DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan Matematika
Oleh
BONITA HIRZA
NIM : 0908490
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk
Meningkatkan Kemampuan Intuisi dan Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis Siswa” ini adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak
melakukan plagiarisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika yang berlaku dalam tradisi keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap
menerima tindakan/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian
ditemukan adanya pelanggaran atas etika akademik dalam karya saya ini, atau ada
klaim terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Juli 2015
Yang membuat pernyataan,
Bonita Hirza, 2015
ABSTRAK
Bonita Hirza (2015). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Intuisi dan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Merupakan penelitian kuasi eksperimen berbentuk Pretest-Posttest Control Group Design. Variabel bebas penelitian adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan matematika realistik, variabel terikat adalah kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis, sedangkan variabel kontrol adalah peringkat sekolah dan kategori kemampuan awal matematis. Sampel penelitian sebanyak 164 siswa, yang terdiri dari 91 siswa sekolah peringkat atas (sekolah terakreditasi A), dan 73 siswa sekolah peringkat tengah (sekolah terakreditasi B). Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan awal matematis, kemampuan intuisi matematis, dan kemampuan berpikir kreatif matematis. Analisis data yang digunakan adalah uji-t, ANAVA satu jalur, dan ANAVA dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dapat lebih meningkatkan kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran matematika konvensional baik dilihat secara keseluruhan siswa yang menjadi subyek penelitian maupun para siswa berdasarkan peringkat sekolah dan perbedaan kategori kemampuan awal matematis. Tidak adanya interaksi antara pendekatan pembelajaran dan peringkat sekolah serta antara pendekatan pembelajaran dan perbedaan kategori kemampuan awal matematis, terhadap kemampuan intuisi matematis siswa maupun kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran lebih memberikan pengaruh terhadap peningkatan kedua kemampuan ini dibandingkan dengan peringkat sekolah maupun kemampuan awal matematis.
Bonita Hirza, 2015
PEMBELAJARAN MATEMATIKA D ENGAN PEND EKATAN PEND IDIKAN MATEMATIKA REALISTIK ABSTRACT
Bonita Hirza (2015). Mathematics Learning with Realistic Mathematics Education Approach to Enhance Students’ Intuition and Creative Thinking Ability in Mathematics.
The intention of the present study is to analyze the enhancement of students’ mathematical intuition ability and creative thinking ability. This study was a quasi-experiment in Pretest-Posttest Control Group Design. The independent variable of this study was mathematics learning with realistic mathematics education approach, the dependent variable was mathematical intuition ability and mathematical creative thinking ability, and the control variable was school level and the category of prior mathematical ability. The sample of this study consist of 164 students, 91 of them were the students from a top-level school (a school with accreditation of grade A), and 73 students from a middle level school (a school with accreditation of grade B). The instrument used in this study was a test of prior mathematical ability, mathematical intuition ability, and mathematical creative thinking ability. The data were analyzed with the t-test, one-way ANOVA, and two-way ANOVA. The result shows that students’ mathematical intuition and creative thinking abilities with realistic mathematics education approach are better than those with conventional mathematics approach both for all the subjects of this study and those on different school level or prior mathematical ability. There is no interaction between the learning approach and the school level, also for the learning approach and the prior mathematical ability, towards students’ mathematical intuition ability and their mathematical creative thinking ability. It can be concluded that the learning approach has more effect on the enhancement of those two abilities than the school level and prior mathematical ability.
Bonita Hirza, 2015
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Intuisi Matematis... Berpikir Kreatif Matematis... Hasil Penelitian yang Relevan... Hipotesis Penelitian... Populasi dan Sampel Penelitian... Instrumen Penelitian... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
4.2
Hasil Penelitian... 4.1.1 Analisis Data Kemampuan Awal Matematis... 4.1.2 Analisis Data Kemampuan Intuisi Matematis.. 4.1.3 Analisis Data Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis... BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
Bonita Hirza, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hasil suatu survei nasional tentang pendidikan di Indonesia menunjukkan
bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia pada umumnya masih kurang
memberi peluang bagi pengembangan kreativitas. Sekolah lebih mementingkan
ranah kognitif yang meliputi: pengetahuan, ingatan, dan kemampuan berpikir
logis atau penalaran, sementara perkembangan ranah afektif (sikap), dan ranah
psikomotorik (keterampilan) kurang diperhatikan dan dikembangkan, hal ini
disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah
seperti pembelajaran kognitif (Depdiknas, 2006).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Indonesian Education Sector
Survey Report, dijelaskan bahwa pendidikan di Indonesia hanya menekankan pada
keterampilan-keterampilan rutin dan hafalan (Juliantine, 2009). Anak tidak
didorong untuk mengajukan pertanyaan dan menggunakan daya imajinasi dan
intuisinya, dan anak kurang didorong untuk melakukan inisiatif. Jika hal tersebut
dibiarkan, artinya apabila siswa terus dikekang oleh guru dalam proses
pembelajaran, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pengembangan
kreativitas siswa.
Visi dan misi pendidikan nasional dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab
II Pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk kepribadian peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, mandiri, dan kreatif. Dalam pernyataan di atas
jelas dikatakan bahwa salah satu fungsi pendidikan nasional adalah untuk
Bonita Hirza, 2015
Kreativitas memang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dan
perkembangan jaman. Priambodo (2012) menyatakan orang kreatif cenderung
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Munandar (2004)
menyatakan bahwa kreativitas penting untuk dikembangkan dengan alasan:
pertama, dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya. Perwujudan diri
termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia; kedua, berpikir
kreatif merupakan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan
penyelesaian terhadap suatu masalah; ketiga, menyibukkan diri secara kreatif
memberikan kepuasan kepada individu; keempat, kreativitas memungkinkan
manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Kreativitas sangat mungkin untuk dikembangkan, karena kreativitas
adalah potensi semua orang, Orang tidak memerlukan bakat dan
kemampuan khusus untuk menjadi kreatif. Maslow seperti dikutip Alwisol
(2005) menyatakan kreativitas merupakan ciri universal manusia sejak
dilahirkan. Menurut Munandar (2004) pengertian bahwa kreativitas merupakan
sifat yang diwarisi oleh orang yang berbakat menjadi salah satu kendala utama
terhadap pengembangan kreativitas.
Pentingnya kreativitas tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia
tentang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, yang intinya antara lain
adalah melalui pendidikan diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, juga
mandiri.
Kreativitas sangat dibutuhkan, terutama berkaitan dengan pembangunan
Indonesia yang membutuhkan sumber daya manusia berkualitas yang memiliki
kreativitas tinggi. Kemampuan berpikir kreatif sangat penting dalam menganalisa,
mensintesa, dan mengevaluasi segala argumen untuk mampu membuat keputusan
yang rasional dan bertanggungjawab.
Dalam Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Mata
2006) disebutkan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua
peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan
bekerja sama.
Mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis
maupun kemampuan bekerja sama sudah lama menjadi fokus dan perhatian guru
matematika di kelas, karena hal itu berkaitan dengan sifat dan karakteristik
keilmuan matematika. Namun fokus perhatian pada upaya meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif dalam matematika masih jarang dikembangkan.
Padahal kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi
untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan
kompetitif (Siswono, 2007).
Usaha mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam pembelajaran
matematika masih terdapat berbagai kendala, antara lain: masih kaburnya hakikat
dan konsep yang terkait dengan kemampuan berpikir kreatif serta kurangnya
contoh-contoh praktis yang siap diaplikasikan.
Kemampuan berpikir kreatif tergolong kemampuan berpikir tingkat tinggi
(high-order thinking) dan dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kompetensi
dasar (basic skills). Kompetensi berpikir kreatif bersifat divergen dan menuntut
aktivitas pemecahan masalah matematika dari berbagai perspektif.
Basic skills dalam pembelajaran matematika biasanya dibentuk melalui
aktivitas yang bersifat konvergen. Aktivitas ini umumnya cenderung berupa
latihan-latihan matematika yang bersifat algoritmik, mekanistik, dan rutin. Dalam
kenyataannya pembelajaran matematika di Indonesia masih didominasi oleh
aktivitas latihan-latihan untuk pencapaian mathematical basic skills semata
(Sudiarta, 2009). Hal ini berakibat pada rendahnya prestasi dan minat belajar
Bonita Hirza, 2015
Dalam era persaingan bebas ini pembelajaran matematika yang hanya
bertumpu pada pencapaian basic skills saja tidaklah memadai lagi. Dengan
demikian pembelajaran matematika, kini dan di masa datang tidaklah boleh
berhenti hanya pada pencapaian basic skills, tetapi sebaliknya harus dirancang
untuk mencapai kompetensi matematis tingkat tinggi (high-order thinking).
Perspektif baru ini merupakan tantangan yang harus dijadikan pegangan
dalam pembelajaran matematika, model pembelajaran harus mampu memberikan
ruang seluas-luasnya bagi peserta didik dalam membangun pengetahuan, dan
pengalaman mulai dari basic skills sampai high-order thinking.
Perspektif baru ini juga menuntut adanya reorientasi dalam aktivitas
pemecahan masalah matematis. Tujuan pemecahan masalah matematis tidak lagi
hanya terfokus pada penemuan sebuah jawaban yang benar, tetapi bagaimana
mengkonstruksikan segala kemungkinan pemecahan yang masuk akal, beserta
segala kemungkinan prosedur dan argumentasinya, bagaimana jawaban atau
pemecahan tersebut menjadi rasional. Kemampuan matematis seperti ini sangat
relevan, mengingat masalah dunia nyata umumnya tidak sederhana dan
konvergen, tetapi sering kompleks dan divergen, bahkan tidak terduga.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41
Tahun 2007 disebutkan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan
dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan
memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis siswa. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang
sesuai dengan situasi mengajar dan sekaligus melibatkan peran aktif siswa dalam
proses pembelajarannya.
Dalam pembelajaran matematika, tidak cukup kalau hanya mengajarkan
bagaimana siswa mampu menghasilkan ide-ide atau gagasan yang efektif dan
efisien untuk menyelesaikan permasalahan matematika.
Untuk menghasilkan kemampuan memunculkan ide atau gagasan tersebut
perlu dikembangkan kemampuan intuisi, dan kemampuan berpikir kreatif dalam
memecahkan masalah matematika. Kemampuan berintuisi sangat membantu
siswa dalam menyelesaikan masalah matematis, bahkan Yohanes (2007)
mengatakan bahwa ketika proses berpikir dengan menggunakan logika mengalami
kemacetan, maka sangat penting untuk mempertimbangkan intuisi matematis.
Begitu juga dalam aspek kehidupan lain, penggunaan intuisi matematis
sangatlah penting, intuisi ialah bagian dari diri kita yang berfungsi untuk
mengetahui pengetahuan tersebut dengan apa adanya pengetahuan itu sendiri.
Dengan intuisi kita dapat menyelami dan merasakan kembali (rekonstruksi)
sebuah kejadian atau problematika lainnya.
Epp (1994) juga menegaskan bahwa pada saat mengajarkan penalaran
deduktif kepada siswa, guru perlu menekankan pemahaman intuitif pada diri
siswa melalui bayangan-bayangan dalam pikiran yang dibangun siswa. Dalam
bidang psikologi, intuisi dinyatakan sebagai salah satu fungsi kognitif (Henden,
2004). Beberapa ahli psikologi memandang intuisi berfungsi paralel dengan
berpikir analitik dan hasil intuisi bisa saja salah. Demikian pula di antara para ahli
terdapat perbedaan pandangan terhadap intuisi; ada yang memandang intuisi
sebagai produk dari pengalaman dan penalaran, sedangkan ahli-ahli lainnya
berpendapat bahwa intuisi bukan produk dari pengalaman dan dipandang sebagai
penalaran yang sifatnya implisit (berfungsi tanpa disadari oleh orang yang
melakukannya). Ben-Zeev dan Star (2002) menyatakan bahwa intuisi merupakan
cara untuk memahami bukti dan konseptualisasi.
Definisi intuisi yang dirujuk dari berbagai kamus, menyatakan bahwa
intuisi merupakan kognisi atau proses mental dalam memahami sesuatu, atau
dalam menerima pengetahuan. Proses mental ini bersifat langsung, segera, dan
Bonita Hirza, 2015
Mitzel (1982) mengatakan bahwa hasil belajar siswa secara langsung
dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa
dipengaruhi oleh pembelajaran yang dilakukan guru. Bila siswa dalam
belajarnya, terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi,
maka siswa akan mendapatkan suatu pemahaman atau pengertian.
Mengembangkan pemahaman siswa merupakan tujuan pengajaran matematika.
Kaitan informasi ini akan terjadi apabila siswa memiliki kemampuan awal
matematis yang sesuai dengan standar yang diharapkan pada tingkat
pendidikannya.
Untuk meningkatkan kemampuan intuisi matematis dan kemampuan
berpikir kreatif matematis, perlu dilakukan pembelajaran matematika dengan
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR memberikan peluang pada siswa untuk aktif
mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah
yang dimulai dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa, siswa
diberi kebebasan menemukan strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan guru
membimbing siswa menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal
melalui matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.
Menurut Sugiman (2013), dalam PMR masalah-masalah real dijadikan
sebagai awal pembelajaran yang selanjutnya dimanfaatkan oleh siswa dalam
melakukan proses matematisasi dan pengembangan model matematika. Dengan
demikian PMR memungkinkan digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam pemecahan masalah matematik.
PMR adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME), sebuah
pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan oleh Freudenthal di
Belanda. Gravemeijer (1994) mengungkapkan bahwa Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity. Dari ungkapan tersebut Fruedenthal mengatakan, bahwa matematika merupakan
sebagai suatu kegiatan atau cara kerja. Gravemeijer (1994) menjelaskan bahwa
dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar matematika
berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari
merupakan bagian penting dalam pembelajaran. Salah satu tujuan penting
pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah hidup sehari-hari, dengan
terbiasa memecahkan masalah dalam matematika, membuat siswa akan bisa
menyelesaikan masalah dalam kehidupannya nanti.
Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari sifat matematika,
yaitu: memecahkan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok
persoalan. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai
penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus
diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan
siswa menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka
sendiri, aktivitas-aktivitas itu disebut matematisasi (Hadi 2003).
Landasan filosofi PMR adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak
dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi
mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Menurut pandangan
konstruktivisme perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan
akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus berupa pengetahuan tertanam
dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu
tersusun dengan upaya dari individu siswa yang telah bergantung kepada skemata
yang telah dimiliki seseorang (Supinah, 2009).
Konsep PMR ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan
matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana
meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya
nalar. Pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI) merupakan suatu
Bonita Hirza, 2015
hanya suatu metode pembelajaran matematika, tapi juga suatu usaha melakukan
transformasi sosial (Sembiring, 2010).
Menurut Zulkardi (2002), untuk memecahkan masalah pendidikan
matematika diperlukan adanya ”pendekatan baru”. Salah satu pendekatan yang
menjanjikan terhadap pengajaran dan pembelajaran matematika yang diperkirakan
dapat mengatasi masalah tersebut adalah PMR.
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.
22 Tahun 2006 menyebutkan bahwa, dalam setiap kesempatan pembelajaran
matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem), dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa
secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan nasional dan menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan
kompetitif dan komparatif sesuai standar nasional adalah dengan melakukan
pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran, yaitu dari teacher-active
teaching menjadi student-active learning. Maksudnya adalah perubahan orientasi
pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student centered). Dalam pembelajaran yang berpusat
pada siswa, guru diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator yang akan
memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa sendirilah yang harus aktif belajar
dari berbagai sumber belajar.
Pembelajaran di sekolah dasar (SD) memegang peranan sangat penting
dalam pendidikan. Keberhasilan siswa di SD sangat berpengaruh terhadap
keberhasilannya di sekolah menengah, namun banyak pendapat yang mengatakan
bahwa pembelajaran matematika, khususnya di SD belum menekankan pada
pengembangan daya nalar (reasoning), logika, atau proses berpikir siswa
(Siswono, 2006).
Pembelajaran matematika umumnya didominasi oleh pengenalan
terhadap pemahaman siswa. Selain itu, proses belajar-mengajar hampir selalu
berlangsung dengan metode ceramah yang mekanistik, dengan guru sebagai pusat
dari seluruh kegiatan di kelas. Siswa mendengarkan, meniru, atau mencontoh
dengan persis sama cara yang diberikan guru tanpa inisiatif. Siswa tidak
dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi dirinya, mengembangkan
penalaran maupun kreativitasnya. Pembelajaran matematika juga seolah-olah
dianggap lepas untuk mengembangkan kepribadian siswa. Pembelajaran
matematika dianggap hanya menekankan faktor kognitif saja, padahal
pengembangan kepribadian sebagai bagian dari kecakapan hidup merupakan tugas
semua mata pelajaran di sekolah.
Faktor peringkat sekolah terkait dengan klasifikasi sekolah merupakan hal
yang penting diperhatikan terutama dalam mengembangkan pendekatan
pembelajaran PMR. Sekolah yang termasuk peringkat sekolah tinggi secara umum
dianggap memiliki siswa yang berkemampuan lebih baik, termasuk dalam
kemampuan matematika, dibandingkan sekolah dengan peringkat di bawahnya.
Kenyataan ini perlu dijadikan sebagai salah satu pertimbangan pada saat
pelaksanaan proses pembelajaran. Seorang guru harus memiliki bekal pemahaman
tentang kondisi ini karena harus mempersiapkan bentuk intervensi dan bantuan
terhadap siswa dalam pembelajaran PMR yang tentu saja akan berbeda
bergantung pada kemampuan siswa berdasarkan peringkat sekolah tersebut.
Terkait persiapan yang dilakukan guru sebelum melakukan proses
pembelajaran, materi prasyarat yang telah dimiliki siswa juga akan menjadi
perhatian. Dengan demikian, kemampuan awal matematis siswa sebelum proses
pembelajaran matematika berlangsung harus menjadi perhatian guru. Melalui
pengetahuan guru terhadap kemampuan awal yang merupakan materi prasyarat
dalam pembelajaran matematika, guru dapat merencanakan dengan matang
bentuk atau perannya di dalam kelas dalam upaya menciptakan proses
Bonita Hirza, 2015
Pendekatan pembelajaran PMR yang diterapkan akan berjalan efektif
ketika kemampuan awal matematis siswa mengenai materi prasyarat dapat
diketahui. Hal ini dapat dipahami karena pembelajaran yang disajikan pada
pendekatan pembelajaran PMR membutuhkan peranan guru sebagai fasilitator
yang akan membuat siswa memiliki peran aktif ketika proses pembelajaran
berlangsung. Sementara itu, tujuan yang diharapkan dapat diperoleh siswa akan
dapat dioptimalkan karena peran siswa dapat dimaksimalkan.
Dengan demikian, faktor kemampuan awal matematis siswa terkait
pendekatan pembelajaran PMR memiliki potensi untuk dapat berinteraksi dengan
kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis mereka.
Hal ini sangat memungkinkan terjadi ketika pendekatan pembelajaran yang
diterapkan dengan berbagai tingkat kemampuan awal matematis yang dimiliki
siswa, memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan pendekatan
pembelajaran yang konvensional.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang
kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
setelah proses pembelajaran dengan pendekatan PMR.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan,
permasalahan yang ingin diungkap dan dicari jawabannya dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: Apakah peningkatan kemampuan intuisi matematis
dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional (PMK)?
Dari rumusan masalah utama tersebut beberapa sub-sub masalah yang
akan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa
dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dibandingkan
2. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa
berdasarkan peringkat sekolah dalam pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR?
3. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa
berdasarkan perbedaan kategori kemampuan awal matematis dalam
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR?
4. Apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan peringkat
sekolah terhadap peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa?
5. Apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan perbedaan
kategori kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan
intuisi matematis siswa?
6. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
dibandingkan dengan pendekatan PMK?
7. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa berdasarkan peringkat sekolah dalam pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR?
8. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa berdasarkan perbedaan kategori kemampuan awal matematis dalam
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR?
9. Apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan peringkat
sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa?
10.Apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan perbedaan
kategori kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, secara umum
Bonita Hirza, 2015
matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Peningkatan ini
ditinjau dari pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dibandingkan
dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMK. Secara rinci tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis
siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
dibandingkan dengan pendekatan PMK.
2. Mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis
siswa berdasarkan peringkat sekolah dalam pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR.
3. Mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis
siswa berdasarkan perbedaan kategori kemampuan awal matematis dalam
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR.
4. Mengetahui apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
peringkat sekolah terhadap peningkatan kemampuan intuisi matematis
siswa.
5. Mengetahui apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
perbedaan kategori kemampuan awal matematis terhadap peningkatan
kemampuan intuisi matematis siswa.
6. Mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan
PMR dibandingkan dengan pendekatan PMK.
7. Mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa berdasarkan peringkat sekolah dalam pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMR.
8. Mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa berdasarkan perbedaan kategori kemampuan awal
9. Mengetahui apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
peringkat sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa.
10.Mengetahui apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
perbedaan kategori kemampuan awal matematis terhadap peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menjadi
acuan bagi guru maupun calon guru matematika mengenai pendekatan
pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
intuisi matematis, dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Penerapan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR bagi
peneliti merupakan pengalaman yang berharga sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk meningkatkan kemampuan intuisi matematis, dan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada berbagai jenjang sekolah.
1.5 Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan pada pembahasan dan analisis selanjutnya dalam penelitian ini maka
dituliskan definisi operasional sebagai berikut:
1. Pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah
pembelajaran matematika yang memiliki karakteristik: menggunakan
masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan kontribusi
siswa, terjadinya interaksi dalam proses pembelajaran, menggunakan
berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan
topik pembelajaran lainnya.
2. Pembelajaran matematika konvensional adalah pembelajaran matematika
yang biasa digunakan kebanyakan guru, seperti guru menjelaskan konsep
Bonita Hirza, 2015
3. Kemampuan intuisi matematis adalah kemampuan siswa
memahami/memecahkan atau mengambil keputusan/menginterpretasi
suatu informasi atau masalah secara langsung tanpa suatu alasan penalaran
formal.
4. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis adalah kemampuan berpikir yang
mencakup kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keterperincian siswa
dalam mengemukakan gagasan terhadap pemecahan masalah.
5. Kemampuan Awal Matematis adalah kemampuan matematika yang telah
dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung, kemampuan ini diukur
dengan memberikan tes kemampuan awal matematis yang berisikan materi
matematika yang telah dipelajari dan yang terkait dengan materi dalam
penelitian ini.
6. Peringkat sekolah ditentukan berdasarkan peringkat akreditasi sekolah dari
Badan Akreditasi Sekolah Provinsi Sumatera Selatan dengan tanggal
penetapan 9 November 2012. Sekolah yang dilibatkan adalah SD Negeri
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu karena dilakukan
pada siswa dalam kelas yang sudah terbentuk, dengan menerapkan pendekatan
pendidikan matematika realistik (PMR) dalam pembelajaran matematika.
Sebelum perlakuan pembelajaran dilakukan, subjek penelitian diberi tes awal dan
sesudah pembelajaran diberi tes akhir, untuk melihat apakah ada peningkatan
kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis.
Tes kemampuan intuisi matematis yang digunakan adalah tes intuisi yang
diadaptasi dari Test Your Intuition yang disusun oleh Goldberg (2006) berbentuk
tes pilihan ganda dengan 32 butir pertanyaan, sedangkan tes kemampuan berpikir
kreatif matematis yang digunakan adalah tes berbentuk uraian sebanyak enam soal
dengan materi tabung dan prisma.
Penelitian ini melibatkan variabel bebas, variabel terikat, dan variabel
kontrol. Variabel bebasnya adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan matematika realistik (PMR), variabel terikatnya adalah kemampuan
intuisi matematis (KIM) dan kemampuan berpikir kreatif matematis (KBKM).
Peringkat sekolah serta kemampuan awal matematis (KAM) siswa ditetapkan
sebagai variabel kontrol.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain
Pretest-Posttest Control Group Design (Sugiyono, 2006) sebagai berikut:
O X O
O O
Bonita Hirza, 2015
Pada desain ini, pengelompokan subjek penelitian dilakukan secara acak
kelas, kelas eksperimen (X) diberi perlakuan pembelajaran matematika dengan
pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR), dan kelas kontrol tidak
diberi perlakuan khusus, pembelajaran matematika pada kelas kontrol
menggunakan pembelajaran matematika konvensional (PMK).
Untuk mengetahui lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan
PMR terhadap kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berfikir kreatif
matematis, dalam penelitian ini dilibatkan faktor peringkat sekolah yang dibagi
menjadi dua kategori yaitu atas, dan tengah, dan kemampuan awal matematis
siswa (KAM) yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah,
KAM siswa adalah kemampuan matematis yang telah dimiliki siswa sebelum
penelitian ini dilaksanakan. Penggunaan peringkat sekolah pada penelitian ini
untuk mengetahui apakah peringkat sekolah (atas dan tengah) akan memberikan
dampak yang berbeda terhadap kemampuan intuisi matematis dan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa setelah mereka mendapat perlakuan berupa
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR.
Model hubungan antara variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y)
dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Gambar 3.1. Model Hubungan Variabel Bebas (X) dengan Variabel Terikat (Y)
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
PMR (X)
Kemampuan Intuisi Matematis (Y1)
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri di
kota Palembang. Pemilihan siswa kelas V SD karena rentang usia siswa pada
umumnya antara 11 - 12 tahun, yang menurut Jean Piaget sedang berada pada
tahap yang amat potensial bagi perkembangan kreativitas (Cherry, tanpa tahun).
Penelitian melibatkan dua SD Negeri yang dipilih secara acak yang
masing-masing mewakili sekolah peringkat atas, dan peringkat tengah. Pemilihan
secara acak untuk mendapatkan sekolah yang akan dipilih pada kedua peringkat
sekolah ini dimaksudkan agar diperoleh sampel yang dapat mewakili seluruh
siswa kelas V SD di Kota Palembang. Peringkat sekolah ditentukan berdasarkan
peringkat akreditasi sekolah dari Badan Akreditasi Sekolah Provinsi Sumatera
Selatan dengan tanggal penetapan 9 November 2012. Sekolah yang dilibatkan
adalah SD Negeri dengan peringkat akreditasi A yang dalam penelitian ini
dikategorikan sebagai sekolah peringkat atas, dan SD Negeri dengan peringkat
akreditasi B yang dalam penelitian ini dikategorikan sebagai sekolah peringkat
tengah. Hasil akreditasi SD Negeri di kota Palembang disajikan pada Tabel 3.1
dan Tabel 3.2.
Penelitian ini hanya melibatkan sekolah peringkat atas dan tengah,
dengan pertimbangan bahwa kemampuan yang dikembangkan dalam penelitian
ini merupakan kemampuan matematis tingkat tinggi. Melibatkan sekolah
peringkat bawah dipandang tidak relevan, sejalan dengan pendapat Mahmudi
(2010) yang menyatakan bahwa, ”Pelibatan sekolah kategori rendah dipandang
tidak relevan, karena siswa sekolah kategori ini secara umum diasumsikan memiliki kemampuan awal matematis kurang memadai”. Pendapat tersebut berarti bahwa siswa sekolah kategori bawah memiliki KAM yang kurang memadai.
Tabel 3.1
Hasil Akreditasi Sekolah Dasar Negeri Peringkat Akreditasi A (Atas) di Kota Palembang
No. Nama Sekolah No. Nama Sekolah No. Nama Sekolah
1 SDN 162 6 SDN 112 11 SDN 33
Bonita Hirza, 2015
3 SDN 44 8 SDN 117 13 SDN 206
4 SDN 43 9 SDN 114 14 SDN 208
5 SDN 19 10 SDN 59 15 SDN 152
Tabel 3.2
Hasil Akreditasi Sekolah Dasar Negeri Peringkat Akreditasi B (Tengah) di Kota Palembang
No. Nama Sekolah No. Nama Sekolah No. Nama Sekolah
1 SDN 26 20 SDN 209 39 SDN 149
2 SDN 8 21 SDN 214 40 SDN 192
3 SDN 261 22 SDN 60 41 SDN 191
4 SDN 160 23 SDN 27 42 SDN 230
5 SDN 201 24 SDN 145 43 SDN 184
6 SDN 166 25 SDN 132 44 SDN 197
7 SDN 32 26 SDN 141 45 SDN 11
8 SDN 158 27 SDN 7 46 SDN 139
9 SDN 45 28 SDN 147 47 SDN 125
10 SDN 189 29 SDN 80 48 SDN 135
11 SDN 55 30 SDN 93 49 SDN 22
12 SDN 52 31 SDN 71 50 SDN 215
13 SDN 155 32 SDN 115 51 SDN 198
14 SDN 136 33 SDN 108 52 SDN 195
15 SDN 54 34 SDN 143 53 SDN 193
16 SDN 144 35 SDN 153 54 SDN 213
17 SDN 137 36 SDN 79 55 SDN 207
18 SDN 41 37 SDN 90
19 SDN 40 38 SDN 73
Penelitian ini melibatkan dua kategori kelas sampel, yaitu kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Dari tiap-tiap peringkat sekolah yang tercantum
kelompok sekolah peringkat atas dan sekolah peringkat tengah. Dari
masing-masing sekolah yang terpilih kemudian ditentukan dua kelas V (lima) sebagai
kelas tempat penelitian, kelas-kelas sampel tidak dibentuk secara acak, melainkan
menggunakan dua kelas yang sudah ada di sekolah yang terpilih sebagai sekolah
tempat penelitian. Selanjutnya dari kedua kelas pada masing-masing sekolah,
dipilih secara acak satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai
kelas kontrol. Pada kelas eksperimen dilaksanakan pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR, dan pada kelas kontrol dilaksanakan pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMK. Pada sekolah peringkat atas, banyaknya
siswa kelas eksperimen adalah 45 siswa dan siswa kelas kontrol adalah 46 siswa,
sedangkan pada sekolah peringkat tengah, banyaknya siswa kelas eksperimen
adalah 37 siswa dan siswa kelas kontrol adalah 36 siswa. Distribusi sampel
penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3
Distribusi Sampel penelitian
Peringkat Sekolah
Kelompok Kelas
∑ Eksperimen Kontrol
Atas 45 46 91
Tengah 37 36 73
∑ 82 82 164
Untuk keperluan analisis tentang kesetaraan kemampuan kelas penelitian
dilakukan uji normalitas dan homogenitas berdasarkan perolehan nilai tes
kemampuan awal matematis dengan menggunakan uji statistik
Kolmogorov-Smirnov dan uji Levene.
3.3 Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa
tes. Instrumen dalam bentuk tes digunakan untuk mengukur kemampuan awal
matematis siswa (KAM), kemampuan intuisi matematis (KIM), dan kemampuan
Bonita Hirza, 2015
Agar tes ini dapat mengukur apa yang seharusnya diukur dan dapat
digunakan untuk mengukur objek yang sama perlu diuji validitas dan
reliabilitasnya. Sugiyono (2006) menyatakan bahwa instrumen yang valid berarti
instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur,.
Menurut Arikunto (1987) tes dikatakan memiliki validitas jika hasilnya sesuai
dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan
kriterium. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang apabila digunakan
beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang
sama. Nunnaly (1970) menyatakan koefisien reliabilitas 0,70 s/d 0,80 dikatakan
cukup tinggi. Namun secara umum reliabilitas sudah dianggap memuaskan jika
koefisien reliabilitasnya > 0,70.
Prosedur yang ditempuh agar instrumen tes tersebut valid, adalah:
menentukan kisi-kisi yang akan diukur oleh masing-masing soal, dan
membandingkan masing-masing soal dengan kisi-kisi yang sudah ditetapkan.
Menurut Guion (1977), validitas isi dapat ditentukan berdasarkan justifikasi para
ahli. Dalam penelitian ini, penilaian terhadap validitas muka (face validity) dan
validitas isi (content validity) dilakukan oleh lima penimbang ahli; yakni dosen
pendidikan matematika dari berbagai universitas yang sedang menempuh program
S3 Pendidikan Matematika. Validitas muka mencakup aspek-aspek (1) kejelasan
dan kekomunikatifan bahasa yang digunakan, dan (2) kemenarikan penampilan
sajian instrumen. Sedangkan validitas isi mencakup kesesuaian butir-butir
instrumen dengan indikator kemampuan intuisi matematis dan kemampuan
berpikir kreatif matematis.
Selanjutnya dilakukan uji Q-Cochran untuk menguji apakah para penilai
memberikan penilaian yang sama terhadap validitas instrumen penelitian.
Hipotesis yang diuji dengan taraf signifikansi 5% adalah sebagai berikut.
H0 : Para penilai memberikan penilaian yang sama atau seragam
Ha : Para penilai memberikan penilaian yang tidak sama atau tidak
Hasil penilaian ahli digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki
instrumen penelitian. Instrumen penelitian yang telah diperbaiki selanjutnya
diujicobakan untuk mengetahui keterbacaan butir-butir instrumen dan kesesuaian
alokasi waktu. Uji coba juga dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik
instrumen yang mencakup validitas butir dan reliabilitas instrumen.
Validitas butir instrumen dihitung dengan rumus korelasi Product Moment
Pearson, butir tes dikategorikan valid jika rhitung≥ rtabel. Reliabilitas tes
kemampuan awal matematis (KAM) dihitung dengan rumus KR-20, sedangkan
reliabilitas tes kemampuan intuisi dan tes kemampuan berpikir kreatif matematis
(KBKM) dihitung dengan rumus Cronbach Alpha (Ruseffendi, 2005). Kriteria
kategori koefisien reliabilitas instrumen disajikan pada Tabel 3.4 sebagai berikut
(Arikunto, 1987):
Tabel 3.4
Kategori Reliabilitas Instrumen
Koefisien Reliabilitas (r) Kategori
r≤ 0,2 Sangat Rendah
0,20 < r≤ 0,40 Rendah
0,40 < r ≤ 0,60 Sedang
0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi
0,80 ≤ r ≤ 1,00 Sangat Tinggi
3.3.1 Tes Kemampuan Awal Matematis (KAM)
Tes kemampuan awal matematis (KAM) berupa tes yang disusun untuk
mengetahui pengetahuan siswa sebelum pembelajaran berlangsung, dimaksudkan
pula untuk memperoleh kesetaraan rata-rata kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Tes KAM berupa tes objektif (pilihan ganda) sebanyak 25 butir soal yang
dipilih dari soal Ujian Nasional (UN) matematika, tes memuat materi geometri
pada kelas IV SD. Berdasarkan skor tes KAM yang diperoleh, siswa
dikelompokkan atas 3 kelompok menurut kemampuannya, yaitu kelompok siswa
Bonita Hirza, 2015
dalam menentukan kedudukan siswa terlebih dahulu kelas dibagi menjadi tiga
kelompok dengan batas-batas kelompok sebagai berikut: kelompok atas adalah
semua siswa yang mempunyai skor sebanyak skor rata-rata plus satu standar
deviasi ke atas, kelompok sedang adalah semua siswa yang mempunyai skor
antara -1 SD dan +1 SD, sedangkan kelompok kurang adalah semua siswa yang
mempunyai skor kurang dari -1 SD.
Kriteria kelompok siswa ditentukan berdasarkan pencapaian skor seperti
pada Tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.5
Kriteria Kategori Kemampuan Awal Matematis (KAM)
Kemampuan Awal Matematis (KAM) Kategori
x ≥ µ + σ Tinggi
µ - σ ≤ x ≤ µ + σ Sedang
x < µ - σ Rendah
Sebelum digunakan instrumen tes KAM terlebih dahulu dilakukan uji
validitas dan reliabilitas. Hasil yang diperoleh adalah instrument tes KAM telah
memenuhi validitas muka dan validitas isi. Hasil penilaian ahli terhadap validitas
muka dan validitas isi tes ini disajikan pada Lampiran 2. Semua ahli menilai
bahwa tes ini telah memenuhi validitas muka dan validitas isi. Pada Tabel 3.6
disajikan hasil uji Q-Cochran untuk mengetahui apakah para penilai memberikan
penilaian yang sama atau seragam terhadap validitas muka dan validitas isi tes ini.
Tabel 3.6
Hasil Uji Q-Cochran terhadap Penilaian Validitas Tes KAM
Banyak Butir Soal Validitas muka Validitas Isi
25 Q Sig. Q Sig.
4,571 0,334 2,400 0,663
Dari Tabel 3.6 diketahui bahwa nilai probabilitas (Sig) uji ini adalah 0,334
dan 0,663 lebih dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti para penilai
ini. Semua penilai menyimpulkan bahwa tes ini dapat digunakan dengan revisi
kecil. Para penilai juga memberikan saran perbaikan terkait dengan kejelasan
gambar atau notasi matematika dan penggunaan istilah matematika yang lebih
tepat.
Instrumen yang sudah diperbaiki selanjutnya diujicobakan pada siswa.
Ujicoba dilakukan pada sekolah yang tidak terpilih sebagai sekolah penelitan.
Tujuan utama dilakukannya ujicoba ini adalah untuk mengetahui validitas tiap
butir soal, dan reliabilitas tes.
Soal KAM yang diujicobakan di sekolah terdiri dari 25 butir. Setelah
dilakukan ujicoba didapat nilai rhitung≥ rtabel(0,05;28) = 0,838 ini berarti semua butir
soal valid. Selanjutnya dihitung reliabilitas tes. Tes KAM terdiri dari 25 butir soal
dengan bentuk soal pilihan ganda. Arikunto (1987) menyatakan reliabilitas tes
dengan banyak soal ganjil tidak dapat dihitung dengan menggunakan teknik belah
dua namun dihitung dengan KR-20. Dengan menggunakan rumus KR-20
diperoleh reliabilitas internal dari tes KAM sebesar 0,738 Mengacu pada tabel
kriteria dari J.P. Guilford (Ruseffendi, 2005), nilai reliabilitas tes KAM tersebut
tergolong tinggi.
3.3.2 Tes Kemampuan Intuisi Matematis
Tes kemampuan intuisi matematis disusun untuk mengukur kemampuan
intuisi matematis siswa setelah proses pembelajaran. Tes intuisi matematis yang
digunakan diadaptasi dari Test Your Intuition yang dikembangkan oleh Goldberg
(2006). Adaptasi dilakukan terhadap aspek bahasa, sehingga sesuai dengan siswa
SD. Karena tes yang digunakan merupakan hasil adaptasi, maka pada tes ini
hanya dilakukan validasi terhadap aspek bahasa saja. Validasi dilakukan oleh lima
orang penimbang yang berlatar belakang dosen pendidikan bahasa Indonesia pada
Universitas Muhammadiyah Palembang. Kelima penimbang diminta untuk
memberikan pertimbangan dan memberikan saran atau masukan mengenai
Bonita Hirza, 2015
Q-Cochran untuk mengetahui apakah para penilai memberikan penilaian yang
sama atau seragam terhadap validitas muka tes ini.
Tabel 3.7
Hasil Uji Q-Cochran terhadap Penilaian Validitas Tes Intuisi Matematis
Banyak Butir Soal Q Sig.
32 2,000 0,736
Dari Tabel 3.7 diketahui bahwa nilai probabilitas (Sig.) uji ini adalah
0,736 lebih dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti para penilai memberikan
penilaian yang seragam terhadap validitas muka tes ini. Semua penilai
menyimpulkan bahwa tes ini dapat digunakan dengan revisi kecil. Setelah
diperbaiki, tes ini diujicobakan untuk mengetahui reliabilitas tes ini.
Hasil analisis reliabilitas tes ini disajikan pada Lampiran 2. Dari hasil
analisis tersebut diketahui koefisien reliabilitas tes ini adalah 0,788 dikategorikan
tinggi.
3.3.3 Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Tes kemampuan berpikir kreatif matematis (KBKM) berbentuk uraian
disusun untuk mengukur kemampuan berfikir kreatif matematis siswa setelah
proses pembelajaran pada materi Tabung dan Prisma
Tes KBKM sebelum digunakan terlebih dahulu divalidasi oleh lima orang
penimbang yang berlatar belakang dosen pendidikan matematika yang sedang
mengikuti program S3 pendidikan matematika. Kelima penimbang diminta untuk
memberikan pertimbangan dan memberikan saran atau masukan mengenai
validitas konstruksi dan validitas isi dari tes tersebut.Pada Tabel 3.8 berikut
disajikan hasil uji Q-Cochran untuk mengetahui apakah para penilai memberikan
penilaian yang sama atau seragam terhadap validitas muka dan validitas isi tes ini.
Hasil Uji Q-Cochran terhadap Penilaian Validitas Tes KBKM
Banyak Butir Soal Validitas muka Validitas Isi
6 Q Sig. Q Sig.
3,500 0,478 4,000 0,406
Dari Tabel 3.8 diketahui bahwa nilai probabilitas (Sig) uji ini adalah 0,478
dan 0,406 lebih dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti para penilai
memberikan penilaian yang seragam terhadap validitas muka dan validitas isi tes
ini. Semua penilai menyimpulkan bahwa tes ini dapat digunakan dengan revisi
kecil. Para penilai juga memberikan saran perbaikan terkait dengan kejelasan
gambar atau notasi matematika dan penggunaan istilah matematika yang lebih
tepat. Setelah diperbaiki, tes ini diujicobakan untuk mengetahui validitas dan
reliabilitas tes ini.
Hasil analisis validitas dan reliabilitas tes ini disajikan pada Lampiran 2.
Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa semua butir tes ini valid. Koefisien
reliabilitas tes ini adalah 0,773; dikategorikan sedang.
3.4 Perangkat Pembelajaran
Penelitian ini mengimplementasikan pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR. Karena itu perangkat pembelajaran dirancang dan
dikembangkan sesuai dengan karakteristik pembelajaran tersebut, serta
kemampuan siswa yang akan dicapai yaitu kemampuan intuisi matematis dan
kemampuan berpikir kreatif matematis. Selain itu, perangkat pembelajaran
dirancang dengan mempertimbangkan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) agar siswa dapat mencapai kompetensi yang sesuai dengan
tuntutan kurikulum tersebut.
Perangkat pembelajaran yang dirancang adalah perangkat pembelajaran
untuk siswa kelas V SD berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
Lembar Kerja Siswa (LKS) pada materi tabung dan prisma (RPP dan LKS
Bonita Hirza, 2015
sebagai panduan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran, khususnya terkait
bagaimana melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
dengan memanfaatkan LKS sebagai sumber belajar siswa.
Sebelum digunakan LKS terlebih dahulu divalidasi oleh penimbang dan
dilakukan uji coba secara terbatas. Tujuan validasi dan uji coba terbatas ini adalah
untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan sekaligus memperoleh
gambaran apakah perangkat pembelajaran dapat dipahami oleh siswa dengan baik.
Para penimbang diminta untuk menilai atau menimbang dan memberikan saran
atau masukan mengenai kesesuaian masalah dan tugas yang terdapat pada LKS
dengan tujuan yang akan dicapai pada RPP, peran LKS untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif
matematis, kesesuaian tuntunan dalam LKS dengan tingkat perkembangan siswa,
kesistematisan pengorganisasian LKS, peran LKS untuk membantu siswa
membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan
mereka sendiri, serta kejelasan LKS dari segi bahasa dan dari segi gambar atau
representasi yang digunakan. Hasil penilaian tersebut disajikan pada Lampiran 2.
Pada Tabel 3.9 berikut disajikan hasil uji Q-Cochran untuk mengetahui
apakah para penilai memberikan penilaian yang sama atau seragam terhadap
validitas konstruksi maupun validitas isi LKS ini.
Tabel 3.9
Hasil Uji Q-Cochran terhadap Hasil Penilaian Validitas LKS
Banyaknya Aspek Q Sig
6 3,586 0,401
Dari Tabel 3.9 diketahui bahwa nilai probabilitas (Sig) uji tersebut adalah
0,401; lebih dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti para penilai memberikan
isi LKS ini. Dengan demikian, LKS ini memenuhi validitas konstruksi dan
validitas isi.
Semua penilai menyimpulkan bahwa LKS ini dapat digunakan dengan revisi
kecil. Para penilai juga memberikan saran perbaikan terkait pemilihan konteks,
tata tulis, penggunaan ejaan, dan kejelasan gambar atau ilustrasi. Hasil penilaian
beserta saran perbaikan tersebut dijadikan dasar untuk memperbaiki LKS ini.
Selanjutnya LKS yang sudah diperbaiki diujicobakan untuk mengetahui
keterbacaan, kesesuaian alokasi waktu, dan kemudahan penggunaan bahan ajar
tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Hasil uji coba menunjukkan bahwa siswa
secara umum memahami tugas-tugas atau pertanyaan yang disajikan di LKS.
3.5 Prosedur Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data. Ketiga tahapan tersebut
disajikan pada Tabel 3.10 berikut:
Tabel 3.10
Tahap Kegiatan Penelitian
Tahap Kegiatan Waktu
Persiapan
Merancang perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian serta melakukan validasi
Bonita Hirza, 2015
memperbaiki perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian sebelum dilaksanakan ujicoba di lapangan
Melaksanakan ujicoba di lapangan. Menganalisis hasil ujicoba dengan tujuan untuk memperbaiki perangkat pembelajaran sebelum penelitian dilakukan.
Mensosialisasikan perangkat pembelajaran kepada guru yang akan terlibat dalam penelitian.
Pelaksanaan Penelitian
Melaksanakan tes KAM untuk mengelompokkan siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
Januari 2013 – April 2013 Memberikan tes awal sebelum
pembelajaran dilakukan. Melaksanakan pembelajaran.
Memberikan tes akhir setelah pembelajaran dilakukan.
Analisis Data dan Pembahasan
Melakukan analisis data dan menguji
hipotesis. Mei 2013 – November
2013 Melakukan pembahasan
Penyusunan Laporan Penelitian Agustus 2013 – Mei
2015
3.5 Prosedur Analisis Data
Analisis data kuantitatif digunakan untuk mengkaji tentang perbedaan
peningkatan kemampuan intuisi matematis dan kemampuan berpikir kreatif
matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR dan siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMK ditinjau dari peringkat sekolah dan KAM siswa.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan berikut:
1. Data yang diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir dianalisis untuk
mengetahui besarnya peningkatan kemampuan intuisi dan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa, yaitu dihitung dengan menggunakan
g =
)) %(
100 (
) %(
) %(
tesawal tesawal tesakhir
(Hake, 2002)
Hasil perhitungan n-gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan
klasifikasi dari Hake (2002) seperti pada Tabel 3.11
Tabel 3.11 Klasifikasi n-gain
Besarnya g Interpretasi
g> 0,7 Tinggi
0, 3< g 0,7 Sedang
g 0,3 Rendah
2. Menguji persyaratan analisis data yang diperlukan sebagai dasar dalam
pengujian hipotesis yaitu uji normalitas masing-masing kelompok dan uji
homogenitas varians.
3. Menguji seluruh hipotesis yang diajukan dengan menggunakan uji statistik
yang sesuai dengan permasalahan dan persyaratan analisis statistik.
Pengujian hipotesis dengan bantuan perangkat lunak SPSS-17
(Trihendradi, 2009).
Keterkaitan antara masalah penelitian, hipotesis penelitian, dan teknik
statistik yang digunakan dalam analisis data kuantitatif disajikan dalam Tabel 3.12
berikut:
Tabel 3.12
Bonita Hirza, 2015
Rumusan Masalah Hipotesis Penelitian Statistik untuk Menguji Hipotesis
Bonita Hirza, 2015 peringkat sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
peringkat sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
10. Apakah ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
perbedaan kategori KAM terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
10. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan perbedaan kategori KAM terhadap peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Bonita Hirza, 2015
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan intuisi dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
yang mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan
matematika realistik (PMR) lebih tinggi daripada siswa yang mendapat
pembelajaran matematika dengan pembelajaran matematika konvensional (PMK).
Berdasarkan rumusan masalah yang dicari jawabannya dalam penelitian
ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa yang signifikan
baik pada kelompok siswa yang mendapat pembelajaran dengan PMR
maupun pada kelompok siswa yang mendapat pembelajaran dengan PMK,
berdasarkan kategori Hake, peningkatan kemampuan intuisi matematis
siswa termasuk dalam kategori sedang. Peningkatan kemampuan intuisi
matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR
lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMK. Secara signifikan terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan intuisi matematis antara siswa yang mendapat
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dan yang mendapat
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMK.
2. Pada kelompok yang mendapat pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR terdapat peningkatan rata-rata kemampuan intuisi
matematis yang signifikan baik pada siswa sekolah peringkat atas maupun
pada siswa sekolah peringkat tengah, berdasarkan kategori Hake,
peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa berada dalam kategori
sedang. Peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa sekolah
Bonita Hirza, 2015
perbedaan peningkatan rata-rata kemampuan intuisi matematis siswa pada
kedua peringkat sekolah tersebut signifikan.
3. Berdasarkan kategori KAM siswa, terdapat peningkatan rata-rata
kemampuan intuisi matematis siswa yang yang signifikan pada kelompok
siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR.
Berdasarkan kategori Hake, rata-rata peningkatan kemampuan intuisi
matematis siswa termasuk dalam kategori sedang. Siswa dengan kategori
KAM tinggi memperoleh peningkatan kemampuan intuisi matematis yang
lebih tinggi daripada siswa dengan kategori KAM di bawahnya, tetapi,
perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa antar
ketiga kategori KAM tersebut tidak signifikan.
4. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan peringkat
sekolah terhadap peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa, hal ini
menunjukkan bahwa adanya perbedaan peningkatan kemampuan intuisi
matematis siswa lebih disebabkan oleh perbedaan pendekatan
pembelajaran dan perbedaan peringkat sekolah
5. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan perbedaan
kategori KAM terhadap peningkatan kemampuan intuisi matematis siswa,
ini berarti, adanya perbedaan peningkatan kemampuan intuisi matematis
siswa lebih disebabkan oleh perbedaan pendekatan pembelajaran dan
perbedaan kemampuan awal matematis siswa.
6. Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis yang
signifikan baik pada siswa yang mendapat pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR maupun dengan PMK. Berdasarkan kategori
Hake, peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang
mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR termasuk
dalam kategori tinggi, sedangkan siswa yang mendapat pembelajaran
Perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
pada kedua kelompok siswa tersebut signifikan.
7. Terdapat peningkatan rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematis
yang signifikan pada siswa peringkat sekolah atas dan tengah, setelah
mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR.
Berdasarkan kategori Hake, peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa termasuk dalam kategori tinggi. Rata-rata peningkatan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa sekolah peringkat atas lebih
tinggi daripada siswa sekolah peringkat tengah, tetapi perbedaan rata-rata
peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis tersebut tidak
signifikan.
8. Terdapat peningkatan rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematis
yang signifikan pada siswa yang mendapat pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR untuk setiap kategori KAM. Berdasarkan
kategori Hake, rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa pada kategori KAM tinggi dan sedang termasuk dalam
kategori tinggi, sedangkan pada kategori KAM rendah termasuk dalam
kategori sedang, tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa tersebut tidak signifikan
9. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan peringkat
sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa menunjukkan bahwa adanya perbedaan peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa lebih disebabkan oleh perbedaan
pendekatan pembelajaran dan perbedaan peringkat sekolah
10.Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan perbedaan
kategori KAM terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa menunjukkan bahwa adanya perbedaan peningkatan
Bonita Hirza, 2015
perbedaan pendekatan pembelajaran dan perbedaan kemampuan awal
matematis siswa.
5.2. Implikasi
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah:
1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR dapat diimplementasikan
pada kedua peringkat sekolah (atas dan tengah) di SD dan pada ketiga kategori
KAM (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran
matematika untuk meningkatkan kemampuan intuisi dan kemampuan berpikir
kreatif matematis, serta dapat mengubah paradigma guru sebagai pusat
pembelajaran menjadi guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai pusat
pembelajaran.
2. Peran guru sebagai fasilitator berdampak pada kedekatan hubungan guru
dengan siswa, sehingga guru lebih memahami karakteristik dan kemampuan
siswa.
3. Secara teoritis, kemampuan intuisi matematis dan berpikir kreatif matematis
siswa di SD telah sejalan dengan apa yang terjadi ketika PMR dilaksanakan
dalam proses pembelajaran matematika. Hal ini menunjukkan bahwa teori
yang melandasi kedua kemampuan telah dapat dikembangkan melalui
penerapan PMR.
5.3 Rekomendasi
Berikut beberapa rekomendasi yang perlu mendapat perhatian dari semua
pihak yang berkepentingan dalam pembelajaran matematika di SD.
1. Secara keseluruhan kemampuan intuisi dan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMK di jenjang sekolah
dasar. Perlu kiranya dilakukan penelitian serupa untuk jenjang sekolah
2. Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR hendaknya dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran bagi guru
untuk meningkatkan kemampuan intuisi matematis dan kemampuan