SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Jurusan Teknologi Pangan
Oleh :
Karunia Ganis Wilujeng
NPM. 0633010048
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR SURABAYA
DENGAN METODE FOAM MAT DRYING
Oleh :
Karunia Ganis Wilujeng
NPM. 0633010048
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal : 26 November 2010
Tim Penguji : Pembimbing :
1.
Ir. Latifah, MS
NIP. 19570307 198603 2 001
2.
Ir. Sri Winarti, MP
NIP. 19630708 198903 2 002 1.
Ir. Tri Mulyani S., MS NIP. 030 181 513
2.
Ir. Ulya Sarofa, MM
NIP. 19630516 198803 2 001
3.
Ir. Murtiningsih NIP. 030 191 334
Mengetahui
Dekan Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
semesta alam yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya selama pelaksanaan
penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Inulin Bubuk Dari Umbi Gembili
(Dioscorea esculenta) Dengan Metode Foam Mat Drying” hingga terselesaikannya
pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.
Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan
ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN
“Veteran” Jatim.
2. Ibu Ir. Latifah, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Pangan UPN
“Veteran” Jatim dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan
waktu, memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan skripsi
ini.
3. Ibu Ir. Sri Winarti, MP selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu, memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam
penulisan skripsi ini.
4. Ibu Ir. Dedin F. Rosida, STP. MKes dan Bapak Ir. Rudi Nurismanto, Msi selaku
Dosen Penguji seminar proposal dan hasil penelitian, yang telah banyak
memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Industri UPN “Veteran” Jatim.
7. Kedua orang tua dan segenap keluarga penulis yang telah memberikan motivasi, kesabaran, dukungan material, dan spiritual sehingga dapat terselesaikan skripsi
ini.
8. Sahabat penulis, dan teman-teman seperjuangan angkatan 2006 yang telah memberikan motivasi, inspirasi, semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa di
Program Studi Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang
memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna
kesempurnaan skripsi ini.
Penulis
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI ...iii
DAFTAR TABEL ...v
DAFTAR GAMBAR ...vi
DA FTAR LAMPIRAN ...vii
INTISARI………viii
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar belakang ...1
1.2 Tujuan Penelitian ...5
1.3 Manfaat Penelitian ...5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...6
2.1 Inulin ...6
2.2 Ekstraksi dan Presipitasi Inulin ...8
2.2.1 Tahap Ekstraksi dan Presipitasi Inulin...11
2.3 Sumber Inulin ...12
2.3.1 Gembili (Dioscorea esculenta) ...13
2.4 Metode Pengeringan Busa (Foam Mat Drying) ...15
2.5 Bahan Pembusa ...18
2.5.1 Putih Telur ...19
2.6 Bahan Pengisi ...22
2.6.1 Dekstrin ...23
2.6.2 Maltodekstrin ...24
2.6.3 Na-CMC ...26
2.7 Analisis Keputusan...28
2.8 Analisis Kelayakan Finansial ...28
2.8.1 Break Event Point (BEP)...29
2.8.2 Net Present Value (NPV) ...29
2.8.3 Internal Rate of Return (IRR) ...30
BAB III METODE PENELITIAN ...36
3.1Tempat dan Waktu Penelitian ...36
3.2Bahan Penelitian ...36
3.2.1 Bahan Baku ...36
3.2.2 Bahan Tambahan ...36
3.2.3 Bahan Untuk Analisa ...36
3.3Alat Penelitian ...37
3.4Metode Penelitian...37
3.5Parameter Yang Diamati ...41
3.6Prosedur Pembuatan ...41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...47
4.1 Hasil Analisa Inulin Bubuk Dari Umbi Gembili ...47
4.1.1 Rendemen ...47
4.1.2 Kadar Air ...49
4.1.3 Daya Larut ...52
4.1.4 Daya Serap Uap Air ...55
4.1.5 Kadar Inulin ...58
4.2 Analisa Keputusan ...59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...61
A. Kesimpulan ...61
B. Saran ...62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tabel 2. Kandungan gizi gembili ...15 Tabel 3. Nilai rata-rata rendemen inulin bubuk dengan perlakuan
jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur ...47 Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air inulin bubuk dengan perlakuan
jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur ...50 Tabel 5. Nilai rata-rata daya larut inulin bubuk dengan
perlakuan jenis bahan pengisi konsentrasi putih telur...53 Tabel 6. Nilai rata-rata daya serap uap air inulin bubuk dengan
perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur ...56 Tabel 7. Nilai rata-rata kadar inulin bubuk berdasarkan
perlakuan jenis bahan pengisi...58 Tabel 8. Nilai rata-rata kadar inulin bubuk berdasarkan
perlakuan konsentrasi putih telur ...59 Tabel 9. Hasil analisa inulin bubuk ...60
Gambar 2. Umbi gembili ... 14
Gambar 3. Daun gembili... 14
Gambar 4. Gembili setelah dikukus... 14
Gambar 5. Daging gembili setelah dikukus... 14
Gambar 6. Struktur kimia dekstrin... 23
Gambar 7. Struktur kimia maltodekstrin ... 24
Gambar 8. Struktur kimia Na-CMC...……...… 26
Gambar 9. Diagram alir proses ekstraksi dan presipitasi inulin dari umbi gembili ...45
Gambar 10.Diagram alir proses pembuatan inulin bubuk dari umbi gembili…...46
Gambar 11. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap rendemen inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ...48
Gambar 12. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap kadar air inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ... 51
Gambar 13. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap daya larut inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ... 54
Gambar 14. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap daya serap uap air inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ... 57 Gambar 15. Grafik Titik Impas (Break Event Point)
vii Lampiran 1. Prosedur Analisa.
Lampiran 2. Parameter Rendemen. Lampiran 3. Parameter Kadar air Lampiran 4. Parameter Daya larut
Lampiran 5. Parameter Daya serap uap air Lampiran 6. Parameter Kadar inulin Lampiran 7. Analisa Kelayakan Finansial Lampiran 8. Perhitungan Modal Perusahaan
Lampiran 9. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun Lampiran 10. Perhitungan Keuntungan Produksi Inulin Dari Gembili Lampiran 11. Perhitungan Payback Periode dan Break Event Point Lampiran 12. Perhitungan NPV
Lampiran 13. Perhitungan Laju Pengembalian Modal
KARUNIA GANIS WILUJENG NPM : 0633010048
INTISARI
Inulin adalah salah satu karbohidrat yang berfungsi sebagai prebiotik. Salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan mengandung inulin dalam jumlah yang cukup tinggi adalah Dioscorea spp. (jenis uwi-uwian) antara lain gembili (Dioscorea esculenta). Pemanfaatan inulin menjadi produk bubuk memiliki kelebihan antara lain lebih praktis, mudah dimasukkan dalam bahan sebagai suplemen pangan, dan lebih awet, namun permasalahan yang ditimbulkan pada pembuatan inulin bubuk dengan metode pengeringan oven adalah penampakan yang kurang bagus, lengket, dan sukar larut dalam air, oleh sebab itu digunakan metode foam mat drying dengan kajian perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap inulin bubuk yang dihasilkan.
Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis bahan pengisi (dekstrin, maltodekstrin, dan Na-CMC) dan faktor kedua adalah konsentrasi putih telur (2; 4 ; 6; 8 ; dan 10% b/b) .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan jenis bahan pengisi maltodekstrin dan konsentrasi putih telur 6%, yang menghasilkan inulin bubuk dengan rendemen 3,7883%, kadar air 8,8516%, daya larut 99,9496%, daya serap uap air 72,4339%, dan kadar inulin 86,75%. Analisa finansial dari perlakuan terbaik menunjukkan nilai BEP sebesar 38,28% dari total produksi, NPV sebesar Rp. 236.015.631, dan Payback Periode 5 tahun 3 bulan
dengan Benefit Cost Ratio sebesar 1,43 serta IRR 12,657% (dengan tingkat suku bunga 20%).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inulin adalah salah satu karbohidrat yang berfungsi sebagai prebiotik yang
efektif, yaitu didefinisikan sebagai komponen pangan yang tidak dapat dicerna
oleh enzim-enzim pencernaan sehingga mencapai usus besar tanpa mengalami
perubahan struktur dan dapat menstimulasi secara selektif pertumbuhan dan
aktivitas bakteri yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan (Roberfroid,
1995).
Peran mikroflora atau bakteri saluran pencernaan sangat penting bagi
kesehatan seseorang. Menurut Pompei et.al.,(2008), di dalam saluran pencernaan
bawah (gastrointestinal) merupakan ekosistem yang kompleks mengandung lebih
dari 1011 CFU bakteri per gram.
Penyakit degeneratif sangat dipengaruhi oleh ekosistem mikroflora usus.
Untuk mencapai kesehatan tubuh yang optimal harus dilakukan manajemen
mikroflora usus yaitu proporsi bakteri ‘baik’ yakni bakteri usus yang dapat
meningkatkan kesehatan dan bakteri ‘jahat’ yakni bakteri yang merugikan
kesehatan ditekan jumlahnya, dengan cara mengkonsumsi probiotik dan
menyediakan nutrisi yang sesuai untuk bakteri probiotik yang disebut prebiotik
(Anonymous, 2008).
Inulin dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik antara lain :
Bifidobacterium adolesentis, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium breve,
Bifidobacterium longum, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus reuteri, Lactobacillus delbruechii dan dapat menghambat
pertumbuhan bakteri yang merugikan kesehatan seperti E.coli dan Clostridia
(Pompei et.al., 2008).
Di luar negeri seperti di negara Amerika dan Inggris, inulin dapat
diproduksi secara komersial dari umbi tanaman chicory (Cichorium intybus).
Tanaman chicory tidak ditemukan di Indonesia, selain itu inulin belum diproduksi
di Indonesia sehingga kebutuhan inulin baik untuk industri maupun untuk
penelitian masih diimport, oleh karena itu produksi inulin di Indonesia dari bahan
baku lokal sangat diperlukan. Salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di
Indonesia dan mengandung inulin dalam jumlah yang cukup tinggi adalah uwi
atau Wild Yam (Dioscorea spp.) (Anonymous, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan
sebelumnya terhadap kadar inulin dari sepuluh varietas umbi uwi yakni D. alata
(uwi putih), D. pinthaphylla (uwi putih besar), D. hispida (gadung), D. alata (uwi
kuning kulit ungu), D. alata (uwi ungu), D. esculenta (gembili), D. alata (uwi
kuning), D. villosa (uwi putih kulit kuning), D. bulbifera (gembolo), D. rotundata
(uwi kuning kulit coklat) yang diperoleh dari daerah Surabaya, Pacet, Malang, dan
Nganjuk sehingga didapat satu varietas uwi yang memiliki kadar inulin tertinggi
yang akan digunakan pada pembuatan inulin bubuk ini, yaitu uwi jenis Dioscorea
esculenta atau gembili dengan kadar inulin pada umbi segar sebesar 14,629%
(bk).
Permasalahan yang ditimbulkan dalam pembuatan inulin bubuk adalah jika
inulin dikeringkan dengan metode pemanasan oven akan lengket, kurang remah,
dan penampakan fisik kurang bagus (mengkristal), oleh karena itu perlu dilakukan
suatu metode pengeringan yang dapat memperbaiki karakteristik inulin bubuk
tersebut.
Salah satu metode pengeringan mudah dan murah yang akan digunakan
dalam pembuatan inulin bubuk ini adalah metode pengeringan busa (foam mat
drying). Foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang
sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa
untuk bahan yang peka terhadap panas dan merupakan salah satu pengeringan
yang digunakan terhadap senyawa yang menyebabkan lengket jika dikeringkan
dengan cara lain (Andriastuti, 2003).
Pada metode foam mat drying perlu ditambahkan bahan pembusa untuk
mempercepat pengeringan, menurunkan kadar air, dan menghasilkan produk
bubuk yang remah. Menurut Kumalaningsih dkk (2005), dengan adanya busa
maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu
tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 50-80°C dapat
menghasilkan kadar air 2-3%. Bubuk hasil dari metode foam mat drying
mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah (ringan) dan bersifat remah.
Bahan pengisi yang ditambahkan pada metode foam mat drying bertujuan
untuk memperbaiki karakteristik inulin bubuk yang bersifat sangat higroskopis
(menyerap uap air dari sekitarnya), meningkatkan kelarutan, dan membentuk
padatan terhadap bubuk yang dihasilkan. Menurut Koswara (2005), bahan pengisi
dapat mengurangi sifat higroskopis bahan, membentuk padatan yang baik, dan
memudahkan bahan larut dalam air.
Konsentrasi bahan pembusa (foaming agent) dan jenis bahan pengisi
sangat berpengaruh terhadap produk bubuk yang dihasilkan dari metode foam mat
drying, oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh konsentrasi
bahan pembusa dan jenis bahan pengisi yang paling baik.
Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain
oleh Razkumar et.al., (2006), pada pembuatan bubuk buah alphonso,
menggunakan bahan pembusa (foaming agent) putih telur 10% dan metil selulosa
0,5% sebagai stabilizer.
Raharitsifa et.al., (2006), pada pembuatan bubuk jus apel dengan
membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida
metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari
penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5% dan putih
telur 2-3%. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa
yang terbentuk.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan
pembusa putih telur terhadap inulin bubuk yang dihasilkan.
2. Menemukan perlakuan terbaik dari jenis bahan pengisi dan konsentrasi
bahan pembusa putih telur terhadap produk inulin bubuk yang dihasilkan.
1.3 Manfaat
1. Peningkatan nilai ekonomis umbi gembili (Dioscorea esculenta) sebagai
penghasil komponen prebiotik inulin
2. Memberikan informasi bahwa inulin bubuk dapat dimanfaatkan sebagai
suplemen pangan yang dapat dimasukkan ke dalam bahan pangan seperti
susu, biskuit, es krim, dan produk olahan lainnya.
3. Memberikan inspirasi ilmiah dan menumbuhkan kesadaran tentang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inulin
Inulin adalah prebiotik, merupakan senyawa karbohidrat yang banyak
terdapat pada bagian tanaman. Inulin dapat larut dalam air namun tidak dapat
dicerna oleh enzim-enzim dalam sistem pencernaan mamalia sehingga mencapai
usus besar tanpa mengalami perubahan struktur (Roberfroid, 1995).
Di dalam usus besar inulin difermentasi oleh bakteri-bakteri yang terdapat di
dalam usus besar sehingga berpengaruh positif terhadap kesehatan inangnya,
karena sifat tersebut inulin dapat dikombinasikan dengan sediaan probiotik
(bakteri hidup yang ditambahkan pada makanan inang untuk meningkatkan
kesehatan) (Anonymous, 2008a).
Inulin juga berperan dalam proses pencernaan yang memberikan efek
fisiologis sama dengan dietary fiber. Konsumsi inulin dapat meningkatkan secara
nyata bakteri yang bermanfaat yaitu bifidobakteria (Silva, 1996), dengan demikian
inulin dapat dikatakan sebagai komponen fungsional.
Sifat fungsional inulin sebagai serat makanan dapat larut (soluble dietary
fiber) sangat bermanfaat bagi pencernaan dan kesehatan tubuh (Sardesai, 2003).
Sifat inulin sebagai serat makanan berpengaruh pada fungsi usus dan perbaikan
parameter lemak dalam darah. Inulin mempengaruhi fungsi usus dengan
meningkatkan massa feses dan meningkatkan frekuensi defekasi terutama pada
dilaporkan antara lain penurunan kadar trigliserida serum dan kolesterol darah
pada penderita hiperkolesterolemik (Anonymous, 2009a).
Inulin telah dibuktikan secara klinis dapat meningkatkan bifidobakteria
sehat di perut. Studi yang sama juga membuktikan bahwa inulin dapat membantu
sistem daya tahan tubuh dan membantu penyerapan vitamin (Anonymous, 2009a).
Di dalam usus besar, hampir seluruh inulin difermentasi menjadi
asam-asam lemak rantai pendek dan beberapa mikroflora spesifik menghasilkan asam-asam
laktat, hal ini menyebabkan penurunan pH kolon sehingga pertumbuhan bakteri
patogen terhambat. Mekanisme seperti ini berimplikasi pada peningkatan
kekebalan tubuh. Asam laktat yang dihasilkan juga merangsang gerak peristaltik
usus sehingga mencegah konstipasi dan meningkatkan penyerapan kalsium untuk
mencegah osteoporosis. Untuk mendapatkan manfaat di atas, inulin telah
digunakan dalam beberapa produk susu. Manfaat penting peningkatan kekebalan
tubuh lebih diarahkan untuk anak-anak, sedangkan mencegah osteoporosis
ditujukan bagi wanita usia menopause (Widowati, 2006).
Inulin sangat luas penggunaannya di dalam industri pangan, baik di Eropa,
USA maupun Canada. Akhir-akhir ini inulin digunakan sebagai komponen
(ingredient) dari diet dan produk-produk rendah lemak serta penurun kalori
makanan seperti es krim, produk susu, dan roti (Toneli, et.al., 2008).
Inulin merupakan salah satu polisakarida yang tersusun atas polimer dari
unit-unit fruktosa dengan gugus terminal glukosa. Unit-unit fruktosa dalam inulin
dihubungkan oleh ikatan β(21)glikosidik. Inulin dari tanaman biasanya
inulin disebut fruktooligosakarida yang mengandung 2 molekul fruktosa dan 1
molekul glukosa (Anonymous, 2009b). Struktur inulin dapat dilihat pada gambar1.
Gambar 1. Struktur inulin (Anonymous, 2009b)
Adapun karakteristik fisiko-kimia dari chicory inulin dapat dilihat pada Tabel
dibawah ini.
Tabel 1. Karakteristik fisiko-kimia chicory inulin
No Keterangan Inulin
Standar
Kadar logam (ppm b.k) Penampakan
Rasa
Kemanisan (vs sukrosa =100%) Kelarutan dalam air (25oC (g/L))
Viskositas dalam air (5%) pada suhu 10oC (mPa.s)
Sumber : Franck (2002)
2.2 Ekstraksi dan Presipitasi Inulin
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan
komponen yang dapat larut dipisahkan dari bahan padat dengan bantuan pelarut.
Dalam ekstraksi, suhu sering kali memegang peranan penting, semakin tinggi
suhu, semakin kecil viskositas fasa cair dan semakin besar kelarutan ekstrak
dalam pelarut (Bernasconi, 1995).
Menurut Suyitno (1989), ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
tetapi umumnya dengan menggunakan pelarut. Prinsip ekstraksi dengan pelarut
berdasarkan kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Pada
ekstraksi tersebut terjadi pemisahan antara komponen yang mempunyai kelarutan
lebih kecil dalam pelarut yang digunakan. Produk utama dalam proses ekstraksi
adalah ekstraknya, yaitu pelarut dengan komponen yang larut.
Prinsip kerja ekstraksi yaitu mengambil salah satu komponen dari partikel
padat atau cair dengan jalan menambahkan zat pelarut tertentu yang dapat
melarutkan komposisi tersebut (Geankoplis, 1997).
Proses ekstraksi mula-mula terjadi penggumpalan ekstrak dalam pelarut,
terjadi kontak antara bahan dengan pelarut, sehingga pada bidang antar muka
bahan ekstraksi terjadi pengendapan massa dengan cara difusi. Bahan ekstraksi
yang telah tercampur menyebabkan pelarut menembus kapiler-kapiler dalam
bahan padat dapat melarutkan ekstrak. Larutan ekstrak dengan konsentrasi yang
tinggi terbentuk di bagian dalam bahan ekstraksi. Dengan cara difusi akan terjadi
kesetimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dengan larutan di luar bahan
padat (Bernasconi, 1995).
Inulin merupakan senyawa yang larut dalam air, dimana kelarutannya
90°C kelarutannya 35% (Silva, 1996). Menurut Kim et.al., (2001), pada suhu
25°C inulin hampir tidak larut dalam air, tetapi kelarutannya meningkat secara
nyata sejalan dengan meningkatnya suhu.
Berghofer et.al (1993), melaporkan bahwa larutan konsentrat inulin tanpa
pengadukan (40% dari berat) yang didinginkan dari 95°C sampai 4°C selama
lebih dari 30 jam, inulin akan mengendap atau mengkristal sebagai senyawa tak
berwarna/pucat yang dapat dipisahkan dengan penyaringan.
Kim et.al (2001), mengatakan bahwa gel inulin akan terbentuk oleh
pemotongan atau pemanasan/pendinginan larutan inulin. Pemanasan larutan inulin
dapat melarutkan inulin dan pendinginan menyebabkan inulin terlarut mengalami
presipitasi. Gel terbentuk pada proses pemanasan-pendinginan, rasio gel yang
terbentuk dari total volume dipengaruhi oleh suhu pemanasan, konsentrasi inulin,
pH dan penambahan pelarut.
Menurut Leite et.al (2004), kelarutan inulin rendah pada suhu rendah,
larutan ekstrak inulin mengalami fase pemisahan ketika didinginkan atau
dibekukan. Fase pengendapan paling pekat sebagai endapan yang menempel,
dengan konsentrasi inulin lebih tinggi.
Pengendapan (presipitasi) adalah suatu proses pemisahan diri suatu fase
padat keluar dari larutan, endapannya mungkin berupa kristal atau koloid dan
dapat dikeluarkan dari larutan dengan penyaringan atau pemusingan (sentrifugasi)
(Vogel, 1985).
Prinsip presipitasi adalah jika larutan sudah terlalu jenuh dengan zat yang
mula-mula akan terjadi pembentukan presipitat atau partikel yang
melayang-layang dalam larutan dan dapat mengendap dalam waktu lama. Presipitat tersebut
akan saling tergabung membentuk agregat (partikel yang lebih besar dari
presipitat sebelum mengendap. Jika jumlah agregat terus bertambah maka akan
saling membentuk endapan yang kemudian turun menempel pada dasar tabung
reaksi (Anonymous, 2008b).
2.2.1 Tahap-Tahap Ekstraksi dan Presipitasi Inulin
Menurut Toneli et.al.(2008), tahap-tahap proses ekstraksi inulin adalah
sebagai berikut :
1. Tahap pertama adalah pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan
tanah dan kotoran-kotoran lain yang menempel pada umbi (Anonymous,
2007).
2. Pengirisan untuk memperkecil ukuran agar proses penggilingan lebih mudah
dilakukan.
3. Tahap ketiga adalah penggilingan. Penggilingan dilakukan dengan
penambahan air panas suhu 90oC. Penggilingan bertujuan untuk memperkecil
ukuran partikel zat terlarut sehingga luas singgungan antara zat terlarut dengan
pelarut semakin luas, maka larutan ekstrak yang diperoleh akan semakin
banyak (Ranggana, 1975).
4. Ekstraksi dengan menggunakan air panas suhu 70–80°C selama 1 jam.
Pemanasan ini bertujuan untuk melarutkan inulin yang terkandung dalam
5. Tahap selanjutnya adalah penyaringan. Penyaringan bertujuan untuk
memisahkan antara filtrat yang mengandung inulin dengan ampas umbi (Leite
et.al., 2004).
6. Presipitasi (pengendapan) dengan pendinginan atau pembekuan. Menurut
Leite et.al., (2004), larutan ekstrak inulin mengalami fase pemisahan ketika
didinginkan atau dibekukan. Pembekuan dalam freezer dilakukan pada suhu
-10oC selama 18 jam (Widowati, 2005).
7. Setelah dibekukan, larutan dikeluarkan dari freezer dan dicairkan pada suhu
ruang kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit
sampai diperoleh endapan putih inulin (Widowati, 2005).
2.3 Sumber Inulin
Inulin dapat ditemukan di lebih dari 30.000 jenis tanaman (Leite et.al.,
2004).Di Indonesia, sumber inulin dapat dijumpai pada tanaman jenis uwi-uwian
(Dioscorea spp.). Menurut Anonymous (2009b), terdapat lebih dari 600 spesies
dari genus Dioscorea spp., antara lain Dioscorea hispida (gadung), Dioscorea
esculenta (gembili), Discorea bulbifera (gembolo), Dioscorea alata (uwi
ungu/purple yam), Dioscorea opposita (uwi putih), Dioscorea villosa, Dioscorea
altassima, Dioscoreaelephantipes dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian Yuniar (2010), kadar inulin dari sepuluh varietas
umbi uwi segar yang diperoleh dari daerah Surabaya, Pacet, Malang, dan Nganjuk
sebagai berikut : Diocorea alata (uwi putih) sebesar 3,542% ; Dioscorea
pinthaphylla (uwi putih besar) sebesar 2,213% ; Dioscorea hispida (gadung)
Dioscorea alata (uwi ungu) sebesar 7,227% ; Dioscorea esculenta (gembili)
sebesar 14,629% ; Dioscorea alata (uwi kuning) sebesar 12,528% ; Dioscorea
villosa (uwi putih kulit kuning) sebesar 9,164% ; Dioscorea bulbifera (gembolo)
sebesar 11,042% ; Dioscorea rotundata (uwi kuning kulit coklat) sebesar
13,723% (bk),
2.3.1 Gembili (Dioscorea esculenta)
Menurut Yuniar (2010), jenis Dioscorea yang memiliki kandungan inulin
tertinggi dari beberapa varietas yang ada adalah Dioscorea esculenta (gembili)
sebesar 14,629% (bk).
Gembili (Dioscorea esculenta L., suku gadung-gadungan atau
Dioscoreaceae) merupakan tanaman umbi-umbian yang sekarang sudah sulit
dijumpai di pasar. Penanamannya masih cukup luas di pedesaan walaupun juga
semakin terancam pembudidayaannya (Anonymous, 2009).
Gembili menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Umbi biasanya direbus
dan bertekstur kenyal. Umbi gembili serupa dengan umbi gembolo, namun
berukuran lebih kecil. Tumbuhan gembili merambat dan rambatannya berputar ke
arah kanan (searah jarum jam jika dilihat dari atas). Gembili dianggap sebagai
tumbuhan berpotensi besar di masa depan. Berbagai penelitian untuk melestarikan
keragaman hayati dan pengolahan umbinya (dibuat menjadi etanol atau minuman
beralkohol) telah dilakukan (Anonymous, 2009c).
Gembili adalah jenis umbi yang tumbuh merambat dengan daun berwarna
hijau dan batang agak berduri. Buahnya menyerupai ubi jalar dengan ukuran
Umbi gembili biasanya dimasak dengan cara direbus. Kulit gembili yang sudah
direbus akan menjadi kering. Umbinya berwarna putih bersih dengan tekstur
menyerupai ubi jalar dan rasa yang khas (Riawan, 2007). Berikut disajikan
gambar gembili :
Gambar 2. Umbi gembili Gambar 3. Daun gembili
Gambar 4. Gembili setelah dikukus Gambar 5. Daging gembili setelah dikukus
Gembili dikonsumsi dalam bentuk gembili rebus atau bakar, meskipun dapat
pula diolah menjadi berbagai kue atau kolak gembili. Gembili belum
dikembangkan sebagai usaha industri rumah tangga, karena selain produksinya
terbatas, pengetahuan petani dalam penganekaragaman produk gembili masih
rendah (Rauf, 2009).
Gembili biasanya ditanam dalam jumlah terbatas, meskipun penduduk
panennya agak lama, yaitu 7−9 bulan (Rumawas, 2004). Kandungan gizi umbi
gembili dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Kandungan Gizi dalam 100 g Umbi Gembili Segar
Zat Gizi Satuan Jumlah
Sumber : Hardinsyah dan Briawan, 1994.
2.4 Metode Pengeringan Busa (Foam Mat Drying)
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian besar air bahan yang dikandung melalui penggunaan energi tinggi.
Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap
tempat dari bahan tersebut dan uap air yang diambil berasal dari semua
permukaan bahan tersebut (Winarno, 1993).
Metode pengeringan produk bubuk contohnya adalah freeze drying
(pengeringan beku), foam mat drying (pengeringan busa) dan spray drying
(pengeringan semprot). Cara pengeringan untuk menghasilkan bubuk yang mudah
dilakukan adalah dengan menggunakan metode pengeringan busa (foam mat
Menurut Desrosier (1988), foam mat drying merupakan cara pengeringan
bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan
menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan
diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.
Foam mat drying untuk bahan yang peka terhadap panas dan merupakan
salah satu pengeringan yang digunakan terhadap senyawa yang menyebabkan
lengket jika dikeringkan dengan cara lain (Andriastuti, 2003).
Foam (busa) didefinisikan sebagai suatu sistem yang terbentuk oleh dua
fase, yaitu udara sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase kontinyu. Salah satu
metode yang telah digunakan dan paling sering digunakan untuk membentuk foam
adalah metode pengocokan menggunakan mixer (Baniel dkk., 1997).
Menurut Karim dan Wai (1998), metode pengeringan busa diaplikasikan
pada bahan pangan yang sensitif terhadap panas. Setelah dilakukan pemanasan,
bahan dihancurkan menjadi bentuk bubuk.
Keuntungan pengeringan menggunakan metode foam mat drying menurut
Kumalaningsih dkk., (2005) antara lain:
1. Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses
pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan.
2. Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka akan
mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi,
suhu yang digunakan sekitar 50-80°C dan dapat menghasilkan kadar air
hingga 3%, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 71°C
3. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai kualitas warna dan rasa
yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh suhu penguapan yang tidak
terlalu tinggi sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma, dan rasa tidak
banyak yang hilang.
4. Biaya lebih murah bila dibandingkan dengan proses produk siap saji lainnya
sebab tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga energi
yang dibutuhkan lebih kecil dan waktunya lebih singkat.
5. Produk bubuk yang dihasilkan lebih stabil selama proses penyimpanan
sehingga umur produk lebih tahan lama.
6. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai densitas atau
kepadatan yang rendah (ringan)/porous, dengan banyak gelembung gas yang
terkandung pada produk kering sehingga mudah dilarutkan dalam air.
Menurut Desrosier (1988), konsentrasi busa yang semakin banyak akan
meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada bahan sehingga
akan meningkatkan kecepatan pengeringan.
Andriastuti (2002), menyatakan bahwa lapisan pada pengeringan busa lebih
cepat kering daripada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama, hal ini
disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa daripada melalui
lapisan padat pada bahan yang sama, keuntungan lain dari metode pengeringan
foam mat drying adalah menurunkan waktu pengeringan sepertiga dari waktu
yang digunakan.
Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh ketepatan
bahan pembusa, dan bahan pengisi yang tepat, oleh sebab itu dalam penelitian ini
akan diteliti jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa yang tepat
sehingga diperoleh karateristik inulin bubuk yang baik.
Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain oleh
Razkumar, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk buah alphonso, perlakuan terbaik
diperoleh pada penggunaan bahan pembusa (foaming agent) albumin telur 10%
dan metil selulosa 0,5% sebagai stabilizer.
Raharitsifa, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk jus apel dengan
membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida
metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari
penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5% dan putih
telur 2-3%. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa
yang terbentuk.
Kudra dan Ratti (2006), menghitung efisiensi kebutuhan energi dan biaya
pada pembuatan bubuk buah dengan metode foam mat drying, dan ternyata
metode ini hanya memerlukan energi 0,2 dibandingkan pengeringan biasa dan
menurunkan biaya 11% dibanding belt conveyor drying, serta menurunkan biaya
10% dibandingkan menggunakan drumdryer.
2.5 Bahan Pembusa
Bahan pembusa adalah suatu bahan tambahan yang digunakan untuk
membentuk busa. Busa adalah dispersi koloid dari gelembung gas yang
beberapa sifat tertentu dari cairannya. Sebagai contoh cairan dengan viskositas
tinggi akan memfasilitasi terperangkapnya gelembung gas.
Untuk membuat busa diperlukan bahan aktif permukaan. Bahan aktif
permukaan membantu cairan menyebar mengelilingi gas, pembentukan, dan
kestabilan gelembung gas. Adanya surfaktan atau stabiliser yang secara struktural
akan berada pada permukaan gelembung gas juga akan menambah kestabilan
busanya. Tekanan uap yang rendah dari cairannya akan menurunkan
kemungkinan dari molekul-molekul cairan yang mengelilingi gelembung untuk
menguap dengan mudah yang dapat menyebabkan pecahnya busa (Pomeranz,
1985).
Bahan yang berperan dalam pembuatan foaming agent (zat/bahan pembusa)
adalah monogliserida atau protein kedelai yang dimodifikasi dengan metil
selulose, ester-ester dari sucrose, tween 80, dan protein putih telur (Smith,
1991;Tranggono dkk., 1990).
2.5.1 Putih Telur (Albumin)
Putih telur adalah cairan kental dari protein-protein yang terdispersi secara
koloidal dalam air. Cairan dapat diubah atau dikonversi menjadi busa dengan
pengocokan gelembung-gelembung udara ke dalam cairan tersebut (Charley,
1982). Komponen terbesar dalam putih telur selain air adalah protein. Protein
yang terdapat pada putih telur berperan dalam pembentukan buih disebut
ovalbumin, ovomusin, dan ovoglobin.
Putih telur mengandung protein utama albumin yang bersifat larut air. Albumin
dapat membentuk struktur yang kaku bila dikocok. Saat pengocokan udara masuk dan
protein putih telur membentuk struktur lapisan tipis atau film di sekitar udara tersebut
sehingga terbentuk busa atau foam. Berbagai uji coba menunjukkan bahwa busa terbaik
terbentuk bila protein dikocok secukupnya atau tidak berlebihan. Pengocokan yang
berlebihan justru merusak struktur busa (Setiawan, 2010).
Protein akan berada pada permukaan udara-air dari gelembung udara dan
mengalami denaturasi (unfold) untuk mendukung struktur busa. Denaturasi lebih
lanjut terjadi ketika pemanasan menyebabkan koagulasi protein sehingga
menghasilkan struktur yang lebih stabil. Penambahan gula ketika pengocokan
meningkatkan pembentukan busa karena sifat higroskopik dari gula yang
menyimpan air. Gugus hidroksil pada struktur gula akan membentuk ikatan
hidrogen dengan air. Akan tetapi gula akan memperlambat denaturasi. Oleh
karenanya pengocokan harus lebih kuat agar diperoleh busa yang sama banyak
(Hudayanti, 2009).
Pembusaan dapat terjadi apabila ada udara atau gas terperangkap di
dalamnya. Semakin banyak udara atau gas yang terperangkap, pembusaan juga
akan semakin baik dan hal ini akan ditunjukkan oleh pengembangan volume dan
kekakuan tekstur putih telur (Widianarko, 2000).
Menurut Charley (1982), putih telur dengan mudah dapat membentuk busa
yang bagus dengan gelembung-gelembung udara kecil oleh pengadukan atau
pengocokan. Pengocokan dapat dilakukan dengan menggunakan mixer pada
kecepatan maksimum selama 10 menit. Apabila pengocokan dilakukan dengan
menyatakan bahwa busa dengan pengocokan kurang, mempunyai gelembung gas
yang cukup besar dan kurang stabil.
Di dalam putih telur terdapat suatu zat protein yang dapat memberikan
pengaruh-pengaruh negatif bagi tubuh, karena kemampuannya untuk mengikat
biotin (suatu vitamin). Biotin akan terikat kuat oleh avidin sehingga tidak dapat
diserap oleh usus dan akhirnya dikeluarkan bersama feses. Keracunan oleh avidin
memberikan gejala dermatitis, kebotakan dan kelainan syaraf.
Dosis keracunan selain dipengaruhi oleh aktivitas avidin dalam telur
(dipengaruhi oleh proses pengolahan/pemanasan) dan jumlah telur yang
dikonsumsi, juga sangat dipengaruhi oleh kadar biotin dari makanan lain yang
dikonsumsi, serta status biotin dalam darah. Sehingga tidak setiap orang yang
mengkonsumsi telur akan menderita keracunan. Avidin dapat dihancurkan
aktivitasnya dengan cara memanaskan pada suhu 18oC selama 5 menit (pada suhu
yang lebih tinggi diperlukan waktu pemanasan yang lebih singkat) (Anonymous,
1990).
Salmonella adalah suatu bakteri yang dapat menimbulkan keracunan
(Salmonella food poisoning), dengan gejala-gejala seperti mual-mual, muntah,
sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam, dan diare. Bakteri ini dapat
mengkontaminasi telur sewaktu masih dalam indung telur ayam, tetapi yang
paling sering terjadi adalah setelah telur dikeluarkan, terutama apabila kebersihan
kandang dan lingkungan kurang diperhatikan.
Salmonella dapat diinaktifkan dengan pemanasan. Untuk menghindari
(USDA) mengharuskan melakukan pemanasan (pasteurisasi) selama 3,5 menit
pada suhu 56,70oC atau 6,2 menit pada suhu 55,50oC untuk putih telur atau 6,2
menit pada suhu 60oC untuk telur utuh (campuran putih telur dan kuning telur).
Dasar pemikiran penggunaan busa putih telur adalah karena biaya lebih
murah dibandingkan dengan foaming agent lainnya serta mudah untuk didapat,
selain itu menurut Raharitsifa (2006), busa putih telur strukturnya lebih kuat,
kapasitas busa lebih tinggi, dan rata-rata diameter gelembungnya lebih kecil
daripada busa metilselulosa.
2.6 Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan pada proses pengolahan
pangan untuk melapisi komponen-komponen flavour, meningkatkan jumlah total
padatan, memperbesar volume, mempercepat proses pengeringan dan mencegah
kerusakan bahan akibat panas (Murtala, 1999).
Pada umumnya bahan yang bersifat hidrokoloid sering digunakan sebagai
bahan pengisi karena dapat memberikan kestabilan dalam suatu emulsi, suspensi,
dan buih (foam). Banyak stabilizer dan bahan pengisi berasal dari polisakarida
seperti gum arab, Na-CMC, dekstrin, karagenan, agar, dan jenis pati termodifikasi
lainnya (Fennema, 1985).
Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Na-CMC,
dekstrin, dan maltodekstrin, karena mudah larut dalam air dan memiliki
2.6.1 Dekstrin
Dekstrin adalah golongan karbohidrat dengan berat molekul rendah yang
dibuat dari hidrolisa pati dengan asam. Dekstrin merupakan gabungan polimer
dari unit-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan memiliki
rantai cabang α-(1,6) glikosidik (Anonymous, 2010a). Berat molekul dekstrin
sebesar 50.000 Dal (Winarno, 2002)
Dalam pembuatan dekstrin rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh
enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu 6-10
unit glukosa dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Berkurangnya panjang rantai
menyebabkan terjadinya perubahan sifat pati yang tidak larut dalam air menjadi
dekstrin yang mudah larut dalam air lebih cepat terdispersi, memiliki kekentalan
yang lebih rendah serta lebih stabil daripada pati (BeMiller, 1993).
Gambar 6. Gambar struktur kimia dekstrin (Anonymous, 2010a)
Dekstrin memiliki struktur molekul berbentuk spiral sehingga
molekul-molekul flavour akan terperangkap di dalam struktur spiral helix, dengan
selama proses pengolahan dan bersifat stabil terhadap panas dan oksidasi
(Lastriningsih, 1997). Dekstrin juga berfungsi sebagai bahan pencegah
pengendapan pada produk bubuk kering dan sebagai bahan pendispersi (Pulungan
dkk., 2003).
Dekstrin memiliki viskositas yang relatif rendah, oleh karena itu pemakaian
dekstrin dalam batas jumlah sebanyak 15 g/kg menurut permenkes RI dalam
Cahyadi (2006), masih diijinkan. Pemakaian dekstrin dimaksudkan sebagai bahan
pengisi (filler) menguntungkan, karena dapat meningkatkan berat produk dalam
bentuk bubuk yang dihasilkan (Warsiki dkk, 1995).
2.6.2 Maltodekstrin
Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hasil hidrolisis pati yang
tidak sempurna atau disebut hidrolisis parsial yang dibuat dengan penambahan
asam atau enzim (Anonymous, 2010b).
Berdasarkan struktur kimianya, maltodekstrin tersusun dari unit-unit α
-D-glukosa 2-20 unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan α-(1,4) glikosidik.
Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] (Luthana, 2008). Berat
molekul maltodekstrin sebesar 1800 Dal (Jacson and Lee, 1991).
Sifat-sifat maltodekstrin bergantung pada DE (Dextrose Equivalents) dan
mempunyai DE antara 3 hingga 20. DE merupakan ukuran kuantitatif derajat
hidrolisa polimer pati (Semakin tinggi nilai DE, semakin pendek rantai glukosa,
semakin tinggi tingkat kemanisan dan hidrolisa pati) (DeMan, 1988). FDA (Food
and Drugs Administration) mendefinisikan maltodekstrin sebagai produk yang
memiliki DE kurang dari 20 dan dinyatakan aman untuk campuran bahan pangan
(Anonymous, 2010c).
Maltodekstrin berbentuk bubuk kering merupakan pembentuk padatan yang
baik untuk produk standard dan rendah lemak, efektif dalam pengeringan flavour,
jus buah, dan produk yang sulit kering lainnya dengan menggunakan pengering
semprot (Linden Guy and D.Lorient, 1999).
Hui (1992), menjelaskan bahwa maltodekstrin dapat digunakan pada
makanan karena maltodekstrin memiliki sifat-sifat spesifik tertentu. Sifat-sifat ini
antara lain proses dispersi yang cepat, daya larut yang tinggi, mampu membentuk
film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, mampu menghambat kristalisasi,
daya ikat yang baik, proses browning rendah, dan mampu membentuk ‘body’.
Firdaus (2005), menggunakan maltodekstrin sebagai bahan pengisi bubuk
sari buah nangka menggunakan metode foam mat drying dengan konsentrasi 5% ;
7,5% ; 10%, dan Wardhani (2005), menggunakan konsentrasi maltodekstrin 5% ;
10% ; 15% sebagai bahan pengisi serbuk sambiloto. Perlakuan terbaik keduanya
2.6.3 Na-CMC (Natrium Carboxymethyl Celullose)
Natrium Karboksimetil selulosa merupakan eter polimer selulosa linear dan
berupa senyawa anion, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, butiran atau
bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik (Wings,
2008).
Na-CMC (Natrium Carboxymethyl Celullose) yang banyak digunakan
dalam industri makanan adalah garam Na yang dalam bentuk murninya disebut
gum selulosa. Pembuatan Na-CMC ini dengan cara mereaksikan NaOH dengan
selulosa murni kemudian ditambahkan Na kloroasetat, karena Na-CMC
mempunyai gugus karboksil maka viskositas larutan Na-CMC dipengaruhi oleh
pH larutan dan bila pH terlalu rendah (<3), Na-CMC akan mengendap
(Winarno,2002).
Na-CMC merupakan makromolekul, dengan berat molekul yang sangat
besar yakni lebih besar dari 17.000 Dal atau jumlah rantai (n) hingga 100. Rumus
struktur kimianya adalah [C6H7O2(OH)x(OCH2COONa)y]n, jumlah rantai (n)
hingga 100, x=2 dan y=1
Batas penggunaan secara umum dari Na-CMC dalam minuman dan
makanan yang berbentuk cair ataupun padatan berupa bubuk yang diijinkan oleh
JECFA International adalah tidak lebih dari 2 mg/kg. Pada batas penggunaan
tertentu, Na-CMC akan memberikan tekstur tertentu terhadap bahan, karena
peranan natrium karboksi metil selulosa adalah sebagai pengikat air, pengental,
dan stabilisator campuran (Anonymous, 2000).
Warsiki dkk (1995), menyatakan bahwa konsentrasi Na-CMC yang makin
meningkat ternyata diikuti dengan peningkatan rendemen, kadar air, dan total
padatan terlarut.
Winarno (1992), menyatakan bahwa proses mekanisme Na-CMC sebagai
stabilizer yaitu mula-mula Na-CMC yang membentuk garam natrium
karboksimetil selulosa akan terdispersi di dalam air, butir-butir CMC yang bersifat
hidrofilik akan menyerap air. Peranan Na-CMC adalah menyelubungi
partikel-partikel terdispersi.
Razkumar, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk buah alphonso,
menggunakan bahan pembusa (foaming agent) albumin telur 10% dan metil
selulosa 0,5% sebagai stabilizer.
Raharitsifa, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk jus apel dengan
membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida
metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari
penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5% dan putih
telur 2-3%. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa
2.7 Analisis Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih
tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan
adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan
guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1997).
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur yang logis dan
kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenai pengambilan keputusan,
tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan (Susanto dan Saneto,
1994).
Analisis keputusan adalah untuk memilih alternatif terbaik yang dilakukan
antara aspek kualitas, kuantitas, dan aspek finansial dari produk yang dihasilkan
dari kombinasi setiap perlakuan, kemudian ditentukan alternatif yang terbaik
(Susanto dan Saneto, 1994).
2.8 Analisis Kelayakan Finansial
Tujuan dari analisis finansial adalah untuk mengetahui laba rugi dalam suatu
perusahaan. Data yang diperoleh dari analisis mutu kemudian diuji dengan
analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan-perlakuan terhadap
produk yang dihasilkan.
Data sekunder berupa harga-harga baik bahan baku maupun produk yang
dihasilkan. Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisis nilai uang dengan
metode Break Event Point (BEP), Net Present Value (NPV), Rate of Return
dengan metode Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Periode (PP) (Susanto
2.8.1 Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)
Break Event Point (BEP) atau titik impas adalah suatu keadaan tingkat
produksi tertentu menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama
dengan besarnya nilai atau hasil penjualan, jadi pada keadaan tersebut perusahaan
tidak mendapatkan keuntungan dan juga tidak mengalami kerugian. Perhitungan
BEP dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
1) Biaya titik impas
BEP (Rp) = FC 1 – ( Vc / P )
2) Presentase titik impas
BEP (%) = BEP (Rp) x 100 % P
3) Kapasitas titik impas
Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk
mencapai titik impas.
BEP (unit) = FC P – Vc
Keterangan :
FC = Biaya tetap
P = Pendapatan
Vc = Biaya tidak tetap
2.8.2 Net Present Value (NPV) (Susanto dan Saneto, 1994)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai investasi saat sekarang
diperoleh N > 0 berarti proyek layak dilaksanakan, dan sebaliknya bila NPV < 0
maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
Berikut rumus untuk menghitung NPV :
n Bt - Ct
NPV =
Σ
t - 1 ( 1 + i )Keterangan :
Bt = penerimaan pada tahun t
Ct = pengeluaran pada tahun t
t = 1, 2, 3, ..., n
n = umur ekonomis proyek
i = suku bunga bank
2.8.3 Internal Rate of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat suku bunga yang
menunjukkan persamaan antara nilai jumlah investasi sekarang dengan jumlah
investasi (modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Dengan kata
lain IRR adalah tingkat suku bunga yang akan menyebabkan NPV = 0. Bila nilai
IRR suatu proyek lebih besar dari suku bunga yang berlaku, maka proyek
dinyatakan layak untuk dilaksanakan. Rumus perhitungan IRR sebagai berikut :
IRR = i’ + NPV” x i” - i’ NPV’ - NPV”
Keterangan :
i’ = Tingkat suku bunga sekarang
NPV’ = NPV positif hasil percobaan nilai
NPV” = NPV negatif hasil percobaan nilai
2.8.4 Gross Benefit Ratio (Gross B/C Ratio)
Gross Benefit Ratio merupakan perbandingan antara penerimaan kotor
dengan biaya kotor yang telah dirupiahkan di masa sekarang atau
dipresentvaluekan. Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih
apabila Gross B/C > 1, sebaliknya bila proyek mempunyai Gross B/C < 1 tidak
akan dipilih.
∑ Bt t - 1 (1 + i)’ Gross B/C =
n
∑ Ct t – 1 (1 + i)’
Keterangan :
Bt = Penerimaan pada tahun ke-t
Ct = Biaya pada tahun ke-t
n = Umur ekonomis proyek
i = Suku bunga bank
2.8.5 Payback Periode ( PP ) (Susanto dan Saneto, 1994)
Payback Periode merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan
untuk pengembalian modal yang ditanam pada proyek, nilai tersebut berupa
presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode tersebut
proyek yang akan dipilih jika mempunyai waktu Payback Periode yang paling
cepat.
Rumus Payback Periode adalah sebagai berikut :
PP = I
Ab
Keterangan :
I = Jumlah modal
Ab = Penerimaan bersih
2.9 Landasan Teori
Inulin adalah komponen prebiotik, berperan dalam proses pencernaan yang
memberikan efek biologis sama dengan dietary fiber (Silva, 1996). Di Indonesia,
sumber inulin dapat diperoleh dari jenis uwi-uwian (Dioscorea spp.). Menurut
Yuniar (2010), uwi yang memiliki kadar inulin tertinggi adalah gembili
(Dioscorea esculenta) sebesar 14,629% (bk). Untuk memperpanjang masa simpan
inulin serta menambah nilai ekonomis gembili, inulin dapat diproses menjadi
produk kering.
Pengeringan merupakan suatu metode untuk menghilangkan sebagian air
dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan bantuan energi
panas. Istianah (2010), melakukan pengeringan inulin dengan menggunakan
metode pengeringan oven. Produk inulin yang dihasilkan kurang remah, memiliki
kenampakan kurang bagus (seperti kristal bening) dan daya larutnya rendah.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya dengan
loyang, oleh sebab itu diperlukan suatu metode pengeringan yang dapat
menghasilkan inulin dengan karakteristik yang lebih baik.
Penanganan inulin dari uwi gembili dalam bentuk bubuk merupakan
alternatif utama. Menurut Kumalaningsih (2005), produk bubuk adalah produk
olahan pangan yang berbentuk serbuk, ukuran partikel kecil/porous, kadar air
rendah, mudah dilarutkan dalam air, dan memiliki daya simpan yang lama. Salah
satu metode pengeringan yang paling cocok dalam pembuatan produk bubuk
inulin dari uwi gembili adalah foam mat drying.
Menurut Desrosier (1988), foam mat drying merupakan cara pengeringan
bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan
menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan
diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.
Pada metode foam mat drying perlu ditambahkan bahan pembusa untuk
mempercepat pengeringan, menurunkan kadar air, dan menghasilkan produk
bubuk yang remah. Menurut Kumalaningsih dkk (2005), dengan adanya busa
maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu
tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 50-80°C dapat
menghasilkan kadar air 2-3%. Bubuk hasil dari metode foam mat drying
mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah (ringan) dan bersifat remah.
Menurut Koswara (2005), bahan pengisi dapat mengurangi sifat higroskopis
bahan, membentuk padatan yang baik, dan memudahkan bahan larut dalam air.
Mekanisme foam mat drying adalah pemasukan udara dengan pengocokan
meningkatkan luas permukaan partikel dan memudahkan panas bergerak dalam
struktur busa tersebut. Bahan pembusa yang ditambahkan berfungsi mendorong
pembentukan busa, dengan adanya busa maka terbentuk gelembung gas yang
terisi oleh udara, sehingga larutan yang akan dikeringkan dan bahan pengisi dapat
masuk dan terikat dalam struktur busa, dengan demikian kadar air dalam partikel
lebih mudah diuapkan.
Konsentrasi penambahan bahan pembusa akan mempengaruhi produk inulin
bubuk yang dihasilkan. Menurut Desrosier (1988), konsentrasi busa yang semakin
banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada
bahan sehingga akan meningkatkan kecepatan pengeringan dan kadar air dalam
bahan menurun.
Dekstrin merupakan gabungan polimer dari unit-unit D-glukosa 6-10 unit
glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) atau α-(1,6) glikosidik dengan
rumus molekul (C6H10O5)n. (Anonymous, 2010). Dekstrin memiliki struktur
molekul berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavour akan terperangkap di
dalam struktur spiral helix, dengan demikian penambahan dekstrin dapat
melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, karena molekul
dekstrin bersifat stabil terhadap panas dan oksidasi selama pengeringan
(Lastriningsih, 1997). Dekstrin juga berfungsi sebagai bahan pencegah
pengendapan pada produk bubuk kering dan sebagai bahan pendispersi (Pulungan
dkk., 2003).
Maltodekstrin mempunyai struktur rantai ikatan lurus, tersusun dari
dengan jumlah unit glukosa antara 2 sampai 20 unit (Anonymous, 2010b). Rumus
umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] (Luthana, 2008).
Hui (1992), menjelaskan bahwa maltodekstrin dapat digunakan pada
makanan karena maltodekstrin memiliki sifat-sifat spesifik tertentu. Sifat-sifat ini
antara lain proses dispersi yang cepat, daya larut yang tinggi, mampu membentuk
film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, mampu menghambat kristalisasi,
daya ikat yang baik, dan proses browning rendah.
Menurut Winarno (2002), Na-CMC merupakan turunan selulosa yang
digunakan secara luas oleh industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang
baik. Na-CMC merupakan makromolekul, dengan berat molekul yang sangat
besar yakni lebih besar dari 17.000. Rumus struktur kimianya adalah
[C6H7O2(OH)x(OCH2COONa)y]n, jumlah rantai (n) hingga 100, x=2 dan y=1
(Anonymous, 2010c).
Peranan natrium karboksi metil selulosa adalah sebagai pengikat air,
pengental, dan stabilisator campuran. Mekanisme Na-CMC sebagai stabilizer
yaitu mula-mula Na-CMC yang membentuk garam natrium karboksimetil
selulosa akan terdispersi di dalam air, butir-butir Na-CMC yang bersifat hidrofilik
akan menyerap air. Peranan Na-CMC adalah menyelubungi partikel-partikel
terdispersi.
2.10 Hipotesis
Diduga terdapat pengaruh nyata antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Analisa Pangan dan Teknologi
Pengolahan Pangan Jurusan Teknologi Pangan UPN ‘Veteran’ Jawa Timur.
Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Oktober 2010.
3.2 Bahan
3.2.1 Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah umbi gembili segar
yang diperoleh dari Pasar Soponyono, Rungkut, Surabaya.
3.2.2 Bahan Tambahan
Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan inulin bubuk adalah
bahan pembentuk busa (foaming agent) yaitu putih telur ayam yang diperoleh dari Pasar Soponyono Surabaya. Bahan pengisi yakni dekstrin diperoleh dari toko
bahan kimia di daerah Tidar Surabaya, sedangkan maltodekstrin dan Natrium Carboxymethyl Celullose (Na-CMC) diperoleh dari toko bahan kimia di daerah Rungkut, Surabaya.
3.2.3 Bahan untuk Analisa
Bahan-bahan untuk analisa yang digunakan meliputi aquades dan aquabides
yang diperoleh dari apotek di daerah Rungkut Surabaya, sistein dan inulin standar
(SIGMA-ALDRICH), sedangkan etanol dan H2SO4 diperoleh dari toko bahan
kimia di daerah Tidar Surabaya.
3.3 Alat
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan inulin bubuk adalah pisau,
timbangan analitik, timbangan digital, blender, alat-alat gelas, kompor listrik,
shaker waterbath, pengaduk, kain saring, sentrifuge, sendok, baskom, mixer,
loyang, dan pengering kabinet.
Peralatan yang digunakan untuk analisa inulin bubuk adalah oven,
timbangan digital, desikator, alat-alat gelas, kertas saring, waterbath,
Spektrofotometer Spectronic 21D.
3.4 Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) menggunakan pola faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama (A) terdiri
dari 3 level yakni jenis bahan pengisi dekstrin, maltodekstrin, dan Na-CMC
masing-masing sebanyak 0,5% (b/b). Faktor kedua (B) adalah konsentrasi bahan
pembusa dengan 5 level yakni 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% (b/b). Sehingga
diperoleh 15 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali.
3.4.1 Variabel berubah terdiri dari 2 faktor yaitu :
Faktor I = Jenis bahan pengisi (A) terdiri dari 3 level, yaitu :
A1 = Dekstrin 0,5 % (b/b)
A2 = Maltodekstrin 0,5% (b/b)
Faktor II = Konsentrasi bahan pembusa (B) terdiri dari 5 level, yaitu:
B1 = putih telur 2% (b/b)
B2 = putih telur 4% (b/b)
B3 = putih telur 6% (b/b)
B4 = putih telur 8% (b/b)
B5 = putih telur 10% (b/b)
3.4.2 Variabel Tetap
a. Uwi segar = 50 gram
b. Air = 1000 ml
c. Suhu pemanasan = 90oC
d. Waktu pemanasan = 1 jam
e. Kecepatan pengadukan = konstan
f. Waktu sentrifugasi = 15 menit
g. Kecepatan sentrifugasi = 1500 rpm
h. Suhu presipitasi = -10oC
i. Waktu presipitasi = 18 jam
j. Waktu pencampuran = 5 menit
k. Suhu pengeringan = 60oC
Kombinasi dari kedua faktor di atas menghasilkan 15 kombinasi perlakuan
sebagai berikut :
B
A B1 B2 B3 B4 B5
A1 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5
A2 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5
Keterangan :
A1B1 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 2%
A1B2 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 4%
A1B3 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 6%
A1B4 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 8%
A1B5 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 10%
A2B1 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 2%
A2B2 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 4%
A2B3 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 6%
A2B4 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 8%
A2B5 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 10%
A3B1 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 2%
A3B2 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 4%
A3B3 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 6%
A3B4 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 8%
Menurut Gasperz (1991), model matematika untuk percobaan faktorial yang
terdiri dari 2 faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL)
adalah :
Yijk = µ + αi + βj = ( αβ )ij + Σijk
e-i Keterangan :
Yijk = Hasil pengamatan faktor A pada level ke-i, faktor B level ke-j, dan
perulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh faktor A pada level k
βj = Pengaruh faktor B pada level ke-j
( αβ )ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
Σijk = Pengaruh kesalahan galat dari suatu percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi dari perlakuan ij.
i = 1, 2, 3, ..., a (level faktor a)
j = 1, 2, 3, ..., b (level faktor b)
k = 1, 2, 3, ..., n (banyaknya ulangan)
Data yang diperoleh selanjutnya dihitung dengan menggunakan analisis
ragam (ANOVA), jika diketahui adanya perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan
3.5 Parameter Yang Diamati
Produk akhir (inulin bubuk) :
1. Rendemen (Sudarmadji dkk., 1997)
2. Kadar air metode pemanasan (Sudarmadji dkk., 1997)
3. Daya kelarutan (Widowati, 2005)
4. Daya serap uap air (Yuwono dan Susanto, 1998)
5. Kadar inulin dalam produk inulin bubuk dengan spektrofotometer
(Kierstan, 1980)
3.6 Proses Pembuatan Inulin Bubuk :
Proses pembuatan inulin bubuk meliputi beberapa tahap sebagai berikut :
1. Sortasi dan pencucian
Pemilihan uwi yang baik berdasarkan warna daging, kesegaran, dan
tekstur. Uwi yang dipilih berwarna daging putih, segar, tidak busuk,
serta tekstur padat. Setelah disortasi dilakukan pencucian menggunakan
air bersih untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kulit.
2. Pengupasan dan pemotongan
Jika sudah bersih, uwi dikupas kulitnya menggunakan pisau. Kemudian
dipotong kecil-kecil.
3. Penimbangan dan penghancuran
Dilakukan penimbangan uwi sebanyak 50 gram yang kemudian
dilanjutkan dengan penghancuran menggunakan blender. Uwi diblender
bersama air panas suhu 90oC dengan perbandingan bahan dan air yakni
4. Pengekstraksian dan pemanasan
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan
atau cairan dengan bantuan pelarut. Prinsip kerja ekstraksi yaitu
mengambil salah satu komponen dari partikel padat atau cair dengan
jalan menembahkan zat pelarut tertentu yang dapat melarutkan
komposisi tersebut (Geankoplis, 1997).
Pada tahap ekstraksi ini dilakukan dengan cara uwi yang sudah
diblender dimasukkan erlenmeyer dan ditutup menggunakan aluminium
foil kemudian diekstraksi sekaligus dipanaskan menggunakan
shakerwaterbath pada suhu 80oC selama 1 jam. Pemanasan ini bertujuan
untuk melarutkan inulin yang terkandung dalam uwi (Widowati, 2005).
5. Penyaringan
Ekstrak disaring menggunakan kain saring sehingga didapatkan
filtratnya (larutan ekstrak inulin). Penyaringan bertujuan untuk
memisahkan antara filtrat yang mengandung inulin dengan ampas umbi
(Leite et.al., 2004). 6. Presipitasi
Pengendapan (presipitasi) adalah suatu proses pemisahan diri suatu fase
padat keluar dari larutan, endapannya mungkin berupa kristal atau
koloid dan dapat dikeluarkan dari larutan dengan penyaringan atau
pemusingan (sentrifugasi) (Vogel, 1985). Menurut Leite et.al (2004), larutan ekstrak inulin mengalami fase pemisahan ketika didinginkan atau
Presipitasi dilakukan dengan cara larutan ekstrak inulin dimasukkan
wadah botol plastik kemudian dimasukkan dalam freezer pada suhu
-10oC selama 18 jam.
7. Pencairan pada suhu ruang (thawing)
Konsentrat yang telah beku dicairkan pada suhu ruang hingga cair, hal
ini bertujuan memudahkan filtrat untuk disentrifugasi.
8. Pemisahan konsentrat
Pemisahan konsentrat dari air dilakukan dengan cara disentrifugasi pada
kecepatan sentrifuge 1500 rpm selama 15 menit, hingga diperoleh
endapan putih yang dapat dipisahkan. Endapan putih ini merupakan
inulin.
9. Pengukuran berat endapan inulin
Endapan inulin ditempatkan pada gelas arloji kemudian ditimbang
dengan menggunakan timbangan analitik digital untuk mengetahui
beratnya.
10.Penambahan bahan pembusa dan bahan pengisi
Penambahan bahan pembusa bertujuan untuk mendorong pembentukan
busa sehingga porositas produk meningkat dan mudah larut dalam air,
sedangkan penambahan bahan pengisi bertujuan untuk membantu
produk agar cepat larut dalam air.
Endapan inulin ditambah dengan foaming agent putih telur (kajian konsentrasi yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, 10% b/b) dan jenis bahan pengisi
kemudian dilakukan pengocokan menggunakan mixer selama 5 menit
hingga tercampur merata.
11.Pengeringan
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering kabinet pada
suhu 60oC selama 3 jam hingga dihasilkan inulin kering.
12.Penghancuran dan Pengayakan
Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel dari inulin
kering hingga menjadi bubuk. Setelah dihancurkan menggunakan
blender kemudian dilakukan pengayakan 80 mesh untuk memperoleh
inulin bubuk.
13.Penganalisaan inulin bubuk
Produk akhir yakni inulin bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisa
kadar air, rendemen, daya kelarutan, daya serap uap air, dan kadar
inulin.
Diagram alir proses pembuatan inulin bubuk dapat dilihat pada gambar 6.
air panas suhu 90oC
ampas
air
Gambar 6. Diagram alir proses ekstraksi dan presipitasi inulin dari umbi gembili menurut Widowati dkk, (2005); Toneli et.al.,(2008)
Sortasi dan pencucian
Pengupasan dan pemotongan
Pengekstraksian menggunakan shaker waterbath, suhu 80oC, kecepatan pengadukan konstan, 1 jam
Pemisahan menggunakan sentrifuge 1500 rpm, 15menit
Endapan putih inulin Penimbangan bahan 50 gram
Penghancuran menggunakan blender bahan : air = 1 : 20
Penyaringan menggunakan kain saring
Pencairan dalam suhu kamar (thawing) hingga cair Filtrat inulin
Bahan pengisi : Bahan pembusa : 1. Dekstrin 0,5% putih telur
2. Maltodekstrin 0,5% 2%,4%,6%,8%,10%
3. Na-CMC 0,5% (b/b)
(b/b)
Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan inulin bubuk dari umbi gembili
Pencampuran menggunakan mixer
selama 5 menit
Pengeringan 60oC, 3 jam
Pengayakan 80 mesh Endapan putih inulin
Pengukuran berat
Penghancuran menggunakan blender
Karakterisasi inulin bubuk :
Inulin bubuk Rendemen, k.air, daya larut,