarkan kepercayaan Jawa akan adanya pusaka dewa Indra yang dapat dilemparkan secepat kilat. Pusaka Bajra ini dianggap sebagai pembawa hujang yang mendatangkan kemakmuran. Pemakaian kain batik dengan ragam hias sawat diharapkan dapat memberi kemakmuran, wibawa, dan perlindungan (Condronegoro, 1995:20).

Selain yang disebutkan di atas, ragam hias cemungkiran/cemukiran dengan desain sinar, termasuk salah satu ragam hias larangan. Ragam hias ini biasa digunakan sebagai garis pemisah atnara bidang berpola dengan bidang kosong yang terdapat pada tepi blumbangan kampuh atau pada ikat kepala. Desain mirip sinar diibaratkan matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan, atau diibaratkan sebagai lambang Syiwa. Dewa Syiwa, menurut kepercayaan Jawa diyakini menjelma dalam diri raja, sehingga fungsi cemungkiran sama dengan huk, yaitu hanya berhak dipakai oleh raja dan putera mahkota saja (Condronegoro, 1995:20).

Ragam hias batik Parang

Ragam hias batik parang dikenal familiar sebagai pola pedang atau keris. Oleh orang luar Jawa dikenal sebagai ragam hias lidah api, biasa juga disebut ragam hias Parang Lidah Api. Ragam hias parang dibedakan lagi menjadi 2 macam, yaitu:

Parang Rusak

Parang Rusak sendiri diartikan sebagai pertarungan antara manusia melawan kejahatan, dengan cara mengendalikan keinginan, sehingga menjadi mulia, bijaksana dan menang.

Parang Rusak Barong

Parang Rusak Barong pada zaman dahulu hanya dipakai oleh raja dan dianggap sebagai pola yang suci. Ragam hias ini dilarang digunakan untuk umum ketika pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) (Condronegoro, 1995:13). Arti ragam hias, siapa sang raja menjadi hati-hati dalam menjaga dirinya sendiri, sehingga akan menjadi seorang penguasa yang jujur, adil dan juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

Ragam hias parang atau bentuk pedang dipakai oleh para kesatria atau penguasa. Komposisi miring pada parang melambangkan kekuasaan dan gerak cepat, oleh karenanya para pemakai diharapkan dapat bergerak cepat dan gesit. Garis lengkung pada parang sering

(6)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-6 diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini dimaksudkan sebagai raja. Variasi ragam hias parang, seperti: parang barong, parang rusak gendreh dan parang klithik memakai ketentuan desain garis sangat detail. Parang barong berukuran 10-12 cm, hanya boleh dipakai oleh raja, permaisuri, putera mahkota, putera raja dari permaisuri, dan Kanjeng Panembahan. Untuk para garwa ampeyan dalem, putera mahkota dari permaisuri, para pangeran dan pangeran sentana, diperbolehkan memakai parang rusak barong berukuran 8-10 cm. Desain garis parang klithik berukuran 4 cm, disediakan untuk putera ampeyan dalem dan garwa ampeyan putera mahkota (Condronegoro, 1995:19).

Ragam hias Batik Lereng

Desain ragam hias Batik Lereng adalah baris diagonal pola di antara ragam hias Parang, banyak ditemukan untuk polanya hanya deretan garis diagonal sempit penuh dengan seluruh pola kecil. Merupakan salah satu pola lama yang diciptakan untuk keluarga kerajaan.

Ragam hias Batik Nitik

Ragam hias batik Nitik sendiri terkenal dengan batik tertua karena dahulunya terinspirasi oleh kain tenun patola yang dibawa oleh para pedagang Gujarat dari India dengan desain titik-titik dan geometris. Dahulu biasanya dipakai oleh orang tua dari pasangan pernikahan orang Truntum.

Ragam Hias Batik Semen

Semen, diartikan sebagai tumbuh, polanya terinspirasi oleh alam, hal itu ditunjukkan dengan gaya daun, gunung, hewan. Biasanya digunakan pada acara umum, dan masyarakat umumnya memakai batik ini dalam kesehariannya.

Semen mempunyai arti bersemi atau tumbuh. Ragam hias semen memiliki simbolisme yang menunjukkan pemujaan terhadap kesuburan dan tata tertib alam semesta. Bentuk lukisan di dalam batik semen mengutamakan bentuk tanaman dengan akar-akar dan sulurnya. Lukisan tanaman pada batik semen diibaratkan sebagai pohon kehidupan atau pilar penyangga cakrawala, dianggap juga sebagai lingga yang menyebarkan benih-benih kehidupan. Di dalam ragam hias semen terdapat lukisan lain berupa gunung, burung, sayap, pavilliun, dan gambar naga. Lukisan gunung digambarkan secara bersambung, tersusun ke bawah berbentuk Meru yang menjadi tempat bersemayamnya arwah nenek moyang atau tempat tinggal para dewa dan pertapa. Lukisan pavilliun digambar dalam bentuk rumah beratap segitiga, kadang-kadang disertai tangga menyerupai bentuk candi tempat pemujaan. Pavilliun dapat juga diartikan sebagai tempat meditasi untuk mencapai pencerahan. Gambari ini biasanya dilukiskan di tempat tersembunyi di atnara dua lukisan sayap, di sekeliling sulur atau di puncak lukisan gunung. Lukisan sulur berbentuk gelombang atau melingkar, sebagai lambang kesuburan dan pertumbuhan. Lambang sulur berkaitan dengan falsafah Jawa nunggak semi, yaitu menciptakan yang baru dari yang lama. Dalam hal ini ada konotasi

(7)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-7 regenerasi atau pembaruan. Di antara sulur-sulur sering ditemui lukisan burung yang melambangkan surga dan dewa-dewa, ataupun lukisan binatang mitologi seperti naga (Condronegoro, 1995:19-20).

Isen-isen pada ragam hias berupa titik-titik, gabungan titik dan garis, serta garis-garis berfungsi mengisi hiasan atau mengisi bidang antara. Adapun isen-isen pada batik Kalinyamat antara lain:

a.

Sawut, yaitu garis-garis lembut yang berjajar rapat sebagai pengisi bentuk daun-daunan dan ekor burung.

b.

Cecekan, yaitu titik-titik kecil rapat dan jarang yang memenuhi bidang ragam hias.

c.

Ukel, yaitu setengah lingkaran kecil dan sebagainya yang menyerupai.

d.

Cecek pitu, yaitu titik-titik yang mengumpul berjumlah tujuh buah, biasanya berbentuk melingkar.

Warna coklat merupakan pengganti warna jingga yaitu perpaduan antara merah dan kuning. Sebelum terdapat pewarna kimia, warna pada kain batik menggunakan pewarnan alami dari tumbuh-tumbuhan yang hanya dapat menghasilkan warna merah kecoklat-coklatan yang mendekati jingga. Warna merah kecoklatan didapat dari kulit pohon mengkudu, tingi, tegeran, jambal dan disebut dengan “soga”. Unsur warna merah dalam konsep kiblat papat lima pancer melambangkan hawa nafsu, yang dimaksud hawa nafsu bukan hanya berhubungan dengan keburukan, tetapi juga dapat diartikan sebagai hawa nafsu untuk melakukan perbuatan baik dengan semangat yang tinggi dan gagah berani.

Pada umumnya batik digunakan untuk kain jarik, kemeja, sprei, taplak meja, dan pakaian perempuan. Mengingat bahwa jenis produk ini amat dipengaruhi oleh selera konsumen dan perubahan waktu maupun model, maka batik di Jepara mengalami perkembangan pesat, baik menyangkut rancangan, penampilan, fungsi, disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan pasar baik dalam maupun luar negeri. Perkembangan pesat tersebut ditandai dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat pada tatanan kehidupan sosial dan budaya. Kebutuhan untuk bergaya dalam penampilan, mendorong perubahan cukup berarti dari sehelai kain batik. Implikasi perubahan ini semakin meluas dan mewarnai kelangsungan kehidupan kesenian, tidak terlepas pada pola kehidupan batik tradisional. Gejala kejenuhan dengan terbatas dan “jawanisasi” ragam hias batik Jepara, merupakan salah satu faktor yang mendasar pengembangan batik Kalinyamat. Akibatnya, dapat dilihat bahwa bentuk batik Jepara semakin variatif dalam aplikasi ragam hias dan penggunaan bahan. Selain dinilai sebagai perubahan, variasi bentuk batik tersebut juga menunjukan kreativitas mencipta dari para seniman semakin tidak terbatas.

Jika masa-masa sebelumnya batik tradisional hanya terdiri atas lembaran batik, maka perkembangan batik berevolusi sesuai dengan kondisi zamannya. Perkembangan dan tuntutan zaman menghasilkan bentuk-bentuk batik variatif, baik segi bahan, teknik pengerjaan, aplikasi aksesori, karena dituntut persaingan antara batik tradisional teknik

(8)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-8 manual dan batik ragam hias tradisional dengan teknik modern/mesin. Salah satu tantangan dalam membuat kain-kain tradisional Indonesia tidak saja menjadi kain untuk upacara adat atau hanya dipakai untuk ritual kebudayaan, tetapi bagaimana inovasi untuk membuat kain-kain tersebut cocok dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Apalagi ketika kain-kain-kain-kain tersebut diposisikan sebagai produk mode, unsur kekinian semakin menjadi penting.

Melihat berbagai peluang kain batik untuk diimplementasikan ke dalam berbagai baju sesuai dengan perkembangan mode, kain yang tumbuh dan berkembang bersama tradisi masyarakat Indonesia akan bertahan untuk waktu yang panjang pada masa depan. Persoalan yang mungkin akan muncul selanjutnya adalah perebutan antara aspek komersial serta nilai-nilai kesakralan yang selama ini melekat pada sehelai kain dan membuat kain tradisi memiliki posisi khusus.

Gambar 1. Proses perwujudan batik sumber ide spirit dan fenomena Ratu Kalinyamat (Foto:

Na’am, 2019)

KESIMPULAN

Batik dipopulerkan kembali kepada masyarakat umum, bahwa sehelai kain batik mengandung makna dan nilai-nilai yang bersumber dari kearifan lokal. Batik sangat menguntungkan untuk ditekuni dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi. Perkembangan batik Kalinyamat perlu mendapat perhatian yang benar-benar serius, dengan harapan bahwa kain batik tersebut akan dapat menjawab kebutuhan masyarakat umum, baik sebagai benda pasar, kebutuhan hidup, ataupun sebuah karya seni yang mencirikan nilai-nilai tradisi. Diperlukan adanya inovasi bentuk baru untuk meningkatkan daya jual dan persaingan dengan tekstil modern. Beberapa bentuk perkembangan batik, yaitu: kebutuhan interior dan eksterior, kebutuhan terkait fashion dan mode. Kain batik menjadi lebih populer ketika terjadi perkembangan ke bentuk pakaian modern (pakaian sehari-hari, gaun, rok) dan aksesorinya.

Terdapat beberapa saran yang perlu diperhatikan, baik oleh seniman batik, pemerintah, dan kreator batik antara lain, sebagai berikut: bentuk baru kain batik Kalinyamat, merupakan

(9)

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

Yogyakarta, 08 Oktober 2019 eISSN 2715-7814

C7-9 tampilan yang harus senantiasa dikelola dengan baik, untuk menghidarkan kejenuhan dan kebosanan masyarakat.

Perkembangan yang dilakukan perlu dibatasi dan diperjelas, antara batik tradisional dan modern, dengan demikian pakem-pakem pada batik tradisional tidak terlupakan. Dalam rangka pengembangan dan pelestarian batik, perlu adanya pembinaan dari pihak-pihak terkait seperti: Dinas Perindustrian dan Perdagangan, instansi pemerintah lainnya, maupun perguruan tinggi. Perlu dilakukan pendaftaran HAKI pada setiap ragam hias dan bentuk inovasi kain batik, sehingga dapat menghindari pemalsuan oleh orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Malcolm. (2009). Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Idi Subandy Ibrahim dan Yosal Irianta.Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, Cetakan ke-2.

Condronegoro, Mari S. (1995). Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937: Makna Fungsi dalam Berbagai Upacara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Fraser-Lu, Sylvia. (1989). Indonesian Batik; Processes Patern and Places. New York: Oxford University Press.

Gustami, SP. (2007). Butir-butir Mutiara Estetika Timur: Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Prasista.

http://batik-online-shop.blogspot.co.id/2013/10/batik-yogyakarta-dan-penjelasannya.html

http://sentrabatiktulisyogyakarta.com/motif-batik-sidomukti-penjelasan-sejarah-dan-makna-filosofi/

http://www.jawatengah.go.id., diakses pada tanggal 6 Juli 2006.

Irianto, Asmudjo Jono. “Kriya dalam Wacana Seni Rupa Kontemporer”, dalam Krisnanto, Sri et al., (Ed.). (2009). Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu: Tanda Mata untuk Prof. Drs. SP. Gustami, SU. Yogyakarta: Penerbit B.I.D ISI Yogyakarta.

Kartini Parmono, “Nilai Kearifan Lokal dalam Batik Tradisional Kawung”, dalam https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/viewFile/13217/9459

Sawega, Ardus M. “Batik Menggelar Dunia Pikir”, dalam http://www.kompas cybermedia.com., diakses hari Rabu, tanggal 13 Februari 2006.

Suyanto, AN. (2002). Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Merapi.

Tim Penyusun. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-3, Cetakan Ke-3.

Gambar

Gambar 1. Proses perwujudan batik sumber ide spirit dan fenomena Ratu Kalinyamat (Foto:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas dan penelitian yang pernah dilakukan maka dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai ZNT di Kota Surabaya dengan

Struktur modal sendiri yang dimiliki KPRI Sri Rejeki Kecamatan Donomulyo terdiri dari beberapa aspek, yaitu (1) Simpanan Pokok Anggota, (2) Simpanan Wajib Anggota, (3)

Sehingga sampel 1 dan 2 Toner dari hasil sintesis tersebut memiliki ukuran bulir magnetic yang sudah mendekati sesuai dengan toner yang ada di pasaran, dan toner yang

Khusus dalam hal pemilihan kepala daerah, berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian ditegaskan dengan Undang-Undang Nomor 6

Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil men!adi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu Pada model jaringan pertama , flow control Stall / Go , Ack / Nack dan DyML tidak menyebabkan jaringan

Mahasiswa mampu melakukan proses pengembangan desain pada ragam hias baru yang didasari dari ragam hias tradisi Nusantara. Penerapan prinsip dasar pengembangan desain ragam

Minta Poto copy Dokumen Dokumen Kontrak (35 SDJ) Lanjutan Peningkatan Jalan Kelapa Kidul-Talaga Sari (Pasar Kemis-Sindang Jaya-Balaraja), Kategori Pekerjaan Kostruksi Kode Lelang