KONSEP BERHUKUM IDEAL BERBASIS PROGRESIF
Sebuah Usaha Pembebasan Diri dari Kekacauan Filosofis
Pemikiran Legalistik Positivistik
TESIS
Diajukan Kepada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Hukum
Oleh :
HERI DWI UTOMO
NIM: R100110018
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
تﺎﺟرﺪ ْﻌْااﻮ وﺄ ﺬﱠاﻮْ ﻜ اﻮ اء ﺬﱠﺎﻬ ﺎﻌﻓْﺮ
.
Artinya :”Allah akan meninggikan orang‐orang yang berimandi antaramu dan orang‐ orang yang diberi ilmu pengetahuan.”
(QS.Al‐Mujadalah:11)
ﻪْ ْﻮ ﱠﻌ ْ اْﻮﻌﺿاﻮ ورﺎﻗﻮْاوﺔ ْﻜﱠﺴ ﺎ ْﻌْ اْﻮ ﱠﻌ ﻮ ْﻌْااْﻮ ﱠﻌ
)
ﻰ اﺮﺒﻄ ا
“Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu.”
(HR. Al‐Thabrani)
Karya ini Penulis persembahkan untuk :
‐ Ibu dan Kakakku Tercinta
‐ Isteri dan Ketiga anakku Tersayang
‐ Segenap Guru Besar Magister Hukum UMS ‐ Seluruh Almamater Magister Hukum UMS 2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala yang telah mengajarkan manusia dengan pena segala sesuatu yang tidak mereka ketahui. Salam serta Shalawat senantiasa tercurahkan kepada Junjungan kita Nabiyullah Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam yang telah menghantarkan sebenar‐ benarnya ilmu kepada manusia dan alam semesta.
Penelitian dan penulisan karya ini tidak semata‐mata dilakukan oleh penulis sendiri melainkan selesai dengan banyak dukungan para pihak baik yang terlibat sebagai Pembimbing Aktif maupun tidak. Maka pada kesempatan ini dengan segala hormat dan kerendahan hati , penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Bambang Setiadji, M.S, selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
2. Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H, M.Hum, selaku Direktur Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta sekaligus Pembimbing Utama dalam penulisan ini.
3. Wardah Yuspin, S.H, M.Kn, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Prof. Dr. Absori S.H, M.Hum, selaku Pembimbing Kedua dalam penulisan
ini yang telah memberikan banyak petunjuk serta referensi dalam penulisan ini.
5. Bapak Kelik Wardiono, S.H, M.Hum, atas arahan serta nasehat beliau
selama perkuliahan dan terhadap penulisan ini.
6. Segenap Pimpinan beserta Staf bagian Perpustakaan baik Pusat maupun
7. Segenap Pimpinan beserta Staf bagian Pengajaran Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan pelayanan selama ini.
8. Kepada Ibu dan Istri tercinta serta ketiga anakku (Daffa Royyan, Uwais
Amani Syahid, serta Salsabilla Khomaera) yang telah memberikan dukungan moril serta doa kepada penulis.
9. Rekan‐Rekan Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2011/2012 yang telah memberikan dukungan dan doa.
Tiada kalimat yang pantas kecuali Alhamdullahirabbil’alamin dan Jazzakumulloh khairan katsiraan, Segala Puji Syukur kepada Rabbul Alamin dan semoga Allah Subhana Wa Ta’ala balasan kebaikan yang melimpah. Amien ya Rabbal’alamin Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2015 Penulis
HERI DWI UTOMO
Abstrak
Cengkeraman epistemologis modern Cartesian‐Newtonian benar‐benar membuat positivisme hukum dimatikan untuk melihat gejolak masyarakat yang senantiasa bergerak dan berubah. Paradigma positivistik telah mereduksi hukum yang dalam kenyataannya adalah sekumpulan pranata pengaturan yang sangat kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Kebekuan dan kekacauan hukum semacam ini telah menimbulkan intensitas
legal gap yang cukup tinggi.Diperlukan sebuah konsep hukum berbasis progresif
yang merupakan perilaku hukum para penegak hukum dalam menjalankan undang‐undang. Perilaku yang tidak terbentur pada formalitas dan tekstual belaka. Perilaku yang membawa keadilan pada keputusan yang dihasilkan. Penelitian ini dimulai dengan mempelajari pemikiran hukum dan teori dari beberapa tokoh aliran hukum, yang menjadi bahan kajian penelitian. Selanjutnya ditetapkan inti pemikiran yang mendasar dan topik‐topik sentral pemikiran hukumnya. Karya tokoh yang menjadi subjek penelitian dikaji dengan membuat analisis konsep pokok pemikiran satu per satu, agar dari logika deduktif yang dipakai sebagai pisau analisisnya, dapat ditarik suatu kesimpulan. Penelitian demikian diharapkan menghasilkan sebuah laporan deskriptif tentang kajian hukum yang menawarkan sebuah formulasi hukum baru atau sebuah model berperilaku hukum untuk mengganti atau memperbaiki konsep hukum sebelumnya.
Abstract
Modern epistemological grip Cartesian‐Newtonian really make legal positivism is off to see the turmoil the people who always moving and changing. Positivistic paradigm has reduced law in reality is a set of institutions that are very complex arrangement into something simple, linear, mechanistic and deterministic. Ice and legal chaos This creates legal intensity gap is quite high. Required a legal concept which is based on progressive legal behavior of law enforcers to carry out the law. Behavior that is not hampered by a mere formality and textual. Behavior that brings justice on the resulting decisions. The research began by studying the laws of thought and theories of several prominent schools of law, which is the subject of the research study. Furthermore, a core set of thought fundamental and central topics of legal thought. Works of figures who become research subjects studied by making analysis of the basic concepts of thought one by one, in order of deductive logic used as a knife analysis, a conclusion can be drawn. Thus research is expected to generate a descriptive report on the study of law that offers a formulation of a new law or a legal act models to replace or repair the previous legal concepts.
Keywords: paradigm of positivism, legal chaos and lawless progressive concept.
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.Diskursus mengenai Filosofis Paradigma Modern
1. Karakteristik Paradigma Cartesian‐Newtonian‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19
2. Asumsi Ontologi Paradigma Cartesian‐Newtonian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19
3. Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Perkembangan Ilmu
(Sains) dan Positivisme Ilmu (Sains Positivistik) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 24
4. Pengaruh Positivisme Ilmu terhadap Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 28
5. Perkembangan dan Ruang Lingkup Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 30
6. Aliran dalam Positivisme Hukum dan Asumsi Filosofisnya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 32
a) Aliran Hukum Positif Analitis / Analytical Jurisprudence ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 33
b) Aliran Hukum Murni / Pure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 37
7. Beberapa Asumsi dan Karakteristik pemikiran Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 38
8. Konstruksi Epistemologis (Model Penalaran) Mahzab Positivisme Hukum ‐‐‐
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 40
B. Diskursus mengenai Paradigma Rasional sebagai Basis Epistemologi Pure
Theory of Law Hans Kelsen
1. Pure Theory of Law:SebuahDeskripsi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 57
2. Aspek‐aspekEpistemologisPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 65
a) AspekOntologiPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 66
b) AspekEpistemologidariPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 71
c) AspekAksiologidariPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 74
C. Diskursus mengenai Ketidak‐teraturan Hukum (Disorder of Law) dalam Teori
Chaos Charles Sampford
1. Sejarah dan Peristilahan Chaos ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 77
D.Diskursus mengenai Pergeseran dan Perubahan Teori dan Paradigma Ilmu Hukum
E. Diskursus mengenai Teori Holistik (Concilience : Unity of Knowledge)Edward O. Wilson ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 92
F. Diskursus mengenai Konsep Nilai, Moral, dan Keadilan
b) HukumMutlakMembuatKlaim Moral terhadapSubjeknya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐102
G.Diskursus mengenai Paradigma Holistik sebagai Basis Pemikiran Hukum Progresif
A.KekacauanEpistemologis yang terjadipadaPemikiran Legal Positivistik
1. Pengaruh Dualisme dan Reduksionisme Cartesian‐Newtonian dalam Karakteristik Positivisme Yuridis Austin dan Hans Kelsen ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 144
5. Legal Conflictdalam TradisiCivil Law System ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 172
B. Konsep Hukum Ideal Berbasis Progresif
1. Dinamika Ilmu Hukum Di Indonesia ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 175 2. Re‐orientasi Metodologi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 177 3. Munculnya Bentuk Ilmu Hukum Baru ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 179 4. Konsep Pikiran‐Pikiran Integratif : “Gerintegreerde rechtwetenschap” dan
“Consilience”‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 181
7. Penawaran suatu bentuk Ilmu Hukum yang Progresif dan Kreatif ‐‐‐‐‐‐‐‐ 190 8. Hermeneutika Sosial sebagai Metode Penemuan Hukum yang Dinamis dan
Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 191 9. Keadilan di Atas Kepastian Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 199 10. Karakteristik Cara Berhukum Ideal berbasis Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201 a) Menerjemahkan Hukum sebagai Perilaku ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201 b) Tujuan Hukum adalah Memunculkan Kebahagiaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 202 c) Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 205 d) Menyerahkan Amanah ini kepada Orang‐Orang Baik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 209 e) Pengadilan Non Linier ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 210 f) Intinya adalah Keberanian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 214 g) Pengaruh Peran Publik dalam Berhukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 215 h) Dari Ketertiban Muncul Kekacauan Menuju Tertib Hukum yang Baru 216 i) Statis dan Dinamis Undang‐undang ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 220 j) Mempedulikan hati nurani daripada tekstualismenya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 222 k) Diakritikal Keadilan dan Kepastian Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 223 l) Progresivisme ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 229 m)Membaca Kaidah bukan Peraturan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 230 11. Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum ‐ ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 231 12. Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 240
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 250 B. Kontribusi dan Rekomendasi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 251
DAFTAR PUSTAKA‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 253
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Studi hukum di Indonesia bisa diibaratkan seperti penari randai; terlihat
bergerak tetapi sesungguhnya berjalan di tempat. Hal ini menunjukkan bahwa
paradigma yang digunakan dalam studi hukum saat ini, yaitu paradigma
positivisme tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Thomas Samuel
Kuhn sebagai “Anomaly”.1Paradigma tersebut terus bertahan sebagai
“Normally Science” dari generasi ke generasi. Paradigma positivisme itu
dianggap tetap relevan digunakan, dan tidak pernah kehilangan relevansinya
dalam menghadapi goncangan‐goncangan yang terjadi. Positivisme adalah
anak kandung dari epistemologi modern yang dirintis oleh Rene Descartes dan
Isaac Newton.2 Dua sarjana jenius ini adalah sebagai tulang punggung
dinamika modernisme.
1
Thomas Samuel Kuhn mempercayai bahwa Paradigma diuji untuk mampu mengatasi anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian ketika banyak anomali anomali yang mengganggu yang mengancam matrik disiplin, maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan maka para ilmuwan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika itulah Paradigma dikatakan mengalami pergeseran yang disebut masa revolusioner. Lihat dalam Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan.Jurnal Hukum Progresif”. Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005. hal. 16
Di dalam paradigma ini, para pelaku hukum menempatkan diri mereka
dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis
berbasis peraturan (rule bound) yang memisahkan antara Das Sollen dengan
Das Sein3sehingga tidak akan mampu menangkap kebenaran yang hakiki.
Dalam ilmu hukum yang legalistis positivistis, hukum sebagai sebuah struktur
pranata yang sangat kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang
sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik. Hal ini dikarenakan
“Legisme”4yang identik dengan undang‐undang perintah penguasa (law is
command from the lawgivers)5 tersebut melihat dunia hukum murni dari
Darwinisme, seperti Richard Dawkins. Setelah itu semua ilmu‐ilmu alam seperti astronomi, fisika, kimia, selanjutnya ilmu‐ilmu sosial kemanusiaan pun ikut terpengaruh oleh paradigma ini. Misalnya, muncul sosiologi yang dibangun oleh tokoh positivisme August Comte, yang kemudian oleh Emile Durkheim paradigma ini lebih disistematiskan. Paradigma ini menguasai pula psikologi, misalnya dalam pemikiran Sigmund Freud. Pendek kata paradigma Cartesian Newtonian menguasai hampir seluruh perkembangan ilmu pengetahuan Modern. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 66‐67
3Darji Darmodiharjo dan Sidharta berpendapat, positivisme hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara Das Sein dan Das Sollen), Lihat Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok‐pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 113. Pengertian lain misalnya dapat dijelaskan sebagai berikut: positivisme hukum adalah aliran pemikiran yang di dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eksklusif. Kata eksklusif diturunkan dalam bahas latin exclusivus yang artinya tidak menampung atau memuat hal lain. Jika hukum dan moralitas memiliki otonomi yang eksklusif berarti masing‐masing memiliki ruang dan lingkupnya sendiri‐sendiri, dan masing‐masing tidak berhubungan antara satu sama yang lain. Lihat E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquainas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 183
4
teleskop perundang‐undangan belaka. Tidak ada hukum melainkan
bersumber dari undang‐undang sedangkannilai‐nilai moral dan norma di luar
undang‐undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang‐
undang.6 Hal tersebut artinya implementasi kehidupan berhukum yang
didasarkan pada pola teori paradigma positivisme,adalah bebas dari anasir‐
anasir nilai‐nilai moral(non yuridis) dalam masyarakat.7
Berangkat dari pengaruh dimensi peradapan modern,8 dan warisan
sistem Eropa Kontinental, hukum Indonesia tumbuh dan berkembang dalam
ranah positivisme. Positivisme yang membuat norma selalu mengkristal di
ranah Das Sollentidak dapat menyesuaikan dengan perubahan Das Sein yang
selalu mengikuti dinamika perubahan sosial yang terus terjadi, sehingga
berikut : Law is command of the Lawgiver, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari sang pemegang kedaulatan. Ibid hal 58
6
Di Indonesia sendiri pengaruh pemikiran Legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada pasal 15 Algemene Bepalingen vanWetgeving yang antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia) : ”Terkecuali penyimpangan‐penyimpangan yang ditentukan bagi orang‐orang Indonesia dan mereka dipersamakan dengan orang‐orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang‐undang menentukannnya”. Lihat Op.Cit hal.57
7
Mahzab positivisme merupakan sebagai sumber utama yang menyebabkan hukum itu diperlakukan secara otonom dan terpisah dari kaitannya dengan proses‐proses lain. Mahzab positivisme ini memang mempunyai sejarahnya sendiri, karena ia muncul sebagai reaksi terhadap mahzab hukum alam atau naturalisme. Berbeda dengan mahzab naturalisme yang memusatkan perhatiannya kepada masalah keadilan yang abstrak, maka positivisme mengutarakan masalah ketertiban dan ketepatan. Dengan demikian, mereka didorong untuk membatasi perhatiannya terhadap objek yang jelas dan pasti. Lihat Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 195
8
semakin kita mempelajari keteraturan (hukum),kita justru akan akan
menemukan sebuah ketidakteraturan(Teaching order finding disorder).9Dalam
kebekuan semacam ini mau tidak mau kita harus segera mencari “sesuatu
yang lebih cair” atau mencairkan kebekuan tersebut dengan cara
mengkonsepsikan, menjabarkan dan menerapkan suatu konsep dan “cara
berhukum” yang berhati nurani, konsep berhukum yang membebaskan,
bukan hukum yang bersumber pada dogmatis tekstualisme tirani dan
kekuasaan semata. Suatu cara berhukum yang diwujudkan dalam konsep
berhukum ideal berbasis progresif untuk menghindari kekacauan‐kekacauan
hukum yang timbul dari hegemoni sporadis paradigma positivisme.
Dengan menampilkan hukum sebagai institusi sosial,10merupakan
keinginan untuk menangkap serta memahami ilmu hukum secara lebih utuh.
Berawal dari itu, muncul sebuah tawaran paradigma holistik11 yang secara
bersamaan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gagasan hukum
9
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hal viii 10 Sebagaimana dikatakan hukum sebagai institusi sosial, adalah upaya untuk menidentifikasi
dan mengamati hukum lebih dari pada suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi‐fungsi sosial dalam dan untuk masyarakat, seperti mengintegrasikan perilaku dan kepentingan para anggota masyarakat, dalam pemahaman hukum sebagai institusi sosial itu, dibicarakan juga hubungan hukum dengan kekuasaan dan lain‐lain. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ctk.Kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 117.
progresif. Dengan kata lain paradigma holistik “model tersatukan” Wilson
mempunyai karakteristik, pertama; interkoneksitas sebagai antitesa dari
reduksionisme‐mekanistik, kedua, probabilisme sebagai jawaban dari
kelumpuhan determinisme, dan ketiga, kontekstualisme sebagai antitesa dari
objektivisme pada paradigma Cartesian‐Newtonian yang menjadi landasan
berfikir paham postivisme hukum. Landasan filosofis hukum ini adalah bahwa
hukum hadir untuk menebarkan kebaikan, kesejahteraan, keadilan, dan
kedamaian bagi kepentingan manusia.
Hukum Progresif yang menganggap hukum sebagai sebuah institusi yang
dinamismenolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi
yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa
institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making).Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan
tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusiabaik
itu melalui perubahan undang‐undang maupun pada kultur hukumnya.
Dasar filosofi dari hukum progresif ialahhukum sebagai suatu institusi
yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera
dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar
bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal
itu, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.12 Pernyataan bahwa hukum adalah
untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai
kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia.
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku
(rules and behavior). Apabila kita sepakat menempatkan aspek perilaku
berada di atas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan
kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur “greget”seperti compassion
(perasaan haru), empathy, sincerety (ketulusan), dedication, commitment
(tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
Penelitian ini diilhami oleh sebuah “Karya Besar” yang ditulis oleh
Khudzaifah Dimyati yang tak lain adalah Disertasi beliau sendiri yang berjudul
TEORISASI HUKUM: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di
Indonesia 1945‐1990. Dalam halaman pengantarnya, Satjipto Rahardjo
memuji keberanian dari penulis untuk menjelajahi (meng‐explore) sesuatu
yang hampir belum disentuh para akademisi kita, yaitu eksplorasi kekayaan
pemikiran para intelektual Indonesia sendiri. Perjuangan mereka sangatlah
luar biasa untuk mengubah substansi dan budaya hukum Indonesia agar dapat
menjadi aktualisasi dari karakteristik budaya hukum Indonesia. Sayangnya
kesemuanya itu tetap belum bisa lepas atau masih juga berada dalam
pengaruh hegemoni paradigma Cartesian‐Newtonian.13
Buku kedua yang mengusik dan banyak memberikan gambaran serta
referensi bagi penulis adalah Karya Besar yang ditulis oleh Anthon F. Susanto,
yang berjudul Ilmu Hukum Non Sistematik Pondasi Filsafat Pengembangan
Ilmu Hukum Indonesia. Perbedaannya di dalam buku tersebut disajikan dua
teori hukum sebagai solusi dalam mengatasi hegemoni Cartesian – Newtonian
yakni dua model pembacaan yang sangat relevan yaitu model pembacaan
menurut pemikiran teori chaos dalam hukum dan model pembacaan
Hermeneutik Dekonstruksi, sedangkan berangkat dari teori yang sama
(disorder of law) penulis lebih memilih untuk menggunakan konsep pemikiran
hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo.
Pada penelitian ilmiah terdahulu mengenai dinamika dan dialektika teori
hukum di Indonesia telah banyak membahas mengenai pergulatan hukum
untuk menggeser paradigma positivistik menuju suatu model pemikiran
hukum yang lebih membawa keadilan. Usaha‐usaha untuk meletakkan
kristalisasi Hukum Progresif ke dalam das Sollen paradigma positivistik hukum
Indonesia telah berulang kali dilakukan; bahkan beberapa praktisi telah berani
melakukan terobosan tersebut dalam beberapa putusannya.14
Dalam penulisan kali ini penulis ingin melihat dimana sebenarnya letak
kekacauan paradigma positivistik dilihat dari konstruksi epistemologis yang
membentuknya serta mencoba menawarkan konsep hukum ideal berbasis
progresif dengan meneropong teori‐teori yang menjadi dasar pembangunan
Hukum Progresif agar kelak dapat dijadikan sebagai usaha pencerahan dan
pembebasan cara berhukum.
Pada penelitian terdahulu yang dimuat dalam beberapa jurnal ilmiah
hukum, telah menetapkan beberapa asumsi‐asumsi dan konkretisasi yang
muncul dari subjek penelitian, yang menggambarkan corak hukum yang
berlaku di Indonesia mulai dari tahun 1945 sampai sekitar era tahun 90‐an
dimana dominasi paradigma hukum yang mempengaruhinya sangat kental
dengan kepentingan penguasa pada masa itu sampai dengan pergulatan para
tokoh intelektualisme Indonesia yang berjuang untuk memasukkan norma‐
norma hidup (living law) yang merupakan butir‐butir kearifan lokal budaya
Indonesia menjadi norma positif dalam ranah positivisme. Beberapa
diantaranya adalah membebaskan positivisme ke ranah progresif melalui
perluasan penafsiran teks yang dilakukan para pemutus hukum (hakim) dalam
mengadili perkara‐perkara yang apabila diterapkan aturan positif yang berlaku
akan sangat menimbulkan ketidak adilan dikarenakan ketersediaan norma
yang ada sama sekali tidak tepat digunakan untuk memutus realitas yang
terjadi; sehingga hakim berdasarkan kewenangan yang dimiliki harus mampu
untuk melakukan perluasan tekstualisme yang ada guna mewujudkan
keadilan substantif yang membawa kebahagiaan.
Menggambarkan bagaimana corak hukum yang berlaku di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh karakteristik positivisme hukum yang merupakan
corak hukum modern sehingga hukum tidak lagi menyatu dengan kehidupan
Ketidakutuhan tersebut sesekali dibuktikan oleh ketidakpuasan terhadap cara‐
cara hukum menyelesaikan persoalan.
Berangkat dari fenomena tersebut,seharusnya penegakan hukum di
Indonesia tidak lagi berhadapan dengan legal positivistik tetapi harus berani
bertindak secara progresif, yang bukan saja di bidang struktur, substansi
maupun kultur, tetapi harus secara menyeluruh. Berangkat dari kristalisasi
penelitian di atas, penulis akan masuk lebih dalam lagi untuk membongkar
dan melihat bahwa chaos yang ditimbulkan oleh paradigma positivistik hukum
adalah berhubungan dengan karakteristik yang dipunyainya. Dari sana bisa
dilihat bahwa kekacauan yang ditimbulkan dari karakteristik paradigma
tersebut adalah terletak pada konstruksi epistemologisnya.
Penulis akan menunjukkan pengaruh paradigma awal dan dimana letak
kekacauan konstruksi epistemologis yang menyebabkan paradigma tersebut
menimbulkan banyak kegoncangan, serta karakteristik seperti apa yang
menyebabkan kekacauan tersebut; akan menjadi jawaban pada perumusan
masalah yang pertama.Bahwa Anthon F.Susanto pada bukunyaIlmu Hukum
Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, telah
menawarkan solusi bagi masalah ini dengan memperkenalkan ilmu hukum
Non‐sistematiknya. Dia menggunakan teori hermeunetika (penafsiran)
dekonstruksi teks untuk keluar dari kungkungan positivisme ini.
Berangkat dari teori yang sama mengenai ketidakteraturan hukum
pemikiran hukum progresif beserta teori‐teori yang membangunnya dimana
diharapkan hal tersebut minimal akan menjadi pertimbangan untuk
menggunakan cara berhukum yang lebih bijaksana daripada harus terus
tersandera dalam tembok prosedural positivisme yang hal tersebut akan
selalu menimbulkan kekacauan‐kekacauan baru yang membawa ketidak
adilan.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang menjadi penyebab kekacauan filosofis pemikiran hukum yang
bercorak positivistik?
2. Bagaimana gambaran sebuah konsep berhukum ideal yang berbasis
progresif?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Menjelaskan hal‐hal yang menjadi penyebabkekacauan pemikiran hukum
yang bercorak positivistik.
2. Menjelaskan gambaransebuahkonsepberhukum ideal yang berbasis
progresif.
D.Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memberikan sebuah kontribusi bagi pengembangan
pemikiran ilmu hukum progresif di dalam dunia akademis yakni
memasukkan nilai‐nilai progresif berupa perilaku dan budaya penegakan
2. Penelitian ini dapat menjadi parameter cara berperilaku para penegak
hukum terutama Hakim baik dalammengadili maupun menerapkan
hukumnya.
E. Landasan Teori
Teori Chaos/Legal Disorder dapat dipergunakan untuk menganalisis
kekacauan hukum yang diakibatkan oleh karakteristik paradigma modern
positivisme.Teori Chaos menolak ide keteraturan dan kepastian yang melekat
pada hukum positif, sebagaimana dipegang teguh oleh kaum
positivistik.Masyarakat pada dasarnya berada dalam kondisi tanpa sistem
atau asimetris yang disebutnya dengan social melee; dan hukum adalah
bagian dari kondisi masyarakat tersebut, sehingga hukum niscaya juga berada
dalam kondisi melee tersebut ataulegal melee.
Hukum sejatinya adalah penuh dengan ketidak pastian; sehingga apa
yang dipermukaan tampak sebagai tertib dan teratur, jelas dan pasti,
sebenarnya penuh ketidakpastian. Maka teori hukum tidak perlu berupa teori
tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan teori tentang
ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder)Di dalam situasi/hubungan
yang asimetris itu, chaosbukanlah sesuatu yang harus ditakuti, atau sesuatu
yang harus dihindari, atau sebagai sesuatu yang harus dilawan dengan
antipati, tetapi di dalamnya ada (semacam) kemungkinan atau peluang yang
dapat dikembangkan, apabila dapat mengambil hikmah/memahami dari
adalah menangkap pesan, peluang dari kemungkinan baru yang muncul dari
situasi yang chaos atau meleetersebut. Dari sebuah situasi yang chaos akan
dihasilkan sebuah aransemen yang indah berupa hukum baru yang
memberikan solusi.
Hukum Progresif menekankan pada cara berperilaku hukum yang
membawa keadilan walaupun dalam subtansi hukum yang buruk sekalipun.
Dalam sebuah sistem hukum (legal system) adalah merupakan satu kesatuan
hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur Hukum; (2) Substansi
Hukum;(3) Kultur Hukum15.
Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara tentang sistem
hukum, maka ketiga unsur tersebut, baik secara bersama‐sama atau secara
sendiri‐sendiri, tidak mungkin kita kesampingkan. Struktur adalah
keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi
mencakupikepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya;
kantor‐kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan
para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas‐hukum, norma hukum dan
aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasukputusanpengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan‐kebiasaan,
opini‐opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum
maupun dari warga masyarakat.Pentingnya budaya hukum untuk mendukung
adanya sistem hukum, dimanaSubstansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk
15
berjalannya sistem hukum. Menurut Friedmann16 sistem
hukum diumpamakan sebagai suatupabrik , jika Substansi itu adalah produk
yang dihasilkan, dan Aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk,
sedangkan Budaya Hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan
menghidupkan mesin, dan yang tahu memproduksi barang apa yang
dikehendakinya.
Aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot.
Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu
kompleks. Kebenaran riil bukan terletak dalam undang‐undang, tapi pada
kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim yang
diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franklin17 (eksponen realisme hukum
Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan‐aturan, hanya suatu
generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana
hukum (hakim), sesungguhnya menghadapi gejala‐gejala hidup secara
realistis. Dia berhadapan dengan kebenaran‐kebenaran diluar aturan formal.
Dalam hal inilah ia harus “memenangkan” kebenaran yang menurutnya lebih
unggul meskipun dengan resiko harus mematahkan atau mengalahkan aturan
resmi.
Aturan hukum di mata Holmes hanya menjadi salah satu faktor yang
patut dipertimbangkan dalam sebuah keputusan yang berbobot. Jadi bukan
16
Ibid 17
sebuah pantangan jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual aturan
rsmi terpaksa disingkirkan (lebih‐lebih jika menggunakan aturan itu justru
berakibat buruk). Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan
yang sama. Menurutnya, kebenaran tidak bisa disamakan dengan aturan
hukum. Seorang hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario
aturan, yang dari sisi keutamaan jauh lebih baik dari aturan. Kaidah hukum
yang berlaku memang mempengaruhi putusan seorang hakim. Tapi itu hanya
salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu, prasangka politik,
ekonomi dan moral ikut menentukan putusan hakim. Bahkan pula simpati dan
antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para penegak hukum (Polisi,
Jaksa, Hakim, Advokat) secara umum dan terutama para Hakim secara
khusus, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah pemikiran hukum
dari berbagai mahzab (aliran) hukum yang ada. Model konsep yang
terkandung di dalam pemikiran hukum tersebut, memiliki sifat‐sifat
khusus (asas‐asas) sebagai sebuah karakter pembentuk. Melalui
pendalaman pemahaman terhadap karakter tersebut dapat ditangkap
makna dan cara berhukum yang diusung pemikiran/mahzab hukum
tersebut.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian
Normatif/Doktrinal/Dogmatisatau yang sering disebut penelitian
kepustakaan. Penelitian yang mengkaji studi dokumen ini menggunakan
berbagai data sekunder seperti teori hukum dan pendapat para sarjana.
Berdasarkan jenis dan sumber data yang akan menjadi objek dalam
penelitian ini, maka secara keseluruhan penelitian ini dilakukan di dalam
kepustakaan.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pedekatan
filsafat. Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif,
akan digunakan untuk mengupas secara mendalam (radikal) isu hukum
(legal issue) dalam penelitian ini . Pendekatan filsafat dalam penelitian ini
meliputi kajian ontologis(ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran
tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang pengetahuan)dari pemikiran
hukum yang menjadi objek dalam penelitian ini.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder
yang mencakup bahan hukum primer seperti teori hukum dan pendapat
para sarjana hukum,hasil‐hasil penelitian para ahli hukum , hasil karya
jurnal, makalah khususnya di bidang perkembangan pemikiran hukum
yang bersumber dari kepustakaan.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni
dengan menjelaskan data‐data sekunder yang bersumber dari
kepustakaan dengan kata‐kata atau pernyataan.
Teknik analisis data dimulai dengan mengkaji karakter‐karakter
yang mempengaruhi dari pemikiran paradigma terdahulu; yang menjadi
embrio dari paradigma positivisme. Setelah mempelajari konsep yang
diusung mahzab tersebut, maka dengan melihat karakter yang
mempengaruhinya dapat kita simpulkan apa yang menjadi kekacauan
konstruksi epistemologis mahzab tersebut. Selanjutnya sebagai tawaran
mengenai konsep hukum ideal berbasis progresif harus dilihat dari
kristalisasi dari pemikiran hukum progresif itu sendiri.
Berangkat dari teori mengenai pergeseran teori hukum dan
paradigma holistik, dipergunakan untuk mendalami apa yang menjadi
“roh” hukum progresif dari karakter dan konsep berbagai mahzab yang
mempengaruhinya. Dari situ kemudian penulis mengkonstruksikan antara
bentuk kekacauan yang ditimbulkan dari pemikiran legal positivistik
dengan konsep pemikiran hukum progresif sehingga dapat disimpulkan
suatu bentuk hukum ideal berbasis progresif sebagai usaha pencerahan
kegoncangan yang ditimbulkan dari penjara formalisme positivisme.
Penelitian demikian diharapkan menghasilkan sebuah laporan deskriptif
tentang kajian hukum yang menawarkan sebuah formulasi hukum baru
atau sebuah model hukum baru untuk mengganti atau memperbaiki
konsep hukum sebelumnya agar pelaksanaan dan penegakan hukum di
Indonesia dapat lebih memberikan keadilan dan kebahagiaan. 18
18
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.Diskursus mengenai Filosofis Paradigma Modern
1. Karakteristik Paradigma Cartesian‐Newtonian
Paradigma Cartesian‐Newtonian merupakan paradigma yang
ditasbihkan sebagai pilar peradaban modern, yang di dalam
perkembangannnya telah menyatu dan built‐in dalam berbagai sistem dan
dimensi kehidupan modern, baik dalam kegiatan wacana ilmiah maupun
dalam kehidupan sosial budaya sehari‐hari. Paradigma ini telah menjadi
kesadaran kolektif (collective consciousness) dan menghegemoni cara
pandang manusia modern. Paradigma ini dibangun atas dasar ontologi,
kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh
penggerak modernisme, yakni Renee Descartes dan Isaac Newton.19
Rene Descartes (1596‐1650) merupakan orang yang pertama
memiliki kapasitas filosofis tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan
astronomi baru. Descartes adalah seorang filosof, matematikawan,20 dan
19 Penggunaan nama Cartesian dan Newtonian, didasarkan kepada beberapa pemikiran meliputi hal sebagai berikut : Pertama, Descartes dan Newton merupakan dua tokoh atau sarjana yang paling berpengaruh terhadap pembentukan sains dan peradaban modern. Hal ini banyak diakui banyak pemikir, sejarawan, cendikiawan dan filsuf. Revolusi ilmiah, revolusi industri dan abad pencerahan tidak terlepas dari pengaruh pemikiran kedua tokoh modern ini. Kedua, Descartes dan Newton mewakili perkembangan filsafat dan sains modern. Descartes dikenal sebagai bapak filsafat modern, Newton dijuluki sebagai tokoh pembangun sains modern dan mahzab kosmologi dan fisika klasik Newtonian. Lihat Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 38
20
ilmuwan. Dalam filsafat dan matematika, karyanya sangat tinggi maknanya
bagi sains dan layak dipuji.21 Dalil Descartescogito ergo sum,22 merupakan
pernyataan bahwa segala sesuatu yang nyata (clearly) dan dapat terpilah
(distincly) adalah merupakan kebenaran.
Konsekuensi dari dalil ini bermuara pada pembedaan yang mencolok
antara rasio (cogito, think, mind) dengan tubuh (body), karena benak dan
badan sama‐sama dipandang nyata. Pandangan ini menempatkan
Descartes sebagai seorang penganut paham dualisme.23 Substansi rasio
adalah res cogitans (pemikiran), sedang substansi tubuh adalah res extensa
(berkeluasaan). Cogitans merupakan bidang jiwa, sedangkan extensa
merupakan bidang materi, bidang ilmu alam. Pikiran sesungguhnya adalah
kesadaran, dan tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak tahun 1637, Meditationes de Prima Philosophiae (Renungan tentang Metafisika) tahun 1642 dan Principia Philosophia (Prinsip‐Prinsip Filsafat) tahun 1944. Buku yang terakhir ini merupakan buku yang paling banyak memuat teori ilmiah. Lihat Op.Cit hal 39
22
Descartes mengajukan ungkapan yang sangat terkenal yaitu cogito ergo sum. Eksistensi “yang berada yang berpikir” (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua disiplin ilmu pengetahuan. Lihat Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum ... hal 40
23
tidak mempunyai kesadaran. Dalam hubungannya dengan dengan sifat‐
sifat objek fisik, Descartes menulis :
“Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak
dapat direduksi, dengan kejelasan gambaran matematika, dari pengertian‐
pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi, karena
semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka tidak ada
prinsip‐prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula
prinsip‐prinsip lain yang diperlukan”.
Atau dengan penjabaran yang lain Pertama, jangan pernah menerima apa
pun sebagai benar, hal‐hal yang tidak diketahui secara jelas dan terpilah
(clearly and distincly), dan hindari ketergesa‐gesaan dan prasangka. Kedua,
membagi kesulitan yang akan di uji menjadi bagian‐bagian sekecil mungkin
agar dapat dipecahkan lebih baik. Ketiga, menata urutan pikiran mulai dari
objek yang paling sederhana dan paling mudah untuk dimengerti,
kemudian maju sedikit demi sedikit menurut tingkatannya sampai kepada
pengetahuan yang lebih kompleks. Keempat, memerinci keseluruhan dan
meninjau kembali semua secara umum sedemikian sehingga diyakini tidak
ada yang terabaikan.
Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum‐
hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam materi alam dapat diterangkan
dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian‐bagiannya. Tidak ada
tujuan, kehidupan, dan spiritualitas di dalamnya. Metode penalaran
analitik ini merupakan sumbangan Descartes terbesar pada dunia ilmu.
dan telah terbukti sangat bermanfaat dalam perkembangan teori‐teori
ilmiah dan pelaksanaan proyek‐proyek teknologi yang kompleks.24
Pandangan Descartes bahwa alam semesta adalah sebuah sistem
mekanis telah memberikan persetujuan ilmiah pada manipulasi dan
eksploitasi yang telah menjadi karakteristik kebudayaan barat25 persis
sama dengan pandangan Francis Bacon mengenai penguasaan dan
pengendalian alam sebagai tujuan dari ilmu untuk mengubah manusia
menjadi tuan pemilik alam.
Isaac Newton lahir di Inggris pada tahun 1642, yaitu tahun kematian
Galileo.26,dan tepat seratus tahun setelah publikasi karya Copernicus De
24Capra menulis, “Gambaran alam mekanik ini telah menjadi paradigma ilmu pada masa setelah Descartes. Gambaran ini telah menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori fenomena alam hingga fisika abad kedua puluh menghasilkan suatu perubahan yang radikal. Seluruh penjelasan tentang ilmu mekanistik pada abad ke tujuh belas, delapan belas, dan sembilan belas, termasuk teori agung Newton, tidak lain adalah perkembangan dari pemikiran Descartes. Descartes telah memberikan kerangka ilmiah pada umumnya, yaitu pandangan alam sebagai mesin sempurna, yang diatur oleh hukum‐hukum matematis yang pasti”. Lihat F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan .... hal 43
25
Sebagaimana pandangan Francis Bacon bahwa tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam yang menegaskan pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam. Lihat Ibid hal 50
26
Revolutionibus, satu tahun sesudah Descartes mempublikasikan
Meditationes dan dua tahun sebelum diterbitkannya Principia Philosophia.
Alam semesta ala Newton adalah sebuah sistem mekanis yang luar biasa besar yang bekerja sesuai hukum matematika yang pasti. Newton menyajikan teorinya tentang dunia secara rinci dalam bukunya
Mathematical Principles of Natural Philosophy dimana setiap langkah
didasarkan atas evaluasi kritis terhadap bukti‐bukti percobaan; sebagaimana dijelaskan Capra:
“Apa saja yang tidak dideduksi dari fenomena disebut suatu hipotesis, dan hipotesis, baik metafisika maupun fisika, baik bersifat gaib maupun mekanik, tidak mempunyai tempat di dalam filsafat eksperimental. Dalam filsafat ini, proposisi‐proposisi tertentu ditarik dari fenomena, dan sesudah itu digeneralisasi dengan cara induksi.”
Menurut Newton, Tuhan mula‐mula menciptakan partikel‐partikel benda, kekuatan‐kekuatan antar partikel, dan hukum gerak dasar. Dengan cara ini seluruh alam semesta menjadi bergerak, dan terus bergerak sejak itu, seperti sebuah mesin yang diatur oleh hukum‐hukum yang kekal. Pandangan alam mekanistik berhubungan erat dengan determenisme yang tepat, dengan mesin kosmik raksasa yang bersifat kausal dan tetap. Semua yang terjadi mempunyai penyebab yang pasti dan menimbulkan akibat yang pasti pula, dan secara prinsip masa depan setiap bagian dari sistem itu bisa diramalkan dengan kepastian yang absolut. Menurut Newton dalam cita‐citanya dia berkata:
“Saya berharap dapat menerangkan fenomena‐fenomena lain dengan penalaran yang sama dengan prinsip‐prinsip mekanika (klasik)”.27 Lihat Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum Progresif) Dikutip dari www.fatahilla.blogspot.com yang diakses pada tanggal 7 Mei 2010.
Bagan 2.1
Subjektivisme ‐ Antroposentrik
Dualisme
PARADIGMA
CARTESIAN ‐ Mekanistik ‐ Deterministik NEWTONIAN
2. Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Positivisme Ilmu (Sains
Positivistik) 28
Paradigma Cartesian‐Newtonian ini menjadi pondasi yang kokoh bagi
pengembangan sains hingga saat ini, tidak saja sains alam namun juga telah
merambah sains sosial dan manusia. Misalnya saja ekonom Adam Smith
berbicara tentang mekanisme pasar, biolog Charles Darwin bicara tentang
mekanisme evolusi dan Sigmund Freud bicara tentang mekanisme pertahanan
psikis. Biologi adalah sains yang berurusan dengan fenomena‐fenomena
hayati pada organisme hidup. Selain itu di bidang teori evolusi, semakin
28
tampak jelas adanya paradigma Cartesian. Darwin mentransformasikan
pernyataan Cogito Ergo Sum menjadi pernyataan mengenai survival of the
fittest. Aku bertahan hidup maka aku ada. Aku beradaptasi maka aku ada.
Ilmu biologi juga semakin berkembang dan dikaitkan dengan ilmu‐ilmu sosial
sehingga melahirkan ilmu sosio‐biologi. Pada bidang ini, terjadi reduksi
dimana perilaku sosial lalu dilihat semata‐mata sebagai variable dari faktor‐
faktor biologis dan genetis.
Di dalam dunia kedokteran pun juga tampak adanya paradigma
Cartesian‐Newtonian yang berifat mekanistik‐reduksionistik. Dalam hal ini
manusia tidak dilihat lagi sebagai manusia yang utuh dan holistik. Praktek‐
praktek kedokteran hanya berfokus pada tubuh manusia semata tanpa
dikaitkan dengan jiwa dan pikirannya maupun dengan lingkungan sosialnya.
Paradigma Cartesian‐Newtonian juga terdapat dalam ilmu psikologi.
Sebagai contohnya adalah para kaum behavioris yang memandang bahwa
manusia tak ubahnya seperti hewan atau robot dimana segenap perilakunya
dapat diatur dan dikontrol oleh lingkungan eksternal dengan penelitian S‐R
(Stimulus‐Response). Dalam bidang sosiologi pun juga ditemukan paradigma
Cartesian‐Newtonian.
August Comte sebagai salah seorang tokoh positivisme meyakini bahwa
penemuan hukum‐hukum alam akan membukakan batas‐batas yang pasti
yang melekat dalam kenyataan sosial. Comte melihat masyarakat sebagai
bagian yang saling tergantung. Untuk memahami kenyataan ini, metode
penelitian empiris perlu digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat
adalah suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Sosiologi positivistik
ini pun kerap dijuluki sebagai fisika sosial karena asumsi dan metode yang
diterapkan mencontoh fisika mekanistik. Penegasan ontologi ilmu
pengetahuan dilakukan dengan menggunakan ukuran‐ukuran ilmu alam dan
penegasan epistemologi ilmu juga dilakukan dengan menggunakan batasan‐
batasan metode eksperimental, akibatnya sains terputus dari perspektif
global.
Positivisme29 dipelopori oleh dua pemikir Perancis, yaitu Henry Saint
Simon (1760‐1825) dan muridnya August Comte (1798‐1857) walaupun Henry
yang pertama kali menggunakan istilah positivisme, namun Comte yang
mempopulerkan positivisme. August Comte juga orang yang pertama yang
memperkenalkan istilah sosiologi.
Sosiologi dipahami Comte sebagai studi ilmiah terhadap masyarakat. Hal
itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari
subjek peneliti dan bekerja dengan hukum determinisme.30 Filsafat Comte
29
Istilah positivisme diperkenalkan Comte. Istilah itu berasal dari kata positif. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah filsafat positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten disepanjang bukunya. Dengan filsafat itu ia mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep‐konsep manusia. Sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk menyusun fakta‐fakta yang teramati. Dengan kata lain, positif sama dengan faktual, atau apayang berdasarkan fakta‐fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan, pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta‐fakta. Lihat F.Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004, hal 204 30
anti metafisis, ia hanya menerima fakta‐fakta yang ditemukan secara positif‐
alamiah, dan menjauhkan dirinya dari semua pertanyaan yang mengatasi
bidang‐bidang ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour
prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus
menyelidiki gejala‐gejala, agar ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.31
Positivisme melembagakan pandangan dunia objektivistiknya32 dalam
suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin ini mengajukan kriteria
bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
a. Bebas nilai. Pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai emosi dalam
mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif.
b. Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi empiris.
c. Bahasa yang digunakan harus analitik, bisa dibenarkan atau disalahkan
secara logis; bisa diperiksa secara empiris atau nonsens.
d. Bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan menjelaskan
akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab
pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why.
pada masa itu. Oleh karenanya, ia bersikap kritis terhadap para filsuf pencerahan Prancis. Positivisme dikembangkan Comte guna melawan apa yang ia yakini sebagai filsafat negatif dan destruktif dari para filsof pencerahan. Para filsuf yang masih bergelut dengan kayalan‐kayalan metafisika. August Comte bersama beberapa filsuf lainnya membuat barisan kontra‐revolusioner yang bersikap kritis pada proyek pencerahan. Ibid hal 200
31
Hammersma, Tokoh‐tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1983, hal 54‐55
32Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan, objek‐objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti‐properti mereka secara langsung melalui data inderawi. Realitas dengan data inderawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum .... hal 65
August Comte meyakini kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui
penerapan ilmu‐ilmu positif. Semua ilmu dinilai dan dibaca melalui satu
kacamata, yaitu optik ilmu‐ilmu alam. Ini berarti hanya metode ilmu alam saja
yang dapat menjustifikasi keilmiahan ilmu‐ilmu, termasuk ilmu sosial.
Bagan 2.2
Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Dalam definisinya yang paling
tradisional tentang hakekat hukum, dimaknai sebagai norma‐norma positif
dalam sistem perundang‐undangan.
Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan
penggabungan idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan,
penjelasan seperti itu mengacu kepada teori hukum kehendak (the will theory
of laws) dari John Austin 33 dan teori hukum murni dari Hans Kelsen.
33
John Austin dapat disebut sebagai salah satu tokoh penganut aliran positivisme hukum yang inti pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat, atau dalam bahasa aslinya “Law was the Command of sovereign, for Austin; No Law, No Sovereign; and No Sovereign, No Law.” b. Ilmu Hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan lain yang secara tegas
Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai
sebagai berikut:
a. Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum
secara eksklusif, dan berakar pada peraturan perundang‐undangan yang
sedang berlaku saat ini
b. Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika
berbentuk norma‐norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan
ditetapkan oleh sebuah instrumen di dalam sebuah negara.34
Menurut positivisme hukum, norma hukum hanya mungkin diuji dengan
norma hukum pula bukan dengan non‐norma hukum. Norma positif akan
diterima sebagai doktrin yang aksiomatis sepanjang ia mengikuti the rule
systematizing logic of legal science yang memuat asas ekslusi, subsumsi,
derogasi dan non kontradiksi.35
c. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovereignity) mewarnai hampir keseluruhan
dari ajaran Austin. hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan);
Analitycal Jurisprudence
Positivisme Yuridis
Rasionalisme
Mekanistik Dogmatik
Paradigma Deterministik
Cartesian‐ Positivisme Positivisme
Positivisme hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari
kehadiran negara modern. Sebelum abad ke‐18 pikiran itu sudah hadir, dan
menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara modern. Sejarah
memperlihatkan bahwa hukum berkembang dari apa yang kita kenal sebagai
tatanan‐tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern,
yaitu pergeseran dari hukum kebiasaan menuju ke hukum yang dibentuk oleh
penguasa atau negara. Perkembangan masyarakat sendiri khususnya
perubahan‐perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang semakin
kompleks, yang menyebabkan semakin kuatnya tuntutan terhadap
harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral. Tujuan‐tujuan sosial dan faungsi‐fungsi sosial);
d. The contention that the legal system is a closed logical system in which correct legal decisions can be deduced by logical means from predetermined legal rules without references to social aim, policies, moral standards (sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan‐putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan‐ aturan yang sudah ada sebelumnya);