• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI GURU SEKOLAH DASAR YANG

MENGAJAR DI PESISIR

(Studi Kasus Pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

NISHA YUNICA HARAHAP

081301004

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

RESILIENSI GURU SEKOLAH DASAR YANG

MENGAJAR DI PESISIR

(Studi Kasus Pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

NISHA YUNICA HARAHAP

081301004

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari

hasil karya oranglain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah

dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya

bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2015

NISHA YUNICA HARAHAP

(4)

ii

Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

Nisha Yunica Harahap dan Filia Dina Anggaraeni, M.Pd

ABSTRAK

Kualitas guru sangat penting dalam memajukan pendidikan, terutama pendidikan dasar. Guru SD (Sekolah Dasar) mempunya peranan yang utama karena anak sekolah dasar adalah peletak dasar bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas (Sutjipto, 2001). Kesejahteraan seorang guru merupakan hal yang penting karena mempengaruhi terciptanya pendidikan yang berkualitas tinggi (Perie, 1997). Namun kesejahteraan tidak dirasakan semua guru, terutama guru yang mengajar di daerah pesisir yang identik dengan kemiskinan menyebabkan proses mengajar menjadi beban yang cukup berat (Abdullah, 2013). Tekanan dan beban tanggungjawab yang dipegang guru tak jarang menimbulkan stres (Joseph, 2000). Hal ini mendorong guru yang mengajar di pesisir melakukan resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Penelitian ini menggunakan responden berjumlah dua orang guru wanita, dengan salah satu guru bertempat tinggal di kota dan yang satu lagi berasal dari daerah tak jauh dari pesisir. Karakteristik responden dari penelitian ini adalah guru Sekolah Dasar yang mengajar di daerah pesisir, dalam penelitian ini di Paluh Merbau. Dari hasil riset awal ditemukan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kedua responden dan ditemukan pula bahwa responden I memiliki resiliensi yang kurang baik karena memiliki impulse control dan self efficacy yang kurang baik walaupun memiliki sikap emotional regulations, optimism, empathy, causal analytic, dan reaching out yang baik. Responden II memiliki resiliensi yang baik karena memiliki emotional regulation, optimism, self efficacy, causal analytic, empathy, impulse control, dan reaching out yang baik. Hasil riset selanjutnya didapatkan bahwa ada perbedaan faktor resiko dan faktor protektif yang mempengaruhi kemampuan resiliensi kedua responden

(5)

iii

Resilience of Elementary School Teacher at Coastal Area (Case Study on Teaching Staf at SDN 107396 Paluh Merbau)

Nisha Yunica Harahap and Filia Dina Anggaraeni, M.Pd

ABSTRACT

The quality of teachers is very important in advancing education, especially basic education. Elementary teachers have a key role in educating primary students because they are the foundation for creating best quality of human resources (Sutjipto , 2001). The welfare of a teacher is important because it affects the creation of high-quality education (Perie , 1997). But welfare is not felt by all teachers, especially teachers who teach in coastal areas which is identical to the poverty that cause heavy burden for teaching process (Abdullah, 2013). The pressure and the responsibility that teacher held often stressful (Joseph , 2000). This encourages teachers who teach in the coastal perform resilience (Reivich & Shatte , 2002).

This study include two female teachers, one one of the teachers live in the city and one from the area not far from the coast. Characteristics of respondents of this study is elementary school teachers who teach in the coastal areas, in this study in Paluh Merbau. Several problems faced by both the respondents have been found in intial research, and researcher also found that first respondent have a poor resilience because she has poor impulse control and self efficacy. Second respondent has good resilience because she has good emotional regulation, optimism, self-efficacy, causal analytics, empathy, impulse control, and reaching out. The results of further research showed that there are differences in risk factors and protective factors that affect the ability of resilience of both respondent.

Keyword : resilience, teacher, coastal

(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi dengan judul Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau). Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Penulis mendapat banyak bimbingan, saran dan dukungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU serta seluruh jajaran Dekanat Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Sri Supriyantini, M.Psi., psikolog selaku Pembantu Dekan I dan juga dosen pembimbing penulis yang bersedia menerima penulis menjadi mahasiswa bimbingan menggantikan dosen pembimbing penulis yang harus melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

(7)

v

4. Abangda Tarmidi, M.Psi., psikolog yang merupakan dosen pembimbing pertama penulis sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik penulis. Terimakasih atas dukungan dan bimbingan yang Abang berikan kepada penulis sepanjang masa perkuliahan yang penulis jalani di Fakultas Psikologi USU. Bimbingan yang Abang berikan telah menjadi pondasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Terimakasi untuk kak Fasti Rola, M.Psi., psikolog yang bersedia menggantikan bang Tarmidi sebagai dosen pembimbing akademik penulis. 6. Terimakasih kepada Bapak Ari Widiyanta, M.Si sebagai dosen penguji tiga

yang telah memberikan bimbingan metodologi kualitatif yang luarbiasa kepada penulis. Terimakasih atas kebaikan hati bapak.

7. Kedua orangtua penulis yang terkasih dan tersayang, pap Syafril Harahap dan mama Iris Yasmin. Terimakasih karena telah menunggu dan membantu penulis dengan sabar dalam melalui proses penyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas segala kasih sayang, perhatian, dukungan, pengertian, semangat dan doa-doanya yang selalu menyertai penulis selama ini.

8. Kedua adik penulis, Kiki dan Isti, terimakasih atas dukungan, semangat dan doa untuk penulis. Terutama untuk Kiki, terimakasih karena selalu bersedia menjadi supir penulis dan selalu sabar menemani mengambil data skripsi. 9. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu dan

(8)

vi

10. Teman-teman penulis yang setia memberikan semangat pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada QawsQuzan (Ajeng, Kiki, Una, Cai, Lili, Mutek, Mina, Tika, Mayati, Ckik, Nana). Terimakasih untuk semua nasehat, kata-kata pengingat, dan perhatian yang kalian berikan kepada penulis.

11. Kedua responden dalam penelitian ini. Terimakasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

12. Teman-teman angkatan 2008 (Naknolapan) yang memori bersama kalian selalu menjadi pencerah bagi penulis. Terimakasih untuk kebersamaan selama ini.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadikan skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat kepada banyak pihak.

Medan, April 2015

Penulis,

(9)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 19

C.Tujuan Penelitian... 19

D.Manfaat Penelitian... 20

E. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II LANDASAN TEORI ... 22

A. Resiliensi ... 22

1. Definisi Resiliensi ... 22

2. Fungsi Resiliensi ... 23

3. Dimensi Resiliensi ... 25

4. Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ... 32

5. Fase Resiliensi ... 35

6. Tahap Pembentukan Resiliensi ... 36

B. Guru ... 38

1. Definisi Guru ... 38

2. Persyaratan Guru ... 39

3. Kompetensi Guru ... 40

4. Peranan Guru ... 40

C. Wilayah Pesisir ... 42

(10)

viii

2. Masyarakat Pesisir ... 43

3. Kondisi Masyarakat Pesisir ... 44

4. Pendidikan Masyarakat Pesisir ... 46

5. Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat Pesisir ... 48

D. Paradigma Penelitian ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 51

A. Pendekatan Kualitatif ... 51

Studi Kasus ... 52

B. Responden Penelitian ... 53

1. Partisipan Penelitian ... 53

a) Karakteristik responden penelitian... 53

b) Jumlah responden penelitian ... 54

c) Prosedur pengambilan responden ... 54

d) Latar belakang responden ... 55

2. Lokasi Penelitian ... 57

C. Metode Pengambilan Data ... 62

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 62

1. Alat Perekam (tape recorder) ... 63

2. Pedoman Wawancara ... 63

E. Kredibilitas Penelitian ... 64

F. Prosedur Penelitian ... 65

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 65

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 66

3. Tahap Pencatatan Data ... 67

G. Metode Analisa Data ... 68

1. Koding ... 68

2. Organisasi Data ... 68

3. Analisis Tematik ... 69

4. Tahapan Interpretasi/Analisis ... 69

(11)

ix

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Deskripsi Data ... 73

1. Responden I ... 73

a) Kesulitan yang dihadapi guru di pesisir ... 73

b) Resiliensi guru yang mengajar di pesisir ... 76

c) Faktor-faktor yang mempengaruhi guru yang mengajar di pesisir ... 83

2. Responden II ... 86

a) Kesulitan yang dihadapi guru di pesisir ... 86

b) Resiliensi guru yang mengajar di pesisir ... 88

c) Faktor –faktor yang mempengaruhi guru yang mengajar di pesisir ... 98

B. Pembahasan I... 100

1. Responden I ... 100

a) Gambaran resiliensi ... 100

b) Faktor yang mempengaruhi resiliensi ... 109

2. Responden II ... 111

a) Gambaran resiliensi ... 111

b) Faktor yang mempengaruhi resiliensi ... 119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

A. Kesimpulan ... 137

1. Bu Mawar (Responden I) ... 137

a) Kesulitan yang dihadapi guru di pesisir ... 137

b) Resiliensi guru yang mengajar di pesisir ... 138

c) Faktor yang mempengaruhi resiliensi ... 139

2. Bu Anggrek (Responden II) ... 139

a) Kesulitan yang dihadapi guru di pesisir ... 139

b) Resiliensi guru yang mengajar di pesisir ... 140

(12)

x

B. Saran ... 141

1. Saran Praktis ... 141

2. Saran Metodologis... 142

(13)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 72 Tabel 4.2. Gambaran Resiliensi Guru di Pesisir pada Responden I ... 120 Tabel 4.3. Gambaran Resiliensi Guru di Pesisir pada Responden II ... 126 Tabel 4.4. Analisa Dimensi dan Faktor Resiliensi Guru

(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 Informed Consent ... 148

LAMPIRAN 2 Pedoman Wawancara ... 149

LAMPIRAN 3 Persiapan Pengolahan Data ... 152

(15)

ii

Resiliensi Guru Sekolah Dasar yang Mengajar Di Pesisir (Studi Kasus pada Staf Pengajar SD Negeri 107396 Paluh Merbau)

Nisha Yunica Harahap dan Filia Dina Anggaraeni, M.Pd

ABSTRAK

Kualitas guru sangat penting dalam memajukan pendidikan, terutama pendidikan dasar. Guru SD (Sekolah Dasar) mempunya peranan yang utama karena anak sekolah dasar adalah peletak dasar bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas (Sutjipto, 2001). Kesejahteraan seorang guru merupakan hal yang penting karena mempengaruhi terciptanya pendidikan yang berkualitas tinggi (Perie, 1997). Namun kesejahteraan tidak dirasakan semua guru, terutama guru yang mengajar di daerah pesisir yang identik dengan kemiskinan menyebabkan proses mengajar menjadi beban yang cukup berat (Abdullah, 2013). Tekanan dan beban tanggungjawab yang dipegang guru tak jarang menimbulkan stres (Joseph, 2000). Hal ini mendorong guru yang mengajar di pesisir melakukan resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Penelitian ini menggunakan responden berjumlah dua orang guru wanita, dengan salah satu guru bertempat tinggal di kota dan yang satu lagi berasal dari daerah tak jauh dari pesisir. Karakteristik responden dari penelitian ini adalah guru Sekolah Dasar yang mengajar di daerah pesisir, dalam penelitian ini di Paluh Merbau. Dari hasil riset awal ditemukan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kedua responden dan ditemukan pula bahwa responden I memiliki resiliensi yang kurang baik karena memiliki impulse control dan self efficacy yang kurang baik walaupun memiliki sikap emotional regulations, optimism, empathy, causal analytic, dan reaching out yang baik. Responden II memiliki resiliensi yang baik karena memiliki emotional regulation, optimism, self efficacy, causal analytic, empathy, impulse control, dan reaching out yang baik. Hasil riset selanjutnya didapatkan bahwa ada perbedaan faktor resiko dan faktor protektif yang mempengaruhi kemampuan resiliensi kedua responden

(16)

iii

Resilience of Elementary School Teacher at Coastal Area (Case Study on Teaching Staf at SDN 107396 Paluh Merbau)

Nisha Yunica Harahap and Filia Dina Anggaraeni, M.Pd

ABSTRACT

The quality of teachers is very important in advancing education, especially basic education. Elementary teachers have a key role in educating primary students because they are the foundation for creating best quality of human resources (Sutjipto , 2001). The welfare of a teacher is important because it affects the creation of high-quality education (Perie , 1997). But welfare is not felt by all teachers, especially teachers who teach in coastal areas which is identical to the poverty that cause heavy burden for teaching process (Abdullah, 2013). The pressure and the responsibility that teacher held often stressful (Joseph , 2000). This encourages teachers who teach in the coastal perform resilience (Reivich & Shatte , 2002).

This study include two female teachers, one one of the teachers live in the city and one from the area not far from the coast. Characteristics of respondents of this study is elementary school teachers who teach in the coastal areas, in this study in Paluh Merbau. Several problems faced by both the respondents have been found in intial research, and researcher also found that first respondent have a poor resilience because she has poor impulse control and self efficacy. Second respondent has good resilience because she has good emotional regulation, optimism, self-efficacy, causal analytics, empathy, impulse control, and reaching out. The results of further research showed that there are differences in risk factors and protective factors that affect the ability of resilience of both respondent.

Keyword : resilience, teacher, coastal

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Setiap bangsa dan generasi memiliki dasar dan tujuan pendidikan tertentu. Tentunya dasar dan tujuan itu disesuaikan dengan cita-cita, keinginan dan kebutuhan (Ahmadi & Uhbiyati, 2001). Upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dapat dilakukan dengan jalan pembangunan sektor pendidikan tersebut didasarkan pada pendapat Surakhmad (1999)yang menerangkan bahwa pembangunansuatu bangsa bergantung pada kualitas sumber dayanya untuk itu diperlukan keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan.

(18)

2

pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan pemerintah, baik dari pusat maupun dari daerah. Dari semuanya itu, guru merupakan komponen paling menentukan, karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, serta iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan peserta didik (Mulyasa, 2007).

Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan (Sanaky, 2007).

(19)

3

beraneka ragam yaitu guru sebagai pendidik atau orang tua, pemimpin atau manajer, produsen atau pelayan, pembimbing atau fasilitator, motivator atau stimulator, peneliti atau narasumber (Mulyasa, 2007).

Menurut Mulyasa (2007), guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengankomponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas.

Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik (Djamarah, 2002). Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri.

(20)

4

dalam mengarahkan anak didiknya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa anak sekolah dasar adalah peletak dasar bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas (Sutjipto, 2001).

Sutjipto (2001) menyatakan bahwa beban kerja guru SD dapat dikatakan lebih besar daripada guru SMP dan SMA atau SMK. Perbedaan beban kerja terletak pada karakteristik dari tugas masing-masing guru. Guru SD sebagai guru kelas yang mengajar siswa yang rata-rata berusia sama, harus menguasai seluruh materi mata pelajaran yang akan diberikan di kelas selama satu tahun sesuai kurikulum yang dibuat. Hal ini berbeda dengan guru SMP dan SMA atau SMK yang hanya mengajar satu mata pelajaran saja selama bertahun-tahun dengan materi yang sama. Dapat dilihat pernyataan seorang guru Sekolah Dasar dibawah ini:

“lebih susah itu ngajar anak SD lah. Coba kamu pikir, guru SD itu harus bisa menguasai semua mata pelajaran untuk kelasnya karena guru SD biasanya itu pegang satu kelas. Tapi lain untuk guru agama dan guru olahraga ya, biasanya mereka cuma pegang mata pelajaran itu aja. Kalo guru kelasnya, mereka harus bisa semua pelajaran. Hebat kan guru SD itu.”

(Wawancara Personal, 10 April 2013)

(21)

5

mengajar menjadi beban yang cukup berat (Abdullah, 2013). Efendy menambahkan bahwa banyak masalah pendidikan yang ditemukan di wilayah pesisir, yakni sarana dan prasarana yang kurang memadai, ketersediaan guru yang tidak merata jumlahnya, proses belajar dan mengajar tanpa didukung fasilitas yang memadai, kurangnya dukungan masyarakat dan dunia usaha serta letak geografis yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan daerah daratan lainnya (dalam Anonim, 2012). Hal ini juga dikemukakan oleh Bu Mawar (bukan nama sebenarnya) yang merupakan salah satu guru yang mengajar di pesisir.

““Nah gitu lah itu, sekolah kayak gitu. Apapun gak ada, buku bacaan hancur semua. Buku bacaan itu ada yang gak dapat.

(Bu Mawar, R1/W1/B.181)

“Bobrok kayak gitu. Lemari Ibu itu, tikus semua itu, pokoknya alat-alat tidak bisa tinggal disana, Ibu bawa pulang semua. Tikus penuh, anak-anak itu menjerit, pas ibu buka udah penuh. Ibu bilang ke penjaga, lemari ini kita bongkar, udah dibongkar, masih datang juga. Namanya juga situasi disana ya, tikus itu luarbiasa, apa ibu habis lah.”

(Bu Mawar, R1/W1/B174-178)

Kondisi guru yang perlu diperhatikan tidak hanya pada kondisi fisiknya saja tetapi juga pada kondisi psikologisnya. Seorang guru dituntut untuk bekerja dengan berbagai siswa dan kebutuhan-kebutuhan mereka yang berubah-ubah. Guru juga diharuskan mampu mengatasi lingkungan yang selalu berkembang, mampu beradaptasi dengan standar dan kualifikasi baru. Tekanan dan tanggungjawab yang dipegang guru tak jarang menimbulkan stres (Joseph, 2000).

(22)

6

±450 kepala keluarga. Desa yang mayoritas penduduknya adalah nelayan dan tergantung dari hasil laut dipenuhi oleh jejeran rumah yang terbuat dari papan dan tampak lapuk serta kumuh. Menjadi guru yang mengajar di daerah ini tentu memberikan tekanan pada guru baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini senada dengan pernyataan yang diberikan oleh salah seorang guru:

“Kamu lihat nak, sekolah ini. Pinggir-pinggir gedungnya banyak yang rusak. Itu karena sekolah kita ini dekat dengan laut, jadi kandungan garam di udaranya tinggi, itu yang buat sekolah ini jadi rusak. Tambah lagi, kondisi tanah yang berpasir ini buat tanaman susah tumbuh. Kalau di bilang enak, yah, pasti ada gak enaknya juga mengajar disini. Jauh dari kota, terus yah, kamu lihat lah kondisinya. Capek ke sekolah jadi buat saya sering emosi.”

(Wawancara personal, 10 April 2013)

Joseph (2000) membandingkan tingkat stres antara guru, pekerja sosial, dan pelayan. Ternyata guru menempati posisi teratas dalam tingkat stres dan rawan mengalamiburnout atau mangkir dari pekerjaan lalu keluar dari pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nagel memperlihatkan bahwa subjek yang diteliti saat ditanya, “apabila diberi kesempatan kembali untuk memilih sebuah

pekerjaan” semuanya menjawab tidak ingin memilih menjadi seorang guru. Dari

keseluruhan subjek, 33%-nya menyatakan bahwa menjadi guru memberikan stres yang berat, dan dari 30%-nya menyatakan hanya akan bertahan sebagai guru selama 5 tahun saja (Nagel, 2003).

(23)

7

yang disebabkan oleh beban dan waktu kerja, penilaian dari oranglain, hubungan dengan rekan kerja, kondisi lingkungan kerja yang buruk, rendahnya dukungan dari rekan kerja, teman, dan keluaga (Kyriacou, 2001). Selain itu, keterlambatan siswa dalam menghadiri sekolah, kegagalan siswa dalam menyelesaikan tugas, dan siswa yang tidak mau menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan dapat menjadi penyebab stres pada guru (Joseph, 2000). Hal ini juga diutarakan oleh Bapak S, seorang kepala sekolah SD di Desa Percut yang mengatakan:

“Siswa SD disini kalau kelas 1 sampai kelas 3 itu masih rajin masuk, sedikitlah yang absen. Tapi, mulai kelas-kelas tinggi, mulai kelas 4 sampai 6, mereka mulai jarang masuk dengan alasan bantu orangtua. Anak-anak ini, kalau sudah besar aja dikit, sudah bisa cari kerang, kepiting atau ikan, jadi jarang masuk. Karena mereka sudah bisa cari uang untuk jajan atau bantu-bantu orangtuanya. Siswa disini juga susah buat tugas. Mungkin karena gak diawasi orangtuanya. Guru-guru pun capek mengingatkan” (Komunikasi Personal,11April 2013)

Kesulitan yang dihadapi oleh guru tidak hanya terjadi di sekolah, namun masalah yang jauh lebih kompleks juga mungkin terjadi di lingkungan luar sekolah. Kondisi-kondisi tersebut tidak jarang membuat guru putus asa bahkan stres. Stresyang terjadi pada guru dapat mengakibatkan isolasi dan berkurangnya perhatian guru pada murid-muridnya dan juga mempengaruhi banyak aspek dari profesi guru. Stres juga menjadi salah satu penyebab seorang guru memutuskan untuk berhenti dan keluar dari profesinya (Farber, 1991 dalam Abbott 2004). Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan seorang petugas desa yang awalnya seorang guru:

(24)

8

guru. Sekarang saya jadi pegawai di kantor kepala desa. Lebih enak saya rasa.”

(Komunikasi Personal, 11 April 2013)

Selain itu, sulitnya hidup di pesisir membuat beberapa guru muda tidak bertahan cukup lama untuk mengajar dan memutuskan untuk pindah. Bkan hanya guru muda, tetapi guru yang berasal dari luar pesisir juga memutuskan untuk pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan kota. Hal ini diungkapkan oleh kepala sekolah SD Paluh Merbau

“gimana ya dek, guru-guru yang dari kota ini banyak yang gak tahan mengajar disini. Mungkin karena jauh dari rumah terus karena mungkin disini gak ada mall untuk jalan-jalan. Jadi mereka banyak yang milih untuk ngurus SK pindah. Kayak ini ada 2 orang guru yang masih muda, baru mulai masuk 2012, tapi karena kejauhan mereka mau pindah aja.”

(Wawancara personal, 24 April 2015)

Meskipun banyak sumber stres yang dialami oleh guru, tetapi tetap ada yang bertahan mengajar di sekolah.Abbott (2004), menyebutkan bahwa kemampuan guru untuk bertahan di sekolah yang penuh dengan sumber stres dipengaruhi oleh strategi resiliensi. Strategi resiliensi merupakan sejumlah cara yang digunakan guru untuk mempertahankan resiliensi dalam menjaga kelangsungan tugas-tugas profesi mereka di sekolah.

Moriarty, Danaher, dan Danaher (dalam Jarzabkowski, 2003) menjelaskan bahwa guru yang mengajar di sekolah terpencil dengan tingkat beban yang tinggi memerlukan kemampuan resiliensi agar mampu bertahan dalam kondisi sulit.Rutter (1985) mengartikan resiliensi sebagai menghadapi “stres pada waktu

(25)

9

meningkat melalu penguasaan dan tanggungjawab yang sesuai” (dalam Gordon et

al., 2000).

Benard (1991) mengungkapkan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kapasitas bawaan untuk mampu beresiliensi, yang berarti bahwa kita mampu mengembangkan kompetensi sosial, keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis, mandiri, dan memiliki hasrat untuk mencapai tujuan. Penelitian yang dilakukan oleh Day et.al (2006) menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi berasal dari dalam diri individu, tetapi kekuatan dari resiliensi itu dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni diri sendiri, profesionalisme dan faktor situasional.

Ada dua alasan yang menekankan bahwa menumbuhkan kemampuan resiliensi pada guru merupakan hal yang penting. Pertama, guru merupakan model bagi murid mereka dan merupakan hal yang aneh jika guru mengharapkan murid-muridnya untuk mampu beresiliensi, sedangkan mereka sendiri (guru) tidak menerapkannya. Kedua, pemahaman mengenai resiliensi pada guru dalam proses menghadapi tegangan kehidupan kerja dapat memberikan kontribusi pada guru untuk mengembangkan kemampuan mengajar, profesionalisme, komitmen, dan efektivitas (Day et.al., 2006).

(26)

10

sekolah, dan bahkan memberi dampak pada siswa, yang tidak akan mungkin terjadi tanpa pengaruh guru (Wasley, 1991 dalam Abbott 2004).

Resiliensi (kemampuan seorang individu untuk dapat bertahan dan pulih dari kondisi yang sulit) merupakan kondisi yang penting dalam mempertahankan komitmen (Day et al., 2006). Sepanjang karirnya, guru akan berhadapan dengan banyak situasi yang memunculkan konflik dan stress. Seorang guru yang tidak mampu mengatasi situasi-situasi yang sulit akan mempengaruhi kondisi fisik dan kesejahteraan psikologis, dengan ditandai munculnya pola-pola gangguan tidur dan makan, depresi, menurunnya kepuasan kerja dan pada akhirnya akan mempengaruhi kontinuitas karir (Brooks, 1994). Akan tetapi, guru yang resilien akan mampu menghadapi berbagai situasi yang buruk dengan efektif, dan hal ini merupakan kunci penting bagi kesuksesan dalam ruang kelas dan komitmen guru terhadap profesinya (Gordon & Coscarelli, 1996).

Resiliensi dilihat sebagai sebuah kekuatan yang penting bagi guru untuk menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan tekanan. Hal inilah yang kemudian membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai resiliensi pada guru di pesisir.

(27)

11

Bu Mawar merupakan seorang wanita yang bertempat tinggal di kota Medan. Beliau mengikuti ujian masuk PNS dan lulus pada tahun 1993. Bu Mawar mendapatkan SK untuk mengajar di Paluh Merbau pada tahun 1996. Pada awalnya, Bu Mawar merasa terkejut ketika mengetahui bahwa ia harus mengajar di tempat yang jauh, yang bahkan namanya saja belum pernah ia dengar. Bagi Bu Mawar yang selama ini hidup di kota Medan, ditempatkan mengajar di sebuah dusun pesisiri yang jauh dari kota sangat mengejutkan. Bu Mawar kaget dan tidak menyangka karena dia berpikir bahwa ia akan ditempatkan di lokasi yang tidak begitu jauh. Bu Mawar kaget ditempatkan di lokasi yang jauh yang bahkan belum pernah ia dengar namanya. Hal ini diungkapkan dalam wawancara berikut

“... waktu tahu kaget setengah mati lah. Mau gak mau Ibu. Lama Ibu datang ke situ. Lama juga Ibu dating, udah sebulan penempatan baru Ibu masuk, baru Ibu datang.”

(R1/W1/B26-28)

“... tempatnya itu terpencil, belum ada jembatan harus naik sampan.” (R1/W1/B21-22)

Bu Mawar takut tidak bisa bertahan dengan kondisi geografis dan situasi Paluh Merbau yang jauh berbeda dengan kota yang selama ini ia tinggali. Selain itu, sulitnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai sekolah juga menjadi penyebab Bu Mawar tidak tahan dan merasa kesusahan.

“Sebetulnya lulus itu senang ya, cuma mikir apa ditempat itu nanti bisa, gitu kan. Kendalanya itu jalan. Disitu waktu masa itu RBT masuk ke dalam jalannya masih licin itu.”

(28)

12

Kondisi ekonomi masyarakat Paluh Merbau yang miskin dan juga tidak berpendidikan menambah kesusahan dan kesedihan Bu Mawar. Rendahnya tingkat ekonomi menyebabkan proses pendidikan sulit berjalan.

“...masyarakatnya kan masih gak ada yang sekolah disana. Jarang pendidikan lah gitu. Anak-anaknya itu ckck, kayak manalah kita mau memajukan disana tapi minta dananya itu susah. Takutlah kita itu kan, orang itu kan ntah ada pelajaran bawa karton. Pokoknya soal kutip mengutip itu susah lah kalo disana.”

(R1/W1/B107-111)

Dengan segala kesusahan yang dialaminya, Bu Mawar berusaha untuk tetap bertahan mengajar. Beliau berusaha menggunakan kemampuan sendiri untuk bertahan. Kesulitan yang dihadapi oleh responden saat mengetahui harus mengajar di pesisir menuntutnya untuk mengembangkan kemampuan resiliensi. Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari tujuh dimensi yang membentuk resiliensi, yakni emotion regulation, impulse control, causal analysis, optimism, empathy, self efficacy, dan reaching out. Kesulitan yang dihadapi oleh responden saat mengetahui harus mengajar di pesisir menuntutnya untuk mengembangkan kemampuan resiliensi. Kemampuan resiliensi seseorang dapat dilihat dari tujuh dimensi yang membentuk resiliensi, yakni emotion regulation, impulse control, causal analysis, optimism, empathy, self efficacy, dan reaching out (Reivich dan Shatte, 2002).

(29)

13

Keputusan yang sudah menetapkan beliau untuk mengajar di Paluh Merbau. Bahkan beliau merupakan salah satu guru dari luar Paluh Merbau yang berhasil bertahan mengajar hingga saat ini.

“... Semua kami dari Medan. Semua pindah, tinggal kami tiga yang bertahan, yang jauh. Terus Ibu zahara mutuskan pindah kesitu karena waktu itu anaknya masih kecil. masih bisa dibawa. masih kecil lah anaknya. Di sekolah kami semua itu anaknya. Sampe sekarang anaknya udah kuliah, kami masih bertahan sama Ibu Ar itu.”

(R1/W1/B81-85)

Sejak mengetahui bahwa kondisi ekonomi dan geografis Paluh Merbau begitu jauh dibandingkan kota yang selama ini ia tinggali, Bu Mawar selalu merasakan keinginan untuk pindah kerja. Akan tetapi, SK dari dinas pendidikan yang memuat perjanjian kerja memaksanya untuk tetap berada di Paluh Merbau.

“ada keinginan mau pindah, tapi kan perjanjian dulu tugas kami 5 tahun.” (R1/W1/B54)

Rasa malas mengajar Bu Mawar kadang muncul, terutama jika ada masalah-masalah sehubungan dengan murid. Bu Mawar mengungkapkan bahwa orangtua sering salah paham dengannya. Mereka menganggap bahwa Bu Mawar tidak datang mengajar dikarenakan malas. Tuduhan-tuduhan seperti itu menjadi beban bagi Bu Mawar yang mendorongnya untuk berhenti mengajar. Akan tetapi, keinginan itu bisa dikendalikan karena nasehat dari suami.

(30)

14

optimisme terhadap pendidikannya tidak luntur. Selain itu, sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) ada bantuan-bantuan yang diperoleh dari pemerintah.

Bekerja di Paluh Merbau mengajarkan banyak hal pada Bu Mawar. Terutama masalah bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki. Memahami penderitaan dan kekurangan oranglain merupakan pelajaran yang ia dapat di Paluh Merbau. Kehidupan masyarakat yang miskin di Paluh Merbau seringkali menimbulkan rasa sedih dalam diri Bu Mawar.

Berdasarkan tujuh dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Schatte (2002) dapat disimpulkan bahwa Bu Mawar memiliki kemampuan resiliensi yang kurang baik. Hal ini ditunjukkan oleh kepercayaan akan kemampuan diri sendiri yang kurang baik serta Bu Mawar membutuhkan dukungan dari keluarga dan teman-temannya untuk dapat bertahan mengajar di pesisir.

(31)

15

Bu Anggrek merasa bahagia ketika akhirnya ia dipindahkan ke Paluh Merbau. Bahkan keluarganya pun ikut senang dikarenakan lokasi sekolah tidak begitu jauh dari rumah jika dibandingkan dengan di Rampah. Akan tetapi, teman-temannya mengganggap Bu Anggrek bodoh karena mau dipindahkan ke lokasi yang terpencil serta miskin.

“yaa, merasa senang juga sih karena bisa pulang hari. Sedang di Rampah kan harus nginap disana. Tapi kawan-kawan bilang, kau bodoh kali, kok sekali pindah di tempat jin buang anak. Tapi memang niat saya disitu. Pada awalnya kan niat saya kalaupun pindah ya disitu.”

(R2/W1/B156-159)

Setelah beberapa tahun tidak melihat kondisi Paluh Merbau, Bu Anggrek terkejut saat melihatnya lagi untuk mengajar. Kondisi jalan Paluh Merbau yang buruk dirasa memberatkan. Selain itu, kondisi Paluh Merbau yang miskin dan terpencil, serta masyarakatnya yang tidak begitu peduli pada pendidikan terkadang menyebabkan anak-anak menjadi tidak sopan kepada gurunya dan sulit untuk diatur. Bu Anggrek merasa ada saat tertentu dia merasa ingin marah dan mengamuk kepada para siswanya, tetapi beliau mampu mengendalikan emosi tersebut dan menemukan cara untuk mengatasi perilaku anak didiknya yang nakal. “kalau mengajari sih gak sulit, cuman kadang kita karena anak sekarng ini sudah gak ada apa yaa, kayak kehilangan karakter, gak ada takutnya, gak ada segannya. Eehhh, itu terlihat waktu mereka itu belajar, kalau disuruh merendahkan suara itu malah makin kuat, jadi kelas itu bising. Jadi kalau kita gak pintar bawakan nada, maunya kita ngamuk aja. Tapi karena kita kadang nada kita, terus kita bilang dengan suara rendah, mereka terus pelan. Memang tentang suara itu lah. Nanti kalo ngerjakan kelompok, hoo saling otot-ototan suara tinggi. Kesulitannya itu, untuk menentramkan mereka. Supaya gak ada guru itu tenang.”

(32)

16

Meskipun awalnya merasa terkejut dan terbebani dengan kondisi Paluh Merbau yang buruk, seiring berjalannya waktu, Bu Anggrek berhasil mengatasi keterkejutannya dengan kondisi Paluh Merbau melalui rasa syukur dan niat untuk mengabdi disana. Walau terkadang Bu Anggrek harus melewati kondisi jalan yang becek dan sulit dilalui karena hujan.

“yaa karena saya sudah senang tadi, saya jalanin saja. Kadang kalau hujan lebat itu, kan lengket, roda gak bisa berputar, macet. Kadang ada kenalan saya, nanti ditanya kenapa sepedanya? "Gak bisa jalan ini." " Ya udah sini aja, tak gotong." Jadi digotong sampe tempat yang baru bisa dijalanin. Kadang ada juga sampe setengah kilo itu. Digotong dia, baru saya cungkil-cungkil lumpurnya itu.”

(R2/W1/B283-287)

Tanggungjawab Bu Anggrek sebagai guru tidak hanya kepada para siswanya, tetapi juga pada masalah administrasi. Setiap guru memiliki tugas administrasi seperti mengurus absensi siswa dan menulis perkembangan para siswa. Bu Anggrek tidak menyukai tugas ini bahkan beliau merasa marah dan tidak suka saat diminta untuk mengerjakan tugas administrasi. Akan tetapi, Bu Anggrek mampu mengatasi emosi-emosi tersebut dengan berzikir untuk menenangkan pikiran.

“yaa ada. Saya itu kan matanya udah gak gitu bagus. Jadi kalo disuruh nulis-nulis, tugas administrasi itu saya malas, jadi kesal, palak gitu. Kadang jadi marah saya. Jadi kalo ada tugas itu, saya kerjakan kalo udah mau dekat-dekat waktu kumpulnya, hehe.”

(R2/W3/B100-102)

“yaa saya kalo udah ngerasa gitu, saya zikir aja lah. Tengah malam, waktu pikiran udah tenang, disitulah saya kerjakan zikirnya dan tugas itu.”

(33)

17

Organisasi kejiwaan yang diikuti oleh Bu Anggrek juga membantunya untuk mengendalikan emosi. Organisasi ini mengajarkan untuk sabar dan rela. Menurut Bu Anggrek, ajaran-ajaran kejiwaan yang ia dapatlah yang banyak memberikan bantuan kepadanya untuk tetap tegar menjalankan tugasnya sebagai guru.

Selain masalah kondisi jalan dan aksesibilas sekolah yang buruk, Bu Anggrek juga harus menghadapi kenakalan-kenakalan siswanya. Ketika menghadapi masalah, Bu Anggrek biasa melakukan analisa untuk memahami alasan seorang anak melakukan kenakalan. Bu Anggrek berpendapat dengan menganalisa penyebab seorang anak bermasalah, beliau akan dapat menemukan solusi yang tepat.

Menjadi guru merupakan sebuah impian bagi Bu Anggrek. Beliau bertekad untuk mendidik siswanya dengan baik agar kelak penerus bangsa Indonesia tidak bodoh. Selain itu, Bu Anggrek punya impian bahwa anak-anak didiknya akan meneruskan ilmu yang ia ajarkan. Impian dan harapan ini yang membuat Bu Anggrek optimis mengajar.

Bu Anggrek dikenal sebagai individu yang taat pada agama dan seringkali menjadi tempat meminta nasehat dari teman-teman maupun saudaranya. Bu Anggrek mengatakan bahwa dirinya dikenal sebagai orang yang baik, peduli, penggembira dan menyenangkan. Sejak dulu, Bu Anggrek sering memperhatikan keadaan orang sekitar dan tak jarang Bu Anggrek ikut merasakan kesedihan oranglain yang menceritakan permasalahannya kepada Bu Anggrek.

(34)

18

masalah dengan berserah pada Tuhan. Ajaran kejiwaan yang didalami Bu Anggrek juga menjadi pedomannya dalam menghadapi masalah. Kepercayaannya kepada kekuatan Allah memberikan rasa percaya diri kepada Bu Anggrek. Bu Anggrek percaya bahwa ia mampu menyelesaikan masalah dengan kemampuannya sendiri tanpa pertolongan oranglain karena ada kekuatan Allah yang mendukungnya.

Mengajar di Paluh Merbau yang jauh merupakan tantangan bagi Bu Anggrek. Bu Anggrek tidak menyerah dengan kondisi sekolah yang miskin dan jalan menuju sekolah yang buruk. Beliau menggunakan kesempatan mengajar untuk mengetahui seluk beluk Paluh Merbau.

Dari hasil gambaran resiliensi Bu Anggrek dan didasarkan pada dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Schatte (2002), dapat disimpulkan bahwa Bu Anggrek memiliki kemampuan resiliensi yang baik, atau dengan kata lain, Bu Anggrek adalah guru yang resilien.

(35)

19

keduanya, sehingga dapat menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti melakukan riset awal dengan menggunaan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh guru yang mengajar di pesisir? 2. Bagaimana resiliensi yang dimiliki oleh guru yang mengajar di pesisir?

Kedua pertanyaan tersebut telah terjawab pada bagian latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas. Jawaban yang peneliti peroleh dari riset awal mengarahkan peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan dengan rumusan permasalahan, yakni: faktor-faktor apa yang menyebabkan guru yang mengajar di pesisir dapat resilien atau tidak?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai resiliensi guru Sekolah Dasar yang mengajar di pesisir.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

(36)

20

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis antara lain:

1. Menggambarkan bagi pembaca mengenai tekanan yang dihadapi oleh guru yang mengajar di pesisir.

2. Membantu memberikan pemahamanmengenai penyebab seorang guru mampu resilien dan/atau tidak mampu resilien.

3. Memberikan sumbangan informasi sehingga kedepannya, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mempersiapkan guru (tenaga pengajar) yang akan ditempatkan di lokasi yang terpencil.

4. Memberikan informasi kepada Dinas Pendidikan 5. Memberikan informasi kepada guru.

6. Dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

(37)

21

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai resiliensi termasuk di dalamnya definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian. Bab IV Deskripsi Data dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan riwayat masing-masing responden, analisa data hasil wawancara dan pembahasan terhadap data-data yang telah diperoleh.

Bab V Kesimpulan dan Saran

(38)

22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. RESILIENSI

1. Definisi Resiliensi

Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).

Menurut Patterson dan Kelleher (2005), resiliesi adalah sebuah konstruksi dasar yang memberikan kekuatan untuk menolong school leader bangkit dan berkembang dari kesulitan-kesulitan. School leader bukan hanya dimaksudkan pada pemimpin atau kepala sekolah namun juga guru dan semua elemen pendidik dalam suatu sekolah.

Grotberg (2003) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.

Reivich. K dan Shatte. A (2002) dalam bukunya “the resiliency factor

(39)

23

beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya. Bertahan dalam keadaan tertekan sekali pun, atau bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) maupun trauma yang dialami sepanjang kehidupannya. Resiliensi bukanlahlah suatu trait, akan tetapi bersifat kontinum, sehingga tiap individu dapat meningkatkan resiliensinya (Reivich & Shatte, 2002).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.

2. Fungsi Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) ada empat kegunaan dasar resiliensi yaitu:

a. Mengatasi (Overcoming)

Individu membutuhkan resiliensi agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dialami, seperti kemiskinan, perceraian, atau bahkan siksaan secara emosional dan fisik pada masa kanak-kanak. Resiliensi juga dapat digunakan saat terjadi hal yang buruk di masa remaja sehingga mampu menciptakan masa dewasa yang lebih baik.

b. Melalui (Steering Through)

(40)

24

keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk menghadapi lingkungan dan mengatasi masalah secara efektf.

c. Bangkit Kembali (Bouncing Back)

Kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian orang yang disayangi dapat memberikan kondisi yang buruk pada individu. Individu yang resilien akan mampu bangkit kembali (bouncing back) dan menemukan cara untuk mengatasi kondisi kritis yang dialaminya. Resiliensi dapat meningkatkan ketahanan seseorang terhadap stres, sehingga peluang terjadinya PTSD (Post Traumatic Stress Disorderi) menjadi lebih kecil.

d. Pencapaian (Reaching Out)

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Resiliensi membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan baru dalam hidup. Individu yang resilien dapat mengembangkan kemampuannya karena lebih terbuka terhadap pengalaman dan tantangan baru. Selain itu, individu yang resilien dapat melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

3. Dimensi Resiliensi

(41)

25

membangun resiliensi, yaitu aspek regulasi emosi, impulse control, optimisme, analisis kausal, empati, self-efficacy, dan reaching out.

a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan baik yang dapat membantu mereka untuk mengontrol emosi, perhatian, dan perilaku mereka. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk kedekatan, sukses di pekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik seseorang.

Individu yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat.

Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi.

(42)

26

individu ketika muncul banyaknya hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.

i) Calming (tenang)

Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun begitu, seorang individu tidak akan mampu menghindar dari keseluruhan stres yang dialami, diperlukan cara untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres menghadang.

Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan stres dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stres yang dialami.

ii)Focusing (fokus)

(43)

27

b. Pengendalian Impuls (Impulse Control)

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif.

Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran impulfisnya yang pertama mengenai situasi dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsifitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada.

Regulasi emosi dan kontrol impuls merupakan dua hal yang berhubungan. Jika kontrol impuls individu tinggi maka kecenderungan regulasi emosi juga tinggi. Sedangkan jika kontrol impuls individu rendah maka individu akan berperilaku menggunakan dorongan atau impuls yang pertama kali muncul dalam pikiran. Misalnya saat orang marah yang pertama kali diinginkan adalah berteriak maka individu akan melakukan hal tersebut.

c. Optimisme (Optimism)

(44)

28

kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa mereka lah pemegang kendali atas arah hidup mereka.

Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich & Shatte (2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi.

Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan Self-Efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada seseorang akan mendorong individu untuk mampu menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

d. Analisis Kausal (Causal Analysis)

(45)

29

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan mereka. Gaya berpikir ini erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir ”saya-selalu-semua” merefleksikan

keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir ”bukan saya-tidak selalu-tidak semua” meyakini bahwa

permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada ”selalu-semua”

tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi dan mengubah situasi. Mereka akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir ”tidak selalu-tidak semua” dapat

(46)

30

Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empati (Empathy)

(47)

31

(Reivich & Shatte, 2002).

Dengan kemampuan individu dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.

f. Self –Efficacy

Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self-efficacy mereka akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai untuk mencapai resiliensi.

g. Pencapaian (Reaching Out)

(48)

32

cerita dan perasaan, untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik personal maupun interpersonal atau membicarakan konflik dalam keluarga (Reivich & Shatte, 2002).

Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.

4. Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

(49)

33

a. Faktor Risiko

Schoon (2006) mengungkapkan bahwa faktor risiko merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Konsep risikodalam penelitian resiliensi untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti: anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah, tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, dan pengalaman trauma. Faktor risiko ini dapat berasal dari faktor genetik seperti penyakit sejak lahir, faktor psikologis, lingkungan dan sosioekonomi yang mempengaruhi kemungkinan terdapatnya kerentanan terhadap stres. Faktor-faktor ini mempengaruhi individu baik secara afektif maupun kognitif.

Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko. Hubungan antar beberapa variabel risiko yang berbeda akan membentuk suatu rantai risiko (Smokowski, 1998).

b. Faktor Protektif

(50)

34

2006).

Schoon (2006) menyatakan ada tiga faktor yang termasuk dalam faktor protektif yaitu atribut-atribut individual, karakteristik dari keluarga,dan aspek-aspek konteks sosial yang lebih luas. Selanjutnya ketiga faktor ini akan dijelaskan sebagi berikut:

i) Atribut-atribut individual

Atribut-atribut individual yang menunjukkan faktor protektif individu seperti menampilkan performa yang baik saat tes akademik di sekolah, lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku, memiliki banyak hobi, , menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuan diri sendiri, menunjukkan perencanaan yang baik dengan rekan kerja dan pilihan berkarir, dan memiliki pandangan yang positif terhadapkehidupan.

ii) Karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga diasosiasikan dengan penyesuaian positif selama masa kanak-kanak dan remaja, termasuk lingkungan keluarga yang stabil dan mendukung.Hal ini dikarakteristikan dengan orang tua yang mampu memahami anak, aktif dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan dan perencanaan karir anak, mengajak anak untuk memiliki aktivitas yang beragam. Faktor lain yang penting ialah ayah yang membantu ibu dalam hal pekerjaan rumah.

iii)Aspek kontek sosial yang lebih luas

(51)

35

yang memberikan dukungan sepertiguru yang mampu menyadari kemampuan murid serta mendorong dan mendukung perjuangan pendidikan dan pekerjaan murid. Lingkungan sekolah juga berperan penting dalam membantu perkembangan adaptif. Selain itu, dorongan komunitas yang positif seperti dukungan tetangga dan rasa saling memiliki dalam komunitas.

5. Fase Resiliensi

Patterson dan Kelleher (2005) menyebutkan adanya empat fase resiliensi yang mungkin terjadi pada individu saat kesulitan datang dalam kehidupannya: a. Deteriorating

Merupakan fase saat kesulitan muncul. Pada umumnya individu akan mengalami suatu kondisi terburuk (deterior) yang juga merupakan fase awal dari resiliensi. Pada fase ini, individu akan merasakan kemarahan, rasa berasalah sepanjang waktu School leader yang terperangkap pada fase ini dalam jangka waktu yang lama tidak akan mampu melanjutkan fungsinya sebagai seorang profesional.

b. Adapting

Fase ini merupakan fase transisi dimana individu mulai terbiasa dengan situasi sulit yang mereka hadapi.

c. Recovering

(52)

36

Fase ini merupakan fase terakhir dimana individu tumbuh menjadi lebih kuat melalui pelajaran dan pengalaman yang diambil saat kesulitan menghadang. Dengan adanya kesulitan yang muncul, individu belajar bagaimana menghadapi dan mengatasi masalah tersebut.

6. Tahap Pembentukan Resiliensi

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu. Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2003) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry.

a. Rasa Percaya/Trust (usia 0-1 tahun)

Rasa percaya merupakan tahapan perkembangan pertama pembangun resiliensi. Rasa percaya ini berhubungan dengan pengaruh lingkungan dalam mengembangkan rasa percaya remaja. Perkembangan trust sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengan individu, terutama orang tua.

b. Kemandirian/Autonomy (usia 1-4 tahun)

(53)

37

kekuatan-kekuatan tertentu pada diri individu. Kekuatan tersebut akan menentukan tindakan seseorang ketika menghadapi masalah.

c. Inisiatif/Initiative (usia 4-5 tahun)

Inisiatif merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berperan dalam menumbuhkan minat seseorang terhadap hal yang baru. Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi individu untuk mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif, individu menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam aktivitas, dimana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada. d. Industri/Industry (usia 6-12 tahun)

Industri merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan-keterampilan tersebut, individu akan mampu mencapai prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan seseorang di lingkungannya.

e. Identitas/Identity (usia remaja)

(54)

38

B. GURU

1. Definisi Guru

Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru (Mulyasa, 2007).

Selain siswa, faktor penting dalam proses belajar mengajar adalah guru. Guru sangat berperan penting dalam menciptakan kelas yang komunikatif. Menurut Breen dan Candlin (dalam Mulyasa, 2007) mengatakan bahwa peranguru adalah sebagai fasilitator dalam proses yang komunikatif, bertindak sebagai partisipan, dan yang ketiga bertindak sebagai pengamat.

Djamarah (2002) mengungkapkan, guru adalah unsur manusiawi dalampendidikan. Guru merupakan figur manusia sebagai sumber yang menempatiposisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Ketika semua orangmempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agendapembicaraan, terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah.Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.

(55)

39

secara khusus memperolehkompetensi sebagai guru, yaitu meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian,serta pengalaman dalam bidang pendidikan (Wibowo, 2004).

Maka dapat disimpulkan bahwa guru adalah suatu profesi dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi individu lain yang dinamakan sebagai anak didik.

2. Persyaratan Guru

Daradjat (1985, dalam Djamarah, 2002) mengungkapkan bahwa menjadi guru harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni:

a. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

Guru merupakan teladan bagi anak didiknya, sejauhmana seorang gurumampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itupulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasipenerus bangsa yang baik dan mulia.

b. Berilmu

Guru harus mempunya ijazah yang menjadi syarat mengajar. c. Sehat Jasmani dan Rohani

d. Berkelakuan Baik

(56)

40

3. Kompetensi Guru

Djiwandono (2002) mengungkapkan bahwa guru yang terlatih baik, akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru yang efektif dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Empat bidang kompetensi tersebut yakni:

a. Memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia;

b. Menunjukkan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain secara tulus;

c. Menguasai mata pelajaran yang diajarkan;

d. Mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa belajar.

4. Peranan Guru

Djiwandono (2002) mengungkapkan ada beberapa peran dari seorang guru, yakni:

a. Guru sebagai ahli instruksional

Guru harus tetap membuat keputusan mengenai materi pelajaran dan metode mengajarnya. Keputusan yang dibuat oleh guru ini didasarkan pada sejumlah faktor yang meliputi mata pelajaran yang akan disampaikan, kebutuhan dan kemampuan siswa, serta seluruh tujuan yang akan dicapai.

b. Guru sebagai motivator

(57)

41

c. Guru sebagai manajer

Guru sebagai pengelola kelas, meliputi melengkapi formulir-formulir, mempersiapkan tes, menetapkan nilai, bertemu dengan guru-guru lain dalam rapat, bertemu dengan orangtua siswa, dan sebagainya. Guru harus terampil mengatur waktu untuk mengelola sekolah.

d. Guru sebagai konselor

Guru harus sensitif dalam mengobservasi tingkah laku siswa. Mereka harus mencoba merespon secara konstruktif ketika emosi atau perilaku siswa mengganggu pelajaran. Guru juga harus tahu jika siswa membutuhkan bantuan ahli jiwa.

e. Guru sebagai model

Guru merupakan model bagi siswa. Guru secara tetap menjadi model dalam menunjukkan bagaimana berpikir dan bertindak dalam menyelesaikan masalah.

C. WILAYAH PESISIR

1. Definisi Wilayah Pesisir

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 (dalam Sunyowati, 2009) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4.2 Gambaran Resiliensi Guru di Pesisir pada Responden I
Tabel 4.3 Gambaran Resiliensi Guru di Pesisir pada Responden II
Tabel 4.4 Analisa Dimensi dan Faktor Resiliensi Guru di Pesisir pada Kedua

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Manfaat Teoritis ... Manfaat Praktis ... Sistematika Penulisan

DAFTAR GAMBAR ... Latar Belakang ... Indentifikasi Masalah ... Pembatasan Masalah ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penulisan ... Manfaat Penulisan ... Metode Penulisan

Bab I : Bab pendahuluan yang pembahasannya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, hipotesis penelitian

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Masalah… ... Rumusan Masalah ... Manfaat Penelitian ... Sistematika Penulisan ... Pengertian Emosi ... Pengertian Emosi Negatif

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang ... Identifikasi Masalah&Rumusan Masalah... Batasan Masalah ... Sistematika Penulisan ... Hakikat Pendidikan Jasmani... Tujuan

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Penelitian ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Sistematika Penulisan ... Pariwisata, wisata, wisatawan

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Batasan dan Asumsi Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Sistematika Penulisan Tugas Akhir ...

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Masalah…... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian …... Manfaat Penelitian ... Sistematika Penulisan ... Emosi Negatif ... Pengertian Emosi