• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN TEORETIS YURIDIS

SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)1

Oleh :

Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum2

Beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah ”Sengketa Pilkada” adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan ”sengketa pilkada”? 2. Apa dasar hukum sengketa pilkada itu?

3. Apa yang merupakan ”pangkal sengketa pilkada”?

4. Bagaimana hukum acara penyelesaian sengketa pilkada itu?

5. Studi Kasus di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.

A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”.

Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. 3 Kaidah berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di

1

Disampaikan dalam acara “SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD.

2

Lektor Kepala IV/c pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD. 3

(2)

masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

Menurut Van Kan4, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan :

1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan.

2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lain-lain.

Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan di atas. Kaidah tersebut adalah kaidah hukum. Kaidah hukum mempunyai sifat pemaksa artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa oleh hukum untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara agar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan.

Kaidah hukum juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, hukum mulai mengatur dari manusia itu dilahirkan sampai meninggal dunia. Hukum juga mengatur tentang

4

(3)

kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain.

Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka hukum pun akan turut mengimbanginya. Dengan demikian pendapat Cicero berabad-abad yang lalu itu adalah benar, karena hanya dalam masyarakat hukum itu berada/diperlukan. Ingat cerita Robinson Crosso yang hidup sendirian di sebuah pulau yang jelas tidak memerlukan hukum karena tidak mungkin kepentingannya bertabrakan dengan kepentingan orang lain.

Dengan demikian “Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan yang terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya dalam peristiwa hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”. Dari batasan ini akan muncul juga pertanyaan : Seperti apa benturan kepentingan yang terjadi itu? Berdasarkan hasil observasi dari berbagai kasus yang terjadi, yang menjadi sumber atau pangkal sengketa adalah karena masalah perhitungan suara. Calon yang kalah biasanya tidak mau mengakui perolehan suara lawannya. Hal yang umum juga terjadi adalah kebanyakan sengketa karena perolehan suara tidak terlalu jauh beda seperti yang terjadi di Kota Depok, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sukabumi.

(4)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala

daerah dan wakil kepala daerah.

B. Dasar Hukum ”Sengketa Pilkada”.

Sebagai dasar hukum yang tertinggi untuk masalah sengketa pilkada ini adalah dimulai dari Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 18

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Dasar hukum selanjutnya adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5)

pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.5 Ayat (4) menyatakan : Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan : Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6) menyatakan : Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota. Ayat (7) menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.6

Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

5

Berdasarkan penjelasan Pasal 106 ayat (3), dalam hal daerah tersebut belum terdapat pengadilan negeri, pengajuan keberatan dapat dosampaikan ke DPRD.

6

(6)

(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota.

(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.

(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan

mengikat.

Dasar hukum yang terakhir adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

C. Pangkal Sengketa Pilkada.

(7)

perlunya kehati-hatian pengadilan tinggi dalam memberikan putusan permohonan gugatan yang berkaitan dengan Pilkada. “Wewenang pengadilan tinggi hanya pada proses hukum hasil akhir pemilihan dan pemungutan suara,” kata Bagir Manan saat meninjau proses peradilan gugatan terhadap KPU Binjai di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, di Medan, Rabu (13/7/2006).

Bagir Manan menjelaskan, bila mengenai permasalahan di luar penetapan hasil akhir proses pemilihan dan pemungutan suara, seperti tidak terdaftar pemilih, kecurangan, ada proses lain yang dilalui. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-bentuk pelanggaran pemilu seperti kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk-bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian. "Kalau terbukti, diproses secara pidana," kata Bagir Manan. Bagir Manan menambahkan, bila ancaman pidananya kurang dari 18 bulan diputuskan oleh pengadilan negeri, dan tidak terdapat banding dan kasasi. Bila lebih dari 18 bulan, dapat diputuskan oleh pengadilan negeri dan diperbolehkan banding di tingkat pengadilan tinggi dan juga tidak bisa kasasi.

Hal ini dijelaskan Bagir Manan karena selama tinjauannya di beberapa daerah yang melaksanakan peradilan tentang gugatan pilkada di pengadilan tinggi, banyak yang tidak memenuhi syarat diadili di tingkat pengadilan tinggi sehingga keputusan akhirnya ditolak. "Mungkin saja kuasa hukumnya tidak mengerti," ujarnya.

(8)

Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil perhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000 sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000. Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD. Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, maka

proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran

pemilih, money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan

MA dan Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia

(9)

Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil, yang menjadi “pangkal sengketa pilkada” adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

D. Hukum Acara Penyelesaian ”Sengketa Pilkada”

Bagaimana dengan penyelesaian hasil pilkada oleh Pengadilan Tinggi yang mendapat delegasi dari Mahkamah Agung? Menurut Indra Perwira7, sejak dikembangkannya konsep “check and balances system” di negara-negara demokrasi, kewenangan badan peradilan sebagai salah satu cabang kekuasannya yang merdeka, tidak lagi terbatas hanya memutus persoalan-persoalan hukum melainkan berkembang sedemikian rupa sehingga dapat menilai dan membatalkan putusan-putusan atau tindakan-tindakan baik dari badan legislatif maupun dari badan eksekutif. Kewenagan ini dikenal dengan istilah “judicial review” yang secara umum berakar dari dua konsep pemikiran. Konsep pertama, didasarkan untuk kepentingan melindungi konstitusi sedangkan pemikiran kedua untuk melindungi hak asasi. Di Indonesia judicial review ini dikenal dengan istilah “hak menguji”

Tiap-tiap negara meletakan kewenangan “judicial review” tersebut berbeda-beda, Ada yang memberikan kewenangan itu kepada seluruh badan peradilan, atau hanya kepada badan peradilan tertinggi seperti Mahkamah Agung (Supreme Court) atau kepada badan peradilan khusus, seperti Mahkamah Konstitusi.

Di Indonesia kewenangan “judical review” tersebut tersebar dibeberapa badan peradilan. Untuk menguji undang-undang sengketa kewenangan lembaga negara dan perselisihan hasil pemilihan umum berada pada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan

7

(10)

untuk menguji peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan dibawah undang-undang berada pada Mahkamh agung. Kewenangan untuk menguji tindakan dan putusan-putusan administrasi negara berada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sementara untuk perselisihan hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberikan kepada Mahkamah Agung, namun kewenangan itu oleh Mahkamah Agung dapat didelegasikan kepada Pengadilan Tinggi.

Apa sebenarnya hakekat dari delegasi itu dari sudut hukum administrasi? Delegasi adalah salah satu bentuk kewenangan pelimpahan. Kewenangan pelimpahan yang satunya lagi adalah mandat. Perbedaan antara delegasi dan mandat dilihat dari segi :8

1. Prosedur Pelimpahan

- Delegasi

Yakni dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan disertai peraturan perundang-undangan.

- Mandat

Yakni dalam hubungan rutin atasan-bawahan.

2. Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat

- Delegasi

Yakni tanggung jawab dan tanggung gugatnya beralih pada delegataris (yang diberi pelimpahan wewenang), tidak lagi berada di pihak delegan (yang memberi wewenang).

- Mandat

8

(11)

Yakni mandataris tidak memiliki tanggung jawab terhadap pihak luar. Sedangkan yang bertanggung jawab adalah orang yang memberi mandat (mandan).

3. Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi

- Delegasi

Yakni tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang kepada asas “Contrarius Actus”.

- Mandat

Yakni setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkannya itu.

Selanjutnya dalam penyelesaian sengketa pilkada tidak bisa dilepaskan dari akan adanya masalah pembuktian. Yang dimaksud dengan membuktikan ialah menyatakan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.9

Berdasarkan analisis dari beberapa kasus sengketa pilkada nampak majelis hakim menggunakan alat bukti seperti pada kasus perdata atau Peradilan Tata Usaha Negara yaitu yang diutamakan adalah Bukti Surat dan Saksi. Hal ini sesuai pula dengan Perma No. 2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimana disebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU Pemda, red), maka berlaku hukum acara perdata.

9

(12)

Alat-alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan Pasal 1866 BW, sebagai berikut :10

1. Bukti Surat.

2. Bukti Saksi.

3. Persangkaan-persangkaan. 4. Pengakuan.

5. Sumpah.

Sedangkan alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur menurut Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Dalam Peradilan TUN berdasarkan Pasal 100 Undang-undang No. 5 Tahun 1986, dikenal 5 macam alat bukti, yaitu :

1. surat atau tulisan; 2. keterangan ahli; 3. keterangan saksi; 4. pengakuan para pihak 5. pengetahuan hakim.

10

(13)

Selanjutnya hal yang menjadi persoalan ”krusial” dari hukum acara penyelesaian sengketa pilkada adalah masalah upaya hukum. Apa yang dimaksud oleh Ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final?

Terhadap persoalan ini ada beberapa pendapat seperti dari CETRO (Centre for Electoral Reform) yang menyatakan :11 Walaupun oleh Pasal 106 ayat (7) dikatakan FINAL tapi TIDAK MENGIKAT karena UU No. 32 Tahun 2004 tidak jelas-jelas menyebutnya mengikat.

Penulis tidak setuju dengan pernyataan CETRO tersebut di atas, sebab kalau sudah dinyatakan final itu artinya adalah sudah mengikat juga atau inkracht van gewij. Memang UU No. 32 Tahun 2004 tidak menyebutnya mengikat tetapi dalam Pasal 94 ayat (7) PP No. 6 Tahun 2005 disebutkan mengikat.

Tetapi akhirnya memang persoalan “final” dan tidak ini mengemuka juga pada kasus pilkada Kota Depok. Putusan Pengadilan Tinggi Jabar ternyata dapat ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung yang hasilnya merupakan pembatalan terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Inilah yang menurut penulis telah terjadi di negeri ini ketidakkonsistenan melaksanakan bunyi aturan hukum.

Adapun alasan MA menerima PK dari KPUD Kota Depok ini menurut Djoko Sarwoto (salah satu Hakim Agung yang memutus PK) menyadari ada dua aspek yang timbul dalam perkara sengketa Pilkada Depok ini adalah :

Pertama, dari aspek prosedural ia mengakui UU No.32/2004 tidak memperkenankan

adanya upaya hukum lain. Namun, dalam perjalanannya, muncul aspek kedua, yakni rasa

11

(14)

keadilan. Para hakim agung, menurut Djoko, berpendapat rasa keadilan yang harus diutamakan. Djoko melanjutkan, secara teknis yuridis harus pula diperhatikan Perma No. 2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimana disebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU Pemda, red), maka berlaku hukum acara perdata. Meski majelis memutus secara bulat, atau tidak ada dissenting opinion (pendapat berbeda), Djoko mengungkapkan sempat muncul wacana adanya

kekhawatiran anggapan MA melanggar UU. “Ada yang menyarankan agar ini diselesaikan lewat jalur pengawasan,” tuturnya.

Namun, terang Djoko, pada akhirnya semuanya sepakat bahwa pertimbangan majelis cukup beralasan, dan upaya hukum PK bisa dipergunakan untuk memperbaiki putusan. Dengan diterimanya PK KPUD Depok, pertanyaan menarik berikutnya adalah, apakah MA akan menerima pengajuan PK terkait dengan sengketa Pilkada dari daerah lain? Hal ini rupanya telah pula diantisipasi MA. Djoko mengemukakan, lembaganya telah berhitung bahwa menerima PK KPUD Depok akan membawa konsekuensi membanjirnya permohonan serupa dari daerah-daerah.

Namun, untuk mengantisipasinya, MA telah memberikan batasan permohonan PK seperti apa yang bakal diterima atau ditolak. Batasan itu seperti disampaikan Djoko adalah adanya kesalahan yang nyata. “Maka sepanjang tidak ada kesalahan nyata maka permohonan PK tersebut tidak dapat diterima,” tukas Djoko.

(15)

E. Studi Kasus.

1. Kota Depok.

Pilkada di Kota Depok telah diselenggarakan pada tanggal 26 Juni 2005 dengan ditetapkannya hasil akhir kemenangan calon pasangan Walikota, Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra. Namun, pada tanggal 16 Juli 2005 calon walikota yang berada pada peringkat kedua yakni Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad mengajukan gugatan keberatan atas Surat Ketetapan KPUD Depok No. 18 Tahun 2005 tentang penetapan walikota dan wakil walikota Depok terpilih. Kemudian pengadilan Jawa Barat mengabulkan permohonan gugatan dan membatalkan hasil perhitungan suara pada tanggal 4 Agustus 2005. Lewat pembuktian dari tim pencari fakta bahwa terdapat adanya penggelembungan suara untuk pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, dimana ada warga pemilih yang memiliki KTP luar kota Depok. Sedangkan untuk suara pasangan Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad, didapati adanya penggembosan suara, yang mana ada sebagian warga yang tidak bisa memilih karena tidak diberikan surat undangan. Masalah Pilkada Depok ini bukanlah masalah local Depok, namun bisa jadi masalah nasional yang krusial. Apabila tidak ditangani secara serius oleh pihak yang berwenang akan menimbulkan masalah lain yang berkepanjangan.

Keputusan sengketa Pilkada Kota Depok dituangkan dalam keputusan Nomor 01/Pilkada/2005/PTBDG. Sedangkan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Sukabumi dituangkan dalam putusan Nomor 02/Pilkada/2005/PT BDG.

(16)

Sedangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad yang diusung Partai Golkar hanya mendapatkan 206.781 suara. Atas kekalahan itu, pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin kemudian menggugat KPUD Kota Depok yang dinilai telah melakukan pelanggaran sehingga suara yang seharusnya mendukungnya hilang ke PT Jabar. Menurut versi Badrul Kamal perolehan suara pihaknya seharusnya 269.531 suara sedangkan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra hanya 195.357 suara.

Melalui proses persidangan marathon, gugatan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad kemudian dikabulkan PT Jabar. Kemenangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra yang sudah ditetapkan KPUD Kota Depok kemudian dianulir PT Jabar melalui putusan bernomor 01/Pilkada/2005/PT BDG.

Putusan yang kontroversial tersebut kontan saja memunculkan berbagai reaksi keras dari berbagai kalangan praktisi hukum, pakar hukum tata negara termasuk kader dan simpatisan PK Sejahtera. Bahkan Ketua Perkumpulan Bela Hukum Nusantara (PBHN) Effendi Saman SH yang menurunkan tim selama proses Pilkada maupun persidangan, menilai putusan tersebut tidak masuk akal. Menurut Effendi Saman, dalam memutuskan perkara majelis hakim seharusnya jangan hanya menyandarkan kepada keyakinannya saja, namun juga berdasarkan bukti materiil. Namun yang terjadi dalam kasus sengketa Pilkada Kota Depok, majelis hakim hanya menyandarkan kepada keterangan saksi-saksi yang diajukan pemohon tanpa dilakukan pembuktian di lapangan. "Dalam perkara hukum satu saksi, seribu saksi atau sejuta saksi tetap saja statusnya hanya satu alat bukti," katanya.

(17)

memutus sengketa pemilihan wali kota Depok. Dalam amar putusannya, majelis peninjauan kembali yang diketuai Parman Soeparman mengabulkan permohonan yang diajukan KPUD Depok, sekaligus membatalkan putusan sengketa Pilkada No.1/2005 yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat 4 Agustus 2005.

Menurut Harifin Tumpa, anggota majelis, salah satu pertimbangan sehingga mengabulkan permohonan KPUD Depok adalah PT Jabar dianggap melampaui kewenangan yang sudah dibatasi oleh UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Itu adalah kesalahan yang nyata,” tandas Harifin. Dijelaskannya, kewenangan pengadilan menurut UU No.32/2004 adalah memeriksa hasil penghitungan suara yang sudah

dihitung oleh KPUD. Sedangkan putusan PT Jabar yang memenangkan pasangan Badrul

Kamal-A. Syihabuddin, mempertimbangkan penghitungan suara di luar yang telah

dibuat oleh KPUD. Penghitungan yang dipakai PT Jabar, menurut Harifin, adalah

tentang adanya penggelembungan dan pengurangan suara dalam pemilu.

Senada dengan Harifin, Djoko Sarwoko, anggota majelis lainnya menyatakan, apa yang dipertimbangkan PT Jabar tersebut hanya berupa asumsi-asumsi. Djoko mengatakan: “Dengan adanya putusan MA yang membatalkan putusan PT Jabar, maka kembali ke nol lagi, kembali pada keputusan KPUD.”

2. Perbandingan Kasus Pilkada Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan pengamatan Dian Kusmana12, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di dua tempat di Jawa Barat yakni Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi yang semula dinilai lancar dan sukses, ternyata menyisakan persoalan. Bahkan persoalan

12

(18)

lanjutan pascapilkada di dua tempat itu dibawa ke jalur hukum melalui pengaduan di Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Mengikuti perjalanan dua kasus pengaduan pemilihan kepala daerah tersebut di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dilihat sedikitnya ada dua hal yang sepatutnya menjadi pelajaran bagi daerah lain di Jawa Barat yang akan melangsungkan pemilihan kepala daerah.

(19)

sedangkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah (hasil perhitungan suara) dilakukan KPUD Depok pada 6 Juli 2005. Tak heran ketika kuasa hukum dari termohon yakni KPUD Depok menganggap pengajuan keberatan yang dilakukan pemohon (calon Wali Kota Depok) tersebut dianggap lewat batas waktu. Namun tentu saja, pemohon keberatan beralasan mereka masih dalam batas tiga hari seperti yang diatur Undang-Undang karena yang disebutkan dalam pasal 106 dengan batas waktu 3 (tiga) hari adalah "diajukan" bukan "diterima". Selain itu tentu saja tanggal 9 dan 10 Juli 2005 tidak masuk hitungan karena Sabtu dan Minggu tidak dianggap hari kerja.

(20)

Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya seperti perhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubah KPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukan keberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke Mahkamah Agung karena kalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD. Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluar sebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, maka proses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaran pemilih, money politic dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasan MA dan

Pengadilan Tinggi melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitia pengawas pilkada dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana.

(21)

penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Sedangkan pengajuan keberatan yang dilayangkan calon Wali Kota dari Depok meski sangat banyak dengan bukti, namun banyak bercampur dengan hal-hal yang bukan wewenang MA dan Pengadilan Tinggi dalam kasus sengketa Pilkada. Misalnya, soal tuduhan politik uang yang dilakukan tim sukses salah satu calon dengan menyumbang bahan bangunan untuk pembangunan rumah ibadah pada hari H pelaksanaan ataupun upaya menghalangi orang untuk melakukan pencoblosan. Hal ini

sebenarnya diatur tersendiri pada Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah yang termaktub pada Pasal 115 - 119 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Daerah.

3. Kasus Kabupaten Bandung.

Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat menolak gugatan pasangan calon bupati Kabupaten Bandung Dudin Sadudin dan Ridho Budiman Utama, Selasa (29/11/2005). Dengan demikian, tuduhan penggugat bahwa telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di wilayah itu dinyatakan tidak terbukti. Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Maryatmo menolak semua eksepsi penggugat kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bandung, selaku penyelenggara pilkada. Yang menjadi pangkal penolakan gugatan, kata Maryatmo, karena gugatan yang diajukan Pasangan Dudin-Ridho kabur dan tidak jelas.

(22)

banyaknya surat suara yang tidak sah. Begitu juga, para saksi yang dihadirkan dalam persidangan tidak secara eksplisit menerangkan adanya kesalahan dalam proses perhitungan suara. "Atas dasar itu majelis hakim menolak gugatan penggugat. "Sementara itu menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum pasangan Dudi-Ridho, Makky Yuliawan mengatakan, putusan sidang cenderung lebih menonjolkan persepsi ketimbang bukti-bukti. "Meski kami telah mengajukan sebanyak 25 saksi, namun majelis hakim tetap tidak menggubrisnya. Ini bukti, sidang ini hanya menonjolkan persepsi," tegasnya seraya menambahkan pihak tergugat juga tidak mampu memberikan pembuktian terbalik atas bukti yang diajukannya. Jika tergugat tidak bisa membuktikan, seharusnya persidangan dimenangkan penggugat. Untuk sekarang ini, kata Makky, pihaknya akan berkonsolidasi, termasuk mengevaluasi seluruh argumen yang diberikan di persidangan.

Kesimpulan

1. “Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan yang terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya dalam peristiwa hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”.

2. Pangkal sengketa pilkada adalah hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

CETRO, Pernyataan Pers, Putusan Final Tetapi Tidak Mengikat, Acrobat Reader, Jakarta 5 Agustus 2005.

Dian Kusmana, Menghindari Salah Kaprah Pengaduan Pilkada, Teropong PR, Senin, 1 Agustus 2005.

Hukum.online.com., Jum’at 17 Nopember 2006.

Indra Perwira, Kewenangan Memutus Persoalan Politik, Pikiran Rakyat, Senin (Pahing) 8 Agustus 2005.

J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum , Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982.

Kurdiato, Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Surabaya : Usaha Nasional,1991.

Nandang Alamsah Deliarnoor, Hukum Tata Pemerintahan, Bandung : P4H, Februari 2006.

Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum , Bandung : Alumni, 1986. Tempointeraktif.com., Rabu, 13 Juli 2005.

Peraturan Perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisa ini dapat dihasilkan dua macam indeks: Indeks kompetensi inti daerah untuk setiap sektor industri dan Indeks kriteria kompetensi inti daerah (untuk setiap

Teori Jaringan Sosial yang sering dikaitkan dengan isu penghijrahan migran di Asia Tenggara boleh menerangkan penghijrahan Bugis ke Sabah kerana ia memberi fokus kepada

Penelitian sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini dilakukan oleh Prabu (2005) ; Maulidar dan Yunus (2012) ; Evans (2001) ; Kaihatu (2007) yang menyatakan bahwa

dengan kelengkapan fasilitas yang memadai, namun jika tidak ada motivasi untuk melakukan pekerjaan tersebut maka pekerjaan itu tidak akan berjalan sebagaimana yang

Winda (2013) berjudul “Kesulitan Belajar Mahasiswa Ditinjau Dari Minat Belajar Dan Cara Belajar Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi FKIP Universitas

Untuk menjawab tujuan penelitian nomor 3, yaitu untuk mengetahui pengaruh insentif terhadap prestasi kerja karyawan Hotel Ameera Pekanbaru penulis menyebarkan kuisioner

garis B), profil B’ (hilangnya lung sliding dengan garis B), profil C (konsolidasi paru yang ekuivalen dengan gambaran garis pleura yang tebal dan

Homogenisasi Peralatan tidak steril Penggunaan alat yang telah disterilisasi Bukan CCP Tidak terdapat penggumpalan susu Pemantauan peralatan secara berkala