BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
POSITIVISME HUKUM
B. Diskursus Mengenai Paradigma Rasional Sebagai Basis Epistemologi Pure
2. Aspek‐aspek EpistemologisPure Theory of Law
Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, merupakan sebuah teori (madzhab filsafat hukum), yang ingin mendudukkan dirinya secara unique di antara dua teori (madzhab filsafat hukum) mainstream, yaitu teori hukum alam dan teori hukum empiris‐ positivis.57
56 Antinomi adalah adanya nilai‐nilai yang berpasangan yang bersitegang (kontradiksi) secara filosofis, dalam rangka mencari suatu harmoni di antaranya. Dari setiap ketegangan nilai‐nilai yang ada, bertujuan untuk mencapai harmoni di dalamnya. Ketegangan itu bukan berakibat matinya salah satu nilai yang bersitegang, namun keduanya tetap eksis, dan keduanya harus tetap eksis karena dari situ diharapkan terjadi semacam penyempurnaan konsep nilai‐nilai tersebut. Nilai‐nilai yang bersitegang menjadi saling melengkapi. Keduanya akhirnya seperti mencapai suatu proses penyempurnaan. Dari situasi itu, diharapkan tercipta harmoni nilai yang mengakomodasi secara subjektif dan objektif dari setiap individu. Lihat E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai,Jakarta: Buku Kompas, hlm. 25.
Dengan merujuk pada konsep universal kategori dualistis antara "senyatanya" — is" Sebagai penggambaran tindakan manusia dan "seharusnya" — ought sebagai penggambaran dunia kodrati, Hans Kelsen membangun dan mengembangkan sebuah teori yang dinamakannya Pure Theory of Law (teori hukum murni).
Melalui Pure Theory of Law, Hans Kelsen yang mengupayakan sebuah jalan tengah antara idealisme hukum dan realisme hukum, menekankan pada "kemurnian" dan mengajukan persyaratan bahwa hukum harus selalu "murni" dengan berusaha membebaskan obyeknya dari segala sesuatu yang bukan hukum. Kemurnian teori Kelsen ini ialah independensi (kemandirian) hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah. Dalam hal ini Kelsen melakukan pemurnian terhadap objek teori hukum, tujuan dan ruang lingkup teori hukum, serta metodologi dalam teori hukum.
Berdasarkan uraian di atas, Pure Theory of Law dari Hans Kelsen secara epistemologis, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a) Aspek OntologiPure Theory of Law
Secara ontologis Kelsen mengatakan bahwa, yang menjadi objek dari kognisi ilmu hukum adalah hukum.58 Di dalam buku Pure Theory of LawKelsen menyatakan, bahwa hukum sebagai objek dari ilmu hukum, tidak hanya berupa norma hukum saja, akan tetapi juga meliputi perilaku manusia yang ditentukan oleh norma hukum, yaitu perilaku manusia
Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal 9 58Ibid hal 10‐23
yang terkandung dalam norma hukum. Objek ilmu hukum adalah hubungan manusia yang terkandung dalam (diaturoleh) norma hukum. Ilmu hukum berupaya memahami objeknya "secara hukum", yakni dari sudut pandang hukum.
Memahami sesuatu secara hukum berarti memahami sesuatu sebagai hukum, yaitu sebagai norma hukum atau sebagai muatan dari norma hukum atau memahami sesuatu sebagaimana yang ditetapkan oleh norma hukum.Norma‐normayang memiliki karakter norma hukum dan yang menjadikan perilaku/tindakan tertentu bersifat legal atau illegal, merupakan objek dari ilmu hukum. Meskipun Hans Kelsen menyebutkan secara tegas, bahwa objek kognisi dari ilmu hukum adalah norma, akan tetapi bagi Hans Kelsen norma yang dimaksud adalah norma dengan karakter yang khas. Dalam hal ini Kelsen mengartikan norma sebagai:
(1) Norma hukum sebagai makna tindakan berkehendak.
Dalam perspektif pure theory of law, ilmu hukum diarahkan pada upaya untuk memahami norma hukum sebagai makna tindakan (perilaku/perbuatan) berkehendak. Dengan demikian meskipun objek dari ilmu hukum, berupa norma hukum dan perilaku manusia yang terkandung dalam norma hukum, akan tetapi yang menjadi objeknya semata‐mata hanyalah norma, bukan perilaku manusia/ tindakan berkehendak itu sendiri. Pure theory of law sebagai teori hukum,
khusus diarahkan kepada norma hukum, ia tidak diarahkan kepada fakta; ia tidak diarahkan pada tindakan berkehendak yang bermaknakan norma hukum, tetapi kepada norma hukum sebagai makna dari tindakan berkehendak. Kalaupun Pure Theory of Law bersinggungan dengan fakta‐fakta, akan tetapi ia hanya berfokus pada fakta‐fakta yang ditetapkan oleh norma hukum yang merupakan makna dari tindakan berkehendak; makna dari tindakan berkehendak dan hubungan timbal baliknya inilah yang merupakan pokok bahasan Pure Theory of Law.
(2) Norma hukum, sebagai norma moral relatif yang berkarakternormatif.
Perbedaan antara hukum dan moral, menurut Hans Kelsen bukanlah persoalan tentang isi hukum, melainkan tentang bentuknya. Dalam keadaan yang demikian norma hukum sebagai salah satu tatanan sosial, pada dasarnya telah kehilangan eksistensinya. Hukum hanya akan bermakna bila memuat nilai‐nilai moral yang bersifat umum, yang akan diberlakukan bagi semua sistem moral yang mungkin ada. Hanya saja menurut Kelsen selama ini tidak dapat dijumpai adanya unsur yang bersifat umum, yang dapat menjadi isi dari seluruh tatanan moral yang ada, karena sebuah nilai yang merupakan cita‐cita tertinggi dalam sebuah sistem moral, bisa jadi sama sekali bukan merupakan nilai dalam beberapa
sistem moral yang lain. Kalau pun kemudian dapat terlacak adanya sebuah elemen yang lazim ada pada semua sistem moral yang selama ini berlaku, tidak akan cukup alasan untuk mengganggap tatanan pemaksa yang tidak memiliki elemen ini sebagai sesuatu yang bukan "moral" atau "tidak adil", dan bukan hukum.
Selama ini, di masyarakat terdapat tatanan pemaksa yang memerintahkan suatu perilaku, yang justru oleh masyarakat tidak dianggap baik atau adil, atau melarang suatu perilaku, yang oleh masyarakat dianggap jahat dan tidak adil.
Setiap sistem yang bersifat "seharusnya" pada dasarnya dapat diklasifiksaikan sebagai sebuah sistem moral (yang bersifat "seharusnya "/perintah), yang memiliki karakter normatif. Dengan demikian, apa yang diperintahkan oleh tatanan pemaksa tersebut dapat dianggap baik dan adil, dan apa yang dilarang adalah kejahatan dan ketidakadilan. Oleh karena itulah, apa yang baik secara moral bukanlah apa yang termasuk dalam nilai moral a‐priori, yang bersifat absolut, akan tetapi adalah yang sesuai dengan norma sosial yang menetapkan perilaku manusia tertentu, sehingga apa yang dinilai jahat secara moral, adalah apa yang bertentangan dengan norma tersebut. Nilai moral relatif, diwujudkan oleh norma sosial yang menyatakan bahwa manusia harus berperilaku dengan cara tertentu.Dengan demikian ungkapan yang menyatakan bahwa
"hukum pada dasarnya adalah moral", tidak berarti bahwa hukum memiliki isi tertentu, tetapi bahwa ia sendiri adalah "moral" yakni sebuah norma sosial yang menyatakan bahwa manusia harus berperilaku dengan cara tertentu. Karenanya dalam pengertian relatif ini, setiap hukum adalah moral; setiap hukum merupakan nilai moral relatif. Dan itu berarti hubungan antara hukum dan moral bukanlah persoalan tentang isi hukum, melainkan tentang bentuknya.
Norma hukum sebagai sebuah sistem moral (perintah), tidaklah dimaksudkan untuk mewujudkan/merealisasikan nilai moral tertentu, akan tetapi ia mewujudkan nilai hukum, yang kemudian harus dipandang sebagai nilai moral (relatif). Inilah makna bahwa hukum adalah norma (yang berbeda dengan moral).Adanya tuntutan untuk memisahkan hukum dengan moral pada umumnya dan hukum dengan keadilan pada khususnya, mengandung arti bahwa keabsahan tatanan hukum positif tidak tergantung pada tatanan moral yang berlaku mutlak.
Pengertian bahwa hukum merupakan moral (yakni harus adil), hanya berarti bahwa pembuatan hukum positif sesuai dengan satu sistem moral khusus di antara sistem yang mungkin ada.Adanya kebutuhan untuk memisahkan hukum dan moral, tidaklah berarti bahwa konsep hukum berada diluar konsep tentang "baik". Sesuatu yang baik, berdasarkan pemahaman hukum sebagai norma, adalah
apa yang tidak melanggar hukum.
Dengan adanya substansi "moral relatif" dalam tatanan hukum positif, maka moral tidak bisa menyediakan standar mutlak untuk mengevaluasi tatanan hukum positif. Pembenaran hukum positif melalui moral hanya dimungkinkan jika terdapat perbedaan antara norma moral dan norma hukum sehingga akan terdapat hukum yang baik secara moral dan buruk secara moral.
b) Aspek Epistemologi Pure Theory of Law
Ilmu hukum menunjukan penafsiran normatif atas objeknya, dengan memahami perilaku manusia yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia, dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut; dan dengan demikian ia menjelaskan hubungan normatif antara fakta‐fakta yang ditetapkan oleh norma hukum.59Berdasarkan deskripsi diatas, maka dapatlah diketahui bahwa tujuan dari ilmu hukum, adalah untuk:
(1) Mengetahui hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku/ peristiwa kongkrit tertentu.
Tujuan dari ilmu hukum adalah menunjukkan dan menetapkan norma hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku/peristiwa kongkrit tertentu. Dalam hal ini ilmu hukum berfungsi
59Lihat Op. Cit hal 24‐38
merekonstruksi berbagai norma hukum umum dan individual yang diciptakan oleh otoritas hukum menjadi sebuah sistem yang manunggal, sebuah "tatanan" hukum sehingga hukum yang ada tersebut dapat dipahami sebagai keseluruhan.Untuk dapat melakukan hal tersebut, Kelsen telah menyediakan sebuah teori yang merujuk pada teori struktur hierarkis (Stufenbaulehre) yang dapat digunakan untuk menjelaskan kesatuan sejumlah norma hukum yang sah, yang dapat diberlakukan terhadap perilaku/peristiwa konkrit tertentu.
Menurut Hans Kelsen, sebuah norma menjadi bagian sistem hukum tertentu, hanya berasal dari fakta bahwa keabsahan norma yang bersangkutan, bisa diruntut kembali sampai ke norma dasar yang menyusun sistem tersebut. Dengan demikian sebuah norma dikatakan sah sebagai norma hukum, hanya karena norma tersebut dicapai dengan cara tertentu diciptakan menurut aturan tertentu dikeluarkan dan ditetapkan menurut sebuah metode spesifik; danhukum tersebut sah hanya sebagai hukum positif, yaitu hanya sebagai hukum yang dikeluarkan atau ditetapkan. Pada pemenuhan persyaratan penting, yaitu: dikeluarkan atau ditetapkan inilah yang menjaminnya. Norma khusus harus diciptakan melalui sebuah cara khusus yang menetapkan/mengeluarkannya.
Sebuah norma umum atau norma individual menjadi sah, karena norma‐norma tersebut dikeluarkan atau ditetapkan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam norma yang ada, yang lebih tinggi. Hal ini akan berlanjut terus hingga sampai pada konstitusi negara yang bersangkutan, yang bila ditelusuri lebih lanjut akan merujuk pada konstitusi sebelumnya, dan kemudian akan berakhir pada konstitusi yang pertama, yang menurut sejarah ditentukan oleh "para" pengambil alih kekuasaan.
Apa yang dianggap sah sebagai norma adalah apa yang diungkapkan oleh pada pembuat konstitusi pertama sebagai kehendak mereka. Inilah perkiraan dasar semua kognisi tentang sistem hukum yang didasarkan pada konstitusi.Pure Theory of Law menggunakan norma dasar sebagai dasar hipotesis. Dengan mempertimbangkan perkiraan bahwa bila norma dasar sah, maka sistem hukum yang berdasarkan padanya akan sah.
(2) Menjelaskan hukum yang diberlakukan terhadap perilaku/ peristiwa faktual‐konkrit.
Hubungan yang diungkapkan oleh aturan hukum memiliki makna yang sepenuhnya berbeda dari hubungan kausalitas dalam hukum alam.Yang dikatakan oleh aturan hukum bukanlah “bila A ada”, maka "adaB", melainkan "bila A ada, maka B "seharusnya" ada. Pertanggungjawaban yang dimiliki oleh seorang individu atas
perbuatannya bermakna bahwa: ia bisa dihukum atas perbuatan ini; dan bila ia dinyatakan tidak bertanggungjawab, ini berarti ia tidak akan dihukum atas perbuatan yang sama.
Pengamatan yang ditunjukandalam konsep pertanggungjawaban, bukan merupakan kaitan antara perbuatan tertentu dengan seorang individu yang berbuat, akan tetapi antara perbuatan dengan sanksi; karena itulah individu yang tidak bisa dikenai tanggungjawab tidak bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran.
Ilmu hukum tidak memerlukan penjelasan tentang keterkaitan antara perbuatan dengan individu yang berbuat, karena bagaimana pun dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan; bahkan perbuatan dari orang yang tidak bisa dikenai tanggung jawab tetap saja merupakan perbuatannya (keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak), sekalipun perbuatan tersebut bukan merupakan pelanggaran yang bisa dialamatkan kepadanya. Sanksi dialamatkan kepada pelanggaran, namun sanksi tidak "dipengaruhi oleh" (atau tidak "disebabkan oleh") pelanggaran.
c) Aspek aksiologi dari Pure Theory of Law
/memurnikan ilmu hukum dari anasir‐anasir.60 Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen :
"Ilmu hukum mencirikan sendiri sebagai teori hukum "murni” karena ilmu hukum itu mengarahkan kognisinya difokuskan hanya pada hukum, dan kerena itu bertujuan menghilangkan dari kognisi ini segala sesuatuyang bukan termasuk obyek kognisi ini tepatnyaditetapkan sebagai hukum”.
Teori Murni bertujuan membebaskan ilmu hukum dari elemen‐ elemen asing. lnilah prinsip dasar metodologisnya.Berdasarkan deskripsi di atas dapatlah diketahui, bahwa dengan Pure Theory of Law Hans Kelsen bermaksud untuk menjadikan hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah (menjamin hukum yang otonom sebagai obyek ilmiah).
Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen memberi ciri sebagai teori hukum "murni" karena mengarahkan kognisi hanya pada hukum itu sendiri. Oleh karena itu, dalam membangun teorinya, Kelsen berupaya menghindari dan meniadakan segala sesuatu yang bukan termasuk obyek kognisi ilmu hukum, terutama "unsur‐unsur asing" yang teridentifikasi sebagai bukan hukum. Berdasarkan hal tersebut, kemudian Kelsen menyatakan bahwa, hukum adalah norma, dan inilah yang menjadi satu‐satunya obyek kognisi hukum".
Norma sebagai objek kognisi hukum yang berbeda dengan norma yang menjadi objek ilmu hukum menurut madzhab hukum kodrat,
60
Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal 38‐42
maupun madzhab hukum empiris‐positivistik.Norma hukum sebagai norma adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hukum akan menjadi bagian dari moralitas, dan kemudian memberi nilai mutlak berdasarkan standar moralitas kepada hukum.
Hukum sebagai kategori moral kemudian diidentikkan dengan keadilan. Keadilan yang dalam titik tertentu kemudian disamakan dengan kebahagiaan, terutama ketika keadilan tidak bisa diperoleh secara individual akan tetapi diperoleh dalam (melalui) masyarakat.Keadilan bagi Kelsen adalah kesesuaian dengan hukum positif. Jika suatu norma umum diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang muncul maka dikatakan "tidak adil", ketidakadilan yang terlepas dari berbagai pertimbanganmoral dan nilai norma umum tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relatif dengan sebuah norma; adil adalah kata lain dari sah.
Pertimbangan nilai, harus dibedakan dengan nilai yang membentuk norma tersebut. Pertimbangan nilai bisa benar atau salah, karena ia mengacu pada sebuah norma dari sebuah sistem yang berlaku. Namun sebuah norma tidak bisa dinyatakan benar atau salah, ia hanya dapat dinyatakan berlaku atau tidak berlaku.
Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap absah atau berlaku secara obyektif, adalah berfungsi sebagai standar nilai yang diterapkan pada perilaku aktual. Dalam pengertian norma menjadi pertimbangan nilai untuk menentukan baik buruknya sebuah perilaku aktual.