PENGEMBANGAN POCKET BOOK IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQURY LEARNING YANG BERORIENTASI PADA KEMAMPUAN
PROBLEM SOLVING PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII Oleh:
Eka Adytianto 12315244004
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kelayakan bahan ajar pocket book IPA yang dikembangkan menurut ahli dan guru, (2) respon peserta didik terhadap pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning, (3) kemampuan problem solving peserta didik setelah menggunakan pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (R&D) dengan model 4-D (four-D). Tahap-tahap penelitian ini meliputi tahap pendefinisian (define), perancangan (desain), pengembangan (develop), dan penyebarluasan (disseminate). Subjek penelitian adalah dosen ahli, guru IPA, dan peserta didik kelas VIII F SMP Negeri 2 Piyungan. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar validasi untuk dosen ahli dan guru IPA yang berfungsi untuk mengetahui kelayakan pocket book IPA, lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran authentic inquiry learning untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran authentic inquiry learning, angket respon peserta didik terhadap pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning untuk mengetahui respon peserta didik terhadap pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning, lembar observasi kemampuan problem solving untuk menilai kegiatan pembelajaran yang mengintegrasikan kemampuan problem solving, dan instrumen soal posttest digunakan untuk mengetahui kemampuan problem solving peserta didik. Teknik analisis yang digunakan antara lain rerata skor untuk mencari skor aktual, konversi skor menjadi empat kategori, dan perhitungan persentase penguasaan kemampuan.
Hasil penelitian dari pengembangan pocket book IPA adalah (1) Pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang dikembangkan dinilai sangat baik oleh dosen ahli dan guru serta layak digunakan dalam pembelajaran IPA, (2) peserta didik memberikan respon sangat baik terhadap pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning hasil pengembangan, (3) kemampuan problem solving peserta didik setelah menggunakan pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning berada pada kategori sangat baik.
THE DEVELOPMENT OF SCIENCE POCKET BOOK USING AUTHENTIC INQUIRY LEARNING APPROACH WHICH IS ORIENTED ON THE PROBLEM SOLVING
SKILLS FOR THE SECOND GRADE OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS By:
Eka Adytianto 12315244004
ABSTRACT
The aims of this research are to identify: (1) the appropriateness of the development of the science pocket book’s result by using authentic inquiry learning approach according to some experts and science teachers, (2) the students response toward science pocket book by using authentic inquiry learning approach which is integrated with the problem solving skills, (3) the students problem solving skills after using science pocket book by using authentic inquiry learning approach.
This research was R&D research which is using 4-D model. The steps of this research were defining, designing, developing, and disseminating. The research subjects were experts, science teachers, and VIII F students of SMP N 2 Piyungan. The instruments used in this research were validation sheet for the experts and science teacher which is used for identifying the suitskills of the science pocket book, the observation sheet in order to identify the implementation of authentic inquiry learning, the questionnaire which is used for the students response toward the use of science pocket book using authentic inquiry learning approach, the observation sheet for assessing the learning activity which is integrated with the problem solving skills, and post-test instruments for identifying the students problem solving skills. The analysis technique used among others, the mean score for seeking actual score, converting scores into four category, and the calculation of the percentage of mastery ability.
The result of the development of the science pocket book are (1) the science pocket book using authentic inquiry learning approach are proper to use for the science learning material in the best category by experts and science teachers, (2) the students response was best category toward the use of science pocket book using authentic inquiry learning approach which is integrated with the problem solving skills, (3) the students problem solving skills after use science pocket book using authentic inquiry learning approach was in the best category.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU
SISDIKNAS Bab 1 Pasal 1). Di abad ke-21 ini tantangan global lebih
menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan berpikir, komunikasi
verbal dan tulis, team work, kreativitas, keterampilan meneliti, dan problem solving untuk bersaing dan tumbuh dengan baik dimasa depan. Akan tetapi pendidikan di Indonesia yang ada sekarang ini belum sepenuhnya
memposisikan untuk mengajarkan kemampuan tersebut kepada peserta didik,
terutama kemampuan problem solving. Peserta didik berhasil memecahkan masalah tertentu, tetapi gagal jika konteks masalah tersebut sedikit diubah
(Sudiarta dalam Asri Widowati dkk, 2015: 1)
Heuvelen dalam Asri Widowati dkk (2015: 1) mengemukakan bahwa hasil
survei yang dilakukan American Institute of Physics di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kompetensi yang paling sering digunakan oleh pekerja
2 dilakukan oleh Council of Science and Technology di Inggris menunjukkan bahwa sekitar 30% pekerja menggunakan sains dalam beberapa aspek
pekerjaannya dan problem-solving skills sangat selalu dibutuhkan pada berbagai profesi atau keahlian. Namun penelitian yang dilakukan
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)-sebagai lembaga penelitian internasional menunjukkan hasil bahwa pendidikan di
Indonesia berada pada urutan kedua paling rendah (Munif Chatib, 2013: 22).
Untuk kompetensi problem solving, Indonesia menempati urutan kedua dari bawah setelah Tunisia dengan skor 361,42 dimana Korea Selatan sebagai
negara dengan urutan nomor satu dengan skor 550,43 (Munif Chatib, 2013:
25).
Hasil penelitian yang dilakukan OECD yang mengatakan bahwa
kompetensi problem soving di Indonesia yang menempati urutan kedua dari bawah, didukung oleh hasil observasi yang dilakukan peneliti tehadap SMP N
2 Piyungan. Observasi dilakukan dengan mewawancarai2 guru mata pelajaran
IPA yang mengajar kelas 8 di SMP tersebut, serta melakukan pengamatan
langsung terhadap kondisi dan lingkungan sekitar sekolah. Di lingkungan
sekitar sekolah terdapat beberapa pedagang dan kantin yang menjajakan
berbagai macam makanan kepada peserta didik, namun belum diketahui
keamanannya. Keadaan sekitar sekolah seperti ini dapat digunakan sebagai
bahan penyelidikan oleh peserta didik, sehingga materi yang dipilih adalah
materi zat aditif pada makanan dimana peserta didik dapat melakukan
3 berdasarkan bahan yang ditambahkan dalam makanan tersebut (zat aditif
yang digunakan).
Selain itu, berdasarkan wawancara terhadap guru IPA, dapat diketahui
bahwa kemampuan problem solving peserta didik khususnya dikelas VIII sangatlah kurang. Dari ke empat indikator problem solving menurut Nitko,
Anthony J. & Susan M. Brookhart
(
2011: 232) yaitu mengidentifikasimasalah, merumuskan masalah, memberikan solusi alternatif dan memberikan
solusi terbaik untuk pemecahan masalah (evaluasi), hanya muncul beberapa
saja dan tak jarang sama sekali tidak muncul dalam pembelajaran IPA.
Beberapa indikator problem solving ini muncul ketika peserta didik melakukan suatu kerja laboratorium (percobaan atau eksperimen), namun jika
tidak melakukan keja laboratorium sebagian besar indikator problem solving tidak muncul.
Hal ini tejadi karena kemampuan problem solving belum diintegrasikan ke dalam pembelajaran. Pengintegrasian kemampuan problem solving dapat dilakukan melalui suatu kegiatan penyelidikan (inquiry). Akan tetapi hal tersebut jarang dilakukan oleh kebanyakan guru IPA. Kebanyakan guru IPA
masih menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan materi kepada
peserta didik. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peserta
didik kurang dilatih kemampuan problem solvingnya,
Kemampuan problem solving dapat dilatih dengan mengajak siswa untuk mencermati berbagai persoalan IPA yang muncul di sekitar mereka atau
4 peserta didik. Kegiatan seperti ini sangat erat hubungannya dengan
pembelajaran autentik. Lombardi (2007: 2) mendefinisikan pembelajaran
autentik sebagai “...focuses on real-world, complex problems and their solutions, using role playing exercises, problembased activities, case studies, and participation in virtual communities of practise”. Pembelajaran autentik
biasanya melakukan penyelidikan terhadap sesuatu gejala atau fenomena di
alam, sehingga sangat erat hubungannya dengan penyelidikan IPA atau
penyelidikan ilmiah. Penyelidikan ilmiah membutuhkan suatu pendekatan
untuk melakukannya yaitu dengan pendekatan inquiry. Pendekatan inquiry mengajarkan peserta didik untuk melakukan penyelidikan dengan
langkah-langkah seperti para ilmuan yaitu menggunakan metode ilmiah (Scientific Methods). Berdasarkan kajian teoritis tersebut, maka sangat cocok adanya kombinasi antara pendekatan authentic learning dan pendekatan inquiry untuk mewujudkan peserta didik menjadi pembelajar inovatif yang mampu
mendorong inquiry mereka sendiri terhadap perubahan dunia. Dengan menggunakan pendekatan authentic inquiry learning, guru dapat membelajarkan siswa menyelidiki objek dan fenomena alam, dengan
memanfaatkan potensi masyarakat sebagai sumber belajar, dan menjadi
penghubung antara sekolah dengan lingkungannya (Asri Widowati dkk, 2015:
3-4).
Pembelajaran IPA menggunakan pendekatan authentic inquiry learning diperlukan suatu bahan ajar. Bahan ajar ini digunakan sebagai panduan peserta
5 peserta didik untuk memperoleh real experience tentang permasalahan-permasalahan yang ada di alam untuk kemudian diselidiki dan ditemukan
pemecahannya. Akan tetapi di SMP tersebut, ketersediaan bahan ajar seperti
ini masih sangat minim. Bahan ajar yang biasa digunakan dalam pembelajaran
masih menggunakan buku paket IPA yang besar dan tebal sehingga membuat
peserta didik kurang minat untuk membaca buku tersebut. Terdapat berbagai
jenis bahan ajar yang dapat digunakan, akan tetapi jenis modul yang peneliti
anggap paling cocok untuk dikembangkan berdasarkan observasi atau
pengamatan terhadap SMP yang akan dilakukan penelitian, dimana di SMP N
2 Piyungan hanya menggunakan buku panduan buku paket IPA saja yang
hanya mengajarkan materi semata, sehingga pendekatan authentic inquiry learning belum muncul.
Modul dipilih karena bahan ajar ini memiliki kelebihan yaitu dapat
digunakan sebagai bahan ajar mandiri. Hal ini didukung dengan materi yang
dipilih yaitu zat aditif pada makanan dimana KD dari materi ini adalah
mendeskripsikan bahan kimia alami dan bahan kimia buatan dalam kemasan
yang terdapat dalam bahan makanan, artinya materi ini dapat dipelajari secara
mandiri oleh peserta didik tanpa bantuan guru. Modul yang dikembangkan
oleh peneliti berupa pocket book, yaitu modul ukurannya dibuat lebih kecil serta desainnya yang dibuat lebih menarik. Hal ini untuk mengatasi
ketidakminatan peserta didik untuk membaca buku IPA serta dengan
6 dapat memaksimalkan fungsi modul sebagai bahan ajar mandiri bagi peserta
didik, karena dapat dibawa kemana-mana secara mudah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sangat penting untuk
mengembangkan pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang berorientasi pada kemampuan problem solving peserta didik SMP. B. IDENTIFIKASI MASALAH
Beberapa permasalahan yang timbul pada pembelajaran IPA di SMP Negeri 2
Piyungan antara lain:
1. Pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya memposisikan untuk melatih
tantangan skill di abad 21, yang mana seharusnya sudah mengintegrasikan tantangan skill tersebut pada pembelajaran.
2. Hasil survei menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih berada
diurutan bawah untuk kompetensi problem solving, yang mana seharusnya kemampuan problem solving harus dikuasai sebagai salah satu skill tantangan di abad ke-21.
3. Kemampuan problem solving peserta didik di SMP N 2 Piyungan masih kurang, yang mana seharusnya kemampuan problem solving harus dikuasai oleh peserta didik.
4. Peserta didik kurang aktif dalam pembelajaran IPA, yang mana seharusnya
peserta didik dituntut untuk belajar aktif dan mampu mengeksplorasika
kemampuan yang mereka miliki.
7 merupakan salah satu pembelajaran yang dapat memuat peserta didik
menjadi aktif dalam pembelajaran.
6. Bahan ajar yang menggunakan pendekatan authentic inquiry learning masih sangat minim di SMP N 2 Piyungan, yang mana seharusnya
ketersediaan bahan ajar sebagai acuan/ referensi dalam belajar haruslah
mencukupi.
7. Bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran IPA masih menggunakan
buku paket tebal, yang mana seharusnya buku yang digunakan dapat dan
mudah dibawa kemana-mana dan mudah dipelajari.
8. Kurangnya minat peserta didik dalam membaca buku paket IPA, yang
mana sebagai pembelajar, peserta didik seharusnya memiliki kebiasaan
untuk membaca buku terlebih buku pelajaran, agar memperoleh ilmu dn
wawasan yang luas.
C. PEMBATASAN MASALAH
Hasil identifikasi masalah masih terlalu luas untuk dibicarakan dan dicari
pemecahannya dalam penelitian yang peneliti laksanakan. Oleh karena itu,
penelitian ini dibatasi pada nomor (3) kemampuan problem solving peserta didik di SMP N 2 Piyungan masih kurang; (5) pembelajaran yang
8
D. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
yang diteliti dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kelayakan bahan ajar pocket book yang dikembangkan menurut ahli dan guru?
2. Bagaimanakah respon peserta didik terhadap pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning?
3. Bagaimanakah kemampuan problem solving peserta didik setelah menggunakan pocket book berpendekatan authentic inquiry learning? E. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui kelayakan bahan ajar pocket book IPA yang dikembangkan menurut ahli dan guru.
2. Mengetahui respon peserta didik terhadap pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning.
3. Mengetahui kemampuan problem solving peserta didik setelah menggunakan pocket book IPA berpendekatan authentic inquiry learning. F. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Bagi peserta didik
a. Peserta didik termotivasi sehingga senang belajar Ilmu Pengetahuan
Alam.
b. Meningkatkan keaktifan peserta didik.
9 d. Meningkatkan sikap ilmiah dan metode ilmiah dalam memecahkan
suatu permasalahan IPA.
2. Bagi guru mata pelajaran IPA
a. Memberikan masukan bagi guru untuk menggunakan bahan ajar dalam
bentuk pocket book pada pembelajaran IPA.
b. Memberikan masukan bagi guru untuk melatih sikap ilmiah dan
metode ilmiah kepada peserta didik melalui penyelidikan secara
langsung (authentic inquiry learning) untuk melatih kemampuan problem solving peserta didik.
3. Bagi sekolah
a. Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
merealisasikan tujuan pembelajaran bagi peserta didik dan juga sebagai
bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
b. Memberikan sumbangan dalam rangka perbaikan pembelajaran dan
peningkatan mutu proses pembelajaran.
4. Bagi peneliti
a. Memberikan pengalaman bagi peneliti untuk melakukan penelitian.
b. Memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengembangkan dan
mengaktualisasikan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.
c. Melatih peneliti untuk dapat berfikir dan membuat penelitian yang
10 G. SPESIFIKASI DAN KARAKTERISTIK PRODUK
1. Pendekatan dan Tujuan
Pocket book ini menggunakan pendekatan authentic inquiry learning yang berorientasi pada kemampuan problem solving peserta didik.
2. Materi
Materi yang disajikan pada produk ini adalah zat aditif pada makanan
untuk kelas VIII semester 1 (ganjil). Materi ini mengacu pada KD 4.3
yaitu mendeskripsikan bahan kimia alami dan bahan kimia buatan dalam
kemasan yang terdapat dalam bahan makanan. Materi ini mencakup empat
sub-bab zat aditif yang biasanya ditambahkan pada makanan yaitu
pewarna, pemanis, pengawet dan penyedap rasa.
3. Ukuran
a. Pocket book ini dicetak dengan ukuran kertas A4 yang dibagi menjadi empat.
b. Pocket book ini dicetak dengan desain yang menarik dan berwarna, desain dibuat menggunakan program Corel Draw dan Microsoft Word. c. Pocket Book ini dilengkapi dengan gambar-gambar penunjang untuk
lebih memudahkan peserta didik memahami materi.
H. DEFINISI OPERASIONAL
1. Pocket Book IPA
kemana-11 mana serta berisi uraian materi yang dikemas secara ringkas untuk
mempemudah peserta didik dalam memahami materi yang bersangkutan.
2. Authentic Inquiry Learning
Authentic inquiry learning merupakan pembelajaran yang menuntun peserta didik untuk melakukan penyelidikan terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul pada kehidupan di sekitar mereka untuk
ditentukan solusi terbaik dari permasalahan tersebut. Langkah-langkah
authentic inquiry learning pada penelitian ini adalah kontekstual (masalah); kegiatan investigasi; kolaborasi; produk siswa; penggunaan
variasi sumber belajar; dan refleksi.
3. Problem Solving
Problem solving meupakan suatu proses berpikir dimana peserta didik dihadapkan pada suatu permasalahan untuk dipecahkan berdsarkan data
dan informasi sehingga dapat diambil kesimpulan berupa solusi dari
pemecahan masalah. Aspek problem solving dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah; merumuskan masalah; menentukan alternatif
12 BAB II KAJIAN TEORI
A. KAJIAN TEORITIK KEPENDIDIKAN
1. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam
Pada hakikatnya, IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses
ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai
proses, sebagai produk, dan sikap ilmiah (Wasih Djojosoediro, 2015:
18). Wasih Djojosoediro (2015: 27-38) menjelaskan IPA sebagai
proses diartikan menyangkut proses atau cara kerja untuk memperoleh
hasil (produk). Sebagai produk diartikan sekumpulan hasil kegiatan
empirik dan kegiatan analitik yang dilakukan oleh para ilmuwan
selama berabad-abad. Pudyo dalam Wasih Djojosoediro (2015: 35)
menyebutkan bentuk-bentuk produk IPA meliputi istilah, fakta,
konsep, prinsip, dan prosedur. Sebagai Sikap ilmiah adalah sikap
tertentu yang diambil dan dikembangkan oleh ilmuwan untuk
mencapai hasil yang diharapkan.
Koballa dan Chiappetta (2010: 105) mejelaskan 4 dimensi dari
13 a. Science as a way of thingking
Consist of beliefs, curiosity, magination, reasoning, cause-and-efect relationship, self-examination and skepticism, objectivity and open-mindedness.
b. Science as a way of investigating,
Merupakan gambaran mengenai pendekatan atau metode yang digunakan untuk menyusun pegetahuan.
c. Science as a body of knowledge,
Merupakan hasil dari berbagai bidang ilmiah yang diperoleh dari suatu fakta, konsep, hukum dan prinsip, teori, dan model. d. Science and its interaction with technology and society,
Merupakan interaksi IPA dengan teknologi dengan masyarakat yang memiliki pengaruh satu sama lain.
Cakupan yang terdapat dalam IPA meliputi alam semesta
keseluruhan, benda-benda yang ada di pemukaan bumi, di dalam perut
bumi dan diluar angkasa, baik yang dapat diamati indera maupun yang
tidak dapat diamati dengan indera.oleh karena itu, secara umum IPA
dipahami sebagai ilmu kealaman, yaitu ilmu tentang dunia zat, baik
makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. Secara umum IPA
dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat
langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis,
pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta
penemuan teori dan konsep. Dapat pula dikatakan bahwa hakikat IPA
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui
serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun
atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah
yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip,
14 Menurut Depdiknas yang dimuat dalam Trianto (2012: 143),
hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat memberikan
antara lain sebagai berikut:
a. Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk
meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan
konsep, fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan,
dan hubungan antara sains dan teknologi.
c. Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan,
memecahkan masalah dan melakukan observasi.
d. Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, objektif, jujur,
terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.
e. Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif
dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk
menjelaskan berbagai peristiwa alam.
f. Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari
keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam
teknologi.
Berdasarkan uaraian mengenai hakikat IPA, maka dapat
disimpulkan bahwa IPA pada hakikatnya dapat dipandang sebagai
proses; produk; dan prosedur. Proses merupakan kegiatan untuk
menemukan pengetahuan; produk merupakan hasil dari proses;
15 pengetahuan tersebut. Artinya ketiga komponen ini saling terkait satu
sama lain dan menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dari IPA.
2. Pocket Book
Pocket book (buku saku) merupakan media cetak yang berukuran kecil. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 185), “buku saku
adalah buku berukuran kecil yang dapat disimpan dalam saku dan
mudah dibawa kemana-mana”. Menurut kamus Encharta Dictionary,
pocket book adalah buku kecil yang mudah dibawa. Sehingga disimpulkan pocket book merupakan buku dengan ukuran yang kecil, ringan, bisa disimpan di saku dan praktis untuk dibaca dan dibawa
kemana-mana.
Pocket book digunakan sebagai alat bantu yang menyampaikan informasi tentang materi pelajaran dan lainnya yang yang bersifat satu
arah, sehingga bisa mengembangkan potensi peserta didik menjadi
pembelajar mandiri. Pocket book ini merupakan salah satu bahan ajar hasil pengembangan modul yang dapat digunakan pada proses
pembelajaran. Pocket book IPA disajikan dengan materi yang singkat tetapi jelas, menuntun dan membimbing siswa untuk melakukan
penyelidikan tertentu serta contoh-contoh soal.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai pocket book dari beberapa sumber, maka dapat disimpulkan pengertian pocket book IPA dalam penelitian ini yaitu merupakan modul yang berukuran kecil yang dapat
kemana-16 mana serta berisi uraian materi yang dikemas secara ringkas untuk
mempemudah peserta didik dalam memahami materi yang
bersangkutan.
Sesuai dengan pedoman penulisan modul yang dikeluarkan oleh
Direktorat Pendidikan Menengah Departemen Pendidikan Nasional
tahun 2003, maka pocket book yang dikembangkan harus sesuai dengan karakteristik modul.
Menurut Chomsin S. Widodo & Jasmadi (2008: 50-52),
karakteristik modul yaitu:
a. Self Instructional
Ketergantungan kepada orang lain harus dikurangi atau
dihilangkan ketika seorang peserta didik menggunakan bahan ajar
tersebut. Peserta didik mampu membelajarkan diri sendiri dengan
modul yang dikembangkan tersebut, inilah maksud dari self instructional. Hal ini sesuai dengan tujuan modul, yaitu agar peserta didik mampu belajar secara mandiri. Untuk memenuhi karakter self instructional, maka di dalam modul harus terdapat tujuan yang dirumuskan dengan jelas, baik tujuan akhir maupun tujuan antara.
Selain itu, dengan modul tersebut akan memudahkan peserta didik
belajar secara tuntas dengan memberikan materi pembelajaran yang
17 Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan modul
yang mampu membuat peserta didik untuk belajar mandiri dan
memperoleh ketuntasan dalam proses pembelajaran adalah:
1) Memberikan contoh-contoh dan ilustrasi yang menarik dalam
rangka mendukung pemaparan materi pembelajaran.
2) Memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memberikan
umpan balik atau mengukur penguasaannya terhadap materi yang
diberikan dengan memberikan soal-soal latihan, tugas, dan
sejenisnya.
3) Konstektual, yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan
suasana atau konteks tugas dan lingkungan siswa.
4) Bahasa yang digunakan cukup sederhana dan lebih penting adalah
bahasa tersebut harus komunikatif karena peserta didik hanya
berhadapan dengan buku ketika mereka belajar secara mandiri.
5) Memberikan rangkuman materi pembelajaran, untuk membantu
peserta didik membuat sebuah catatan-catatan selama mereka
belajar mandiri.
6) Mendorong peserta didik untuk melakukan self assessment dengan memberikan instrumen penilaian/ assessment.
7) Tersedia informasi tentang rujukan/ pengayaan/ referensi yang
18 b. Self Contained
Self contained, yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu kompetensi atau subkompetensi yang dipelajari terdapat dalam satu
modul secara utuh. Tujuan konsep ini adalah memberikan
kesempatan peserta didik untuk mempelajari materi pembelajaran
secara tuntas, karena materi dikemas ke dalam satu kesatuan yang
utuh. Jika harus dilakukan pembagian atau pemisahan materi dari
satu kompetensi/ subkompetensi harus dilakukan dengan hati-hati
dan memperhatikan keleluasan kompetensi/ subkompetensi yang
harus dikuasai oleh peserta didik.
c. Stand Alone (Berdiri Sendiri)
Stand alone atau berdiri sendiri, yaitu modul yang dikembangkan tidak bergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan
bersama-sama dengan bahan ajar lain. Dengan menggunakan modul,
peserta didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari
materi atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta
didik masih menggunakan dan bergantung pada bahan ajar lain
selain modul yang digunakan tersebut, maka bahan ajar tersebut
tidak dikatagorikan sebagai modul yang berdiri sendiri.
d. Adaptif
Modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul
19 teknologi, fleksibel digunakan di berbagai tempat, serta isi materi
pembelajaran dan perangkat lunaknya dapat digunakan sampai kurun
waktu tertentu.
e. User Friendly
Modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau bersahabat/ akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan
informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan
pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon dan
mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang
sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum
digunakan merupakan salah satu bentuk user friendly. Fungsi dari pocket book yaitu antara lain:
a. Fungsi atensi, media pocket book dicetak dengan kemasan kecil dan full colour sehingga dapat menarik dan perhatian siswa untuk berkonsentrasi pada isi materi yang tertulis didalamnya.
b. Fungsi afektif, terdapat gambar pada materi sehingga dapat
meningkatkan kenikmatan siswa dalam belajar.
c. Fungsi kognitif, penggunaan gambar dapat memperjelas materi yang
terkandung didalam pocket book sehingga dapat mempelancar pencapaian tujuan pembelajaran.
d. Fungsi kompensatoris, penulisan materi pada pocket book yang singkat dan jelas dapat membantu siswa yang lemah membaca untuk
20 e. Fungsi psikomotoris, penulisan materi pocket book yang singkat dan
jelas dapat mempermudah siswa untuk menghafalkannya.
f. Fungsi evaluasi, penilaian kemampuan siswa dalam pemahaman
materi dapat dilakukan dengan mengerjakan soal-soal evaluasi yang
terdapat pada pocket book.
Manfaat pocket book dalam proses pembelajaran, yaitu:
a. Penyampaian materi dengan menggunakan pocket book dapat diseragamkan.
b. Proses pembelajaran dengan menggunakan pocket book menjadi lebih jelas, menyenangkan dan menarik karena desainnya yang
menarik dan dicetak dengan full colour.
c. Efisien dalam waktu dan tenaga. Pocket book yang dicetak dengan ukuran kecil dapat mempermudah siswa dalam membawanya dan
memanfaatkan kapanpun dan dimanapun.
d. Penulisan materi yang singkat dan jelas pada pocket book dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
e. Desain pocket book yang menarik dan full colour dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses
belajar.
21 mengkatagorikan komponen-komponen evaluasi bahan ajar yaitu
sebagai berikut:
Komponen kelayakan isi mencakup, antara lain:
a. Kesesuaian dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar b. Kesesuaian dengan perkembangan anak
c. Kesesuaian dengan kebutuhan bahan ajar d. Kebenaran substansi materi pembelajaran e. Manfaat untuk penambahan wawasan
f. Kesesuaian dengan nilai moral, dan nilai-nilai sosial
Komponen kebahasaaan antara lain mencakup:
a. Keterbacaan
b. Kejelasan informasi
c. Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar d. Pemanfaatan bahasa secara efektif dan efisien (jelas dan singkat)
Komponen Penyajian antara lain mencakup:
a. Kejelasan tujuan (indikator) yang ingin dicapai b. Urutan sajian
c. Pemberian motivasi, daya tarik
d. Interaksi (pemberian stimulus dan respon) e. Kelengkapan informasi
Komponen kegrafikan antara lain mencakup:
a. Penggunaan font; jenis dan ukuran b. Layout atau tata letak
c. Ilustrasi, gambar, foto d. Desain tampilan
Berdasarkan beberapa definisi mengenai pocket book dari beberapa sumber, maka dapat disimpulkan pengertian pocket book IPA dalam penelitian ini yaitu merupakan modul yang berukuran kecil yang dapat
dimasukkan ke dalam saku sehingga mudah untuk dibawa
22 mempemudah peserta didik dalam memahami materi yang
bersangkutan.
3. Pendekatan Authentic Inquiry Learning
Authentic learning didefinisikan sebagai pembelajaran yang “...focuse on real-world, complex problems and their solutions, using
role-playing exercise, problem-based activities, case studies, and participation in virtual communities of practise” (Lombardi, 2007: 2).
Wiggins dalam Asri Widowati dkk (2015: 10) mengemukakan bahwa
pembelajaran autentik (authentic learning) memperbolehkan siswa untuk mempelajari dunia nyata menggunakan high oder thingking skill. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Donovan, Bransford & Pellegrino dalam (Kaufelt, 2008) yang menyatakan bahwa
pembelajaran autentik memungkinkan peserta didik mengeksplorasi,
menemukan, mendiskusikan, menyusun konsep-konsep dan
hubungan-hubungan dalam konteksnya yang penuh arti yang melibatkan masalah
dari proyek nyata dunia yang relevan dan menarik peserta didik.
Lombardi (2007: 2) menyatakan bahwa terdapat 10 macam
komponen yang berkaitan dengan authentic learning, diantaranya: a. Real-world relevance
Authentic activities match the real-world tasks of professionals in practice as nearly as possible. Learning rises to the level of authenticity when it asks students to work actively with abstract concepts, facts, and formulae inside a realistic—and highly social—context mimicking “the ordinary practices of the disciplinary culture.”
b. Ill-defined problem
23 undefined and open to multiple interpretations, requiring students to identify for themselves the tasks and subtasks needed to complete the major task.
c. Sustained investigation
Problems cannot be solved in a matter of minutes or even hours. Instead, authentic activities comprise complex tasks to be investigated by students over a sustained period of time, requiring significant investment of time and intellectual resources.
d. Multiple sources and perspectives
Learners are not given a list of resources. Authentic activities provide the opportunity for students to examine the task from a variety of theoretical and practical perspectives, using a variety of resources, and requires students to distinguish relevant from irrelevant information in the process.
e. Collaboration
Success is not achievable by an individual learner working alone. Authentic activities make collaboration integral to the task, both within the course and in the real world.
f. Reflection (metacognition)
Authentic activities enable learners to make choices and reflect on their learning, both individually and as a team or community.
g. Interdisciplinary perspective
Relevance is not confined to a single domain or subject matter specialization. Instead, authentic activities have consequences that extend beyond a particular discipline, encouraging students to adopt diverse roles and think in interdisciplinary terms.
h. Integrated assessment
Assessment is not merely summative in authentic activities but is woven seamlessly into the major task in a manner that reflects real-world evaluation processes.
i. Polished products
Conclusions are not merely exercises or substeps in preparation for something else. Authentic activities culminate in the creation of a whole product, valuable in its own right. j. Multiple interpretations and outcomes
Rather than yielding a single correct answer obtained by the application of rules and procedures.
24 a. Real-world problems that engage learners in the work of
professionals
b. Inquiry activities that practice thinking skill and metacognition c. Discourse among a community of learners
d. Student empowerment through choice
Berdasarkan beberapa pengetian tersebut, maka peneliti
menyimpulkan authentic learning merupakan pembelajaran dengan menghadirkan permasalahan yang nyata kepada peserta didik untuk
kemudian ditempukan solusi dengan menggunakan high order thingking.
Berdasarkan kedua pendapat mengenai komponen authentic learning, maka yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Konstektual.
Kegiatan dan masalah dalam authentic learning dilakukan sedekat mungkin dengan dunia nyata.
b. Investigasi.
Kegiatan otentik terdiri dari tugas-tugas kompleks untuk diselidiki
oleh peserta didik selama periode waktu yang berkelanjutan.
c. Variasi sumber belajar
Kegiatan otentik memberi kesempatan bagi peserta didik untuk
memeriksa tugas dari berbagai sumber daya untuk membedakan
informasi yang relevan dan tidak relevan.
d. Kolaborasi
Kegiatan otentik mengkolaborasikan tugas dengan teori dan dunia
25 e. Refleksi
Kegiatan otentik memungkinkan peserta didik untuk membuat dan
merefleksikan pembelajaran yang mereka lakukan.
f. Produk yang kreatif.
Kegiatan otentik berujung pada penciptaan produk keseluruhan
yang beharga dalam diri peserta didik.
Pendekatan authentic inquiry learning merupakan sebuah pendekatan yang mengkolaborasikan antara authentic learning dan inquiry (Asri Widowati dkk, 2015: 11). Inkuiri berasal dari bahasa Inggris “inquiry” yang dapat diartikan sebagai proses bertanya dan
mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukannya.
Pertanyaan ilmiah adalah pertanyaan yang dapat mengarahkan pada
kegiatan penyelidikan terhadap objek pertanyaan.
Trowbridge & Bybee (1986: 183) mengemukakan bahwa “inquiry is the process of defining and investigating problems, formulatinghypotheses, designing experiments, gathering data, and drawing conclutionsabout problems". Inquiry adalah proses mendefinisikan dan menyelidiki masalah-masalah, merumuskan
hipotesis, merancang eksperimen, menemukan data, dan
menggambarkan kesimpulan masalah-masalah tersebut. National Science Education Standard (Sitiatava Rizema Putra, 2013: 85-86) mendefinisikan inkuiri sebagai aktivitas beraneka ragam yang meliputi
26 sumber informasi lain untuk melihat sesuatu yang telah diketahui,
merencanakan investigasi, memeriksa kembali sesuatu yang sudah
diketahui menurut bukti eksperimen, menggunakan alat untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data,
mengajukan jawaban, penjelasan, dan prediksi, serta
mengkomunikasikan hasil.
Menurut W. Gulo (2002: 84-85), inkuiri sebagai suatu rangkaian
kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan
siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
dan analitis, sehingga dapat merumuskan sendiri penemuan dengan
penuh percaya diri.
Menurut Wina Sanjaya (2008: 202), langkah-langkah pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan inkuiri meliputi:
a. Orientasi
Orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengondisikan agar peserta didik siap melaksanakan proses pembelajaran dengan memberikan arahan dan petunjuk.
b. Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa peserta didik pada persoalan yang mengandung teka-teki yang perlu dicari jawabannya. Proses pencarian jawaban itulah yang sangat penting dalam strategi inkuiri, oleh sebab itu melalui proses tersebut peserta didik akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga.
c. Mengajukan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya.
d. Mengumpulkan data
27 proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual.
e. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
f. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Oleh karena itu, untuk mencapai kesimpulan yang akurat hendaknya guru mampu menunjukkan pada peserta didik data mana yang relevan.
Berdasarkan ketiga definisi tersebut, maka peneliti menyimpulkan
bahwa inquiry merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi melalui penyelidikan (observasi atau eksperimen) untuk memecahkan
masalah melalui proses berpikir kritis.
Dari beberapa uraian tersebut, pendekatan authentic inquiry learning merupakan pembelajaran yang menghadirkan permasalahan yang berkaitan erat dengan kehidupan nyata peserta didik untuk
dipecahkan melalui penyelidikan (observasi atau eksperimen). Dengan
menggunakan pendekatan ini, siswa dituntut berperan aktif dalam
memecahkan masalah yang dihadirkan, atau dengan kata lain
pendekatan ini mendorong pembelajaran menuju ke arah student centered.
28 Adapun komponen authentic inquiry learning adalah sebagai berikut:
a. Kontekstual (masalah).
b. Kegiatan investigasi yang menuntun pengembangan berpikir siswa.
Dalam kegiatan investigasi ini menggunakan langkah dalam
pembelajaran inquiry yaitu orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan merumuskan
kesimpulan.
c. Kolaborasi.
d. Produk siswa.
e. Penggunaan variasi sumber belajar.
f. Refleksi.
4. Kemampuan Problem Solving
Student incur a problem when they want to reach a specific outcome or goal but do not automatically recognize the proper path or solution to use to reach it. The problem to solve is how to reach the desierd goal. When students can not automatically recognize the proper way to reach the desired goal, they must use one or more higher-order thingking processes. These thingking processes are called problem solving (Anthony J. Nitko & Susan M. Brookhart, 2011: 231).
D'Zurilla and Nezu (Yunus, et.al., 2006: 87) menyatakan “problem solving as the self-directed cognitive-behavioural process by which a person attempts to identify or discover effective and adaptive solutions for specific problems encountered in everyday living”.
29 ketidaksesuain yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang
diinginkan.
Dari tiga pengertian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa
kemampuan problem solving merupakan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik untuk memecahkan masalah jika mereka dihadapkan
pada suatu permasalahan dalam kehidupannya. Pemecahan masalah/
menemukan solusi dari permasalahan dilakukan dengan menggunakan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order thingking), sebagaimana dijelaskan Anthony J. Nitko & Susan M. Brookhart
(2011: 231) “...they must use one or more higher-order thingking processes. These thingking processes are called problem solving”.
Asri Widowati (2015: 14) mengemukakan bahwa sebagaimana
teori kognitif sosial maka problem solving dianggap sebagai keterampilan. Hal tersebut dikuatkan oleh Eko Putro Widoyoko (2009:
212) yang menyatakan bahwa “kecakapan personal diantaranya
meliputi kecakapan berpikir kritis dan kreatif, kecakapan mengambil
keputusan, kecakapan memecahkan masalah, percaya diri, dan
memiliki etos kerja”. Kemampuan pemecahan masalah tidak terlepas
dari kemampuan mengambil kesimpulan karena memecahkan maslah
berarti mengambil keputusan dari berbagai alternatif yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah.
Mu’Qodin dalam Supri Yanto (2012) yang menyatakan bahwa
30 kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi,
mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif
tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan
dengan hasil yang dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana
dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
Problem solving atau pemecahan maslah melibatkan pebandingan hal-hal, tetapi selalu ditujukan untuk datang pada suatu solusi. Salah
satu bagian dari pemecahan masalah adalah penagambilan keputusan
(decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif solusi yang tersedia. Pengambilan keputusan
yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan
masalah.
Aspek problem solving skill menurut Yunus et.al (2006) meliputi: a. Problem Definition and Formulation Scale refers to the ability
tounderstand the nature of problems, identify obstacles to goals, delineaterealistic objectives, and perceive cause-effect relationships.
b. Generation of Alternatives Scale refers to the ability to brainstorm
multiplesolution ideas.
c. Decision Making Scale refers to the ability to identify
potentialconsequences, predict the likelihood of such consequences, and conduct acost-benefit analysis of the desirability of these outcomes.
d. Solution Implementation And Verification Scale refers to the ability tocarry out a solution plan optimally, monitor its effects, troubleshoot if thesolution is not effective, and self-reinforce if outcome is satisfactory.
Menurut Bransford and Stein dalam Anthony J. Nitko & Susan M.
31 a. Identify the problem
Present a scenario or problem description. Ask student to identify the problem to be solved.
b. Define and represent the problem
Present a statement that contains the problem and ask students to pose the question, using the language and concepts of the subject you are teaching, that need to be answered to solve the problem. c. Explore possible strategies
Present a problem statement along with two or more possible solutions to the problem and ask students to select one solution they believe is correct and justify why it is correct.
d. Act on the strategies
State a problem and ask students to evaluate several different strategies for solving the problem. Ask students to produce several diffeent solutions, or provide several solutions and ask them to evaluate those provided.
e. Look back and evaluate the effects of your activities
Use the same types of tasks as in stategy act on the strategy, but assess the extent to which students follow systematic procedures to evaluate each of the solution strategies you proposed.
Sedangkan menurut Eko Putro Widoyoko (2009: 213), indikator
penilaian kemampuan memecahkan masalah adalah:
a. Mengidentifikasi sebab dan akibat suatu permasalahan.
b. Menentukan alternatif pemecahan masalah beserta hal-hal yang
diperlukan untuk mengimplementasikan masing-masing alternatif.
c. Memilih strategi yang akan digunakan untuk melaksanakan
alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih.
d. Menimplementasikan strategi pemecahan masalah.
Berdasarkan dari ketiga refensi diatas, maka indikator problem solving yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini meliputi: (1) mengidentifikasi masalah, (2) merumuskan masalah, (3) memberikan
32 B. KAJIAN KEILMUAN
1. Zat Aditif pada Makanan
Zat aditif makanan adalah semua bahan yang ditambahkan ke dalam
makanan selama proses pengolahan, penyimpanan, atau pegepakan
makanan (Anonim, 2015)
.
Biasanya zat aditif ditambahkan ke dalammakanan pada saat proses pengolahan. Fungsi penambahan zat aditif
dalam makanan:
a. meningkatkan nilai gizi makanan
b. memperbaiki nilai sensori makanan
c. memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan
d. untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus,
seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi,
orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan
sebagainya.
Jenis- jenis zat aditif dapat terbagi menjadi 2, yaitu zat aditif
berdasarkan sumbernya dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan
sumbernya terbagi menjadi alami dan buatan sedangkan berdasarkan
fungsinya dapat di golongkan sebagai berikut :
1) Pewarna
Zat aditif yang berfungsi untuk memperbaiki tampilan makanan
atau minuman sehingga terlihat lebih menarik disebut zat pewarna. Zat
33 a) Pewarna Alami
Pewarna alami adalah pewarna yang dapat diperoleh dari
alam, misalnya dari tumbuhan dan hewan. Banyak sekali
bahan-bahan di sekitarmu yang dapat dipakai sebagai pewarna alami.
Daun suji dan daun pandan dipakai sebagai pewarna hijau pada
makanan. Selain memberi warna hijau, daun pandan juga memberi
aroma harum pada makanan. Kakao sering digunakan untuk
memberikan warna cokelat pada makanan. Pewarna alami
mempunyai keunggulan, yaitu umumnya lebih sehat untuk
dikonsumsi daripada pewarna buatan. Namun, pewarna makanan
alami memiliki beberapa kelemahan, yaitu cenderung memberikan
rasa dan aroma khas yang tidak diinginkan, warnanya mudah rusak
karena pemanasan, warnanya kurang kuat (pucat), dan macam
warnanya terbatas. Contoh-contoh pewarna alami:
(1). Anato (oranye), antara lain digunakan untuk es krim keju dan
lain-lain.
(2). Karamel (coklat hitam), biasanya digunakan dalam proses
pembuatan selai.
(3). Beta-karoten (kuning), terdapat dalam wortel.
(4). Kapsaisin (merah), terdapat dalam cabai merah.
(5). Klorofil (hijau), terdapat dalam daun suji dan daun pandan
biasanya digunakan pada saat proses pembuatan kue.
34 b) Pewarna Sintetis (Buatan)
Hasannudin (2015) menjelaskan bahwa pewarna sintetis
merupakan pewarna yang sengaja dibuat oleh manusia dari
bahan-bahan kimia. Bahan pewarna buatan dipilih karena memiliki
beberapa keunggulan dibanding pewarna alami, yaitu harganya
murah, praktis dalam penggunaan, warnanya lebih kuat, macam
warnanya lebih banyak, dan warnanya tidak rusak karena
pemanasan. Pewarna yang telah melalui pengujian keamanan dan
yang diijinkan pemakaiannya untuk makanan dinamakan permitted colour atau certified colour. Penggunaan pewarna buatan secara aman sudah begitu luas digunakan masyarakat sebagai bahan
pewarna dalam produk makanan. Contoh-contoh pewarna sintetis
yang sering digunakan dalam kemasan makanan:
(1). Tartazine (kuning-jingga)
(2). Sunset Yellow (merah-jingga)
(3). Carmoisine (merah)
(4). Quinoline Yellow
(5). Ponceau 4R (merah terang)
(6). Brilliant Blue FCF, biasanya digunakan untuk es krim
2) Pemanis
Bahan pemanis berguna untuk menambah rasa manis pada
makanan atau minuman. Bahan pemanis dapat dikelompokkan menjadi
35 a) Bahan pemanis alami
Merupakan bahan pemberi rasa manis yang diperoleh dari
bahan-bahan nabati maupun hewani. Contoh:
(1). Gula tebu, mengandung zat pemanis fruktosa yang merupakan
salah satu jenis glukosa. Gula tebu atau gula pasir yang
diperoleh dari tanaman tebu merupakan pemanis yang paling
banyak digunakan. Selain memberi rasa manis, gula tebu juga
bersifat mengawetkan.
(2). Gula merah, merupakan pemanis dengan warna coklat. Gula
merah merupakan pemanis kedua yang banyak digunakan
setelah gula pasir. Kebanyakan gula jenis ini digunakan untuk
makanan tradisional, misalnya pada bubur, dodol, kue apem,
dan gulali.
(3). Madu merupakan pemanis alami yang dihasilkan oleh lebah
madu. Selain sebagai pemanis, madu juga banyak digunakan
sebagai obat.
(4). Kulit kayu manis merupakan kulit kayu yang berfungsi sebagai
pemanis. Selain itu kayu manis juga berfungsi sebagai
pengawet.
b) Bahan pemanis buatan
Menurut Anonim (2015), pemanis buatan adalah senyawa
hasil sintetis laboratorium yang merupakan bahan tambahan
36 Pemanis buatan tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
Sebagaimana pemanis alami, pemanis buatan juga mudah larut
dalam air. Beberapa pemanis buatan yang beredar di pasaran di
antaranya ádalah sebagai berikut (Anonim, 2014):
(1). Aspartam
Aspartam mempunyai nama kimia aspartil fenilalanin makanan
dan minuman yang menggunakan metil ester, merupakan
pemanis yang digunakan dalam pemanis buatan produk-produk
minuman ringan. Aspartam merupakan pemanis yang
berkalori sedang. Tingkat kemanisandari aspartam 200 kali
lebih manis daripada gula pasir. Aspartam dapat terhidrolisis
atau bereaksi dengan air dan kehilangan rasa manis, sehingga
lebih cocok digunakan untuk pemanis yang berkadar air
rendah.
(2). Sakarin
Sakarin merupakan pemanis buatan yang paling tua. Tingkat
kemanisan sakarin kurang lebih 300 kali lebih manis
dibandingkan gula pasir. Namun, jika penambahan sakarin
terlalu banyak justru menimbulkan rasa pahit dan getir. Es
krim, gula-gula, es puter, selai, kue kering, dan minuman
fermentasi biasanya diberi pemanis sakarin. Sakarin sangat
populer digunakan dalam industri makanan dan minuman
37 tidak boleh melampaui batas maksimal yang ditetapkan, karena
bersifat karsogenik (dapat memicu timbulnya kanker). Dalam
setiap kilogram bahan makanan, kadar sakarin yang
diperbolehkan adalah 50–300 mg. Sakarin hanya boleh
digunakan untuk makanan rendah kalori, dan dibatasi tingkat
konsumsinya sebesar maksimal 0,5 mg tiap kilogram berat
badan per hari.
(3). Siklamat
Siklamat terdapat dalam bentuk kalsium dan natrium siklamat
dengan tingkat kemanisan yang dihasilkan kurang lebih 30 kali
lebih manis daripada gula pasir. Makanan dan minuman yang
sering dijumpai mengandung siklamat antara lain: es krim, es
puter, selai, saus, es lilin, dan berbagai minuman fermentasi.
Beberapa negara melarang penggunaan siklamat karena
diperkirakan mempunyai efek karsinogen. Batas maksimum
penggunaan siklamat adalah 500–3.000 mg per kg bahan
makanan.
(4). Sorbitol
Sorbitol merupakan pemanis yang biasa digunakan untuk
pemanis kismis, selai dan roti, serta makanan lain.
(5). Asesulfam K
Asesulfam K merupakan senyawa
38 asam sulfamat. Tingkat kemanisan dari asesulfam K adalah
200 kali lebih manis daripada gula pasir. Berdasarkan hasil
pengujian laboratorium, asesulfam K merupakan pemanis yang
tidak berbahaya.
3) Pengawet
Zat aditif yang berfungsi untuk mengawetkan makanan atau
minuman sehingga makanan dan minuman dapat bertahan lebih lama
disebut zat pengawet. Adanya penambahan bahan pengawet pada
makanan membuat bahan makanan tidak mudah busuk atau basi.
Seperti halnya zat pewarna, zat pengawet juga dibedakan atas zat
pengawet alami dan sintetik.
a) Bahan pengawet alami
Bahan pengawet alami berasal dari alam, contohnnya
garam untuk mengawetkan ikan dan sayuran yang sudah dimasak,
gula untuk mengawetkan buah-buahan, dan cuka untuk
mengawetkan beberapa jenis sayuran yang sudah dimasak seperti
acar.
b) Bahan pengawet buatan (sintetik)
Bahan pengawet alami hanya dapat mengawetkan makanan
dalam beberapa hari saja. Untuk itu, orang menambahkan bahan
pengawet sintetik agar makanan dapat bertahan lebih lama.
39 bahan pengawet ini. Beberapa bahan pengawet sintetik diantaranya
adalah:
(1).Sulfur dioksida, untuk mengawetkan buah-buahan kering. (2).Asam benzoat dan natrium benzoat, untuk mengawetkan jus
buah dan berbagai jenis buah segar lainnya.
(3).Sodium nitrit, untuk mengawetkan daging.
Tabel 1. Bahan Pengawet yang Diijinkan oleh Badan POM Indonesia
No. Nama Bahan Pengawet No. Nama Bahan Pengawet
1 Asam Benzoat 11 Belerang Dioksida
2 Asam Propionat 12 Kalsium Benzoat 3 Kalium Benzoat 13 Kalium Propionat
4 Kalium Nitrit 14 Kalsium Sorbat
5 Natrium Benzoat 15 Natrium Propionat
6 Asam Sorbat 16 Nisin
7 Natrium Nitrat 17 Kalium Nitrat 8 Natrium Nitrit 18 Natrium metabisulfit 9 Kalium Sulfit 19 Kalium Metabisulfit 10 Natrium Sulfit 20 Natrium Bisulfit
Terdapat beberapa pengawet yang sering disalah gunakan
yang seharusnya tidak dicampurkan/ diolah bersama makanan yaitu
boraks dan formalin. Menurut Anonim (2015), boraks merupakan
srebuk kristal lunak yang mengandung unsur boron,
berwarna putih, tidak berbau, mudah larut dalam air, tidak larut
dalam alkohol, PH: 9, 5. Boraks banyak digunakan dalam berbagai
industri non pangan khususnya industri keras, gelas, pengawet
kayu, anti septik kayu, keramik dan pengontrol kecoa. Boraks sejak
lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi,
40 disebut “Karak” atau “Lempeng”. Disamping itu boraks digunakan
untuk industri makanan seperti dalam pembuatan mie basah,
lontong, ketupat, bakso bahkan dalam pembuatan kecap. Rumus
struktur boraks adalah:
Ciri-ciri makanan yang mengandung boraks:
(1). Mie Basah: tidak lengket, sangat kenyal, serta tidak mudah
putus.
(2). Bakso: tekstur sangat kenyal, warna tidak kecokelatan seperti
penggunaan daging, tapi lebih cemerlang keputihan.
(3). Lontong: rasa getir dan sangat gurih, serta beraroma sangat
tajam.
(4). Kerupuk: teksturnya sangat lembut dan renyah, bisa
menimbulkan rasa getir di lidah.
Menurut Yabpeknas Banten (2015), formalin adalah bahan
kimia yang berupa cairan dalam suhu ruang, tidak berwarna, bau
sangat menyengat, mudah larut dalam air dan alkohol. Formalin
digunakan sebagai desinfektan, cairan pembalsem, pengawet
jaringan, dan digunakan di industri tekstil dan kayu lapis. Di dalam
41 bahan pengawet biasanya ditambahkan methanol hingga 15 persen.
Formalin tidak boleh digunakan sebagai bahan pengawet makanan
karena jika digunakan pada pangan dan dikonsumsi oleh manusia
bisa menyebabkan tenggorokan terasa panas dan menyebabkan
kangker yang pada akhirnya akan mempengaruhi organ tubuh
lainnya. Rumus struktur formalin adalah:
Ciri-ciri makanan yang mengandung formalin:
(1). Mie basa : tidak lengket, sangat kenyal, serta tidak mudah
rusak dan tahan dalam jangka waktu lama.
(2). Tahu: teksturnya yang terlampau keras, kenyal, tapi tidak
padat, tidak mudah rusak dalam waktu lama.
(3). Ikan: insang berwarna merah tua, tidak cerah atau bukan merah
segar, tidak berbau khas ikan asin, warna daging putih bersih,
kenyal dan tak mudah rusak, tidak mudah patah, agak keras
serta tidak dihinggapi lalat.
(4). Bakso: tekstur sangat kenyal, tidak rusak sampai 2 hari pada
suhu kamar, jika dibelah di dalamnya tampak warna merah tua
mencolok tidak wajar.
(5). Daging ayam: tekstur daging kencang, tak mudah rusak dan
42 4) Penyedap Rasa
Bahan penyedap digunakan untuk memberi cita rasa yang tinggi
pada makanan. Selain itu, bahan penyedap juga memberikan aroma
yang khas. Bahan penyedap dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
bahan penyedap alami dan bahan penyedap buatan (sintetik).
a) Bahan penyedap alami
Bahan penyedap dari bahan alami selalu terdapat di dalam
setiap makanan. Jenis bahan penyedap ini banyak sekali. Biasanya
bahan-bahan ini dicampurkan bersama-sama sebagai bumbu
makanan, Contoh:
(1). Bawang, merupakan pemberi rasa sedap alami yang paling
banyak digunakan.
(2). Merica, memberi aroma segar dan rasa pedas yang khas.
(3). Terasi, merupakan zat cita rasa alami yang dihasilkan dari
bubuk ikan dan udang kecil yang dibumbui sedemikian rupa
alami: terasi, bawang, daun pandan, kayu manis sehingga
memberi rasa sedap yang khas.
(4). Daun salam, memberi rasa sedap pada makanan.
(5). Jahe, memberi aroma harum dan rasa pedas khas jahe.
(6). Cabai, memberi rasa sedap dan pedas pada setiap masakan.
(7). Daun pandan, memberi rasa dan aroma sedap dan wangi pada
43 (8). Kayu manis, selain memberi rasa manis dan mengawetkan
juga memberi aroma harum khas kayu manis.
(9). Vanili
b) Bahan penyedap buatan (sintetik)
Penyedap buatan yang paling banyak digunakan dalam
makanan adalah vetsin atau monosodium glutamat (MSG) yang
sering juga disebut sebagai micin. Menurut Anonim (2015),
monosodium glutamat (monosodium -L- glutamat) adalah garam
natrium dari asam glutamat yang sangat luas digunakan sebagai
bumbu penyedap. Glutamat banyak dijumpai dalam alam, juga
terdapat dalam makanan dan tubuh manusia, baik dalam bentuk
bebas maupun terikat sebagai peptida maupun protein. Rumus
struktur monosodium glutamat:
Glutamat diproduksi melalui fermentasi, suatu proses yang
digunakan untuk membuat bir, cuka, kecap kedelai dan yogurt.
Prosesnya dimulai dengan bahan alami seperti tetes gula
(molasses) dari gula tebu atau gula bit dan pati singkong atau biji-bijian. MSG tidak berbau dan rasanya merupakan campuran rasa
manis dan asin yang gurih. Mengonsumsi MSG secara berlebihan
44 Chinese Restaurant Syndrome. Tanda-tandanya antara lain berupa munculnya berbagai keluhan seperti pusing kepala, sesak napas,
wajah berkeringat, kesemutan pada bagian leher, rahang, dan
punggung.
Jenis bahan penyedap buatan (sintetik) selain MSG yang
sering digunakan diantaranya adalah:
(1).Oktil asetat, memberikan rasa dan aroma khas buah jeruk. (2).Etil butarat, memberikan rasa dan aroma khas buah nanas. (3).Amil asetat, memberikan rasa dan aroma khas pisang. (4).Amil valerat, memberikan rasa dan aroma khas buah apel. C. PENELITIAN YANG RELEVAN
Skripsi (2008) Candra Desta Wahyuna UNY dengan judul
“Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA (Fisika) Berbasis
Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan
Kemampuan Pemecahan Masalah”. Hasil penelitiannya yaitu dihasilkan
RPP dan LKS berbasis inkuiri terbimbing yang dapat meningkatkan sikap
ilmiah peserta didik yaitu pada pertemuan 1: 78,94% dan pertemuan 2:
84,95%. Kemampuan pemecahan masalah pun mengalami peningkatan
yaitu pada pertemuan 1 sebesar 79,27% dan pada pertemuan 2 sebesar
84,92%.
Jurnal penelitian Vol. 5 No. 1 (2015) I Gede Kariawan; I Wayan Sadia;
Ni Made Pujani dengan judul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran
45 Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
SMA”. Hasil dari penelitian ini adalah perangkat pembelajaran dinyatakan
efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dengan
thitung sebesar 17,45 (thitung > ttabel) dengan gain score sebesar 0,61. Skripsi (2015) Poni Saltifa UPI dengan judul “Penerapan Metode
Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan Creative Problem Solving dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah
Matematis, serta Dampaknya Terhadap Self-Efficacy Siswa SMP”. Hasil penelitiannya yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran ITCP lebih baik
daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa, yaitu melalui
pembelajaran ITCP dalam kategori sedang, sedangkan menggunakan
pembelajaran biasa pada kategori rendah”.
Skripsi (2014) Yeni Astria Universitas Bengkulu dengan judul
“Penerapan Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas X SMA Negeri 6 Kota
Bengkulu”. Hasil dari penelitian ini menjelaskan pembelajaran inkuiri di
kelas X D SMA Negeri 6 Kota Bengkulu dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika. Peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil belajar
siswa pada siklus I; siklus II; dan siklus III secara berturut-turut adalah
75,52; 77,87; dan 79,77. Dan nilai hasil observasi kemampuan pemecahan
46 solving peserta didik belum dikembangkan dalam
3. Peserta didik memiliki kemampuan problem solving sebagai salah satu skill yang menjadi tuntutan abad 21.
Pocket book IPA dengan pendekatan Authentic Inquiry Learning
Berorientasi pada kemampuan problem solving peserta didik diperlukan
untuk
1. Kontekstual (masalah) 1. Mengidentifikasi masalah karena terdapat aspek mencakup indikator
2. Kegiatan investigasi
4. Memilih alternatif solusi (terbaik)