• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 932010007 Full Text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 932010007 Full Text"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN KARAKTERISTIK

PERSONAL DAN SUBYEK PENILAI

KINERJA AUDITOR TERHADAP

PENERIMAAN

DYSFUNCT IONAL

AUDIT BEHAVIOR

1.

PENDAHULUAN

Munculnya kasus fraud pada perusahaan, seperti kasus Enron (2001) diketahui terjadi perilaku moral hazard diantaranya adalah manipulasi laporan keuangan dimana KAP Arthur Anderson1

menjadi auditor dan diduga ikut andil dalam manipulasi tersebut. Selanjutnya kasus Worldcom (1998) di USA, yaitu terjadinya masalah fundamental ekonomi berupa besarnya kapasitas telekomunikasi, sementara di USA mengalami resesi ekonomi,

sehingga Worldcom menggunakan sumber

pendanaan dari luar atau berhutang. Kasus Kimia Farma, (2001) terdapat rekayasa dimana laba bersih dinilai terlalu besar. Bank Century (2003 – sekarang) dan terakhir kasus penggelapan dana nasabah oleh Relationship Manager di Citibank Indonesia (2010) serta ditutupnya beberapa Kantor Akuntan Publik di

1

(2)

2

Indonesia menjadi suatu persoalan besar bagi profesi akuntan publik dan menjadi tantangan berat untuk memperbaiki citra profesi audit. Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan

hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua pihak yang mendasarkan keputusannya atas informasi dalam laporan keuangan tersebut. Oleh karena itu akuntan publik seharusnya dapat mendeteksi dan mencegah lebih dini agar tidak terjadi fraud.

Auditor bertugas melakukan pemeriksaan untuk dapat mengetahui apakah laporan keuangan organisasi telah disusun wajar sesuai dengan SAK yang berlaku dan memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut. Ada kalanya opini audit kurang mendapatkan

respon yang positif dikarenakan adanya

kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku oleh seorang auditor dalam proses audit (Donelly et. al., 2003).

(3)

3

Auditoriat BPK Jawa Barat III (2010) dengan tujuan supaya hasil audit terhadap laporan keuangan dinyatakan wajar tanpa pengecualian sebagai salah satu contoh perilaku disfungsional auditor. Perilaku disfungsional ini dapat mempengaruhi kualitas audit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku yang mempunyai pengaruh langsung diantaranya adalah premature sign off atau penghentian prosedur audit secara dini, pemerolehan bukti yang kurang, pemrosesan yang kurang akurat, dan kesalahan dari tahapan-tahapan audit (Donelly et. al., 2003; Maryanti, 2005). Sementara perilaku yang mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap kualitas audit adalah

underreporting of time (Donelly et. al., 2003; Lightner

et. al., 1982; Maryanti, 2005). Sementara itu khusus

dalam penelitian ini penerimaan perilaku disfungsional auditor ditunjukkan melalui perilaku

premature sign-off, tidak melaporkan secara tepat

(4)

4

waktu yang lebih pendek daripada waktu yang sebenarnya. Selebihnya bentuk penyimpangan yang terjadi adalah bukti-bukti yang dikumpulkan kurang mencukupi dan mengganti prosedur audit yang telah ditetapkan pada waktu pemeriksaan di lapangan. Penurunan kualitas audit selanjutnya akan berdampak pada ketidakpuasan pengguna jasa audit terhadap keabsahan serta keyakinan akan kebenaran informasi yang terkandung dalam laporan keuangan auditan. Hal ini akan menyebabkan terkikisnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi audit.

Penelitianyang dilakukan oleh Donnelly et. al., (2003) menyebutkan bahwa penyebab para auditor

melakukan penyimpangan tersebut adalah

karakteristik personal yang berupa lokus kendali eksternal (external locus of control), keinginan untuk berhenti bekerja (turnover intention), dan tingkat kinerja pribadi karyawan (self rate employee performance) yang dimiliki oleh para auditor. Hasil

penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara external locus of control dan turnover intention

dengan tingkat penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit serta adanya hubungan negatif antara

self rate employee performance dengan tingkat

penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit. Sementara itu karakteristik personal memiliki

(5)

5

penerimaan perilaku disfungsional auditor berupa komitmen organisasi.

Berbagai penelitian tentang perilaku disfungsional belum mengkaji peran dari subyek penilai kinerja sebagai faktor yang berhubungan dengan perilaku tersebut, di luar dari faktor karakteristik personal. Lingkungan kerja yang menyenangkan sangat penting untuk mendorong tingkat kinerja karyawan yang paling produktif. Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan bawahan muncul berbagai asumsi dan harapan yang seringkali berbeda, pada akhirnya perbedaan-perbedaan ini akan berpengaruh pada tingkat kinerja dan menjadi menarik untuk diteliti dalam lingkup profesi auditor eksternal. Subyek penilai kinerja auditor merupakan faktor yang penting dalam hubungannya dengan perilaku disfungsional auditor. Dengan menambahkan variabel subyek penilai kinerja auditor sebagai faktor yang juga memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor, diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang variasi penyebab dari penerimaan perilaku auditor yang menyimpang dalam penugasan. Secara singkat, dalam penelitian ini dikembangkan model yang mengidentikkan karakteristik personal auditor yang diukur dengan locus of control, turnover intention,

(6)

6

faktor yang memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor.

2.

KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN

HIPOTESIS

2.1. Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor

Dalam melaksanakan tugasnya, auditor harus mengikuti standar audit yang terdiri dari standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan serta kode etik akuntan. Dalam kenyataan di lapangan, auditor banyak melakukan penyimpangan terhadap standar audit dan kode etik. Perilaku ini diperkirakan sebagai akibat dari adanya karakteristik personal auditor disamping adanya kemungkinan lainnya. Dampak negatif dari perilaku ini adalah peluang terjadinya kualitas audit secara negatif yaitu keakuratan dan reliabilitas. Penyimpangan yang dilakukan auditor dalam audit dapat dikategorikan sebagai sebuah perilaku disfungsional dalam audit.

Dysfunctional audit behavior merupakan suatu

(7)

7

Donelly et. al., (2003) menyatakan bahwa sikap auditor yang menerima perilaku disfungsional merupakan indikator perilaku disfungsional aktual.

Dilihat dari aspek adanya penerimaan perilaku disfungsional oleh auditor, maka diperlukan sebuah teori yang dapat memperkuat dan mendukung alasan para auditor menerima penyimpangan perilaku ini. Adapun dalam bidang psikologi dikenal sebuah teori yang berkaitan dengan intensi dan kontrol dari sikap serta perilaku seseorang yaitu

Theory of Planned Behavior (TPB) yang

dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun 1988 dan 1991 dimana minat dan perilaku seseorang (behavioral intention) dipengaruhi oleh

attitude toward the behavior, subjective norm, dan

perceived behavioral control.

Gambar 1. Kerangka Theory of Planned Behavior (TPB)

(8)

8

Behavioral Beliefs, Normative Beliefs dan

Control Beliefs masing-masing memiliki korelasi

hubungan yang pada akhirnya berpengaruh pada terbentuknya Attitude toward the behavior, Subjective norm dan Perceived behavioral control. Ketiga hal

tersebut yang membentuk intensi dan berpengaruh pula pada perilaku seseorang.

Attitude toward the behavior merupakan sikap

yang mendukung atau menolak yang didorong oleh ketertarikan atau keyakinan seseorang atas hasil yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, attitude toward the behavior

berhubungan dengan locus of control yaitu ketika keberhasilan seseorang ditentukan dari faktor internal atau eksternal. Keyakinan inilah yang akhirnya mendorong seseorang berperilaku menerima atau menolak perilaku disfungsional auditor.

Subjective norm adalah persepsi tekanan sosial

untuk menggunakan atau tidak menggunakan perilaku. Subjective norm didapatkan dari normative

beliefs, yaitu persepsi perilaku yang diharapkan dari

(9)

9

dan perilaku auditor dalam pelaksanaan tugasnya agar profesionalitasnya selalu terjaga.

Perceived behavioral control adalah persepsi

seseorang tentang kemampuan orang tersebut untuk melaksanakan perilaku yang diberikan. Perceived behavioral control didapatkan dari control beliefs,

yaitu persepsi keberadaan faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi kinerja sebuah perilaku. Perceived behavioral control muncul ketika perilaku seseorang bukan lagi dikendalikan oleh diri sendiri dan juga oleh norma yang berlaku, namun juga oleh faktor lain diluar itu. Subyek penilai kinerja auditor dalam hal ini menjadi salah satu contoh faktor lain diluar kendali individu yang pada akhirnya memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor.

Selain berhubungan dengan penerimaan perilaku disfungsional dalam audit, semua komponen dalam Theory of Planned Behavior (TPB) juga berkaitan dengan karakteristik personal. Hal ini terbukti dari penelitian Ajzen (2005) yang mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi attitude toward the behavior,

subjective norm, dan perceived behavioral control ke

(10)

10

2.2. Karakteristik Personal

Karakteristik personal merupakan faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individual atau ciri yang membedakan seseorang dengan orang lain (Gibson et.al.,1995; Robbins, 2001; Kreitner dan Kinicki, 2000 dalam Silaban Adanan, 2009). Karakteristik personal meliputi kepribadian, gender, kebangsaan dan hasil-hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan sumber daya manusia seperti komitmen organisasional serta komitmen profesional (Ford dan Richardson, 1994 dalam Silaban Adanan, 2009). Pada penelitian ini karakteristik personal auditor yang dikaji adalah

locus of control, tingkat kinerja pribadi karyawan,

turnover intention, dan komitmen organisasi.

2.2.1 Hubungan antara karakteristik personal dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor

a. Locus of Control dengan Penerimaan

Perilaku Disfungsional Auditor

Beu dan Buckley (2001) dengan mengutip Rotter (1996), menyatakan bahwa locus of control

(11)

11

dari lingkungan (Brownell, 1978; Robberts et. al., 1997; Pasewark dan Stawser, 1996 dalam Irwandi, 2002) dan berusaha memecahkan permasalahan dengan keyakinan mereka yang tinggi. Sebaliknya individu dengan locus of control eksternal lebih mudah merasa terancam dan tidak berdaya serta strategi yang dipilih dalam menyelesaikan sebuah permasalahan cenderung bersifat reaktif (Ardiansah, 2003).

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara locus of control eksternal dengan keinginan untuk melakukan ketidak jujuran atau manipulasi untuk mencapai tujuan pribadinya (Gable dan Dangello, 1994; Coiner, 1985; Solar dan Bruehl, 1971). Dalam konteks audit, manipulasi

atau ketidakjujuran pada akhirnya akan

menimbulkan perilaku disfungsional auditor. Hasil dari perilaku ini adalah penurunan kualitas audit yang dapat dilihat sebagai hal yang perlu dikorbankan oleh individu untuk bertahan dalam lingkungan kerja audit. Hal ini menghasilkan dugaan bahwa semakin tinggi locus of control

eksternal individu, semakin besar tingkat

penerimaan perilaku disfungsional dalam audit.

H1 : Terdapat hubungan positif antara locus of

control eksternal dengan penerimaan perilaku

(12)

12

b. Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor

Kinerja merupakan hasil dari perilaku anggota organisasi, dimana tujuan aktual yang dicapai adalah dengan adanya perilaku. Kinerja adalah hasil usaha sendiri dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Lee dalam Kartika dan Profita (2007) menyebutkan bahwa orang akan menyukai pekerjaan jika mereka termotivasi untuk pekerjaan tersebut, dan secara psikologi bahwa pekerjaan yang dilakukan berarti, ada rasa tanggung jawab

terhadap pekerjaan yang dilakukan dan

pengetahuan mereka tentang hasil kerja, sehingga hasil pekerjaan akan meningkatkan motivasi, kepuasan dan kinerja.

Gable dan Dangello (1994) dalam Donelly

et.al., (2003) menjabarkan penyimpangan perilaku

terjadi dalam situasi dimana individu melihat diri

mereka kurang memiliki kemampuan untuk

(13)

13

persepsi yang rendah terhadap tingkat kinerja mereka akan menunjukkan tingkat penerimaan perilaku disfungsional yang lebih tinggi.

H2 : Terdapat hubungan negatif antara tingkat kinerja pribadi karyawan dan penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi adanya locus of control dan komitmen organisasi

c. Turnover Intention dengan Penerimaan Perilaku

Disfungsional Auditor

Turnover Intention terkait dengan keinginan

(14)

14

Malone dan Roberts (1996) dalam Donelly

et.al., (2003) menyatakan bahwa auditor yang

memiliki keinginan untuk meninggalkan perusahaan lebih dapat terlibat dalam perilaku disfungsional karena menurunnya rasa takut akan kemungkinan jatuhnya sanksi apabila perilaku tersebut terdeteksi. Lebih lanjut, individu yang berniat meninggalkan perusahaan dapat dianggap tidak begitu peduli dengan dampak perilaku disfungsional terhadap penilaian kinerja dan promosi. Jadi, auditor yang memiliki keinginan yang tinggi untuk berhenti bekerja dari perusahaan akan lebih menerima perilaku disfungsional.

H3 : Terdapat hubungan positif antara turnover intention dengan penerimaan perilaku disfungsional

dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi adanya tingkat kinerja pribadi karyawan, locus of control,

dan komitmen organisasi

(15)

15

baik atasan, bawahan, rekan sekerja dan termasuk diri sendiri sebagai penilai. Subyek penilai kinerja dari berbagai unsur ini diharapkan lebih efektif untuk dapat melakukan penilaian secara obyektif, dibandingkan dengan penilaian kinerja pada umumnya dimana masih memungkinkan adanya subyektifitas yang dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahan ataupun sebaliknya.

Dalam konteks audit, mekanisme penilaian kinerja auditor pada umumnya dilakukan secara top down oleh partners dan supervisor terhadap senior

dan atau junior staff. Akan tetapi dimungkinkan juga bahwa penilaian kinerja dilakukan secara bottom up

yaitu level staf melakukan penilaian terhadap

supervisor dan partners, disamping dimungkinkan

pula dilakukan penilaian secara horisontal atau dilakukan oleh rekan sekerja. Melalui subyek penilai kinerja yang bervariasi inilah yang disinyalir dapat menimbulkan perilaku disfungsional, terutama jika ditemukan adanya penilaian kinerja yang kurang atau bahkan tidak fair dari subyek penilai kinerja, seperti menggunakan faktor kedekatan dan

“like/ dislike”. Akibatnya auditor yang merasa kurang

dekat dengan atasan atau rekan sekerja dan merasa kurang disukai akan cenderung lebih menerima perilaku disfungsional.

(16)

16

pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah karyawan tersebut dapat berkinerja sama atau bahkan lebih efektif pada masa yang akan datang, sehingga karyawan, organisasi, dan masyarakat semuanya memperoleh manfaat (Schuler dan Jackson, 1996:3). Penilaian kinerja merupakan metode mengevaluasi dan menghargai kinerja yang paling umum digunakan. Dalam penilaian kinerja melibatkan komunikasi dua arah yaitu antara pengirim pesan sebagai subyek penilai dan penerima pesan sebagai obyek penilaian, sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik. Penilaian kinerja menitikberatkan pada penilaian sebagai suatu proses pengukuran sejauh mana kerja dari seseorang atau sekelompok orang dapat bermanfaat untuk mencapai tujuan yang ada.

H4 : Terdapat hubungan negatif antara subyek penilai kinerja dengan penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit

2.2.3 Hubungan Antar Karakteristik Personal di Luar Hubungan dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor

a. Locus of Control dan Tingkat Kinerja

(17)

17

Perbedaan antara locus of control eksternal dan

internal memudahkan untuk memasukkan dalam

tipe posisi tertentu, sehingga hubungan antara locus of control dan kinerja tergantung pada tugas yang

diberikan. Spector (1982) dalam Donelly et.al., (2003) menyatakan bahwa locus of control internal lebih cocok untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan teknik yang tinggi, sedangkan locus of control eksternal lebih cocok untuk pekerjaan yang tidak

membutuhkan keahlian. Hyatt dan Parwitt (2001) dalam Donelly et.al., (2003) menemukan bukti bahwa locus of control internal diasosiasikan dengan peningkatan kinerja. Lingkungan pekerjaan audit memerlukan karakteristik profesional dan teknis maka locus of control internal memberikan kinerja yang lebih tinggi. Semakin luas subyek penilai kinerja, semakin kecil penerimaan perilaku disfungsional auditor.

b. Locus of Control dan Turnover Intention

Hasil penelitian Andrisani dan Nestle (1976); Organ dan Greene (1974); Harvey (1971) dalam Donelly et.al., (2003) menyatakan tentang keinginan untuk berhenti bekerja yang dimiliki oleh individu dengan locus of control internal, lebih rendah dibandingkan dengan dengan individu yang memiliki

locus of control eksternal. Secara spesifik, locus of

control eksternal dianggap memperlihatkan tingkat

(18)

18

bekerja atau mencari alternatif pekerjaan lain dan belum terwujud dalam bentuk perilaku nyata.

c. Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan dan

Turnover Intention

McEvoy dan Cascio (1987) dalam Donelly

et.al., (2003) menyatakan bahwa turnover paling

rendah ditemukan pada karyawan yang berkinerja sangat bagus. Auditor yang memiliki kinerja yang tinggi akan dipromosikan, sementara bagi yang tidak mampu mencapai standar kerja minimum akhirnya akan dikeluarkan dari perusahaan. Berdasarkan temuan ini, diharapkan bahwa kinerja karyawan akan berbanding terbalik dengan keinginan untuk berhenti bekerja.

d. Komitmen Organisasi dan Locus of Control

Penelitian yang dilakukan oleh Luthans et.al., (1987); Kinicki dan Vecchio (1994) telah menemukan adanya pengaruh locus of control terhadap komitmen organisasi. Ketika individu dengan locus of control

internal bergabung dengan perusahaan,

kecenderungannya adalah memiliki komitmen yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan

locus of control eksternal. Hal ini disebabkan individu

(19)

19

komitmen yang tinggi dalam mencapai hasil yang diinginkan.

e. Komitmen Organisasi dan Tingkat

Kinerja Pribadi Karyawan

Mowdey et.al., (1974) mengatakan bahwa karyawan yang berkomitmen tinggi memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan karyawan yang kurang memiliki komitmen. Sementara Ferris (1981) dalam Donelly et.al., (2003) menemukan bahwa kinerja profesional akuntan junior berhubungan dengan tingkat komitmen mereka pada organisasi. Nouri dan Parker (1998) dalam Donelly et.al., (2003) menemukan komitmen pada organisasi berdampak secara positif pada kinerja. Dalam penelitian terbaru, karyawan dengan komitmen yang lebih besar diharapkan memberikan kinerja yang lebih baik.

f. Komitmen Organisasi dan Turnover

Intention

(20)

20

dengan kehadiran dan berhubungan negatif dengan keterlambatan dan pergantian karyawan.

Komitmen Organisasi merupakan alat prediksi yang sangat baik untuk beberapa perilaku penting, diantaranya adalah perputaran karyawan, kesetiaan karyawan kepada nilai organisasi dan keinginan untuk melakukan pekerjaan ekstra (untuk melakukan pekerjaan melebihi apa yang seharusnya dikerjakan). Robbins (2003) dalam Petronila dan Irawati (2006) mengartikan komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Sementara Robbins dan Coulter (1996) dalam Petronila dan Irawati (2006) mengartikan komitmen pada organisasi adalah

orientasi seseorang karyawan terhadap

kesetiaannya, identifikasinya, dan keterlibatannya di dalam organisasi tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, diperoleh

sebuah gambaran model teoritis yang

(21)

21

Gambar 2. Model Penelitian

3.

METODE PENELITIAN

Sumber data penelitian ini adalah auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Semarang dan Surakarta. Cuplikan sampel dipilih dengan menggunakan metode convenience sampling, Pada penelitian ini terdapat 25 indikator, maka jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah sebanyak 125. Data yang digunakan adalah data primer berupa data demografi responden, karakteristik personal, mekanisme penilaian kinerja, dan penerimaan perilaku disfungsional auditor.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara

(22)

22

Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris

Variabel Definisi Indikator Empiris Pengukuran Locus of

control

eksternal

(23)

23 tidak 2 tahun lagi 3. Bekerja paling

tidak 5 tahun lagi

Skala likert dengan skor 1 – 7

Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris (lanjutan)

Variabel Definisi Indikator Empiris Pengukuran

(24)

24

Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris (lanjutan)

Variabel Definisi Indikator Empiris Pengukuran

Subyek

(25)

25

Teknik, alat, dan langkah analisis

Data mengenai demografi responden digunakan untuk menganalisa deskriptif dari responden. Pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan SPSS18.00.

Sementara untuk melakukan pengujian hubungan antar variabel menggunakan Structural Equation Model

(SEM) dari paket software statistic LISREL 8.8.

4.

PEMBAHASAN

(26)

26

Tabel 2. Demografi Responden

Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin

Laki-laki 94 73% Perempuan 35 27%

Umur Responden

20 s.d 30 tahun 77 60% 30 s.d 40 tahun 23 18% > 40 tahun 29 22%

Jenjang Pendidikan

D3 46 36%

S1 70 54%

S2 9 7%

S3 4 3%

Jurusan

Akuntansi 93 72% Non Akuntansi 36 28%

Posisi terakhir dalam pekerjaan

Junior Staf 55 43% Senior Staf 61 47% Supervisor 12 9%

(27)

27 Tabel 3. Statistik Deskriptif

Variabel Cron.

Alpha Mean

Std.

Dev. Min Max

Locus of Control 0.861 75.90 14.215 40 119 Komitmen Organisasi 0.861 37.69 9.959 9 61 Tingkat Kinerja

Pribadi Karyawan 0.889 28.16 9.222 7 48 Turnover Intention 0.728 11.49 3.790 3 21 Subyek Penilai Kinerja 0.911 26.23 8.075 6 41 Penerimaan Perilaku

Disfungsional 0.901 60.08 14.960 14 92

Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas dari setiap konstruk yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bantuan software SPSS 18.0. Uji validitas menggunakan Corrected Item to Total Correlation. Data dikatakan valid jika nilai koefisien corrected item – total correlation > 0.30. Sementara uji reliabilitas dengan

menggunakan Cronbach’s Alpha, dimana data dikatakan reliabel jika koefisien bernilai minimal 0,60 atau lebih. Berdasarkan pernyataan diatas, dasar pengambilan keputusan uji validitas dan reliabilitas dapat disimpulkan sebagai berikut :

Locus of Control

(28)

28

 Komitmen Organisasi

Terdapat 8 (delapan) pertanyaan indikator yang valid dan 1 (satu) pertanyaan indikator yang tidak valid, namun reliabilitas dari kuesioner masih terjaga. (Lampiran 3)

 Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan

Dari 7 (tujuh) pertanyaan indikator semuanya valid dan reliabel. (Lampiran 3)

 Turnover Intention

Ketiga pertanyaan indikator valid dan reliabilitas kuesioner tetap terjaga. (Lampiran 3)

 Subyek Penilai Kinerja

Dari 6 (enam) pertanyaan indikator semuanya valid dan reliabilitas tetap terjaga. (Lampiran 3)

(29)

29

Pengujian Kecocokan Model

Model yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode estimasi Maximum Likelihood. Metode ini merupakan metode estimasi yang sering digunakan untuk analisis data dengan menggunakan metode SEM dengan program Lisrel 8.8. Untuk pengujian selanjutnya sesuai dengan Joreskog dan Sorbom (1996), model yang harus diuji dan dianalisis terlebih dahulu adalah model pengukuran. Setelah model pengukuran diuji selanjutnya dilakukan analisis dan pengujian model struktural. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah model pengukuran yang telah diuji dan dianalisis dapat menjelaskan model struktural.

(30)

30

Tabel 4. Uji Kecocokan Model Keseluruhan

Kriteria Hasil Estimasi Model

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Memperhatikan nilai root-mean-square error of

approximation (RMSEA) yaitu 0,00 maka

kesimpulannya adalah model SEM layak untuk digunakan.

2. Nilai dari NFI, NNFI, CFI, IFI dan RFI tidak menunjukkan bahwa model fit.

3. Pada output terlihat standardized RMR yang melebihi dari kriteria GOF sehingga menunjukkan model yang tidak fit.

(31)

31

Hasil Pengujian Hipotesis

Gambar 3 menunjukkan nilai koefisien jalur persamaan model struktural, sehingga dapat dilihat hubungan antar variabel.

Gambar 3. Structural Equation Model dengan Koefisien Jalur

Koefisien jalur diatas menunjukkan ada atau tidaknya hubungan langsung maupun tidak langsung antara karakteristik personal dan subyek penilai kinerja dengan penerimaan perilaku disfungsional. Hubungan langsung dengan penerimaan perilaku disfungsional terlihat dari hipotesis yang terbentuk, di luar itu merupakan hubungan antar variabel karakteristik personal yang secara tidak langsung

berhubungan dengan penerimaan perilaku

disfungsional.

Nilai koefisien determinan yang dilihat dari R2

(32)

32

variabel dependen. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5. Model Persamaan Struktural

Persamaan

1 KO = 0.58*LC, Errorvar.= 0.0039 , R² = 0.77 (0.61) (0.0089) 0.95 0.44

2 KP = 1.01*KO + 0.99*LC, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.99

(2.48) (1.59) 0.41 0.62

3 TI = 2.71*KO - 0.89*KP + 1.00*LC, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.99

(10.22) (8.16) (7.86) 0.26 -0.11 0.13

4 PD = 1.62*KP - 0.27*TI - 1.17*LC - 0.12*SP, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.98

(3.14) (2.17) (5.74) (3.46) 0.52 -0.13 -0.20 -0.035

Hasil pengolahan data di atas menunjukan bahwa secara keseluruhan karakteristik personal (locus of control eksternal, tingkat kinerja pribadi karyawan, komitmen organisasi, dan turnover

intention) tidak berhubungan dengan penerimaan

disfungsional dalam ruang lingkup audit. Hal yang menjadi penyebab kondisi ini dapat dilihat dari data demografi responden dimana sebagian besar responden merupakan auditor staf. Auditor dalam level staf tidak memiliki kewenangan dalam

pengambilan keputusan terutama mengenai

(33)

33

Locus of control eksternal tidak berhubungan

dengan dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor diduga karena auditor dengan kesadarannya mengetahui bahwa keberhasilan yang diperolehnya tidak murni dari dirinya sendiri melainkan berasal dari pihak luar yaitu organisasi tempat bekerja beserta dengan orang-orang yang ada dalam pekerjaan tersebut (teman sekerja, pimpinan, dan klien). Jika pada kajian teori disebutkan bahwa seseorang dengan

locus of control eksternal identik dengan manipulasi

yang berujung pada penerimaan perilaku

disfungsional maka dugaan berikutnya berkaitan dengan hasil pengujian hipotesis ini adalah auditor memiliki keyakinan dan ketaatan penuh pada aturan yang mengikat kerja auditor serta konsekuensi jika aturan-aturan tersebut dilanggar.

Tingkat kinerja pribadi karyawan tidak

berhubungan dengan penerimaan perilaku

(34)

34

perilaku disfungsional dalam lingkup audit itu dapat terjadi adalah kecil.

Turnover intention tidak berhubungan dengan

penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi adanya tingkat kinerja pribadi karyawan, locus of control, dan komitmen organisasi diduga juga disebabkan oleh sebagian besar responden yang berada di level staf, auditor ini sebagian besar sedang memulai merintis karir pekerjaannya sehingga belum ada dalam pemikiran mereka mengenai perilaku disfungsional yang dilakukan dalam lingkup audit.

(35)

35

5.

PENUTUP

Simpulan

Penelitian ini merupakan perluasan studi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan auditor menerima perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit. Perluasan dilakukan dengan menguji secara simultan hubungan antara karakteristik individual auditor (locus of control, komitmen organisasi, turnover intention dan tingkat kinerja pribadi karyawan) dan subyek penilai kinerja terhadap penerimaan perilaku disfungsional dalam audit. Studi ini dilakukan di KAP yang berada di Kota Semarang dan Surakarta, Propinsi Jawa Tengah mulai pada level junior sampai dengan manajer auditor.

Karakteristik personal auditor yang meliputi

Locus of Control, Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan,

(36)

36

Subyek penilai kinerja memiliki hubungan negatif dengan Penerimaan Perilaku Disfungsional dalam ruang lingkup audit, itu berarti bahwa di dalam KAP sudah terdapat mekanisme penilaian kinerja. Di samping itu auditor merasa bahwa subyek penilai kinerja turut menentukan evaluasi atas pekerjaan mereka, ketika penilaian tidak secara rutin dilakukan atau jika subyek penilai kinerja hanya pada level setara maka dimungkinkan akan terjadi penerimaan perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit. Sehingga dapat dilihat bahwa variabel ini justru lebih menjadi pertimbangan para auditor dalam melakukan penerimaan perilaku disfungsional atau tidak.

Implikasi

(37)

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Ajzen, Icek., 1991. “The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes”. Volume 5.

2. Amaliah, Khusnul., 2008. “Peranan Sikap, Norma Subyektif dan Perceived Behavioral Control dalam Memprediksi Intensi Mahasiswa untuk Bersepeda di Kampus”.

3. Ayu, Dyah L.W.A., 2006. “Penciptaan Sistem Penilaian Kinerja yang Efektif dengan Assesment Centre”. Jurnal Manajemen Vol. 6, No.1, Universitas Maranatha Anggaran Waktu terhadap Perilaku Disfungsional Auditor dan Kualitas Audit pada Kantor Akuntan Publik di Surabaya”. Jurnal MAKSI Vol. 6, No. 2, Universitas Diponegoro Semarang.

6. Donnelly, David P., Jeffrey J.Q, and David O., 2003.

“Auditor Acceptance of Dysfunctional Audit Behavior : An Explanatory Model Using Auditors’ Personal Characteristics”. Journal of Behavioral Research In Accounting : vol. 15 : 87-107.

7. Ferdinand, Augusty., 2002. “Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen : Aplikasi Model-model Rumit dalam Penelitian untuk Tesis Magister dan Disertasi Doktor”.

8. Harini, Dwi., Agus W dan Indah A., 2010. “Analisis Penerimaan Auditor Atas Dysfunctional Audit Behavior : Sebuah Pendekatan Karakteristik Personal Auditor”. Jurnal Akuntansi dalam SNA XIII Purwokerto.

9. Irawati, Yuke., Thio A dan Mukhlasin., 2005. “Hubungan Karakteristik Personal Auditor Terhadap Tingkat Penerimaan Penyimpangan Perilaku Dalam Audit”. Jurnal Akuntabilitas Vol. 6, No. 1 : 1-13.

10. Joreskog, Karl G and Sorbom., 1996. “LISREL 8 : User’s Reference Guide”.

11. Kartika, Indri dan Provita W., 2007. “Locus of Control Sebagai Anteseden Hubungan Kinerja Pegawai dan Penerimaan Perilaku Disfungsional Audit”. Jurnal SNA X Makassar.

(38)

38

Disfungsional Auditor pada Kantor Akuntan Publik di Surabaya”

13. Ramayah., 2004. “Technology Acceptance : An Individual Perspective Current and Future Research in Malaysia”. 14. Riduwan., 2009. “Metode dan Teknik Menyusun Proposal

Penelitian : untuk Mahasiswa S-1, S-2, dan S-3”.

15. Sekaran, Uma., 2006. “Metodologi Penelitian untuk Bisnis”. Edisi keempat. Salemba Empat.

16. Silaban, Adanan., 2009. “Perilaku Disfungsional Auditor Dalam Pelaksanaan Program Audit”.

17. Wijanto, Setyo Hari., 2008. “Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8 : Konsep dan Tutorial”.

18. http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/penilaian-kinerja-karyawan-definisi.html. “Penilaian Kinerja Karyawan : Definisi, Tujuan dan Manfaat”. Diakses tanggal 28 Oktober 2011.

19. http://www.antaranews.com/berita/1280918253/kpk-rekonstruksi-kasus-suap-di-pemkot-bekasi.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Theory of Planned Behavior (TPB)
Gambar 2. Model Penelitian
Tabel 2. Demografi Responden
Tabel 3. Statistik Deskriptif
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan respon spectral yang berbeda-beda disertai pemberian filter warna yang berbeda, LDR dapat dibuat sebagai sensor warna seperti yang dirancang pada penelitian ini.. Jika respon

Responden yang memiliki penghasilan tinggi lebih ketat dalam melakukan spending habits dibandingakan responden yang memiliki penghasilan rendah dan sedang. Faktor

Terlihat dari karakteristik responden, bahwa meski jumlah bendaharawan wanita lebih banyak dari bendaharawan pria, dimana bendaharawan wanita yang dianggap

Walaupun para partisipan telah memperhitungkan bunga hutang, namun para partisipan tidak menyadari seandainya pengalokasian kebutuhan dilakukan dengan lebih baik maka

kota Semarang menyadari bahwa mereka berada di perantauan dan dikelilingi oleh orang-orang dengan latarbelakang budaya dan kehidupan yang sangat berbeda sehingga

Solutions ), proses ini berada pada level Managed and Measurable karena BPJS Kesehatan Surakarta telah memiliki metodologi yang ditetapkan juga dokumentasi mengenai solusi

Berdasarkan hasil wawancara permasalahan yang dominan muncul dalam peneyesuaian perkawinan yang dijalani partisipan 3 yaitu seperti pada aspek kehidupan sosial

karena jika mahasiswa berada dalam kelompok dengan orang – orang yang mereka. kenal maka akan membuat hubungan mereka semakin