• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR GMIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR GMIH"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR GMIH 13 NOVEMBER 2020

1. Saya selaku dosen STFT Jakarta bidang Studi Pendidikan Kristiani diundang untuk memberi pemaparan dalam acara webinar Pendidikan Intergenerasi yang

diselenggarakan oleh Sinode Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), pada hari Jumat, 13 November 2020. Webinar ini diperuntukkan untuk anggota Majelis Sinode GMIH dan departemen-departemen yang terkait serta staf pengajar UNIERA.

2. Tema pemaparan pada webinar ini adalah “Pelayanan Intergenerasi: Sebuah Wacana Pembanding Bagi Pelayanan Gereja yang Holistik.” Materi ini berbicara tentang pelayanan intergenerasi sebagai sebuah wacana bagi pelayanan gereja-gereja di Indonesia yang sejak puluhan tahun lalu didominasi oleh model pelayanan kategorial (pemisahan

berdasarkan kelompok usia). Model pelayanan kategorial ini secara langsung berdampak pada pengagungan kelompok tertentu dan pengabaian terhadap kelompok-kelompok yang rentan. Dalam pemaparan materi ini saya mendasarkan argumentasi saya pada pemikiran James Fowler yang melihat Gereja sebagai sebuah komunitas iman yang anggota-anggotanya saling memengaruhi dan pemikiran John Westerhoff III tentang enkulturasi imannya. Materi ini menegaskan bahwa konsep intergenerasi dapat dijadikan sebagai konsep pembanding sekaligus penyeimbang bagi model pelayanan kategorial yang terlalu mendominasi.

3. Pada saat kegiatan ini berlangsung ada sekitar 15 orang yang hadir dari Sinode GMIH mengikuti via zoom dan 1 akun peserta dibuka untuk para staf pengajar UNIERA untuk mengikuti kegiatan ini bersama-sama. Pemaparan dan diskusi berlangsung sekitar 2 jam (09.00 – 11.00 WIB) yang difasilitasi oleh moderator dan berlangsung dengan baik. Ada cukup banyak catatan pertimbangan dan rekomendasi yang diusulkan melalui webinar ini untuk pengembangan model pelayanan intergenerasi di GMIH.

4. Terlampir ToR kegiatan webinar ini dan materi tertulis yang saya paparkan. Jakarta, 13 Februari 2021

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PELAYANAN INTERGENERASI: SEBUAH WACANA PEMBANDING

BAGI DESAIN PELAYANAN GEREJA YANG HOLISTIK

1

Justitia Vox Dei Hattu

(Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta // Email: justitiahattu@stftjakarta.ac.id)

ABSTRAK: Pelayanan gereja seharusnya menyentuh semua kategori usia warga jemaat. Sayangnya, sejak puluhan tahun lalu, model pelayanan gereja-gereja di Indonesia didominasi oleh model kategorial (pemisahan berdasarkan kelompok usia) yang berdampak pada pengagungan kelompok tertentu dan pengabaian terhadap kelompok-kelompok yang rentan. Tidak hanya itu, pengategorian ini juga berdampak pada pelayanan dan pertumbuhan anggota jemaat tidak berlangsung secara maksimal karena minimnya interaksi lintas kategorial. Oleh karena itu, tulisan ini akan memetakan keterbatasan dari model kategorial yang selama ini mendominasi model menggereja gereja-gereja di Indonesia dan pada saat yang bersamaan menawarkan model pelayanan intergenerasi yang dicirikan oleh keterlibatan semua kategori usia dalam pelayanan sehingga melalui keterlibatan aktif tersebut semua kategori usia dapat saling belajar. Dengan mendasarkan tulisan ini pada pemikiran beberapa ahli pelayanan intergenerasi, terkhusus dari perspektif James Fowler dengan idenya tentang Gereja sebagai ekologi pengasuhan iman bagi semua usia dan John Westerhoff III dengan konsep enkulturasi imannya, tulisan ini mau menegaskan bahwa konsep intergenerasi dapat dijadikan sebagai konsep pembanding sekaligus penyeimbang bagi model pelayanan kategorial.

Kata Kunci: intergenerasi, kategorial, ekologi pengasuhan iman, enkulturasi, interaksi.

PENDAHULUAN

Dalam jangka waktu yang begitu lama model pelayanan gereja-gereja di Indonesia begitu didominasi oleh model kategorial. Model kategorial ini didasarkan pada pengelompokkan berdasarkan kategori usia: anak, remaja, pemuda, dewasa (kaum bapak dan kaum ibu), dan usia lanjut. Setiap kelompok usia ini mendesain bentuk-bentuk pelayanan yang sesuai untuk mereka tanpa terlalu banyak memikirkan interaksi dengan kelompok usia lain. Akibatnya, fokus pelayanan lebih berorientasi pada kelompok usianya saja dan cenderung mengabaikan kategori usia lain. Akibat lain yang mengemuka adalah munculnya gereja di dalam gereja sebab ada kesan semua kelompok usia berjalan dengan bendera kategorialnya masing-masing dan melupakan bahwa mereka adalah satu tubuh, satu Gereja.

Kerumitan ini semakin terasa ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Gereja-gereja tiba-tiba menjadi gagap dalam memikirkan strategi pelayanan yang holistik, yang menyentuh semua kategori usia di waktu yang bersamaan. Kegagapan ini terjadi

1 Penulisan makalah ini dipersiapkan untuk dua tujuan: presentasi kepada Majelis Sinode GMIH saat ini, dan

kedua untuk dikirimkan ke salah satu jurnal nasional terakreditasi. Untuk memenuhi tujuan yang kedua tersebut, maka format penulisan untuk makalah ini sedikit-banyaknya menyesuaikan dengan tata cara penulisan pada jurnal nasional tersebut.

(8)

karena gereja selama ini terbiasa dengan model pelayanan kategorial. Akibatnya, tidaklah mengherankan jika selama masa pandemi ini pemisahan generasi di ruang-ruang virtual semakin diperlebar. Di hari Minggu kita menyaksikan anak-anak/remaja/pemuda beribadah terpisah dari orangtua mereka. Dalam situasi ini, gereja-gereja secara sengaja maupun tidak telah mendiskoneksi keluarga karena kegagapannya dalam mendesain model pelayanan intergenerasi berbasis keluarga.

Pelayanan berbasis kategorial ini setidaknya menimbulkan sejumlah persoalan dalam kehidupan menggereja, antara lain: pertama, menguatnya eksklusivitas di kalangan

kategorial. Akibatnya, kelompok yang kuat akan bertahan dan berjaya, sedangkan kelompok

yang tidak mampu akan tertinggal bahkan perlahan-lahan tersingkirkan dari pelayanan gereja. Dalam realitas pengalaman menggereja, yang biasanya tersingkirkan atau dianggap tidak mampu adalah kategori anak, remaja, dan pemuda. Itu sebabnya, tidaklah juga mengherankan jika banyak kaum muda yang meninggalkan gereja karena dianggap tidak penting dan tidak dibutuhkan (lih. juga Walker, 2013, p. 47-50). Scott Wilcher (2010, p. 15) dalam bukunya berjudul The Orphaned Generation, menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa kaum muda meninggalkan gereja: “They don’t want me, they don’t trust me dan they lied to

me.” Alasan yang pertama mengemuka di kalangan kaum muda karena orang dewasa selalu

mengeluh tentang kaum muda dan menganggap bahwa mereka menciptakan berbagai persoalan (Wilcher, 2010, p. 16). Tidak hanya itu, kaum muda juga merasa bahwa mereka tidak menemukan wadah yang memadai untuk usianya, tempat di mana mereka bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik (Wilcher, 2010, p. 17). Alasan yang kedua mengemuka di kalangan kaum muda karena mereka menerima perlakukan tidak percaya dari orang dewasa terhadap mereka. Orang dewasa tidak memercayai kaum muda karena keinginan untuk tidak mau diganggu oleh kaum muda, ketidakberdayaan kaum dewasa untuk melatih kaum muda, dan ketakutan akan kehilangan posisi dan status di gereja (Wilcher, 2010, p. 17). Alasan yang ketiga mengemuka di kalangan kaum muda karena mereka menemukan fakta bahwa ajaran yang mereka terima dari gereja lebih banyak menina-bobokan mereka, dan tidak mengajarkan mereka untuk berpikir kritis. Banyak hal ditutup-tutupi supaya mereka tidak bertanya tentang banyak hal kepada gereja. Bilangan Research Center, sebuah lembaga riset nasional, dalam hasil riset mereka berjudul Dinamika Spiritualitas Generasi Muda Kristen Indonesia memperlihatkan fakta bahwa kaum muda menganggap bahwa gereja adalah salah satu komunitas dia bertumbuh, namun kebutuhan untuk pertumbuhan tersebut, seperti kawan sejati, keteladanan dan mentoring tidak sepenuhnya dia dapatkan dari Gereja (Budijanto, 2018, p. 36).

(9)

Selain kaum muda, anak-anak juga mengalami perlakuan yang sama. Dengan dalil ketidakmampuan mereka untuk memahami hal-hal yang dipercakapkan oleh orang dewasa, maka anak jarang diberikan ruang untuk terlibat bersama dalam kehidupan bergereja. Anak memiliki akses untuk terlibat dalam pelayanan bersama orang dewasa ketika ada perayaan hari raya gerejawi, misalnya perayaan bulan keluarga, hari Natal dan hari Paskah saja.

Dampak kedua yang ditimbulkan oleh pelayanan gereja yang berbasis kategorial adalah hubungan yang “tidak sehat” antar generasi karena yang bertahan akan menjadi nomor satu

dan mendominasi pelayanan gereja, dan yang lainnya dinomor-sekiankan. Padahal idealnya, setiap generasi memiliki pengalaman iman yang bisa dibagikan kepada kelompok generasi yang lainnya melalui berbagai ragam aktivitas yang dirancang untuk bersama-sama. James W. White (1988, p.1-10) dalam bukunya berjudul Intergenerational Religious Education, dengan berbasis pada konteks Amerika saat itu, menyebutkan bahwa sangatlah mendesak bagi gereja-gereja untuk menyelenggarakan pelayanan (dhi. pendidikan) intergenerasi karena dua situasi sosial yang mendesak: pertama, perubahan dalam keluarga terkait dengan penurunan jumlah anggota keluarga, mobilitas anggota keluarga, jarak dan letak geografis yang memisahkan banyak anggota keluarga, perceraian, dan sikap individualis yang bertumbuh pesat; dan alasan kedua, institusi – seperti tempat kerja, sekolah, tempat tinggal, pemerintah, klub sosial, media masa, dan kegiatan sosial - yang menciptakan bahkan memelihara pemisahan berdasarkan kelompok umur, yang semakin membuaat isolasi dan segragasi bertumbuh subur (bndk. Roberto, 2007, p. 6-7; Roberto, 2012, p. 28). Bagi White, dengan berdasar pada dua analisis sosial ini, maka gereja adalah salah satu tumpuan utama yang diharapkan bisa tetap memelihara keterhubungan anggota keluarga. Namun faktanya, gerejapun tidak bisa diharapkan karena desain pelayanan gereja lebih banyak memisahkan dari pada menyatukan berbagai kelompok kategorial ini.

Dalam konteks menggereja di Indonesia, isu intergenerasi ini menjadi sebuah isu yang setidaknya ramai dipercakapkan dalam 10 tahun terakhir ini. Menurut saya, setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa isu ini muncul ke permukaan hidup menggereja, yakni: (1) faktor budaya yang memperlihatkan secara terang-terangan dominasi dari kelompok usia tertentu (dhi. yang lebih tua/senior) atas kelompok usia tertentu (dhi. yang lebih muda, atau anak-anak). Nilai-nilai budaya yang mengakar kuat dalam konteks bergereja membuat kelompok kategorial tertentu hanya “bisa pasrah saja” mengikuti kelompok kategorial yang lebih tua; (2) faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibawa oleh Revolusi Industri 4.0. yang membuat kelompok kategorial tertentu dengan mudah bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri padanya (dhi. anak-anak, remaja dan pemuda), sedangkan kelompok kategorial tertentu jauh

(10)

tertinggal bahkan terasing dari berbagai pelayanan gereja yang mulai bergerak menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan ini; dan (3) faktor gap antar kategorial di gereja yang semakin menguat dan membuat masing-masing kategorial berjalan sendiri-sendiri, padahal sejatinya kita adalah satu tubuh, tubuh Kristus.

Bertolak dari realitas di atas, maka tampak jelas bagi kita bahwa model pelayanan gereja berbasis kategorial tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan warga jemaatnya dan tidak menciptakan pola relasi yang sepenuhnya sehat antar anggota jemaat. Sebaliknya, model ini sedikit banyaknya mempertajam gap antar generasi. Tulisan ini mencoba untuk memperlihatkan keterbatasan dari model pelayanan berbasis kategorial ini dan menawarkan model intergenerasi sebagai sebuah model pelayanan yang holistik bagi gereja-gereja di Indonesia, termasuk GMIH.

METODE

Penulisan ini menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan informasi tentang dua hal ini, yaitu pelayanan gereja berbasis kategorial dan intergenerasional dalam konteks global dan melihat implikasinya bagi gereja-gereja di Indonesia. Pemetaan atas dua hal ini disajikan dengan menggunakan metode analitis-komparatif. Dari sisi analitis, penulis akan menjelaskan secara rinci model kategorial dan intergenerasional dan dampaknya bagi kehidupan bergereja. Dari sisi komparatif, penulis akan membandingkan dua model pelayanan ini dan memperlihatkan kekuatan dari model intergenerasional serta implikasinya untuk pelayanan yang holistik dalam konteks gereja-gereja di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN/ISI

Intergenerasi: Beberapa Definisi

James W. White sebagai salah seorang yang memelopori percakapan tentang pelayanan intergenerasi menggunakan terminologi intergenerational religious education dan mendefinisikannya sebagai “two or more different age goups of people in a religious community together learning/growing/living in faith through in common experience, parallel-learning, contributive-occasions, and interactive sharing” (White, 1988, p. 18). Holly Catterton Allen dan Christine Lawton Ross (2012, p. 74) menggunakan terminologi intergenerational

Christian formation dan memberikan penekanan pada “the importance of fostering

intentionally cross-generational opportunities for the purpose of nurturing Christian learning, growth and formation.” James Fowler menggunakan terminologi “gereja sebagai ekologi” bagi pengasuhan iman (Fowler, 1991). Senada dengan Fowler, John H. Westerhoff III,

(11)

memperkenalkan terminologi “enkulturasi” yang menekankan interaksi antara dan di antara orang-orang (dhi. warga jemaat) yang berbeda usia.

Dari dua definisi di atas kita melihat secara jelas bahwa pelayanan intergenerasi melibatkan beberapa generasi (dua atau lebih) secara bersama-sama. Dalam keterlibatan ini, setiap orang dari generasi yang berbeda dianggap memiliki sesuatu yang unik untuk dibagikan kepada orang lain dan pada saat yang bersamaan mengharapkan sesuatu dari kelompok generasi yang lain. Model intergenerasi tidak hanya berbicara tentang dua atau lebih generasi yang berbeda duduk bersama-sama dalam semua kegiatan yang dirancang, melainkan lebih dari itu, model ini merupakan model yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi terciptanya komunikasi muka-dengan-muka diantara mereka yang terlibat di dalamnya.

Pelayanan Intergenerasi: Seberapa Pentingkah?

Ada beberapa alasan penting yang mendasari dan melatar-belakangi mengapa begitu pentingnya pelayanan intergenerasi dalam konteks menggereja di Indonesia. Pertama, sebagai persekutuan orang Kristen kita memahami sungguh bahwa Gereja adalah kumpulan

orang-orang dari generasi yang berbeda, mulai dari bayi hingga kaum lanjut usia. Generasi yang

bervariasi ini perlu diakui keberadaannya dengan melibatkannya secara aktif dan bersama-sama dalam pelayanan sehingga pengenalan satu dengan yang lain menjadi sesuatu yang penting. Dalam teks-teks Alkitab kita dapat menemukan bagaimana Alkitab banyak berbicara tentang pentingnya keluarga dan peranannya dalam kehidupan seseorang. Dalam teks-teks Perjanjian Lama kita menjumpai bagaimana pola-pola pendidikan yang berlangsung bagi anak-anak melibatkan peran aktif orangtua dan orang dewasa lainnya, termasuk seluruh anggota komunitas. Holly Catterton Allen, dalam artikelnya berjudul “Bringing the Generations

Together: Support from Learning Theory” menjelaskan bahwa dalam agama Israel, anak-anak

tidak hanya mennjadi anggota komunitas, tetapi mereka dilibatkan secara aktif, dibiasakan dengan berbagai kegiatan komunitas termasuk berbagai perayaan (Allen, 2009, p. 5). Dalam berbagai perayaan tersebut, semua kelompok usia berkumpul bersama: mereka menari, bermusik, dan bernyanyi bersama. Ada beberapa perayaan yang dilakukan secara bersama-sama, antara lain perayaan Paskah. Dalam perayaan-perayaan tersebut, ketika anggota komunitas makan bersama, kepada anak-anak diceritakan karya-karya Allah bagi para orang tua mereka. Melalui berbagai penuturan kisah tersebut, anak-anak mengerti bagaimana Tuhan berkarya dalam hidup para orang tua mereka; dengan perayaan ini pula, umat menyadari siapa Tuhan dimasa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang bagi mereka (Allen, 2009, p. 5). Dalam tradisi Gereja Mula-mula, hal yang sama yang kita temukan dalam dunia Perjanjian

(12)

Lama masih berlangsung. Dalam beberapa teks Alkitab, misalnya Kisah Para Rasul 2: 46-47; 4:32; 16:31-34, menjelaskan bagaimana semua generasi berkumpul, memecah-mecahkan roti, berdoa, beribadah, dan melayani satu terhadap yang lain secara bersama-sama (Allen, 2009, p. 5).

Kedua, kecenderungan untuk membagi-bagi berdasarkan kategori (age segregated model):

anak-pemuda-dewasa, pria-wanita; dan sebagainya, tanpa disadari menciptakan gap antar generasi yang bermuara pada penonjolan generasi masing-masing daripada menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam pelayanan termasuk pula munculnya gereja di dalam gereja. Itu sebabnya, metafora keluarga sering dipakai untuk menjelaskan pelayanan intergenerasi. Dengan menggunakan metafora ini, Gereja diibaratkan sebagai sebuah keluarga yang terdiri dari beberapa generasi: ayah, ibu, dan anak-anak. Generasi-generasi yang berbeda ini bekerja bersama untuk keberlangsungan hidup mereka dan untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan diantara mereka. Masing-masing melakukan apa yang menjadi tanggung-jawabnya tetapi dalam relasi dan koordinasi dengan yang lain; tidak terlepas-lepas satu dengan yang lain, sebab jika satu bermasalah, maka akan memengaruhi anggota keluarga yang lain.

Ketiga, kelompok yang lebih tua memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada mereka yang

lebih muda, dan sebaliknya. Proses berbagi dan mendengarkan satu terhadap yang lain menandai interaksi ini. Itu sebabnya, John Westerhoff III dan James Fowler mengusulkan konsep komunitas iman untuk memahami pelayanan intergenerasi. Westerhoff menyebutnya sebagai “enkulturasi iman” dan Fowler menyebutnya sebagai “ekologi bagi pengasuhan iman” (Allen dan Ross, 2012, p. 66-68). Dalam komunitas ini terjadi interaksi dan keterlibatan aktif dari para anggota komunitas. Anak-anak mendapatkan kesempatan emas untuk terlibat aktif dalam persekutuan bersama dan belajar dari anggota komunitas yang lain.

Keempat, dari perspektif perkembangan iman dan spiritual, dikatakan bahwa pertumbuhan

iman dan spiritualitas seorang anak (pemuda, dan dewasa) tidak bisa dilepas-pisahkan begitu saja dari pengaruh kategori usia lain. Dari komunitas orang dewasa anak-anak belajar sesuatu dan sebaliknya, orang dewasa merefleksikan perjalanan hidupnya melalui keterlibatan mereka dengan kategori usia yang lebih muda dari mereka. Terkait dengan perkembangan iman seorang anak, John Westerhoff III dan James Fowler berpendapat bahwa, pengategorian menurut kelompok usia harus diimbangi dengan pengalaman religius antar generasi (Allen dan Ross, 2012, p. 66-68).

(13)

Pelayanan Intergenerasi sebagai “Ruang” Bagi Formasi Iman Semua Generasi: Belajar dari James Fowler dan John Westerhoff III

Fowler mendefinisikan iman sebagai proses menciptakan arti (meaning-making). Iman adalah cara seseorang mendefiniskan siapa dirinya, sesamanya, alam semesta, dan Tuhan. Itu sebabnya, bagi Fowler, iman bukanlah sesuatu yang pasif, tetapi aktif. Salah satu dimensi penting dari iman yang terkait dengan definisi ini adalah “relasi.” Iman dimulai dalam suatu hubungan dan itu menyiratkan kepercayaan pada yang lain, ketergantungan pada yang lain, mengandalkan yang lain (Fowler, 1995, 5). Fowler membagi tahap perkembangan iman

seseorang dalam enam tahapan, yaitu: (1) iman intuitive-proyektif; (2) iman mitis-literal; (3) iman sintesis-konfensional; (4) iman individuatif-reflektif; (5) iman konjungtif; dan (6) iman universal. Fowler sangat menekankan peranan komunitas iman (dhi. Gereja, keluarga,

sektor pelayanan, kategorial, dll) sebagai wadah yang secara sengaja merancang berbagai aktivitas untuk mendorong pertumbuhan iman seseorang. Itu sebabnya, bagi Fowler, Gereja adalah ekologi bagi pengasuhan iman. Sebagai sebuah ekologi, gereja harus mendorong terciptanya interaksi antar warga Gereja dari berbagai kelompok usia melalui partisipasi mereka dalam aktivitas sharing cerita, berkhotbah, ibadah, sakramen, pelayanan misi, kelompok-kelompok kecil, pengajaran, dan sebagainya, sehingga mereka bisa berpindah dari satu tahapan perkembangan ke tahapan perkembangan berikutnya (Allen dan Ross, 2012, 67-68).

Tidak jauh berbeda dengan Fowler, Westerhoff memahami iman sebagai sebuah kata kerja. “Iman adalah cara berperilaku yang melibatkan pengetahuan, keberadaan dan kemauan; iman adalah sesuatu yang kita lakukan; iman adalah tindakan; iman dihasilkan dari tindakan kita bersama orang lain; iman berubah dan berkembang melalui interaksi kita dengan orang lain, dan ia menunjukkan dirinya dalam tindakan kita bersama orang lain” (Westerhoff, 2012, p. 89). Westerhoff juga sangat menekankan peran komunitas (atau kelompok usia lain) bagi pertumbuhan iman seseorang. Dengan berdasar pada pemikiran Fowler, Westerhoff merumuskan empat tahapan perkembangan iman seseorang, yaitu: (1) experienced faith (iman yang dialami), (2) affiliative faith (iman afiliatif), (3) searching faith (iman yang mencari), dan (4) owned faith (iman yang dimiliki) (Westerhoff, 2012, p. 91-98).

Tahap James Fowler Tahap John Westerhoff III

1 Iman intuitive-proyektif

(Pada tahap ini anak-anak didominasi oleh imaji-imaji, cerita-cerita, dan simbol-simbol. Kemampuan berpikir logis belum memberikan pengaruh besar

1 Experienced faith

(Iman yang dialami adalah hasil dari interaksi kita dengan

orang beriman lainnya. Tanggung jawab orang tua adalah bekerja keras

(14)

bagi mereka. Mereka sepenuhnya bergantung pada orang dewasa untuk

membentuk iman mereka.)

untuk menjadi seorang Kristen yang baik ketika bersama dengan anak/anak-anaknya sehingga dari

mereka anak mengalami sesuatu yang menjadi pengalaman iman

mereka.)

2 Iman mitis-literal

(Iman pada tahap ini bersifat mitis, yakni arti kehidupan hanya dapat ditangkap melalui cerita-cerita, dan ketika ia menjadi kenyataan sangat sulit

dipahami. Apa yang dilihat oleh anak-anak dalam narasi-narasi, simbol-simbol

atau konsep-konsep agama adalah sesuatu yang nyata bagi mereka.)

3 Iman sintesis-konfensional

(Aspek interpersonal dari iman berkembang pada tahap ini ketika para remaja melihat diri mereka dalam relasi

dengan orang lain. Pada tahap ini individu belajar untuk mengadopsi sistem kepercayaan dari komunitas.)

2 Affiliative faith

(Iman pada tahap ini dicirikan oleh tiga hal: (a) partisipasi, melalui keterlibatan dalam persekutuan perjamuan makan, paduan suara, panitia atau pelayan Natal, dll.; (b)

afeksi yang terkait dengan intuisi. Misalnya keterlibatan dalam seni

seperti drama, musik, tarian, memahat, melukis, bercerita, dll.; (c)

otoritas. Penegasan komunitas terhadap sebuah cerita dan cara yang

hidup yang menginspirasi sebuah tindakan.)

4 Iman individuatif-reflektif

(Pada tahap ini perkembangan diri, pola pikir religius, dan kemampuan untuk melihat dan menerima perspektif orang

lain sudah berkembang dengan baik. Individu pada tahap ini mulai mengembangkan iman pribadi dan

kemampuan untuk berefleksi atas berbagai pengalaman dan peristiwa.)

3 Searching faith

(Iman pada tahap ini dicirikan oleh tiga hal, yaitu: (a) tindakan meragu/ penilaian kritis, mulai bergerak dari

pemahaman iman yang dimiliki komunitas pada pemahaman iman diri sendiri ; (b) eksperimen, untuk

menguji pemahaman iman sendiri dengan membiarkan diri belajar dari orang lain; dan (c) menyerahkan diri kita kepada orang lain dan tujuan

yang mau dicapai.)

5 Iman konjungtif

(Individu pada tahap ini sudah menyadari keterbatasan dirinya dan membuka dirinya untuk orang lain. Iman

dibentuk melalui relasi dengan orang lain yang berbeda dari mereka.)

4 Owned faith

(Pada tahap ini individu berusaha mempersaksikan iman melalui kata

dan perbuatan.)

6 Iman universal

(Pada tahap ini, individu mampu untuk melakukan transformasi diri secara radikal. Kemampuan untuk menerima dan menghargai orang lain berkembang

(15)

Selanjutnya, bagi Westerhoff, komunitas iman berperan penting dalam perkembangan iman seseorang. Anak (dan juga kategori usia lainnya), bagi Westerhoff, perlu terus-menerus dilibatkan dalam berbagai kegiatan secara bersama-sama sehingga mereka belajar sesuatu dan melatih diri memberi respons atas berbagai hal yang terjadi. Interaksi yang terjalin antar anggota komunitas meniadakan sekat pembatas antara tua-muda/anak, guru-murid, dan berbagai dikotomi yang selama ini dibangun karena pengategorian-pengategorian yang secara sengaja terjadi dalam pelayanan di gereja (bndk. Westerhoff, 2012, p. 82).

Untuk menggambarkan relasi mutual ini, maka Westerhoff memilih terminologi “enkulturasi.” Enkulturasi dalam perspektif Westerhoff dicirikan oleh beberapa hal berikut ini: (a) enkulturasi menekankan proses interaksi antara dan di antara orang-orang dari berbagai kategori usia/generasi; (b) enkulturasi berfokus pada pengalaman dan lingkungan interaktif yang di dalamnya orang-orang bertindak untuk mendapatkan, memertahankan, mengubah, dan mengirimkan pemahaman dan cara mereka; (c) pola relasi yang terjadi dalam enkulturasi bukan bersifat top-down (yang satu menjadi aktor, yang lain hanya mengikuti) melainkan setara dan dialogis, keduanya bertindak, keduanya menginisiasi aksi, dan keduanya memberi reaksi (Westerhoff, 2012, p. 82).

Bagi Westerhoff, salah satu tantangan terbesar bagi enkulturasi adalah pola-pola instruktif yang mengakar kuat dalam desain-desain pengajaran dan pelayanan Gereja. Baginya, “bahasa instruksi tidak mendorong kita untuk berpikir dalam desain interaksi” (Westerhoff, 2012, p. 82). Hal ini disebabkan karena untuk waktu yang lama bahasa verbal – baik lisan maupun tulisan – begitu mendominasi desain-desain pengajaran dan pelayanan Gereja. Jika kita tidak berhati-hati, maka bahasa instruksi akan menuntun kita pada kesesatan, sebab kita didorong untuk fokus pada mau jadi seperti apa naradidik kita sesuai dengan yang kita maui. Ketika kita berpikir instruksi, kita memfokuskan perhatian kita pada apa yang kita inginkan orang lain ketahui, apa yang kita inginkan orang orang rasakan, dan apa yang kita inginkan orang lain berperilaku (Westerhoff, 2012, p. 86-87). Jika ini yang terjadi, maka entah sengaja atupun tidak, kita telah melakukan dehumanisasi terhadap orang-orang yang belajar bersama dengan kita.

Pengembangan Pelayanan Intergenerasi dalam Konteks Bergereja di Indonesia (GMIH)

Rangkaian penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa pelayanan intergenerasi yang ditandai oleh interaksi timbal balik antar generasi (atau ragam kelompok usia) adalah sebuah pembanding yang baik (sekaligus kritik) bagi pelayanan kategorial yang selama ini menjiwai berbagai bentuk pengajaran dan pelayanan gereja, termasuk GMIH. Penjelasan di atas

(16)

juga menegaskan bahwa pelayanan intergenerasi menjadi sebuah “ruang” belajar yang memadai untuk formasi iman semua generasi. Menurut Holly Catterton Allen (2009, p. 4), banyak ahli (misal: Hrakness, Prest, dan Stonehouse) berpendapat bahwa perkembangan iman dan spiritual seseorang sedikit banyaknya bertumbuh ketika berbagai generasi (atau kelompok usia) terlibat bersama-sama dalam pembelajaran dan peribadahan secara bersama-sama. Bagi mereka age-segregated bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang setidaknya harus dilengkapi atau diimbangi dengan intergenerasi sehingga pertumbuhan dan perkembangan iman seseorang mencapai posisi maksimal. Mariette Martineau dalam artikelnya berjudul Faith

Formation Across the Generations (2007, p. 56) menegaskan bahwa pembelajaran

intergenerasi membuka “ruang” belajar bersama dan menyediakan role model (tidak selalu dari usia dewasa) dan mentor yang menginspirasi hati setiap orang sehingga mereka dapat menghidupi iman percayanya sampai di titik maskimal. Misalnya: (a) anak umur 8 tahun berbicara tentang rencananya menolong seorang tunawisma di dekat rumahnya; (b) seorang remaja menceritakan bagaimana kawan-kawan remajanya memberikan dampak yang positif bagi pembentukan identitasnya; (c) ibu berumur 30 tahun bercerita tentang bagaimana dia menjumpai wajah Allah dalam diri setiap orang yang dijumpainya; dan (d)seorang laki-laki paruh baya berbagi cerita tentang bagaimana dia berjuang untuk menemukam kehadiran Allah dalam diri istrinya yang sakit keras (lih. Martineau, 2007, p. 56).

Oleh karena itu saya menawarkan beberapa prinsip dasar dan contoh pengembangan yang bisa dipertimbangkan oleh GMIH jika model pelayanan ini mau dijadikan sebagai pembanding atau sebagai sebuah penyeimbang bagi model kategorial yang ada saat ini:

1. Perubahan paradigma berpikir mulai dari tim pemimpin di aras sinodal sampai dengan aras jemaat, termasuk perubahan pola pikir warga jemaat tentang signifikansi pelayanan intergenerasi sehingga GMIH memiliki “bahasa” yang sama dan berjalan dalam arak-arakan yang sama.

2. Tidak hanya memahami karakteristik tiap kelompok usia, tetapi juga karakteristik tiap generasi. Dengan demikian, kita tidak hanya belajar tentang teori-teori psikologi perkembangan manusia (misal: teori perkembangan kognitif Jean Piaget, teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg, teori perkembangan sosial Erik Erikson, teori perkembangan bahasa Noam chomsky, dan teori perkembangan iman James Fowler), tetapi juga teori generasi yang berbicara tentang karakteristik tiap generasi (misal: G.I. Generations, Silent Generation, Generasi Boomers, Generasi X, Generasi Y, Generasi Z,

(17)

dan Generasi Alpha). Pemahaman dan pengenalan yang dalam tentang generasi yang melayani bersama (atau dilayani) akan menolong kita memberi respons secara tepat.

3. Melibatkan anak-anak (juga remaja dan pemuda) secara aktif dalam ibadah hari Minggu, ibadah sektor, ibadah unit pelayanan yang umumnya hanya dihadiri dan didominasi oleh kaum dewasa.

4. Tersedianya “ruang” bagi warga jemaat yang single parent, broken home, dan yang masih lajang (atau yang memutuskan melajang). Pelayanan intergenerasional tidak harus selalu hadir dalam bentuk keluarga lengkap (ayah-ibu-anak). Terkait hal ini, Westerhoff menegaskan bahwa, dalam kehidupan masa kini banyak orang berpikir bahwa hanya pernikahan yang dapat menuntun pada hidup yang penuh arti; padahal baik lajang maupun menikah, semua orang membutuhkan komunitas iman (Westerhoff, 2004, p. 2). Lebih lanjut Westerhoff menyatakan bahwa, “The church, as a community of faith, must begin to do things with families and single persons. The church should be a community for all people, no matter what their social arrangement- separated, widowed, childless, divorced, single parent, nuclear family, extended family or even single person” (Westerhoff, 2004, p. 11). Singkatnya, dalam pelayanan intergenerasi, all are welcome.

5. Pelayanan intergenerasi yang melibatkan berbagai generasi yang berbeda dalam sebuah

event, mulai dari mempersiapkan hingga menampilkan, misalnya: (a) ibadah hari Minggu

intergenerasi, (b) paduan suara intergenerasi, (c) drama intergenerasi, (d) proyek misi, (e) kamp keluarga, dan (f) PA intergenerasi (Allen, 2009, p. 8-10; Martineau, 2007, p. 56;

bndk juga, Westerhoff, 2004, p. 27-36). Semua kegiatan ini mengharuskan adanya percakapan bersama antara semua yang mau terlibat, tidak hanya sekadar menerima, latihan terpisah, lalu baru berjumpa saat akan pelayanan/pementasan. Persiapan bersama ini menjadi penting sebab keterlibatan bersama membuka “ruang” dialog dan percakapan antar anggota jemaat yang terlibat. Selain itu, Gereja juga bisa menjadikan kelas-kelas katekisasi, baik katekisasi sidi, katekisasi pra-perkawinan, maupun katekisasi perkawinan sebagai wadah pembelajaran intergenerasi. Misalnya: dalam kelas katekisasi sidi, ada pertemuan rutin dalam kelompok-kelompok kecil yang melibatkan katekisan dan para pengajar; dalam katekisasi pra-perkawinan, pengajar katekisasi tidak harus selalu pendeta, tetapi juga melibatkan anggota jemaat dari berbagai generasi (kelompok usia yang berbeda) yang expert pada bidang tertentu untuk berbagi dengan para katekisan, misal perspektif hukum dalam pernikahan, mengelola keuangan keluarga, psikologi pasangan suami-isteri, sharing pengalaman hidup berkeluarga, dan sebagainya.

(18)

6. Variasi model-model pembelajaran. Menurut Martineau, “People of ages and generations learn best when the learning program engages them experientially, through their heads, hearts, and lifestyles” (Martineau, 2007, p. 56). Bagi Martineau, metode-metode yang mengasah multi-sensori menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan sehingga seseorang bisa terlibat secara maksimal perlu dipertimbangkan dalam proses pembelajaran intergenerasional, misalnya: seni, drama, musik, tarian, bercerita, media, berdoa, (melakukan) ritual tertentu (Martineau, 2007, p. 56). Itu berarti, model-model pembelajaran yang dikembangkan harus menyentuh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik setiap orang yang berinteraksi di dalamnya. Lagi menurut Martineau, pembelajaran intergenerasional harus membuat orang: (1) terlibat aktif, bukan hanya dari orang tua ke anak, tetapi juga anak ke orang tua; (2) pembelajaran intergenerasional harus membuat orang tidak hanya tahu banyak hal, tetapi menolong orang untuk membuatnya menjadi nyata dalam praktik hidup sehari-hari (Martineau, 2007, p. 56).

Sambil mengembangkan model pelayanan intergenerasi, baik juga jika kita menyadari sejak awal sejumlah tantangan yang mungkin saja dihadapi, antara lain:

1. Pelayanan intergenerasi membutuhkan persiapan matang karena melibatkan berbagai generasi. Isu-isu yang dimunculkan perlu dirumuskan secara matang sehingga mampu menjawab kebutuhan setiap generasi.

2. Ada kecenderungan bahwa generasi tertentu mendominasi, misalnya orang dewasa. Hal ini bisa saja terjadi karena pola kategorial yang cukup kuat dan didukung oleh nilai-nilai budaya yang masih memberi respek pada kategori usia tertentu.

3. Gap (usia) antar generasi kelak bermuara kepada kesulitan untuk bisa memenuhi

pemahaman yang lebih mendalam. Ini terjadi karena: (a) Ada kebutuhan spesifik,

termasuk isu-isu personal dan sosial setiap kategori usia yang bisa saja tidak diakomodasi dengan baik dalam model integenerasi; (b) Setiap orang dari usia tertentu akan belajar dengan maksimal melalui rekan seusianya, dan bukan melalui generasi yang lain; (c) Banyak orang lebih menikmati berada dan belajar bersama-sama dengan orang-orang seusia mereka; (d) Karena usia yang begitu bervariasi, pengembangan aktivitas pembelajaran akan terbatas pada aktivitas-aktivitas yang sifatnya umum.

(19)

Daftar Acuan

Allen, Holly Catterton dan Christian Lawton Ross. 2012. Intergenerational Christian formation: Bringing

the whole church together in ministry, community and worship. Illinois: IVP Academic.

Allen, Holly Catterton. 2009. “Bringing the generations together: Supports from learning theory.” Lifelong Faith: 3-11.

Budijanto, Bambang (ed.). 2018. Dinamika spiritualitas generasi muda Kristen Indonesia. Jakarta: Yayasan Bilangan Reserach Center.

Fowler, James. 1995. Stages of faith: The psychology of human development and the quest for

meaning. New York: HarperCollins.

___________. 1991. Weaving the new creation: Stages of faith and the public church. New York: HarperCollins.

Martineau, Mariette. 2007. “Faith formation across the generation.” Lifelong Faith: 53-62. Roberto, John. 2007. “Best practices in intergenerational faith formation.” Lifelong Faith: 5-19. ___________. 2012. “The importance of intergenerational community for faith formation.” Lifelong

Faith: 26-34.

Walker, Mel. 2013. Inter-generational youth ministry: Why a balanced view of connecting the

generations is essential for the church. USA: Vision for Youth Publishing.

Westerhoff, John H. 2004. Living the faith community. New York: Seabury Books.

________________. 2012. Will our children have faith? New York: Morehouse Publishing. White, James W. 1988. Intergenerational religious education: Models, theory, and prescription for

interage life and learning in the faith community. Birmingham, Alabama: Religious

Education Press.

Wilcher, Scott. 2010. The orphaned generation: The father’s heart for connecting youth and young

Referensi

Dokumen terkait

1) Yoga selama hamil dapat meringankan edema dan kram yang sering terjadi pada bulan terakhir kehamilan, membantu posisi bayi dan pergerakan,meningkatkan sistem

Pada variabel capital adequacy ratio pada thitung sebesar 0.969 dengan ttabel sebesar 1.65639 dengan demikian menunjukkan H0 diterima dan Ha ditolak atau dengan asumsi

Tujuan metode kausal ini adalah untuk menentukan hubungan antar faktor (input dan output dari suatu sistem) dan menggunakan hubungan tersebut untuk meramal

Hubungan variasi pendingin radiator terhadap temperatur air masuk dan keluar Berdasarkan dari analisa grafik me- nunjukan adanya peningkatan temperatur air masuk dan keluar

yaitu pemanfaatan secara terkontrol, pemanfaatan secara bebas dan pemanfaatan secara perseorangan, kelompok/ massal. Pemanfaatan media oleh guru- guru di kota Blitar belum maksimal,

Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa kelompok perlakuan jenis kelamin laki-laki mengalami semua mengalami kecemasan sedang pada saat pre , pada saat post mengalami perubahan

Laporan delegasi Indonesia dalam menghadiri pertemuan bilateral di luar negeri di kawasan Asia Pasifik, Afrika dan Timur Tengah, serta Amerika Eropa. Workshop Review

Dalam Family Interfering with Work juga terdapat tiga aspek yaitu Time Based Conflict, Strain-Based Conflict dan Behavior-Based Conflict.Time-Based Conflict pada sisi ini