BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Nyeri
1.1 Defenisi Nyeri
Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan
perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau
bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan.
Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang
dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer & Bare 2002).
Nyeri adalah sebuah pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau
potensial atau yang dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut (definition
of the taxonomy committee of the international association for the study
of pain), ( Alexander and Hill, 1987).
Mouncastle mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensori
yang dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau
kerusakan jaringan, dapat disimpulkan adalah ketika seorang terluka
(secara fisis).
Defenisi di atas merupakan defenisi yang diterima sebagai
defenisi medis, meskipun begitu defenisi diatas hanya membatasi nyeri
sebagai bentuk dari kerusakan jaringan tubuh (Prasetyo, 2010).
dengan kerusakan jaringan, akan tetapi nyeri dapat saja timbul tanpa
adanya injury dimana nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber
yang diidentifikasi. Ardinata melanjutkan bahwa nyeri berdasarkan
mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut.
Konsep nyeri secara psikologis di kemukakan oleh strenbach
yaitu nyeri merupakan suatu hal yang abstrak , dimana nyeri terdapat
padanya :
a. Personality, dimana sensasi terhadap nyeri yang dirasakan
individu satu bersifat pribadai (subjectif), artinya antara individu
satu dengan yang lainnya mengalami sensasi nyeri yang berbeda.
b. Adanya stimulus yang merugikan sebagai peringatan terhadap
kerusakan jaringan.
c. Pola respon dari indvidu terhadap nyeri, sebagai alat proteksi
untuk melindungi dirinya dari kerugian yang ditimbulkan oleh
nyeri..
Dalam ilmu keperawatan, defenisi yang dikemukaan oleh
McCaffery (1980) sering menjadi pedoman dalam mengartikan nyeri,
yaitu segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan
terjadi kapan saja seseorang mengatakan merasakan nyeri. Defenisi ini
menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri,
karena hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan ,
sehingga hanyalah orang yang merasakan yang paling akurat dan tepat
Peran utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua
nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena
itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien
bahwa itu ada. (Smeltzer & Bare, 2002).
1.2 Klasifikasi Nyeri
Kategori dasar dari nyeri yang secara umum diketahui ada dua
kategori, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif
(ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (meinhart &
McCafery, 1983). Nyeri akut mengidentifikasi bahwa kerusakan atau
cedera telah terjadi, hal ini menarik perhatian pada kenyataannya bahwa
nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari
situasi serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri (Smeltzer &
Bare, 2002).
Nyeri akut berlangsung beberapa jam dalam sehari, dan sering
disertai dengan tanda-tanda fisik seperti detak jantung cepat, berkeringat,
pucat, dan gangguan tidur. Contoh nyeri akut termasuk rasa sakit dari
lengan yang patah atau operasi (Bonica, 1990) diambil dari Suza (2007).
Nyeri akut berdurasi singkat, memiliki onset yang tiba-tiba, dan
terlokalisir. Nyeri ini biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau
saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri oto, nyeri saat
melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan (Prasetyo, 2010).
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas sistem saraf simpatis
yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi,
peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang
mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan prilaku
seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau
menyeringai. Klien akan melaporkan secara verbal adanya
ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan (Prasetyo,
2010). Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh
secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan. (Smeltzer & Bare,
2002).
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu
penyembuhan yang diperkiran dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobatinya
karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang diarahkan pada penyebabnya. (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri
kronik berlangsung lebih lama dari pada nyeri akut, intensitasnya
bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari 6
Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu nyeri
kronik maligna dan nyeri kronik nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis
adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya
mudah ditentukan , nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus
asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik
diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan
fisik (Tamsuri, 2006), diambil dari wardani (2011).
Berikut dibawah ini perbedaan antara nyeri akut dan nyeri kronis,
yang dikutip dari Port CM. Pathophysiologi ; Concepts of Altered health
State, ed. Ke- 4, Philadelphia, JB Lippincott, 1995.
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan Memperingatkan klien
terhadap adanya
cedera/masalah
Memberikan alasan pada klien
untuk mencari, informasi
berkaitan dengan perawatan
dirinya.
Awitan Mendadak Terus menerus/intermittent
Durasi
Intensitas
Durasi singkat (dari
beberapa detik sampai 6
bulan)
Ringan sampai berat
Durasi lama (6 bulan/lebih)
Ringan sampai berat
Otonom meningkat, volume
• Alira saliva menurun
otonom
• Vital sign dalam batas
normal
Respon
Psikologis
Anxietas • Depresi
• Keputusasaan
• Keterbatasan gerak
• Kelesuan
• Penurunan libido
• Kelelahan/kelemahan
• Mengeluh sakit hanya ketika
dikaji
Contoh Nyeri bedah, Trauma Nyeri kanker, arthritis, euralgia.
1.3 Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku.
Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf
perifer. Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani salah
satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa
berwarna abu- abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat
berinteraksi dengan sel- sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke
korteks serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka
otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang
pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta assosiasi kebudayaan
dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dikutip dari Potter &
Perry 2005).
1.3.1 Stimulus Nyeri
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu
ujung-ujung saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap
stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan
adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat
berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik
(Prasetyo, 2010).
Terdapat beberapa jenis sitimulus nyeri menurut
Faktor penyebab Contoh
Mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur dll)
Meningitis
Kimia Tersiram air keras
Tumor Ca. Mamae
Iskemia jaringan Jaringan miokard yang
mengalami iskemia karena
gangguan aliran darah pada
arteri koronaria
Listrik Terkena sengatan listrik
Spasme Spasme otot
Obstruksi Batu ginjal, batu ureter,
obstruksi usus
Panas Luka bakar
Fraktur Fraktur femur
Salah urat Keseleo, terpelintir
Radiasi Radiasi untuk pengobatan
kanker
Psikologis Berduka, konflik dll
Tabel 2. Stimulus nyeri
1.3.2 Reseptor Nyeri
Reseptor merupakan sel-sel khusus yang
mendeteksi perubahan-perubahan particular disekitarnya,
kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka
resptor-reseptor inilah yang menangkap stimulus-stimulus
nyeri.reseptor ini dapat terbagi menjadi :
1. Exteroresptor
Yaitu reseptor yang berpengaruh terhadap
perubahan pada lingkungan eksternal, antara lain :
a. Corpusculum miessineri, corpus merkel :
untuk merasakan stimulus taktil
(sentuh/rabaan).
b. Corpusculum Krausse, untuk merasakan
rangsangan dingin
c. Corspusculu Ruffini, untuk merasakan
rangsangan panas, merupakan ujung saraf
bebas yang terletak di dermis dan sub kutis.
2. Telereseptor
Merupakan reseptor yang sensitive terhadap
stimulus yang jauh.
3. Propioseptor
Merupakan reseptor yang menerima impuls primer
4. Interoseptor
Merupakan reseptor yang sensitif terhadap
perubahan pada organ-organ visceral dan pembuluh
darah.
Beberapa penggolongan lain dari resptor sensori :
1. Termoreseptor, reseptor yang menerima sensasi
suhu (panas atau dingin).
2. Mekanoreseptor, reseptor yang menerima
stimulus-stimulus nyeri.
Kemoreseptor, reseptor yang menerima stimulus kimiawi.
1.3.3 Pathways Nyeri
Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat
proses, yaitu: tranduksi/ transduction,
transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/
perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor,
1999).diambil dari Ardinata (2007).
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri
dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk &
Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika nociceptor
yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang
merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang
datang seperti kerusakan jaringan (Ardinata, 2007).
Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau
thermal (yaitu serabut A-Delta), sedangkan slow pain (nyeri
lambat) biasanya dicetuskan oleh serabut saraf C. serabut
saraf A-delta mempunyai karakteristik menghantarkan
nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut C yang
tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat
lambat dalam menghantarkan nyeri. Serabut A mengirim
sensasi tajam, teralokasi, dan jelas dalam melokalisasi
sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C
menyampaikan implus yang tidak terlokalisasi (bersifat
difusi), visceral dan terus-menerus (Prasetyo, 2010).
Tahapan selanjutnya adalah transmisi, Transmisi
adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak.
Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk
dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang
berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-
axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi
ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex
Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui traktus
paleospinothalamus pada bagian tengah medulla spnilasis.
Impuls ini memasuki formatio retikularis dan sistem limbik
yang mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi
dari sistem saraf otonom. Slow pain yang terjadi akan
membangkitkan emosi, sehingga timbul respon terkejut,
marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar keringat
dingin dan jantung berdebar-debar (Prasetyo, 2010).
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural
dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociseptor
tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai
di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol
oleh system saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri
ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex.
Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui
saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi
efektor (Ardinata, 2007).
1.4 Teori Nyeri
1.4.1 Teori Spesifik
Teori ini digambarkan oleh “Descartes’ pada abad ke- 17. teori
yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini
dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikanya
melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke thalamus, yang
akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi
sehingga timbul respons nyeri (Tamsuri, 2006)
1.4.2 Teori Pattern
Teori ini dikemukakan pada awal tahun 1900. Teori ini
mengemukakan bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu
serabut yang menghantarkan nyeri secara capat dan serabut yang
menghantarkan nyeri secara lambat. Stimulasi dari serabut saraf
ini membentuk sebuah “pattern/pola”. Teori ini juga
mengenalkan konsep “Central Summation” dimana impuls
perifer dari kedua saraf disatukan di spinal cord dan dari sana
hasil penyatuan impuls diteruskan ke otak untuk
diinterprestasikan (Prasetyo, 2010).
1.4.3 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control)
Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulkan teori
mekanisme nyeri yakni teori “Gate Control” mereka menjel
askan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat
semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau
Melzack & Wall (1965), teori Gate Control menyatakan
bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh interaksi dari
dua sistem, dua sistem tersebut adalah :
a. Substansia gelatinosa pada dorsal horn dimedulla
spinalis.
b. Sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat)
yang terdapat pada batang otak.
Teori gate control menggambarkan bahwa ada
mekanisme pintu gerbang pada ujung syaraf ruas tulang belakang
(spinal cord) yang dapat meningkatkan atau menurunkan aliran
impuls saraf dari serat perifer menuju system saraf pusat.
Mekanisme pintu gerbang ini dipengaruhi oleh aktifitas A- Beta
berdiameter besar, A-Delta berdiameter kecil dan serabut c serta
pengaruh dari otak. Bila pintu tertutup berakibat tidak ada nyeri;
pintu terbuka, nyeri ; sebagian pintu terbuka, nyeri kurang.
Ketika pintu ditutup, transmisi impuls nyeri dihentikan di spinal
cord sehingga nyeri tidak mencapai tingkay yang disadari
(Reeder - Martin, 1984 ; Flynn & Heffron, 1984). Sereblum dan
thalamus disebut sebagai pusat control nyeri oleh melzak & Wall
(1965). Pesan sensori yang berbeda dialirkan langsung ke
serebrum. Pusat control memproses informasi dari 3 sumber,
yakni informasi sensori - diskriminatif, informasi motivasi-
nyeri diproses dalam konteks yang individual, variasi yang luas
dari respon nyeri dapat diamati (Flynn & Heffron, 1984 ; marie,
2002).
Teori ini menjelaskan bagaimana aktivitas tertentu
menurunkan persepsi nyeri. Respons pertama individu yang
terpukul ibu jarinya dengan palu adalah memasukkan ibu jarinya
ke dalam mulut atau dalam air dingin. Aksi ini menstimulasi
serabut tidak nyeri dalam tempat reseptor yang sama dengan
serabut perasa nyeri diaktifkan. Stimulasi sejumlah besar serabut
tidak nyeri, yang bersinaps pada serabut inhibitor dalam kornu
dorsalis, menghambat (sampai suatu tingkat) transmisi sensasi
nyeri dalam jaras asenden.
1.5 Faktor yang mempengaruhi nyeri
McCaffery dan Pasero (1999) mneyatakn bahwa hanya klienlah
yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Oleh
karena itu dikatakan klien sebagai expert tentang nyeri yang ia rasakan.
Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi
masing-masing individu terhadap nyeri. Seorang perawat harus
menguasai dan memahami faktor-faktor tersebut agar dapat memberikan
pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan perawatan terhadap klien
yang mengalami masalah nyeri (Prasetyo, 2010). Faktor-faktor tersebut
1.5.1 Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi
nyeri, khususnya pada anak- anak dan lansia. Perbedaan
perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini
dapat mempengaruhi bagaimana anak- anak dan lansia
bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005).
Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan
kata-kata juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua
orang tuanya ataupun pada perawat. Sebagian anak-anak
terkadang segan untuk mengungkapkan keberadaan nyeri
yang ia alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang
harus mereka terima nantinya (Prasetyo, 2010).
Pada lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian
lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri.
Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu.
Terkadang penyakitnya berbeda-beda yang diderita lansia
menimbulkan gejala yang sama. (Prasetyo, 2010).
1.5.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak
berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri
apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu
faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan
yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap
bahwa seorang anak laki- laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).
Penelitian terakhir memperlihatkan hormone seks
pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi
terhadap nyeri. Hormone seks testosterone menaikkan
ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan estrogen
meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri.
Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi
oleh personal, social, budaya dan lain-lain (Prasetyo, 2010).
1.5.3 Kebudayaan
Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit
dengan cara yang berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga
berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang
berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff,
2002).
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang
mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan
dirasakannya. Masyarakat dalan suatu kebudayaan mungkin
merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka
menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang
dapat ditahan (Berger, 1992).
1.5.4 Makna Nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi tehadap
nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin
akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita
lainnya yang nyeri karena dipukul oleh pasangannya
(Prasetyo, 2010).
1.5.5 Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas
dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri
yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi
merupakan nyeri yang berat, dalam kaitannya dengan
kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada
yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul,
1.5.6 Perhatian
Tingkat perhatian seorang terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan
upaya pengalihan dihubungkan dengan penurunan respon
nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk
menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi
terbimbing dan masase (Prasetyo, 2010).
1.5.7 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat
kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).
1.5.8 Keletihan
Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan
meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan
koping individu (Prasetyo, 2010).
1.5.9 Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi
berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam
menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seseorang
yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah
mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai
pengalaman sedikit tentang nyeri (Prasetyo, 2010).
1.5.10 Dukungan Keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan
dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga
lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan
oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan (Prasetyo, 2010).
1.6 Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri yang factual (terkini), lengkap dan akurat akan
memudahkan dalam menetapkan data dasar, dalam menegakkan
diagnosa keperawatan yang tepat, merencanakan pengobatan yang tepat
dan memudahkan dalam mengevaluasi respon klien terhadap terapi yang
diberikan (Prasetyo, 2010).
Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam
memulai mengkaji respon nyeri yang dialami oleh klien. Donovan &
Girton (1984) mengidentifikasi komponen-komponen tersebut,
a. Penentuan ada tidaknya nyeri
Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus
mempercayai ketika klien melaporkan adanya nyeri, walaupun
dalam observasi tidak ditemukan adanya cedera atau luka.
Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata.
b. Karakterisitik nyeri (Metode P, Q, R, S, T)
Faktor Pencetus ( P: provocate)
Perawat dalam mengkaji tentang penyebab atau
stimulus-stimulus nyeri ada klien, dalam ini perawat juga dapat
melakukan observasi bagian-bagian tubuh yang
mengalamai cedera. Apabila dicurigai adanya nyeri
psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplorasi
perasaan-perasaan apa yang mencetuskan nyeri.
Kualitas (Q: Quality)
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang
diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan
nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul, berdenyut,
berpindah-pindah, seperti ditindih, perih, tertusuk, dan
lain-lain, dimana tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda dalam
melaporkan kualitas nyeri yang dirasakannya.
Lokasi (R: Region)
Untuk mengkaji lokasi nyeri, maka klien diminta untuk
oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, minta
klien untuk melacak nyeri dari titik yang paling nyeri.
Keparahan (S: Severe)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan
karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini
klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia rasakan
sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau nyeri berat. Namun
kesulitannya adalah makna dari istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien serta tidak adanya batasan khusus
yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.
Hal ini juga bisa disebabkan karena memang pengalaman
nyeri pada masing-masing individu berbeda-beda.
1.7 Nyeri Post Operasi
Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil
pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post operasi berbeda-
beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit
ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang
sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami
nyeri post operasi.
Nyeri post operasi biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal,
lingkup keperawatan. Dengan menggali nyeri post operasi akan
membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan nyeri
post operasi kepada pasien yang mengalami pembedahan. Aspek dari
nyeri post operasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri
yang mencakup persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza, 2007).
Toxonomi Comitte of the international Association untuk
pembelajaran tentang nyeri mendefenisikan nyeri post operasi sebagai
sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata atau
menggambarkan terminology suatu kerusakan (Alexander, 1987 ).
Nyeri post operasi adalah suatu reaksi yang kompleks pada
jaringan yang terluka pada proses pembedahan yang dapat menstimulasi
hypersensitivitas pada system syaraf pusat, nyeri ini hanya dapat
dirasakan setelah adanya prosedur operasi
(www.surgeryencyclopedia.com). Nyeri post operasi dapat menjadi
faktor penting yang mempengaruhi persepsi pasien tentang
perkembangan dan kesembuhanya. Lebih tinggi nyeri yang dirasakan
pasien, maka makin rendah harapan sembuh menurut pasien berdasarkan
sifat subjektif nyeri, sulit mendapatkan hubungan langsung antara
intensitas nyeri dengan tingkat komplikasi post operasi secara fisik dan
psikologis. Walaupun intensitas nyeri berhubungan dengan peningkatan
jantung (Puntillo & Weiss, 1994, diambil dari Torrance & surginson,
1997).
Operasi pembedahan, seperti luka karena kecelakaan atau
penyakit, menghasilkan kerusakan jaringan lokal dengan akibat
pelepasan zat alogenic dan dari rentetan rangsangan berbahaya, yang
transduser oleh nociceptor ke impuls yang ditransmisikan ke neuraxis
dengan A delta dan C serat. Alogenic zat seperti kalium dan ion
hidrogen, asam laktat, serotonin, bradikinin dan prostaglandin yang
merangsang dan nociceptors sensitif yang bertahan setelah operasi
(Suza, 2007).
Menurut Mc. Caffery (Diambil dari Tamsuri, 2006).
Teknik yang diterapkan dalam mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam
dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmalogis) dan
tindakan nonfarmakologis (tanpa pengobatan).
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi
penggunaan opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid
Anti-Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik. Analgesik opioid
(narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan
kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi
efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan
dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate sepertu mu, delta,
dan alpa) dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan
Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan
pusat pernapasan dan batuk di medulla batang otak. dampak lain
dari narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga
kebutuhan dosis obat akan meningkat. Analgesik non-opioid
(analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid
Anti-InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan ibu
profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi
dan anti-demam (anti-piretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan
penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah
yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan
yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri, 2006).
Terapi pada nyeri post operasi ringan sampai sedang harus
dimulai dengan menggunakan NSAIDs, kecuali kontraindikasi (AHCPR,
1992 dikutip dar Potter & Perry 2005). Walaupun mekanisme kerja
pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja
menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995)
dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan
NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi
transmisi dan resepsi stimulasi nyeri. Tidak seperti opiat, NSAIDs tidak
menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu
fungsi berkemih atau defekasi (AHCPR, 1992 dikutip dari Potter &
2. Fraktur
2.1Defenisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat, 2005).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Brunner & Suddarth, 2002). Akibat trauma
pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya.
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang
menyebabkan fraktur dapat berupatrauma langsung, misalnya yang
sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur
pada tibia dan fibula dan juga dapat berupa trauma tidak langsung
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula
atau radius distal patah (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
2.2Klasifikasi Fraktur
Sjamsuhidajat (2005) mengatakan Fraktur dapat dibagi menurut
fraktur tertutup dan fraktur terbuka yang memungkinkan kuman dari luar
masuk ke luka sampai ke tulang yang patah.
Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh
berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang, derajat fraktur
terbuka dapat dilihat pada tabel berikut :
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi < 2 cm Sederhana, dislokasi
fragmen minimal
II Laserasi > 2 cm. kontusi otot
sekitarnya
Dislokasi fragmen jelas
III Luka kebar, rusak hebat atau
hilangnya jaringan di sekitarnya
Kominutif, segmental,
fragmen tulang ada
yang hilang
Tabel 3. Derajat fraktur terbuka
Dikutip dari : Sjamsuhidrajat (2005). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC
Fraktur juga dapat dibagi menurut garis frakturnya, misalnya patah
tulang sederhana, patah tulang kominutif pengecilan, patah tulang
segmental, patah daun hijau, fraktur impaksi, fraktur kompresi, fraktur
impresi. Ada juga fraktur yang tidak disebabkan oleh trauma, tetapi
disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor. Ini disebabkan
oleh kekuatan tulang yang berkurang dan disebut fraktur patologis
Fraktur lainnya adalah fraktur fisura, yang disebabkan oleh beban
lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur
kelelahan, akan tetapi fraktur fisura lebih sering disebabkan cedera
(Sjamsuhidajat, 2005). Berikut tabel yang menjelaskan fraktur menurut
garis frakturnya
Jenis Contoh
Fisura Diafisis Metatarsal
Serong sederhana Diafisis metacarpal
Lintang sederhana Diafisis tibia
Kominutif Diafisis femur
Segmental Diafisis tibia
Dahan hijau Diafisis radius pada anak
Kompresi Korpus vertebra Th XII
Impaksi Epifisis radius distal
Impresi Tulang tengkorak
Patologis Tumor diafisis humerus
Tabel 4. Jenis fraktur
Dikutip dari : Sjamsuhidrajat (2005). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC
2.3Jenis fraktur ekstremitas bawah
Menurut Lewis et al (2000) jenis-jenis fraktur pada bagian
2.3.1 Fraktur collum femur (fraktur hip)
Mekanisme fraktur dapat disebabkan oleh trauma
langsung (direct) dan trauma tidak langsung (indirect). Trauma
langsung (direct) biasanya penderita jatuh dengan posisi miring
dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda
keras. Trauma tidak langsung (indirect) disebabkan gerakan
exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena kepala femur
terikat kuat dengan ligamen didalam acetabulum oleh ligamen
iliofemoral dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur didaerah
collum femur. fraktur leher femur kebanyakan terjadi pada
wanita tua (60 tahun keatas) dimana tulang sudah mengalami
osteoporosis.
2.3.2 Fraktur subtrochanter femur
Fraktur subtrochanter femur ialah dimana garis patah
berada 5 cm distal dari trochanter minor. Mekanisme fraktur
biasanya trauma langsung dapat terjadi pada orang tua biasanya
disebabkan oleh trauma yang ringan seperti jatuh dan
terpeleset dan pada orang muda biasanya karena trauma dengan
kecepatan tinnggi.
2.3.3 Fraktur batang femur
Mekanisme trauma biasanya terjadi karena trauma
langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota-kota besar atau
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak sehingga
menimbulkan shock pada penderita. Secara klinis penderita tidak
dapat bangun, bukan saja karena nyeri tetapi juga karena
ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi
keluar, terlihat lebih pendek dan bengkak pada bagian proximal
akibat perdarahan kedalam jaringan lunak.
2.3.4 Fraktur patella
Mekanisme Fraktur dapat disebabkan karena trauma
langsung atau tidak langsung. Trauma tidak langsung disebabkan
karena tarikan yang sangat kuat dari otot kuadrisep yang
membentuk muskulotendineus melekat pada patella. Hal ini sering
disertai pada penderita yang jatuh dimana tungkai bawah
menyentuh tanah terlebih dahulu dan otot kuadrisep kontraksi
secara keras, untuk mempertahankan kestabilan lutut. Fraktur
langsung dapat disebabkan penderita jatuh dalam posisi lutut
fleksi, dimana patella terbentur dengan lantai.
2.3.5 Fraktur proximal tibia
Mekanisme trauma biasanya terjadi trauma langsung
dari arah samping lutut, dimana kakinya masih terfiksir
ditanah. Gaya dari samping ini menyebabkan permukaan
sendi bagian lateral tibia akan menerima beban yang sangat besar
yang akhirnya akan menyebabkan fraktur intraartikuler atau terjadi
kemungkinan yang lain penderita jatuh dari ketinggian yang akan
menyebabkan penekanan vertikal pada permukaan sendi. Hal ini
akan menyebabkan patah intra artikular berbentuk T atau Y.
2.3.6 Fraktur tulang tibia dan fibula
Mekanisme trauma biasanya dapat terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung akibat
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian lebih dari 4 cm,
fraktur yang terjadi biasanya fraktur terbuka. Sedangkan yang tidak
langsung diakibatkan oleh gaya gerak tubuh sendiri. Biasanya
fraktur tibia fibula dengan garis patah spiral dan tidak sama tinggi
pada tibia pada bagian distal sedang fibula pada bagian proksimal.
Trauma tidak langsung dapat disebabkan oleh cedera pada waktu
olah raga dan biasanya fraktur yang terjadi yaitu tertutup.
Gambaran klinisnya berupa pembengkakan dan karena
kompartemen otot merupakan sistem yang tertutup, dapat
terjadi sindrom kompartemen dengan gangguan vaskularisasi
kaki.
2.4Tahap penyembuhan tulang
Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran
tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien
proses penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
2.4.1 Proses hematom.
Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga
terbentuk hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya
fraktur tersebut, dan yang mengelilingi bagian dasar
fragmen. Hematom ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga
hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler
didalamnya (Sjamsuhidajat, 2005).
2.4.2 Proses proliferasi.
Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh
darah menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran
pembuluh darah (Pakpahan, 1996).
2.4.3 Proses pembentukan callus
Pada orang dewasa pembentukan callus antara 6-8 minggu,
sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan
proses pembentukan tulang baru, dimana callus dapat
terbentuk diluar tulang (subperiosteal callus) dan didalam
tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang
terjadi sedemikian rupa, sehingga trabekula yang dibentuk
bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga
membentuk suatu callus tulang (Smeltzer & Bare, 2002).
2.4.4 Proses konsolidasi (penggabungan)
Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi
pemadatan tulang seperti sebelum terjadi fraktur,
konsolidasi terbentuk antara 6-12 minggu (ossificasi)
dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut
dengan penggabungan atau penggabungan secara
terus-menerus (Smeltzer & Bare, 2002).
2.4.5 Proses remodeling.
Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam
penyembuhan tulang, dan proses pengembalian bentuk
seperti semula. Proses terjadinya remodeling antara 1-2
tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.5Penatalaksanaan fraktur
Prinsip penatalaksanaan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula dan mempertahankan posisi tersebut selama masa
penyembuhan (Sjamsuhidajat, 2005).
Pada kasus fraktur ringan penatalaksaan hanya dengan metode
reposisi, traksi, imobilisasi dengan cara membidai bagian tulang yang
dilakukan dengan cara operatif (Sjamsuhidajat, 2005). Menurut Smeltzer
& Bare (2002) Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada
pasien fraktur meliputi :
1. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (open reduction and
internal fixation/ORIF). Fiksasi internal dengan pembedahan
terbuka akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukkaan paku, sekrup atau pin kedalam
tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur
secara bersamaan. Sasaran pembedahan yang dilakukan untuk
memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan, stabilitas,
mengurangi nyeri dan disabilitas.
2. Fiksasi eksternal, digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan
yang stabil untuk fraktur comminuted (hancur & remuk)
sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan
aktif. Fraktur complicated pada femur dan tibia serta pelvis
diatasi dengan fiksator eksterna, garis fraktur direduksi,
disejajarkan dan diimmobilsasi dengan sejumlah pin yang
dimasukkan kedalam fragmen tulang. Pin yang telah terpasang
dijaga tetap dalam posisinya yang dikaitkan pada kerangkanya,
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien, mobilisasi dini
3. Graft Tulang yaitu penggantian jaringan tulang untuk stabilisasi
sendi, mengisi defek atau perangsangan untuk penyembuhan.
Tipe graft yang digunakan tergantung pada lokasi fraktur,
kondisi tulang dan jumlah tulang yang hilang karena injuri.
Graft tulang mungkin dari tulang pasien sendiri (autograft) atau
tulang dari tissue bank (allograft). Graft tulang dengan autograft
biasanya diambil dari bagian atas tulang iliaka, dimana terdapat
tulang kortikal dan cancellous bone. Cancellous graft mungkin
diambil dari ileum, olecranon, atau distal radius; cortical graft
mungkin diambil dari tibia, fibula atau iga. Graft tulang dengan
allograft dilakukan ketika tulang dari pasien itu tidak tersedia
karena kualitas tidak baik atau karena prosedur sekunder tidak