DALAM BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
SISWA-SISWI KELAS IV SD KANISIUS WIROBRAJAN YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Deslita Anzelina Br Tarigan NIM: 091124027
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan dengan hati yang tulus dan bahagia Kepada:
Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu memberi semangat, pendampingan
dan sahabatku yang setia dalam penulisan skripsi ini.
Bapakku (K Tarigan), Mamakku (T Br Bangun),
Yang telah memberikan dukungan moral, spritual dan finansial
Abangku (P Tarigan), Adikku (D Br Tarigan dan P Br Tarigan), Edaku (S Br
Bangun), Keponakanku, Sahabatku dan Seluruh Keluargaku
telah memberi dukungan semangat untukku
serta
v
MOTTO
Non Scholae, sed Vitae Dicimus
(Belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup)
“Hendaklah kamu murah hati, sama seperti BapaMu
adalah murah hati”.
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “DESKRIPSI PENDAMPINGAN ORANG TUA
DALAM BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SISWA-SISWI KELAS IV SD KANISIUS WIROBRAJAN YOGYAKARTA”. Penulis memilih judul ini dilatarbelakangi dari kesan adanya orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah tanpa mau terlibat dalam mendampingi anak dalam belajar Pendidikan Agama Katolik. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendampingan orang tua dalam belajar Pendidikan Agama Katolik siswa-siswi kelas IV SD Kanisius Wirobrajan Yogyakarta dan mengetahui faktor apa saja yang orang tua mendukung dan kurang mendukung dalam belajar Pendidikan Agama Katolik.
Pendampingan adalah usaha untuk membantu dan menolong seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya secara jelas memiliki tujuan untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan, informasi, kecakapan perbuatan, perilaku hidup, sehingga dapat membangun kebersamaan dengan orang lain dan dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat, bangsa dan dunia. Belajar PAK ialah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mengembangkan imannya secara terencana dan berkesinambungan. Pendampingan orang tua dalam PAK berarti membantu anak mengembangkan imannya dalam sikap dan tingkah laku kehidupan sehari-hari anak.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, mau menggambarkan permasalahan yang ada yakni pendampingan orang tua dalam belajar PAK siswa-siswi kelas IV SD Kanisius Wirobrajan Yogyakarta. Penelitian ini bersifat populatif artinya seluruh anggota populasi menjadi responden. Instrumen yang digunakan ialah kuisoner, wawancara dan studi dokumen. Dari hasil uji validitas taraf signifikansi 5 % seluruh soal valid sebanyak 35 item. Sedangkan dari hasil uji reliabilitas diperoleh koefisien 0,901, yang berarti reliabilitas instrumen tinggi.
ix
ABSTRACT
This thesis is entitled "DESCRIPTION OF PARENTAL ASSISTANCE IN LEARNING CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION (CRE) THE STUDENTS GRADE IV, KANISIUS ELEMENTARY SCHOOL, WIROBRAJAN, YOGYAKARTA". The researcher has chosen this title with the background of an impression that the students’ parents seem do not get involved in assisting their children as they study the CRE and give that responsibility away only to the school. Therefore, this paper aims to find out how to assist parents to accompany their children in learning the CRE in the fourth grade, at the Kanisius, Wirobrajan, Yogyakarta and also to find out some factors that may influence parental support and the lack of it in learningthe CRE.
Mentoring is an attempt to assist and help a person to develop. It clearly has a goal to help a person gain some knowledge, information, skills, attitudes, and so on, and that will help the person to live mutually with others and therefore can adapt more easily to the society, nation and world. Learning CRE is a mental activity that takes place in an active interaction with the environment, which results in changes in knowledge, attitudes and skills to develop faith which is done in an integrated and sustainable plan. Assisting parents in helping children to develop their faith as they are learning the CRE means that they can actually live out that faith in daily practices and life through their attitudes and behaviors. This research is a quantitative descriptive research, that would like to describe the existing problems in assisting parents as they struggle to assist their children while they are learning the CRE in grade IV, at Kanisius Elementary School,Wirobrajan, Yogyakarta. This study is a populative study that means all members of the population were the respondents. The instruments that were used were questionnaires, interviews and document research. Validity of the test results has the significant of 5 % the questioners are valid for 35 items. While the reliability of the test results in 0.901, which means that there is a high reliability of the instrument.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa,
karena kasih dan karunia yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul DESKRIPSI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SISWA-SISWI KELAS IV SD KANISIUS WIROBRAJAN YOGYAKARTA.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan serta dorongan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Rm. Drs. FX. Heryatno W.W., S.J., M.Ed., selaku Kaprodi IPPAK Universitas
Sanata Dharma yang memberikan dukungan dalam seluruh proses
penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak FX. Dapiyanta, SFK, M.Pd., selaku dosen pembimbing utama yang
selalu mendampingi, membimbing dan memotivasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J., selaku dosen penguji II yang telah berkenan
mendampingi, memberikan semangat, memeriksa dan menguji skripsi ini.
4. Bapak Drs.L.Bambang Hendarto,Y. M.Hum., selaku dosen penguji III yang
telah berkenan mendampingi dan menguji skripsi ini.
5. Segenap staf dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK Universitas
Sanata Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan dorongan
kepada penulis.
6. Keluarga tercinta: Bapak, Mamak, Abang, ke dua adikku, keponakanku dan
seluruh keluarga besarku yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan
xii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO. ... v
PERNYATAAN KEASLIANKARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
2. Tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak usia SD ... 16
B. Pendampingan Anak ... 19
xiii
C. Belajar PAK oleh siswa-siswi Kelas IV SD Kanisius Wirobrajan ... 28
1. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar... 29
1) Konsili Vatikan “Deklarasi tentang Pendidikan Kristen” ... 37
a) Pendidikan Hak Semua Orang ... 37
b) Tujuan Pendidikan ... 37
2) Kurikulum Berbasis Kompetensi PAK SD ... 38
a) Hakikat atau pengertian PAK ... 38
c. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendukung Belajar PAK Siswa-siswi Kelas IV SD Kanisius Wirobrajan ... 45
1) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar PAK ... 45
xiv
2) Faktor Pendukung Belajar PAK ... 46
a) Suasana keluarga harus mendorong untuk belajar di rumah... 47
b) Sarana pendukung belajar anak ... 47
D. Peran Pendampingan Orang tua terhadap Belajar PAK siswa-siswi Kelas IV SD Kanisus Wirobrajan ... 48
1. Orang Tua Menjadi Teladan ... 48
2. Orang Tua sebagai Fasilitator ... 49
3. Orang Tua Mengikuti Perkembangan Anak ... 49
4. Orang Tua Menjadi Saksi Iman ... 50
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 52
A. Jenis Penelitian ... 52
3. Definisi Operasional Variabel ... 54
4. Teknik Pengumpulan Data ... 54
5. Instrumen Penelitian ... 54
a. Kisi-Kisi Instrumen ... 56
b. Pengembangan Instrumen ... 57
a) Uji Coba Terpakai ... 57
b) Uji Validitas Instrumen ... 58
c) Uji Reliabilitas Instrumen ... 59
E. Teknik Analisis Data ... 61
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64
A. Hasil Penelitian ... 64
1. Deskripsi Data Pendampingan Orang tua ... 64
a. Deskripsi Aspek Menemani ... 66
b. Deskripsi Aspek Fasilitas ... 68
xv
e. Deskripsi Aspek Teladan ... 73
2. Hasil Wawancara dengan Orang Tua ... 76
3. Rangkuman Keseluruhan Hasil Wawancara ... 82
1. Aspek Menemani... 82
3. Katekese sebagai Pendidikan Iman ... 102
4. Proses Perkembangan Iman dalam Katekese ... 103
5. Fasilitator Katekese ... 104
6. Aspek Kateketis Pendampingan Orang Tua dalam belajar PAK Siswa-siswi Kelas IV SD Kanisius Wirobrajan ... 107
D. Keterbatasan Penelitian ... 110
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 112
A. Kesimpulan ... 112
B. Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 117
DAFTAR LAMPIRAN ... 119
Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)
Lampiran 2: Surat Permohonan Izin Penelitian Kepada Orang tua ... (2)
Lampiran 3: Lembar Kuesioner Penelitian ... (3)
Lampiran 4: Hasil Analisis Validitas ... (10)
Lampiran 5: Hasil Reliabilitas ... (11)
xvi
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan dalam
Alkitab Deuterokanonika, Lembaga Biblika Indosesia, 2008.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
GE : Gravissium Educations, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen pada tanggal 28 Oktober 1965.
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini pada tanggal 16 Oktober 1979.
FC : Familiaris Consortio, Amanat Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern pada tanggal 16 November 1993.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983.
C. Singkatan Lain
Art : Artikel
Ay : Ayat
Bdk : Bandingkan
Dkk : Dan kawan-kawan
Gbr : Gambar
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
xvii KS : Kitab Suci
No : Nomor
PR : Pekerjaan Rumah
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
PAK : Pendidikan Agama Katolik
PPL : Program Pengalaman Lapangan
Th : Tahun
TV : Televisi
xviii
Halaman Tabel 1 : Skor Alternatif Jawaban Variabel Pengaruh
Pendampingan Orang tua dalam Belajar PAK 55
Tabel 2 : Kisi-kisi Instrumen Kuosioner 56
Tabel 3 : Kisi-kisi Instrumen Wawancara 56
Tabel 4 : Panduan Studi Dokumen 57
Tabel 5 : Rumus Manual Korelasi Product Moment 59
Tabel 6 : Rumus Manual Reliabilitas 60
Tabel 7 : Reability Statistics 60
Tabel 8 : Rumus Penentuan Kriteria 63
Tabel 9 : Kriteria Interval 63
Tabel 10 : Rangkuman Statistik Deskripsi Nilai Keseluruhan
Pendampingan Orang tua 64
Tabel 11 : Kriteria Data Keseluruhan Pendampingan Orang tua 65
Tabel 12 : Rangkuman Statistik Aspek Menemani 66
Tabel 13 : Kriteria Aspek Menemani 67
Tabel 14 : Rangkuman Statistik Aspek Fasilitas 68
Tabel 15 : Kriteria Aspek Fasilitas 69
Tabel 16 : Rangkuman Statistik Aspek Informasi 70
Tabel 17 : Kriteria Aspek Informasi 70
Tabel 18 : Rangkuman Statistik Aspek Peringatan 72
Tabel 19 : Kriteria Aspek Peringatan 72
Tabel 20 : Rangkuman Statistik Aspek Teladan 74
xix
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1 : Frekuensi Keseluruhan Pendampingan Orang tua 65
Grafik 2 : Frekuensi Aspek Menemani 67
Grafik 3 : Frekuensi Aspek Fasilitas 69
Grafik 4 : Frekuensi Aspek Informasi 71
Grafik 5 : Frekuensi Aspek Peringatan 73
xx
Halaman
Gambar 1 : Foto Keluarga 84
Gambar 2 : Buku Pendukung Untuk Belajar PAK 84
Gambar 3 : Buku Nyanyian/Madah Bakti 85
Gambar 4 : Majalah Jamrud PAK 86
Gambar 5 : Kitab Suci 86
Gambar 6 : Buku Catatan PAK 86
Gambar 7 : Buku Latihan PAK 87
Gambar 8 : Ruang Belajar Anak 87
Gambar 9 : Jadwal Belajar Anak 88
Gambar 10 : Ruang Doa 88
Gambar 11 : Kreativitas Anak Dalam Menggembangkan
Imannya Dalam Sekolah Minggu 89
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari pasti
mempunyai hubungan dengan peristiwa yang lain, bahwa dapat dikatakan
perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung ada campur tangan
dari orang lain. Tanpa adanya suatu kemauan, manusia tidak dapat melakukan
suatu perbuatan. Perbuatan manusia akan menimbulkan akibat yang berbeda-beda
sesuai dengan pengaruhnya. Lingkungan keluarga atau orang tua berpengaruh
pada pertumbuhan jasmani dan rohani anak. Pendidikan di sekolah merupakan
lanjutan dan bantuan terhadap pendidikan di rumah. Orang tua tetap bertanggung
jawab atas anak-anaknya. Anak adalah anugerah yang sangat besar bagi orang tua,
orang tua rela membanting tulang demi anak-anaknya. Orang tua rela melakukan
apapun untuk anaknya baik dalam pendidikan, kesehatan, ataupun kebutuhan
pokok sehari-hari anak dan keluarga. Guru hanya menerima sebagian dari
tanggung jawab orang tua yang telah diserahkan kepadanya. Dengan demikian
betapa pentingnya pendampingan orang tua dalam belajar anak yang menjadi
tanggung jawab orang tua.
Keluarga diartikan sebagai “sanak saudara, kaum kerabat, orang seisi
rumah”. Jadi, keluarga adalah siapa saja yang tinggal di dalam lingkungan rumah
tangga (Adimiwarta, 1988: 413). Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam
masyarakat tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan dan rumah adalah tempat
tempat berhimpunnya sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga, setiap anggota
keluarga memiliki fungsi dan peranannya masing-masing dan antara satu dengan
yang lainnya saling melengkapi. Rumah juga menjadi tempat pertama anak
memperoleh ilmu dan sekaligus tempat yang paling tepat untuk membentuk
kepribadian anak.
Pendidikan anak tidak hanya dilaksanakan di lingkungan sekolah saja,
melainkan di mana saja anak itu berada. Lingkungan pendidikan sering disebut
dengan tri pusat pendidikan. Istilah tri pusat pendidikan adalah istilah yang
digunakan oleh tokoh pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara yang
menggambarkan lembaga atau lingkungan pendidikan yang ada di sekitar
manusia, yang mempengaruhi perilaku siswa-siswi. Ki Hajar Dewantara
membedakannya menjadi tiga dengan sebutan yakni: pendidikan keluarga,
pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Ketiga pendidikan ini tidak dapat
dipisahkan satu sama lain karena mempunyai kesatuan yang erat. Orang tua
memegang peranan penting dalam membentuk tumbuh kembang diri dan perilaku
anak karena orang tua dapat mengajarkan pendidikan baik yang bersifat formal
maupun non formal sebagai bekal hidup di masa depan. Apabila pendidikan orang
tua baik dalam keluarga maka pendidikan selanjutnya kemungkinan besar berhasil
dengan baik pula. Oleh sebab itu keberadaan orang tua penuh perhatian sering
menjadi kunci menuju pendidikan yang baik bagi anak-anaknya
(http://id.wikipedia.org/wiki/dasar-pendidikan).
Orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya seperti Kristus menjadi
teladan bagi umat Kristiani. Tanggung jawab pendidikan anak, pertama-tama yang
menjadi teladan yang paling hakiki. Kristus menjadi teladan karena kemuliaan dan
keberhasilanNya dalam mewujudkan keselamatan manusia. Kristus juga
mengakui bahwa manusia adalah anak-anak-Nya yang mempunyai relasi pribadi
yang dekat, dengan harapan agar manusia dapat menyatu dengan Kristus sendiri.
Begitu juga hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua sebagai teladan anak
dapat membangun relasi dekat dengan anak, maka hubungan anak dengan orang
tua menjadi satu kesatuan.
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK kan 1136) dikatakan bahwa, orang
tua mempunyai kewajiban berat dan hak primer untuk sekuat tenaga
mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, dan kultural, maupun moral
dan relegius. Dalam Gravissimum Educationis (GE) art 3 dijelaskan bahwa
bahwa orang tua sebagai penyalur kehidupan dari Allah mempunyai kewajiban
untuk mendidik anak. Gereja memberi perhatian besar terhadap masalah
pendidikan anak ini sebab pendidikan merupakan persoalan serius. Orang tua
tidak bisa lepas tangan atau lari dari tanggung jawabnya sebagai pendidik pertama
dan utama yang hampir tak tergantikan bila tidak ada walaupun dengan alasan
apapun.
Dalam mendidik anak orang tua mempunyai dua alasan kodrati yang jelas
yaitu, pertama bahwa orang tua mempunyai hak atas anaknya. Orang tua adalah
sumber kehidupan anak, orang tua bersama Tuhan menciptakan manusia baru.
Kelahiran anak bukan hanya peristiwa jasmaniah saja, tetapi merupakan buah
cinta yang terindah sehingga orang tua memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Dan ketika anak beranjak dewasa anak diharapkan untuk dapat memutuskan
dorongan dan nasihatsaja. Kedua anak berhak atas pendidikan. Sebagai manusia
yang mempunyai derajat dan martabat yang sama, anak mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua. Bagi anak, pendidikan
merupakan suatu kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi, karena pendidikan yang
baik dari orang tua dapat membantu anak membangun dasar yang kuat untuk
kehidupan yang akan datang. Maka orang tua perlu bertanggung jawab penuh atas
pendidikan ini.
Hubungan antara orang tua dan sekolah perlu dibina dan dikembangkan
demi perkembangan anak. Kegiatan yang terjadi di sekolah perlu
dikomunikasikan kepada orang tua sehingga orang tua dapat menindaklanjuti dan
mendukung usaha sekolah. Orang tua mempunyai kesulitan dalam mendampingi
anak-anak di rumah, mendampingi anak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
Dalam komunikasi dengan sekolah, orang tua dapat menanyakan tingkah laku
anak di sekolah dan menanyakan apakah si anak mengerjakan PR.
Pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan wujud dari
usaha Gereja untuk membimbing iman siswa agar mereka mampu mengenal
dirinya dan mengenal lingkungannya sesuai dengan ajaran iman Kristiani. Bagi
anak-anak yang yang masih duduk di Sekolah Dasar ini sebagai persiapan menjadi
dewasa dalam imannya.
Mudji Soetrisno dalam (Ismartono, 1998: 104) menyatakan bahwa
pelajaran agama sebaiknya dikaitkan atau dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari karena sesungguhnya penanaman nilai itu tempatnya bukan hanya
pengetahuan sehari-hari di rumah dan di segala macam tempat. Ia juga
dilakukan dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Pengetahuan agama
bukan hanya hafalan saja, mengetahui saja. Pelajaran agama pertama-tama
diperoleh di tengah keluarga, tidak dalam kata-kata tetapi dalam bentuk
perbuatan. Oleh karena itu pendidikan agama sangatlah penting, di mana setiap
orang tua harus meluangkan waktunya agar waktu yang diberikan kepada
anak-anak menjadi bermakna.
Setiadi dalam (Ismartono, 1998: 131) menyatakan bahwa pendidikan iman
yang diterima anak sekedar pengetahuan di sekolah, kemudian orang tua kurang
memberi teladan dan kesempatan dialog, maka mereka akan terombang-ambing
karena tidak punya pegangan ketika menghadapi banyaknya kegiatan yang
bersifat negatif. Dengan kata lain, jika bimbingan yang diterima anak dalam
lingkungan keluarga tidak baik maka kelak hal itu dapat menjadi bekas pada
kehidupan anak pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Di lingkungan
keluarga kadang anak kurang mendapat dukungan bagi kemajuan pendidikan dan
terdapat beberapa hal yang menjadi kesulitan dalam membantu pelajaran agama
Katolik. Kesulitan yang dialami orang tua pada umumnya ialah keterbatasan
pendidikan orang tua yang mengakibatkan kurang mempunyai pengetahuan dan
pemahaman tentang Pendidikan Agama Katolik, keterbatasan orang tua ini, juga
dapat mempengaruhi pendidikan anak.
Berdasarkan hasil wawancara dari 8 orang siswa dan observasi pada saat
Program Pengalaman Lapangan (PPL) di Sekolah Dasar Kanisius Wirobrajan
Yogyakarta yang selama semester gasal tahun pelajaran 2011-2012, penulis
melihat kenyataan banyak siswa-siswa tidak mengerjakan PR. Kenyataan ini
dapat dikatakan nakal, mereka tidak menganggap pelajaran agama penting. Hal ini
dapat dilihat dari respon ketika guru menyuruh anak mengumpulkan tugas atau
PR, anak banyak alasan: misalnya: tidak mengerti dengan PR, tidak tahu kalau
ada PR, tidak punya buku, dan lain-lainl. Hal ini terjadi karena anak-anak merasa
pelajaran agama kurang penting, belajar jika ada ulangan saja, belajar sambil
menonton TV dan kebanyakan anak lebih banyak untuk menonton daripada
belajar, sulit untuk mengatur waktu belajar dan sebagainya.
Ada juga orang tua yang sungguh memperhatikan perkembangan anak,
dalam kesibukan bagaimanapun selalu berusaha supaya ada waktu untuk
berkumpul bersama anak dan mendampingi anak dalam belajar. Ada keluarga lain
yang sama sekali tidak menghiraukan anak-anak apakah sudah belajar atau tidak,
bagi mereka kebersamaan tidak penting dalam keluarga, pokoknya masing-masing
sibuk dengan urusan sendiri, mau belajar atau tidak pokoknya masing-masing
mengatur sendiri.
Di sini dapat dikatakan bahwa orang tua kurang merasa bertanggung
jawab atas pendidikan anak-anak, khususnya dalam belajar bagi anak-anak. Tugas
orang tua mengontrol sejauh mana anak-anak terlibat di sekolah, orang tua juga
harus tahu sejauh mana pemahaman anak-anak tentang materi yang diberikan oleh
guru, dan orang tua harus mendampingi anak dalam belajar. Dalam keluarga
orang tua mempunyai kewajiban dan hak secara penuh atas diri anak, orang tua
hendak menanyakan pada anak pelajaran yang diberikan oleh guru, dan apa yang
telah dipahami oleh anak tentang pelajaran Pendidikan Agama Katolik, dan jika
anak masih ragu dan belum begitu memahami, maka tugas orang tua adalah
yang dimengerti oleh anak dapat juga memberi contoh konkret yang dialami oleh
anak atau contoh dalam keluarga, supaya anak lebih memahami tentang pelajaran
agama Katolik. Dalam pelajaran agama katolik tidak cukup anak hanya tahu dan
mengahfalkan saja tetapi bagaimana anak-anak dapat menghayati dan menghidupi
imannya dalam kehidupan sehari-hari.
Perhatian orang tua terhadap anak tercermin dari adanya komunikasi yang
sehat, yaitu komunikasi dua arah antara anak dan orang tua demi terpenuhinya
kebutuhan sang anak yang dari waktu ke waktu semakin banyak dan beraneka
ragam. Sarana-sarana yang dipakai oleh orang tua dalam mendampingi
anak-anaknya, tentu saja antara orang tua yang satu dengan orang tua yang lain
berbeda. Sarana yang dapat dipakai antara lain peristiwa penting dalam kehidupan
anak-anak misalnya, merayakan ulang tahun, membeli perlengkapan sekolah dan
buku-buku yang mendukung perkembangan anak sesuai dengan keinginannya,
piknik bersama, memberi penghargaan atas prestasi belajar anak. Orang tua harus
kreatif supaya tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan dalam diri anak-anak
dalam belajar. Sarana ini dapat membantu anak-anak lebih semangat dan
termotivasi dalam hidup sehari-hari. Anak lebih suka dengan hal-hal yang praktis
dan konkret yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayangnya masih
banyak anak yang tidak terbiasa mengerjakan PR di rumah dan hanya menyontek
teman di sekolah, karena orang tua kurang memberi perhatian dan semangat
kepada anak. Maka dalam kehidupan sehari-hari, kesannya masih ada orang tua
yang acuh tak acuh dalam memberi perhatian kepada perkembangan anak dan
perkembangan iman anak, mereka melempar tugas kepada sekolah dan
penting kebutuhan material anak telah terpenuhi, soal pendidikan anak selanjutnya
tanggung jawab sekolah.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mengambil judul “DESKRIPSI PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM BELAJAR PENDIDIKAN
AGAMA KATOLIK SISWA-SISWI KELAS IV SD KANISIUS
WIROBRAJAN YOGYAKARTA”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini
diindetifikasikan sebagai berikut:
1. Orang tua kurang menyadari akan perlunya pendampingan terhadap
pendidikan anak-anaknya khususnya Pendidikan Agama Katolik.
2. Kesibukan orang tua dalam bekerja mengakibatkan kurangnya pendampingan
dan bimbingan kepada anak sehingga anak kurang bersemangat dan terdorong
untuk aktif belajar.
3. Orang tua mempunyai keterbatasan pengetahuan terhadap dunia pendidikan
sehingga kurang memahami pelajaran agama Katolik.
4. Permasalahan dari anak, anak-anak kurang merasa penting Pendidikan
Agama Katolik, sehingga anak kurang mengikuti pelajaran dengan baik.
5. Faktor utama penyebab pendampingan orang tua dalam belajar Pendidikan
Agama Katolik.
6. Kurangnya perhatian orang tua dalam mendampingi anak-anak dalam belajar
7. Pendampingan orang tua dalam belajar Pendidikan Agama Katolik.
C. PEMBATASAN MASALAH
Karena luasnya masalah dan keterbatasan penulis dalam penelitian ini
dibatasi pada pendampingan orang tua dalam belajar Pendidikan Agama Katolik
siswa-siswi kelas IV di SD Kanisius Wirobrajan Yogyakarta.
D. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan batasan masalah tersebut, permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pendampingan orang tua dalam belajar Pendidikan Agama
Katolik siswa-siswi kelas IV SD Kanisius Wirobrajan?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan kurang mendukung orang tua
dalam pendampingan belajar Pendidikan Agama Katolik siswa-siswi kelas IV
SD Kanisius Wirobrajan?
E. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam
penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pendampingan orang tua dalam rangka belajar
2. Memahami faktor-faktor yang mendukung dan kurang mendukung orang tua
dalam pendampingan belajar Pendidikan Agama Katolik siswa-siswi kelas IV
SD Kanisius Wirobrajan.
F. MANFAAT PENULISAN/PENELITIAN 1. Manfaat Praktis
Dari hasil penilitian yang dilakukan oleh penulis, diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Secara akademis, dari hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
pengetahuan dan pengembangan ilmu yang berkaitan dengan pendampingan
orang tua nantinya akan menjadi dampak positif terhadap belajar Pendidikan
Agama Katolik anak.
b. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi guru. Guru dapat
menjalin relasi dengan orang tua atau wali siswa dengan baik. Dengan
menjalin relasi dengan sebaik mungkin, guru dapat mengetahui sejauh mana
perkembangan anak di rumah. Guru juga dapat memotivasi orang tua untuk
terlibat aktif demi perkembangan anak-anaknya.
c. Bagi orang tua: Orang tua adalah pendidik utama dan pertama dalam
keluarga. Pendampingan orang tua sangat dibutuhkan oleh siswa-siswi dalam
menyelesaikan pendidikan mereka dan mencapai prestasi yang memuaskan.
Orang tua juga mendapatkan pemahaman yang cukup sebagai pendamping
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut, di antaranya:
a. Sebagai sumbangan pustaka ilmiah, khususnya dalam bidang pendidikan dan
pendampingan.
b. Sebagai bahan referensi dalam penulisan ilmiah untuk bidang pendidikan dan
pendampingan.
B. METODE PENULISAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif berdasarkan survei.
Penelitian ini bersifat ingin mengetahui, menganalisis dan menggambarkan
bagaimana pendampingan orang tua dalam belajar Pendidikan Agama Katolik
siswa-siswi Kelas IV SD Kanisius Wirobrajan Yogyakarta dengan menggunakan
kuesioner berskala tertutup sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian
ini juga akan didukung oleh teknik wawancara dan studi dokumen, kemudian
didukung oleh studi pustaka.
C. SISTEMATIKA PENULISAN
Judul skripsi yang dipilih penulis adalah “Deskripsi Pendampingan Orang
tua dalam Belajar Pendidikan Agama Katolik Siswa-siswi Kelas IV SD Kanisius
penulisan ini, penulis akan menyampaikan pokok-pokok gagasan dalam penulisan
sebagai berikut;
Bab I: Berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, sistematika
penulisan.
BAB II: Berisi tinjauan teoritis dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian pertama,
akan membahas mengenai orang tua dan tugasnya, pengertian orang tua, tanggung
jawab orang tua dalam pendidikan anak usia sekolah dasar. Kedua, akan
membahas mengenai pendampingan anak, arti pendampingan pada umumnya,
peranan orang tua dalam pendampingan anak, konsukensi peran orang tua. Ketiga,
akan membahas mengenai belajar Pendidikan Agama Katolik oleh siswa-siswi
kelas IV SD Kanisius Wirobrajan, perkembangan anak usia SD, pokok-pokok
PAK SD, kurikulum berbasis kompetensi PAK SD, belajar PAK, belajar dan
faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendukung belajar PAK. Lalu pada bagian
ke empat akan ditarik kesimpulan mengenai, peran pendampingan orang tua
terhadap belajar PAK dari tiga pokok bahasan sebelumnya.
BAB III: Berisi metodologi penelitian yang meliputi jenis penelitian, tempat dan
waktu penelitian, populasi dan sample penelitian, teknik dan instrumen
pengumpulan data yang meliputi aspek/variabel penelitian, definisi konseptual
variabel, definisi operasional variabel, sumber pengumpulan data, instrumen
dibahas juga mengenai teknik pengolahan data yang meliputi uji coba terpakai, uji
validitas instrumen, uji reliabilitas instrumen, dan teknik analisis data.
BAB IV: Menyajikan hasil dan pembahasan penelitian yang meliputi hasil
penelitian berdasarkan kuesioner, wawancara dan temuan khusus melalui studi
dokumen, pembahasan hasil penelitian, refleksi kateketis dan keterbatasan
penelitian.
BAB V: Penulis akan menyampaikan kesimpulan dan saran yang membangun
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. ORANG TUA DAN TUGASNYA 1. Pengertian Orang tua
Orang tua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu
keluarga atau rumah tangga, yang dalam kehidupan sehari-hari disebut ayah dan
ibu. Mereka inilah yang terutama dan utama memegang dalam kelangsungan
suatu rumah tangga atau keluarga. Sedangkan anak berada dalam tanggung jawab
dan pengawasan dalam keluarga. Menurut pengertian umum orang tua adalah
seorang pria dan wanita yang melangsungkan perkembangan dan terkait janji
perkawinan yang sah dan memiliki anak. Orang tua tidak dapat dilepaskan dari
lingkungan keluarga, karena antara orang tua dan keluarga sangat erat kaitannya.
Dalam kesehariannya orang tua biasa disebut dengan kata bapak dan ibu.
Kitab Hukum Kanonik menguraikan:
Orang tua Kristiani adalah pasangan yang memiliki sebuah perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang dibaptis untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup yang mengarahkan pada kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak, dimana perjanjian diangkat oleh Kristus Tuhan menjadi sakramen. Kebersamaan hidup bersama yang terbuka pada kelahiran anak membawa laki-laki dan perempuan itu menjadi orang tua, yaitu orang tua kristiani (Kan. 1055).
Dalam uraian di atas orang tua Kristiani merupakan orang tua yang
memiliki sebuah perjanjian perkawinan. Orang yang sudah menerima sakramen
perkawinan secara Katolik tidak dapat dipisahkan oleh manusia kecuali maut yang
istri mereka diharapkan menyalurkan anugerah cinta kasih Tuhan, mempunyai
relasi yang erat dengan Allah dan menciptakan suasana kerukanan dalam
keluarga dengan suasana yang akrab dan mesra, membangun keluarga yang
bahagia, mendidik anak-anaknya menurut ajaran Injil. Dengan kebersamaan dan
kesejahteraan orang tua Kristiani Allah menghendaki orang tua berperan dan
utama dalam pendidikan anak.
Gereja Katolik mengenal Sakramen Perkawinan sebagai salah satu dari
ketujuah Sakramen. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan adalah suatu hal
yang luhur. Dengan adanya sakramen pernikahan secara lahiriah ada tanda yang
menyatakan bahwa Allah hadir dalam kehidupan perkawinan dan Allah menjadi
saksi cinta kasih sang suami dan istri (bdk Mal 2:14). Perkawinan dijadikan
sakramen karena kitab suci sendiri mengisyaratkan seperti menjunjung tinggi
perkawinan. Bahkan Paulus menegaskan supaya suami-istri saling mencintai
seperti Kristus mencintai umat-Nya (jemaat atau Gereja-Nya - Lih Ef 5:21-33).
Adapun janji perkawinan yaitu: Saya berjanji setia dalam untung dan malang, dan
saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup, saya bersedia menjadi
suami bagi istri dan bapak anak-anak dan begitu dengan perempuan bersedia
menjadi istri bagi suami dan menjadi ibu yang baik bagi anak-anak. Demikianlah
janji perkawinan demi Allah dan Injil suci ini. Janji perkawinan yang telah di
ucapkan dihadapan Allah Bapa, Romo dan Saksi diharapkan kedua belah pihak
menepati janji yang telah di ucapkan
(http://id.wikipedia.org/wiki/sakramen-perkawinan).
Menurut dokumen Familiaris Consortio art 40, keluarga adalah
pelaksanaan pendidikan itu sangat perlu, meskipun masing-masing memegang
peranannya selaras dengan tugas masing-masing.
Menurut (Adimiwarta, 1988: 413), keluarga diartikan sebagai “sanak
saudara, kaum kerabat, orang se isi rumah”. Jadi, keluarga adalah siapa saja yang
tinggal di dalam lingkungan rumah tangga. Keluarga merupakan lingkungan
terkecil dalam masyarakat tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan dan rumah
adalah tempat kita menghabiskan waktu dalam hidup sehari-hari, karena rumah
adalah tempat berhimpunnya sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga, setiap
anggota keluarga memiliki fungsi dan peranannya masing-masing dan antara satu
dengan yang lainnya saling melengkapi. Rumah juga menjadi tempat pertama
anak memperoleh ilmu dan sekaligus tempat yang paling tepat untuk membentuk
kepribadian anak.
2. Tanggung jawab Orang tua dalam Pendidikan Anak Usia Sekolah Dasar
Anak adalah seseorang yang masih sangat membutuhkan peran
pendampingan dan pengarahan dari orang tua/orang dewasa. Maka, orang tualah
yang sangat diharapkan oleh anak untuk memberi pendampingan dan pengarahan.
Dengan demikian dalam orang tua tidak boleh sembarangan dalam memberikan
pengarahan dan pendidikan kepada anak, karena apa yang diberikan orang tua
menjadi dasar utama oleh anak dalam mengembangkan dirinya kelak.
Menurut Familiaris Consortio art 14, anak adalah anugerah yang
berharga. Menurut rencana Allah, perkawinan merupakan landasan keluarga
sebagai persekutuan yang lebih luas, sebab lembaga perkawinan dan cinta kasih
merupakan mahkota dari lembaga itu. Pada hakikatnya cinta kasih merupakan
sebuah hadiah dan cinta kasih suami-istri.
Alkitab membicarakan bagaimana orang tua harus mendidik, mengajar dan
memelihara anaknya. Menurut pandangan orang Kristiani anak merupakan buah
kasih Allah kepada orang tua maka orang tua hendaknya mensyukuri atas
anugerah terindah Allah kepada orang tua. Terkadang orang tua untuk
mendapatkan anak bersusah payah mencarinya, menanti dengan penuh kesabaran
dan berdoa (Bdk Mzm 123: 3; Sam 1: 27; Kej 33: 5). Dengan demikian anak yang
diberikan itu haruslah diterima dengan penuh kasih sayang. Bagi orang tua
mengasihi anak-anaknya merupakan suatu hal yang wajib karena anak merupakan
manusia yang wajib disayangi orang tuanya. Hal ini tampak dalam Mzm 103: 13
“Seperti Bapa sayang kepada anak-anakNya, demikian Tuhan sayang kepada
orang-orang yang takut akan Dia”. Dan Tit 2: 4 “Dan dengan demikian mendidik
perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya”.
Selain itu orang tua berkewajiban untuk menerima dan mengasihi
anak-anaknya dan perlulah mendidik atau mengajar anak-anak-anaknya karena ini tugas
pokok orang tua. Untuk mencapai hal tersebut orang tua perlulah mendidik
anaknya dengan kesabaran, penuh pengertian dan di mana perlu ketegasan atau
kekerasan. “Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau
menginginkan kematiannya” (Ams 19: 18). Di sini Amsal ingin menekankan
bahwa ada kalanya orang tua juga perlu bertindak keras dan juga betul-betul
mengenal anak. Dengan pendidikan yang baik maka anak akan membahagiakan
orang tua. Ams 29: 17 mengatakan: “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan
mengatakan: “Didiklah orang muda menuntut jalan yang patuh baginya, maka
pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”. Di sini jelas
Amsal mau menekankan agar orang muda atau anak-anak didiknya sesuai dengan
ajaran yang benar.
Demikianlah dasar-dasar tanggung jawab orang tua dalam pendidikan
anak yang mencakup sikap iman, ketaatan kepada ajaran Tuhan, tingkah laku atau
hubungan dengan Allah. Itulah tugas yang harus dilaksanakan oleh orang tua,
sebab Allah sendiri menghukum orang tua yang tidak mau mendidik
anak-anaknya, I Sam 3: 13 mengatakan: “ Sebab telah kuberitahukan kepadanya bahwa
Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah
diketahuinya, yakni bahwa anak-anknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak
memarahi mereka”.
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK kan 1136) dikatakan bahwa Orang
tua mempunyai kewajiban berat dan hak primer untuk sekuat tenaga
mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, dan kultural, maupun moral
dan religius. Dalam Gravissimum Educationis (GE) art 3, dijelaskan bahwa orang
tua sebagai penyalur kehidupan dari Allah mempunyai kewajiban untuk mendidik
anak. Gereja memberi perhatian besar terhadap masalah pendidikan anak ini sebab
pendidikan merupakan persoalan serius. Orang tua tidak bisa lepas tangan atau
lari dari tanggung jawabnya sebagai pendidik pertama dan utama yang hampir tak
tergantikan bila tidak ada walaupun dengan alasan apapun.
Dalam mendidik anak orang tua mempunyai dua alasan kodrati yang
jelas: pertama, bahwa orang tua mempunyai hak atas anaknya. Orang tua adalah
Kelahiran anak bukan hanya persitiwa jasmaniah saja, tetapi merupakan buah
cinta yang terindah sehingga orang tua memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Dan ketika anak beranjak dewasa anak diharapkan untuk dapat memutuskan
sendiri hal-hal yang menyangkut pribadinya dan orang tua hanya memberi
dorongan dan nasihatsaja. Kedua, anak berhak atas pendidikan. Sebagai manusia
yang mempunyai derajat dan martabat yang sama, anak mempunyai hak untuk
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua. Baik
anak, pendidikan merupakan suatu kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi, karena
pendidikan yang baik dari orang tua dapat membantu anak membangun dasar
yang kuat untuk kehidupan yang akan datang. Maka orang tua perlu bertanggung
jawab penuh atas pendidikan ini.
Mengingat tugas pendidikan orang tua kepada anak-anaknya dirasakan
cukup berat maka Gereja dan negara berusaha membantu lewat pendidikan di
sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian orang tua dapat memilih
kebebasannya untuk menyekolahkannya di lingkungan pendidikan yang ada. Di
sini bukan berarti tugas pendidikan orang tua lepas begitu saja, namun Gereja dan
negara hanya membantu menyelenggarakan pendidikan di sekolah ataupun di luar
sekolah.
B. PENDAMPINGAN ANAK
1. Arti Pendampingan pada Umumnya
Menurut Mangunwijaya (1986: 21-22), pendampingan secara umum
merupakan usaha yang dilakukan oleh pendamping terhadap orang tertentu atau
bertitik tolak dari sebuah keyakinan bahwa permasalahan yang dihadapi dapat
teratasi dan orang yang didampingi mempunyai potensi untuk bertumbuh dan
berkembang menjadi pribadi baik.
Menurut Mangunwijaya (1986: 26), pendampingan pada hakikatnya
bertujuan untuk membantu dan menolong seseorang untuk dapat mengembangkan
dirinya secara jelas memiliki tujuan untuk membantu mereka mendapatkan
pengetahuan, informasi, kecakapan perbuatan, perilaku hidup, sehingga dapat
membangun kebersamaan dengan orang lain dan dapat menyesuaikan diri dalam
masyarakat, bangsa dan dunia .
Dalam kegiatan pendampingan setiap pendamping harus menghargai
setiap pribadi yang didampingi dan tidak menggangap mereka sebagai orang yang
tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa. Kahadiran pendamping sebisa mungkin
membantu setiap individu yang didampingi untuk menemukan kembali harga diri,
kemampuan atau potensi yang ada dalam dirinya, sehingga orang yang
didampingi akan mencapai keutuhan hidupnya demi suatu perkembangan.
Menurut Milton Mayoret (1993: 17) memberikan arti pendampingan
adalah “menolong sang lain bertumbuh”. Berdasarkan arti tersebut pendampingan
adalah suatu usaha untuk membantu orang lain agar dapat tumbuh dan
mengembangkan dirinya seturut cara dan situasi kekhasan mereka.
Dengan demikian kata pendampingan mengandung arti adanya
keterlibatan antara kedua belah pihak, baik yang mendampingi maupun yang
didampingi. Kegiatan pendampingan selalu bertolak dari sebuah pendapat dasar
mempunyai kemampuan untuk dapat bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang utuh.
2. Peranan Orang Tua dalam Pendampingan Anak a. Mewujudkan Cinta Kasih
Keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, mereka inilah yang
bertanggung jawab atas pendidikan anak. Maka semua pihak ini harus menjalin
kerja sama yang baik dalam mendidik dan mendampingi anak untuk bertumbuh
dan berkembang. Familiaris Consortio art 37 mengatakan keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan diri setiap
anak. Keluarga adalah sekolah pertama dan mendasar untuk hidup bermasyarakat
sebagai persekutuan cinta kasih, keluarga menemukan pembenahan diri sebagai
hukum yang membimbingnya dan mempertumbuhkannya. Menjadi orang tua
berarti harus siap menjadi pendidik, dan siap mempunyai pengetahuan tentang
mendidik anak sehingga terwudnya cinta kasih dalam keluarga.
Peranan dasar yang ditunjukkan orang tua yaitu mewujudkan cinta kasih.
Penghargaan dan kasih sayang orang tua terhadap anak besar perannya dalam
membina jiwa anak-anak untuk belajar lebih banyak dan berkelakuan dengan
baik. Gravisimum Educationis art 3 mengatakan bahwa orang tua wajib
menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan
kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan
pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Orang tua harus menunjukkan
bahwa mereka mencintai anak-anaknya. Orang tua yang penuh cinta kasih akan
tangga yan rukun, anak-anak pun lebih tentram belajar. “Rumah haruslah menjadi
tempat yang paling menarik kepada anak-anak”. Oleh sebab itu orang tua harus
menciptakan suasana rumah yang penuh kasih yakni suasana rumah yang
harmonis, rukun, saling melindungi, sehingga suasana keakraban serta kehangatan
terasa antara orang tua dengan anak. Seorang anak yang selalu mendapat cinta
kasih secara cukup dari orang tua, tentu anak tersebut akan berkembang ke arah
lebih baik dengan demikian anak dapat mewujudkan cinta kasih kepada sesama di
mana pun mereka berada.
b. Memberi Teladan
Majalah Mawas Diri (1982: 28-32) menyatakan bahwa orang tua dapat
menjadi orang yang dapat memberi ganjaran yang efektif, maka orang tua perlu
memberi teladan kepada anak-anaknnya. Perlakuan orang tua hendaknya tidak
terlalu jauh dari apa yang diharapkan dari anak.
Sarumpaet (1980: 103) menyatakan bahwa orang tua harus menjadi contoh
yang baik bagi anak-anknya. Segala perbuatan dan tingkah laku orang tua pun
turut ditiru anak, karena seorang anak tidak akan menanyakan terlebih dahulu
kepada orang tuanya, apakah ia diizinkan untuk meniru atau tidak sesuatu
perbuatan atau tingkah laku. Anak menganggap segala sesuatu yang dilakukan
orang tuanya adalah baik untuk ditiru dan diterapkan dalam hidup. Maka orang
tua merupakan teladan untuk anak-anaknya. Orang tua jangan memberi sikap
yang malas kepada anak-anak, sekali anak mengetahui bahwa orang tuanya
menamkan bibit yang rajin dalam jiwa anak-anaknya, karena orang tua adalah
teladan yang patut dicontoh maka orang tua harus memberi contoh yang baik.
Orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya seperti Kristus menjadi
teladan bagi umat Kristiani. Tanggung jawab pendidikan anak, pertama-tama yang
paling utama dipegang oleh orang tua. Dalam agama Kristiani, Kristuslah yang
menjadi teladan yang paling hakiki. Kristus menjadi teladan karena kemuliaan dan
keberhasilannya dalam mewujudkan keselamatan manusia. Kristus juga mengakui
bahwa manusia adalah anak-anak-Nya yang mempunyai relasi pribadi yang dekat,
dengan harapan agar manusia dapat menyatu dengan Kristus sendiri. Begitu juga
hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua sebagai teladan anak dapat
membangun relasi dekat dengan anak, maka hubungan anak dengan orang tua
menjadi satu kesatuan.
c. Memotivasi Anak Belajar
Nasution (1985: 88) mengatakan bahwa orang tua yang bijaksana harus
memiliki kemampuan untuk membangkitkan kemauan belajar anak dengan tujuan
agar anak mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar di rumah maupun di
sekolah. Maka ia memaparkan sebagai berikut: melengkapi bahan atau alat-alat
keperluan anak dalam penyelengaraan pendidikannya, misalnya: menyediakan
buku-buku sekolah bagi anak-anak mereka (selain menyediakan buku bacaan,
buku hitungan, buku tulis dan buku-buku lain, serta kelengakapan alat tulis lainya
(pulpen, pensil, penggaris, dan sebagainya). Orang tua juga harus mengontrol
serta memberikan kesempatan belajar anak dengan tujuan agar anak tahu
saat anak belajar, maka pada waktu jam anak belajar orang tua menunjukkan
peranannya dengan menciptakan suasana rumah yang tenang: misalnya tidak
menyalakan radio atau televisi pada saat anak belajar. Keterlibatan orang tua
dalam mengingatkan anak belajar, anak merasa sangat senang diperhatikan dan
didampingi pada saat belajar. Orang tua juga harus menciptakan suasana yang
tenang, nyaman, santai dan penuh cinta kasih dalam keluarga. Dengan terciptanya
suasana seperti ini maka anak merasa sangat nyaman berada di tengah-tengah
keluarganya. Teladan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya merupakan
pembentukan karakter anak sejak dini.
d. Pendidik Utama dan Pertama
Keluarga adalah tempat pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka
orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama. Dalam dokumen
Gravissimum Educationis, khususnya dalam artikel 3 digaris bawahi pentingya
peranan dan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama
dalam keluarga yang dapat menciptakan dan hidup dalam nilai-nilai Kristiani pada
diri anak-anaknya. Orang tua telah menerima tugas dan tanggung jawab dari
Tuhan menjaga dan memelihara serta mendidik anak-anak sesuai dengan jalan
Tuhan. Oleh karena itu orang tua wajib menciptakan keluarga yang selalu dijiwai
oleh semangat cinta kasih terhadap Allah dan manusia. Situasi keluarga yang
didasari oleh semangat bakti pada Allah dan kasih sayang pada sesama menjadi
pendukung keperibadian dan pendidikan sosial bagi anak-anak.
Iman Katolik (1996: 56) menyatakan tugas orang tua adalah
menjadi manusia yang cerdas dan penuh inisiatif guna membangun hidupnya
sendiri di dunia modern. Hak orang tua adalah sebagai pendidik perdana utama.
Dengan demikian orang tualah yang menentukan pendidikan anak, semakin
menegaskan bahwa orang tualah sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam
kehidupan anak-anaknya. Orang tua sebagai pendidik perdana dan utama berhak
memiliki sekolah yang sesuai bagi anak-anak mereka dan berhak mengarahkan
pergaulan anak-anak dan organisasi yang dapat membantu perkembangan anak.
Hanya dengan perhatian orang tua dapat menjamin bahwa pendidikan yang
diberikan, baik di sekolah maupun di tempat lain.
3. Konsekuensi Peran Orang Tua
a. Orang Tua perlu Sadar akan Peran Utamanya
Kesadaran adalah keadaan tahu dan mengerti, bahwa orang tua memiliki
tugas dan tanggung jawab dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Orang
tua sadar apa yang seharusnya ditanamkan dalam diri anak sejak dini. Orang tua
perlu tahu bahwa dalam mendidik anak tidak cukup dengan ajaran-ajaran Kristiani
saja tetapi bagaimana cara orang tua menghidupi dan menanamkan nilai-nilai
rohani yang membawa anak semakin dekat dengan Tuhan.
Orang tua perlu sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya adalah
mendidik dan mengajar anak-anaknya. Orang tua harus mampu membangkitkan
semangat belajar dalam diri anak. Orang tua perlu mendamping anak-anak dalam
mengerjakan tugas agar anak semangat. Dengan demikian orang tua perlu sadar
bahwa sore hari dan malam hari, anak-anak perlu diajak untuk berkumpul
Orang tua sadar bahwa sebagai orang tua tidak terlepas dari
kewajiabannya, maka orang tua mengajak anak-anak untuk belajar bersama,
rekreasi bersama, ke Gereja bersama untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dalam
keluarga orang tua perlu mengajarkan anak dengan memberikan teladan yang
patut dicontoh demi perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Karena anak
belajar segala sesuatu dari orang tua. Untuk itu orang tua sadar bahwa mendidik
anak penuh kasih, kedamainan, kegembiraan, menciptakan suasana tenang,
kesatuan hati antara orang tua dan anak. Mendidik anak dengan kasih, maka anak
akan tumbuh dengan baik.
b. Pengetahuan tentang Cara Mendampingi
Mildred Proctor (1981: 20) mengatakan orang yang bekerja dalam
mendidik anak harus memiliki kualitas yang tinggi. Ia harus mengasihi anak.
Perlu ditekankan bahwa kasih itu kasih yang sejati dan bukan kasih yang
sementara. Ini berarti, bahwa orang tua harus menghormati hak dan kehendak
anak selaku peribadi. Ia harus tabah, harus bersedia membiarkan anak itu
bertumbuh dalam pengertian tentang iman dan hidup kekristenan menurut saat
dan kesanggupan anak itu sendiri. Ia harus mengerti sifat anak, dan tujuan mereka
belajar, patokan kelakuan, kemampuan menunjukkan pengertian, sikap, dan
mengekspresikan pengalaman kekristenannya, berbeda untuk anak dan orang
dewasa. Seorang pemimpin mengharapkan suatu sikap dewasa dari anak. seorang
pemimpin harus sudah dewasa dalam iman dan pergaulan. Segala tindakan
Dari pernyataan di atas, dalam mendampingi anak orang tua perlu
mempunyai cinta kasih yang sejati kepada anak-anaknya. Orang tua hendak sabar
karena dengan kesabaran orang tua dapat melayani anak-anak dengan penuh
kasih. Dengan setiap usaha apapun, jika membimbing anak tanpa kesabaran akan
menemukan hal kegagalan. Apabila orang tua memiliki sikap sabar dalam
membimbing dan membentuk tabiat anak-anaknya. Anak-anaknya lebih banyak
dituntut dengan kesabaran, orang tua yang menuntut anaknya dengan penuh
kesabaran akan berhasil dari pada membimbing. Orang tua juga harus mengerti
sifat anak dalam membimbing anak. Orang tua yang membimbing anaknya
dengan sikap yang lekas marah dan hilang kesabaran akan gagal dalam
membimbing dan menuntun anak-anaknya, tetapi orang tua yang sabar dan
pendidikannya tidak terlalu tinggi akan berhasil membimbing anak-anaknya akan
pertumbuhan dan perkembangan. Dengan demikian orang tua yang sabar dan
lemah lembut karena suara dan segala tingkah lakunya akan disenangi
anak-anaknya.
Sarumpaet (1980) menyatakan sebagai orang tua, orang tua harus
mengenal anaknya, tetapi banyak juga orang yang tidak mengerti sifat
anaknya dan tidak mengenal anaknya. Jika orang tua ingin menyelami
anak-anaknya mereka harus bersahabat atau bergaul dengan anak-anak. Orang tua harus
membangun kerja sama dengan penuh perhatian. Orang tua patut menjadi kawan
bagi anak-anak. Orang tua harus mempelajari cinta dalam keluarga. Orang tua
harus melatih anak-anaknya untuk mempercayakan rahasia mereka serta
mencurahkan segala duka hatinya, dan percobaan mereka kepada orang tua.
kadang-kadang pengaruh sekeliling akan menceraikan mereka dari orang tua. Maka
bangunlah kebiasaan anak-anak mempercayakan segala sesuatu kepada orang tua,
biarlah mereka menceritakan segala suka dan duka yang dialaminya.
Dalam mendidik anak orang tua patut berterus terang memberitahu segala
kesulitannya dan menampung suka dan duka yang dialami anaknya. Orang tua
harus menjadi teman, sahabat karena keluarga haruslah dibangun sikap saling
keterbukaan antara orang tua dan anak-anak. Sering kali orang tua mengatakan
tidak ada waktu untuk mendidik anak-anaknya bahwa tidak ada waktu untuk
mengurus keluarga karena tunututan pekerjaan. Konsekuensi sebagai orang tua
biar sesibuk apapun harus menyempatkan waktu kepada anak walaupun hanya
sebentar. Karena anak-anak adalah tanggung jawab orang tua, maka hendaknya
orang tua memberikan waktu untuk anak. Orang tua harus meluangkan waktu
kepada anak untuk makan malam bersama demi kebersamaan dalam suatu
keluarga, segala kesibukan dan kekecewaan sepanjang hari orang tua tidak
menunjukkan di depan anak-anak demi kepentingan anak dan demi
perkembangannya. Pada hari libur dan hari Minggu, orang tua dapat mengajar
beribadah, rekreasi bersama dan bermain bersama untuk membangun
kebersamaan yang erat antara orang tua dan anak-anak dan antara anak-anak
dengan anak-anak.
C. BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK OLEH SISWA-SISWI KELAS IV SD KANISIUS WIROBRAJAN
Pendidikan adalah salah satu usaha yang terus-menerus untuk
usaha untuk membimbing manusia agar mampu menempuh hidupnya dengan
baik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menuju kebaikan, mengenai
manusia seutuhnya dan berlangsung seumur hidup.
Menurut Komkat KWI (20011: 9), sekolah memiliki peran penting dalam
pengembangan Pendidikan Agama Katolik karena merupakan usaha untuk
memperkuat iman ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan
nasional.
1. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar a. Perkembangan Kognitif
Piaget dalam Paul Suparno (2001: 26-100), mengelompokkan
tahapan-tahapan perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat tahap, yaitu: tahap
sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasi (2-7 tahun), tahap operasi konkret
(umur 7-11 tahun), dan tahap operasi formal (11 tahun ke atas). Pada usia SD
kelas IV, siswa memasuki “tahap operasi konkret” dalam berpikir, suatu masa di
mana konsep yang pada masa awal kanak-kanak merupakan konsep yang
samar-samar dan tidak jelas sekarang menjadi konkret dan tertentu. Menurut Hurlock
(1980: 162), dengan masuk sekolah; dunia dan minat anak-anak bertambah luas.
Dan dengan meluasnya minat mereka bertambah pula pengertian tentang manusia
dan benda-benda yang sebelumnya kurang atau tidak berarti.
Anak menghubungkan arti baru dengan konsep lama berdasarkan apa yang
dari media massa, terutama film, radio dan televisi. Dalam menambahkan konsep
sosial, misalnya anak mengaitkan stereotip budaya dengan orang-orang dari ras,
agama, seks, atau kelompok sosial ekonomi yang berbeda-stereotip yang semakin
besar dipelajari dari media massa.
Ketika anak membaca buku pelajaran di sekolah dan mencari keterangan
dari ensiklopedi atau sumber-sumber informasi lain, anak tidak hanya
mempelajari arti baru untuk konsep tetapi juga memperbaiki arti yang salah
berhubungan dengan konsep lama. Pengalaman sendiri juga memberikan makna
bagi konsepnya. Pengalaman sakit, misalnya, mewarnai konsep tentang penyakit.
b. Perkembangan Emosi
Emosi memainkan peran penting dalam hidup pribadi dan dalam pergaulan
sosial. Semua anak hanya mengenal emosi yang sederhana, yakni senang dan
tidak senang. Pada usia Sekolah Dasar anak cepat merasa puas. Seiring
bertambahnya umur, emosi semakin bervariasi. Pola-pola emosi pada anak usia
6-12 tahun ialah sebagai berikut:
1) Rasa Takut
Menurut Kartini Kartono (1979: 141) rasa takut dan cemas, bukan gejala
abnormal pada anak, sebab anak secara instrinktif memang merasa takut pada
hal-hal yang belum dikenalnya, yang masih samar-samar hal-hal-hal-hal yang mengandung
rahasia. Rasa takut ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pengertian
anak, kurangnya rasa percaya diri, kesabaran dalam diri anak masih lemah dan
bodoh. Anak-anak yang sangat muda memang sering kali merasa takut. Terutama
tua. Rasa takut dapat menyebabkan anak tidur mengigau dan bangun panik-takut,
kejang, sakit perut dan lain-lain. Rasa takut juga dan cemas sering timbul, kalau
orang tua terlalu cerewet dan menuntut dan tuntutan itu tidak sesuai dengan
kamampuan anak.
2) Kegembiraan, Keriangan dan Kesenangan
Rasa emosi ini adalah emosi yang menyenangkan. Pada umur yang lebih
muda, emosi itu disebabkan oleh fisik yang sehat, tutur kata yang bisa membantu
memperkokoh moral anak dan sebagainya. Sedangkan pada umur yang lebih tua,
penyebabnya bertambah yakni keberhasilan mencapai tujuan yang telah mereka
tetapkan untuk diri mereka sendiri dan keluarga serta keberhasilan anak-anaknya.
c. Perkembangan Moral
Piaget dalam Hurlock (2011:163), antara usia lima tahun sampai dua belas
tahun konsep anak mengenai keadilan berubah. Pengertian yang kaku dan keras
tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak
mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral
yang kaku. Misalnya, bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan
anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong tidak selalu
buruk.
Lawrence Kohlberg dalam Hurlock (1990: 80), menguraikan tahapan moral anak, yaitu: tahap pra-konvensional (1-8 tahun), tahap konvensional (9-13
tahun) dan tahap pascakonvensional (14 tahun ke atas). Pada usia SD kelas IV,
peraturan-peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian
baik-buruk, benar-salah, tetapi mengartikannya dari sudut pandang akibat-akibat fisik
suatu tindakan atau dari enak-tidaknya akibat-akibat itu. Tindakan ini dibagi
menjadi dua tahap:
Tahap 1 : Orentasi hukuman dan kepatuhan. Akibat-akibat fisik dari
tindakan menentukan baik-buruknya tindakan itu, entah apapun arti atau nilai
akibat-akibat itu bagi manusia. Anak berbuat baik dengan motivasi menghindari
hukuman. Tahap 2 : Orentasi relativis instrumenal. Tindakan benar adalah
tindakan yang ibarat alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang
juga memenuhi kebutuhan orang lain. Anak berbuat baik agar mendapat
hadiah/pujian dari pihak lain.
d. Perkembangan Sosial
Menurut Hurlock (1989: 250) perkembangan sosial berarti perolehan
kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Setelah anak
memasuki sekolah dan melakukan hubungan yang lebih banyak dengan anak lain
dibandingkan dengan ketika masa pra sekolah, minat pada kegiatan keluarga
berkurang. Pada saat yang sama permainan yang bersifat individual menggantikan
permainan kelompok membutuhkan sejumlah permainan, lingkungan pergaulan
anak yang lebih tua secara bertahap bertambah luas. Dengan berubahnya minat
bermain keinginan untuk bergaul dengan teman dan diterima oleh anak di luar
rumah bertambah.
Pada waktu mulai sekolah, anak memasuki usia “gang” yaitu usia pada
anak dalam belajar penyesuaian diri. Pertama, kesempatan yang penuh sosialisasi
adalah penting karena anak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain
jika sebagaian waktunya digunakan seorang diri. Kedua, dalam keadaan
bersama-sama anak tidak hanya mampu berkomunikasi dengan kata-kata yang hanya dapat
dipahami oleh orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang
dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain. Ketiga, anak akan belajar
bersosialisasi jika memiliki motivasi. Motivasi tergantung pada tingkat kepuasaan
yang diberikan aktivitas sosial pada anak. Jika mereka memperoleh kesenangan
melalui hubungan dengan orang lain maka ia akan mengulanginya, demikian juga
sebaliknya. Keempat, metode efektif dengan bimbingan adalah penting. Anak
anak mempraktekkan apa yang dilihat dan dirasa menarik baginya. Artinya anak
akan meniru orang lain yang dijadikan tujuan indentifikasi dirinya.
Melihat keempat hal yang perlu diperhatikan anak belajar penyesuaian diri
tersebut, tampak bahwa menjadi pribadi sosial merupakan hal utama yang perlu
dikembangkan. Anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara
bertahap menggantikan keluarga dalam mempengaruhi tingkah laku.
e. Perkembangan Iman
Allen Shelly (1982: 41-49) mengemukakan bahwa anak sudah dapat
membedakan antara Allah dan orang tua. Mereka juga mungkin membedakan
antara Allah Bapa dan Tuhan Yesus. Pola pikir masih konkret, namun anak usia
sekolah mulai menggunakan konsep abstrak untuk menggambarkan Allah. Anak
pada usia ini mempunyai keinginan yang besar untuk belajar tentang Allah,
makan. Doa-doa mereka biasanya bersifat egosentrik, berupa permohonan kepada
Allah untuk menolong dirinya, atau berterima kasih atas orang-orang dalam hal
mereka sukai. Anak-anak usia sekolah mempunyai kemampuan mengemukakan
untuk menyerap informasi, yang mungkin menjadi berarti pada saat mereka telah
dewasa dan telah mengembangkan penuh kemampuan mereka untuk mengerti
konsep-konsep abstrak.
Perkembangan anak sekolah begitu cepat, dunia mereka semakin meluas
dari lingkungan keluarga ke lingkup sekolah, Gereja dan masyarakat, bahkan
orang-orang di negara lain. Pengertian tentang Allah sebagai pencipta, pemberi
hukum, dan sahabat melalui pengajaran, teladan orang tua, dan orang lain mulai
bertumbuh.
Fowler dalam Cremers (1995: 127-130), membagi teori perkembangan
kepercayaan/iman ke dalam tujuh kategori sebagai berikut: tahap kepercayaan
awal dan elementer (0-2 tahun), tahap kepercayaan intuitifproyektif (2-6 tahun),
tahap kepercayaan mistis-harfiah (6-11 tahun), tahap kepercayaan
sintetis-konvensional (12 sampai masa dewasa), tahap kepercayaan individuxatif-reflektif
(18 tahun dan seterusnya), tahap kepercayaan yang konjungtif (usia setengah baya
30-40 tahun), dan tahap kepercayaan yang mengacu pada universalitas.
Pada usia SD kelas IV, siswa masuk dalam tahap kepercayaan mistis
harfiah. Pada usia ini pikiran anak sekolah amat mengagumkan. Anak mulai dapat
mengungkapkan cerita-cerita dan pernyataan langsung dari arus pengalaman itu
sendiri yang mencerminkan aliran hidup spontan secara detail. Cerita sebagai
sarana perpanjangan dan penemuan diri, diartikan secara harafiah dan dirinya