BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
KESEIMBANGAN ANTARA HUKUM FORMAL DENGAN
3. Reduksionis dalamdalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen
Sifat reduksionis adalah ciri lain yang dapat ditemukan dalam pemikiran positivisme hukum. Asumsi ini menyatakan, objek telaah adalah satuan komposisi yang dapat direduksi menjadi bagian‐bagian kecil. Untuk memahami persoalan ini, lebih jauh pembahasan akan dikaitkan dengan apa yang disebut dengan realitas hukum. Realitas hukum secara filosofis (dapat dijelaskan) terdiri dari realitas idea,138 realitas material,139 dan
137
Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 157
138Realitas adalah sesuatu yang hanya dapat ditangkap lewat kapasitas akal budi (ide, gagasan, esensi). Pemikiran ini menguasai betul mereka yang berada dibawah payung pemikiran idealisme, misalnya Plato, pada masa Yunani Kuno, idealisme lebih modern seperti Hegel. Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, Refika, Bandung, 2004, hal.27.
realitas artifisial (hyperrealitas).140 Realitas hukum yang beragam itu, dalam pandangan positivisme hukum direduksi (hanya) menjadi tunggal.
Konsep pemurnian dari dari hukum (pure theory) Hans Kelsen adalah contoh nyata dari proses reduksionis tersebut. Proses pemurnian ini berupaya untuk melepaskan hukum dari ketergantungannya dengan realitas non‐hukum, sehingga hukum harus benar‐benar dibersihkan dari unsur non‐yuridis. Kelsen mencoba mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum. Ternyata pandangan itu mengalami beberapa problem bahkan mengalami kegagalan, sehingga Kelsen sendiri sebenarnya melakukan juga pendekatan yang tidak murni (pure), sebagaimana disampaikan oleh Hari Chand :
...”sepanjang mengenai norma dasar dia gagal untuk menjelaskan bagaimana norma tersebut eksis”.
Untuk menjelaskan hakekat norma dasar membutuhkan pengetahuan lain dari bidang lain, seperti sejarah, ilmu politik, ekonomi dan lain‐lain yang ditolak oleh Kelsen. Pendekatan tidak murni juga digunakan dalam pure theory.
139Realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat aktual, nyata, ada dan objektif, yang hanya dapat dikenali dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan indra. Pandangan yang berada di bawah payung pemikiran empirisme seperti Bacon, atau seorang sosiolog positivistik seperti Durkheim, Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto,...Ibid hal.27
140
Realitas yang tidak dapat dimasukkan kepada kedua makna realitas di atas, karena realitas ketiga itu telah bersifat melampaui batas‐batas realitas di atas, yang oleh Baudrillard dan Umberto Eco disebut sebagai dunia hyperrealitas, atau dunia yang melampaui batas (hyper‐ reality). Itulah sebuah realitas yang melampaui realitas, sebuah realitas virtual, dunia realitas yang melampaui dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realitas yang ada, yang pada suatu ketika nanti akan mengambil alih secara total realitas‐realitas tersebut. Setidak‐tidaknya terhadap realitas artifisial tersebut ada tiga pandangan. Pertama yang optimis dan positif, Kedua yang pesimis, curiga dan menolak dan yang Ketiga pandangan yang penuh ketidak pastian, mengkritik tapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Lihat Op. Cit hal 27‐28
Pada level norma sub‐ordinat, dalam menentukan fakta dimana norma harus diterapkan, fakta harus ditentukan, pembuktian dan penghakiman mengambil peran. Penemuan hukum ada bersama fakta.141 Pandangan reduksionis dari Hans Kelsen dapat dilihat pada pandangan W.Friedman yang mengungkapkan, dasar‐dasar esensial dari pemikiran Kelsen adalah sebagai berikut :
a. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity;
b. Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is not of what the law ought to be;
c. The law is a normative not a natural science;
d. Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms;
e. A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing contents a spesific way;
f. The relation of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to actual law;142
Dalam teorinya tentang hierarki norma atau Stufen theory, Kelsen menempatkan Grundnormsebagai puncak dari norma‐norma yang kemudian disusul oleh norma yang lebih rendah. Melalui hubungan yang bersifat
141
Lihat Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Cetakan Kedua, 2012, hal 165
142Lihat W.Friedmann, Legal Theory, Third Edition, Stevens & Sons Limited, 1953, hal 113, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya adalah sebagai berikut :
a. Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan,adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan;
b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya;
c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam;
d. Teori hukum adalah sebagai teori tentang norma‐norma tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma‐norma hukum;
e. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang tata cara menata, mengubah isi dengan cara khusus;
f. Hubungan antara teori hukum dam sistem hukum yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto,...hal 159
superior dan inferior maka selanjutnya norma yang paling tinggi akan dikonkritkan dalam norma yang lebih rendah sampai kepada norma yang paling konkrit. Hubungan antara norma yang satu dengan norma yang lain tersebut dapat disebut hubungan super dan sub‐ordinasi dalam konteks yang spasial. Norma yang menentukan perbuatan norma yang lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior.
Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirearki dari norma‐norma yang memiliki level yang berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.
Puncak dari piramida hukum yang disebutnya dengan Grundnorm merupakan wadah yang kosong. Hans Kelsen tidak mengisinya dengan sebuah rumusan yang khusus (tertentu) dan tetap. Hal ini agak sedikit berbeda dengan pandangan Kant yang telah mengisi Kategorische Imperative dengan rumusan tetap, berbuatlah kamu sehingga tindakanmu itu menjadi ukuran bagi tindakan orang lain. Kategorische Imperative ini menjadi dasar bagi hukum dan moral.
Dari uraian di atas terlihat, baik pemurnian hukum maupun stufen theory nya bersifat reduksionis, kita hampir menemukan banyak proses
reduksi yang dilakukan dalam menjelaskan teori yang dibangun oleh Hans Kelsen. Bagi positivisme sosiologis, realitas hukum direduksi sedemikian rupa menjadi (semata‐mata) realitas material. Durkheim143secara tegas menyatakan, hukum merupakan fakta sosial, artinya merupakan barang sesuatu yang nyata ada dan berpengaruh terhadap kehidupan individu.
Pemikir positivisme hukum lainnya yaitu Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A.) Hart 144yang diakui sebagai
“the most influental modern positivist in the English speaking world” menggunakan pendekatan bersifat reduksionis untuk menjelaskan sistem hukumnya. Dimulai dari pembagian antara aturan primer (primary rules) dan aturan sekunder (secondary rules), yang kemudian masing‐masing aturan itu dipilah lagi ke dalam bagian‐bagian yang terkecil di dalamnya dengan menjelaskan relasi di antara masing‐masing bagian tersebut. Menurut positivisme hukum, khususnya positivisme yuridis dan analitikal positivisme, hukum direduksi sedemikian rupa sebagaimana Kelsen mereduksi realitas hukum yang sifatnya beragam menjadi tunggal, yaitu realitas hukum yang bersih dari unsur‐unsur non yuridis.145 Demikian
143
Fakta sosial menurut Durkheim disebutkan terdiri dari: Pertama, bentuk material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata yang dapat disimak dan diobservasi. Kedua, dalam bentuk non material yaitu sesuatu yang dianggap tidak nyata. Lihat Ibid hal 160.
144
Hart dalam Concept of Law‐nya mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem aturan‐aturan primer dan aturan‐aturan sekunder. Aturan primer berhubungan dengan aksi‐aksi yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh individu‐individu, sedang aturan‐aturan sekunder berhubungan dengan pembuatan, penafsiran, penerapan dan perubahan aturan primer; seperti aturan‐aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang‐undang, pengadilan dan administrator pada saat mereka membuat dan meafsirkan dan menerapkan aturan‐aturan primer. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 162‐163
145
Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.
pula Austin dengan menjelaskan, hukum adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan lembaga‐lembaga yang superior adalah upaya untuk mereduksi kekuatan‐kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan‐ kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam.
Bagan 3.1
Hal yang bersifat
Meta Yuridis
Realitas Hiper Reduksionis
Cyber‐Simbolik
Realitas Ideal Manusia Teks ‐ Hukum Positif
Realitas Artifisial Fisiologis
Biologis Realitas Material
Antropologis Realitas Material Empiris Kuantitatif Nalar ‐ Rasio
Fakta Empirik Pendekatan
Pengkonkritan Mekanistik Dogmatis Kuantitatif AWAL HASIL Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma‐norma yang positif ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas‐asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakekat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal‐hal yang bukan terbilang hukum. Lihat Absori, Politik Hukum Menuju Hukum Progresif; Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta Press; 2013, hal 20
Beberapa pengaruh dualisme dan reduksionisme yang dikembangkan positivisme hukum dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Dualisme dan reduksionisme telah mengakibatkan keterbatasan dan
kekaburan ruang lingkup hukum sebagai ilmu yang utuh. Hukum hanya
dibatasi pada wilayah yang benar‐benar murni (pure) yaitu wilayah Sollen.
Hukum juga hanya dibatasi kepada wilayah‐wilayah empirik kuantitatif.
Dengan kata lain, positivisme hanya melihat hukum sebagai teks positif dan
fakta kuantitatif, sedangkan fakta‐fakta simboliknya telah dihilangkan.
Dualisme dan reduksionis telah menimbulkan terputusnya teks hukum
(aturan tertulis) dengan unsur‐unsurnya, yaitu terpisahnya teks dengan
realitas sosial atau terpisahnya teks dengan konteks. Ilmu hukum menjadi
wilayah yang esoterik yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang terdidik
masalah hukum sebagai konsekuensi dari ilmu hukum skema atau skeleton.
Dalam bahasa Belanda dikenal dengan recht‐dogmatiek yang merupakan
trade mark positivisme hukum.
b. Dualisme dan reduksionis telah merusak pemahaman hukum baik sebagai
sains ,ataupun sebagai gejala praktis; wilayah hukum dipandang sebagai
wilayah empirisme dan rasionalisme yang kemudian telah menumbuhkan
mekarnya ilmu hukum positif, dengan kredonya aturan dan logika (rules and
logic). Ilmu hukum hanya memandang hukum sebagai bangunan atau
tatanan logis‐rasional, sehingga fokusnya hanya pada membuat rumusan‐
mensistematisir, diterapkan belaka pada undang‐undang. Apabila dikaitkan
dengan pandangan Immanuel Kant, dualisme telah menjadikan ilmu hukum
yang utuh menjadi terpilah‐pilah, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant
akal teoritis berurusan dengan dunia fenomena dan bermuara pada
penjelasan nomologis (berdasarkan hukum‐hukum) dan akal praktis yang
berurusan dengan dunia noumena dan bermuara pada tindakan moral yang
mensyaratkan kebebasan, namun demikian dunia noumena tidak memiliki
status pengetahuan karena pengetahuan hanya dibatasi pada dunia
fenomena. Dari sudut praktis, para profesi hukum untuk menjalankan
profesinya mereka sangat tergantung dan memerlukan dukungan dari kajian
rasional peraturan perundang‐undangan. Para profesional memerlukan
semacam legitimasi ilmiah, termasuk teori, doktrin dan asas sehingga
merasa mantap melakukannya. Bahkan hal ini pula merambah kepada
metode penafsiran hakim di pengadilan.
c. Dualisme dan reduksionis telah menyulitkan hukum dalam mengembangkan
desain analis yang utuh. Ilmu hukum sebagai ilmu yang sarat nilai dan makna
simbolik menjadi ilmu yang kering, karena penggunaan pendekatan dimana
subjek berada di luar objek yang ditelitinya. Pandangan atau paham dualistik
dan reduksionis sebagaimana dijelaskan di atas melihat alam sebagai mesin
yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai dan tanpa cita
rasa etis dan estetis, sebagaimana dikatakan Whitehead, dalam pandangan
berbau, tidak berwarna; ia hanyalah seonggok materi. Hal itu dipertegas lagi,
dalam dualisme itu berlaku hukum yang bersifat oposisi biner. Dualisme
subjek‐objek, menciptakan relasi hegemonial karena objek selalu dipandang
sebagai representasi dari subjek, dan lebih superior, seolah‐olah objek akan
mati tanpa subjek. Hal ini menjadikan desain analisis hukum bertumpu
kepada antroposentris (logos), dan model pendekatan hukum hanya bersifat
parsial dan mekanistik, yang kemudian model pendekatan itu diklaim
sebagai satu‐satunya pendekatan yang absolut. Hal itu telah ikut menjadikan rusaknya desain analisis hukum.
d. Pengaruh lainnya adalah penyempitan substansi kajian ilmu hukum,
sebagaimana positivisme yuridis atau lebih ekstrim lagi legisme yang melihat
hukum semata‐mata hanya sebagai teks (dogma) yang terpisah dari realitas
sosialnya. Menurut positivisme sosiologis, hukum hanya dilihat sebagai fakta
empiris yang hanya dapat diamati oleh panca indera, sementara hakekat
tersembunyi di balik realitas empiris‐fisik menjadi terabaikan.Dualisme dan
reduksionis itu pada akhirnya berujung kepada kegagalan hukum sebagai
ilmu untuk menjelaskan berbagai persoalan yang ada pada saat ini.
Positivisme hukum telah membuat jurang atau kutub yang berlainan
mengenai teks dengan realitas. Sebagaimana dijelaskan Satjipto Rahardjo,
teks‐teks dalam pemikiran positivisme hukum dipandang sebagai a finitive
closed scheme justification, sementara realitas‐kenyataan tidak bersifat
Bagan 3.2
Dualisme Ontologis
Paradigma Cartesian‐ Manusia Alam
Newtonian Jiwa (cogitans) Benda (extensa)
Pikiran Tubuh
ReduksionisKesadaran Materi
Nilai Fakta
Positivisme Ilmu Pendekatan Mekanis Subjek Objek
Comte Gerak Mekanis Terpisah
Positivisme Logis Empirisme Logis
Positivisme Hukum Analisis Mekanis Positivisme Positivisme
Yuridis Sosiologis
Dualisme Teks Positif Fakta Empirik
Reduksionisme Oposisi Biner Terpisah
Seperti halnya teori pada umumnya, teori hukum Hans Kelsen juga tidak terlepas dari berbagai keberatan maupun kritik yang berasal dari aliran hukum
sebelumhya (kusususnya hukum Alam dan positivisme empiris), maupun dari aliran hukum yang berkembang belakangan. Kritik terhadap teori hukum Kelsen pada umumnya terkair dengan metode formal yang digunakan dalam Pure Theory of Law, konsep hukun sebagai perintah yang memaksa namun tidak secara psikologis, postulasi validitas norma dasar, hubungan hukum dan negara, dan masalah konsep hukum internasional sebagai suatu sistem.
Kritik‐kritik dikemukakan oleh banyak ahli hukum sesuai dengan pokok masalah yang menjadi pusat perhatian, dan masing‐masing menggambarkan perspektif tertentu yang berbeda‐beda.
1) Kritik dari Joseph Raz
Dalam bukunya The Concept of Legal System : An Introduction to The Theory of Legal System membahas tentang konsep hukum dan sistem hukum berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria eksistensi dan kriteria identitas. Kritik terhadap teori hukum Kelsen dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari bahasa pernyataan normatif, struktur norma, eksistensi norma, masalah individuasi, sampai pada masalah sistem hukum Kelsen terkait dengan prinsip individuasi dan identitas sebagai pemikiran Raz.
2) Kritik Hari Chand
Hari Chand membahas secara khusus Pure Theory of Law dalam bab kelima buku “Modern Jurispudence”. Setelah menguraikan pokok‐pokok